26
elemen dalam suatu level struktur keputusan. Berdasarkan bobot normal  akan  didapatkan nilai eigen  vector  dan  index konsistensi.
Ketiga langkah ini diulang untuk mendapatkan bobot dari masing- masing elemen pada setiap levelnya. Selanjutnya,
d.  Matriks pendapat gabungan
Untuk  mendapatkan  matriks  pendapat  gabungan  maka  pertama- tama  dilakukan  penentuan  skala  kepentingan  relatif  serta  bobot
dua elemen pada suatu tingkat level II dalam kaitannya dengan elemen  pada  tingkat  diatasnya  level  I.  Penentuan  skala
kepentingan  diulang  pada  semua  elemen  pada  suatu  level terhadap masing-masing elemen pada level di atasnya.
e.  Prioritas pengambilan keputusan
Penentuan  prioritas  keputusan  yang  akan  diambil  untuk dikembangkan  di  suatu  daerah  ditentukan  dengan  melakukan
sintesa  dari  bobot  prioritas  dari  semua  variabel  yang  ada  pada tiap-tiap  level  pada  struktur  keputusan.  Jika  konsistensi
keseluruhan dari matriks gabungan  10 maka prioritas tersebut sudah  konsisten.  Pendekatan  AHP  didasarkan  atas  3  prinsip
dasar yaitu:
1.  Dekomposisi
Dengan  prinsip  ini  struktur  masalah  yang  kompleks  dibagi menjadi  bagian-bagian  secara  hierarki.  Tujuan  didefinisikan
dari  yang  umum  sampai  khusus  .  Dalam  bentuk  yang  paling sederhana  struktur  akan  dibandingkan  tujuan  ,kriteria  dan
level  alternatif.  Tiap  himpunan  alternatif  mungkin  akan  dibagi lebih jauh menjadi tingkatan yang lebih detail ,mencakup lebih
banyak  kriteria  yang  lain.  Level  paling  atas  dari  hirarki merupakan  tujuan  yang  terdiri  atas  satu  elemen.  Level
berikutnya  mungkin  mengandung  beberapa  elemen,  di  mana elemen-elemen
tersebut bisa
dibandingkan, memiliki
kepentingan yang hampir sama dan tidak memiliki perbedaan
27
yang  terlalu  mencolok.  Jika  perbedaan  terlalu  besar  harus dibuatkan level yang baru.
2.  Perbandingan penilaianpertimbangan comparative judgments
Dengan prinsip ini akan dibangun perbandingan berpasangan dari  semua  elemen  yang  ada  dengan  tujuan  menghasilkan
skala kepentingan relatif dari elemen. Penilaian menghasilkan skala
penilaian yang
berupa angka.
Perbandingan berpasangan  dalam  bentuk  matriks  jika  dikombinasikan  akan
menghasilkan prioritas.
3.  Sintesa Prioritas
Sintesa  prioritas  dilakukan  dengan  mengalikan  prioritas  lokal dengan  prioritas  dari  kriteria  bersangkutan  di  level  atasnya
dan  menambahkannya  ke  tiap  elemen  dalam  level  yang dipengaruhi  kriteria.  Hasilnya  berupa  gabungan  atau  dikenal
dengan  prioritas  global  yang  kemudian  digunakan  untuk memboboti prioritas lokal dari elemen di level terendah sesuai
dengan  kriterianya.  AHP  didasarkan  atas  empat  aksioma utama yaitu Amborowati, 2006 :
a.  Aksioma Resiprokal Aksioma  ini  menyatakan  jika  PC  EA,EB  adalah  sebuah
perbandingan  berpasangan  antara  elemen  A  dan  elemen B,  dengan  memperhitungkan  C  sebagai  elemen  parent,
menunjukkan  berapa  kali  lebih  banyak  properti  yang dimiliki  elemen  A  terhadap  B,  maka  PC  EB,EA=  1  PC
EA,EB.  Misalnya  jika  A  5  kali  lebih  besar  daripada  B, maka B=15 A.
