Efektivitas Minyak Biji Kamandrah (Croton tiglium) Dan Jarak Pagar (Jatropha curcas) Sebagai Larvasida, Anti Oviposisi Dan Ovisida Nyamuk Aedes aegypti Dan Aedes albopictus

EFEKTIVITAS MINYAK BIJI KAMANDRAH (Croton tiglium)
DAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas) SEBAGAI LARVASIDA,
ANTI-OVIPOSISI DAN OVISIDA
NYAMUK Aedes aegypti DAN Aedes albopictus

ENDANG PUJI ASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : “EFEKTIVITAS
MINYAK BIJI KAMANDRAH (Croton tiglium) DAN JARAK PAGAR (Jatropha
curcas) SEBAGAI LARVASIDA, ANTI-OVIPOSISI DAN OVISIDA NYAMUK
Aedes aegypti DAN Aedes albopictus” adalah benar hasil karya saya sendiri dengan
arahan komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan. Tesis ini belum pernah
diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan

dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2008

Endang Puji Astuti
B252060071

ABSTRACT

ENDANG PUJI ASTUTI. Larvicidal, Anti-oviposition, and Ovicidal Activity of
Croton tiglium and Jatropha curcas Seed Oil Against Aedes aegypti and Aedes
albopictus.
Aedes aegypti and A. albopictus mosquito is increasing problem of public
health, being the vector responsible for dengue and chikungunya. Various effort have
been done to control the mosquitoes both chemically and naturally. Croton tiglium and
Jatropha curcas seed oil were known to posses insecticide activity against larval
mosquito species. The study was aimed to examine effectiveness of C. tiglium seed oil
and J. curcas seed oil as larvicidal, anti-oviposition, and ovicidal against A. aegypti
and A. albopictus, and quantitative analysis of piperine achieved by spectrophotometer.
C. tiglium seed oil possessed a significantly higher larvicidal activity against the 3th-4th

instar larvae of A. aegypti and A. albopictus than J. curcas seed oil. The larval
mortality was observed after 24 h of exposure. The LC50 value of C. tiglium seed oil
and J. curcas seed oil were 769.52 ppm and 1366.07 ppm respectively, against A.
aegypti and 707.78 ppm and 905.29 ppm respectively, against A. albopictus. There
was a decrease in the number of eggs laid by A. aegypti and A. albopictus with C.
tiglium and J. curcas oil (≤ 5% eggs) if compared to control
(> 50% eggs). C.
tiglium and J. curcas seed oil was effective on 0.4%-0.5% concentration so that could
prevent the eggs from being hatched (> 90%). Quantitative analysis of C. tiglium and
J. curcas by spectrophotometer revealed the presence of piperine were 0.0385% and
0.0054%. The content of C. tiglium was higher compared to J. curcas as proved by the
value of LC50. The result of this study suggested that the C. tiglium and J. curcas oil
posses insecticide properties that could be developed and used as natural insecticide
for larval mosquito control.
Keywords index :

Croton tiglium, Jatropha curcas, A. aegypti, A. albopictus,
Larvicidal, Anti-oviposition, Ovicidal.

RINGKASAN

ENDANG PUJI ASTUTI. Efektivitas Minyak Biji Kamandrah (Croton tiglium) Dan
Jarak Pagar (Jatropha curcas) Sebagai Larvasida, Anti-Oviposisi Dan Ovisida
Nyamuk Aedes aegypti Dan Aedes albopictus
Nyamuk vektor yang menjadi masalah kesehatan di dunia adalah nyamuk
Aedes aegypti dan A. albopictus, kedua spesies ini merupakan vektor penyakit Dengue
dan Chikungunya. Di Indonesia jumlah kasus DBD setiap tahun cenderung meningkat
dan persebarannya semakin luas. Memasuki awal tahun 2004 telah terjadi Kejadian
Luar Biasa (KLB). Pada tahun 2007 kasus di Indonesia sampai bulan September
adalah 123.828 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 1.256 orang. Seperti halnya
DBD, penyakit Chikungunya di Indonesia sudah menyebar di 11 Provinsi selama
tahun 2001 - 2005, dengan jumlah kasus sebanyak 12.695 penderita tanpa kematian.
Berbagai upaya pengendalian baik secara kimia maupun alamiah telah dilakukan, cara
alamiah adalah memanfaatkan tanaman sebagai insektisida nabati. Biji kamandrah
(Croton tiglium) dan jarak pagar (Jatropha curcas) mengandung senyawa toksik yang
bisa berperan sebagai larvasida nabati. Tujuan penelitian untuk menguji efektivitas
minyak biji kamandrah dan jarak pagar sebagai larvasida, anti-oviposisi, dan ovisida
nyamuk A. aegypti dan A. albopictus serta mengetahui besarnya senyawa aktif
piperine. Minyak kamandrah lebih berpotensi sebagai larvasida Aedes sp instar III-IV
di bandingkan dengan minyak jarak pagar. Kematian larva A. aegypti dan A.
albopictus pada minyak biji kamandrah dan jarak pagar menunjukkan hasil yang

meningkat sesuai dengan dosis aplikasinya. Dosis tertinggi 0,5% minyak kamandrah
diperoleh kematian larva sebesar 100%, sedangkan kematian larva pada minyak jarak
pagar adalah < 100%. Nilai LC50 minyak biji C. tiglium dan J. curcas terhadap A.
aegypti berturut-turut adalah 769,52 ppm dan 1366,07 ppm, sedangkan terhadap larva
A. albopictus adalah 707,78 ppm dan 905,29 ppm selama 24 jam pengamatan. Hasil
uji anti-oviposisi minyak kamandrah dan jarak pagar menunjukkan adanya penurunan
jumlah peletakan telur A. aegypti dan A. albopictus dengan paparan minyak
kamandrah dan jarak pagar (dosis 0,5%) yaitu sebesar ≤ 5% telur jika dibandingkan
dengan kontrol yaitu >50% telur. Hasil uji ovisida pada kedua spesies menunjukkan
pola rata-rata jumlah telur yang mengalami penurunan setelah pemberian paparan
minyak kamandrah dan jarak pagar. Hasil pengamatan diperoleh hasil bahwa jumlah
telur A. aegypti yang menetas pada ovitrap kamandrah dosis 0,5% adalah 0 – 13 telur,
sedangkan minyak jarak pagar pada dosis 0,5% adalah 1 – 11 telur. Seperti halnya
pada telur A. aegypti, telur A. albopictus juga mengalami kegagalan menetas pada
dosis 0,5% minyak kamandrah jumlah telur yang berhasil menetas adalah 0 – 7,
sedangkan pada minyak jarak pagar diperoleh jumlah telur menetas 1 – 5 telur.
Minyak kamandrah dan jarak pagar efektif pada konsentrasi 0,3% - 0,5% sehingga
mampu menghambat penetasan telur yaitu kegagalanya sebesar >90%. Hasil analisis
UV spektrophotometer minyak kamandrah dan jarak pagar menunjukkan adanya
senyawa aktif suatu alkaloid golongan piperidine yang diduga sebagai larvasida

dengan kadar piperine 0,0385% dan 0,0054%. Minyak kamandrah dan jarak pagar
dapat dikembangkan menjadi larvasida nabati untuk mengendalikan populasi larva
nyamuk. Namun, perlu adanya kajian formulasi kedua minyak tersebut agar mudah
larut dalam air dan dapat diaplikasikan di lapangan sehingga mampu menurunkan
kepadatan vektor Dengue dan Chikungunya.
Kata kunci : Croton tiglium, Jatropha curcas, A. aegypti, A. albopictus, Larvasida,
Anti-oviposisi, Ovisida.

