Kerangka Teoritis Kerangka Teoritis dan Konseptual
dan mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit.
11
Pasal 63 ayat 2 yang berisikan bahwa jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka
hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
12
Di dalam Pasal 103 KUHP yang beisikan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga
berlaku perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-udangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Aturan
hukum yang memuat asas lex specialis derogate legi generalis termasuk kategori rule of recognition. Asas lex specialis derogat legi generalis, mengatur aturan
hukum mana yang diakui absah sebagai suatu aturan yang berlaku, dan asas lex specialis derogat legi generalis merupakan suatu secondary rules, yang sifatnya
bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur pembatasan penggunaan kewenangan aparat negara dalam mengadakan suaru represi terhadap
pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut.
Sebagai asas yang mengatur penggunaan kewenangan, dilihat dari teori tentang criminal law policy dari Ancel, asas lex specialis derogat legi generali merupakan
asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi application policy. Artinya, persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum
formulation policy, tetapi berkenaan dengan atauran main game rules dalam penerapan hukum. Asas lex specialis derogat legi generalis ini penting bagi aparat
11
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,1999, hlm. 144.
12
http:www.hukumonline.comklinikdetaillt509fb7e13bd25mengenai-asas-lex-specialis- derogat-legi-generalis, diakses 10 Januari 2017, pukul 19.30 WIB.
penegak hukum guna menentukan aturan apa yang di terapkan atas suatu peristiwa yang diatur oleh lebih dari satu aturan, yang manakah aturan diantara
aturan-aturan tersebut yang bersifat umum dan yang manakah aturan-aturan yang lain tersebut yang bersifat khusus.
Menyimak ketentuan Pasal 63 ayat 2 KUHP yang menegaskan keberlakuan atau validitas aturan pidana yang khusus ketika mendapati suatu perbuatan yang masuk
baik ke dalam aturan pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus. Namun, apa yang dimaksud dengan aturan pidana tersebut, tidak ada dijelaskan dalam
undang-undang. Dengan demikian perlu adanya penafsiran, sehingga jika melihat suatu sistem hukum terdiri substansi substance, struktur structure, dan budaya
culture, maka aturan pidana di maksud yaitu substansi hukum itu sendiri dalam hal ini, aturan pidana tersebut yaitu sub-bagian hukum yang masuk ke dalam
ruang lingkup hukum pidana itu sendiri. Kemudian, jika memperhatikan ruang lingkup hukum pidana tersebut meliputi pengaturan tentang tindak pidana crime,
pertanggungjawaban pidana responsibility, dan pemidanaan punishment, maka aturan
pidana diartikan
ke dalam
aturan tentang
tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Sehingga, jika terdapat aturan yang sifatnya khusus mengenai tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan
pemidanaan, maka aturan yang sifatnya umum menjadi tidak lagi valid.
Menentukan suatu aturan yang bersifat khusus itu lex specialis, berpangkal tolak dari metode deduktif dari yang khusus ke yang umum. Aturan yang bersifat
khusus itu dibandingkan dengan aturan umumnya dengan mengidentifikasikan sifat-sifat umum yang terkandung dalam dalam aturan yang bersifat khusus itu.
Sifat-sifat umum ketentuan tersebut dapat diketahui dengan memahami secara baik aturan yang bersifat umum tersebut. Sehingga ditemukan aturan yang khusus
lex specialis berisi hal-hal yang bersifat umum yang ditambah hal lainnya yang merupakan kekhususannya. Suatu aturan hukum yang tidak memuat norma yang
hakekat addressat-nya tertuju pada perlindungan benda-benda hukum yang umum ditambah sifat khususnya, maka tidak dapat dikatakan sebagai lex specialis, oleh
karena dalam aturan yang bersifat khusus terdapat keseluruhan ciri-ciri kenmerk atau kategoris dari aturan yang bersifat umum lex generalis dan ditambahkan
ciri-ciri baru yang menjadi inti kekhususannya itu. b
Teori Pembuktian
Menurut Alfitra, sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara-cara
bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan serta dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya di depan sidang pengadilan.
13
Sistem pembuktian adalah sistem yang berisi terutama tentang alat-alat bukti apa yang boleh
digunakan untuk membuktian, cara bagaimana alat bukti itu boleh dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti tersebut serta standarkriteria yang menjadi
ukuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu objek yang dibuktikan. Sedangkan menurut Adhami Chazawi, sistem pembuktian merupakan
suatu kebulatan atau keseluruhan dari berbagai ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang saling berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain yang
13
Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian dalam beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Jakarta: Raih Asa Sukses, hlm. 28.
tidak terpisahkan dan menjadi satu kesatuan yang utuh.
14
Waluyadi, mengemukakan bahwa terdapat beberapa teori pembuktian dalam hukum acara,
yaitu: 1.
Conviction-in Time Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa, yakni
dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim
dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik
keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.
Kelemahan sistem pembuktian conviction-in time adalah hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar
keyakinan belaka tanpa didukung alat bukti yang cukup. Keyakinan hakim yang dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa.
Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati
dalam sistem pembuktian ini. Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Sistem pembuktian conviction in time
banyak digunakan oleh negara-negara yang menggunakan sistem peradilan juri jury rechtspraak misalnya di Inggris dan Amerika Serikat.
15
2. Conviction-Raisonee
Sistem conviction-raisonee pun, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, pada sistem
ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka pada
sistem conviction-
raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan- alasan yang jelas. Hakim harus mendasarkan putusan-putusannya terhadap
seorang terdakwa berdasarkan alasan reasoning. Oleh karena itu putusan juga bedasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal reasonable. Hakim
wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Sistem atau teori pembuktian ini
disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan- alasan keyakinannya vrijs bewijstheorie.
3. Pembuktian menurut undang-undang secara positif positief wettelijke stelsel
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang, yakni untuk membuktikan salah atau tidaknya
terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Terpenuhinya syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang,
14
Adhami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Alumni, hlm. 24.
15
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 15.
sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim, yakni apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan
terdakwa, bukan menjadi masalah.
Sistem pembuktian ini lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak
diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi diatas kewenangan undang- undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan
dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasarkan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem
ini disebut teori pembuktian formal foemele bewijstheorie.
4. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif negatief wettelijke
stelsel Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori
antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem ini
memadukan unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur
tersebut.
16