Hasil Pemilu Setelah Amar Putusan MK tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

35 DPRD KabupatenKota adalah pengurus pusat Parpol Peserta Pemilu. Dengan kata lain, MK hanya berwenang menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu Anggota DPR dan DPRD antar-Parpol Peserta Pemilu. Karena peserta Pemilu Anggota DPD adalah perseorangan, MK berwenang menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu Anggota DPD antarcalon. Pada Pemilu 2009, jumlah kasus perselisihan hasil pemilu antarcalon dalam daerah pemilihan dan dari parpol yang sama diperkirakan jauh lebih banyak daripada perselisihan hasil pemilu antarparpol. Perselisihan hasil pemilu antarcalon terjadi karena praktik pengalihan suara dari calon yang satu kepada calon lain sebagaimana dikemukakan di atas. Padahal MK tidak memiliki kewenangan menangani perselisihan hasil Pemilu Anggota DPR dan DPRD antarcalon dari parpol yang sama dan dalam daerah pemilihan yang sama. Jumlah perkara perselisihan hasil Pemilu 2009 yang didaftarkan kepada Mahkamah Konstitusi mencapai 642 kasus dan diajukan oleh 71 pihak, yaitu 42 Parpol Peserta Pemilu Nasional dan Lokal dan 29 peserta perseorangan. Keputusan MK mengenai perkara tersebut dapat dikelompokkan menjadi: a 542 daerah pemilihan ditolak b 23 daerah pemilihan dikabulkan c 48 daerah pemilihan dikabulkan sebagian d 18 daerah pemilihan mendapat putusan sela e 6 daerah pemilihan dicabut f 3 daerah pemilihan putusan campuran g 2 daerah pemilihan tidak mendapat putusan. Akan tetapi, untuk penyelesaian PHPU Tahun 2009, MK membuat penafsiran yang lebih luas mengenai kewenangan MK. Menurut Ketua MK, tugas konstitusional MK adalah mengadili sengketa hasil pemilu, bukan hanya terkait perhitungan suara. 16 Kalau hanya menghitung hasil suara, nama Mahkamah 16 Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 menyebut kewenangan MK:”......dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Pasal 258 ayat 1 UU No. 1 2008 mengartikan perselisihan hasil pemilu sebagai “perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional,” sedangkan ayat 2 Pasal ini mendeinisikan perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional sebagai “perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.” Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap hasil Pemilu 2004 membatasi diri sepenuhnya menurut UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang isinya persis sama dengan Pasal 258 UU No. 10 2008 tersebut.