Rentenir, Iklan Yerussalem, Zakat Perniagaan & Buku Keterampilan
Rentenir, Iklan Yerussalem, Zakat Perniagaan & Buku Keterampilan
UANG HASIL RENTENIR, IKLAN ZIARAH KE YERUSSALEM, ZAKAT
PERNIAGAAN, DAN BUKU RIAS PENGANTIN
Pertanyaan Dari:
Hajinah Idham, Depok, Jawa Barat
(disidangkan pada hari Jum’at, 28 Muharram 1433 H / 23 Desember 2011 M)
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Saya adalah pimpinan penerbitan buku keterampilan. Untuk mendapatkan tambahan dana
penerbitan, saya memberikan kesempatan kepada para pengusaha yang terkait dengan judul
buku, memasang iklan usahanya. Salah seorang dari pemasang iklan dalam salah satu buku yang
akan saya terbitkan, ternyata adalah seorang pimpinan LPK yang juga menjadi rentenir.
Pertanyaan saya:
1. Halalkah uang hasil rentenir yang akan saya terima sebagai biaya pemasangan iklan dalam buku
saya?
2. Bolehkah saya mengiklankan dalam buku saya iklan tentang ziarah ke Yerusalem untuk
kunjungan umat kristiani (pemilik usaha ini beragama kresten)
Selama saya berusaha, saya telah membayar zakat secara mencicil setiap bulan melalui
lembaga amil zakat, tetapi dengan perhitungan 2.5% x pendapatan rata-rata pertahun dibagi dua
belas bulan.
Pertanyaan saya:
3. Bagaimana cara yang benar menghitung zakat perniagaan untuk usaha penerbitan buku? Ada
yang mengatakan bahwa zakat perniagaan itu “tidak ada dalam hukum Islam”. Benarkah ? Jika
ada, pertanyaan saya: apakah waktu nisab dihitung dari pendapatan setiap buku atau dari
pendapatan setahun, karena waktu terbit buku tidak sama? Dari mana jumlah zakat
diperhitungkan; dari omzet atau laba? Masa habisnya buku rata-rata tiga tahun. Perlu saya
informasikan bahwa untuk mencetak buku, saya terpaksa berhutang kepada pencetak dan
membayarnya secara bertahap.
4. Judul buku yang saya terbitkan adalah buku ketrampilan, di antaranya adalah tentang rias
pengantin. Selain tentang seni merias, dalam buku itu juga diuraikan tentang upacara adat
termasuk tentang “sesajen dan hal-hal yang bid’ah”. Bagaimana hukumnya pekerjaan saya ini?
Halal atau haram?
Saya sangat mengharapkan jawaban pertanyaan di atas, agar apa yang sedang saya lakukan
mendapat ridha-Nya. Terima kasih.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Terimakasih kami ucapkan kepada Ibu Hajinah Idham yang telah menyampaikan
pertanyaannya kepada kami. Berikut ini kami jawab pertanyaan Ibu berdasarkan urutannya:
1.
Halalkah uang hasil rentenir yang akan saya terima sebagai biaya pemasangan iklan
dalam buku saya?
Sebelum bicara tentang aspek hukumnya, sebaiknya perlu difahami pengertian riba
sebagaimana dikemukakan oleh para ulama’, antara lain; Riba menurut al-Jurjani ialah;
“kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah
seorang dari dua orang yang membuat akad”. Sedangkan Syekh Muhammad Abduh
mendefinisikannya; “penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta
kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh
peminjam dari waktu yang telah ditentukan”.
Riba merupakan perkara yang diharamkan oleh Islam sebagaimana dijelaskan dalam ayat
dan hadis Nabi saw., antara lain:
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka
barangsiapa yang telah datang kepadanya peringatan dari Tuhannya, lalu ia berhenti
(melakukan riba) maka baginya apa-apa yang telah lalu dan urusannya kembali kepada Allah,
dan barangsiapa yang kembali (melakukannya) maka mereka itulah para penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya.” [QS. al-Baqarah (2): 275]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkan sisasisa (yang belum dipungut) dari riba, jika kamu orang-orang yang beriman.” [QS. al-Baqarah
(2): 278]
Bahkan dalam beberapa hadis sahih dijelaskan, bahwa orang yang terlibat dalam aktifitas
ribawi baik sebagai pelaku, saksi, pencatat, pemakan riba dan lainnya termasuk pihak yang
dilaknat oleh Rasulullah saw dan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang binasa;
Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata; Rasulullah saw melaknat orang yang memakan
riba, orang yang menjadi wakilnya, orang yang mencatatnya, dua orang saksinya, dan ia
bersabda mereka sama saja.” [HR. Muslim]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdillah, ia berkata; orang yang memakan riba, wakilnya,
pencatatnya apabila mereka mengetahui hal tersebut … mereka dilaknat atas (oleh) lisan
Muhammad saw. pada hari kiamat.” [HR. al-Bukhari, Muslim dan jama’ah]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra., bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Jauhilah
oleh kamu sekalian tujuh perkara yang membinasakan, ditanyakan oleh para sahabat; wahai
Rasulullah, apa saja tujuh perkara tersebut? Rasulullah bersabda: Syirik kepada Allah, kikir,
membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali karena alasan yang benar, memakan riba,
memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, menuduh wanita baik-baik yang (sedang)
lalai lagi beriman melakukan zina.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Ayat-ayat dan hadis-hadis di atas memberikan informasi dan penjelasan yang sangat tegas
tentang keharaman riba beserta dampak negatif yang akan ditimbulkannya. Keharaman riba,
tidak hanya bagi pelakunya, tetapi juga bagi orang yang memakan hasil riba jika mereka
mengetahui sesuatu yang dimakannya tersebut bersumber dari riba, wakilnya, pencatat dan orang
yang menjadi saksinya. Sedangkan dampak negatif yang akan didapatkan oleh orang yang
terlibat dalam persoalan riba antara lain; berupa kesengsaraan di akhirat kelak, dilaknat, dan
termasuk salah satu dari tujuh perkara yang membinasakan.
