Performa Autotriploid Dan Allotriploid Ikan Patin Siam Pangasianodon Hypophthalmus X Patin Jambal Pangasius Djambal
PERFORMA AUTOTRIPLOID DAN ALLOTRIPLOID IKAN PATIN SIAM
Pangasianodon hypophthalmus x PATIN JAMBAL Pangasius djambal
YUSRAN IBRAHIM
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Performa Autotriploid dan Allotriploid
Ikan Patin Siam Pangasianodon hypophthalmus x Patin Jambal Pangasius djambal
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian
Bogor.
Bogor, November 2016
Yusran Ibrahim
NIM C151140271
RINGKASAN
YUSRAN IBRAHIM. Performa Autotriploid dan Allotriploid Ikan Patin Siam
Pangasianodon hypophthalmus x Patin Jambal Pangasius djambal. Dibimbing oleh
DINAR TRI SOELISTYOWATI dan ODANG CARMAN.
Industri filet ikan patin terus dikembangkan karena permintaan pasar yang terus
meningkat, baik pasar lokal maupun luar negeri. Dalam beberapa tahun terakhir produksi
ikan patin dihadapkan dengan masalah inefficiency karena tingginya biaya operasional
yang tidak sebanding dengan harga jual yang salah satunya diakibatkan oleh lambatnya
pertumbuhan. Hal tersebut dapat memengaruhi produksi ikan patin yang berdampak juga
pada industri filet. Upaya untuk memperbaiki pertumbuhan ikan patin diantaranya adalah
hibridisasi dan rekayasa set kromosom.
Induk ikan patin siam yang digunakan berumur 2-2,5 tahun dengan bobot jantan
rata-rata 2 kg, betina rata-rata 3 kg, sedangkan patin jambal jantan berumur 1,5-2 tahun
dengan rata-rata bobot 1,5 kg. Pemijahan ikan dilakukan secara buatan. Ikan betina yang
sudah matang gonad disuntik menggunakan hormon Human Chorionic Gonadotropin
(hCG) 500 IU per kg bobot tubuh, berselang 24 jam dilakukan penyuntikan kedua dengan
menggunakan hormon GnRHa + anti dopamin (Ovaprim) 0,6 ml per kg bobot tubuh.
Induk jantan disuntik satu kali dengan menggunakan Ovaprim 0,3 ml per kg bobot tubuh,
kemudian ikan di-stripping setelah 8-10 jam. Telur yang sudah dibuahi kemudian
dilakukan pencucian dengan suspensi tanah agar tidak saling melekat. Selanjutnya
dilakukan induksi triploidisasi dengan metode kejut suhu panas (heat shock) dua menit
setelah fertilisasi pada suhu 42 °C selama dua menit di dalam boks styrofoam berukuran
40×20×10 cm3. Autotriploid dibuat dengan mengejut zigot patin siam, sedangkan
allotriploid dibuat dengan mengejut zigot dari telur patin siam yang dibuahi sperma patin
jambal (hibrida). Telur diinkubasi dalam corong penetasan (hatching jar) dengan suhu
28-29 °C. Derajat pembuahan (DPh) dan derajat penetasan (DPt) diamati masing-masing
pada jam ke 6 dan 24 setelah fertilisasi. Larva dipelihara secara indoor dalam bak fiber
ukuran 3×1×0,4 m3 selama tiga bulan dengan kepadatan 450 ekor per fiber.
Identifikasi ploidi (diploid dan triploid) dilakukan dengan penghitungan nukleolus
(Howell dan Black 1980) yang dikonfirmasi dengan penghitungan kromosom (Kligerman
dan Bloom 1977). Preparasi kromosom dilakukan pada ikan berumur dua minggu,
sedangkan preparasi nukleolus dilakukan setelah ikan berumur 3 bulan. Sebelum
memasuki fase pembesaran, ikan di-screening untuk memisahkan diploid dan triploid,
kemudian dipelihara secara terpisah dalam jaring apung ukuran 1×1×0.8 m3 dengan
kepadatan 30 ekor per jaring selama tiga bulan, dan dilanjutkan pemeliharaan dalam
jaring apung ukuran 2×1×0,8 m3 selama tiga bulan. Selanjutnya, kelompok diploid (SS),
autotriploid (SSS), diploid hibrid (SJ) dan allotriploid (SSJ) di-tagging dengan passive
integrated transponder (TN Pocket Tracker) dan dipelihara secara soliter dan komunal
dalam jaring apung ukuran 2,5×2×0,8 m3 selama dua bulan untuk mengamati performa
dan perkembangan gonad. Padat tebar pada pemeliharaan secara soliter yaitu 5 ekor per
jaring, sedangkan pemeliharaan secara komunal dilakukan dengan menggabungkan
masing-masing 5 ekor ikan dari kelompok SS, SSS, SJ dan SSJ dalam wadah yang sama.
Hasil penelitian menunjukkan derajat pembuahan (DPh) tidak berbeda nyata antar
perlakuan (p>0,05). Sedangkan derajat penetasan (DPt) menunjukkan perbedaan yang
nyata antar perlakuan (p0,05). Sedangkan pemeliharaan secara komunal menunjukkan laju pertumbuhan
berbeda nyata antar perlakuan (p0.05). While hatching rate (HR) showed significant differences
between heat shocked and non shocked groups (p0.05), but in communal rearing showed that the specific growth rate
(SGR) of SS was highest and significantly different with other groups (p0.05) but higher than SSS (p0,05). Persentase DPh kelompok SS, SSS, SJ dan SSJ masing-masing
97,69±1,8, 97,17±0,89, 98,03±0,82 dan 98,79±0,63%. Sedangkan derajat
penetasan (DPt) menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P
Pangasianodon hypophthalmus x PATIN JAMBAL Pangasius djambal
YUSRAN IBRAHIM
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Performa Autotriploid dan Allotriploid
Ikan Patin Siam Pangasianodon hypophthalmus x Patin Jambal Pangasius djambal
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian
Bogor.