b.  Aksioma Homogenitas Aksioma ini menyatakan bahwa elemen yang dibandingkan
tidak  berbeda  terlalu  jauh.  Jika  perbedaan  terlalu  besar, hasil  yang  didapatkan  mengandung  nilai  kesalahan  yang
tinggi.  Ketika  hirarki  dibangun,  kita  harus  berusaha mengatur  elemen-elemen  agar  elemen  tersebut  tidak
28
menghasilkan hasil
dengan akurasi
rendah dan
inkonsistensi tinggi. c.  Aksioma Ketergantungan
Aksioma  ini  menyatakan  bahwa  prioritas  elemen  dalam hirarki  tidak  bergantung  pada  elemen  level  di  bawahnya.
Aksioma  ini  membuat  kita  bisa  menerapkan  prinsip komposisi hirarki.
d.  Aksioma Ekspektasi Struktur  hirarki  diasumsikan  lengkap.  Apabila  asumsi  ini
tidak  dipenuhi  maka  pengambil  keputusan  tidak  memakai seluruh  kriteria  atau  objektif  yang  tersedia  atau  diperlukan
sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap Selanjutnya  Saaty  2001  menyatakan  bahwa  proses  hirarki  analitik
AHP menyediakan kerangka yang memungkinkan untuk membuat suatu keputusan  efektif  atas  isu  kompleks  dengan  menyederhanakan  dan
mempercepat  proses  pendukung  keputusan. Pada  dasarnya  AHP  adalah suatu metode dalam merinci suatu situasi yang kompleks, yang terstruktur
kedalam  suatu  komponen-komponennya.  Artinya  dengan  menggunakan pendekatan  AHP  kita  dapat  memecahkan  suatu  masalah  dalam
pengambilan keputusan. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan  kompleks  yang  tidak  terstruktur,  stratejik,  dan  dinamik  menjadi
bagian-bagiannya,  serta  menata  dalam  suatu  hierarki.  Kemudian  tingkat kepentingan  setiap  variabel  diberi  nilai  numerik  secara  subjektif  tentang
arti  penting  variabel  tersebut  secara relatif  dibandingkan dengan  variabel lain.  Dari  berbagai  pertimbangan  tersebut  kemudian  dilakukan  sintesa
untuk  menetapkan  variabel  yang  memiliki  prioritas  tinggi  dan  berperan untuk  mempengaruhi  hasil  pada  sistem  tersebut  Marimin,  2004.
Tahapan prosedur dalam AHP adalah sebagai berikut: a.  Menyusun hirarki dari permasalahan yang dihadapi.
b.  Penilaian kriteria dan alternatif Kriteria  dan  alternatif  dinilai  melalui  perbandingan  berpasangan.
Menurut  Saaty  1988,  untuk  berbagai  persoalan,  skala  1  sampai  9
29
adalah  skala  terbaik  dalam  mengekspresikan  pendapat.  Nilai  dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat
pada Tabel 4. Tabel 4.  Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan
Intensitas Kepentingan
Keterangan
1 Kedua elemen sama pentingnya
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang
lainnya 5
Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya 7
Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya 9
Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya 2,4,6,8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan  yang berdekatan
Perbandingan dilakukan
berdasarkan kebijakan
pembuat keputusan  dengan  menilai  tingkat  kepentingan  satu  elemen  terhadap
elemen  lainnya  Proses  perbandingan  berpasangan,  dimulai  dari  level hirarki  paling  atas  yang  ditujukan  untuk  memilih  kriteria,  misalnya  A,