Dengan demikian, jika Ibu yakin bahwa dana yang digunakan tersebut didapatkan dari
hasil riba karena diperkuat oleh pengakuan, barang bukti yang Ibu miliki, atau mungkin sesuatu
yang diiklankan tersebut terkait dengan usaha riba yang dijalankannya, maka tentu ibu termasuk
orang yang terlibat dalam aktifitas riba dengan segala konsekuensinya. Karena mengiklankannya
termasuk kategori membantu kesuksesan aktifitas riba yang dijalankannya. Hal ini selaras
dengan kaidah fikih yang berbunyi:
Artinya: “Wasilah (perantara/fasilitator) sama hukumnya dengan sesuatu yang dimaksudkan
(dituju).”
Namun jika sesuatu yang diiklankan tidak ada kaitannya dengan aktifitas riba yang
dijalankan, maka tentu Ibu tidak termasuk membantu atau sebagai fasilitator aktifitas riba yang
dijalankannya, serta tidak mendapatkan dampak hukum dari keharamannya. Oleh sebab itu, ibu
tidak semestinya berasumsi atau menerka-nerka bahwa harta orang tersebut didapatkan dari
sumber riba kecuali jika ada bukti yang jelas. Sebab boleh jadi orang tersebut mendapatkan
penghasilan dari sumber lain yang halal. Menerka-nerka persoalan hukum yang tidak jelas
buktinya termasuk su’uzh-zhan (berburuk sangka) yang dapat melahirkan sikap saling tidak
percaya, saling mencurigai, menyakiti perasaan orang lain, dan bahkan dapat menyulitkan diri
sendiri. Hal ini tentu tidak sesuai dengan semangat al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS.
al-Ma’idah 5: 101 sebagai berikut:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu (banyak) bertanya tentang segala
sesuatu, (yang mengakibatkan) jika hal tersebut dijelaskan kepadamu niscaya akan menyulitkan
kamu sekalian…” [QS. al-Ma’idah (5): 101]
Di sisi lain, sesungguhnya Islam telah memberikan solusi untuk menyucikan harta seorang
muslim dari kemungkinan adanya unsur-unsur keharaman yang tidak diketahui dan disadarinya
dengan cara berzakat. Dengan demikian, hendaknya Ibu mensucikan penghasilan dengan cara
berzakat dan banyak berinfak atau sadaqah. Namun jika Ibu masih tetap merasa tidak nyaman
dan ingin berhati-hati (ikhtiyath), karena kuatir penghasilan yang ibu dapatkan terkontaminasi
(terkotori) oleh sumber-sumber yang syubhat (tidak jelas kehalalan dan keharamannya), serta
menolak memasang iklan yang diberikan oleh seorang rentenir, maka sebaiknya ibu mencari
solusi terbaik sehingga tidak menyinggung perasaan orang lain, dan dalam rangka menjaga
hubungan yang harmonis dengan pihak lain.
2.
Bolehkah saya mengiklankan dalam buku saya iklan tentang ziarah ke Yerusalem untuk
kunjungan umat kristiani (pemilik usaha ini beragama Kristen)
Tidak dapat dipungkiri bahwa Yerusalem (Palestina) diyakini sebagai kota suci bagi tiga
penganut agama besar di dunia (Islam, Yahudi dan Nasrani). Karena secara historis, kota ini
memiliki kaitan sejarah dengan para nabi yang membawa ketiga agama besar tersebut. Sekalipun
dalam perjalanannya telah terjadi penyimpangan dalam ajaran Yahudi dan Nasrani dari ajaran
tauhid yang dibawa oleh para Nabinya.
Namun di sisi lain, Islam tidak menutup pintu untuk berinteraksi dan melakukan transaksi
mu’amalah dengan orang Yahudi, Nasrani maupun penganut ajaran agama lainnya, asalkan
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Sebagaimana halnya dengan Rasulullah
saw yang melakukan transaksi jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya dengan orang
Yahudi dan Nasrani pada saat itu.