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya lmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2 Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB

EFEKTIVITAS MINYAK BIJI KAMANDRAH (Croton tiglium)

DAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas) SEBAGAI LARVASIDA,
ANTI-OVIPOSISI DAN OVISIDA
NYAMUK Aedes aegypti DAN Aedes albopictus

ENDANG PUJI ASTUTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

Penguji Luar Komisi : Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si

Nama


: Efektivitas Minyak Biji Kamandrah (Croton tiglium) Dan
Jarak Pagar (Jatropha curcas) Sebagai Larvasida, AntiOviposisi Dan Ovisida Nyamuk Aedes aegypti Dan Aedes
albopictus
: Endang Puji Astuti

NIM

: B252060071

Program Studi

: Entomologi Kesehatan

Judul Tesis

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS


Dr. Ir. Dyah Iswantini Pradono, M.Agr

Ketua

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS

Tanggal Ujian : 7 Juli 2008

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, karena hanya dengan
izin dan anugerahnya penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini adalah ”Efektivitas Minyak Biji Kamandrah (Croton tiglium) Dan Jarak
Pagar (Jatropha curcas) Sebagai Larvasida, Anti-Oviposisi Dan Ovisida Nyamuk
Aedes aegypti Dan Aedes albopictus”.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr.
drh. Upik Kesumawati Hadi, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ir.
Dyah Iswantini Pradono, M.Agr sebagai anggota komisi pembimbing atas masukan,
saran dan bimbingan, serta Ibu Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si atas
kesediaannya menguji dalam sidang tesis penulis.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. drh. Singgih
H. Sigit, MS, Bapak Dr. drh. FX. Koesharto, MS, Bapak Dr. drh. Ahmad Arif Amin,
Ibu Dr. drh. Susi Soviana, M.Si, Bapak Dr. Ir. Dadang (HPT), Bapak Joko Prijono, MS
(HPT), atas ilmu yang penulis peroleh selama mengikuti pendidikan di Entomologi
Kesehatan. Semua pegawai Entomologi Kesehatan (Ibu Juju, Bapak Yunus, Bapak
Heri, drh. Sugiarto, Bapak Taufik, Bapak Nanang dan Ibu Een) atas bantuannya

terutama bimbingannya dalam praktikum.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Adi Riyadhi, M.Si, Ibu
Trivadila, S.Si, Bapak Noor Roufiq Ahmadi, S.TP, MP., Ibu Heni Prasetyowati, S.Si,
Bapak Roy Nusa RES, M.Si, yang telah banyak membantu secara teknis selama
penelitian. Terima kasih kepada seluruh rekan di Pasca Sarjana Entomologi Kesehatan
angkatan 2006, Rita Juliawaty, M.Si atas bantuan, kebersamaan dan semangatnya,
Amalia Safitri SKM, Bapak Amirullah, M.Si, dan Bapak Yuliansyah, S.Si atas
kekeluargaan dan semangatnya. Seluruh rekan Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
angkatan 2007 (Ety Rahmawati, Yahya, Bapak Gondo, Bapak Ali, Bapak Mulyono,
Bapak Irwan dan Bapak Agus) atas bantuan dan dukungannya.
Terimakasih juga disampaikan kepada kepala Loka Litbangkes P2B2 Ciamis,
Bapak Sugianto, SKM, MSc.PH dan rekan-rekan (Joni Hendri, Yuneu Yuliasih, Mara
Ipa, Titin Delia, Marliah Santi) serta rekan-rekan Loka Litbangkes yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Balitbangkes
DEPKES RI, Pusren-Gun SDM Kes DEPKES RI dan Balitbang Pertanian melalui
program KKP3T yang telah memberikan bantuan dana.
Terima kasih dan penghargaan tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua
orang tua (Kasidi & Sri Utami), mertua (Hayat & Uhen) serta suami (Heriyana) yang
tak henti-hentinya berdoa, memberikan dorongan dan pengorbanan moral maupun
materiil sampai selesainya studi ini. Mas Agus dan istri, Mas Win dan istri, Mas Budi,

Mas Edi dan istri, Mbak Yus dan suami, Mba Wida dan suami, Mas Hendar dan istri,
Adik tersayang (Yeni & Iva), Deka serta ponakan-ponakan tercinta atas doa, cinta dan
semangatnya.
Akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna,
namun demikian penulis berharap hasil karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2008
Endang Puji Astuti

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mojokerto Jawa Timur pada tanggal 27 Oktober 1977 dari
pasangan Bapak Purn. Kasidi dan Ibu Sri Utami (telah dipanggil ke Rahmatullah pada
tanggal 19 Juli 2008). Penulis merupakan putri kelima dari tujuh bersaudara. Penulis
telah menikah pada tahun 2005 dengan Heriyana.
Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SDN Miji I Mojokerto pada
tahun 1990, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Mojokerto, lulus pada tahun
1993, dan Sekolah Menengah Atas di SMAN Sooko Mojokerto, lulus pada tahun
1996. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan studi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya melalui jalur UMPTN dan lulus pada bulan
Agustus 2000.
Penulis pernah bekerja sebagai asisten peneliti di Lembaga Penelitian UNAIR
Surabaya pada tahun 2000, pada bulan Januari 2001 bekerja di LSM Abdi Asih
Surabaya, kemudian pada bulan Februari 2001 - 2002 bekerja sebagai dosen tetap mata
kuliah Biostatistik di STIKes Cirebon, dan pada bulan Desember 2002 hingga
sekarang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Loka Litbangkes P2B2 Ciamis,
Balitbangkes DEPKES RI yang beralamatkan di Jl. Raya Pangandaran KM 3 Ds.
Babakan, Kec. Pangandaran, Kab. Ciamis.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.............................................................................................

xi

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................

xii

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................

xiv

1 PENDAHULUAN .........................................................................................
1.1 Latar Belakang ..................................................................................
1.2 Perumusan Masalah ..........................................................................
1.3 Tujuan Penelitian ..............................................................................
1.4 Hipotesa alternatif (H1) .....................................................................
1.5 Manfaat .............................................................................................