kemudian diambil elemen yang akan dibandingkan, misal A1, A2, dan A3.  Maka  susunan  elemen-elemen  yang  dibandingkan  tersebut  akan
tampak seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Contoh matriks perbandingan berpasangan
A1 A2
A3 A1
1 A2
1 A3
1 Untuk  menentukan  nilai  kepentingan  relatif  antar  elemen
digunakan  skala  bilangan  dari  1  sampai  9  seperti  pada  Tabel  4. Penilaian  ini  dilakukan  oleh  seorang  pembuat  keputusan  yang  ahli
dalam  bidang  persoalan  yang  sedang  dianalisa  dan  mempunyai kepentingan terhadapnya. Apabila suatu elemen dibandingkan dengan
dirinya sendiri maka diberi nilai 1. Jika elemen i dibandingkan dengan elemen  j  mendapatkan  nilai  tertentu,  maka  elemen  j  dibandingkan
30
dengan  elemen  i  merupakan  kebalikannya.  Dalam  AHP  ini,  penilaian alternatif  dapat  dilakukan  dengan  metode  langsung  direct,  yaitu
metode yang digunakan untuk memasukkan data kuantitatif. Biasanya nilai-nilai  ini  berasal  dari  sebuah  analisis  sebelumnya  atau  dari
pengalaman  dan  pengertian  yang  detail  dari  masalah  keputusan tersebut.  Jika  si  pengambil  keputusan  memiliki  pengalaman  atau
pemahaman yang besar mengenai masalah keputusan yang dihadapi, maka  dia  dapat  langsung  memasukkan  pembobotan  dari  setiap
alternatif. c.  Penentuan prioritas
Untuk  setiap  kriteria  dan  alternatif,  perlu  dilakukan  perbandingan berpasangan  pairwise  comparisons.  Nilai-nilai  perbandingan  relatif
kemudian  diolah  untuk  menentukan  peringkat  alternatif  dari  seluruh alternatif.  Baik  kriteria  kualitatif,  maupun  kriteria  kuantitatif,  dapat
dibandingkan  sesuai  dengan  penilaian  yang  telah  ditentukan  untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan
manipulasi  matriks  atau  melalui  penyelesaian  persamaan  matematik. Pertimbangan-pertimbangan  terhadap  perbandingan  berpasangan
disintesis  untuk  memperoleh  keseluruhan  prioritas  melalui  tahapan- tahapan  beriku  :  a  kuadratkan  matriks  hasil  perbandingan
berpasangan;  dan  b  hitung  jumlah  nilai  dari  setiap  baris,  kemudian lakukan normalisasi matriks.
d.  Konsistensi Logis Semua  elemen  dikelompokkan  secara  logis  dan  diperingatkan
secara  konsisten  sesuai  dengan  suatu  kriteria  yang  logis.  Matriks bobot  yang  diperoleh  dari  hasil  perbandingan  secara  berpasangan
tersebut  harus  mempunyai  hubungan  kardinal  dan  ordinal.  Hubungan tersebut  dapat  ditunjukkan  sebagai  berikut  Suryadi  dan  Ramdhani,
1998: Hubungan kardinal
: a
ij
. a
jk
= a
ik
Hubungan ordinal : A
i
A
j
, A
j
A
k
maka A
i
A
k
31
Hubungan  di  atas  dapat  dilihat  dari  dua  hal  sebagai  berikut  :  a dengan melihat preferensi multiplikatif, misalnya bila anggur lebih enak
empat  kali  dari  mangga  dan  mangga  lebih  enak  dua  kali  dari  pisang maka  anggur  lebih  enak  delapan  kali  dari  pisang;  b  Dengan  melihat
preferensi  transitif,  misalnya  anggur  lebih  enak  dari  mangga  dan mangga  lebih  enak  dari  pisang  maka  anggur  lebih  enak  dari  pisang.