Ziarah ke Yerusalem (Palestina) atau ke tempat lainnya dalam rangka siyahah (rekreasi)
termasuk persoalan muamalah dan hukumnya boleh (mubah). Adapun segala perbuatan atau
aktifitas yang dilakukan seseorang pada saat melakukan rekreasi ditanggung oleh orang yang
melakukannya. Jika selama berada di Yerusalem, mereka (orang Nasrani) melakukan kesyirikankesyirikan, maka mereka sendiri yang menanggung akibat hukumnya. Sebab kita tidak bisa
menjamin bahwa segala hal yang dilakukan oleh seseorang itu sesuai dengan yang kita inginkan.
Contoh lain; jika kita menyediakan jasa travel pariwisata, maka hukumnya mubah (boleh). Dan
jika ternyata di tempat wisata tersebut mereka melakukan perbuatan dosa dan kesyirikan, maka
dosanya ditanggung oleh mereka yang melakukannya, serta tidak mengubah hukum kebolehan
jasa travel yang kita sediakan.
Oleh sebab itu, dalam persoalan muamalah berlaku kaidah fikih yang berbunyi:
Artinya: “Pada dasarnya (hukum) segala sesuatu (muamalah) itu adalah mubah, kecuali ada
bukti yang menunjukkan keharamannya.”
Namun yang patut menjadi catatan penting bagi umat Islam adalah terkait dengan
eksistensi negara Yahudi (Israel) saat ini. Bagi umat Islam, Israel merupakan negara penjajah
yang banyak mencaplok tanah dan hak-hak negara (rakyat) Palestina. Bahkan untuk menjaga
hegemoninya, Israel tidak segan-segan melakukan berbagai usaha keji dan tidak
berperikemanusiaan, seperti membunuh secara kejam rakyak Palestina bahkan anak-anak
sekalipun. Sehingga secara politis, berkunjung atau memfasilitasi kunjungan ke negara tersebut
dapat saja diartikan sebagai bentuk dukungan moril dan finansial, karena dapat memberikan
devisa bagi negara penjajah tersebut. Oleh sebab itu, sepatutnya bagi umat Islam untuk tidak
memberikan bantuan (keuntungan) kepada negara penjajah baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Perlu diketahui pula, bahwa sampai saat ini negara kita, Indonesia tidak membuka
hubungan diplomatik dengan Israel, karena perilaku negara itu bertentangan dengan Undangundang Dasar negara kita.
3. Bagaimana cara yang benar menghitung zakat perniagaan untuk usaha penerbitan buku?
Sebelum menjawab pertanyaan tentang cara yang benar menghitung zakat perniagaan, dan
beberapa persoalan terkait, di sini perlu ditegaskan bahwa; pendapat yang menyatakan zakat
perniagaan (tijarah) dalam Islam itu tidak ada, merupakan pendapat yang salah dan sangat
keliru. Di dalam al-Qur’an secara tegas dijelaskan tentang harta yang wajib dizakati, antara lain:
QS. al-Baqarah (2): 267:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.
Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal
kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.
Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” [QS. al-Baqarah (2): 267]
Kalimat yang berbunyi; ”Min Thayyibaat Maa Kasabtum”, (dari semua usaha yang baik),
pengertiannya meliputi seluruh penghasilan yang bersumber dari usaha yang halal seperti
pertanian, perdagangan, maupun perniagaan halal lainnya seperti percetakan buku maupun
penerbitan koran/majalah dan sebagainya. Dengan demikian, jenis zakat dari usaha yang Ibu
jalankan termasuk ke dalam zakat tijarah (zakat perniagaan atau perdagangan). Adapun teknis
perhitungan dan pembayarannya pernah dibahas dalam jawaban-jawaban fatwa sebelumnya
sekalipun bebeda dari aspek objek perniagaannya.
Dalam zakat perdagangan tidak ditentukan jenis barang dagangannya. Yang ditentukan
adalah jumlah harga barang dagangan beserta keuntungannya telah mencapai nishab (seharga 85
gram emas murni) dan haul (satu tahun). Oleh karena itu dalam menghitung harga barang
dagangan beserta keuntungannya tidak harus dengan menghitung satu per satu jenis barang,
melainkan dengan menghitung dalam satu tahun seluruh modal yang berupa barang dagangan
itu, ditambah seluruh keuntungan baik berupa uang tunai maupun berupa piutang seperti
tabungan, deposito dan lain-lain. Dari hasil perhitungan di atas (perhitungan bersih/netto: setelah
melunasi biaya operasional dan hutang-piutang), jika telah mencapai nishab maka harus
dikelurkan zakatnya yakni sebesar 2,5 % dari jumlah seluruh keuntungan dan harta dagangan
(modal) tersebut. Jadi yang dihitung untuk dikeluarkan zakatnya bukan hanya dari
keuntungannya saja. Dalam cara menghitung ini Islam tidak menentukan secara detail. Namun
Islam menuntunkan agar orang mencari dan menggunakan cara (jalan) yang mudah selagi yang
mudah ini tidak melanggar ketentuan Islam, yakni tidak terjadi manipulasi sehingga akan
merugikan. Dalam al-Qur’an disebutkan:
Artinya: “… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu
...” [QS. al-Baqarah (2): 185]
Artinya: “… Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan
...” [QS. al-Hajj (22): 78]
Dalam hadis dijelaskan:
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., dari Nabi saw, beliau bersabda: Mudahkanlah
dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan membuat orang takut.” [HR. al-Bukhari
dan Muslim]
Jika dengan menghitung per hari, per bulan dalam satu tahun dipandang paling mudah,
sehingga akan dapat menghasilkan perhitungan yang tepat/akurat sesuai dengan ketentuan nisab
dan haul di atas, menurut hemat kami dapat dilakukan. Memang dengan melakukan perhitungan
per hari, per bulan dalam satu tahun itu akan lebih dapat menghindari kekeliruan dan kelupaan.
