Ekstraksi Dan Formulasi Ekstrak Buah Bakau Hitam Sebagai Minuman Fungsional

EKSTRAKSI DAN FORMULASI EKSTRAK BUAH BAKAU
HITAM SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL

FITRIANY PODUNGGE

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Ekstraksi dan
Formulasi Ekstrak Buah Bakau Hitam sebagai Minuman Fungsional adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016

Fitriany Podungge
NIM C351120251

RINGKASAN
FITRIANY PODUNGGE. Ekstraksi dan Formulasi Ekstrak Buah Bakau Hitam
sebagai Minuman Fungsional. Dibimbing oleh SRI PURWANINGSIH dan
TATI NURHAYATI.
Buah bakau hitam (R. mucronata) terdiri atas kotiledon dan hipokotil yang
banyak mengandung senyawa bioaktif. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
morfometrik, komposisi proksimat, kandungan serat buah bakau, karakteristik
kimia ekstrak buah bakau, dan menentukan formulasi minuman terbaik berdasarkan
karakteristik fisikokimia dan uji sensori. Kotiledon dan hipokotil buah bakau
diekstrak secara terpisah untuk mengetahui aktivitas antioksidan tertinggi dari
setiap bagian tersebut. Kapasitas antioksidan sirup ekstrak buah bakau ditentukan
untuk memanfaatkan ekstrak tersebut sebagai minuman fungsional.
Buah bakau hitam memiliki panjang rata-rata 66.75±3.64 cm dan berat
rata-rata 110.40±10.84 g, serta mengandung 61.06±1.35% air, 0.99±0.03% abu,
1.78±0.26% protein, 1.49±0.14% lemak, 34.68±1.27% karbohidrat (by difference).

Karbohidrat buah bakau diantaranya terdiri atas 6.21±0.47 g/100g bb serat makanan
larut dan 74.42±1.87 g/100g bb serat makanan tidak larut. Hasil ekstraksi kotiledon
bakau rebus menggunakan metanol memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50
13.56 ppm sedangkan hasil ekstraksi kotiledon bakau segar menggunakan metanol
memiliki nilai IC50 32.57 ppm. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa dalam
ekstrak metanol kotiledon maupun hipokotil bakau terdeteksi adanya flavonoid,
steroid, tanin, saponin, dan hidrokuinon.
Ekstrak air buah bakau memiliki aktivitas antioksidan yang lebih kuat
daripada ekstrak metanol kotiledon dan hipokotil bakau. Ekstrak air buah bakau
yang dihasilkan melalui proses perebusan selama 30 menit memiliki aktivitas
antioksidan terkuat dengan nilai IC50 15.07 ppm dan kandungan total fenol tertinggi
yaitu 74.7 mgGAE/g. Tingkat kesukaan konsumen terhadap sirup ekstrak air buah
bakau tertinggi berdasarkan parameter kekentalan terdapat pada formula sirup yang
ditambahkan karagenan dengan konsentrasi 0.8%. Formula sirup tersebut memiliki
kadar antioksidan 1.34 ppm dan kapasitas antioksidan 21.71 ppm AEAC (Ascorbic
acid Equivalent Antioxidant Capacity). Potensi buah bakau hitam sebagai minuman
fungsional sumber antioksidan berkaitan dengan adanya senyawa bioaktif
flavonoid, hidrokuinon, triterpenoid, tanin, dan saponin dalam ekstrak air buah
bakau.
Kata kunci: buah bakau, kapasitas antioksidan, serat makanan, toksisitas


SUMMARY
FITRIANY PODUNGGE. Extraction and Formulation the Extract of Black
Mangrove Fruit as Functional Drink. Supervised by SRI PURWANINGSIH and
TATI NURHAYATI.
The fruit of black mangrove (R. mucronata) consists of cotyledons and
hypocotyls that contain many bioactive compounds. This study aims to determine
the morphometric, proximate composition, fiber content of the fruit, the chemical
characteristics of the fruit extracts, and the best beverage formulations based on the
physicochemical characteristics and sensory testing. Cotyledons and hypocotyls
mangrove fruit was extracted separately to determine the highest antioxidant
activity. Antioxidant capacity of the mangrove fruit syrup extracts is determined to
take advantage of the extract as a functional drink.
Black mangrove fruit has an average length of 66.75±3.64 cm and an average
weight of 110.40±10.84 g, contains 61.06±1.35% water, 0.99±0.03% ash,
1.78±0.26% protein, and 1.49±0.14% fat, 34.68±1.27% carbohydrate
(by difference). The carbohydrate of black mangrove fruit consist of
6.21±0.47 g/100g wb of soluble dietary fiber and 74.42±1.87 g/100g wb of
insoluble dietary fiber. The yield of methanol extraction of boiled black mangrove
cotyledons had higher antioxidant activity with the IC50 value 13,56 ppm and the

yield of methanol extraction of fresh black mangrove cotyledons with the IC50 value
32,57 ppm. Phytochemical test results showed that the methanol extract of
cotyledons and hypocotyls mangrove contain flavonoids, steroids, tannins,
saponins, and hydroquinone.
The aqueous extract of black mangrove fruit has stronger antioxidant activity
than the methanol extract of cotyledons and hypocotyls mangroves. The aqueous
extract produced by boiling the fruit in the water for 30 minutes has a strongest
antioxidant activity and higher total phenolic content than the others. That extract
has 15.07 ppm of IC50 value of antioxidant activity and 74.7 mgGAE/g of total
phenolic content. The level of consumer preferences of the syrup of black mangrove
aqueous fruit extract based on viscosity parameters present in syrup formula which
contained 0.8 % of carrageenan. The syrup formula has 1.34 ppm of antioxidant
content and 21.71 ppm AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity) of
antioxidant capacity. The potency of black mangrove fruit as functional drink as a
source of antioxidant related to the bioactive compounds of its such as flavonoid,
hydroquinone, triterpenoid, tannin, and saponin.
Keywords: antioxidant capacity, dietary fiber, mangrove fruit, toxicity

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EKSTRAKSI DAN FORMULASI EKSTRAK BUAH BAKAU
HITAM SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL

FITRIANY PODUNGGE

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS

Judul Tesis : Ekstraksi dan Formulasi Ekstrak Buah Bakau Hitam sebagai
Minuman Fungsional
Nama
: Fitriany Podungge
NIM
: C351120251

