Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Sikap Ilmiah Siswa Pada Materi Larutan Elektrolit Dan Nonelektrolit

Seminar Nasional Pendidikan IPA-Biologi
FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 28 September 2016

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP
SIKAP ILMIAH SISWA PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN
NONELEKTROLIT
Ipa Ida Rosita1, Evi Sapinatul Bahriah2
Program Studi Pendidikan Kimia, FITKUIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email koresponden: 1ipidros16@gmail.com, 2evi@uinjkt.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran berbasis masalah terhadap sikap
ilmiah siswa pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode eksperimen semu dengan desain randomized postest-only. Sampel penelitian ini adalah
kelas X.1 (Kelas Ekserimen) dan X.2 (Kelas Kontrol) SMA Darussalam Ciputat Semester 2 tahun
pelajaran 2015/2016. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2015. Instrumen yang digunakan pada
penelitian ini adalah angket yang disusun berdasarkan skala Likert. Data sikap ilmiah peserta didik yang
diperoleh dihitung persentasenya dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa
persentase rata-rata ketercapaian sikap ilmiah siswa di kelas eksperimen sebesar 83,85% termasuk
kategori sangat tinggi, sedangkan di kelas kontrol hanya diperoleh sebesar 56,85% dan termasuk kategori
cukup. Hal ini menyimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah pada materi elektrolit dan
nonelektrolit berpengaruh terhadap peningkatan sikap ilmiah siswa.


Kata Kunci: model pembelajaran berbasis masalah; sikap ilmiah siswa
Abstract
This study aimed to determine the effect of problem-based learning model to the scientific
attitude of students on the concept electrolyte and non-electrolytes solution. The method used in
this study is a quasi-experimental method with randomized posttest-only design. The sample
was X.1 class (experiment class) and X.2 (control class) at SMA Darussalam Ciputatin the
second semester of the academic year 2015/2016. This research was conducted in May 2015.
The instrument used in this study was a questionnaire compiled by Likert scale. Data scientific
attitude of learners who obtained percentages are calculated and analyzed descriptively. The
results showed that the average percentage of achievement of the scientific attitude of students
in the experiment class amounted to 83.85% are very high, whereas in the control class is only
obtained for 56.85% and includes category enough. It is concluded that the problem-based
learning on the concept electrolytes and non-electrolytes affect the increased scientific attitude
of students.
Keywords: problem based learning model; scientific attitude students

PENDAHULUAN
Pendidikan
adalah

suatu
bentuk
perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis
dan berkembang. Oleh karena itu, perubahan
atau perkembangan pendidikan merupakan hal
yang seharusnya sejalan dengan perubahan
budaya kehidupan. Perubahan dalam arti
perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu
terus-menerus dilakukan sebagai antisipasi
kepentingan masa depan. Pendidikan yang

mampu mendukung pembangunan di masa
mendatang adalah pendidikan yang mampu
mengembangkan potensi peserta didik, sehingga
yang bersangkutan mampu menghadapi dan
memecahkan problema kehidupan
yang
dihadapinya (Trianto, 2010).
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang

sistem
pendidikan
nasional
menyebutkan, bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan

Copyright © 2016, ISBN 978-602-73551-0-8

Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Sikap Ilmiah

membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pendidikan juga bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (Sisdiknas,
2003).

Hal ini sejalan dengan Permendiknas No.
41 Tahun 2007 tentang Standar Proses
Pembelajaran yang menyatakan bahwa proses
pembelajaran pada setiap satuan pendidikan
dasar dan menengah haruslah interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, dan
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi
aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik (Depdiknas, 2006).
Tujuan-tujuan tersebut dapat diartikan bahwa
proses
pembelajaran
dalam
pendidikan
diantaranya menekankan pada dua aspek, yakni
aspek penguasaan keilmuan dan pengetahuan
serta aspek sikap dari peserta didik. Slameto
(1991) mengatakan bahwa proses belajar