Sebab sesuatu yang sudah berlalu dalam tempo yang relatif lama, akan menjadikan orang pada
umumnya mudah lupa. Dan kelupaan ini sangat berpotensi untuk berakibat terjadinya kekeliruan.
Namun jika dengan perhitungan per hari per bulan dalam satu tahun mengakibatkan hasil
perhitungan yang tidak tepat/yang tidak akurat, maka sekalipun dipandang mudah, tentu yang
dipertahankan adalah mencari kebenaran bukan semata-mata kemudahan. Apalagi saat ini dunia
perniagaan telah didukung dengan program-program komputerisasi yang canggih yang dapat
menyimpan data secara akurat dan menghindarkan orang dari kelupaan.
4. Judul buku yang saya terbitkan adalah buku ketrampilan, di antaranya adalah tentang
rias pengantin. Selain tentang seni merias, dalam buku itu juga diuraikan tentang upacara
adat termasuk tentang “sesajen dan hal-hal yang bid’ah”. Bagaimana hukumnya
pekerjaan saya ini? Halal atau haram?
Sebagai seorang muslim, segala aktifitas hidup dan usaha yang kita jalankan tidak boleh
lepas dan bertentangan dengan hukum agama. Sebab semua yang kita lakukan pasti akan diminta
pertanggungjawabannya di hadapan Allah swt. Pada dasarnya menerbitkan buku ketrampilan
atau sejenisnya hukumnya mubah asalkan tetap mengacu pada norma-norma dan hukum-hukum
agama Islam. Buku yang diterbitkan tidak mengandung kemusyrikan, kemaksiatan, pornografi,
serta tidak memfasilitasi atau mengiklankan segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran
agama dengan berbagai bentuknya.
Dalam melakukan aktifitas bisnis, orientasi seorang muslim tidak hanya sekedar mencari
keuntungan finansial, namun juga keuntungan ukhrawi/akhirat. Oleh sebab itu, usaha mubah
yang yang kita lakukan dapat bernilai ibadah (ibadah ’am) apabila dapat memberikan
kemudahan dan nilai manfaat bagi orang lain, dan diniatkan sebagai salah satu amal shalih kita.
Dalam tradisi pernikahan, terkadang ditemukan simbol-simbol tradisis lokal, seperti
memasang janur kuning sebagai lambang sedang terjadinya resepsi pernikahan, dan beberapa
bentuk tradisi tertentu yang tidak diyakini sebagai suatu keharusan yang tidak boleh
ditinggalkan, serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, maka tradisi semacam
ini tidak masuk kategori sesajen atau perbuatan syirik. Namun jika yang dimaksudkan dengan
sesajen adalah sesuatu yang dipersembahkan yang diyakini dapat mendatangkan kekuatan,
kesuksesan, dan jika tidak dilakukan dapat mendatangkan malapetaka dan kesialan, bahkan
dilakukan dengan ritual tertentu, maka tentu hal semacam ini termasuk kategori kesyirikan. Oleh
sebagian masyarakat hal seperti itu justru dianggap sebagai tradisi yang wajar. Padahal
kesyirikan merupakan kezaliman, salah satu dari tujuh hal yang membinasakan, dapat
menghapuskan pahala amal salih seseorang, dan dosa terbesar seorang hamba kepada Allah swt,
sebagaimana dijelaskan dalam hadis terdahulu dan ayat-ayat berikut ini:
.
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya dan dia menasehatinya; wahai
anakku janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezaliman
yang sangat besar.” [QS. Lukman (31): 13]
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala
dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar” [QS. an-Nisa’
(4): 48]
Jika kesyirikan termasuk dosa besar, maka membantu atau memfasilitasi seseorang untuk
melakukan kesyirikan juga termasuk berdosa. Oleh sebab itu, menurut hemat kami jika Ibu telah
mengetahui bahwa hal-hal yang diiklankan tersebut termasuk kategori kesyirikan karena telah
memenuhi kriteria tersebut di atas, maka semestinya Ibu tidak mengiklankan atau mencetak buku
yang mengandung unsur-unsur kesyirikan tersebut.
