Analisis Usaha Budidaya Tambak Bandeng Pada Teknologi Tradisional Dan Semi-Intensif Di Kabupaten Karawang

ANALISIS USAHA BUDIDAYA TAMBAK BANDENG PADA
TEKNOLOGI TRADISIONAL DAN SEMI-INTENSIF
DI KABUPATEN KARAWANG

MAHFUDLOTUL ‘ULA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Usaha
Budidaya Tambak Bandeng pada Teknologi Tradisional dan Semi-Intensif di
Kabupaten Karawang adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Mahfudlotul ‘Ula
NIM H34110017

ABSTRAK
MAHFUDLOTUL ‘ULA. Analisis Usaha Budidaya Tambak Bandeng pada
Teknologi Tradisional dan Semi-Intensif di Kabupaten Karawang. Dibimbing
oleh NUNUNG KUSNADI
Rendahnya produktivitas bandeng yang dihasilkan teknologi tradisional
mendorong perkembangan teknologi budidaya baru untuk meningkatkan
produktivitas. Teknologi semi-intensif telah berkembang sejak tahun 2000an.
Namun teknologi ini meningkatkan biaya produksi karena adanya tambahan input
berupa pakan buatan. Salah satu kabupaten penghasil ikan bandeng dan
menerapkan kedua teknologi budidaya ialah Kabupeten Karawang. Tujuan dari
penelitian ini adalah menganalisis tingkat keuntungan dan efisiensi biaya pada
masing-masing teknologi baik teknologi trdisional dan semi-intensif. Metode
pengambilan data dilakukan secara purposive sebanyak 30 petani bandeng
teknologi tradisional dan 33 petani bandeng teknologi semi-intensif. Berdasarkan

hasil analisis menunjukkan bahwa teknologi semi-intensif memberikan tingkat
produktvitas yang lebih tinggi dan lebih menguntungkan. Namun, teknologi
tradisional lebih efisien. Kondisi ini yang menjadikan budidaya bandeng dengan
teknologi tradisional masih tetap bertahan karena memberikan return to capital
lebih tinggi meskipun memiliki risiko yang lebih tinggi.
Kata kunci : bandeng, teknologi tradisional dan semi-intensif, struktur biaya
ABSTRACT
MAHFUDLOTUL ‘ULA. Income Analysis Milkfish Cultivation of Traditional
and Semi-intensive in Karawang Regency. Supervised by NUNUNG KUSNADI
The low productivity of milkfish produced by traditional technology
encourage the development of new farming technologies to increase productivity.
Semi-intensive technology has evolved since the 2000s. However, this technology
increases the cost of production because of the additional input of artificial feed.
One of the regencies which produce milkfish using both traditional and semiintensive technology is Karawang Regency. The objective of this research were to
analyze profit and cost efficiency in traditional and semi-intensive techonology.
The method of data collection conducted purposive as many as 30 milkfish
farmers with traditional technology and 33 milkfish farmers with semi-intensive
technology. The results show that semi-intensive technology provides a higher
level of productivity and higher profitability. However, traditional technology was
more efficient than semi-intensive technology. This condition causes the milkfish

cultivation with traditional technology are still exist because it provides a higher
return to capital.
Key words : Milkfish, traditional and semi-intensive technology, cost structure

ANALISIS USAHA BUDIDAYA TAMBAK BANDENG PADA
TEKNOLOGI TRADISIONAL DAN SEMI-INTENSIF
DI KABUPATEN KARAWANG

MAHFUDLOTUL ‘ULA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 ini ialah
usahatani, dengan judul Analisis Usaha Budidaya Tambak Bandeng pada
Teknologi Tradisional dan Semi-Intensif di Kabupaten Karawang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
selaku pembimbing skripsi, serta Bapak Dr Ir Lukman M. Baga, MA.Ec selaku
Dosen Pembimbing Akademik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada petani bandeng Kecamatan Tirtajaya Kabupaten Karawang yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan informasi terkait pertanyaan
penelitian, Pihak Kecamatan Tirtajaya dan Dinas Perikanan Kabupaten Karawang
atas bantuannya untuk mendapatkan data sekunder. Ungkapan terima kasih
disampaikan kepada Ayah Ikrom, Ibu Sri Wilujeng, Adik Ahmad Nur Khafidz,
Adik Ahmad A’izzal Barid Ikrom, dan seluruh keluarga yang telah memberikan
dukungan moril dan doa yang tak pernah henti. Terima kasih kepada Ahmad
Royhan yang selalu memberikan motivasi, semangat dan doanya. Terima kasih
kepada sahabat Dina Azhara dan Nisa Nurbaiti yang selalu memberikan semangat,

menemani selama penelitian dalam susah dan senang. Terima kasih kepada
teman-teman agribisnis 48 yang telah memberikan dukungan. Terima kasih
kepada teman-teman se-pembimbing yang telah memberikan semangat. Terima
kasih teman-teman MSA 5 yang telah memberikan dukungan dan semangatnya
untuk menyelesaikan skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015
Mahfudlotul ‘Ula

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup

TINJAUAN PUSTAKA
Padat Tebar Benih pada Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional,
Semi-intensif, dan Intensif
Produktivits Output Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional,
Semi-intensif, dan Intensif
Biaya dan Penerimaan Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional,
Semi-intensif, dan Intensif
R/C Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional, Semi-intensif, dan
Intensif
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Ektensifikasi dan Intensifikasi
Keragaan Usahatani
Biaya Usahatani
Penerimaan Usahatani
Pendapatan Usahatani dan R/C rasio
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel

Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis Penerimaan, Biaya, dan Keuntungan Usahatani
Analisis Pendapatan Usahatani
Analisis Efisiensi Biaya Usahatani
Analisis Uji Beda t-Test
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Karakteristik Wilayah
Kondisi Geografi
Kependudukan
Pertanian
Karakteristik Petani Responden
Jenis Kelamin
Usia
Tingkat Pendidikan
Pengalaman Budidaya Bandeng
Jumlah Tanggungan Keluarga

xiii
xiv
xiv

1
1
3
4
4
5
5
5
6
6
8
8
8
8
9
11
11
11
12
14

14
15
15
15
16
17
17
18
18
18
19
21
21
22
22
23
23
24

Penguasaan Lahan Tambak

Padat Tebar
Lama Budidaya
Pekerjaan di Luar Usahatani
USAHA
BUDIDAYA
TAMBAK
BANDENG
TEKNOLOGI
TRADISIONAL DAN SEMI-INTENSIF
Keragaan Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan Semiintensif di Kecamatan Tirtajaya
Penggunaan Input Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan
Semi-Intensif
Biaya Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan Semi-intensif
di Kecamatan Tirtajaya
Produktivitas Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan Semiintensif Kecamatan Tirtajaya
Penerimaan Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan Semiintensif di Kecamatan Tirtajaya
Keuntungan dan Pendapatan Usaha Budidaya Bandeng Teknologi
Tradisional dan Semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya
Analisis Efisiensi R/C
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