1
1
3
3
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
2.1 Penyakit demam berdarah dengue ....................................................
2.2 Penyakit Chikugunya ........................................................................
2.3 Lingkungan dan kehidupan Aedes sp ...............................................
2.4 Tumbuhan Sebagai Larvasida dan Insektisida nabati .......................
2.5 Kamandrah (Croton tiglium) ............................................................
2.6 Jarak Pagar (Jatropha curcas) ..........................................................

5
5
7
8
12
15
18

3 BAHAN DAN METODE …………………………………………………..
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………………
3.2 Tanaman Uji ……………………………………………………….
3.3 Serangga Uji .....................................................................................
3.4 Metode Kerja ....................................................................................
3.5 Metode Identifikasi Senyawa Aktif ..................................................
3.6 Analisa Data ......................................................................................

21
21
21
21
22
26
26

4 HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
4.1 Karakteristik dan Pengepresan Biji Kamandrah ...............................
4.2 Karakteristik dan Pengepresan Biji Jarak Pagar ..............................
4.3 Uji Potensi Larvasida ………………………………………………
4.4 Penentuan Nilai Lethal Concentration (LC) Minyak Kamandrah
dan Jarak Pagar sebagai Larvasida .................................................
4.5 Uji Anti – Oviposisi ..........................................................................
4.6 Uji Ovisida ........................................................................................
4.7 Identifikasi Senyawa Aktif ...............................................................

27
27
28
29
33
36
38
39

5 KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
5.1 Kesimpulan .......................................................................................
5.2 Saran .................................................................................................

43
43
43

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................

47

LAMPIRAN ......................................................................................................

52

DAFTAR TABEL

No

Teks

Halaman

1

Hasil identifikasi minyak kamandrah dengan GC-MS Metode IV ……...

17

2

Rata-rata kematian (%) larva A. aegypti berdasarkan perlakuan
kamandrah setelah 24 jam pengamatan .....................................................

29

Rata-rata kematian (%) larva A. aegypti berdasarkan perlakuan jarak
pagar setelah 24 jam pengamatan ..............................................................

30

3

DAFTAR GAMBAR

No

Teks

Halaman

1

Profil Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 1968 – 2007..

5

2

Profil Kasus Chikungunya di Indonesia tahun 2001 – 2007 .....................

7

3

Morfologi bentuk sisir larva A. aegypti seperti trisula (A) dan sisir larva
A. Albopictus berbentuk lancip (B) ...........................................................

10

4

A. aegypti (A) dan A. albopictus (B) Saat Menghisap Darah ...................

10

5

Profil Tanaman Kamandrah (Croton tiglium) ...........................................

16

6

Profil Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) .........................................

19

7

Kromatogram GC-MS minyak jarak pagar metode III ………………….

20

8

Alat pengepresan hidraulik (A) dan Profil timbangan elektrik (B) ……...

23

9

Telur Aedes yang terpilih untuk uji (A) dan Telur Aedes yang telah
menetas menjadi larva (B) ……………………………………………….

23

10

Profil kandang uji dan rearing (A) dan Gelas Uji untuk Anti-oviposisi
(B) ……………………………………………………………………......

25

11

Pengambilan nyamuk blood feed (A) dan pemberian larutan gula (B) ....

25

12

Profil Buah Kamandrah (A), Minyak Kamandrah Hasil Pengepresan
(B) ………………………………………………………………………..

27

13

Profil Daun, Buah Jarak Pagar (A) dan Profil Minyak Jarak Pagar Hasil
Pengepresan (B) …………………………………………………………

28

14

Rata-rata persentase kematian larva A. aegypti berdasarkan perlakuan
selama 24 jam pengamatan........................................................................

31

15

Rata-rata persentase kematian larva A. albopictus berdasarkan perlakuan
selama 24 jam pengamatan .......................................................................

31

16

Nilai maksimal, minimal dan rata-rata kematian larva A. aegypti dan A.
albopictus dengan paparan minyak kamandrah selama 24 jam …………

32

17

Nilai maksimal, minimal dan rata-rata kematian larva A. aegypti dan A.
albopictus dengan paparan minyak jarak pagar selama 24 jam …………

32

18

Larva Aedes mati yang terpapar minyak sawit (A), terpapar minyak
jarak pagar (B) dan terpapar minyak kamandrah (C) ................................

34

19

Konsentrasi efektif berdasarkan Lethal Concentration minyak
kamandrah, jarak dan sawit pada A. aegypti dan A. albopictus selama 24
jam pengamatan .........................................................................................

35

No

Teks

Halaman

20

Rata-rata jumlah telur yang diletakkan nyamuk berdasarkan ovitrap
dengan paparan minyak kamandrah ..........................................................

37

21

Rata-rata jumlah telur yang diletakkan nyamuk berdasarkan ovitrap
dengan paparan minyak jarak pagar ..........................................................

37

22

Rata-rata persentase telur yang berhasil menetas berdasarkan perlakuan
pada telur A. aegypti dan A. albopictus .....................................................

39

23

Struktur cis-9-Hexadecenal .......................................................................

40

24

Struktur (Z)- 13-Octadecenal ....................................................................

41

25

Contoh beberapa senyawa piperidine .......... .............................................

41

DAFTAR LAMPIRAN

No

Teks

Halaman

1

Hasil pengamatan kematian larva pada uji larvasida ................................

49

2

Hasil pengamatan jumlah peletakan telur pada uji anti-ovipoisi...............

52

3

Hasil pengamatan telur yang gagal menetas pada uji ovisida ...................

54

4

Hasil uji ANOVA C. tiglium (larvasida) ..................................................

55

5

Hasil uji ANOVA J. curcas (larvasida) ....................................................

56

6

Hasil uji ANOVA C. tiglium (anti-oviposisi) ...........................................

57

7

Hasil uji ANOVA J. curcas (lanti-oviposisi) ............................................

58

8

Hasil uji ANOVA C. tiglium dan J. curcas (ovisida) ...............................

59

9

Analisa probit minyak kamandrah terhadap larva A. aegypti selama 24
jam perlakuan ……………………………………………………………

60

Analisa probit minyak kamandrah terhadap larva A. albopictus selama
24 jam perlakuan ………………………………………………………...

61

Analisa probit minyak jarak pagar terhadap larva A. aegypti selama 24
jam perlakuan ……………………………………………………………

62

Analisa probit minyak jarak pagar terhadap larva A. albopictus selama
24 jam perlakuan ………………………………………………………...

63

Analisa probit minyak sawit terhadap larva A. aegypti selama 24 jam
perlakuan ………………………………………………………...............

64

Analisa probit minyak sawit terhadap larva A. albopictus selama 24 jam
perlakuan ………………………………………………………...............

