DIPERLUKAN VISI BARU PENDIDIKAN

DIPERLUKAN VISI BARU PENDIDIKAN
PROF. Dr. Johar, Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta berpendapat, untuk
mendukung terciptanya sebagai bangsa pemenang dalam dunia pendidikan saat ini,
sangat diperlukan sebuah paradigma baru tentang visi dan misi pendiikan .
Upaya yang harus dilakukan adalah memulai menerapkan sebuah sistem pendidikan yang
berorrientasi kepada pendidikan emotional question , spiritual question, intelegence
question dan adversity question terhadap lapisan masyarakat kecil dan masyarakat lapisan
bawah.
Sebuah bangsa yang menjadi pemenang dalam dunia pendidikan memiliki persyaratan
tertentu yang meliputi sumber daya manusia yang selalu mempunyai kreativiitas dalam
empat hal tersebut (Eq,SQ, IQ dan AQ). “Perubahan sumber daya manusia dari
kehidupan yang paling kecil, merupakan kunci penting untuk menjadi bangsa pemenang”
kata Prof. Johar.
Dia memberi contoh, “Adanya perhatian dan tanggungjawab orang tua terhaap anak
yang kaitannya dalam pendidikan, agar terciptanya sumber daya manusia seperti yang
kita harapkan.” Juga ditandaskan, tidak kalah pentingnya ‘terdidik’nya pendidikan
lingkungan terhadap si anak merupakan faktor penting di dalam kerangka pembentukan
sumber daya manusia yang kuat dalam menghadapi situasi dan kondisi perkembangan
yang mengarah kepada pendidikan.
Untuk mengubah kondisi pada saat sekarang ini, menurut Hendra Hermawan, Spd, tidak
mudah dilakukan karena beberapa faktor kendala yang ada. Sekarang ini, sebenarnya

lembaga-lembaga pendidikan formal sudah semakin merosot, lembaga pendidikan yang
ada hanya berorientasi kepada masalah finansial dan keuntungan. “Bukan sebagai
lembaga untuk menigkatkan kualitas dan mutu pendidikan!”, kata Hendra. Kendati tidak
semua lembaga pendidikan menampakkan ‘muka’ seperti itu, tetapi gejala yang mengarah
kepada penurunan kualitas dan melunturnya diealisme misi dan visi pendiidikan yang
utama sudah semakin terlihat jelas. Di tahun 70-an, lembaga pendidikan tinggi seperti
UGM, ITB, UI dan IPB merupakan profil perguruan tinggi yang masih dianggap sebagai
perguruan tinggi yang mampu mencetak para intelketual murni. Para lulusannya
kebanyakan dapat menjadi ‘orang’ dan jika harus mengabdi kepada ilmu pengetahuan
maka dia dapat dikatagorikan sebagai ilmuwan yang mampu berdedikasi tinggi.
Yang terlihat pada era 2000-an adalah semakin bergesernya lembaga pendidikan tinggi
mengarah kepada orientasi komersial. Tidak demikian sebetulnya dengan perguruan
tinggi swasta, seperti yang terlihat pada lembaga pendidikan Perguruan Tinggi
Muhammadiyah (PTM). Lembaga pendidikan ini, kendati mampu menampilkan citra
yang komit terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi biaya pendidikan
sungguhnya tidak terjangkau oleh rakyat kecil kebanyakan. “Lembaga pendidikan hanya
bisa dinikmati oleh orang-orang yang berprediket kelas menengah ke atas, sedang kelas
bawah masih harus gigit jari tidak tersentuh!”
Untuk bisa bersaing dalam tantangan global ke depan, Hendra sangat sependapat, jika
kita harus memiliki kualitas sumber daya manusia yang berkualitas untuk menuju ke

arah sana. Dan faktornya adalah terletak pada lembaga pendidikan kita.

