SISTEM PENDIDIKAN YANG DIPERLUKAN UMAT ISLAM

TELAAH PENDIDIKAN

SISTEM PENDIDIKAN
YANG DIPERLUKAN UMAT ISLAM
MOHAMMAD DJAFNAN AFANDIE

De
mo
(

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

w.

pd


fsp

litm
erg
er.
co
m)

I

slam adalah agama yang lengkap dan dijamin Allah
SwT berlaku hingga akhir zaman. Kelengkapan ajaran
Islam digambarkan sebagai sebuah bangunan yang
lengkap, indah dan kokoh. Karena itu, proses pendidikan
Islam yang benar pun harus bisa menanamkan jiwa dan
pengertian Islam yang komplit dan benar ke dalam jiwa
murid.
Pada zaman Rasulullah saw, pendidikan telah
mendapat perhatian yang sangat besar dari beliau, karena

kualitas pendidikan akan menentukan kualitas generasi
mendatang. Pendidikan bermula dari keluarga, maka
kesadaran keluarga untuk menjaga kualitas pendidikan
anak-anaknya itu sangat penting. Pendidikan Islam tidak
terpisah dari hipotesis utama ajaran Islan, yaitu bertujuan
untuk melahirkan generasi yang berakhlak baik (shalih),
sehingga akan mendapat surga di hari akhir nanti.
Ada dua macam jenis peserta pendidikan generasi
pertama didikan Rasulullah Muhammad saw. Kelompok
pertama adalah para professional yang mendapat hidayah
Islam, seperti Khabab bin ‘Arab ra (pakar penempaan
besi [metallurgist]), Abu Bakar dan Utsman bin ‘Affan
ra (peniaga), ‘Umar bin Khattab (diplomat), Salman AlFarisi (arsitek), dll.
Kelompok kedua adalah anak-anak yang dilahirkan
di zaman Rasulullah saw sehingga memperoleh
pendidikan Islam sejak dini. Abdullah ibn Umar, Abdullah
ibn Mas’ud, dan Mu’adz bin Jabbal antara lain adalah
nama-nama yang tersebut dalam daftar kelompok itu.
Kedua kelompok itu disebut Rasulullah saw sebagai
generasi terbaik umat Islam. Artinya, untuk menjadi

seorang Muslim yang baik tidak perlu menjadi kafir
terlebih dahulu, melainkan dapat dicapai melalui
pendidikan sedari kecil.

Penyakit Pendidikan
Di antara sumber kelemahan umat Islam saat ini
adalah kekurangan intelektual dan ulama yang mumpuni.
Di tengah suasana yang semakin merasa “tak berdaya”
menghadapi tantangan zaman, maka lulusan-lulusan
universitas telah lahir menjadi intelektual yang juga merasa
tak berdaya. Prof. DR. HM Amien Rais dalam pidato
pengukuhan guru besarnya (1999) menyatakan, sumber
malapetaka suatu bangsa adalah ketak-berdayaan (jiwa)
para intelektualnya. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya
50

6 - 21 RAMADLAN 1431 H

Foto: DIDIK SUJARWO


ilmu-ilmu agama yang dimiliki para intelektual Muslim
saat ini, sebagai hasil dari proses pendidikan yang
dialaminya. Dengan kata lain, pendidikan yang dijalankan
di sekolah-sekolah Islam saat ini belum melahirkan
intelektual yang berjiwa dan berdaya.
Sehubungan dengan hal itu, sekolah-sekolah milik
Persyarikatan Muhammadiyah pernah dinilai oleh mantan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Ki Sarino, bahwa
kurikulum sekolah Muhammadiyah sejak zaman
penjajahan Belanda adalah mengikuti kurikulum
pemerintah ditambah beberapa jam pelajaran agama.

TELAAH PENDIDIKAN

pd

fsp

litm
erg

er.
co
m)

bekal asas bagi kemampuan kepemimpinan.
Butir pertama dan kedua dari daftar di atas adalah
hasil dari proses pewarisan nilai-nilai (transfer of values)
yang dapat dilakukan melalui keteladanan orang-tua, guru,
pamong dan lingkungannya. Bentuk pendidikan pesantren
atau sekolah berasrama (boarding school) adalah bentuk
yang memungkinkan proses-proses itu terjadi serentak
melalui contoh dan implementasi langsung. Integrasi
pengajaran pesantren dan sekolah menengah (SMP dan
SMA) dalam satu paket (tinggal di asrama selama 6
tahun) adalah pilihan yang paling mungkin.
Pemberian materi kepemimpinan dapat diberikan
melalui pengaturan jadwal kegiatan, salat berjamaah,
permainan, perlombaan, latihan khutbah, diskusi,
berorganisasi, kepanduan, kebersihan, dll. Secara khusus
penulis ingin menyampaikan perlunya dilakukan