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Sri Purwaningsih, MSi
Ketua

Dr Tati Nurhayati, SPi, MSi
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Hasil Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Wini Trilaksani, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 18 Januari 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan
tesis dengan judul Ekstraksi dan Formulasi Ekstrak Buah Bakau Hitam

sebagai Minuman Fungsional. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Teknologi Hasil Perairan,
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih
kepada seluruh pihak yang sangat membantu dalam proses penyelesaian tesis ini
terutama kepada :
1. Dr Ir Sri Purwaningsih, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing yang senantiasa
memberikan arahan dan motivasi dengan penuh kesabaran.
2. Dr Tati Nurhayati S.Pi, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing yang telah
mencurahkan waktu dalam memberikan masukan dan dukungan.
3. Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS sebagai dosen penguji yang telah memberikan
ilmu dalam bentuk saran dan kritik yang membangun.
4. Dr Ir Wini Trilaksani, MSc sebagai ketua Program Studi Teknologi Hasil
Perairan atas perhatian dan kesediaan waktu untuk mengarahkan dan
memotivasi penulis selama menjalani perkuliahan dan menuntaskan tesis.
5. Bapak Rachman Podungge, Ibu Djuaria Djakatara, Yan Yonathan Rotinsulu,
Fatmawaty Podungge, Mariyati Podungge, Zulkifli Podungge, dan
Anggraini Podungge yang selalu menguatkan penulis untuk menyelesaikan
pendidikan magister.
6. Bapak Ir Pitoyo Subandrio, Dipl.HE, Ibu Dra Rini Damayanti, dan Ibu Widji
Lestari Kahardja atas perhatian yang telah diberikan selama penulis berada

di Bogor.
7. Dosen dan Staf Pegawai Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah
memberikan ilmu dan informasi yang bermanfaat kepada penulis selama
menempuh pendidikan di IPB.
8. Sahabat, teman-teman, dan kerabat yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak dalam melengkapi
kekurangan tesis ini. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi seluruh civitas
akademika IPB dan masyarakat Indonesia.
Bogor, April 2016

Fitriany Podungge

2

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR


x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Prosedur Penelitian

Karakteristik buah bakau
Karakteristik ekstrak buah bakau
Karakteristik sirup ekstrak air buah bakau
Analisis Data
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Ekstrak Metanol Buah Bakau
Karakteristik Ekstrak Air Buah Bakau
Karakteristik Sirup Ekstrak Air Buah Bakau
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

1
2
2
3
3
3
3
3
4
4
8
12
13
14
17
21
25
30
30
30

DAFTAR PUSTAKA

30

LAMPIRAN

37

RIWAYAT HIDUP

54

3

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Morfometrik buah bakau
Komposisi kimia buah bakau
Senyawa bioaktif ekstrak metanol buah bakau
Senyawa bioaktif ekstrak air buah bakau

15
16
20
24

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Tahapan penelitian
Diagram alir pembuatan ekstrak metanol buah bakau
Diagram alir pembuatan ekstrak air buah bakau
Buah bakau (Rhizophora mucronata)
Rendemen ekstrak metanol buah bakau
Ekstrak metanol buah bakau
Toksisitas ekstrak metanol buah bakau
Aktivitas antioksidan ekstrak metanol buah bakau
Rendemen ekstrak air buah bakau
Toksisitas ekstrak air buah bakau
Nilai IC50 ekstrak buah bakau
Kandungan total fenol ekstrak air buah bakau
Fisikokimia sirup ekstrak air buah bakau
Nilai sensori sirup ekstrak air buah bakau
Kadar dan kapasitas antioksidan larutan ekstrak air buah bakau

5
8
9
14
17
18
19
20
21
22
23
24
26
27
28

4

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil uji normalitas data morfometrik buah bakau menggunakan
uji satu sampel Kolmogorov-Smirnov
2 Perhitungan rata-rata komposisi kimia buah bakau
3 Perhitungan rata-rata serat makanan dalam buah bakau segar
4 Hasil analisis statistik rendemen ekstrak metanol buah bakau
5 Hasil analisis statistik toksisitas ekstrak metanol buah bakau
6 Hasil analisis statistik aktivitas antioksidan ekstrak metanol buah bakau
7 Hasil analisis statistik rendemen ekstrak air buah bakau
8 Hasil analisis statistik toksisitas ekstrak air buah bakau
9 Hasil analisis statistik aktivitas antioksidan ekstrak air buah bakau
10 Hasil analisis statistik total fenol ekstrak air buah bakau
11 Hasil analisis statistik fisikokimia sirup ekstrak air buah bakau
12 Lembar penilaian uji sensori
13 Hasil analisis statistik tingkat kesukaan konsumen terhadap sirup ekstrak
air buah bakau
14 Hasil analisis statistik kadar antioksidan sirup ekstrak buah bakau
15 Kromatogram standar BHT dan sirup ekstrak air buah bakau
16 Contoh perhitungan kadar dan kapasitas antioksidan

37
37
38
39
40
40
43
44
44
46
47
49
50
50
51
53

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai
atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove
lebih dikenal dengan nama hutan bakau. Bakau adalah nama lokal dari spesies
Rhizophora mucronata. Ketersediaaan bakau di perairan Indonesia mendominasi
jenis tanaman yang terdapat di hutan mangrove. Alik et al. (2013) menyatakan
bahwa pola penyebaran individu jenis mangrove umumnya berpola seragam dan
satu spesies berpola acak yang menunjukkan adanya tingkat persaingan dalam
memanfaatkan sumber daya lingkungan. Spesies yang ditemukan menyebar paling
dominan adalah R. mucronata. Spesies tersebut tumbuh berasosiasi dengan spesies
Avicennia alba, A. lanata, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata,
R. mucronata, Sonneratia alba, dan S. caseolaris.
Buah bakau (R. mucronata) di Indonesia dikenal dengan nama bakau hitam,
bakau kurap, dan bakau jangkar. Tumbuhan tersebut dikategorikan sebagai tanaman
pantai. Buah bakau hitam berasal dari pohon dengan akar tunggang yang memiliki
banyak akar lateral. Pohon bakau tumbuh pada pantai-pantai tropis dari Afrika
Timur ke Madagaskar, pulau-pulau di Samudera Hindia, daratan Asia Tenggara
termasuk Indonesia dan Filipina, Timur laut Australia dan Kepulauan Pasifik
Selatan (PROSEA 2013).
Provinsi Gorontalo mempunyai kawasan mangrove yang luas salah satunya
terdapat di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara,
Provinsi Gorontalo. Baderan (2013) melaporkan bahwa nilai ekonomi yang
bersumber dari fungsi ekologis hutan mangrove tersebut mencapai 61.7%. Fungsi
ekologis merupakan nilai guna tidak langsung yang menggambarkan fungsi hutan
sebagai penahan intrusi dan gelombang, pengendali banjir, dan sebagai kawasan
yang menyediakan pakan untuk organisme yang hidup dalam hutan mangrove.
Bunyapraphatsara et al. (2002) menemukan bahwa buah bakau mengandung
kalsium dan serat makanan yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sayur.
Ekstrak daun tumbuhan bakau telah diteliti oleh Arumugam et al. (2014)
mengandung alkaloid, terpenoid, steroid, tanin, kuinon, saponin, flavonoid, dan
fenol. Joel dan Bhimba (2010) menyatakan bahwa ekstrak daun bakau juga
memiliki aktivitas antibakteri. Hasil penelitian Tarman et al. (2013a) menunjukkan
bahwa kapang endofit yang diisolasi dari daun mangrove R. mucronata memiliki
daya hambat 18.5±3.32 mm terhadap bakteri penyebab diare.
Tumbuhan bakau juga memiliki manfaat untuk kesehatan manusia.
Ravikumar dan Gnanadesigan (2012) menyatakan bahwa ekstrak akar bakau dapat
digunakan sebagai hepatoprotektif, obat herbal alternatif untuk menangani
kerusakan hati. Menurut Lawag et al. (2012), kulit pohon bakau yang diekstrak
menggunakan air dan etanol dapat digunakan untuk menyembuhkan diabetes
karena dapat menghambat enzim α-glukosidase dengan nilai IC50 0.08±1.82 µg/ml.
Hasil penelitian Das et al. (2008) menunjukkan bahwa terdapat senyawa
triterpenoid, flavonoid, sterol, tanin dan fenol dalam ekstrak metanol kulit kayu
R. mucronata bertindak sinergis sehingga saling menguatkan efek terapi sebagai
obat antidiare.