25
26
26
27
27
27
28
31
36
37
38
39
40
40
41
41
44
54

DAFTAR TABEL
1 Luas penggunaan tanah dan presentasenya di Kecamatan Tirtajaya
tahun 2013
2 Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin Kecamatan Tirtajaya
tahun 2013
3 Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Kecamatan Tirtajaya
tahun 2013
4 Jumlah dan presentase penduduk menurut tingkat pendidikan di
Kecamatan Tirtajaya tahun 2013
5 Produksi perikanan dan pertanian di Kecamatan Tirtajaya tahun 2013
6 Jenis kelamin petani responden di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015
7 Jumlah petani responden berdasarkan kriteria usia di Kecamatan
Tirtajaya tahun 2015
8 Jumlah petani responden berdasarkan tingkat pendidikan formal di
Kecamatan Tirtajaya tahun 2015
9 Jumlah petani responden berdasarkan pengalaman berbudidaya di
Kecamatan Tirtajaya tahun 2015
10 Jumlah petani responden berdasarkan jumlah tanggungan di
Kecamatan Tirtajaya tahun 2105
11 Jumlah petani responden berdasarkan luas penguasaan tambak di
Kecamatan Tirtajaya tahun 2015
12 Jumlah petani responden berdasarkan status lahan yang dimiliki
Kecamatan Tirtajaya 2015
13 Jumlah petani responden berdasarkan padat tebar benih bandeng di
Kecamatan Tirtajaya tahun 2015
14 Jumlah petani responden berdasarkan jenis pekerjaan di luar usahatani
Kecamatan Tirtajaya tahun 2015
15 Rata-rata kebutuhan input per hektar per musim budidaya pada usaha
budidaya bandeng teknologi tradisional dan semi-intensif di
Kecamatan Tirtajaya tahun 2015
16 Rata-rata penggunaan tenaga kerja per hektar per musim budidaya
pada usaha budidaya bandeng teknologi tradisional dan semi-intensif
di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015
17 Perbandingan biaya usaha budidaya bandeng teknologi tradisional dan
semi-intensif Kecamatan Tirtajaya tahun 2015
18 Perbandingan produktivitas bandeng per hektar per musim budidaya
berdasarkan teknologi budidaya di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015
19 Perbandingan penerimaan usaha budidaya bandeng per hektar per
musim budidaya berdasarkan teknologi tradisional dan semi-intensif
di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015
20 Perbandingan keuntungan dan pendapatan usaha budidaya bandeng
berdasarkan teknologi tradisional dan semi-intensif di Kecamatan
Tirtajaya tahun 2015
21 Perbandingan R/C rasio usaha budidaya bandeng teknologi tradisional
dan semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015

19
19
20
20
21
22
22
23
24
24
25
25
26
27

28

30
33
36

37

38
39

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Volume produksi perikanan tahun 2003-2013 (dalam ton)
Produksi ikan bandeng di Indonesia tahun 2010-2013
Pengaruh ekstensifikasi dan intensifikasi lahan terhadap produksi
Kerangka pemikiran analisis usaha budidaya tambak bandeng pada
teknologi tradisional, dan semi-intensif di Kabupaten Karawang

1
3
9
14

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Konsumsi ikan di Indonesia
Sentra produksi bandeng di Indonesia tahun 2010-2012 (dalam ton)
Produksi bandeng Kabupaten Karawang tahun 2008-2013 (dalam
ton)
Luas areal tambak yang dimanfaatkan di Kabupaten Karawang
(dalam Ha)
Luas tambak, jumlah RTP, dan produksi bandeng masing-masing
kecamatan di Kabupaten Karawang tahun 2013
Biaya penyusutan
R/C rasio per responden berdasarkan teknologi budidaya
Perhitungan mortalitas per hektar
Hasil output SPSS uji t independent terhadap penggunaan nener
pupuk urea HOK produktivitas biaya total penerimaan dan R/C
Dokumentasi

44
44
45
45
45
46
47
48
50
52

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor perikanan berkontribusi cukup besar dalam pembangunan ekonomi
nasional melalui penyerapan tenaga kerja, pendapatan nasional, sumbangan devisa
ekspor, dan ketahanan pangan dalam memenuhi konsumsi protein dalam negeri.
Penyerapan tenaga kerja disektor perikanan dari tahun 2005-2009 mengalami
kenaikan 6.43 persen yaitu dari 5.4 juta orang menjadi 6.21 juta orang.
Peningkatan penyerapan tenaga kerja disektor ini sejalan dengan pertumbuhan
ekonomi yang dilihat dari nilai produk domestik bruto (PDB) yang terus
mengalami kenaikan rata-rata sebesar 27.06 persen dari tahun 2004 sampai tahun
2008 (Badan Pusat Statatistik 2009).
Pembangunan perikanan budidaya perlu dilakukan untuk mengurangi
ketergantungan hasil perikanan tangkap yang cenderung stagnan produksinya.
Pembangunan ini ditunjukan pada Gambar 1 bahwa produksi perikanan budidaya
menunjukkan trend yang positif dan mengalami peningkatan rata-rata sebesar
21.93 persen. Peningkatan produksi ini sejalan dengan peningkatan konsumsi
perikanan Indonesia. Rata-rata kenaikan konsumsi per kapita dari tahun 2004
sampai tahun 2008 sebesar 7.35 persen atau dari 22.58 kg/kapita/tahun di tahun
2004 meningkat menjadi 29.98 kg/kapita/tahun ditahun 2008. Namun, indeks
konsumsi ikan Indonesia masih dibawah standar FAO yaitu 30 kg/kapita/tahun.
Perubahan yang signifikan terjadi pada tahun 2012 dan 2013. Tingkat konsumsi
ikan mengalami peningkatan dari 33.89 kg/kapita/tahun menjadi 35.14
kg/kapita/tahun (Lampiran 1). Angka ini sudah memenuhi standar FAO. Kenaikan
konsumsi ikan ini lebih besar berasal dari perikanan budidaya yang diprediksi
terus mengalami peningkatan produksi.
10000000
8000000
Produksi (ton)

6000000
tangkap

4000000

budidaya
2000000
0

Tahun
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2014)

Gambar 1 Volume produksi perikanan tahun 2003-2013 (dalam ton)