65

15

Hasil uji spektrofotometer kadar piperin (%) minyak kamandrah ………

66

16

Hasil uji spektrofotometer kadar piperin (%) minyak jarak pagar ………

67

10
11
12
13
14

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Nyamuk termasuk satu di antara jenis serangga yang memperoleh perhatian besar
dalam kesehatan manusia, karena mempunyai potensi sebagai vektor dalam penularan
suatu penyakit (Stocker et al. 2005). Nyamuk Aedes aegypti dan A. albopictus
merupakan nyamuk vektor yang menularkan penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) dan Chikungunya, yang sampai saat ini kasus kesakitannya selalu meningkat
(WHO 2004 & Kusriatuti 2003).
Di Indonesia jumlah kasus DBD setiap tahun cenderung meningkat dan
persebarannya semakin luas. Memasuki awal tahun 2004 terjadi Kejadian Luar Biasa
(KLB), sejak Januari - Maret tahun 2004 total kasus DBD di seluruh propinsi
Indonesia sudah mencapai 26.015, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang
(CFR=1,53% ). Pada tahun 2007 kasus DBD di Indonesia sampai bulan September
adalah 123.828 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 1.256 orang (DEPKES
2007).
Seperti halnya DBD, kasus demam Chikungunya di Indonesia sudah menyebar di
11 Provinsi selama tahun 2001 – 2005. Wilayah tersebut terdiri dari Provinsi DI
Nangroe Aceh Darusalam, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan
Nusa Tenggara Barat, dengan jumlah kasus sebanyak 12.695 penderita tanpa kematian,
yang tersebar di 38 kabupaten/kota, 90 kecamatan dan 134 desa/keluranan (DEPKES
2007).
Upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD dan Chikungunya dititik
beratkan pada pemutusan siklus penularan yaitu dengan cara pengendalian vektor
(WHO 2004). Metode pengendalian yang paling cepat memutuskan siklus penularan
adalah penggunaan larvasida dan insektisida sintetik, namun senyawa kimia sintetik
dapat menyebabkan sifat resisten pada nyamuk. Beberapa kasus resisten juga
dilaporkan

di

dunia,

diantaranya

resistensi

nyamuk

A.

aegypti

terhadap

organophosphat di Brasil (Araujo et al. 2006). Sebagian besar nyamuk vektor malaria
di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta juga telah mengalami penurunan kerentanan
terhadap insektisida organophosphat dan karbamat (Widiarti et al. 2003).

Cara pengendalian alamiah adalah dengan memanfaatkan tanaman sebagai
biopestisida, sebagai satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan, mudah
diaplikasikan dan tidak berbahaya bagi musuh alami dan serangga menguntungkan
lainnya. Insektisida dari tanaman ini lebih selektif dan aman, karena mudah terurai
(terdegradasi) di alam sehingga tidak meninggalkan residu di tanah, air dan udara
(Jadhau & Jadhau 1984 dalam Adebowale et al. 2006).
Berbagai jenis tanaman telah diketahui mengandung senyawa bioaktif seperti
seperti fenilpropan, terpenoid, alkaloid, asetogenin, steroid dan tanin yang bersifat
sebagai insektisida. Menurut Aminah (1995), buah lerak yang mengandung senyawa
utama saponin, daun kecubung yang mengandung alkaloid dan antrakinon serta daun
orang-aring yang mengandung minyak atsiri, tanin dan steroid terbukti berkhasiat
sebagai insektisida dan repelen.
Uji toksisitas beberapa tanaman telah dilakukan terhadap larva nyamuk, seperti
minyak tumbuhan yang berasal dari tanaman (Camphor, Thyme, Amyris, Lemon,
Cedarwood, Frankincense, Dill, Myrtle, Juniper, Black Pepper, Verbena, Helichrysum
and Sandalwood) yang dilaporkan memiliki bioaktivitas sebagai larvasida nyamuk
(Amer & Mehlhorn 2006). Ekstrak daun dari tanaman Euphorbiaceae seperti Croton
nepetaefolius, C. zehntneri, dan C. argyrophylloides terbukti mampu membunuh 100%
larva A. aegypti skala laboratorium (Araujo et al. 2006).
Ekstrak air dari tanaman Piper retrofractum (Chansang et al. 2005), ekstraksi
daun Annona muricata (Hamidah 2002), ekstrak tanaman Origanum onites (Cetin &
Yanikoglu 2006), beberapa ekstrak petroleum ether dari lima spesies tanaman
Euphorbiaceae, yaitu Jatropha curcas, Pedilanthus tithymaloides, Phyllanthus amarus,
Euphorbia hirta dan E. tirucalli juga terbukti mempunyai potensi sebagai larvasida
(Rahuman et al. 2007).
Tumbuhan kamandrah (Croton tiglium), famili Euphorbiaceae merupakan salah
satu tumbuhan beracun yang berpotensi sebagai insektisida. Senyawa 12-0Tetradecanoylphorbol-13-acetate hasil isolasi dari biji kamandrah dapat membunuh
100% larva Culex pipiens instar ke dua pada konsentrasi 0,6 ppm (Marshall et al.
2005). Senyawa 12-0-Tetradecanoylphorbol-13-acetate juga dapat berfungsi sebagai
Anti-HIV (Singh et al. 2005).
Tumbuhan jarak pagar (Jatropha curcas) merupakan satu famili dengan
tumbuhan kamandrah. Bagian daun dari tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai obat
anti koreng dan gatal-gatal, bagian biji digunakan untuk mengurangi kesulitan buang

air besar, kanker mulut rahim, kulit, bisul dan infeksi jamur (Heyne 1987). Biji jarak
pagar mempunyai toksisitas yang tinggi karena mengandung senyawa protein yang
toksik (curcin) dan diterpene ester (Heller 1996). Minyak biji tanaman jarak pagar
juga dapat menghambat penetasan telur Callosobruchus maculatus (Coleoptera :
Bruchidae) dan bersifat anti-oviposisi (Adebowale et al. 2006).
Tanaman kamandrah dan jarak pagar merupakan tanaman yang mudah
pertumbuhannya dan tersebar merata di seluruh Indonesia. Dilihat dari sifat toksiknya,
biji tanaman kamandrah dan jarak pagar memiliki potensi sebagai larvasida nyamuk A.
aegypti dan A. albopictus, namun demikian belum banyak penelitian yang lengkap
mengenai efektivitasnya sebagai larvasida, anti-oviposisi dan ovisida.

1.2

Perumusan Masalah
Sebagian besar pengendalian vektor yang dilakukan dengan menggunakan

larvasida sintetis dapat mencemari lingkungan dan menyebabkan sifat resisten pada
larva. Kajian tentang larvasida nabati banyak dilakukan, namun efektivitasnya masih
rendah sehingga perlu kajian bahan aktif tanaman lain yang mempunyai tingkat
toksisitas tinggi, mudah mendapatkannya dan ramah lingkungan.