Wallahu a’lam bissawab. *rf)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: [email protected] dan [email protected]
UANG HASIL RENTENIR, IKLAN ZIARAH KE YERUSSALEM, ZAKAT
PERNIAGAAN, DAN BUKU RIAS PENGANTIN
Pertanyaan Dari:
Hajinah Idham, Depok, Jawa Barat
(disidangkan pada hari Jum’at, 28 Muharram 1433 H / 23 Desember 2011 M)
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Saya adalah pimpinan penerbitan buku keterampilan. Untuk mendapatkan tambahan dana
penerbitan, saya memberikan kesempatan kepada para pengusaha yang terkait dengan judul
buku, memasang iklan usahanya. Salah seorang dari pemasang iklan dalam salah satu buku yang
akan saya terbitkan, ternyata adalah seorang pimpinan LPK yang juga menjadi rentenir.
Pertanyaan saya:
1. Halalkah uang hasil rentenir yang akan saya terima sebagai biaya pemasangan iklan dalam buku
saya?
2. Bolehkah saya mengiklankan dalam buku saya iklan tentang ziarah ke Yerusalem untuk
kunjungan umat kristiani (pemilik usaha ini beragama kresten)
Selama saya berusaha, saya telah membayar zakat secara mencicil setiap bulan melalui
lembaga amil zakat, tetapi dengan perhitungan 2.5% x pendapatan rata-rata pertahun dibagi dua
belas bulan.
Pertanyaan saya:
3. Bagaimana cara yang benar menghitung zakat perniagaan untuk usaha penerbitan buku? Ada
yang mengatakan bahwa zakat perniagaan itu “tidak ada dalam hukum Islam”. Benarkah ? Jika
ada, pertanyaan saya: apakah waktu nisab dihitung dari pendapatan setiap buku atau dari
pendapatan setahun, karena waktu terbit buku tidak sama? Dari mana jumlah zakat
diperhitungkan; dari omzet atau laba? Masa habisnya buku rata-rata tiga tahun. Perlu saya
informasikan bahwa untuk mencetak buku, saya terpaksa berhutang kepada pencetak dan
membayarnya secara bertahap.
4. Judul buku yang saya terbitkan adalah buku ketrampilan, di antaranya adalah tentang rias
pengantin. Selain tentang seni merias, dalam buku itu juga diuraikan tentang upacara adat
termasuk tentang “sesajen dan hal-hal yang bid’ah”. Bagaimana hukumnya pekerjaan saya ini?
Halal atau haram?
Saya sangat mengharapkan jawaban pertanyaan di atas, agar apa yang sedang saya lakukan
mendapat ridha-Nya. Terima kasih.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Terimakasih kami ucapkan kepada Ibu Hajinah Idham yang telah menyampaikan
pertanyaannya kepada kami. Berikut ini kami jawab pertanyaan Ibu berdasarkan urutannya:
1.
Halalkah uang hasil rentenir yang akan saya terima sebagai biaya pemasangan iklan
dalam buku saya?
Sebelum bicara tentang aspek hukumnya, sebaiknya perlu difahami pengertian riba
sebagaimana dikemukakan oleh para ulama’, antara lain; Riba menurut al-Jurjani ialah;
“kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah
seorang dari dua orang yang membuat akad”. Sedangkan Syekh Muhammad Abduh
mendefinisikannya; “penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta
kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh
peminjam dari waktu yang telah ditentukan”.
Riba merupakan perkara yang diharamkan oleh Islam sebagaimana dijelaskan dalam ayat
dan hadis Nabi saw., antara lain:
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka
barangsiapa yang telah datang kepadanya peringatan dari Tuhannya, lalu ia berhenti
(melakukan riba) maka baginya apa-apa yang telah lalu dan urusannya kembali kepada Allah,
dan barangsiapa yang kembali (melakukannya) maka mereka itulah para penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya.” [QS. al-Baqarah (2): 275]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkan sisasisa (yang belum dipungut) dari riba, jika kamu orang-orang yang beriman.” [QS. al-Baqarah
(2): 278]
Bahkan dalam beberapa hadis sahih dijelaskan, bahwa orang yang terlibat dalam aktifitas
ribawi baik sebagai pelaku, saksi, pencatat, pemakan riba dan lainnya termasuk pihak yang
dilaknat oleh Rasulullah saw dan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang binasa;
Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata; Rasulullah saw melaknat orang yang memakan
riba, orang yang menjadi wakilnya, orang yang mencatatnya, dua orang saksinya, dan ia
bersabda mereka sama saja.” [HR. Muslim]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdillah, ia berkata; orang yang memakan riba, wakilnya,
pencatatnya apabila mereka mengetahui hal tersebut … mereka dilaknat atas (oleh) lisan
Muhammad saw. pada hari kiamat.” [HR. al-Bukhari, Muslim dan jama’ah]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra., bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Jauhilah
oleh kamu sekalian tujuh perkara yang membinasakan, ditanyakan oleh para sahabat; wahai
Rasulullah, apa saja tujuh perkara tersebut? Rasulullah bersabda: Syirik kepada Allah, kikir,
membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali karena alasan yang benar, memakan riba,
memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, menuduh wanita baik-baik yang (sedang)
lalai lagi beriman melakukan zina.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Ayat-ayat dan hadis-hadis di atas memberikan informasi dan penjelasan yang sangat tegas
tentang keharaman riba beserta dampak negatif yang akan ditimbulkannya. Keharaman riba,
tidak hanya bagi pelakunya, tetapi juga bagi orang yang memakan hasil riba jika mereka
mengetahui sesuatu yang dimakannya tersebut bersumber dari riba, wakilnya, pencatat dan orang
yang menjadi saksinya. Sedangkan dampak negatif yang akan didapatkan oleh orang yang
terlibat dalam persoalan riba antara lain; berupa kesengsaraan di akhirat kelak, dilaknat, dan
termasuk salah satu dari tujuh perkara yang membinasakan.