mengajar merupakan suatu bentuk komunikasi,
yaitu komunikasi antara guru dan siswa.
Didalam
komunikasi
tersebut
terdapat
pembentukan dan pengalihan pengetahuan,
keterampilan ataupun sikap dan nilai dari guru
kepada peserta didik sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan.
Oleh karena itu, dalam proses belajar
mengajar di kelas,guru sebagai fasilitator dan
mediator dalam pendidikan perlu menerapkan
suatu strategi belajar yang dapat membantu
peserta didik untuk memahami materi ajar dan
aplikasi serta relevansinya dalam kehidupan
sehari-hari. Dimana peserta didik berusaha untuk
mencari pemecahan masalah secara mandiri.
Sehingga memberikan suatu pengalaman yang


dapat memberikan makna tersendiri bagi peserta
didik, seperti pada materi pelajaran sains.
Sains merupakan rangkaian konsep dan
skema konseptual yang saling berhubungan dan
dikembangkan dari hasil eksperimental atau
observasi yang sesuai untuk eksperimental atau
observasi berikutnya. Implementasi hakikat
sains ini diwujudkan dalam pembelajaran ilmu
pengetahuan alam (IPA) yang disusun melalui
suatu kurikulum. Proses pembelajaran IPA
menekankan pada pemberian pengalaman
langsung untuk mengembangkan kompetensi
agar menjelajahi dan memahami alam sekitar
secara ilmiah (Alit, 1999; Jennins& Whitefield,
1974; Conant, 1975; Zulfiani, 2009). Depdiknas
(2006) menyatakan terdapat tiga kemampuan
dalam IPA yaitu kemampuan untuk mengetahui
apa yang diamati, kemampuan untuk
memprediksi apa yang belum terjadi, dan
kemampuan untuk menguji tindak lanjut hasil

eksperimen, serta dikembangkannya sikap
ilmiah. Selama ini ada kecenderungan guru
memandang pembelajaran IPA hanya sebagai
kumpulan produk saja dan melupakan aspek
lainnya, salah satunya aspek sikap ilmiah.
Padahal, dalam proses belajar mengajar IPA,
pengembangan konsep tidak bisa dipisahkan dari
pengembangan sikap ilmiah. Hal ini dikarenakan
pada hakikatnya pembelajaran IPA dibangun
atas dasar produk ilmiah, proses imiah dan sikap
ilmiah (Trianto, 2009). Sehingga pembentukan
sikap ilmiah merupakan salah satu tujuan dari
pembelajaran IPA.
Sikap ilmiah adalah cara berfikir logis dan
jernih tanpa adanya gangguan, artinya bahwa
sikap ilmiah ini tidak menerima apapun
kenyataan yang tidak memiliki bukti yang
relevan (Candrasekaran, 2014). Sikap ilmiah
juga diartikan sebagai suatu kecenderungan,
kesiapan,

kesediaan,
seseorang
untuk
memberikan respon/tindakan/tingkah laku secara
ilmu pengetahuan dan memenuhi syarat (hukum)
ilmu
pengetahuan
yang
telah
diakui

|The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran,96-105
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-0-8

Ipa I. R., Evi S. B.

kebenarannya.
Sikap
ilmiah
merupakan

pendekatan
tertentu
untuk
memecahkan
masalah, menilai ide atau informasi untuk
membuat keputusan (Damanik dkk., 2013 dalam
Bahriah, 2016).Menurut Harlen (2000), sikap
ilmiah
memiliki
lima
dimensi
sikap,
yaitu:curiosity (sikap ingin tahu), respect for
evidence (respek terhadap data atau akta),
flexibility in ways of thinking (fleksibel dalam
berpikir), criticalreflection (berpikir kritis),
dansensitivity in investigating the environment
(sikap peka terhadap lingkungan sekitar).
Dalam IPA, sikap ilmiah penting karena
tiga faktor utama, yaitu: (1) Sikap peserta didik

membawa kondisi mental kesiapan terhadap
matapelajaran IPA. Dengan sikap positif, anak
akan melihat objek ilmu, topik, kegiatan, dan
orang-orang secara positif. Seorang anak yang
belum siap atau ragu-ragu, karena alasan
apapun, akan kurang bersedia untuk berinteraksi
dengan orang-orang dan hal-hal yang terkait
dengan ilmu pengetahuan. (2) Sikap bukanlah
perilaku bawaan atau keturunan. Sikap seorang
peserta didik dapat diubah melalui pengalaman.
Guru dan orang tua memiliki pengaruh besar
pada sikap peserta didik terhadap IPA. (3)
Ketiga, sikap bersifat dinamis berdasarkan hasil
pengalaman yang bertindak sebagai faktor
pengarah ketika seorang peserta didik memasuki
pengalaman baru. Keputusan dan evaluasi
peserta didik dapat menyebabkan pergeseran
prioritas dan kesukaan. Dalam pembelajaran
IPA, sikap dan nilai-nilai peserta didik yang
negatif terhadap IPA seharusnya dapat digeser,