1.3

Tujuan Penelitian
1 Mengetahui efikasi minyak biji tanaman kamandrah (C. tiglium) dan jarak
pagar (J. curcas) terhadap larva A. aegypti dan A. albopictus.
2 Mengetahui daya anti-oviposisi minyak biji tanaman kamandrah dan jarak
pagar terhadap peletakan telur nyamuk betina A. aegypti dan A. albopictus.
3 Mengetahui daya ovisida untuk menghambat penetasan telur A. aegypti dan
A. albopictus dalam media minyak biji kamandrah dan jarak pagar.
4 Mengetahui konsentrasi senyawa aktif piperine yang terkandung pada biji
kamandrah dan jarak pagar sebagai larvasida, anti-oviposisi dan ovisida.

1.4

Hipotesa alternatif (H1)
1 Terdapat peningkatan kematian larva A. aegypti dan A. albopictus yang
terpapar minyak biji kamandrah dan jarak pagar.
2 Terdapat penurunan jumlah peletakan telur A. aegypti dan A. albopictus
yang terpapar minyak biji kamandrah dan jarak pagar.
3 Terdapat kegagalan penetasan telur nyamuk A. aegypti dan A. albopictus
yang terpapar minyak biji kamandrah dan jarak pagar.

1.5

Manfaat
Diharapkan dapat menambah inventarisasi jenis tanaman yang mengandung

senyawa insektisida nabati sebagai larvasida, anti-oviposisi dan ovisida nyamuk.
Selanjutnya dapat digunakan sebagai alternatif dalam upaya pengendalian kepadatan
populasi nyamuk vektor dan pencegahan terjadinya transmisi penyakit tular vektor
secara aman, rasional, efisien, efektif, dapat diterima masyarakat dan berkelanjutan.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Demam Berdarah Dengue
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) muncul lebih dari 20 tahun yang lalu
dengan perluasan distribusi geografis baik pada virus maupun pada nyamuk vektor.
Sejak tahun 1980, penyakit DBD menyebar luas di berbagai wilayah tropis dan sub
tropis meliputi benua Amerika, Afrika, Asia dan Pasifik Barat. WHO memperkirakan
telah terjadi 50 - 100 juta kasus DBD pertahunnya di dunia, dengan 25.000 kasus
kematian (Gubler 1997).
Kasus penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada
tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu
penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh
propinsi di Indonesia telah terjangkit penyakit DBD. Sejak pertama kali ditemukan,
jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas
wilayah dan secara sporadis selalu terjadi KLB (kejadian luar biasa) setiap tahun
(Kristina et al. 2004).
Memasuki awal tahun 2004 telah terjadi KLB DBD di beberapa provinsi yaitu
Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, DKI Jakarta, Jawa Barat, NTT, NTB, dan Kalimantan
Selatan. Insidens kasus (IR) tertinggi terjadi di DKI Jakarta yaitu 69,92 per 100.000
penduduk dengan risiko kematian (CFR) 0,8% selanjutnya NTT 12,47 per 100.000
penduduk dengan CFR = 4,1%, DI Yogya 11,94 per 100.000 penduduk dengan CFR =
3,8% (Kandun 2004).
DBD, Insiden dan CFR
Indonesia, 1968‐2007 (Sep)

IR dan CFR

60

40

20

Tahun

2010

2008

2006

2004

2002

2000

1998

1996

1994

1992

1990

1988

1986

1984

1982

1980

1978

1976

1974

1972

1970

1968

0

IR/100.000
CFR(%)

Gambar 1 Profil Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 1968 - 2007
(Sumber : Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&PL. DEPKES RI 2007)

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2003-2007), jumlah kejadian kasus DBD di
Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup tajam. Berdasarkan laporan kasus
sejak Januari - Maret tahun 2004 total kasus DBD di seluruh propinsi Indonesia sudah
mencapai 26.015, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang (CFR=1,53% ). Pada
tahun 2007 kasus di Indonesia sampai bulan September adalah 123.828 kasus, dengan
jumlah kematian sebanyak 1.256 orang (Gambar 1) (DEPKES 2007).
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus, famili
Flaviridae yang terdiri atas empat serotipe yaitu, DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.
Penyakit ini disebarkan oleh nyamuk A. aegypti sebagai sumber penularan utama
biasanya banyak ditemukan di negara tropis khususnya di Asia Tenggara, sedangkan
A. albopictus telah dikenal sebagai vektor kedua yang juga penting dalam mendukung
keberadaan virus (WHO 2004).
Cara penularan penyakit DBD adalah melalui gigitan nyamuk betina Aedes yang
terinfeksi pada saat menghisap darah dari seseorang yang mengalami fase demam akut
(viraemia). Setelah melewati periode inkubasi ekstrinsik selama 8 – 10 hari, kelenjar
nyamuk tersebut akan terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk
menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan tubuh orang lain.
Virus akan tetap bertahan di tubuh nyamuk sepanjang hidupnya, sehingga nyamuk
yang terinfeksi virus dengue mampu menularkan penyakit ini kepada orang lain selama
hidupnya (DEPKES 2005).
Selama masa inkubasi di tubuh manusia (intrinsik) yaitu sekitar 3 – 14 hari maka
akan timbul gejala awal penyakit secara mendadak, yang ditandai dengan demam,
pusing, myalgia dan berbagai tanda non spesifik lainnya. Nyamuk A. aegypti dan A.
albopictus lebih aktif mencari mangsanya di siang hari di banding nyamuk lain yang
cenderung menyerang manusia pada malam hari. Setelah menggigit tubuh manusia,
perut nyamuk akan terpenuhi darah kira-kira dua hingga empat miligram atau sekitar
1,5 kali berat badannya (Kristina et al. 2004).

2.2. Penyakit Chikungunya
Penyakit Chikungunya ditemukan pertama kali di negara Afrika dan selanjutnya
menyebar ke Asia. Penyakit ini kemudian menyebar luas ke seluruh wilayah Afrika
dan Asia, termasuk India, Srilanka, Myanmar, Thailand, Indonesia dan Malaysia. Hasil
penelitian di Bangkok (Thailand), Vellore dan Madras (India) menunjukkan terjadinya
gelombang epidemi dengan interval 30 tahun. Satu gelombang epidemi umumnya
berlangsung beberapa bulan, kemudian menurun dan bersifat ringan sehingga sering
tidak termonitor (Sam et al. 2006). Di India, kasus Chikungunya terjadi antara bulan
Februari sampai dengan Agustus tahun 2006 sebanyak dua juta kasus (Kumar et al.
2007).
Kasus Chikungunya di Indonesia sudah menyebar di 11 Provinsi selama tahun
2001 – 2005. Kasus ini menyebar luas di Provinsi DI Nangroe Aceh Darusalam, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat, dengan jumlah
kasus sebanyak 12.695 penderita tanpa kematian. Selama kurun waktu 7 tahun (20012007) total kasus Chikungunya adalah 18.169 kasus. Kejadian penyakit ini
berfluktuasi, kasus tertinggi pada tahun 2003 yaitu sebanyak 8870, pada tahun 2005
menurun menjadi 442 kemudian meningkat lagi pada tahun 2007 yaitu sebanyak 1111
kasus (Gambar 2) (DEPKES 2007).

