Manusia Mencipta Kotak-kotak Semu

Manusia Mencipta Kotak-kotak Semu

Erik H. Erikson, tokoh psikologi perkembangan-sosial terkemu ka, mengintodusir terma pseudo-speciation (1968). Species berarti klasifikasi makhluk hidup ke dalam ciri-ciri biologis yang sama, di mana anggota kelompok yang sama dapat saling mengawini dan beranak-pinak, tetapi anggota kelompok yang berbeda tidak bisa melakukannya. Pseudo berarti palsu atau semu. Berdasarkan gene tikanya (genetic-speciation), manusia adalah spesies yang sama. Tetapi menurut Erikson, secara sosial-budaya (psychosocial-specia tion), spesies manusia yang satu ini lalu memilah diri menjadi ratusan ribu suku bangsa dengan berbagai bahasa, adat istiadat, agama, dan ideologi berbeda. Terma pseudo- speciation atau spesiasi-semu menunjuk pada fakta bahwa perbedaan budaya menyebabkan manu sia terpilah-pilah ke dalam berbagai kelompok sosial.

Pengotakan budaya ini memberi sense of identity yang membuat anggota suatu kelompok merasa berbeda dan memiliki superioritas dibanding kelompok lainnya. Setiap kelompok merasa bahwa kelom - poknya istimewa; merasa diciptakan untuk hadir ke tengah semesta oleh kehendak supranatural dengan tujuan paling mulia. Masing- masing merasa memiliki lokus geografis, ekonomi, sosial-budaya dan teologi khusus dan lebih unggul dari kelompok-kelompok lainnya. Perasaan ini membuat setiap kelompok ingin mendapatkan ruang dan momentum yang unik dalam meng-ada (to exist) dan menjadi (to be) di tengah alam semesta. Pada gilirannya, perasaan menjadi ”pusat alam semesta” (center of the universe) ini makin mengafirmasi superioritasnya di atas segala kelompok lain.

Spesiasi-semu ini mendorong manusia untuk membekali diri, kelompok dan semestanya dengan peralatan dan senjata, peran dan aturan, legenda, mitos, dan ritus. Semua ini berfungsi mengikat ang - gotanya dalam kebersamaan, dan memberi anggotanya identitas sosial sebagai kelompok yang superior, serta memiliki arti penting di dunia. Pada urutannya, secara positif identitas kelompok mampu melahirkan

84 | Ahmad Syafii Maarif 84 | Ahmad Syafii Maarif

Namun, spesiasi-semu juga memiliki sisi gelap. Sejarah menun juk - kan bahwa hanya sedikit suku bangsa dan kelompok budaya yang berhasil menjalankan proses spesiasi-semu ini secara damai dalam kurun waktu lama. Ketika terjadi perubahan penuh guncangan, maka gagasan menjadi spesies paling unggul dipertahan kan melalui keta - kutan yang fanatik dan kebencian terhadap kelom pok lain. Kelom pok lain dianggap sebagai ancaman yang akan mengurangi kedig dayaan, kesejahteraan dan keunggulan kelompok sendiri, dan karena nya, harus dilemahkan atau dihilangkan dengan cara menyerang dan menaklukkan melalui perang, atau dengan membuat aturan, adat, dan perundangan yang diskriminatif terhadap ”kelom pok lain” dan ”orang asing”.

Dinamika survival dasar ini dimiliki oleh umat manusia secara universal. Sisi gelap spesiasi-semu dapat menjadi lebih intens dan dominatif di bawah pengaruh displasi sejarah dan deprivasi ekonomi, yang membuat idealisasi-diri (self-idealization) masing-masing kelompok lebih eksklusif dan defensif.

Spesiasi-semu kerap membawa kita melakukan dehumanisasi terhadap kelompok budaya lain. Sejarah modern mencatat bahwa mentalitas spesiasi-semu tidak secara otomatis hilang walau manusia telah banyak mengalami kemajuan peradaban dan ilmu penge tahu an. Bahkan negara-negara yang dianggap paling beradab dan ”maju” pun dapat dicengkeram oleh mentalitas spesiasi-semu yang fanatik, brutal dan banal. Kemenangan cengkeraman mentalitas ini dicontoh kan oleh Nazi Jerman di bawah kekuasaan Hitler, dengan melakukan genosida terhadap kaum Yahudi (Staub, 1989). Sisi gelap spesiasi-semu semacam ini, sedihnya, kini semakin kerap terjadi dan menjadi obsesi resiprokal dari banyak kelompok, seiring dengan semakin berku rangnya sumberdaya yang mampu mencukupi kebutuhan semua umat manusia di bumi renta yang makin terkuras kekayaannya ini.

Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita | 85