ANALISA PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN TANGSEL
5.1. ANALISA PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN TANGSEL
Di Kota Tangerang Selatan berbagai usaha produksi baik yang dihasilkan dari industri kecil menengah (IKM) maupun usaha kecil menenagah (UKM) sangat banyak dan beragam namun terpisah-pisah baik secara struktur usaha maupun wilayah usaha mereka, termasuk usaha-usaha penunjangnya sehingga tidak mengembangkan efektifitas dan efesiensi produksi yang pada akhirnya kurang membangun aspek komptetif produk untuk dapat menjadi unggulan daerah.
Sebagai contoh kasus, usaha budidaya anggrek di Kota Tangerang Selatan merupakan usaha produksi yang berpotensi untuk dikembangkan Sebagai contoh kasus, usaha budidaya anggrek di Kota Tangerang Selatan merupakan usaha produksi yang berpotensi untuk dikembangkan
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam kaitan pengembangan kompetitif produk-produk potensial daerah yang diharapkan dapat menjadi unggulan di Kota Tangerang Selatan jelas membutuhkan suatu model sebagai sebuah pendekatan pengembangannya yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintah daerah Kota Tangerang Selatan guna menumbuhkembangkan potensi unggulan tersebut.
Model yang secara umum dikembangkan dan telah memperlihatkan hasil posistif bagi peningkatan nilai kompetitif produk unggulan daerah dan model yang juga digunakan secara nasional untuk kepentingan tersebut adalah model klaster yang dipopulerkan oleh Michael Porter dalam bukunya The Competive advantage of Nation (The Free Press, New York 1990). Pandangan porter atas klaster dimaksud yang banyak dikutip dalam kajian-kajian pengembangan nilai kompetetif produk dan industri adalah:
“ A Consequence of the system of (diamond) determinants is taht a nation’s competitive industries are not spread evenly through the economy but are connected in what i term cluster cosisting of industries related by links of various kinds” (porter, 1990)
Michael Porter mendudukkan aspek kompetitif industri di suatu negara (dalam kontek keunggulan) dibangun dengan pendekatan klaster yang terkoneksi dan saling menunjang. Meski porter tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan kalster tersebut, namun dalam konteks pendekatan diamond dapat diterjemahkan makna klaster dimaksud sebagai suatu integrasi unit-unit usaha yang saling terkoneksi antara satu dengan lainnya dalam suatu kawasan tertentu sehingga dapat menciptakan nilai efektifitas dan efesiensi produksi yang berujung pada daya saing ( the competitives aspect).
Merujuk pada hal itu, kita dapat memahami pendekatan model klasterisasi industri maupun usaha yang akan dikembangkan agar lebih kompetetif dan berdaya saing adalah dengan mengembangkan integrasi usaha dalam suatu wilayah yang memudahkan konektifitas, efektifitas dan efesiensi dengan tetap mendasarkan pada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi (determinat) yaitu : (1) Factor Condition; (2) Demand Factor; (3) Related and Supporting Industries; (4) Firm Strategy, Stucture and rivalry, dengan ditambah 2 (dua) faktor penujang yaitu: (1) Role of Change; (2) Role of Government. Keseluruhan dari faktor tersebut sangat mempengaruhi nilai kompetitif baik industri atau usaha tertentu yang dapat diunggulkan di suatu negara atau di daerah.
Model pendekatan klaster dalam teori porter sangat kental dengan pendekatan kewilayahan artinya klaster dibangun berdasarkan kedekatan jarak yang memungkinkan integrasi dan efektifitas koordinasi dan komunikasi usaha sehingga dapat menunjang secara signifikan pengembangan klaster yang secara langsung tentu menunjang pengembangan usaha itu sendiri.
Jika merujuk pada konsistensi teorinya, maka dalam kaitan pengembangan produk unggulan Kota Tangerang Selatan, kita dapat membagi klaster ke dalam wilayah kecamatan yang masing-masing dapat mewakili klaster industri kecil menengah maupun usaha kecil menengah. Pola sebaran klaster berdasarkan pendekatan kewilayahan (kecamatan) dapat dibangun berdasar pada kondisi eksisting industri usaha inti yang telah ada maupun dengan menggunakan pengembangan baru di wilayah tertentu yang secara objektif memudahkan pembangunan klaster tersebut. Hanya saja yang penting untuk dijaga adalah konsistensi integrasi antar unit-unit usaha dan lembaga-lembaga pendukung dalam wilayah tersebut serta metode pendekatan 4 (empat) determinan dalam diamond porter sebagai instrumen pendorong kompetetif produk unggulan klaster.
Pengalaman praktek pelaksanaan atau implementasi kalsterisasi industri di negara-negara lain telah menginspirasi atas praktek yang sama di dalam negeri. Konsep model klasterisasi seperti one village one product (OVOP) yang pertama kali berkembang di oita Jepang, telah sukses mendongkrak produk unggulan berbasis kewilayahan di Jepang.
Sebagai sebuah model kalster industri atau usaha dapat diadaptasi dengan kondisi dan potensi lokal dengan proses dan pentahapan yang dapat disesuaikan dengan konteksnya masing-masing. Secara umum sebagai satrategi dalam pegembangan klaster, prosesnya dapat dilakukan melalui 4 (empat) tahapan generik, yaitu:
a. Aktivitas awal inisiatif pengembangan klaster (perkuatan);
b. Penyusunan kerangka dan agenda pengembangan (perkuatan);
c. Implementasi; dan
d. Monitoring, Evaluasi serta perbaikan sistem (penyempurnaan).