Dengan demikian, jika Ibu yakin bahwa dana yang digunakan tersebut didapatkan dari
hasil riba karena diperkuat oleh pengakuan, barang bukti yang Ibu miliki, atau mungkin sesuatu
yang diiklankan tersebut terkait dengan usaha riba yang dijalankannya, maka tentu ibu termasuk
orang yang terlibat dalam aktifitas riba dengan segala konsekuensinya. Karena mengiklankannya
termasuk kategori membantu kesuksesan aktifitas riba yang dijalankannya. Hal ini selaras
dengan kaidah fikih yang berbunyi:
Artinya: “Wasilah (perantara/fasilitator) sama hukumnya dengan sesuatu yang dimaksudkan
(dituju).”
Namun jika sesuatu yang diiklankan tidak ada kaitannya dengan aktifitas riba yang
dijalankan, maka tentu Ibu tidak termasuk membantu atau sebagai fasilitator aktifitas riba yang
dijalankannya, serta tidak mendapatkan dampak hukum dari keharamannya. Oleh sebab itu, ibu
tidak semestinya berasumsi atau menerka-nerka bahwa harta orang tersebut didapatkan dari
sumber riba kecuali jika ada bukti yang jelas. Sebab boleh jadi orang tersebut mendapatkan
penghasilan dari sumber lain yang halal. Menerka-nerka persoalan hukum yang tidak jelas
buktinya termasuk su’uzh-zhan (berburuk sangka) yang dapat melahirkan sikap saling tidak
percaya, saling mencurigai, menyakiti perasaan orang lain, dan bahkan dapat menyulitkan diri
sendiri. Hal ini tentu tidak sesuai dengan semangat al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS.
al-Ma’idah 5: 101 sebagai berikut:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu (banyak) bertanya tentang segala
sesuatu, (yang mengakibatkan) jika hal tersebut dijelaskan kepadamu niscaya akan menyulitkan
kamu sekalian…” [QS. al-Ma’idah (5): 101]
Di sisi lain, sesungguhnya Islam telah memberikan solusi untuk menyucikan harta seorang
muslim dari kemungkinan adanya unsur-unsur keharaman yang tidak diketahui dan disadarinya
dengan cara berzakat. Dengan demikian, hendaknya Ibu mensucikan penghasilan dengan cara
berzakat dan banyak berinfak atau sadaqah. Namun jika Ibu masih tetap merasa tidak nyaman
dan ingin berhati-hati (ikhtiyath), karena kuatir penghasilan yang ibu dapatkan terkontaminasi
(terkotori) oleh sumber-sumber yang syubhat (tidak jelas kehalalan dan keharamannya), serta
menolak memasang iklan yang diberikan oleh seorang rentenir, maka sebaiknya ibu mencari
solusi terbaik sehingga tidak menyinggung perasaan orang lain, dan dalam rangka menjaga
hubungan yang harmonis dengan pihak lain.
2.
Bolehkah saya mengiklankan dalam buku saya iklan tentang ziarah ke Yerusalem untuk
kunjungan umat kristiani (pemilik usaha ini beragama Kristen)
Tidak dapat dipungkiri bahwa Yerusalem (Palestina) diyakini sebagai kota suci bagi tiga
penganut agama besar di dunia (Islam, Yahudi dan Nasrani). Karena secara historis, kota ini
memiliki kaitan sejarah dengan para nabi yang membawa ketiga agama besar tersebut. Sekalipun
dalam perjalanannya telah terjadi penyimpangan dalam ajaran Yahudi dan Nasrani dari ajaran
tauhid yang dibawa oleh para Nabinya.
Namun di sisi lain, Islam tidak menutup pintu untuk berinteraksi dan melakukan transaksi
mu’amalah dengan orang Yahudi, Nasrani maupun penganut ajaran agama lainnya, asalkan
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Sebagaimana halnya dengan Rasulullah
saw yang melakukan transaksi jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya dengan orang
Yahudi dan Nasrani pada saat itu.