8870

9000
8000
7000

2001

6000

2002
2003

5000

2004
4000

2005
2006

3000

2007
1818

2000
1000

1407

1266
539

1111
442

0

Gambar 2 Profil Kasus Chikungunya di Indonesia tahun 2001 - 2007
(Sumber : Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&PL. DEPKES RI 2007)

Chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya (CHIKV), Genus Alphavirus,
Famili Togaviridae. Virus chikungunya pertama kali diisolasi oleh Ross sejak
terjadinya epidemi dengue di wilayah Newala, Tanzania yaitu pada tahun 1953 (Diallo
et al. 1999). Seperti halnya DBD, sumber penularan utama penyakit Chikungunya
adalah nyamuk A. aegypti dan A. Albopictus (Kusriastuti 2003). Gejala utamanya
adalah demam mendadak, nyeri persendian terutama sendi lutut, pergelangan, jari kaki,
tangan serta tulang belakang yang disertai ruam (bintik-bintik kemerahan) pada kulit
(Diallo et al. 1999).
Demam Chikungunya relatif kurang berbahaya dibandingkan dengan penyakit
DBD, karena penyakit ini dapat sembuh sendiri (self limiting disease). Masa inkubasi
dalam tubuh manusia (intrinsik) sekitar 2 - 4 hari, sementara manifestasi klinis antara 3
- 10 hari. Meski demikian, demam Chikungunya dapat menyebabkan penderita
mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan ini hanya bersifat sementara karena pengaruh
dari proses perkembangbiakan virus dalam darah yang menimbulkan nyeri pada
persendian dan tulang sehingga sulit menggerakkan anggota tubuh. Walaupun bukan
kelumpuhan total, namun dapat menghambat produktivitas kerja dan aktivitas seharihari (Diallo et al. 1999).
Menurut Kumar et al. (2007) kemiskinan merupakan faktor penting tejadinya
infeksi Chikungunya dan dapat memperburuk permasalahan kemiskinan masyarakat.
Masyarakat kaya secara umum juga dapat terserang penyakit ini, proporsi tertinggi
adalah pada usia produktif dengan gejala yang panjang lebih dari dua minggu sehingga
berdampak

pada

produktivitas/penghasilan

berkurang.

Hasil

penelitian

ini

menunjukkan adanya hubungan antara kemiskinan dan infeksi yang terjadi karena
malnutrisi sehingga semakin menambah individu yang rentan terhadap serangan
penyakit tersebut.

2.3. Lingkungan dan kehidupan Aedes
Siklus Hidup. Vektor yang berperan dalam penularan DBD dan demam
Chikungunya adalah nyamuk famili Culicidae, subfamili Culicinae, genus Aedes,
spesies aegypti dan albopictus (Gubler et al. 1997). Nyamuk ini mengalami
metamorfosis sempurna (holometabola), meliputi empat tahapan yaitu telur, larva
(jentik) pupa dan dewasa. Larva dan pupa memerlukan air untuk kehidupannya,
sedangkan telur pada A. aegypti tahan hidup dalam waktu lama tanpa air, meskipun
harus tetap dalam lingkungan yang lembab (Christophers 1960).

Telur. Telur Aedes yang masih baru berwarna putih namun setelah satu atau dua
jam berubah menjadi hitam berbentuk oval. Dinding luar telur (exochorion)
mempunyai bahan yang lengket (glikoprotein) yang akan mengeras bila kering. Telur
akan menetas selama satu sampai tiga hari pada suhu antara 23 oC - 30oC dan
kelembaban 60-80%, tetapi membutuhkan tujuh hari pada suhu 16oC (Christophers
1960).
Nyamuk Aedes dapat menghasilkan 80 - 125 butir telur (rata-rata 100 butir)
setelah menghisap darah (Hoedojo 1993). Hasil penelitian di Sam Hughes (Amerika),
300 nyamuk betina A. aegypti mampu menghasilkan 20.000 telur selama 4 bulan
(Ginley 2001). Rumini (1980) melaporkan bahwa nyamuk A. albopictus rata-rata
meletakkan telur 52 butir setiap kali bertelur.
Telur dapat bertahan pada kondisi kering dalam waktu lebih dari satu tahun.
Kemampuan bertahan memberikan keuntungan bagi kelangsungan hidup spesies
tersebut selama iklim yang tidak menguntungkan (WHO 2004). Agustina (2006)
melaporkan bahwa waktu penetasan telur yang disimpan lebih lama daripada waktu
penetasan telur dalam keadaan segar (baru) serta kondisi yang lebih baik. Telur yang
disimpan selama dua minggu menunjukkan tanda mulai mengkerut dan kering.
Larva. Larva Aedes berbentuk silindris dengan kepala membulat, antena pendek
dan halus. Alat pernafasan larva menggunakan siphon yang berada di ruas ke delapan
dari abdomen, sedangkan untuk mengambil makanan menggunakan rambut-rambut
yang ada di kepala yang berbentuk seperti sikat (Christophers 1960). Morfologi larva
A. aegypti mirip dengan A. albopictus, perbedaannya terlihat pada bentuk sisir yang
terdapat di segmen abdomen ke delapan (Mattingly 1957) (Gambar 3).
Larva mengalami empat kali instar, lama stadium ini hanya berlangsung selama
enam sampai sembilan hari (Christophers 1960). Lamanya larva mengalami moulting
(pergantian kulit) dan ukuran larva dipengaruhi oleh nutrisi atau makanan yang
diperoleh. Secara umum makanan larva di alam berupa mikroba dan jasad renik seperti
flagelata, ciliata, dan rhizopora (zooplankton dan fitoplankton) (Rumini 1980)).
Larva Aedes yang dipelihara dengan ekstrak hati, ragi dan vitamin B pada suhu
28 oC membutuhkan waktu 4 – 8 hari selama empat stadium. Perkembangan larva juga
dipengaruhi oleh pH yang merupakan faktor dalam menentukan sebaran populasi
larva. Larva Aedes dapat hidup dalam wadah yang mengandung air dengan pH 5,8 –
8,6 dan tahan terhadap air mengandung kadar garam dengan konsentrasi 10,0 – 59,5 g
klor/ltr (Hoedojo 1993).