Pada  keadaan  sebenarnya  akan  terjadi  beberapa  penyimpangan  dari hubungan  tersebut,  sehingga  matriks  tersebut  tidak  konsisten
sempurna.  Hal  ini  terjadi  karena  ketidakkonsistenan  dalam  preferensi seseorang.  Penghitungan  konsistensi  logis  dilakukan  dengan
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut : a.  Mengalikan matriks dengan proritas bersesuaian.
b.  Menjumlahkan hasil perkalian per baris. c.  Hasil  penjumlahan  tiap  baris  dibagi  prioritas  bersangkutan  dan
hasilnya dijumlahkan. d.  Hasil c dibagi jumlah elemen, akan didapat λmaks.
e.  Indeks Konsistensi CI = λmaks-n  n-1 f.  Rasio  Konsistensi  =  CI  RI,  di  mana  RI  adalah  indeks  random
konsistensi.  Jika  rasio  konsistensi  ≤  0.1,  hasil  perhitungan  data dapat dibenarkan. Daftar RI dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Indeks Random Saaty, 2001
Ukuran Matriks Nilai RI
Ukuran Matriks Nilai RI
1,2 0,00
9 1,45
3 0,58
10 1,49
4 0,90
11 1,51
5 1,12
12 1,48
6 1,24
13 1,56
7 1,32
14 1,57
8 1,41
15 1,59
9 1,45
10 1,49
11 1,51
12 1,48
13 1,56
14 1,57
15 1,59
32
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian  ini  dilaksanakan  di  Jakarta  dan  Jambi  selama  12  dua belas  bulan  mulai  bulan  April  2008  sampai  April  2009.  Jakarta  adalah
pusat  pemerintahan  Negara  Republik  Indonesia  merupakan  wilayah dimana  perumusan  dan  penetapan  kebijakan  tingkat  nasional  dilakukan,
termasuk  kebijakan  tentang  pemberantasan  IL  di  Indonesia.  Berbagai instansi dan lembaga yang terkait dengan kebijakan pemberantasan IL di
Indonesia berada di Jakarta, sehingga sumber informasi dan nara sumber yang berkaitan dengan pemberantasan IL tingkat nasional juga berada di
Jakarta. Untuk  memperdalam  kasus  IL  dan  pemberantasannya  di  lapangan,
maka dilakukan pendalaman kasus di Provinsi Jambi. Kasus IL di Provinsi Jambi  dalam  tiga  tahun  terakhir  meningkat  sejak  dilakukannya  operasi
pemberantasan IL secara besar-besaran di Provinsi Riau yang berbatasan langsung dengan Jambi.
3.2. Rancangan Penelitian
Rancangan  penelitian  disesuaikan  dengan  tujuan  penelitian,  yaitu  : a  Menganalisis  kebijakan  yang  terkait  dengan  pemberantasan  IL  di
Indonesia;  b  Menganalisis  peranan  stakeholders    yang  terlibat  dalam pemberantasan  IL  di  Indonesia;c  Menentukan  prioritas  alternatif
kebijakan  pemberantasan  IL  yang  efektif  dan  sesuai  diterapkan  di Indonesia.
3.2.1. Analisis Kebijakan Terkait Pemberantasan IL 3.2.1.1.Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia,
baik  yang  bersifat  lex  specialis  khusus  maupun  lex  generalisumum. Sumber data sekunder berasal dari instansilembaga yang memiliki kaitan
33
dengan  upaya  pemberantasan  IL  di  Indonesia,  seperti  :  Kementerian Koordinator  Bidang  Politik,  Hukum,  dan  Keamanan,  Kepolisian  Republik
Indonesia  POLRI,  Departemen  Kehutanan,  Kementerian  Negara Lingkungan  Hidup,  Dinas  Kehutanan  Provinsi  Jambi,  Pusat  Informasi
Kehutanan  Provinsi  Jambi,  Badan  Perencanaan  Daerah  Provinsi  Jambi, dan EC-FLEGT EC-Indonesia Forest Law Enforcement, Governance and
Trade.  Penelusuran  peraturan  perundang-undangan  terkait  dengan pemberantasan  IL  di  Indonesia  dilakukan  pula  dengan  menggunakan
fasilitas  penelusuran  browsing  melalui  internet.  Selain  dokumen peraturan  perundang-undangan,  data  sekunder  lainnya  yang  diperlukan
adalah  peta-peta  tematik,  yaitu  :  peta  penunjukkan  kawasan  hutan  dan perairan Provinsi Jambi, peta administrasi, dan peta jaringan jalan.