2
Hasil penelitian Purwaningsih et al. (2013) menunjukkan bahwa ekstrak
etanol hipokotil bakau yang berasal dari hutan mangrove Pulau Seribu, Jakarta
memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat dengan nilai IC50 0.72 ppm.
Widadi et al. (2014) telah meneliti ekstrak etanol hipokotil bakau yang diolah
menjadi sirup tidak menunjukkan efek toksisitas subakut pada tikus percobaan
Sprague Dawley. Penelitian terkait kandungan antioksidan buah bakau yang
diaplikasikan sebagai minuman fungsional masih sangat terbatas.
Penelitian terkait karakterisasi dan ekstraksi untuk mengkaji stabilitas
antioksidan buah bakau yang berasal dari hutan mangrove Kwandang, Gorontalo
Utara belum pernah dilakukan. Eksplorasi kandungan antioksidan buah bakau
diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk meningkatkan
nilai guna buah tersebut. Pemanfaatan buah bakau sebagai sumber antioksidan
dapat dilakukan dengan mengolah buah tersebut menjadi minuman fungsional.
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sirup dari ekstrak air buah bakau yang
mengandung antioksidan sebagai minuman fungsional. Pangan fungsional sesuai
dengan peraturan kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
nomor HK.03.1.23.11.11.09909 tahun 2011 yaitu pangan olahan yang mengandung
satu atau lebih komponen pangan yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai
fungsi fisiologis tertentu diluar fungsi dasarnya dan terbukti tidak membahayakan
dan bermanfaat bagi kesehatan.
Perumusan Masalah
Penelitian ini dilakukan untuk dapat meningkatkan nilai guna buah bakau
melalui proses pengolahan yang tepat. Pemanfaatan buah bakau selama ini terbatas
pada penggunaan hipokotil bakau sehingga bagian lainnya yaitu kotiledon tidak
termanfaatkan. Pemisahan bagian buah bakau dilanjutkan dengan proses ekstraksi
dan analisis meliputi uji toksisitas, fitokimia, dan aktivitas antioksidan bertujuan
untuk mengetahui potensi dari setiap bagian tersebut. Ekstraksi menggunakan
pelarut polar karena mampu mengekstrak senyawa bioaktif yang terdapat dalam
hipokotil bakau. Penggunaan air sebagai pelarut bertujuan untuk menghasilkan
minuman fungsional sumber antioksidan yang aman dikonsumsi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menentukan morfometrik, komposisi
proksimat, dan kandungan serat buah bakau, (2) menentukan rendemen, toksisitas,
aktivitas antioksidan, komponen bioaktif dan kandungan fenol yang terdapat dalam
ekstrak buah bakau, (3) menentukan formulasi minuman terbaik berdasarkan
karakteristik fisikokimia dan uji sensori, serta (4) menentukan kadar dan kapasitas
antioksidan formula minuman terpilih.

3
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi terkait karakteristik
buah dan ekstrak buah bakau hitam, serta meningkatkan nilai guna buah bakau
hitam melalui proses pembuatan minuman fungsional.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan berdasarkan tujuan yang akan dicapai, dengan
lingkup penelitian sebagai berikut:
1) Karakterisasi morfometrik, komposisi proksimat yang meliputi kadar air, abu,
lemak, protein, dan karbohidrat, serta kandungan serat yang meliputi serat larut
air, dan serat tidak larut air yang terdapat dalam buah bakau hitam.
2) Penentuan toksisitas (LC50) ekstrak buah bakau hitam terhadap tingkat
mortalitas telur udang Artemia salina.
3) Penentuan komponen bioaktif ekstrak buah bakau meliputi alkaloid, flavonoid,
hidroquinon, steroid, triterpenoid, tanin, dan saponin ekstrak buah bakau hitam.
4) Penentuan karakteristik fisikokimia minuman ekstrak buah bakau hitam meliputi
pH dan viskositas
5) Penentuan formulasi minuman terbaik berdasarkan uji sensori berdasarkan
tingkat kesukaan meliputi parameter warna, aroma, rasa, dan kekentalan
minuman ekstrak buah bakau hitam
6) Penentuan kadar antioksidan formula minuman ekstrak buah bakau hitam
menggunakan sistem kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) dan penentuan
kapasitas antioksidan berdasarkan kemampuan penghambatan radikal bebas
menggunakan uji DPPH.

2 METODE
Waktu dan tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014 sampai dengan bulan
Maret 2015. Pengambilan sampel dilakukan di Desa Katialada, Kecamatan
Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara. Sampel diidentifikasi di laboratorium
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong. Penentuan morfometrik
dilakukan di laboratorium Karakteristik dan Bahan Baku Hasil Perairan. Analisis
buah bakau dilakukan di laboratorium Biokimia Hasil Perairan, laboratorium Bahan
Baku Hasil Perairan, laboratorium Gizi Masyarakat, dan laboratorium Biofarmaka
IPB.
Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu buah bakau
(R. mucronata), ekstrak metanol dan ekstrak air buah bakau, gula pasir, karagenan,
air laut, telur udang Artemia salina, etanol 95%, reagen Folin-Ciocalteau 50%,
Na2CO3 5%, asam galat, metanol pro analysis (E. Merck), H3BO3 2%, indikator