A
B
Gambar 3 Morfologi bentuk sisir larva A. aegypti seperti trisula (A) dan sisir larva A.
albopictus berbentuk lancip (B)

A
B
Gambar 4 A. aegypti (A) dan A. albopictus (B) Saat Menghisap Darah
(Sumber : www.mosquitomagnetdepot.com)

Pupa. Pupa Aedes berbentuk koma, pada fase ini pupa tidak membutuhkan
makanan. Pada permulaan pupa berwarna putih kemudian berubah menjadi coklat dan
sebelum dewasa menjadi hitam. Kepala dan thoraks tebal, abdomen melengkung ke
bawah dan kebelakang, hanya dapat bergerak vertikal setengah lingkaran. Pupa
bernafas melalui tabung pernafasan yang berbentuk seperti segitiga, tabung pernafasan
ini merupakan ciri khas nyamuk Aedes (Christophers 1960). Lama stadium pupa
menjadi nyamuk dewasa adalah satu sampai dua hari (Hoedojo 1993).
Dewasa. Morfologi nyamuk Aedes dewasa berukuran lebih kecil dari nyamuk
Culex quinquefasciatus, ujung abdomennya lancip, berwarna hitam dengan belangbelang putih pada seluruh bagian tubuhnya termasuk kaki-kakinya. Nyamuk A. aegypti
pada thoraksnya terdapat bulu-bulu halus berwarna putih yang membentuk lire

sedangkan A. albopictus bulu-bulu halus yang berwarna putih tersebut membentuk
garis putih tebal yang lurus dan memanjang (Mattingly 1957).
Secara umum A. aegypti dan A. albopictus betina mempunyai daya terbang
sejauh 50– 100 meter. Penelitian di Puerto Rico menunjukkan bahwa nyamuk betina
dewasa menyebar lebih dari 400 meter untuk mencari tempat bertelur. Kedua spesies
nyamuk inipun mampu hidup dan berkembang biak sampai pada wilayah dengan
ketinggian ± 1000 m dari permukaan air laut (WHO 2004).
Kelangsungan hidup nyamuk Aedes di laboratorium sangat dipengaruhi oleh
jenis makanan, nyamuk yang tidak diberi makan dapat bertahan hidup selama 7 hari,
diberi larutan gula dapat bertahan selama 20 hari dan bila diberi darah maka umur
nyamuk dapat mencapai 93 hari (Christophers 1960). Hoedojo (1993) melaporkan
bahwa sebagian besar nyamuk A. aegypti yang diberi air gula dapat bertahan hidup
sampai dua bulan.
Perilaku Mencari Pakan. Secara umum, perilaku mencari pakan dari nyamuk
A. aegypti dan A. albopictus jantan adalah menghisap cairan tanaman sedangkan
nyamuk betina menghisap darah yang digunakan untuk mematangkan telur. Sifat dari
nyamuk Aedes adalah cenderung menghisap darah manusia daripada hewan
(antropofilik). Aktivitas mencari pakan nyamuk betina yaitu mulai pagi sampai
petang hari, dengan 2 puncak aktivitas antara jam 09.00 – 10.00 dan 16.00 – 17.00.
Nyamuk Aedes mempunyai perilaku menghisap darah berulang kali (multiple bites)
dalam satu siklus gonotropik, nyamuk ini juga sangat efektif untuk menularkan virus
ke manusia (WHO 2004).
Kawada et al. (2007) melaporkan bahwa aktivitas mencari pakan A. albopictus
adalah kurang dari 0,1 kali dibandingkan dengan A. aegypti dalam kondisi
laboratorium, hasil ini konsisten dengan kecenderungan menggigit kedua spesies
tersebut di alam. Frekuensi target-serangan (aktivitas mencari pakan) pada nyamuk
betina A. aegypti dalam kondisi unfed adalah 30 kali lebih besar daripada nyamuk A.
albopictus pada beberapa perlakuan di laboratorium (Kawada, et al. 2007).
Habitat. Tempat berkembang biak larva nyamuk A. aegypti adalah kontainer
buatan yang berada di lingkungan perumahan. Habitat larva nyamuk ini bersifat
buatan manusia yang banyak ditemukan di dalam rumah dan sekitar lingkungan
perkotaan (rumah tangga, lokasi pembangunan dan pabrik), misalnya botol minuman,
pot bunga, bak mandi, tong kayu dan logam, ban, kaleng, pipa saluran (WHO 2004).

Agustina (2006) melaporkan bahwa A. aegypti dapat hidup di air terkontaminasi
deterjen dengan perolehan telur tertinggi 2,7 ppm, kaporit dengan konsentrasi 10 ppm
ditemukan perolehan telur tertinggi, pada tanah konsentrasi 30 gr/ml juga memperoleh
jumlah telur tertinggi sedangkan air yang terkontaminasi feses ayam, perolehan telur
tetinggi pada konsentrasi 10 gr/ml.
Habitat larva yang alami seperti lubang pohon, bambu, ketiak daun, dan
tempurung kelapa merupakan habitat utama larva A. albopictus (WHO 2004).
Perbedaan habitat antara A. aegypti dan A. albopictus tersebut menunjukkan adanya
pemisahan ekologi, A. aegypti Asia lebih bersifat domestik dan endophagik daripada
A. albopictus (Ishak et al. 1997 dalam Kawada et al. 2007).

2.4. Tumbuhan Sebagai Larvasida dan Insektisida nabati
Larvasida Nabati. Beberapa tanaman telah dilaporkan mempunyai bioaktivitas
sebagai larvasida dengan cara menghambat pertumbuhan bahkan menyebabkan
kematian larva. Pada umumnya bahan aktif yang diperoleh dari tanaman berupa
essential oil yang berfungsi sebagai larvasida dan bersifat toksik bagi nyamuk dewasa
(Aminah et al. 1995).
Efek insektisida dari essential oil yang diperoleh dari tanaman Origanum onites
dan Origanum minutiflorum terhadap larva Culex pipiens secara berturut-turut
diperoleh nilai LC50 sebesar 22,4 ppm dan 73,8 ppm, sedangkan LC90 berturut-turut
adalah 61,3 ppm dan 118,9 ppm (Cetin & Yanikoglu 2006). Tanaman Carapa
guianensis dari famili Meliacea mempunyai sifat repelensi terhadap nyamuk dewasa.
Tanaman tersebut juga mempunyai efek sebagai larvasida dengan LC50 sebesar 0,74%
terhadap larva A. albopictus instar 3 dan 0,66% pada instar 4 (Silva et al. 2004).
Dilaporkan bahwa ekstrak buah lerak bersifat toksik terhadap larva nyamuk
dengan LC50 sebesar 0,450 mg/l sedangkan LC100 sebesar 0,9 mg/l. Saponin dalam
buah lerak diduga mengandung hormon steroid yang berpengaruh dalam pertumbuhan
larva nyamuk. Larva yang mati dalam perlakuan ekstrak buah lerak memperlihatkan
kerusakan pada dinding saluran cerna (traktus digestivus). Hal ini diakibatkan karena
saponin dapat menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa saluran cerna
sehingga menjadi korosif (Aminah et al. 1995).
Minyak yang diperoleh dari ekstrak Ipomoea cairica, pada konsentrasi 100 ppm
telah berhasil membunuh 100% larva C. tritaeniorhynchus dengan nilai LC50 sebesar
14,8 ppm. Konsentrasi 120 ppm mampu membunuh larva A. aegypti dan Anopheles