3.2.1.2.Parameter yang Diamati
Penelitian  difokuskan  kepada  aturan  hukum  yang  secara  tekstual terkait  dengan  pemberantasan  IL  di  Indonesia,  terutama  menyangkut
ketersediaan  aturan  sanksi  hukum  yang  diatur  dalam  peraturan perundang-undangan  yang  bersifat  lex  specialis  maupun  lex  generalis.
Peraturan perundang-undangan yang bersifat lex specialis sebagai dasar hukum pemberantasan IL  di  Indonesia  yaitu :  Undang-Undang  Nomor  41
Tahun  1999  tentang  Kehutanan,  Undang-Undang  Nomor  5  Tahun  1990 tentang  Konservasi  Sumberdaya  Alam  Hayati  dan  Ekosistemnya,
Peraturan Pemerntah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, Peraturan  Pemerintah  Nomor  45  Tahun  2004  tentang  Perlindungan
Hutan, Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu  Secara  Ilegal  Di  KawasanHutan  Dan  Peredarannya  Di  Seluruh
Wilayah  Republik  Indonesia.  Adapun  peraturan  perundang-undangan yang  bersifat  lex  generalis  dan  memiliki  keterkaitan  dengan
pemberantasan  IL  di  Indonesi  yaitu  :  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun 1997  tentang  Pengelolaan  Lingkungan  Hidup,  Kitab  Undang-Undang
Hukum  Pidana,  Undang-undang  Nomor  28  tahun  1999  tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih  dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme,  Undang-undang  No.  31  Tahun  1999  tentang  Pemberantasan
34
Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang- Undang No. 20 tahun 2001, Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang
Perubahan atas
Undang-undang No.31
tahun 1999
Tentang Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi,  Undang-Undang  No.  15  Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang  Nomor 25 Tahun  2003  Tentang  Perubahan  Atas  Undang-Undang  Nomor  15  Tahun
2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi
Pemeriksaan  Kekayaan  Penyelenggara  Negara  dan  Sekretariat  Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.
Parameter  yang  diamati  difokuskan  kepada  pasal-pasal  yang mengatur  tentang  sanksi  hukum  terhadap  kegiatan  IL  di  Indonesia,  baik
yang  ada  di  dalam  aturan  hukum  yang  sifatnya lex  specialis  maupun  lex generalis.
3.2.1.3.Metode Analisis Data
Analisis  kebijakan  dilakukan  secara  deskriptif  dengan  pendekatan kritis.  Muhadjir  2000  mengemukakan  tahapan  dalam  pendekatan  kritis
kajian  hukum  dan  perundang-undangan,  yaitu  :  a  mengadakan  kritik terhadap teori dan praktek dari peraturan perundang-undangan yang ada,
b membangun konstruksi teoritik yang baru, c dari kontsruksi teori baru dituangkan  dalam  program  institusional  sebagai  pijakan  pengembangan
kelembagaan, dan d menelaah implikasi peraturan perundang-undangan baik  berupa  konsekuensi  logis  internal  maupun  eksternalnya.  Hasil
analisis  kritis  tersebut  dijadikan  dasar  dalam  mengkaji  apakah  peraturan perundang-undangan  yang  selama  ini  digunakan  dalam  pengaturan
pengelolaan  hutan  dan  pemberantasan  IL  sudah  efektif  dalam mengendalikan permasalahan IL di Indonesia.
3.2.2. Analisis Kelembagan Pemberantasan IL 3.2.2.1.Metode Pengumpulan Data
Analisis  kelembagaan  memerlukan  data  primer  dan  data  sekunder. Data  primer  diperoleh  dari  hasil  wawancara  terstruktur  yang  disertai
35
dengan  pengisian  kuisioner  oleh  responden.  Responden  dipilih  secara purposif  dengan  mempertimbangkan  keterkaitan  peranan  dari  masing-
masing  responden  sebagai  bagian  dari  stakeholders  yang  secara langsung  maupun  tidak  langsung  berkaitan  dengan  pemberantasan  IL  di
Indonesia,  yaitu  :  pemerintah,  pemerintah  daerah  dinasinstansi  daerah yang  mengurus  kehutanan,  kepolisian,  kejaksaan,  pengadilan,  LSM,
akademisi,  serta  tokoh  masyarakat.  Jumlah  responden  berjumlah  46 empat puluh enam orang.