2
Usaha budidaya tambak merupakan kegiatan ekonomi yang memanfaatkan
sumberdaya pesisir pantai. Kegiatan ini diharapkan mampu meningkatkan
kesejahteraan petani maupun nelayan daerah pesisir pantai, meningkatkan devisa
negara dan mengurangi ketergantungan dari produksi perikanan tangkap yang
cenderung stagnan. Potensi budidaya tambak dapat dilihat dari luas lahan tambak
Indonesia yang terus mengalami peningkatan. Luas tambak di Indonesia tahun
2010 mencapai 2.9 juta hektar dan baru dimanfaatkan sekitar 0.7 juta ha. Artinya
masih terdapat peluang sekitar 2.2 juta ha untuk mengembangkan pesisir pantai
Indonesia (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012).
Selain faktor lahan tambak yang dimanfaatkan, peran teknologi yang
diterapkan juga mempengaruhi peningkatan produksi budidaya tambak. Secara
umum tingkatan teknologi budidaya tambak dibedakan menjadi tiga yaitu
ekstensif/tradisional, semi-intensif, dan intensif. Perbedaan dari ketiga teknologi
budidaya ini dilihat dari dari padat tebar benih yang diusahakan, jenis pakan yang
diberikan, serta kincir air untuk menambahkan supply oksigen dalam air.
Teknologi tradisional dicirikan dengan padat tebar benih 2-3 ekor per m2 dan
menggunakan pakan alami (Afaf 2004). Perubahan teknologi tradisional ke semiintensif dan intensif berarti meningkatnya padat penebaran benih dan peningkatan
pemberian pakan serta input lainnya seperti pestisida dan obat-obatan kimia.
Perubahan teknologi yang digunakan membutuhkan perencanaan modal
yang tepat, karena perubahan teknologi ini menyebabkan biaya produksi budidaya
tambak semakin meningkat. Dengan adanya perubahan teknologi ini pembudidaya
dapat mengefisienkan faktor-faktor produksi yang dimiliki, sehingga tujuan dari
pembangunan pesisir pantai yaitu peningkatan kesejahteraan petani tambak dapat
meningkat melalui peningkatan produktivitas usaha tambak yang dijalankan.
Perkembangan teknologi ini juga diterapkan pada budidaya tambak ikan
bandeng. Petani budidaya bandeng mengarahkan dari teknologi tradisional ke
semi-intensif. Tujuan dari perkembangan teknologi ini untuk meningkatkan
produksi ikan bandeng dan meningkatkan pendapatan petani.
Ikan bandeng merupakan salah satu ikan unggulan yang dibudidayakan di
tambak air payau. Keunggulan dari ikan ini dapat tumbuh dalam teknik budidaya
tradisional, bersifat herbivora, mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan
dan tahan terhadap serangan penyakit. Selain itu, ikan bandeng juga memiliki nilai
ekonomis, jika dilihat dari permintaannya, selama sepuluh tahun terakhir
permintaan ikan bandeng rata-rata meningkat 6.33 persen tiap tahunnya
sedangkan produksi bandeng rata-rata meningkat 3.82 persen tiap tahunnya 1 .
Keunggulan lainnya yang dimiliki oleh ikan bandeng ialah dapat dibudidayakan
dengan ikan lainnya seperti udang dan rumput laut.
Produksi bandeng di Indonesia menunjukan trend yang positif pada dari
tahun 2010 sampai tahun 2013 kenaikan rata-rata bandeng mecapai 16.80 persen
dengan pencapaian target 107.6 persen (Kementerian Kelautan dan Perikanan
2013). Dan Indonesia berhasil menepati posisi pertama sebagai negera penghasil
bandeng terbesar di dunia pada tahun 2011 dengan share sebesar 52.4 persen dari
1

Bank Indonesia. 2012. Pola pembiayaan usaha kecil (PPUK). [Internet]. [diunduh 2015 Juni 16].
Tersedia
pada
http://www.bi.go.id/id/umkm/kelayakan/polapembiayaan/perikanan/Documents/5a2124b609ea49d7aaa4b81f78c30ac7BudidayaBandengKon
vensional1.pdf

3
produksi bandeng dunia dan posisi kedua berada pada negera Philipina dengan
share 41.8 persen ( Fishstat FAO 2013)2. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
komoditas ikan bandeng memiliki potensi yang cukup besar dan berpeluang
menjadi komoditas ekspor untuk meningkatkan devisa negara.
Target (ton)

Capaian (ton)
700000 667116

421757
349600

Tahun

2010

467449
419000

2011

503400 518919

2012

2013

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2013).

Gambar 2 Produksi ikan bandeng di Indonesia tahun 2010-2013
Secara teknis penggunaan teknologi mampu melipatgandakan hasil produksi
dan mengefisienkan faktor-faktor produksi. Namun, petani masih menggunakan
teknologi tradisional untuk membudidayakan ikan bandeng. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui bagaimana penggunaan teknologi terhadap tingkat
pendapatan petani.
Rumusan Masalah
Budidaya bandeng di Indonesia di mulai sejak awal abad ke-12 terutama di
pulau Jawa3. Produksi bandeng di Indonesia terus mengalami peningkatan seiring
dengan perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia dari red meat menjadi white
meat 4 . Namun, peningkatan produksi belum mampu memenuhi permintaan
bandeng di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya untuk
meningkatkan produksi bandeng, salah satunya melalui pendekatan teknologi.
2

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2014. Menjadikan bandeng sebagai penggerak ekonomi
masyarakat.
[Internet].
[diunduh
pada
2015
Juni
16].
Tersedia
pada
http://www.djpb.kkp.go.id/index.php/arsip/c/176/Menjadikan-Bandeng-Sebagai-PenggerakEkonomi-Masyarakat/?category_id=13
3
World Wide Fund Indonesia. 2014. Budidaya ikan bandeng pada tambak ramah lingkungan.
[Internet].
[diunduh
pada
2015
Juni
16].
Tersedia
pada
http://awsassets.wwf.or.id/downloads/bmp_budidaya_ikan_bandeng.pdf
4
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
Usulkan Hari Ikan Nasional Untuk Mendukung Upaya Peningkatan Gizi Masyarakat Indonesia.
[Internet]. [diunduh 2015 Juni 16]. Tersedia pada http://www.wpi.kkp.go.id/index.php/82-infoaktual/104-kementerian-kelautan-dan-perikanan-kkp-usulkan-hari-ikan-nasional-untukmendukung-upaya-peningkatan-gizi-masyarakat-indonesia