stephensi dengan nilai LC50 secara berturut-turut adalah 22,3 ppm dan 14,9 ppm
(Thomas et al. 2004).
Fitriana (2006) melaporkan bahwa dari hasil uji aktivitas larvasida minyak atsiri
kuncup bunga cengkeh (Syzygium aromatikum) terhadap kematian larva nyamuk
Anopheles aconitus instar 3 diperoleh nilai LC90 sebesar 67,69 ppm. Minyak tanaman
camphor, thyme, amyris, lemon, cedarwood, fankincense, dill, verbena dan
sandalwood memiliki bioaktivitas sebagai larvasida. Nilai LC50 sebesar 1 – 101,3 ppm
untuk larva A. aegypti, sebesar 9,7 – 101,4 ppm pada A. stephensi dan sebesar 1 – 50,2
ppm pada C. quinquefasciatus (Amer & Melhorn 2006).
Rahuman et al. 2007 melaporkan bahwa ethyl acetate, butanol dan ekstrak
petroleum ether dari lima spesies tanaman Euphorbiaceae, yaitu J. curcas, Pedilanthus
tithymaloides, Phyllanthus amarus, Euphorbia hirta dan E. tirucalli mampu
membunuh larva A. aegypti dengan LC50 secara berturut-turut adalah 8,79 ; 55,26 ;
90,92 ; 272,36 ; 4,25 ppm dan dapat membunuh C. quinquefasciatus sebesar 11,34 ;
76,61 ; 113,40 ; 424,94 ; 5,52 ppm selama 24 jam pengamatan. Ekstrak petroleum
ether dari J. curcas dan E. tirucalli yang lebih efisien dibanding dengan tanaman
lainnya.
Pradono et al. (2007) melaporkan bahwa minyak biji kamandrah (C. tiglium)
mempunyai konsentrasi efektif LC50 sebesar 769,52 ppm dan LC90 sebesar 2717,4 ppm
terhadap kematian larva A. aegypti selama perlakuan 24 jam. Sementara itu, Riyadhi
(2008) melaporkan bahwa minyak biji jarak pagar (J. curcas) mampu membunuh larva
A. aegypti dengan nilai LC50 sebesar 1507 ppm.
Insektisida Nabati. Insektisida ini mempunyai daya tarik bagi banyak pihak
karena merupakan insektisida alamiah yaitu insektisida yang didapatkan dari tanaman.
Beberapa insektisida nabati yang umum digunakan yaitu piretrum, nikotin, dan
rotenon, limonene atau d-limonene dan azadirachtin (Indrosancoyo 2006 dalam Sigit &
Hadi 2006).
Di antara insektisida yang masih dipakai, piretrum merupakan insektisida nabati
untuk mengendalikan berbagai serangga hama permukiman dan tidak berbahaya bagi
mamalia. Piretrum berasal dari ekstrak bunga Chrysanthemum cinerariaefolium.
Insektisida ini bekerja dengan menyerang sistem syaraf pusat pada serangga sehingga
dapat melumpuhkan (knockdown) serangga secara cepat

Di Indonesia sebelum

penggunaan piretroid, piretrum digunakan sebagai bahan aktif lingkaran anti nyamuk.

Bahkan bahan ampas dari sisa ekstrak tanaman hingga kini masih digunakan sebagai
campuran anti nyamuk bakar (Indrosancoyo 2006 dalam Sigit & Hadi 2006).
Nikotin adalah suatu alkaloid yang berasal dari ekstrak tanaman tembakau.
Nikotin bekerja dengan mimik/meniru asetilkholin pada persimpangan neuromuskular
binatang yang dapat mengakibatkan kejang, konvulsi dan kematian secara cepat. Pada
serangga kejadiannya sama, namun hanya terjadi di ganglia pada sistem saraf pusat
(SSP) (Opender & Dhaliwal 2005).
Rotenon dihasilkan dari akar/rhizome dari tanaman Derris elliptica. Rotenon
biasa digunakan untuk reklamasi kolam yaitu dengan mengendalikan ikan yang ada,
kemudian digantikan dengan spesies ikan yang dikehendaki. Pada konsentrasi yang
disarankan rotenon merupakan pembunuh ikan yang selektif namun tidak toksik
terhadap organisme makanan ikan yang ada serta dapat terurai secara cepat. Sebagai
insektisida, rotenon adalah racun kontak dan perut, yang membunuh serangga secara
perlahan yang diikuti dengan aktivitas berhenti makan (stop feeding action). Rotenon
banyak digunakan untuk pengendalian serangga di taman dan kebun di sekitar rumah
(Indrosancoyo 2006 dalam Sigit & Hadi 2006).
2.5. Kamandrah (Croton tiglium)
Kamandrah merupakan nama lokal untuk daerah Kalimantan Tengah, di daerah
lain tanaman ini disebut simalakian (Sumatera Barat), ceraken (Jawa), roengkok
(Sumatera Utara), semoeki (Ternate), kowe (Tidore), sedangkan nama umum adalah
cerakin. Tanaman ini tergolong dalam divisi Spermatophyta, kelas Dicotyledoneae,
famili Euphorbiaceae, genus Croton, spesies tiglium (Hutapea, 1994).
Kamandrah merupakan tanaman semak, pohon kecil, tinggi sekitar 5-24 meter.
Batang tanaman tegak, bulat, berambut dan berwarna hijau. Pangkal daun tanaman
bergerigi, berseling, lonjong, bagian ujung runcing, pangkal membulat dan berdaun
tunggal. Panjang daun 3-4,5 cm, lebar 1-3,5 cm, tangkai silindris, panjang 2-2,5 cm,
pertulangan menyirip dan berwarna hijau. Bunga berbentuk majemuk dan berbulir,
kelopak membulat, benang sari putih kekuningan, kepala putik bulat, mahkota
berbentuk corong kuning. Buah berbentuk kotak, bulat, dengan diameter 0,5 cm dan
berwarna hijau. Biji berbentuk bulat telur, kecil dan berwarna hitam. Akar tanaman ini
berwarna putih dan termasuk akar tunggang (Pradono et al. 2007).
Menurut Guerrero et al. (1990) kamandrah mengandung rotenon dan saponin,
air rebusan akarnya digunakan oleh masyarakat Filipina untuk menggugurkan
kandungan. Minyak kental yang diperoleh dari biji kamandrah dig