dari negatif ke netral atau bahkan ke sudut
pandang positif. Seiring dengan waktu, dan
dengan pengalaman positif lanjutan dan
penyesuaian dalam sikap, peserta didik mungkin
menjadi
lebih
terbuka
terhadap
ilmu
pengetahuan, berpikir secara berbeda, dan
mengumpulkan ide-ide yang lebih bermanfaat
(Widodo, dkk., 2014 dalam Bahriah, 2016).
Berdasarkan hal tersebut, maka peserta didik

mampu menunjukkan sikap ilmiahnya. Oleh
karena itu, sikap ilmiah ini perlu diterapkan
dalam proses pembelajaran sains terutama pada
mata pelajaran kimia.
Namun pada kenyataanya, guru belum
menerapkan sikap ilmiah dalam proses
pembelajaran, sehingga menyebabkan sikap
ilmiah peserta didik rendah. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Triyas, dkk., (2014)
menyatakan bahwa rendahnya sikap ilmiah
peserta didik disebabkan oleh kurang
menariknya penyampaian guru sehingga peserta
didik kurang termotivasi untuk belajar, sehingga
menyebabkan peserta didik kurang terlibat aktif
dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini secara
tidak langsung dapat mempengaruhi hasil belajar
dikarenakan peserta didik kurang bisa
memantapkan atau mempertahankan ilmu yang
telah diajarkan serta malas berpartisipasi selama
kegiatan pembelajaran berlangsung. Salah satu
usaha untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan
suatu strategi pembelajaran yang menarik, aktif,
kreatif, dan inovatif. Beberapa model
pembelajaran
yang dapat mendukung hal
tersebut,
salah
satunya
adalah
model
pembelajaran berbasis masalah (Problem Based
Learning, PBL)dimana masalah dapat diperoleh
dari lapangan atau pengalaman dari siswa.
Menurut Arends (2012), pembelajaran
berdasarkan
masalah
merupakan
suatu
pendekatan pembelajaran dimana peserta didik
mengerjakan permasalahan yang autentik
dengan maksud untuk menyusun pengetahuan
mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan
keterampilan
berpikir
tingkat
tinggi,
mengembangkan kemandirian dan percaya diri.
Strategi
pembelajaran
berbasis
masalah
merupakan salah satu pembelajaran yang
didasarkan kepada psikologi kognitif yang
berangkat dari asumsi bahwa belajar adalah
proses perubahan tingkah laku berkat adanya
pengalaman (Suyanti, 2010). Berdasarkan uraian

|The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran,97-105
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-0-8

Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Sikap Ilmiah

tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
berbasis masalah adalah suatu pembelajaran
yang menjadikan peserta didik sebagai pusat
pembelajaran dan yang menemukan sendiri
suatu konsep dari suatu pembelajaran
berdasarkan
pemecahan
masalah
yang
dihadapinya, sehingga peserta didik akan lebih
aktif dan kreatif.
Model pembelajaran berbasis masalah
pada umumnya berbentuk suatu projek untuk
diselesaikan oleh sekelompok peserta didik
dengan kerjasama. Pada umumnya guru
menerapkan model ini lebih menjurus pada
pemecahan suatu masalah kehidupan nyata yang
dihadapi peserta didik sehari-hari dengan
menggunakan keterampilan problem solving
(Riyanto, 2009). Berdasarkan hal tersebut
materi kimia yang cocok untuk digunakan
adalah larutan elektrolit dan non elektrolit,
karena jika dilihat dari kompetensi dasarnya,
yaitu kompetensi dasar (3.5) Memahami sifatsifat larutan non-elektrolit dan elektrolit dan
kompetensi dasar (4.6) Merancang dan
melakukan percobaan untuk mengetahui sifat
larutan non-elektrolit dan elektrolit (Silabus
kurikulum 2013). Oleh karena itu, peserta didik
dituntut untuk lebih aktif dan kreatif dalam
memecahkan suatu permasalahan dan lebih
kreatif dalam mengetahui sifat-sifat dari larutan
elektrolit maupun non elektrolit.
Melalui model pembelajaran berbasis
masalah sikap ilmiah peserta didik dapat terlihat
dan dapat meningkat, hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Putri (2014)
mengatakan bahwa pembelajaran berbasis
masalah dapat mempengaruhi hasil belajar dan
sikap ilmiah peserta didik. Selain itu, Kristiani,
dkk., (2015) mengatakan bahwa kontribusi
keterampilan metakognitif dan sikap ilmiah
secara simultan terhadap prestasi akademik
dalam pelaksanaan strategi pembelajaran
terintegrasi dengan penyelidikan belajar sangat
tinggi.