Kondisi visidan misi yang tidak jelas, juga dirasakan oleh Dr. Jamaludin Ancok, psikolog
dari UGM, bahwa Depdiknas tidak pernah merumuskan visi secara jelas. Dulu pernah
ada konsep link and match, tapi waktu itu juga penuh kontroversi. “Kita tidak pernah
sepakat soal ini,” katanya. Konsep link and match adalah konsep yang menghubungkan
antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Kita hanya mengajar ketrampilan dan
ternyata ketinggalan zaman. Pendidikan sekarang ini memerlukan orang yang mau
mencari ilmu terus menerus. Utlubul ilmi minal mahdi ilal lahdi, tuntutlah ilmu dari
ayunan hingga liang kubur, demikian pendidikan yang diajarkan oleh ajaran Islam. “Jadi
kita memerlukan orang yang mau belajar terus-menerus”, tambahnya. Menurutnya, kita
juga harus membentuk manusia yang fathonah (cerdas) dan bijaksana, membentuk
manusia sidiq, amanah, dan tabligh.
Oleh sebab itu yang kita perlukan adalah sistem kemasyarakatan, pemerintah, ormas,
orpol, dan organisasi bisnis harus mewujudkan pendidikan dalam 4 prinsip tersebut.
Tidak pelak lagi, kondisi pendidikan formal kita masih amburadul, kualitas buruk,
fasilitas yang diberikan juga buruk, gaji guru minim dan “hanya banyak membangun
prasarana fisik saja. Pembangunan nonfisik boleh dikatakan ketinggalan”
Berbagai hal yang menyelimuti lembaga pendidikan,ditekankan oleh Dr. Tukiman
Taruna agar mampu mensiasati situasi dan kondisi, terutama perkembangan yang ada

kaitannya dengan pendidikan dapat diartikan sebagai bentuk kreativitas sumber daya
manusia. Tuntutan akademik dan tuntutan kretivitas akademik suatu bangsa sangat vital
dalam menentukan kemampuannya masuk dalam putaran global.
Tentu saja Dr Tukiman sangat setuju, jika sistem pendidikan nasional harus mengubah
paradigma baru, visi dan misi baru. “Semua perubahan harus dimulai dari bawah. Seperti
kita membangun fondasi baru agar bangunan di atasnya dapat menjadi kokoh,” katanya.
Apakah pendidikan nasional akan berhasil atau tidak, “harus diukur lewat berbagai
indikator,” tunjuk tokoh Taman Siswa Dr Ki Supriyoko. Pendidikan di Indonesia ketika
diukur dari Human Development Index berada pada posisi 102 dari 102 negara. “Berarti
posisi pendidikan Indonesia berada di level terbawah” katanya. Soal visi dan msi
sebenarnya sudah baik, hanya iplementasinya saja yang kurang baik. “Karena antara nilai
ideal dengan kondisi praktis di lapangan sangat berbeda.”
Pembangunan Karakter
Pada saat sekarng ini saja, porsi anggaran pendidikan nasional sangat rendah bila
dibandingkan dengan negara—negara lain, misalnya untuk kawasan Asia. Anggaran
pendidikan nasional sangat rendah dan paling terendah dalam APBN, padahal idealnya
anggaran pendidikan nasional itu harus di atas 20 persen dari APBN. Pada negara-negara
kawasan Asia, mereka dapat bersaing kompetitif dengan negara-negara maju karena
memang anggaran pendidikan nasional mereka sangat tinggi dibandingkan Indonesia.
Untuk menghadapi era global tidak ada kata lain kecuali meningkatkan anggaran

pendidikan nasional harus lebih diutamakan. Untuk satu hal saja, misalnya menggratiskan
pendidikan sekolah dasar saja, Indonesia tidak mampu bagaimana harus maju dan
berkembang? “Sementara kita mau menjangkau saingan global , jelas sangat tidak
mungkin,” kata Hendra. Yang paling mungkin, ujarnya, dalam globalisasi kita hanya akan
menjadi buruh dan orang asing yang akan menjadi manager . “Jangan-jangan kita hanya
akan menjadi budak dengan kondisi sistem pendidikan seperti ini?”

Kondisi ini juga dirasakan Dr Shodig A. Kuntoro, M.Ed, bahwa keterbelakangan
pendidikan nasional-lah yang menyebabkan Sumber Daya Insani tidak mampu bersaing
secara kompetitif dalam perputaran globalisasi. Jika di negara lain sudah melaksanakan
wajib belajar 12 tahun, kita baru akan mewajibkan belajar 9 tahun. “Bahkan di negara
maju sudah 50% lulusannya, merupakan lulusan perguruan tinggi” katanya.
Meniru bangsa lain bukan berarti kita mundur, itu yang dikatakan Dr. Tukiman Taruna,
karena tujuan kita adalah untuk melangkah maju mengembangkan SDM bangsa ini
menjadi tujuan utama.. “Kita benahi dulu akademik kita , sementara itu kita harus banyak
belajar mencermati perkembangan yang ada” kata Tukiman.
Dr Tukiman tidak menolak bila untuk melangkah maju memperbaiki SDM, kita harus
melakukan berbagai pelatihan mental (emotional question dan intelegency question),
seperti yang sering kita dengan dalam pelatihan achevment motivation training (AMT).
Sementara itu, untuk memasuki ke dalam masyarakat industri, wajib belajar 9 tahun mesti

dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kekalahan bangsa ini di bidang kualitas dan
kuantitas pendidikan, juga disebabkan karena rendahnya anggaran pendidikan, “itu
sangat benar,” demikian ditandaskan Dr .Shodiq.
Semestinya lembaga pendidikan alternatif diperlukan dalam memperoleh alternatif
pendidikan selama ini, agar dapat menampung mereka yang belum tertampung dalam
pendidikan formal. Sayangnya, hal ini belum bisa menyentuh mereka yang berada dalam
lingkaran ekonomi lemah, sehingga mengakibatkan banyaknya putus sekolah. Pendidikan
nasional selama ini hanya mengasah pengetahuan dan ketrampilan, tetapi bukan karakter
yang dibentuk. Di Jepang yang diutamakan justru pembangunan karakter (karakter
building).
Di Indonesia tidak seperti itu, kerajinan, kejujuran, kerja keras, disiplin, yang merupakan
modal kemajuan suatu bangsa. Kelemahan-kelamahan ini sayangnya tidak ditekankan
dalam sistem pendidikan nasional. Jepang, Korea, Malaysia telah menanamkan karakter
buiding ini sejak tingkat taman kanak-kanak, dan sekolah dasar. Indonesia sebenarnya
telah memiliki bekal untuk itu, seperti dalam tradisi Jawa ada geni, nastiti, sopan santun
dll. “Hal itu sebetulnya sangat berguna untuk kemajuan bangsa,” kata Shodiq.
Atau kalau menurut istilah Dr Djamaludin Ancok, pendidikan alternatif juga harus
membentuk manusia yang sidiq, amanah, tabligh, dan fathonah dengan terpadunya
tuntutan pendalaman ilmu pengetahuan dengan ilmu keakheratan. Seperti dulu pernah
ada sebuah pesantren yang mengajarkan ilmu dunia pada siang hari dan ilmu agama

dalam malam hari. Tapi sistem seperti itu menuntut harus ada kiai pembimbing santri.
Untuk menunjang pendidikan formal, seperti dikatakan tokoh Taman Siswa, Dr Ki
Supriyoko, sebenarnya kita sepertinya pernah mengembangkan pendidikan alternatif atau
lembaga pendidikan nonformal. Tapi hasilnya belum memadai dan belum optimal.
“Pendidikan alternatif ini, sebenarnya sudah lumayan membantu tapi karena situasinya
masih belum kondusif, maka hasilnya juga belum memuaskan”
Pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh HM Sarbiran,PhD, seorang pakar pendidikan,
harus dapat merefleksikan kebutuhan pembangunan, sosial masyarakat dan individu. Juga
harus dapat menyiapkan hidup setiap orang dan adaktif pada kondisi dan
kebutuhan. :”Jika itu dapat dipenuhi kita tidak akan kesulitan dalam menghadapi
tantangan global,” katanya di sela-sela Sarasehan Peningkatan SDM di SMK
Muhammadiyah 2 Yogyakarta.

HM Sarbiran menyatakan heran dengan sistem pendidikan saat ini, yang tidak
memperhatikan kebutuhan siswa. Sekolah umum yang sesungguhnya dipersiapkan untuk
melanjutkan ke perguruan tinggi selanjutnya, tetapi justru terjun dan memasuki dunia
kerja. Kondisi sebaliknya, bagi siswa sekolah kejuruan yang dipersiapkan untuk
memasuki dunia kerja justru dipakai untuk melanjutkan belajar ke perguruan tinggi.
Terkadang, untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi era tantangan global pada
sekolah kejuruan dipaksakan dn dibenturkan dengan teknologi canggih. “Yang terjadi

sekarng ini, adalah menyiapkan SDM ‘tanggung’ yang jika memasuki dunia kerja
memiliki banyak kelemahan, dan jika masuk ke lembaga pendidikan selanjutnya tidak
cukup punya persiapan” kata Sarbirin.
Sebaiknya sekarang ini lebih ditegaskan lagi, jika memang harus memilih sekolah
kejuruan maka visi pendidikan kejuruan yang akan datang harus dapat mengembangkan
akademiknya dan dapat menyusun program kejuruan yang tepat. Dengan ditindaklanjuti
dengan mengadakan evaluasi menyangkut jatidiri visi sekolah, misi dan tujuan,
kurikulum, perencanaan siswa, sarana prasarana dn fasilitas, perencanaan evaluasi dsb.
Bahan: ton, nafi’, mur dan am. Penulis:ru.
Sumber: SM-09-2002