3.2.2.2.Parameter yang Diamati
Selain  informasi  umum  tentang  responden,  beberapa  parameter kelembagaan  yang  dikaji  meliputi  :  hak-hak,  tanggung-jawab,  manfaat
yang  akan  didapatkan,  dan  intensitas  keterkaitan  antar  stakeholders dalam pengendalian kebijakan IL di Indonesia.
3.2.2.3.Metode Analisis Data
Analisis  kelembagaan  difokuskan  untuk  mengkaji  peranan  setiap stakeholders  dalam  pemberantasan  IL,  terutama  yang  berkaitan  dengan
dengan  rights  hak-hak  yang  dimiliki  stakeholders,  responsibilities tanggung-jawab  yang  dimiliki  stakeholders,  revenuereturns  hasil
manfaat yang didapatkan stakeholders, dan relationship hubungan antar stakeholders.
Untuk  mendapatkan  empat  parameter  tersebut,  maka  disusun kuisioner  yang  diminta  untuk  diisi  oleh  responden  yang  terpilih  secara
purposif.  Hasil  pengisian  kuisioner  selanjutnya  ditabulasikan  sehingga diperoleh  informasi  tentang  karakteristik  kelembagaan  dari  setiap
stakeholders,  terutama  yang  berkaitan  dengan  empat  parameter utamanya  yaitu  hak-hak  yang  dimiliki stakeholders,  tanggung-jawab  yang
dimiliki  stakeholders,  manfaat  yang  didapatkan  stakeholders,  dan hubungan  antar  stakeholders  dalam  pemberantasan  IL  di  Indonesia.
Berdasarkan  hasil  analisis  dengan  pendekatan  4  Rs  tersebut  akan diperoleh  karakteristik  kelembagaan  pemberantasan  IL  di  Indonesia  saat
ini,  sehingga  rekomendasi  pembenahan  kelembagaan  pemberantasan  IL dapat dibangun.
36
3.2.3. Penentuan Prioritas Alternatif Kebijakan Pemberantasan IL 3.2.3.1.Metode Pengumpulan Data
Rumusan  kebijakan  pemberantasan  IL  di  Indonesia  harus  sesuai dengan  karakteristik  wilayahnya,  termasuk  di  dalamnya  karakteristik
sosial,  ekonomi,  dan  politik  masyarakat.  Untuk  mendapatkan  informasi tersebut  dilakukan  kegiatan  pengumpulan  data  melalui  kegiatan
wawancara  dengan  para  pihak  stakeholders  yang  terkait  dengan pemberantasan  IL  di  Indonesia.  Wawancara  juga  dilengkapi  dengan
pengisian  kuisioner  yang  telah  dibuat  sebelumnya.  Kuisioner  yang  dibuat berisi  pertanyaan  tentang  :  identitas  responden,  nilai  perbandingan
responden  terhadap  faktor,  aktor,  tujuan,  dan  alternatif  dalam pemberantasan IL di Indonesia.
Sampel  responden  dipilih  secara  purposif  dengan  pertimbangan bahwa
responden yang
benar-benar memahami
permasalahan lingkungan,  responden  dipilih  dari  kalangan  pemerintah,  pemerintah
daerah  dinasinstansi  daerah  yang  mengurus  kehutanan,  Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, LSM, akademisi, serta tokoh masyarakat. Jumlah
responden adalah 46 orang.
