36
anak yang menjadi korban pornografi, hal diatur dalam pada Pasal 4 ayat 1
54
Pasal 11
55
dan Pasal 12
56
Selain itu UU dalam prakteknya jaranag memberikan hukuman yang maksimal pada pelaku karena ancaman hukuman yang sangat rendah yaitu ada batasan minimal 6 bulan penjara
danatau denda sejumlah uang, untuk Pornografi yang melibatkan anak, ada tambahan hukuman 13 sepertiga dari maksimum ancaman pidananya.
selain itu umumnya penjatuhan pidana denda dengan menggunakan hukuman kumulatif alternatif, hal ini tentu memberikan ketidakadilan bagi korban, bagi pelaku pornografi yang
memiliki kemampuan secara finasial merasa diuntungkan dengan hukuman denda tersebutpelaku dapat membayar sejumlah uang untuk mengganti pidana penjaranya, walaupun
hakim memiliki kewenangan yang independen untuk memberikan hukuman bagi pelaku pornografi, selain itu hukuman denda tersebut tidak diperuntukan bagi korban untuk
melakukan pemulihan atau rehabilitasi, ganti rugi bagi korban atau Restitusi, namun denda tersebut diperuntukan bagi kepentingan negara sehingga dengan demikian korban tidak
mendapatkan keadilan.
Pemerintah seharusnya melakukan perubahan terhadap Undang-Undang ini agar dengan mempertimbangkan persoalan pornografi yang semakin mengalami kemajuan dalam aksesnya,
selain itu perlu adanya perubahan hukuman khususnya pida adenda dengan tidak menggunakan hukuman alternatif kumulatif namun hukuman kumulatif, pemberian hukuman
alternatif kumulatif sangat tidak memberikan efek jera bagi para pelaku pornografi karena kebanyakan pelaku adalah orang yang memiliki kemampuan secara finansial, hal ini tentu tidak
sebandingkan dengan penderitaan korban dari kejahatan pornografi. Hukuman kumulatif sangat penting agar pelaku dapat mempertimbangkan secara baik sebelum melakukan tindakan
pornografi, selain itu juga agar UU ini juga dapat mengakomodir mengenai mengenai hak-hak korban yaitu hak untuk mendapatkan pemulihan, rehabilitasi, restitusi dll.
3.1.4. Perspektif Aparat Penegak Hukum Dalam Penanganan Kasus ESKA
Pada kasus-kasus ESKA yang pernah kami tangani, kami menilai bahwa proses penegakanhukumnya tidak tuntas dan tidak maksimal untuk memberikan perlindungan dan
keadilan bagi korban. Hal ini telihat bahwa pada persoalan ESKA khusus pada kasus perdagangan seksual anak, Kepolisian cendrung untuk tidak mempidanakan tempat-tempat
hiburan yang mempekerjakan anak korban perdagangan. Selain itu persoalan Prostitusi anak juga menjadi persoalan tersendiri karena memiliki persoalan yang sama dimana penegakan
hukum pada kasus-kasus seperti ini masih sangat susah. mucikari, makelar, perantara yang selalu menjadi target Kepolisian untuk diproses secara hukum.
Sepanjang pengalaman ECPAT pada proses penegakan hukum pada kasus-kasus ESKA, Kepolisian cendrung untuk tidak melakukan penyelidikan yang maksimal, dengan melakukan
perluasan pada proses penyidikan, pada kasus perdagangan seksual anak, Kepolisian cendrung dan lebih banyak memproses orang yang terlibat pada kejadian perdagangan seksual anak
tersebut, seperti orang yang menjual korban atau mucikari, perantara dan makelar. Namun ada persoalan besar yang seharusnya menjadi prioritas dalam penegakan hukum ESKA yaitu dengan
diperlukannya proses penegakan hukum bagi orang yang membeli seks pada pada korban,
54
Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang
secara eksplisit memuat:a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;b. kekerasan seksual;c. Masturbasiatau onani;d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;e. alat kelamin; atauf.
pornografi anak
55
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan danatau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10
56
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau
memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
37
dimana sampai saat ini belum adanya hukuman bagi orang yang membeli seks pada anak yang menjadi korban perdagangan seksual anak.
Saat Razia di tempat prostitusi, mucikari selalu menjadi target untuk proses penegakan hukum, sementara pembeli seks seakan mendapatkan perlindungan hukum dalam pandangan
Kepolisian. Kepolisian selalu memberikan alasan tentang sulitnya mendapatkan bukti-bukti untuk menjerat pelaku yang membeli seks pada korban perdagangan seksual anak.
Pemerintah belum ada aturan khusus atau memasukan aturan dalam Undang-Undang yang saat ini ada untuk mempidanakan orang yang membeli seks pada anak khususnya pada
persoalan prostitusi dan perdagangan seksual anak. Sementara korban banyak mengalami kerugian mulai dari penyakit kelamin, kehamilan yang tidak dinginkan dan juga traumatis yang
panjang akibat peristiwa tersebut. Persoalan lain pada penegakan hukum untuk kasus-kasus ESKA adalah mengenai putusan
pengadilan yang tidak menjalankan mandat Undang-Undang khusus berkaitan dengan pemberian Restitusi, yang dimana hakim memnjatuhkan putusan untuk pemberian restitusi
dengan hukuman alternatif.
3.2. Korban Berpotensi Dilaporan Balik