Sumber-sumber HHI Hukum Humaniter Internasional International Humanitarian Law

Proyektil Eksplosif Tertentu yang beratnya di bawah 400 gram dan Protokol IV Konvensi PBB 1980 Tentang Senjata Laser yang Membutakan, jarang sekali perjanjian HHI yang mengatur atau melarang suatu alat atau metode yang baru dan belum pernah diterapkan. Kelebihan sebagai sumber HHI, perjanjian internasional dapat memberikan rumusan aturan yang jelas, dan mudah diterapkan. Dengan demikian, aturannya dapat dilaksanakan oleh tentara tanpa harus melakukan penelitian yang mendalam. Kelemahan dari perjanjian sebagai sumber HHI adalah sebagaimana hukum yang berlaku terhadap setiap perjanjian internasional di bidang apa pun, secara teknis perjanjian tidak dapat mengikat negara yang meratifikasinya. Untungnya, hampir semua negara telah meratifikasi Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan cukup banyak negara yang telah meratifikasi dua Protokol Tambahan 1977. 2. Hukum Kebiasaan Internasional Tidak mudah menemukan atau menilai bahwa suatu norma HHI telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Sebagaimana telah ditetapkan dalam Statuta Mahkamah Internasional, suatu aturan hanya dapat dikategorikan hukum kebiasaan internasional apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu telah dipraktikkan secara umum oleh negara-negara dan telah memperoleh pendapat hukum yang mengakui ketentuan tersebut sebagai suatu keharusan. Sulit untuk untuk menemukan praktik umum atas ketentuan tersebut, kecuali dari manual tertulis mengenai instruksi perang, sedangkan hanya sedikit negara yang mempunyai manual seperti itu. Kesulitan lain dalam menemukan praktik umum yang dapat dikategorikan sebagai hukum kebiasaan. Justru HHI terbentuk karena pengalaman adanya praktik-praktik peperangan dianggap merugikan atau tidak adil. Walaupun perjanjian internasional HHI cukup banyak, tetapi keberadaan hukum kebiasaan internasional sangat dibutuhkan, khususnya untuk memberikan perlindungan kepada korban perang jika suatu hal tidak ditemukan kaidahnya dalam perjanjian. Paling tidak, hukum kebiasaan internasional dapat membantu apabila suatu aturan dalam perjanjian internasional masih belum memperoleh pengesahan dari negara-negara. Saat ini, cukup banyak upaya di tingkat internasional untuk menyusun aturan-aturan HHI dari hukum kebiasaan internasional. San Remo Manual 1944 Tentang Hukum Sengketa Bersenjata, yang dapat diberlakukan dalam peperangan laut adalah salah satu contohnya. Penyusunan San remo Manual ini dilaksanakan karena draft perjanjian internasional megenai hal yang serupa, yaitu Oxford Manual tentang HHI untuk peperangan di laut, tidak sempat menjadi perjanjian multilateral untuk mengikat negara-negara secara umum. Di samping San Remo Manual, tahun 2005, International Committee of the Red Cross ICRC menerbitkan kumpulan International Customary Law yang disusun para ahli dari lima puluh negara setelah melalui penelitian selama sepuluh tahun. 3. Prinsip-prinsip Hukum Umum Mengingat yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa adalah prinsip-prinsip hukum domestik yang ada dalam segala bidang hukum, maka hanya sedikit prinsip-prinsip tersebut yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum HHI. Realitasnya hanya sedikit dari prinsip-prinsip tersebut yang dapat dioperasionalkan dalam HHI. Sebagai contoh prinsip itikad baik dan prinsip proporsional telah menjadi hukum kebiasaan internasional dan telah dikodifikasika dalam perjanjian internasional. Ada pula beberapa prinsip HHI yang dijadikan dasar logika untuk melahirkan prinsip lainnya. Contohnya, prinsip tentang larangan menyerang penduduk sipil. Larangan tersebut, berdasarkan logika telah menjadi sumber bagi aturan HHI lainnya, yaitu aturan bahwa suatu serangan yang diarahkan ke sesuatu sasaran militer harus dihentikan apabila sasaran tersebut adalah orang sipil. Aturan baru ini pun telah dirumuskan dalam perjanjian internasional Ambarwati, 2009:49.