4
Teknologi budidaya bandeng di Indonesia terbagi menjadi 3 teknologi
produksi, namun ada juga yang menyebutkan empat teknologi, yaitu teknologi
tradisional, tradisional plus, semi-intensif dan intensif. Perbedaan ke empat
teknologi ini berdasarkan intensitas padat tebar nener5, pakan, pupuk, obat-obatan
dan pemberian kincir angin untuk menambah supply oksigen di dalam air. Namun
yang berkembang di Indonesia adalah teknologi tradisional dan semi-intensif.
Tidak berkembangnya teknologi intensif pada budidaya bandeng karena budidaya
ini memerlukan investasi yang cukup tinggi dan tidak sebanding dengan harga
ikan bandeng yang cenderung rendah dibanding harga udang. Teknologi intensif
biasanya dikembangkan pada budidaya udang yang memiliki nilai ekonomis lebih
tinggi dibanding bandeng.
Meskipun hanya dua teknologi yang berkembang, yaitu teknologi tradisional
dan semi-intensif. Namun, proporsi penggunaan teknologi tradisional cenderung
lebih tinggi. Padahal dengan perubahan teknologi tradisional ke semi-intensif
mampu meningkatkan produksi bandeng sehingga meningkatkan kesejahteraan
petani bandeng. Berdasarkan uraian diatas, maka timbul pertanyaan teknologi
manakah yang memberikan keuntungan lebih tinggi? Teknologi manakah yang
memberikan tingkat efisiensi lebih tinggi?
Tujuan Penelitian
Untuk menjawab masalah penelitian maka perlu melihat keuntungan
usahatani tambak dan perlu melakukan analisis pendapatan serta analisis biaya
untuk menyimpulkan sistem mana yang memberikan manfaat lebih besar kepada
petani tambak, sehingga tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengalisis struktur biaya usahatani tambak bandeng pada masing-masing
teknologi yang diterapkan.
2. Menganalisis tingkat pendapatan petani tambak bandeng pada masing-masing
teknologi yang diterapkan.
3. Menganalisis efisiensi usahatani tambak bandeng pada masing-masing
teknologi yang diterapkan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengaplikasikan bidang ilmu yang
telah dipelajari serta melatih dalam kemampuan berpikir secara analitis untuk
menghadapi persoalan di lapang yang berkaitan dengan agribisnis.
2. Bagi petani tambak diharapkan dapat memberikan informasi mengenai struktur
biaya, pendapatan, dan efisiensi usaha tambak yang dijalankan, sehingga
mampu membantu petani mampu dalam mengoptimalkan sumberdaya yang
dimiliki.
3. Bagi pemerintah dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan
kebijakan terkait potensi perikanan yang ada di Kabupaten Karawang secara
khusus.

5

Berdasarkan KBBI, nener adalah benih ikan bandeng yang baru ditetaskan dengan panjang badan
antara l0—30 mm; anak ikan bandeng yg masih kecil

5
Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis keragaan usaha budidaya
tambak bandeng pada masing-masing teknologi yang diterapkan di Kabupaten
Karawang, dilihat dari aspek penggunaan input, struktur biaya, pendapatan, serta
efisiensi usaha budidaya tambak. Analisis efisiensi usaha budidaya tambak dilihat
berdasarkan analisis R/C rasio. Analisis usahatani yang digunakan merupakan
analisis finansial, data yang digunakan ialah data riil dari lokasi penelitian.
Penelitian ini dilakukan pada satu kali musim panen dengan menggunakan
beberapa asumsi agar memudahkan dalam proses analisis. Dan diharapkan dengan
adanya batasan ini tidak mengurangi esensi yang akan disampaikan.

TINJAUAN PUSTAKA
Padat Tebar Benih pada Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional,
Semi-intensif, dan Intensif
Budidaya tradisional berbeda dengan budidaya semi-intensif dan intensif
dalam hal penggunaan input. Perbedaan ini dilihat dari padat tebar benih, jenis
pakan yang digunakan, dan alat penunjang seperti kincir angin untuk menambah
supply oksigen dalam air. Teknologi intensif umumnya memiliki padat tebar
benih dan penggunaan input lebih tinggi dibanding semi-intensif dan tradisional.
Beberapa negara sebagai penghasil bandeng terbesar didunia memiliki
perbedaan mengenai padat tebar benih dimasing-masing teknologi. Di Indonesia
sendiri padat tebar benih untuk teknologi tradisional/ekstensif memiliki padat
tebar 6 000 ekor/ha, sedangkan Taiwan 6 000-7 000 ekor/ha dan Philipina antara
1500 sampai 6 000 ekor/ha (fitzGerald 2004). Untuk teknologi semi-intensif di
Indonesia memiliki padat tebar antara 8 000 sampai 12 000 ekor/ha sedangkan
Taiwan lebih dari 25 000 ekor/ha (Mayunar et al 2000) dan Philipina sendiri
memiliki padat tebar 12 000 ekor/ha.
Pada penelitian terdahulu, Afaf (2004) budidaya bandeng tradisional
memiliki padat tebar benih rata-rata 6 155 ekor/ha. Sedangkan Kaunang (2006)
padat tebarnya lebih rendah 33 persen dari penelitian Afaf (2004).
Penelitian lain pada budidaya udang oleh Ling, BH et al (2001) dengan data
ADB/NACA (1996) di Thailand budidaya udang hanya mengunakan teknologi
ekstensif dan intensif, pada teknologi ekstensif tidak diketahui padat tebar
benihnya karena mengandalkan dari alam, sedangkan teknologi intensif padat
tebar benih di negara ini sangat tinggi, yaitu 1 151 000 benur/ha. Di Vietnam
presentase kenaikan padat tebar benih dari ekstensif ke semi-intensif paling tinggi
yakni kenaikannya 3 733 persen dari 3 000 benur/ha, Indonesia kenaikan padat
tebarnya 567 persen dari 3 000 benur/ha, sedangkan Philipina kenaikannya relatif
rendah dibanding negara lain yakni 43 persen dari 108 000 benur/Ha. Dari ketiga
negara tersebut hanya Indonesia dan Vietnam yang membudidayakan secara
intensif dengan kenaikan padat tebar benih 226 persen dari jumlah padat tebar
teknologi semi-intensif.
Berdasarkan penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa padat tebar benih
mengalami kenaikan dari tradisonal ke semi-intensif dan intensif dan kenaikan

6
lebih tinggi pada saat teknologi tradisional ke semi-intensif. Kenaikan tersebut
menyebabkan perlunya tambahan pakan dan kincir angin sehingga tidak
menurunkan produktivitas budidaya tambak. Pada budidaya tradisional lebih
mengandalkan pakan alami seperti ganggang dan klekap6. Namun, pada kondisi
tertentu diperlukan pakan tambahan dalam proporsi lebih kecil untuk
mempercepat pertumbuhan. Sedangkan teknologi semi-intensif dan intensif
jumlah pakan yang diberikan berkisar antara 3%-5% dari bobot ikan.
Produktivits Output Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional, Semiintensif, dan Intensif
Penelitian Afaf (2004) menunjukkan bahwa perubahan teknologi tradisional
ke semi-intensif mampu meningkatkan produksi bandeng 498.5 persen. Penelitian
serupa juga dari data FitzGerald (2004) di negara Taiwan perubahan tradisional ke
semi-intensif mampu meningkatkan produksi bandeng 380 persen. Di Indonesia
dengan menggunakan teknologi tradisional produktivitasnya mencapai 1 000
kg/ha/tahun sedangkan di Philipina 400 persen lebih tinggi dari Indonesia.
Penelitian Zulkarnaenm (2004) menunjukkan budidaya bandeng secara semiintensif produktivitasnya mencapai 7 011 kg/Musim dan penelitian Kaunang
(2006) menyimpulkan bahwa budidaya bandeng dengan teknologi tradisional di
Kecamatan Pontang produktivitasnya mencapai 400 kg/ha/Musim.
Penelitian lain di tambak udang yang dilakukan oleh Ling, BH et al (2001)
dengan data ADB/NACA (1996) menunjukkan penggunaan teknologi mampu
meningkatkan produktivitas, di Thailand perubahan teknologi tradisional menjadi
intensif meningkatkan produktivitas 2 622 persen. Philipina mengalami kenaikan
produktivitas dari tradisional ke semi-intensif tertinggi yakni 939 persen
sedangkan di Indonesia mengalami kenaikan 812 persen. Namun kenaikan semiintensif ke intensif relatif rendah jika dibandingkan tradisional ke semi-intensif.
Di Indonesia perubahan semi-intensif ke intensif produktivitasnya meningkat 196
persen sementara Philipina meningkat 13 persen.
Dari penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa perubahan teknologi ke
arah yang lebih modern mampu meningkatkan produktivitas lahan tambak, namun
perubahan terbesar berada pada teknologi semi-intensif. Hal ini menyebabkan
banyak pembudidaya tambak lebih memilih teknologi semi-intensif dibandingkan
intensif.
Biaya dan Penerimaan Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional,
Semi-intensif, dan Intensif
Perbedaan teknologi budidaya tambak berimplikasi terhadap perbedaan
biaya yang dikeluarkan dan produksi yang dihasilkan sehingga berpengaruh
terhadap penerimaan petani.