4
bromcherol green-methyl red, HCl 0,10 N, buffer phosphat, HCl 2 N, etanol 70%,
FeCl3 5%, HCl 37%, etanol 95%, enzim thermamil, 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl
(DPPH), vitamin C, butylated hydroxytoluene (BHT), akuades, dan asetonitril.
Alat yang digunakan yaitu kertas saring Whatman 40, kompor listrik
Maspion, timbangan digital Sartorius, Hermle centrifuge Z383K, Spektrofotometer
UV-Visible, Epoch microplate spectrophotometer, pipet Eppendorf, pipet Acura
821, erlenmeyer, gelas piala, allumunium foil, lampu TL 40 watt, labu takar,
timbangan digital Sartorius, soxhlet, labu Kjeldahl, cawan porselen, desikator,
oven, tanur, dan Wiseshake® SHO-1D Orbital shaker, microwell plate, pH meter
EUTECH, membran PTFE 0,45 µm, viskometer TV-10 Toki Sangyo CO.LTD,
Spektrofotometer Uv-Vis, dan CTO-20A Shimadzu High Performance Liquid
Chromatography (HPLC).
Prosedur Penelitian
Penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu (1) menentukan karakteristik
buah bakau, (2) menentukan karakteristik ekstrak metanol kotiledon dan hipokotil
bakau, (3) menentukan karakteristik ekstrak air buah bakau, dan (4) menganalisis
ekstrak air buah bakau sebagai minuman fungsional sumber antioksidan dalam
bentuk sirup. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Sampel buah bakau yang telah diambil dari Desa Katialada, dikemas dalam
kardus kemudian ditransportasikan ke laboratorium Biokimia Hasil Perairan.
Sampel segar digunakan untuk mengukur morfometrik, menganalisis komposisi
kimia dan menentukan serat makanan yang terdapat dalam buah bakau. Sampel
yang diekstrak menggunakan metanol terlebih dahulu dipisahkan menjadi dua
bagian yaitu kotiledon dan hipokotil. Sampel yang diekstrak menggunakan air tidak
dipisahkan menjadi dua bagian.
Karakteristik Buah Bakau
Pengukuran morfometrik
Penentuan panjang dan berat 30 buah bakau dilakukan sebanyak 3 kali
ulangan. Diameter buah bakau tidak ditentukan karena buah bakau memiliki bentuk
yang lonjong.
Komposisi kimia
Komposisi kimia buah bakau yang dianalisis yaitu proksimat dan serat
makanan. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar abu,
protein, dan lemak dengan mengacu pada metode AOAC (2005). Analisis serat
makanan meliputi serat makanan total, serat makanan larut dan tidak larut air yang
mengacu pada metode Asp et al. (1983).
Kadar air
Proses analisis diawali dengan mengeringkan cawan porselen kosong dalam
oven selama 15 menit. Cawan tersebut didinginkan dalam desikator selama 20
menit selanjutnya ditimbang. Sampel buah bakau (5 g) dimasukkan ke dalam cawan
lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC. Tekanan yang digunakan tidak lebih

5
Analisis:
- Morfometrik
- Komposisi kimia
- Kandungan serat

Buah bakau

Pemisahan buah
bakau

Ekstraksi air
(30, 45, & 60 menit)
Ekstrak air

Hipokotil

Kotiledon

Ekstraksi metanol 48 jam

Analisis:
- rendemen
- toksisitas
- antioksidan
- fitokimia
- total fenol

Pemilihan ekstrak
terbaik

Pembuatan sirup
Sirup

Karakterisasi
sirup:
- pH
- viskositas

Pemilihan sirup
Sirup

Analisis:
- Kadar
antioksidan
- Kapasitas
antioksidan

Analisis:
- rendemen
- toksisitas
- aktivitas antioksidan
- fitokimia

Ekstrak metanol

Gambar 1 Tahapan penelitian.
dari 100 mmHg. Proses pengovenan dilakukan selama lima jam atau sampai
beratnya konstan. Cawan berisi sampel yang telah dioven didinginkan dalam
desikator, lalu ditimbang.
Kadar air % =

Keterangan :

B-C
x
B-A

%

A = berat cawan kosong (g)
B = berat cawan + sampel awal (g)
C = berat cawan + sampel kering (g)

6
Kadar abu
Cawan pengabuan dikeringkan dalam oven selama satu jam pada suhu
105oC selanjutnya didinginkan selama 15 menit dalam desikator lalu ditimbang.
Sampel sebanyak lima gram dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan
di atas kompor listrik. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam tanur pengabuan
selama enam jam pada suhu 400oC. Perhitungan kadar abu dihitung dengan
menggunakan rumus berikut:
Berat abu (g)= berat sampel dan cawan akhir (g) – berat cawan kosong (g)
Kadar abu % =

berat abu g
x 100%
berat sampel g

Kadar lemak
Analisis lemak dilakukan menggunakan metode Sokhlet. Labu lemak
dikeringkan dalam oven, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Satu
gram sampel ditimbang menggunakan saringan timbel sesuai ukurannya kemudian
ditutup dengan kapas yang bebas lemak. Timbel berisi sampel diletakkan dalam alat
ekstraksi sokhlet kemudian alat kondensor dipasang di atasnya dan labu lemak
dibawahnya. Pelarut dietil eter atau n-heksana dituangkan secukupnya ke dalam
labu lemak. Labu tersebut kemudian direfluks selama enam jam. Pelarut hasil
destilasi ditampung kemudian labu lemak dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC.
Kadar lemak dihitung dengan rumus berikut:
Kadar lemak (%) =

W2 -W1
W0

x 100%

Keterangan : W0 = Berat sampel (g)
W1 = Berat labu lemak kosong (g)
W2 = Berat labu lemak dengan lemak (g)

Kadar protein
Analisis protein dilakukan menggunakan metode mikro Kjeldahl. Sampel
ditimbang sebanyak 0.25 g dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL. Selenium
0.25 g dan 3 mL H2SO4 pekat serta sampel didekstruksi pada suhu 410oC selama 1
jam sampai larutan jernih. Larutan tersebut didinginkan kemudian ditambahkan 50
mL akuades dan 20 mL NaOH 40% selanjutnya didestilasi pada suhu 100oC. Hasil
destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 mL H3BO3
2% dan 2 tetes indikator bromcherol green-methyl red. Destilasi dihentikan saat
volume destilat menjadi 40 mL kemudian dititrasi dengan HCl 0,10 N. Kadar
protein dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Protein (%) =

(ml HCl-ml blanko)x N HCl x faktor pengenceran x 14,007
mg contoh x faktor koreksi alat

x 100%

Protein (%) = N (%) x 6,25

Analisis serat makanan total
Analisis serat makanan diawali dengan menghaluskan sampel segar buah
bakaukemudian dihomogenkan dan diliofilisasi. Sampel tersebut ditimbang
sebanyak 1 gram kemudian ditambahkan dengan 25 mL buffer phospat dan

7
0.1 mL enzim thermamil. Campuran tersebut dipanaskan pada suhu 80oC selama
15 menit selanjutnya didinginkan dan ditambahkan HCl 4N hingga pH 1.5. Proses
dilanjutkan dengan menambahkan 1 mL suspensi pepsin kemudian diinkubasi
dalam suhu 37oC selama 2 jam. Hasil yang diperoleh ditambahkan dengan NaOH
4N hingga pH menjadi 6,8. Sampel ditambahkan suspensi pankreatin dan
diinkubasi dalam suhu 37oC selama dua jam.
Analisis serat makanan tidak larut air (Insoluble dietary fiber/IDF)
Analisis serat makanan tidak larut air dilakukan dengan menyaring larutan
sampel pH 4,5 dengan kertas saring Whatman 40 hingga menghasilkan filtrat dan
residu. Residu yang terdapat pada kertas saring dibilas dengan akuades dan dicuci
dengan 50 mL etanol dan aseton lalu dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC
selama 3 jam. Kertas saring didinginkan kemudian ditimbang selanjutnya dilipat
dan dimasukkan ke dalam cawan yang telah ditimbang. Cawan diarangkan dan
ditanur dalam suhu 550oC. Perhitungan serat makanan tidak larut air menggunakan
rumus berikut:
IDF (