3.1.2.6 Prinsip-prinsip HHI

Dibanding dengan prinsip hukum umum, hal yang lebih penting bagi HHI adalah prinsip-prinsip HHI atau yang dianggap sebagai prinsip- prinsip HHI yang fundamental. Prinsip tersebut yaitu prinsip pembatasan, prinsip necessity kepentingan, prinsip larangan yang menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya, prinsip kemanusiaan, dan Marten’s Clause klausula Marten. Masing-masing prinsip HHI ini tidak hanya berdasarkan pada satu macam sumber HHI saja, melainkan dari berbagai macam sumber. Prinsip-prinsip tersebut, sebagai bagian dari suatu sistem HHI, satu sama lainnya bersifat saling melengkapi, menjelaskan, dan membantu penafsirannnya. HHI dalam sudut pandang studi hubungan internasional perlu dipahami prinsip-prinsip yang melatarbelakanginya, prinsip-prinsip tersebut antara lain: 1. Kemanusiaan 2. Necessity kepentingan 3. Proporsional Proportionality 4. Distinction pembedaan 5. Prohibition of causing unnecessary suffering prinsip HHI tentang larangan aksi menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya perlu 6. Pemisahan antara ius ad bellum hukum yang berlaku untuk situasi sengketa bersenjata dan ius in bello hukum tentang keabsahan tindakan perang 7. Ketentuan minimal HHI maksud dari ketentuan minimal adalah ketentuan untuk menghormati HHI yang berlaku dalam bentuk konflik bersenjata internasional maupun non-internasional, walaupun dalam pasal yang ada dalam Konvensi Jenewa 1949 merujuk kepada situasi konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional 8. Tanggung jawab dalam pelaksanaan dan penegakan HHI Ambarwati, 2009:40. 3.1.3 Konflik Bersenjata Israel – Hezbollah Tahun 2006 3.1.3.1 Sejarah Konflik Jika dilihat dari sejarah yang runut, penyebab terjadinya konflik Lebanon – Israel terlihat begitu kompleks dan tidak serta merta mengaitkannya dengan satu alasan saja baca: pendirian negara Israel. Konflik internal yang terjadi di dalam tubuh Lebanon sendiri justru turut ikut menjadi faktor terjadinya konflik Israel – Lebanon. Tidak seperti mayoritas negara Arab lainnya, Lebanon memiliki komposisi penduduk beragama Islam dan Kristen yang signifikan dan hampir berimbang. Struktur sosial dan politik Lebanon hingga saat sekarang pada dasarnya merupakan peninggalan sistem “millet” zaman Ottoman yang membagi- bagi kekuasaan negara berdasarkan komposisi pemeluk agama – agama. Sistem “confessional” dan “consotional” ini dikukuhkan dalam Pakta Nasional Lebanon 1943 dan menjadi dasar pemerintahan Lebanon. Pakta nasional yang didukung oleh tokoh – tokoh Kristen dan Muslim pada waktu itu menetapkan antara lain: a. Penduduk Muslim akan bergabung dengan penduduk Kristen dalam membela kedaulatan Lebanon dengan syarat penduduk Kristen tidak akan mencari proteksi Barat bagi Lebanon dan tidak akan menyetujui intervensi Barat dalam masalah Lebanon; dan b. Penduduk Kristen akan membagi kekuasaan dengan penduduk Muslim berdasarkan rasio 6:5 bagi posisi – posisi pemerintahan, baik dalam lembaga legislatif maupun eksekutif Lebanon Lenczowski, 1992:111. Namun perkembangan demografis sejak 1943 merubah komposisi perimbangan para pemeluk agama di Lebanon. Misalnya pada pertengahan 1970-an jumlah penduduk Syi’ah adalah yang terbesar, sedangkan sebelum perang saudara mereka menempati urutan ketiga. Ketika orang – orang Syiah menuntut perubahan sistem “confessional”