3.2.3.2.Parameter yang Diamati
Responden  yang  dipilih  dalam  penelitian  ini  dilakukan  secara purposif,  yaitu  responden  yang  dianggap  memahami  secara  baik
permasalahan  pemberantasan  IL  di  Indonesia  yang  berasal  dari instansilembaga  pemerintah  pusat  dan  daerah,  lembaga  swadaya
masyarakat, lembaga
internasional yang
memiliki program
pemberantasan IL, akademisi, aparat penegak hukum, lembaga adat, dan masyarakat. Instansi pemerintah yang menjadi responden adalah instansi
yang  diinstruksikan  berdasarkan  instruksi  Presiden  Nomor  4  Tahun  2005 tentang  Pemberantasan  Kayu  Illegal  dan  Peredarannya  di  Seluruh
Wilayah  Republik  Indonesia.  Responden  dari  pakar dan akademisi dipilih dengan  mempertimbangkan  beberapa  kriteria,  yaitu:  a  memiliki
pengalaman  yang  kompeten  sesuai  bidang  yang  dikaji;  b  memiliki reputasi,  kedudukanjabatan  dalam  kompetensinya  dengan  bidang  yang
37
dikaji;  serta  c  memiliki  kredibilitas  tinggi,  bersedia,  dan  atau  berada  di lokasi yang dikaji.
3.2.3.3.Metode Analisis Data
Analisis  dilakukan  dengan  menggunakan  metode  AHP  Anaytical Hierarchy  Process.  Hirarki  desain  kebijakan  pemberantasan  IL  di
Indonesia  disusun  mulai  dari  tingkatan  level  paling  tinggi  sampai  paling rendah  dalam  hirarki.  Tingkatan  tertinggi  merupakan  fokus,  disusul  oleh
faktor, pelaku aktor, dan alternatif kebijakan. Prinsip  penilaian  dalam  AHP  adalah  membandingkan  secara
berpasangan  pairwise  comparisons  tingkat  kepentingan  atau  tingkat pengaruh  satu  elemen  dengan  elemen  lainnya  yang  berada  dalam  satu
tingkatan  level  berdasarkan  pertimbangan  tertentu.  Nilai  yang  diberikan berada  dalam  skala  pendapat  yang  dikeluarkan  oleh  Saaty  1993
sebagaimana  telah  ditunjukkan  pada  Tabel  4.  Nilai  rata-rata  geometrik dari semua responden dari setiap nilai pendapat yang dibandingkan diolah
menggunakan  perangkat  lunak  Hipre  3+.  Analisis  ini  digunakan  untuk menginterpretasi  prioritas  dari  faktor,  aktor,  dan  sifat  kebijakan  yang
mempengaruhi kebijakan pemberantasan IL di Indonesia. Tabel 7. Matriks Ringkasan Metodologi Penelitian
Metodologi No
Sub Tujuan Pengumpulan Data
Parameter Analisis Data
Output 1.
Efektifitas kebijakan dan
peraturan perundang-
undangan terkait IL efektif
menurunkan praktek IL
 Penelusuran pustaka
  Aturan sanksi yang ada dalam
peraturan perundangan
 Analisis deskriptif
dengan pendekatan
kritis  Terpetakannya aturan
hukum pemberantasan IL di
Indonesia
2. Peranan
kelembagaan stakeholders
dalam pemberantasan
IL di Indonesia  Penelusuran
pustaka, wawancara
terstruktur, kuisioner.
  Hak-hak, Tanggung-
jawab  Manfaat yang akan
didapatkan intensitas
keterkaitan antar
stakeholders  Analisis 4Rs
 Terpetakannya kelembagaan rules of
game dalam pemberantasan IL di
Indonesia
3. Desain kebijakan
yang dapat dipandang efektif
dalam pemberantasan
IL  Penelusuran
pustaka, wawancara
terstruktur, kuisioner.
 Faktor, Aktor, Tujuan, dan
Alternatif Kebijakan,
terkait IL di Indonesia
 Analisis AHP  Rumusan kebijakan
pemberantasan IL di Indonesia
38
3.3. Definisi Operasional