perubahan teknik pengajaran bahasa Arab dengan caracara yang sistematik dan pemberian contoh kalimat dari
ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits, sehingga materi
beberapa pelajaran dapat diringkaskan. Peranan peralatan
audio-visual untuk membantu hafalan ayat-ayat AlQur’an dan Hadits sangat diperlukan.
Kemampuan menyerap nilai-nilai ijtihad—salah satu
ciri khas Muhammadiyah—dapat diberikan untuk tingkat
SMA dengan memaparkan Fiqih Perbandingan Mazhab
segera setelah materi Ilmu Fiqih, Ilmu Ushul Fiqih dan
Mantiq diberikan. Pemberian contoh kasus serupa
dengan yang diuraikan dalam buku Nailul Authar adalah
perlu. Materi Akidah Rububiyah dan Uluhiyah dalam
pelajaran tauhid dapat diperkaya dengan pendekatan
Falsafah sebagaimana digunakan Syeikh Muhammad
Abduh dalam kitab Risalah Tauhid, terutama untuk
tingkat SMA.
Dengan sistem pendidikan serupa ini diharapkan
murid memiliki wawasan dan bekal yang memadai untuk
menjadi seseorang yang menjalani ajaran Islam dengan
baik. Walaupun belum dapat disebut “ahli agama”, tetapi
diharapkan dapat menjadi “agamawan”, sehingga dapat

menjadi teladan bagi keluarga dan lingkungannya.
Pendidikan berasrama selama SMP dan SMA ini telah
dilakukan sejak lama di banyak negara-negara terkemuka
di dunia, seperti Jerman, Inggeris, India, Korea, Jepang
dan Malaysia untuk menghasilkan kader bangsa yang
terbaik. Sekolah-sekolah milik Muhammadiyah sampai
saat ini umumnya masih berorientasi pada kurikulum
yang ditetapkan oleh pemerintah dan tidak berasrama.
Pengayaan dengan materi-materi agama masih minim
diberikan, dengan pengecualian pada sedikit madrasahmadrasah tertentu, seperti Madrasah Mu’allimin dan
Mu’allimat di Yogyakarta.l
______________________________________________
Penulis adalah Penasehat Pimpinan Cabang Istimewa
Muhammadiyah Kuala Lumpur; Dosen di Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta

De
mo
(


Vi
sit

htt
p:/
/w
w

w.

Menurut beliau kurikulum semacam ini tidak akan
mampu melahirkan generasi yang memahami unsurunsur budaya masyarakatnya (transfer of value).
Hasilnya adalah generasi yang sesuai dengan sasaran
pemerintah, yakni menjadi pegawai negeri, bukan
pemimpin. Semangat kepemimpinan Islam tidak menjadi
dengan sempurna, sebenarnya karena ilmu-ilmu yang
diberikan di sekolah tidak mencukupi untuk menjadi bekal
bagi seorang pemimpin yang mumpuni.
Akibatnya, para tokoh umat yang lahir dari sistem
pendidikan seperti itu akan memiliki wawasan yang

cenderung birokratis, sehingga mengukur nilai-nilai
kejuangan dan agama dari aspek materialistik dan
birokratik. Tokoh-tokoh umat yang tidak memiliki ilmu
agama yang memadai tidak akan mampu memberikan
contoh yang baik dalam kehidupannya. Seorang Kristen
warga Jerman pernah mengakui, bahwa kemunduran
agama Kristen di Eropa adalah karena tiadanya
keteladanan di kalangan pemimpin Agama mereka.
Masalah lain yang berpengaruh pada pendidikan
adalah tantangan ekonomi masyarakat di masa depan
yang dijangka akan semakin industrialistik, dan karenanya
semakin profesionalistik. Masyarakat serupa itu akan
semakin individualistik, sehingga akan terjadi alienasi
antara seseorang dengan masyarakatnya. Keperluan
berkomunikasi sesama anggota masyarakat cukup
tersalurkan melalui fasilitas komunikasi dan kelompokkelompok kecil dalam bentuk klub sekantor atau sehobi,
dsb. Seiring dengan itu tekanan mental akan meningkat.
Dalam keadaan seperti ini masyarakat memerlukan
sentuhan hati yang “profetik” yang lebih dari zaman
sebelumnya. Pemberian materi tentang “ibadah hati”—

untuk menghindari kerancuan dengan istilah sufisme
yang mungkin identik dengan aliran-aliran tasawuf dan
upacaranya—patut diperhatikan di sekolah-sekolah kita.
Di sisi lain akan muncul hal-hal baru yang dapat
menjadi masalah hukum yang baru pula. Sebagai contoh,
telah terjadi suatu diskusi masalah fiqih yang hangat di
tahun-tahun 1950-an, mengenai masalah transfusi darah;
tahun 1970-an, mengenai transplantasi organ; tahun
1980-an, mengenai euthanasia; tahun 1990-an, mengenai
bayi tabung, dan lain-lain. Di bidang-bidang lain pun
muncul persoalan serupa, seperti masalah MLM (multi
level marketing).
Pendidikan Islam yang Ideal
Secara umum pendidikan Islam yang diperlukan
adalah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Mampu
mewariskan pemahaman tentang nilai-nilai ke-Islaman
yang utuh dan seimbang; 2. Melatihkan kebiasaan hidup
yang sesuai dengan akhlak Islam; 3. Memberikan bekal
asas bagi kemampuan profesional; 4. Memberikan bekal
asas untuk memahami persoalan-persoalan agama yang

baru dan mungkin muncul di masa depan; 5. Memberikan

SUARA MUHAMMADIYAH 16 / 95 | 16 - 31 AGUSTUS 2010

51