Berdasarkan
hal
tersebut,
model
pembelajaran berbasis masalah dapat digunakan
sebagai strategi pembelajaran yang cocok untuk
diterapkan dalam proses pembelajaran yang
diharapkan dapat meningkatkan sikap ilmiah.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji
lebih lanjut tentang “Pengaruh Model
Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Sikap
Ilmiah Siswa pada Materi Larutan Elektrolit dan
Non Elektrolit”.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode eksperimen semu (quasi
experimental) (Sukmadinata, 2010), yaitu
metode penelitian yang tidak memungkinkan
peneliti melakukan pengontrolan secara penuh
terhadap kondisi kelas dan lingkungan belajar
kelas eksperimen. Terdapat beberapa bentuk
desain eksperimen yang dapat digunakan, salah
satunya yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah Randomized Postest-Only. Dalam
desain ini kelompok eksperimen maupun
kelompok kontrol memiliki karakteristik yang
homogen, karena diambil atau dibentuk secara
acak (random) dari populasi yang homogen pula
(Ruseffendi, 1998). Artinya tidak ada kelas
unggulan serta kurikulum yang diberikan juga
sama. Rancangan desain dapat dilihat pada tabel
1. berikut.
Tabel 1. Rancangan Desain Penelitian
Kelompok
Pengambilan Perlakuan
Post
test
Eksperimen
R
X1
O
Kontrol
R
X2
O
Ket:
X1
= Pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah
X2
= Pembelajaran dengan menggunakan
metode pembelajaran konvensional
R
= Pemilihan sampel secara random
O
= Post test pada kelompok eksperimen dan
kontrol.

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh
peserta didik SMA Darussalam Ciputat kelas X,

|The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran,98-105
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-0-8

Ipa I. R., Evi S. B.

sedangkan sampel yang digunakan adalah kelas
X.1 dan X.2 Semester 2 tahun pelajaran
2015/2016. Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan teknik proposive
sampling yang merupkan teknik pengambilan
sumber data dengan pertimbangan tertentu
(Sugiyono, 2012). Penelitian ini dilakukan pada
bulan Mei 2015.
Instrumen yang digunakan pada penelitian
ini adalah angket. Angket berisikan pernyataan –
pernyataan yang menunjukkan sikap ilmiah
peserta didik menurut Herlen (2000) yaitu sikap
ingin tahu, berfikir kritis, respek terhadap data,
peka terhadap lingkungan, dan fleksibel dalam
berfikir.
Bentuk
angket
yang
dibuat
menggunakan skala likert.
Data sikap ilmiah peserta didik yang
diperoleh dihitung persentasenya dan dianalisis
secara deskriptif. Persentase sikap ilmiah peserta
didik dianalisis dan dikategorikan dengan
mengacu kepada kategori yang dikemukakan
oleh Riduwan (2012) berikut ini.
Tabel 2. Interval Skor
Interval Skor (%)
Kategori
81 – 100
Sangat Baik
61 – 80
Baik
41 – 60
Cukup
21 – 40
Kurang
0 – 20
Sangat Kurang

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Penelitian ini bertujuan untuk melihat
pengaruh pembelajaran berbasis masalah
terhadap sikap ilmiah siswa pada materi larutan
elektrolit dan nonelektrolit. Berdasarkan data
angket diperolehlah data sikap ilmiah siswa.
Berikut tabel 3. tentang data sikap ilmiah siswa
di kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Tabel 3. Persentase Rata-rata Ketercapaian Sikap
Ilmiah Siswa di Kelas Eksperimen dan Kontrol
Kelas
Persentase
Kategori