Bogor, November 2016
Yusran Ibrahim
NIM C151140271
RINGKASAN
YUSRAN IBRAHIM. Performa Autotriploid dan Allotriploid Ikan Patin Siam
Pangasianodon hypophthalmus x Patin Jambal Pangasius djambal. Dibimbing oleh
DINAR TRI SOELISTYOWATI dan ODANG CARMAN.
Industri filet ikan patin terus dikembangkan karena permintaan pasar yang terus
meningkat, baik pasar lokal maupun luar negeri. Dalam beberapa tahun terakhir produksi
ikan patin dihadapkan dengan masalah inefficiency karena tingginya biaya operasional
yang tidak sebanding dengan harga jual yang salah satunya diakibatkan oleh lambatnya
pertumbuhan. Hal tersebut dapat memengaruhi produksi ikan patin yang berdampak juga
pada industri filet. Upaya untuk memperbaiki pertumbuhan ikan patin diantaranya adalah
hibridisasi dan rekayasa set kromosom.
Induk ikan patin siam yang digunakan berumur 2-2,5 tahun dengan bobot jantan
rata-rata 2 kg, betina rata-rata 3 kg, sedangkan patin jambal jantan berumur 1,5-2 tahun
dengan rata-rata bobot 1,5 kg. Pemijahan ikan dilakukan secara buatan. Ikan betina yang
sudah matang gonad disuntik menggunakan hormon Human Chorionic Gonadotropin
(hCG) 500 IU per kg bobot tubuh, berselang 24 jam dilakukan penyuntikan kedua dengan
menggunakan hormon GnRHa + anti dopamin (Ovaprim) 0,6 ml per kg bobot tubuh.
Induk jantan disuntik satu kali dengan menggunakan Ovaprim 0,3 ml per kg bobot tubuh,
kemudian ikan di-stripping setelah 8-10 jam. Telur yang sudah dibuahi kemudian
dilakukan pencucian dengan suspensi tanah agar tidak saling melekat. Selanjutnya
dilakukan induksi triploidisasi dengan metode kejut suhu panas (heat shock) dua menit
setelah fertilisasi pada suhu 42 °C selama dua menit di dalam boks styrofoam berukuran
40×20×10 cm3. Autotriploid dibuat dengan mengejut zigot patin siam, sedangkan
allotriploid dibuat dengan mengejut zigot dari telur patin siam yang dibuahi sperma patin
jambal (hibrida). Telur diinkubasi dalam corong penetasan (hatching jar) dengan suhu
28-29 °C. Derajat pembuahan (DPh) dan derajat penetasan (DPt) diamati masing-masing
pada jam ke 6 dan 24 setelah fertilisasi. Larva dipelihara secara indoor dalam bak fiber
ukuran 3×1×0,4 m3 selama tiga bulan dengan kepadatan 450 ekor per fiber.
Identifikasi ploidi (diploid dan triploid) dilakukan dengan penghitungan nukleolus
(Howell dan Black 1980) yang dikonfirmasi dengan penghitungan kromosom (Kligerman
dan Bloom 1977). Preparasi kromosom dilakukan pada ikan berumur dua minggu,
sedangkan preparasi nukleolus dilakukan setelah ikan berumur 3 bulan. Sebelum
memasuki fase pembesaran, ikan di-screening untuk memisahkan diploid dan triploid,
kemudian dipelihara secara terpisah dalam jaring apung ukuran 1×1×0.8 m3 dengan
kepadatan 30 ekor per jaring selama tiga bulan, dan dilanjutkan pemeliharaan dalam
jaring apung ukuran 2×1×0,8 m3 selama tiga bulan. Selanjutnya, kelompok diploid (SS),
autotriploid (SSS), diploid hibrid (SJ) dan allotriploid (SSJ) di-tagging dengan passive
integrated transponder (TN Pocket Tracker) dan dipelihara secara soliter dan komunal
dalam jaring apung ukuran 2,5×2×0,8 m3 selama dua bulan untuk mengamati performa
dan perkembangan gonad. Padat tebar pada pemeliharaan secara soliter yaitu 5 ekor per
jaring, sedangkan pemeliharaan secara komunal dilakukan dengan menggabungkan
masing-masing 5 ekor ikan dari kelompok SS, SSS, SJ dan SSJ dalam wadah yang sama.
Hasil penelitian menunjukkan derajat pembuahan (DPh) tidak berbeda nyata antar
perlakuan (p>0,05). Sedangkan derajat penetasan (DPt) menunjukkan perbedaan yang
nyata antar perlakuan (p0,05). Sedangkan pemeliharaan secara komunal menunjukkan laju pertumbuhan
berbeda nyata antar perlakuan (p0.05). While hatching rate (HR) showed significant differences
between heat shocked and non shocked groups (p0.05), but in communal rearing showed that the specific growth rate
(SGR) of SS was highest and significantly different with other groups (p0.05) but higher than SSS (p0,05). Persentase DPh kelompok SS, SSS, SJ dan SSJ masing-masing
97,69±1,8, 97,17±0,89, 98,03±0,82 dan 98,79±0,63%. Sedangkan derajat
penetasan (DPt) menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P