6

Klekap merupakan pakan alami bandeng terdiri dari ganggang kersik (Bacillariopyceae), bakteri,
protozoa, cacing dan udang renik yang sering juga disebut “Microbenthic Biological Complex”.
Sumber
:
[Internet].
[diundah
2015
Juni
16].
Tersedia
pada
https://mjakfaramir.wordpress.com/2013/12/02/teknik-pembenihan-ikan-bandeng/

7
Penelitian pada tambak udang yang dilakukan oleh Ling, BH et al (2001)
dengan data ADB/NACA (1996) di beberapa negara seperti Thailand, Indonesia,
Philipina, Malaysia, India, Sri Lanka, Taiwan dan China. Penelitian menunjukkan
menunjukkan bahwa biaya produksi pada teknologi tradisional lebih rendah
dibanding semi-intensif dan intensif. Dan biaya produksi teknologi semi-intensif
lebih rendah dibandingkan dengan intensif. Rata-rata biaya yang dikeluarkan
digunakan untuk biaya variabel seperti biaya untuk benih, pakan, tenaga kerja,
dan lain-lain. Pada teknologi tradisional di Thailand, Sri Lanka dan Vietnam biaya
terbesar yang dikeluarkan berasal dari biaya tetap, yaitu biaya overhead. Biaya
overhead di Thailand sebesar 39.2 persen, 38.6 persen di Sri Lanka dan 35.1
persen di Vietnam, sedangkan negara lain rata-rata biaya terbesar digunakan untuk
pembelian benur (benih udang). Di Indonesia sendiri biaya untuk benur sebesar
32.7 persen total biaya, kemudian biaya penyusutan sebesar 20.7 persen total
biaya dan ketiga digunakan biaya tenaga kerja sebesar 16.7 persen total biaya. Hal
serupa terjadi di Bangladesh biaya terbesar digunakan untuk benur yaitu 43.5
persen dari total biaya yang dikeluarkan, kedua digunakan untuk biaya overhead
sebesar 24.3 persen dari total biaya dan ketiga ialah biaya tenaga kerja sebesar
13.8 persen dari total biaya.
Pada teknologi semi-intensif dan intensif biaya terbesar ialah biaya variabel.
Lebih dari 55 persen dari total biaya digunakan untuk biaya variabel. Biaya ini
rata-rata digunakan untuk membiayai pakan dan benur. Di Indonesia biaya pakan
pada tradisional sebesar 5.8 persen dari total biaya meningkat menjadi 39.3 persen
dari total biaya pada teknologi semi-intensif, tetapi pada teknologi intensif biaya
pakan menurun 0.5 persen dari biaya semi-intensif. Hal serupa terjadi di Philipina
dan India biaya untuk pakan justru mengalami penurunan dari semi-intensif ke
intensif sebesar 16.8 persen di Philipina dan 14.1 persen di India. Namun di
Malaysia perubahan teknologi ini justru mengalami kenaikan sebesar 3.1 persen.
Penelitian lain oleh Afaf (2004) menunjukkan bahwa biaya tetap seperti
sewa lahan mengalami penurunan 28.88 persen dari penggunaan teknologi
tradisional ke semi-intensif, sedangkan biaya tenaga kerja dalam keluarga dan
tenaga kerja tetap mengalami kenaikan 2.12 persen untuk tenaga kerja dalam
keluarga dan 27.29 persen untuk tenaga kerja tetap. Biaya variabel rata-rata
mengalami penurunan dengan adanya perubahan teknologi tradsional ke semiintensif, namun untuk biaya pakan mengalami kenaikan 58.38 persen dan biaya
tenaga kerja luar keluarga mengalami kenaikan 0.84 persen.
Dilihat dari sisi penerimaan, berdasarkan data Afaf (2004) dan Ling, BH et
al (2001) dengan data ADB/NACA (1996) dengan adanya perubahan teknologi
tradisional ke semi-intensif dan intensif rata-rata mengalami kenaikan. Hal ini
disebabkan dengan adanya peningkatan padat tebar benih dan kenaikan
produktivitas lahan tambak. Namun dari penelitian Ling, BH et al (2001) dengan
data ADB/NACA (1996) tidak semua mengalami kenaikan, penelitian di
Indonesia justru mengalami penurunan di kedua teknologi semi-intensif dan
intensif, di Philipina mengalami penurunan saat tradisional diubah menjadi semiintensif, tetapi ketika semi-intensif menjadi intensif penerimaannya meningkat.
Secara teknis dengan adanya perubahan teknologi ke arah yang lebih modern akan
meningkatkan penerimaan, namun pada kondisi tertentu dapat mengalami
penurunan karena faktor eksogen seperti penyakit sehingga ikan dan udang yang