( C-B - E-D )-Blanko
g
)=
x 100%
100 g sampel
A

Keterangan :
A = Berat sampel
B = Berat kertas saring kosong
C = Berat kertas saring + residu setelah dioven
D = Berat cawan porselen kosong
E = Cawan porselen + abu setelah ditanur

Analisis serat makanan larut air (Soluble dietary fiber/SDF)
Analisis serat makanan larut air dilakukan dengan menambahkan 500 mL
etanol 95% pada filtrat yang diperoleh dari analisis serat makanan tak larut. Larutan
tersebut dipanaskan hingga suhu 60oC dalam waterbath kemudian didiamkan
selama 1 jam. Larutan disaring dengan kertas saring Whatman 40. Residu yang
terdapat pada kertas saring dibilas dengan akuades dan dicuci menggunakan 50 mL
etanol dan aseton. Kertas saring tersebut dipanaskan dalam oven selama tiga jam
pada suhu 105oC. Kertas saring didinginkan kemudian ditimbang selanjutnya
dilipat dan dimasukkan ke dalam cawan yang telah ditimbang. Cawan tersebut
diarangkan dan ditanur pada suhu 550oC. Perhitungan serat makanan larut air
dilakukan menggunakan rumus berikut:
SDF (

( G-F - I-H )- Blanko
g
)=
x 100%
A
100 g sampel

Keterangan :
A
F
G
H
I

= Berat sampel
= Berat kertas saring kosong
= Berat kertas saring + residu setelah dioven
= Berat cawan porselen kosong
= Cawan porselen + abu setelah ditanur

8
Karakteristik Ekstrak Buah Bakau
Pembuatan ekstrak metanol
Buah bakau yang terdiri dari kotiledon dan hipokotil dipisahkan kemudian
masing-masing ditimbang sebanyak 300 g. Sampel dari setiap bagian buah bakau
dipotong-potong selanjutnya dihaluskan menggunakan blender. Sampel tersebut
kemudian dibagi menjadi dua untuk menyiapkan sampel dalam bentuk segar dan
sampel yang direbus sebelum proses maserasi. Diagram alir ekstraksi buah bakau
dapat dilihat pada Gambar 2.
Buah bakau

Kotiledon

Segar
(K1)

Hipokotil

Rebus
(K2)

Segar
(H1)

Rebus
(H2)

Penambahan metanol 150 mL
Maserasi (48 jam)
Filtrasi
Filtrat
Fi

Residu
Fi

Evaporasi

Ekstrak
Fi
Gambar 2 Diagram alir pembuatan ekstrak metanol buah bakau.
Sampel segar sebanyak 150 g dimasukkan dalam 3 labu Erlenmeyer masingmasing sebanyak 50 g. Sampel segar yang direbus sebelum proses maserasi masingmasing sebanyak 50 g dimasukkan dalam 3 gelas piala dan ditambahkan 250 mL
air kemudian dipanaskan selama 30 menit pada suhu 100oC menggunakan kompor
listrik. Metode maserasi mengacu pada Purwaningsih et al. (2013). Bagian buah
bakau yang telah disiapkan dalam bentuk segar dan rebus ditambahkan pelarut
metanol dengan perbandingan 1:3 (w:v). Sampel dimaserasi dengan orbital shaker
kecepatan 175 rpm pada suhu ruang selama 24 jam. Hasil ekstraksi difiltrasi
menggunakan kertas saring selanjutnya dievaporasi pada suhu 37oC.

9
Pembuatan ekstrak air buah bakau
Buah bakau terlebih dahulu dicuci menggunakan air bersih, kemudian
dihancurkan menggunakan blender. Sampel tersebut diekstrak menggunakan air
dengan perbandingan antara sampel dan pelarut 1:5 (w:v). Campuran tersebut
direbus selama 30, 45, dan 60 menit. Sampel selanjutnya disaring menggunakan
kain belacu. Filtrat disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 3 000 rpm
pada suhu 4oC. Supernatan yang dihasilkan disaring menggunakan kertas saring
Whatman 40, lalu filtrat dievaporasi pada suhu 80oC. Diagram alir pembuatan
ekstrak buah bakau dapat dilihat pada Gambar 3.
Buah bakau
Perebusan (30 menit, 45 menit, & 60 menit)
Filtrasi I

Residu

Filtrat
Sentrifugasi

Endapan

Supernatan
Filtrasi
Filtrat
Evaporasi
Ekstrak air buah bakau
Gambar 3 Diagram alir pembuatan ekstrak air buah bakau.
Ekstrak air buah bakau yang dihasilkan digunakan untuk menentukan
karakteristik ekstrak dan menentukan formula sirup. Karakteristik ekstrak
dilakukan dengan menentukan rendemen, toksisitas, aktivitas antioksidan, senyawa
fitokimia dan kandungan fenol yang terdapat dalam ekstrak air buah bakau.

10
Rendemen ekstrak
Rendemen ekstrak buah bakau yang dihasilkan dihitung berdasarkan
persentase terhadap berat sampel buah bakau yang digunakan.
Rendemen ekstrak (%) =

Berat ekstrak yang dihasilkan (g)
Berat sampel yang digunakan (g)

x 100 %

Toksisitas ekstrak
Uji toksisitas ekstrak buah bakau dilakukan metode Brine Shrimp Lethality
Test (BSLT) yang mengacu pada Meyer et al. (1982). Prosedur uji toksisitas diawali
dengan menetaskan telur udang A. salina dalam gelas piala berisi air laut yang
ditutupi dengan allumunium foil. Gelas tersebut dihubungkan dengan selang aerator
kemudian ditempatkan di dekat sinar lampu TL 40 watt selama 48 jam. Sebanyak
1 mL air laut mengandung 10 ekor telur udang yang telah tumbuh menjadi larva
udang dimasukkan ke dalam wadah uji. Larutan ekstrak bakau sebanyak 1 mL
ditambahkan hingga konsentrasi akhir dalam wadah uji adalah 10, 100, 500 dan
1.000 ppm. Setiap perlakuan konsentrasi diulangi sebanyak 3 kali. Kontrol yang
disiapkan tanpa penambahan sampel diuji sesuai prosedur yang sama. Wadah uji
diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang. Jumlah larva yang mati dihitung untuk
menentukan % mortalitas. Data mortalitas larva kemudian diolah menggunakan
analisis regresi probit untuk menentukan nilai LC50.
Aktivitas antioksidan
Uji aktivitas antioksidan dilakukan berdasarkan prosedur yang telah
digunakan oleh Salazar-Aranda et al. (2009). Metode tersebut didasarkan pada
kemampuan sampel yang digunakan dalam mereduksi radikal bebas stabil DPPH.
Satu mg ekstrak kasar dan BHT sebagai kontrol positif ditimbang, kemudian
ditambahkan etanol dengan perbandingan 1:1000. Sebanyak 1,3 g DPPH
diencerkan dengan 25 mL metanol. Satu µl metanol dimasukkan ke dalam
microwell plate yang telah disiapkan. Campuran dihomogenkan dan diinkubasi
pada suhu 37oC selama 30 menit. Serapan diukur dengan Spektrofotometer UVVisible pada panjang gelombang 517 nm. Persentase penghambatan aktivitas
radikal bebas diperoleh dari nilai absorbansi sampel. Nilai konsentrasi
penghambatan aktivitas radikal bebas sebanyak 50% (IC50) dihitung dengan
menggunakan persamaan regresi. Nilai IC50 diperoleh dengan memasukkan y = 50
serta nilai A dan B yang telah diketahui. Nilai x sebagai IC50 dapat dihitung dengan
persamaan :
y = A + B Ln (x)
Keterangan : y
x
A
B

=
=
=
=

persen inhibisi
konsentrasi sampel (ppm)
slope
intercept

Uji fitokimia
Uji fitokimia bertujuan untuk mengetahui keberadaan komponen bioaktif
yang terdapat pada sampel. Uji fitokimia yang dilakukan berdasarkan metode
yang digunakan oleh Harborne (1987) meliputi uji alkaloid, steroid/triterpenoid,
flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, dan tanin.