Eksperimen
Kontrol

Ketercapaian (%)
83,85
Sangat Baik
56,85
Cukup

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui
bahwa persentase rata-rata ketercapaian sikap
ilmiah siswa di kelas eksperimen sebesar
83,85% termasuk kategori sangat tinggi,
sedangkan di kelas kontrol hanya diperoleh
sebesar 56,85 dan termasuk kategori cukup. Hal
ini menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis
masalah pada materi elektrolit dan nonelektrolit
dapat meningkatkan sikap ilmiah siswa.
Disamping dilakukan analisis data sikap
ilmiah secara keseluruhan, juga dilakukan
analisis data sikap ilmiah berdasarkan indikator.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui indikator
mana yang ketercapaiannya tertinggi dan
terendah baik pada kelas eksperimen maupun
pada kelas kontrol. Data persentase sikap ilmiah
siswa untuk tiap indikator di kelas ekperimen
dapat dilihat pada gambar 1 berikut.

Gambar 1. Data Persentase Sikap Ilmiah Siswa
Untuk Tiap Indikator Pada Kelas Ekperimen

Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui
bahwa persentase rata-rata ketercapaian sikap
ilmiah siswa di kelas eksperimen pada indikator
sikap keingintahuan siswa diperoleh sebesar
78,46% (kategori baik), indikator respek
terhadap fakta sebesar85% (kategori sangat
baik),
indikator
fleksibel
dalam
berfikirsebesar85,62% (kategori sangat baik),
indikator merepleksi secara kritis sebesar89,72%
(kategori sangat baik), danpada indikator peka
terhadap lingkungansebesar80,4% (kategori
baik). Berdasarkan data tersebut dapat terlihat

|The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran,99-105
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-0-8

Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Sikap Ilmiah

bahwa persentase ketercapaian sikap ilmiah
tertinggi diperoleh pada indikator merefleksikan
secara kritis, sedangkan persentase ketercapaian
sikap ilmiah terendah diperoleh pada indikator
sikap keingintahuan.
Adapun data persentase sikap ilmiah siswa
untuk tiap indikator di kelas kontrol dapat dilihat
pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2. Data Persentase Sikap Ilmiah Siswa
Untuk Tiap Indikator Pada Kelas Kontrol

Berdasarkan gambar 2 dapat diketahui
bahwa persentase rata-rata ketercapaian sikap
ilmiah siswa di kelas kontrol pada indikator
sikap keingintahuan sebesar 61,15% (kategori
baik),indikator respek terhadap fakta sebesar
60% (kategori cukup), indikator fleksibel dalam
berfikir sebesar 59,17% (kategori cukup),
indikator merefleksi secara kritis sebesar 73,75%
(kategori baik),dan pada indikator peka terhadap
lingkungan sebesar 30,2% (kategori kurang).
Berdasarkan data tersebut dapat terlihat bahwa
persentase ketercapaian sikap ilmiah tertinggi
diperoleh pada indikator merefleksikan secara
kritis, sedangkan persentase ketercapaian sikap
ilmiah terendah diperoleh pada indikator peka
terhadap lingkungan.
Pembahasan
Dari data hasil penelitian, peningkatan
sikap ilmiah siswa pada kelas eksperimen lebih
tinggi dibandingkan dengan sikap ilmiah siswa
pada kelas kontrol. Hal ini menunjukkan model
pembelajaran berbasis masalah yang diterapkan
pada kelas eksperimen berpengaruh signifikan