8
dibudidayakan mengalami kematian. Selain penyakit dapat juga disebabkan harga
sehingga penerimaan petani mengalami penurunan.
R/C Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional, Semi-intensif, dan
Intensif
R/C merupakan ukuran efiensi dengan membandingkan penerimaan dengan
biaya berbagai jenis usahatani. Petani sebagai seorang produsen akan memilih
nilai R/C yang tinggi untuk memanfaatkan faktor produksi yang dimiliki.
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan R/C atas biaya total semi-intensif
lebih tinggi dibanding tradisional.
Afaf (2004) menunjukkan budidaya tambak bandeng dengan teknologi
semi-intensif memiliki nilai R/C lebih tinggi dibandingkan teknologi tradisional.
Nilai R/C untuk budidaya bandeng teknologi semi-intensif sebesar 1.21,
sedangkan teknologi tradisional sebesar 1.03. Namun penelitian yang dilakukan
oleh Ling, BH et al (2001) dengan data ADB/NACA (1996) menghasilkan nilai
R/C yang berbeda-beda dimasing-masing negara. Di Philipina, India, Bangladesh,
Sri Lanka dan China perubahan teknologi dari tradisional ke semi-intensif nilai
R/C justru mengalami penurunan. Di Philipina nilai R/C tradisional sebesar 2.78
sedangkan semi-intensif sebesar 1.63 dan menurun lagi dengan teknologi intensif
sebesar 1.04, di India nilai R/C tradisional sebesar 1.63 sedangkan semi-intensif
sebesar 1.22 dan meningkat dengan teknologi intensif menjadi 1.32. Di
Bangladesh terjadi penurunan yang cukup signifikan nilai R/C dari 1.7 menjadi
0.42, di Sri Lanka nilai R/C tradisional sebesar 2.03 sedangkan semi-intensif
sebesar 1.66 dan meningkat dengan teknologi intensif menjadi 1.9. Di China nilai
R/C dari tradisional ke semi-intensif juga terjadi penurunan dari 1.88 menjadi
1.41. Namun di Indonesia dan Vietnam terjadi kenaikan nilai R/C, di Indonesia
dari 1.77 menjadi 1.81 dan Vietnam dari 0.89 menjadi 1.69. Hal ini menyebabkan
teknologi tradisional masih tetap bertahan karena manfaat yang diberikan cukup
signifikan bagi petani.

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Ektensifikasi dan Intensifikasi
Tambak merupakan kolam yang dibangun di daerah pesisir pantai untuk
mengusahakan ikan, udang dan jenis hewan lainya yang dapat dibudidayakan di
air payau (Martosudamo dan Ranoemihardjo 1992). Dalam membudidayakan
tambak terdapat tiga teknologi, yaitu tradisional/ekstensif, semi-intensif, dan
intensif. Perbedaan ketiganya dilihat dari padat tebar benih, jenis pakan dan
peralatan yang digunakan. Untuk meningkatkan produksi dapat dilakukan melalui
dua cara, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi.
Ekstensifikasi yaitu peningkatan produksi dengan cara menambah faktor
produksi alam, tenaga kerja, dan modal, seperti menambah luas lahan, menambah
jumlah tenaga kerja, menambah jumlah peralatan. Dengan mengasumsikan bahwa
lahan sebagai input tetap, maka ekstensifikasi yaitu peningkatan produksi dengan

9
cara meningkatkan luasan lahannya. Ekstensifikasi ini ditunjukkan pada
pergerakan kurva produksi yang pertama (y=f(x)1), yaitu penambahan lahan dari
x1 ke x2 akan meningkatkan produksi atau output dari y1 ke y2.
Intensifikasi yaitu peningkatan produksi tanpa menambah faktor produksi
alam (lahan) tetapi berdasarkan kemampuan faktor produksi yang ada, seperti:
menggunakan bibit unggul, menggunakan pupuk tepat waktu, perairan/irigasi
yang teratur, teknologi, dan tenaga kerja yang terampil. Dengan adanya
intensifikasi lahan mampu menggeser kurva produksi dari titik A ke C, sehingga
penggunaan lahan yang sama yaitu x1 mampu meningkatkan produksi dari y1 ke
y3.
Peningkatan produksi yang lebih tinggi dapat dilakukan dengan cara
menggabungkan ekstensifikasi dan intensifikasi. Penggabungan ekstensifikasi dan
intensifikasi akan menggeser kurva produksi dari titik B ke D, yaitu penambahan
lahan dari x1 ke x2 mampu meningkatkan produksi dari y1 ke y4. Proses
ekstensifikasi dan intensifikasi lahan dapat digambarkan pada Gambar 3 dibawah
ini.
Output (y)
y4
C

y3
y2
y1

0

D
B

y=f(x)2
y=f(x)1

A

x1

x2

Lahan (x)

Gambar 3 Pengaruh ekstensifikasi dan intensifikasi lahan terhadap produksi
Pada usaha budidaya bandeng untuk meningkatkan produksi bandeng dapat
dilakukan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. Melalui ekstensifikasi dapat
dilakukan dengan menambah luas tambak bandeng, sementara melalui
intensifikasi dengan penggunaan luas tambak yang sama produksi bandeng dapat
meningkat dengan cara peningkatan padat tebar benih bandeng, penggunaan benih
bandeng yang unggul, pemberian pakan tambahan, dan pupuk serta obat-obatan
sesuai dengan dosis yang tepat.
Keragaan Usahatani
Usahatani merupakan kegiatan produksi yang dilakukan oleh seseorang,
badan, atau organisasi untuk menghasilkan suatu output tertentu dengan
penggunaan input tetentu. Tujuan dai usahatani ini selain untuk memenuhi
kebutuhan keluarga (subsistence farm) juga memiliki tujuan utama untuk
mendapatkan keuntungan (commercial farm). Menurut Soekartawi (1986),
usahatani ialah organisasi yang didirikan secara sengaja oleh sesorang maupun

10
kelompok yang terikat geneologis, politis, maupun teritorial sebagai
pengelolaannya. Tujuan dari usahatani yaitu ingin memaksimumkan laba dan
meminimumkan biaya. Cara memaksimumkan keuntungan dilakukan dengan cara
mengalokasikan sumberdaya seoptimal mungkin agar memperoleh keuntungan
semaksimal mungkin, sedangkan konsep minimisasi biaya dilakukan dengan cara
menekan biaya sekecil-kecilnya sehingga tercapai produksi tertentu.
Keberhasilan usahatani dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari internal
maupun eksternal. Faktor internal terdiri dari petani itu sendiri sebagai pengelola,
lahan yang diusahakan petani, tenaga kerja yang digunakan, modal serta tingkat
teknologi yang dimiliki. Sedangkan faktor eksternal meliputi sarana dan prasarana,
komunikasi, fasilitas kredit, peraturan pemerintah, peran penyuluh, dan aspekaspek yang berkaitan dengan pemasaran. Selain itu, Hernanto (1996) menyatakan
terdapat empat unsur pokok faktor-faktor produksi dalam kegiatan usahatani,
yaitu:
1.
Lahan
Lahan merupakan unsur terpenting dalam melakukan kegiatan usahatani,
karena lahan ini memiliki sifat yang terbatas atau langka, dan tidak dapat
dipindah-pindahkan, namun dapat diperjual-belikan. Menurut jenisnya lahan
dibedakan menjadi kolam, tambak, sawah, perkarangan, perkebunan,
tegalan dan lain sebagainya.
2.
Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan sumberdaya manusia yang melakukan kegiatan
usahatani. Berdasarkan jenisnya tenaga kerja dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak, dan tenaga kerja mekanik.
Tenaga kerja manusia itu sendiri dibagi atas tenaga kerja pria, tenaga kerja
wanita, dan tenaga kerja anak. Sumbernya dapat dari dalam keluarga
maupun dari luar keluarga.
3.
Modal
Modal merupakan barang atau uang bersama-sama dengan faktor produksi
lain untuk menghasilkan produk pertanian. Modal menurut jenisnya
dibedakan menjadi dua jenis yaitu modal tetap dan modal tidak tetap. Modal
tetap terdiri dari bangunan, tanah. Sedangkan modal tidak tetap meliputi
alat-alat pertanian, piutang, uang tunai, tanaman, ternak, ikan dikolam. Pada
dasarnya modal ini digunakan untuk meningkatkan produktivitas usahatani.
Modal ini dapat bersumber dari modal sendiri, pinjaman, hasil sewa,
maupun warisan.
4.
Manajemen
Manajemen usahatani suatu kegiatan yang dilakukan oleh petani dalam hal
perencanaan, mengorganisir dan mengkoorganisasikan faktor-faktor
produksi, sehingga mendapatkan hasil yang diharapkan.
Pada usahatani budidaya bandeng tujuan utama yaitu untuk
memaksimumkan keuntungan pada masing-masing teknologi yang digunakan
baik melalui ekstensifikasi (teknologi tradisional) maupun intensifikasi (teknologi
semi-intensif). Untuk melihat keragaan kedua teknologi tersebut, maka dianalis
menggunakan biaya, penerimaan, keuntungan, pendapatan, dan efisiensi R/C rasio