Ziarah ke Yerusalem (Palestina) atau ke tempat lainnya dalam rangka siyahah (rekreasi)
termasuk persoalan muamalah dan hukumnya boleh (mubah). Adapun segala perbuatan atau
aktifitas yang dilakukan seseorang pada saat melakukan rekreasi ditanggung oleh orang yang
melakukannya. Jika selama berada di Yerusalem, mereka (orang Nasrani) melakukan kesyirikankesyirikan, maka mereka sendiri yang menanggung akibat hukumnya. Sebab kita tidak bisa
menjamin bahwa segala hal yang dilakukan oleh seseorang itu sesuai dengan yang kita inginkan.
Contoh lain; jika kita menyediakan jasa travel pariwisata, maka hukumnya mubah (boleh). Dan
jika ternyata di tempat wisata tersebut mereka melakukan perbuatan dosa dan kesyirikan, maka
dosanya ditanggung oleh mereka yang melakukannya, serta tidak mengubah hukum kebolehan
jasa travel yang kita sediakan.
Oleh sebab itu, dalam persoalan muamalah berlaku kaidah fikih yang berbunyi:
Artinya: “Pada dasarnya (hukum) segala sesuatu (muamalah) itu adalah mubah, kecuali ada
bukti yang menunjukkan keharamannya.”
Namun yang patut menjadi catatan penting bagi umat Islam adalah terkait dengan
eksistensi negara Yahudi (Israel) saat ini. Bagi umat Islam, Israel merupakan negara penjajah
yang banyak mencaplok tanah dan hak-hak negara (rakyat) Palestina. Bahkan untuk menjaga
hegemoninya, Israel tidak segan-segan melakukan berbagai usaha keji dan tidak
berperikemanusiaan, seperti membunuh secara kejam rakyak Palestina bahkan anak-anak
sekalipun. Sehingga secara politis, berkunjung atau memfasilitasi kunjungan ke negara tersebut
dapat saja diartikan sebagai bentuk dukungan moril dan finansial, karena dapat memberikan
devisa bagi negara penjajah tersebut. Oleh sebab itu, sepatutnya bagi umat Islam untuk tidak
memberikan bantuan (keuntungan) kepada negara penjajah baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Perlu diketahui pula, bahwa sampai saat ini negara kita, Indonesia tidak membuka
hubungan diplomatik dengan Israel, karena perilaku negara itu bertentangan dengan Undangundang Dasar negara kita.
3. Bagaimana cara yang benar menghitung zakat perniagaan untuk usaha penerbitan buku?
Sebelum menjawab pertanyaan tentang cara yang benar menghitung zakat perniagaan, dan
beberapa persoalan terkait, di sini perlu ditegaskan bahwa; pendapat yang menyatakan zakat
perniagaan (tijarah) dalam Islam itu tidak ada, merupakan pendapat yang salah dan sangat
keliru. Di dalam al-Qur’an secara tegas dijelaskan tentang harta yang wajib dizakati, antara lain:
QS. al-Baqarah (2): 267:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.
Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal
kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.
Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” [QS. al-Baqarah (2): 267]
Kalimat yang berbunyi; ”Min Thayyibaat Maa Kasabtum”, (dari semua usaha yang baik),
pengertiannya meliputi seluruh penghasilan yang bersumber dari usaha yang halal seperti
pertanian, perdagangan, maupun perniagaan halal lainnya seperti percetakan buku maupun
penerbitan koran/majalah dan sebagainya. Dengan demikian, jenis zakat dari usaha yang Ibu
jalankan termasuk ke dalam zakat tijarah (zakat perniagaan atau perdagangan). Adapun teknis
perhitungan dan pembayarannya pernah dibahas dalam jawaban-jawaban fatwa sebelumnya
sekalipun bebeda dari aspek objek perniagaannya.
Dalam zakat perdagangan tidak ditentukan jenis barang dagangannya. Yang ditentukan
adalah jumlah harga barang dagangan beserta keuntungannya telah mencapai nishab (seharga 85
gram emas murni) dan haul (satu tahun). Oleh karena itu dalam menghitung harga barang
dagangan beserta keuntungannya tidak harus dengan menghitung satu per satu jenis barang,
melainkan dengan menghitung dalam satu tahun seluruh modal yang berupa barang dagangan
itu, ditambah seluruh keuntungan baik berupa uang tunai maupun berupa piutang seperti
tabungan, deposito dan lain-lain. Dari hasil perhitungan di atas (perhitungan bersih/netto: setelah
melunasi biaya operasional dan hutang-piutang), jika telah mencapai nishab maka harus
dikelurkan zakatnya yakni sebesar 2,5 % dari jumlah seluruh keuntungan dan harta dagangan
(modal) tersebut. Jadi yang dihitung untuk dikeluarkan zakatnya bukan hanya dari
keuntungannya saja. Dalam cara menghitung ini Islam tidak menentukan secara detail. Namun
Islam menuntunkan agar orang mencari dan menggunakan cara (jalan) yang mudah selagi yang
mudah ini tidak melanggar ketentuan Islam, yakni tidak terjadi manipulasi sehingga akan
merugikan. Dalam al-Qur’an disebutkan:
Artinya: “… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu
...” [QS. al-Baqarah (2): 185]
Artinya: “… Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan
...” [QS. al-Hajj (22): 78]
Dalam hadis dijelaskan:
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., dari Nabi saw, beliau bersabda: Mudahkanlah
dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan membuat orang takut.” [HR. al-Bukhari
dan Muslim]
Jika dengan menghitung per hari, per bulan dalam satu tahun dipandang paling mudah,
sehingga akan dapat menghasilkan perhitungan yang tepat/akurat sesuai dengan ketentuan nisab
dan haul di atas, menurut hemat kami dapat dilakukan. Memang dengan melakukan perhitungan
per hari, per bulan dalam satu tahun itu akan lebih dapat menghindari kekeliruan dan kelupaan.