terhadap sikap ilmiah siswa. Hal ini dikarenakan
model pembelajaran berbasis masalah memiliki
keunggulan yaitu pada perencanaan masalah dan
cara penyelesaiannya.
Hal ini sesuai dengan Akinoglu &
Tandogan (2007, dalam Bahriah, 2014) yang
menyatakan bahwa pembelajaran berbasis
masalah berpusat kepada siswa, dapat
mengembangkan pengendalian diri peserta
didik, mengajarkan pembuatan rencana,
menghadapi kenyataan, dan mengekspresikan
emosi, serta mengembangkan kemampuan
peserta didik untuk melihat sesuatu secara
multidimensi dan pemahaman yang lebih dalam,
mengembangkan keterampilan peserta didik
dalam memecahkan masalah; mendorong peserta
didik untuk mempelajari materi dan konsep baru
ketika memecahkan masalah; mengembangkan
sikap sosial dan keahlian berkomunikasi peserta
dalam belajar dan bekerja dalam kelompok;
mengembangkan berpikir tingkat tinggi/berpikir
kritis, dan keterampilan berpikir ilmiah.
Pemilihan masalah yang disajikan
disesuaikan dengan materi yang cocok untuk
dikaji oleh siswa. Materi yang dikaji dalam
penelitian ini adalah larutan elektrolit dan non
elektrolit. Pada penyampaian materi larutan
elektrolit dan non elektrolit, pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran
berbasis masalah lebih efektif dibandingkan
penyampaian pelajaran dengan metode ceramah
maupun tanya jawab. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan &
Moedjiono (2009), yang menyatakan bahwa
metode ceramah dan tanya jawab kurang tepat
untuk pembelajaran yang bertujuan untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam
kehidupan
sekitar
siswa,
karena
penyampaiannya
yang
mengutamakan
komunikasi lisan membuat siswa menjadi
cenderung pasif dan kurang cocok untuk
pembentukan keterampilan dan sikap ilmiah
siswa.

|The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran,100-105
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-0-8

Ipa I. R., Evi S. B.

Adapun pembahasan penelitian ini disusun
berdasarkan tahapan model pembelajaran
berbasis masalah berikut ini.
1.

Tahap Mengorientasi Siswa pada Masalah

Pada tahap mengorientasi siswa pada
masalah, guru memberi masalah yang berkaitan
dalam kehidupan sehari-hari berupa lembar kerja
siswa (LKS) dan siswa mengidentifikasi
permasalahan yang diberikan guru. Hal ini
dilakukan untuk melatih siswa untuk berpikir
lebih kritis dan memiliki sikap keingintahuan
yang tinggi. Pada tahap ini pada kelas
eksperimen memiliki sikap keingintahuan yang
tinggi sebesar 78,46% (kategori baik) sedangkan
pada kelas kontrol sikap keingintahuan yang
muncul sebesar 61,15% (kategori baik). Jika
dibandingkan dengan kelas eksperimen,
persentase sikap ilmiah pada kelas kontrol lebih
kecil.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pada
kelas eksperimen yang diberikan perlakuan
dengan model pembelajaran berbasis masalah,
sikap keingintahuan siswa terlihat lebih baik
dibandingkan dengan kelas kontrol yang
diberikan
perlakuan
dengan
metode
konvensional (ceramah). Sejalan dengan
pendapat Jamaludin (2013) yang menyatakan
bahwa
dengan
pembelajaran
dengan
menggunakan model pembelajaran berbasis
masalah dapat meningkatkan sikap ilmiah siswa,
khususnya sikap bertanggung jawab, kerjasama
dan mampu menumbuhkan rasa ingin tahu
siswa.
2.

Tahap Mengorganisasi Siswa dalam Belajar

Pada tahap mengorganisasi siswa dalam
belajar, siswa dikelompokkan secara heterogen
dengan jumlah anggota 5-6 siswa. Siswa
memulai mencari permasalahan yang terdapat
pada lembar kerja siswa (LKS) dari berbagai
sumber seperti buku, internet, dan guru. Pada
tahap ini dilakukan dengan memancing sikap