11
1) Alkaloid
Uji alkaloid dilakukan dengan melarutkan 1 g sampel dalam asam sulfat 2N
kemudian diuji dengan pereaksi alkaloid. Hasil uji positif diperoleh bila terbentuk
endapan putih kekuningan dengan pereaksi Meyer, endapan coklat dengan pereaksi
wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi dragendorff. Pereaksi
meyer dibuat dengan menambahkan 1.36 HgCl2 dengan 0.5 g KI, lalu dilarutkan
dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 mL dengan labu takar. Pereaksi ini
tidak berwarna. Pereaksi wagner berwarna coklat dibuat dengan cara 10 mL
akuades dipipet kemudian ditambahkan 2.5 gram iodin dan 2 gram KI, lalu
dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 mL dalam labu takar.
Pereaksi dragendorff berwarna jingga dibuat dengan cara 0.8 gram bismut subnitrat
ditambahkan dengan 10 mL asam asetat dan 40 mL air. Larutan ini dicampur
dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 mL air. Sebanyak
1 volume campuran tersebut diencerkan dengan 2.3 volume campuran 20 mL asam
asetat glasial dan 100 mL air ketika akan digunakan.
2) Triterpenoid/steroid
Uji diawali dengan melarutkan 1 g sampel dalam 2 mL kloroform dalam
tabung reaksi yang kering, lalu ditambahkan 10 tetes anhidrat asetat dan 3 tetes
asam sulfat pekat. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya larutan berwarna
merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau.
3) Saponin (uji busa)
Uji saponin dilakukan dengan memasukkan 1 g sampel dalam 50 mL air
mendidih. Busa yang muncul dan stabil selama 30 menit serta tidak hilang saat
ditambahkan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan adanya saponin.
4) Fenol Hidrokuinon
Uji fenol hidrokuinon dilakukan dengan mengekstrak 1 g sampel dengan
20 mL etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 mL kemudian
ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5%. Reaksi positif ditunjukkan dengan
terbentuknya warna hijau atau hijau biru.
5) Flavonoid
Uji flavonoid dilakukan dengan menambahkan 1 g sampel dengan serbuk
magnesium 0.1 mg dan 0.4 mL amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan
etanol 95% dengan volume yang sama) dan 4 mL alkohol kemudian campuran
dikocok. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning atau
jingga pada lapisan amil alkohol.
6) Tanin
Uji tanin dilakukan dengan menambahkan 1 g sampel dengan pereaksi FeCl3
kemudian campuran dihomogenkan. Reaksi positif ditunjukkan dengan
terbentuknya warna merah pada campuran.
Uji total fenol (Yangthong et al. 2009)
Sebanyak 5-10 mg ekstrak buah bakau ditimbang lalu dilarutkan dalam
2 mL etanol 95%. Larutan tersebut selanjutnya ditambahkan 5 mL akuades dan 0,5
mL reagen Folin-Ciocalteau 50% (v/v). Larutan tersebut didiamkan selama 5 menit
lalu ditambahkan 1 mL Na2CO3 5% (b/v). Campuran tersebut diinkubasi dalam
kondisi gelap selama 1 jam. Serapan diukur dengan Spektrofotometer UV-Visible
pada panjang gelombang 725 nm. Asam galat digunakan sebagai standar dengan
konsentrasi 0, 10, 20, 30, 40, dan 50 mg/L.

12
Karakteristik Sirup Ekstrak Air Buah Bakau
Formulasi sirup ekstrak buah bakau
Prinsip dasar pembuatan sirup buah bakau adalah mencampur ekstrak bakau
dan bahan penyusun lainnya berdasarkan bobot per volume (b/v). Basis minuman
dibuat dengan total volume 100 mL. Pembuatan sirup mengacu pada metode yang
digunakan oleh Widadi et al. (2014) yang dimodifikasi. Gula pasir 64 g dilarutkan
dalam 50 mL akuades menggunakan hot plate magnetic stirrer. Larutan tersebut
kemudian didinginkan dan ditambahkan larutan ekstrak buah bakau yang
mengandung ekstrak buah bakau sebanyak 1.44 g dalam 50 mL larutan akuades.
Sirup tersebut masing-masing ditambahkan karagenan dengan konsentrasi 0.2%
(F1), 0.4% (F2), 0.6% (F3), 0.8% (F4), dan 1% (F5).
Uji fisikokimia
Larutan sirup ekstrak air buah bakau lebih lanjut dianalisis untuk mengetahui
karakteristik fisikokimia yang meliputi parameter pH dan viskositas. Pengukuran
parameter tersebut masing-masing dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Penentuan
viskositas dilakukan sesuai prosedur TOKI Sangyo instrument dengan
menempatkan wadah berisi larutan sirup di bawah viskometer dengan kecepatan
putar spindel 100 rpm. Analisis pH dilakukan sesuai prosedur EUTECH instrument.
Pengukuran pH diawali dengan dinyalakan pH-meter selama 10 menit. Alat
tersebut dikalibrasi menggunakan larutan buffer pH 4 dan pH 7. Elektroda dibilas
dengan air destilata dan dikeringkan. Sebanyak 20 mL sampel dimasukkan ke
dalam gelas piala 100 mL. Elektroda pH-meter dibilas dengan air destilata,
dikeringkan dan dicelupkan ke dalam sampel. Angka yang tertera pada layar
menunjukkan nilai pH formula minuman.
Uji sensori
Tingkat kesukaan panelis terhadap formula yang dihasilkan diuji sensori yang
mengacu pada metode Meilgaard et al. (1999) meliputi parameter warna, rasa,
aroma, dan kekentalan. Uji sensori dilakukan dengan skala kesukaan atau hedonik
terhadap formula sirup ekstrak bakau. Sebanyak 30 panelis diharuskan
mengonsumsi air minum sebelum dan setelah memberikan penilaian terhadap
sampel yang disajikan. Tingkat kesukaan panelis ditentukan dengan memberikan
penilaian angka 0 sampai 10. Formulir lembar uji kesukaan panelis dapat dilihat
pada Lampiran 12.
Uji kadar antioksidan
Pengukuran kadar antioksidan yang terdapat dalam sirup ekstrak bakau
dilakukan secara kuantitatif menggunakan HPLC berdasarkan AOAC (2005).
Tahap awal yang dilakukan yaitu membuat larutan standar 1 000 mg/L. Standar
antioksidan sintetik yang digunakan dalam penelian ini adalah BHT. Tahap
berikutnya yaitu memasukkan 5 gram sampel ke dalam labu ukur 25 mL dan
ditambahkan pelarut asetonitril dan metanol (1:1)hingga batas tera dan diultrasonik
selama 30 menit. Larutan kemudian dipindahkan ke dalam tabung untuk
disentrifugasi dengan kecepatan 5 000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang
dihasilkan disaring menggunakan membran PTFE 0.45 µm dan dimasukkan dalam
vial amber. Larutan hasil penyaringan kemudian diinjeksikan pada HPLC.