11
Biaya Usahatani
Biaya merupakan nilai semua yang dikorbankan atau yang dikeluarkan atas
penggunaan faktor produksi untuk menghasilkan output tertentu pada waktu
tertentu. Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi biaya variabel (variable cost)
dan biaya tetap (fixed cost). Biaya variabel adalah biaya yang sifatnya dipengaruhi
oleh jumlah produksi yang dihasilkan, semakin besar produksi maka semakin
besar pula biaya variabel. Biaya variabel meliputi biaya untuk benih, pakan,
pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja. Biaya tetap adalah biaya yang sifatnya
tidak dipengaruhi oleh jumlah produksi yang dihasilkan. Contoh biaya tetap
adalah sewa tanah, biaya pajak, biaya penyusutan alat, biaya pemeliharaan, dan
iuran irigrasi (Soekartawi 2011).
Sedangkan Hernanto (1991) mengembangkan konsep biaya usahatani yang
dibedakan menjadi biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan (non tunai). Biaya
tunai usahatani adalah pengeluaran yang dikeluarkan oleh petani untuk pembelian
barang dan jasa, contoh dari biaya tunai adalah biaya pembelian benih, pupuk,
obat-obatan, pakan, dan upah tenaga luar keluarga. Sementara biaya non tunai
merupakan nilai atas pemakaian barang dan jasa yang berasal dari kegiatan
usahatani itu sendiri. Biaya non tunai dapat berupa faktor produksi yang
digunakan petani tanpa mengeluarkan uang tunai seperti sewa lahan yang
diperhitungkan atas lahan milik sendiri, penggunaan tenaga kerja keluarga,
penggunaan benih dari hasil produksi dan penyusutan dari sarana produksi.
Penerimaan Usahatani
Penerimaan merupakan hasil perkalian antara output total yang hasilkan
pada kegiatan usahatani dengan harga output tertentu (Soekartawi 1995). Output
total atau total produksi terbagi menjadi output yang dijual dan output yang tidak
dijual. Output yang tidak dijual biasanya digunakan untuk konsumsi rumah tangga
petani, dibagikan, digunakan untuk pembayaran usahatani, digunakan kembali
dalam kegiatan usahatani, dan disimpan (Soekartawi 2011). Dengan demikian
penerimaan usahatani dibagi menjadi dua, yaitu: penerimaan tunai dan
penerimaan total. Penerimaan tunai merupakan nilai yang diterima dari penjualan
produk usahatani. Sedangkan penerimaan total merupakan nilai output total baik
yang dijual maupun nilai output yang tidak dijual pada waktu tertentu.
Secara matematis penerimaan usahatani dirumuskan sebagai berikut:
TR = P x Qtot
Dimana
TR = penerimaan total usahatani
P = harga ouput
Q = output total yang dihasilkan pada kegiatan usahatani (baik output
yang dijual maupun output yang tidak dijual)
Pendapatan Usahatani dan R/C rasio
Pendapatan bersih usahatani (net farm income) merupakan selisih antara
pendapatan kotor usahatani (gross farm income) dengan pengeluaran total
usahatani (total farm expenses). Pendapatan kotor usahatani sama halnya dengan
penerimaan total usahatani baik yang dijual maupun tidak, sedangkan pengeluaran

12
total usahatani merupakan total biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani,
tetapi tidak termasuk biaya tenaga kerja dalam keluarga. Pendapatan bersih
usahatani (net farm income) mengukur imbalan atas penggunaan faktor-faktor
produksi kerja, pengelolaan, dan modal sendiri atau modal pinjaman yang
digunakan untuk usahatani (Soekartawi 1985).
Penghasilan bersih usahatani (net farm earnings) merupakan selisih antara
pendapatan bersih usahatani dengan bunga modal pinjaman. Jika petani tidak
menggunakan modal pinjaman maka nilai penghasilan bersih usahatani sama
dengan pendapatan bersih usahatani. Nilai dari perhitungan ini mengukur imbalan
atas semua sumberdaya milik petani yang digunakan dalam kegiatan usahatani
(Soekartawi 1985).
Soekartawi (1985) menyatakan bahwa dalam usahatani semi komersil
ukuran yang baik untuk penampilan usahatani adalah imbalan atas modal dan
imbalan atas tenaga kerja. Imbalan atas seluruh modal (return to total capital)
dihitung dengan mengurangkan nilai kerja keluarga dari pendapatan bersih
usahatani dan dinyatakan dalam persen terhadap nilai modal usahatani. Imbalan
atas modal petani (return to farm equaty capital) diperoleh dengan cara
mengurangkan nilai kerja keluarga dari penghasilan bersih usahatani (net farm
earnings) dan dinyatakan dalam persen terhadap nilai modal usahtani.
Imbalan kepada tenaga kerja keluarga (return to family labour) dihitung dari
penghasilan bersih usahatani dengan mengurangkan bunga modal petani yang
diperhitungkan. Ukuran imbalan ini dapat dibagi dengan jumlah tenaga kerja
keluarga untuk mendapatkan imbalan tenaga kerja tiap orang (return per man).
Nilai dari ini kemudian dibandingkan dengan upah kerja diluar usahatani.
Analisis R/C rasio yang menunjukan besar penerimaan usahatani yang akan
diperoleh petani untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan pada kegiatan
usahatani. Semakin besar nilai R/C maka semakin besar pula penerimaan
usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa kegiatan usahatani tersebut menguntungkan untuk
dilaksanakan. Sedangkan jika nilai rasio R/C sama dengan satu, maka kegiatan
usahatani memperoleh keuntungan normal.
Kerangka Pemikiran Operasional
Perkembangan teknologi semi-intensif dan intensif merupakan implikasi
dari pertumbuhan ikan bandeng yang lambat pada teknologi tradisional serta
menurunnya kualitas air sehingga bandeng tumbuh dengan bobot tidak seragam.
Lambatnya pertumbuhan ikan bandeng pada budidaya tradisional karena
bergantung pada pakan alami. Penerapan teknologi semi-intensif dan intensif
(intensifikasi lahan) ini digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ikan
bandeng dan meningkatkan produktivitas lahan tambak.
Teknologi semi-intensif dan intensif memiliki respon yang cukup positif di
negara-negara pembudidaya tambak. Sebanyak 45 persen petani di Indonesia telah
penerapan teknologi semi-intensif, namun penerapan intensif masih relatif rendah,
yakni sekitar 10 persen. Sedangkan di Thailand sebanyak 85 persen telah
menggunakan teknologi intensif. Penerapan teknologi semi-intensif juga implikasi
dari permintaan ikan bandeng yang mengalami peningkatan tiap tahunnya,
sehingga diperlukan peningkatan produksi untuk memenuhi permintaan tersebut.