Sebab sesuatu yang sudah berlalu dalam tempo yang relatif lama, akan menjadikan orang pada
umumnya mudah lupa. Dan kelupaan ini sangat berpotensi untuk berakibat terjadinya kekeliruan.
Namun jika dengan perhitungan per hari per bulan dalam satu tahun mengakibatkan hasil
perhitungan yang tidak tepat/yang tidak akurat, maka sekalipun dipandang mudah, tentu yang
dipertahankan adalah mencari kebenaran bukan semata-mata kemudahan. Apalagi saat ini dunia
perniagaan telah didukung dengan program-program komputerisasi yang canggih yang dapat
menyimpan data secara akurat dan menghindarkan orang dari kelupaan.
4. Judul buku yang saya terbitkan adalah buku ketrampilan, di antaranya adalah tentang
rias pengantin. Selain tentang seni merias, dalam buku itu juga diuraikan tentang upacara
adat termasuk tentang “sesajen dan hal-hal yang bid’ah”. Bagaimana hukumnya
pekerjaan saya ini? Halal atau haram?
Sebagai seorang muslim, segala aktifitas hidup dan usaha yang kita jalankan tidak boleh
lepas dan bertentangan dengan hukum agama. Sebab semua yang kita lakukan pasti akan diminta
pertanggungjawabannya di hadapan Allah swt. Pada dasarnya menerbitkan buku ketrampilan
atau sejenisnya hukumnya mubah asalkan tetap mengacu pada norma-norma dan hukum-hukum
agama Islam. Buku yang diterbitkan tidak mengandung kemusyrikan, kemaksiatan, pornografi,
serta tidak memfasilitasi atau mengiklankan segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran
agama dengan berbagai bentuknya.
Dalam melakukan aktifitas bisnis, orientasi seorang muslim tidak hanya sekedar mencari
keuntungan finansial, namun juga keuntungan ukhrawi/akhirat. Oleh sebab itu, usaha mubah
yang yang kita lakukan dapat bernilai ibadah (ibadah ’am) apabila dapat memberikan
kemudahan dan nilai manfaat bagi orang lain, dan diniatkan sebagai salah satu amal shalih kita.
Dalam tradisi pernikahan, terkadang ditemukan simbol-simbol tradisis lokal, seperti
memasang janur kuning sebagai lambang sedang terjadinya resepsi pernikahan, dan beberapa
bentuk tradisi tertentu yang tidak diyakini sebagai suatu keharusan yang tidak boleh
ditinggalkan, serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, maka tradisi semacam
ini tidak masuk kategori sesajen atau perbuatan syirik. Namun jika yang dimaksudkan dengan
sesajen adalah sesuatu yang dipersembahkan yang diyakini dapat mendatangkan kekuatan,
kesuksesan, dan jika tidak dilakukan dapat mendatangkan malapetaka dan kesialan, bahkan
dilakukan dengan ritual tertentu, maka tentu hal semacam ini termasuk kategori kesyirikan. Oleh
sebagian masyarakat hal seperti itu justru dianggap sebagai tradisi yang wajar. Padahal
kesyirikan merupakan kezaliman, salah satu dari tujuh hal yang membinasakan, dapat
menghapuskan pahala amal salih seseorang, dan dosa terbesar seorang hamba kepada Allah swt,
sebagaimana dijelaskan dalam hadis terdahulu dan ayat-ayat berikut ini:
.
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya dan dia menasehatinya; wahai
anakku janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezaliman
yang sangat besar.” [QS. Lukman (31): 13]
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala
dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar” [QS. an-Nisa’
(4): 48]
Jika kesyirikan termasuk dosa besar, maka membantu atau memfasilitasi seseorang untuk
melakukan kesyirikan juga termasuk berdosa. Oleh sebab itu, menurut hemat kami jika Ibu telah
mengetahui bahwa hal-hal yang diiklankan tersebut termasuk kategori kesyirikan karena telah
memenuhi kriteria tersebut di atas, maka semestinya Ibu tidak mengiklankan atau mencetak buku
yang mengandung unsur-unsur kesyirikan tersebut.
Wallahu a’lam bissawab. *rf)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: [email protected] dan [email protected]