13
Uji kapasitas antioksidan
Kapasitas antioksidan sirup ekstrak buah bakau dalam menghambat radikal
bebas diuji menggunakan DPPH mengacu pada metode yang digunakan oleh
Martínez et al. (2012). Tahap awal yang dilakukan yaitu mencampurkan 24 mg
DPPH dengan 100 mL metanol untuk membuat larutan stok. Sebanyak 10 mL
larutan stok tersebut dicampurkan dengan 45 mL metanol. Uji larutan sirup ekstrak
air buah bakau dilakukan dengan mereaksikan 150 µL sampel dengan 2 850 µL
larutan DPPH selama 24 jam dalam ruang gelap. Sampel tersebut diukur pada 515
nm menggunakan Spektrofotometer.
Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rancangan
acak lengkap (RAL). Data rendemen, toksisitas, dan aktivitas antioksidan ekstrak
metanol dianalisis menggunakan RAL dua faktor. Faktor pertama adalah bagian
buah bakau yang terdiri atas dua taraf yaitu kotiledon dan hipokotil. Faktor kedua
adalah proses pengolahan sampel yang juga terdiri atas dua taraf yaitu tanpa
perebusan dan dengan perebusan. Model rancangan percobaan berdasarkan
ketetapan Steel dan Torrie (1993).
Yijk =

+ αi + βj + (αβ)ij + εijk

Keterangan:
Yijk
= Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh
kombinasi perlakuan faktor α taraf ke-i dan faktor β taraf ke-j
= Nilai tengah atau rataan umum pengamatan
αi
= Pengaruh bagian buah bakau faktor α pada taraf ke-i (i=1,2)
βj
= Pengaruh proses pengolahan faktor β pada taraf ke-j (j=1,2)
(αβ)ij = Pengaruh faktor interaksi pengaruh bagian buah bakau taraf ke-i
dan proses pengolahan taraf ke-j
εij
= Galat percobaan pada taraf ke-i dengan ulangan ke-j

Data rendemen, toksisitas, aktivitas antioksidan, total fenol ekstrak air buah
bakau, dan karakteristik fisikokimia sirup ekstrak buah bakau dianalisis
menggunakan RAL satu faktor yaitu lama perebusan. Model rancangan percobaan
tersebut (Steel dan Torrie 1993) adalah sebagai berikut:
Yij =

+ τi + εij

Keterangan:
Yij
= Nilai pengamatan pada taraf i ulangan ke-j
= Nilai tengah atau rataan umum pengamatan
τi
= Pengaruh lama perebusan pada taraf ke-i (i=1,2,3)
εij
= Galat percobaan pada taraf ke-i dengan ulangan ke-j

Seluruh data yang diperoleh terlebih dahulu diuji menggunakan uji
Kolmogorov Smirnov untuk mengetahui kenormalan distribusi data. Data tersebut
selanjutnya dianalisis menggunakan. Statistika parametrik dapat digunakan bila
data terdistribusi normal dimana nilai signifikasi p≥0.05. Jika hasil analysis of
variance (ANOVA) atau analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh yang
berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan.

14
Rumus uji lanjut Duncan adalah sebagai berikut:
KTS
Rp = r ∑ p; dbs; a √
r

Keterangan:
Rp
= nilai kritikal perlakuan yang dibandingkan
p
= perlakuan
dbs
= derajat bebas
KTS = jumlah kuadrat tengah
r
= jumlah ulangan

Data tingkat kesukaan panelis terhadap sirup ekstrak air buah bakau diolah
menggunakan analisis non parametrik Kruskal Wallis dan diuji lebih lanjut
menggunakan uji Dunn untuk menentukan notasi beda nyata terkecil. Rumus yang
digunakan dalam iji Kruskal Wallis adalah sebagai berikut:

FK =

Keterangan :
n
ni
Ri2
T
H
H1
t

FK

�=
ΣT

�+ �+

n− n n+

+�

Ri2
��



dengan T = t −
H′ =

H

FK

�+

t+

=
=
=
=
=
=
=

jumlah data total
banyaknya pengamatan pada perlakuan ke-i
jumlah peringkat dari perlakuan ke-i
banyaknya pengamatan seri dalam tiap ulangan
simpangan baku
H terkoreksi
banyaknya pengamatan seri

=

faktor koreksi

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Buah bakau (R. mucronata) yang diperoleh dari Kecamatan Kwandang,
Kabupaten Gorontalo Utara oleh masyarakat setempat disebut juga dengan istilah
wuwa’ata, yang berarti akar. Pohon bakau memiliki akar yang khas, besar dan
berbeda dengan akar pohon mangrove lainnya. Menurut Baderan (2013),
masyarakat Gorontalo mengenal mangrove dengan istilah Loraro dan Wuwa’ata
karena memiliki kayu yang sangat kuat dan tahan lama untuk kontruksi bangunan.
Buah bakau yang berasal dari Desa Katialada, Gorontalo Utara dapat dilihat pada
Gambar 4.
a = 7 cm

b = 59.90 cm

Gambar 4 Buah bakau (Rhizophora mucronata). a kotiledon, b hipokotil.

15
Buah bakau yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah yang sudah
matang karena memiliki warna kuning pada batas antara kotiledon dan hipokotil.
Penggunaan hipokotil matang sebagai bahan pangan merupakan upaya untuk
memanfaatkan buah bakau yang tidak mengganggu ekosistem terutama rantai
makanan. Hasil penelitian Dahdouh-Guebas et al. (1997) menunjukkan bahwa
kepiting sesarmid hanya mengonsumsi hipokotil muda sebagai makanannya.
Buah bakau yang terdapat di Desa Katialada, ditemukan tumbuh berasosiasi
dengan spesies Sonneratia caseolaris dan Brugueira gymnorrhiza. Keberadaan
spesies tersebut sesuai dengan penelitian Baderan (2013) yang menyatakan bahwa
hasil analisis vegetasi berdasarkan indeks nilai penting dan indeks vegetasi di
temukan bahwa profil zonasi di wilayah tersebut masuk pada zonasi sederhana yaitu
satu zonasi atau zonasi campuran dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan
setiap spesies saling berasosiasi dalam satu lapisan.
Regenerasi alami tumbuhan bakau selalu tumbuh dekat pohon-pohon dewasa.
Bentangan vegetatif dari pohon bakau menggunakan pertumbuhan horizontal dari
cabang-cabang bagian bawah yang didukung oleh akar udara. Cabang-cabang
tersebut dapat terus tumbuh jika batang induknya mati. Kecambah muda dapat juga
ditanam. Buah bakau di Kepulauan Malaysia digunakan untuk menghasilkan
perekat (PROSEA 2013).
Morfometrik buah bakau hitam
Karakteristik buah bakau menurut Wetlands International (2013) yaitu
memiliki hipokotil silindris, kasar dan berbintil. Leher kotiledon berwarna kuning
saat buah bakau matang. Nilai rata-rata pengukuran morfometrik 30 buah bakau
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Morfometrik buah bakau
Nilai rata-rata
Parameter
Total
Kotiledon Hipokotil
Panjang (cm) 166.75±23.64 6.4±0.40 60.3±3.20
Berat (g)
110.40±10.84 23.8±2.40 86.6±8.52