13
Salah satu daerah penyumbang ikan bandeng di Indonesia adalah Propinsi
Jawa Barat. Daerah di Jawa Barat yang menyumbang cukup besar terhadap
produksi ikan bandeng adalah Kabupaten Karawang. Perkembangan tambak ikan
bandeng mendapat dukungan dari pemerintah melalui program revitalisasi tambak
untuk memperkenalkan teknologi budidaya semi-intensif dan intensif sehingga
produktivitasnya dapat meningkat. Namun, program ini hanya memiliki dampak
yang kurang nyata bagi petani, hal ini ditandai dengan petani tambak bandeng di
Kabupaten Karawang menggunakan kedua teknologi secara berdampingan. Dan
proporsi penggunaannya lebih besar pada teknologi tradisional dibanding
teknologi semi-intensif. Hal ini disebabkan untuk mengusahakan budidaya secara
semi-intensif diperlukan uang tunai lebih besar dibanding teknologi tradisional.
Sehingga petani yang tidak memiliki akses terhadap modal akan tetap
membudidayakan secara tradisional. Berjalannya kedua teknologi secara
berdampingan menimbulkan pertanyaan, sebaiknya teknologi mana yang
digunakan petani yang mampu memberikan keuntungan dan efisiensi lebih tinggi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti melihat permasalahan ini dari
sisi finansial dengan menggunakan pendekatan struktur biaya dan pendapatan.
Langkah awal yang dilakukan dengan menganalisis penggunaan faktor produksi
seperti jumlah benih yang ditebar, jumlah pakan yang digunakan, obat-obatan, dan
tenaga kerja pada budidaya tradisional dan semi-intensif. Perbedaan penggunaan
faktor produksi pada masing-masing teknologi menyebabkan perbedaan biaya
yang dikeluarkan. Setelah menganalisis struktur biaya pada masing-masing
teknologi langkah selanjutnya ialah membandingkan penerimaan yang diperoleh.
Nilai penerimaan dihasilkan dari perkalian output dengan harga output.
Langkah selanjutnya yaitu menentukan keuntungan usaha budidaya tambak.
Keuntungan dihasilkan dari pengurangan biaya total dengan penerimaan total.
Namun keuntungan ini bukan imbalan petani atas penggunaan faktor produksi
yang dimiliki. Untuk mengetahui imbalan petani atas penggunaan faktor produksi
dilakukan analasis return to labour untuk mengetahui balas jasa atas tenaga kerja
yang digunakan. Return to capital untuk mengetahui balas jasa atas penggunaan
modal.
Salah satu cara untuk menganalisis efisiensi biaya adalah dengan melihat
R/C rasio. Nilai ini menunjukkan jumlah penerimaan usahatani yang diperoleh
setiap satu satuan dan biaya yang dikeluarkan petani. Selain itu, nilai R/C rasio
juga mengindikasikan nilai ekonomi (tingkat keuntungan) suatu usahatani, karena
semakin tinggi nilai R/C rasio maka semakin besar keuntungan yang diperoleh
petani. Berdasarkan uraian di atas, dibuat kerangka pemikiran operasional yang
dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah.

14
Teknologi semi-intensif berkembang karena rendahnya produktivitas pada
teknologi tradisional yang sangat bergantung pada alam

Salah satu kabupaten yang mengembangkan teknologi budidaya tambak ialah
Kabupaten Karawang. Namun teknologi tradisional masih menjadi teknologi
yang paling diminati petani dibanding semi-intensif. Sehingga pertanyaan
teknologi mana yang memberikan keuntungan efisiensi lebih tinggi dan
mengapa kedua teknologi berjalan berdampingan?

Budidaya ikan
bandeng tradisional

Keragaan usahatani:
- Penggunaan input
- Hasil dan harga
output

Budidaya ikan
bandeng semiintensif

Struktur biaya,
penerimaan, dan
pendapatan usahatani

Efisiensi biaya:
R/C rasio

Teknologi mana yang sebaiknya digunakan
Gambar 4 Kerangka pemikiran analisis usaha budidaya tambak bandeng pada
teknologi tradisional, dan semi-intensif di Kabupaten Karawang

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan Kacamatan Tirtajaya yang merupakan salah satu
kecamatan yang ada di Kabupaten Karawang. Kecamatan Tirtajaya dipilih secara
sengaja (purposive) karena kecamatan ini merupakan sentra produksi di
Kabupaten Karawang. Produksi bandeng di Kecamatan Tirtajaya sebesar 30
persen dari produksi bandeng di Kabupaten Karawang pada tahun 2013
(Lampiran 5). Selain sentra produksi Kabupaten Karawang juga menerapkan

15
kedua teknologi budidaya bandeng, sehingga mampu menjawab pertanyaan
penelitian. Penelitian dilakukan selama bulan Februari 2015.
Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel
Jenis data dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui observasi langsung di lapangan dan wawancara
langsung dengan responden petambak ikan bandeng dengan menggunakan
susunan pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya dalam bentuk kuesioner.
Data primer pada penelitian, mencakup karakteristik responden, keragaan usaha
budidaya tambak ikan bandeng, seperti teknis budidaya, jumlah yang produksi,
harga output, penggunaan input untuk menghitung biaya yang dikeluarkan serta
informasi lainnya yang berguna untuk menunjang penelitian ini.
Data sekunder merupakan data pelengkap dari data primer yang bersumber
dari literatur-literatur yang relevan. Data sekunder diperoleh dari catatan-catatan
serta dokumentasi dari pihak atau instansi yang terkait, seperti: Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Badan Pusat Statistik, Dinas Kelautan dan Perikanan
Jawa Barat dan Badan Pusat Statistik setempat. Selain itu, dilakukan juga
penelusuran melalui internet, buku serta penelitian-penelitian sebelumnya yang
dapat dijadikan sebagai bahan rujukan yang berhubungan dengan penelitian yang
di