Hipokotil*
45.74±16.30
57.85±12.28

Keterangan: *Widadi (2014)

Nilai morfometrik buah bakau (Tabel 1) menunjukkan bahwa proporsi
hipokotil lebih besar daripada kotiledon. Panjang dan berat kotiledon atau bakal
buah bakau yang diperoleh memiliki nilai yang lebih rendah dari hipokotil buah
bakau. Menurut Kamal (2011), fase perkembangan buah bakau diawali dengan
kemunculan bakal buah yang memiliki panjang 18-20 mm. Bakal buah kemudian
berkembang dengan panjang 38-40 mm, selanjutnya hipokotil panjang mulai
tumbuh dengan kisaran panjang 5-7 cm. Hipokotil mulai berkembang dengan
panjang 28-38 cm. Buah bakau matang saat hipokotil memiliki panjang 38.60 cm 70.20 cm.
Nilai morfometrik hipokotil bakau yang digunakan lebih besar dari pada
hipokotil bakau yang berasal dari Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu
berdasarkan hasil penelitian Widadi (2014). Nilai rata-rata panjang dan berat buah
bakau yang lebih besar menunjukkan bahwa daya dukung lingkungan terhadap
perkembangan tumbuhan bakau lebih baik. Virginia et al. (2013) menyatakan
bahwa fase perkembangan vegetatif buah bakau berkorelasi signifikan dengan
perubahan iklim dan kondisi lingkungan.

16
Komposisi kimia buah bakau
Informasi kandungan gizi makro buah bakau telah diteliti sejak dulu oleh
Untawale et al (1978). Hasil yang ditemukan yaitu adanya perubahan komposisi
protein, abu, dan karbohidrat akibat pergantian bulan selama satu tahun. Hasil
penelitian Bunyapraphatsara et al. (2002) menunjukkan bahwa kematangan buah
juga mempengaruhi komposisi kimia buah bakau. Buah bakau matang mengandung
protein, karbohidrat, kalsium, dan serat makanan tidak larut air yang lebih tinggi
daripada buah bakau muda. Hasil uji komposisi kimia buah bakau hitam dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi kimia buah bakau
Hipokotil
Parameter
Buah bakau
bakau
Kadar air (%)
61.06±1.35
48.97**
Kadar abu (%)
0.99±0.03
1.23**
Kadar protein (%)
1.78±0.26
1.96***
Kadar lemak (%)
1.49±0.14
0.20**
Kadar Karbohidrat* (%) 34.68±1.27
22.29***
Serat makanan (g/100g)
Total 80.30±1.36
27.46±0.40***
Larut 6.21±0.47
0.53±0.02***
Tidak larut 74.42±1.87
26.93±0.42***
Rasio 12.73±1.36

Tepung buah
bakau****
2.90
1.27
3.50
0.78
90.67
46.10
7.50
38.60

Keterangan: *
= by difference
** = Widadi (2014)
*** = Bunyapraphatsara et al (2002)
**** = Hardoko et al. (2015)

Hasil uji komposisi kimia (Tabel 2) menunjukkan bahwa buah bakau
sebagian besar terdiri atas air. Kadar air yang terdapat dalam buah bakau lebih
tinggi daripada kadar air yang terdapat dalam hipokotil bakau. Kandungan air dalam
buah tersebut selain berasal dari hipokotil bakau juga berasal dari kotiledon bakau.
Hasil uji kadar air hipokotil bakau berdasarkan penelitian Bunyapraphatsara et al.
(2002) dan Purwaningsih et al. (2013) masing-masing yaitu 46.63% dan 31.96%.
Pengolahan buah bakau dalam bentuk ekstrak merupakan salah satu upaya untuk
menurunkan kadar air. Suhirman et al. (2006) menyatakan bahwa kandungan air
yang tinggi dalam suatu bahan dapat mendorong terjadinya reaksi enzimatik yang
mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan kimia. Perubahan komposisi kimia
terutama pada senyawa-senyawa berkasiat dapat menurunkan mutu simplisia yang
dihasilkan. Kandungan air yang tinggi merupakan media bagi tumbuhnya
mikroorganisme atau jamur yang dapat mencemari bahan.
Kadar abu buah bakau segar lebih rendah dari daun bakau segar. Babuselvam
et al. (2012) menyatakan bahwa kadar abu yang terdapat dalam daun bakau segar
dan daun bakau kering masing-masing yaitu 1.17% dan 3.98%. Perbedaan
komposisi kimia dalam buah bakau disebabkan akibat adanya proses pengolahan.
Kadar protein ekstrak air buah bakau tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Bunyapraphatsara et al. (2002). Protein yang terdapat pada tumbuhan
bakau menurut Selvasundhari et al. (2014) merupakan salah satu komponen yang
menyebabkan tingginya aktivitas antioksidan ekstrak kulit bakau.

17
Kadar lemak yang terdapat dalam ekstrak buah bakau lebih tinggi dari pada
lemak yang terdapat dalam hipokotil bakau. Perera et al. (2010) menyatakan bahwa
buah bakau (R. mangle) yang telah diekstrak menggunakan air mengandung banyak
asam lemak tidak jenuh yang tinggi seperti asam palmitat dan asam oleat. Ekstrak
buah tersebut juga mengandung asam linolenat dan asam miristat.
Kadar karbohidrat buah bakau lebih tinggi dari karbohidrat hipokotil buah
bakau yang diteliti oleh Bunyapraphatsara et al. (2002). Tingkat kematangan buah
bakau merupakan salah satu faktor adanya perbedaan kadar tersebut. Hasil
penelitian Bunyapraphatsara et al. (2002) menunjukkan bahwa kadar karbohidrat
yang terdapat dalam hipokotil matang lebih tinggi dari pada hipokotil muda.
Martinez et al. (2012) menyatakan bahwa serat makanan sangat berpotensi
untuk digunakan dalam industri makanan karena mengandung serat makanan larut
dan serat makanan tidak larut. Penelitian terkait buah bakau hingga saat ini masih
terbatas pada komposisi hipokotil bakau. Hasil uji serat makanan kotiledon dan
hipokotil bakau berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa total serat mak