keingintahuan siswa, yaitu guru dan siswa
melakukan tanya jawab mengenai permasalahan
yang disajikan sehingga terjadi interaksi yang
baik dalam pembelajaran. Melalui tanya jawab
ini, guru dapat menggali pengetahuan yang
dimiliki siswa mengenai masalah yang
diberikan. Dari sini siswa merasa lebih
mendapat perhatian dan lebih aktif karena
diberikan kesempatan untuk mengungkapkan
pendapatnya. Dengan perlakuan seperti itu maka
sikap ilmiah yang muncul adalah sikap
keingintahuan siswa terhadap masalah yang
diberikan guru pada materi larutan elektrolit dan
non elektrolit. Sama halnya seperti pada tahap
orientasi siswa pada masalah, dimana pada kelas
eksperimen memiliki sikap keingintahuan yang
tinggi sebesar 78,46% (kategori baik).
Sedangkan
pada
kelas
kontrol
sikap
keingintahuan sebesar 61,15% (kategori baik).
Menurut Arnas (2012, dalam Sanjaya
2008), model pembelajaran berbasis masalah
merupakan salah satu model pembelajaran yang
dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada
siswa karena model pembelajaran berbasis
masalah ini memberikan kesempatan pada siswa
untuk bereksplorasi, mengumpulkan, dan
menganalisis data secara lengkap untuk
memecahkan masalah yang dihadapi melalui
tahap-tahap metode ilmiah. Sehingga diharapkan
siswa memiliki keterampilan untuk memecahkan
masalah. Hal tersebut menunjukkan bahwa
dengan adanya perlakuan dengan model
pembelajaran
berbasis
masalah
sikap
keingintahuan siswa akan terlihat lebih baik
pula.
3.

Tahap Membimbing Penyelidikan Mandiri
dan Kelompok

Pada tahap membimbing penyelidikan
mandiri dan kelompok, guru membimbing siswa
mencari solusi permasalahan yang dibahas.
Dalam tahap ini siswa diberi kebebasan untuk
membangun pengetahuan yang berkaitan dengan

|The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran,101-105
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-0-8

Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Sikap Ilmiah

materi larutan elektrolit dan non elektrolit
dengan menggali informasi dari berbagai sumber
belajar yang ada di sekitar siswa. Adapun sikap
ilmiah yang muncul pada tahap ini diantaranya:
a.

Respek terhadap fakta, artinya siswa
memiliki rasa keinginan untuk menunjukkan
kebenaran dari hasil jawaban sementara
yang terdapat pada LKS yang dilakukan
pada tahap pengorganisasian siswa dalam
masalah dengan cara melakukan praktikum
uji larutan elektrolit dan non elektrolit.
Sikap ilmiah pada indikator respek terhadap
fakta di kelas eksperimen termasuksangat
baik (85%), sedangkan di kelas kontrol
termasuk cukup (60%).

b.

Fleksibel dalam berfikir, artinya siswa
mampu mempertimbangkan pendapatnya
terhadap jawaban pada masalah yang
terdapat pada LKS sebelum menentukan
hasil kesimpulan yang sebenarnya pada
materi larutan elektrolit dan non elektrolit.
Persentase ketercapaian sikap ilmiah pada
indikator fleksibel dalam berfikir di kelas
eksperimen
diperoleh
sebesar85,62%
(kategori sangat baik), sedangkan di kelas
kontrol sebesar59,17% (kategori cukup).

c.

Peka terhadap lingkungan, artinya pada
pembelajaran
ini
siswa
melakukan
praktikum untuk membuktikan kebenaran
jawaban permasalahn yang terdapat pada
LKS, siswa harus memiliki rasa peka
terhadap lingkungan seperti bertanggung
jawab dalam menggunakan alat dan bahan
ketika melakukan praktikum uji larutan
elektrolit dan non elektrolit. Persentase
ketercapaian sikap ilmiah pada indikator
peka terhadap lingkungan di kelas
eksperimen
diperoleh
sebesar80,4%
(kategori sangat baik), sedangkan di kelas
kontrol sebesar30,2% (kategori kurang).

Dari beberapa indikator sikap ilmiah yang
muncul, kelas eksperimen memilikisikap ilmiah

yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas
kontrol.Hal
ini
terjadi
akibat
proses
pembelajaran di kelas kontrol yang hanya
menggunakan metode ceramah dan tanya jawab,
sehingga tidak tersedia wadah untuk siswa untuk
mengeksplorasi kemampuan kreatif yang
dimiliki selama pembelajaran berlangsung.
Sesuai yang dikemukakan oleh Arnas (2012,
dalam Sanjaya (2008), bahwa dalam model
pembelajaran berbasis masalah perkembangan
siswa tidak hanya terjadi pada aspek kognitif
saja, tetapi juga aspek afektif dan psikomotor.
Tujuan yang ingin dicapai oleh model
pembelajaran berbasis masalah diantaranya
adalah kemampuan siswa untuk berpikir kritis,
analis, sistematis, dan logis dalam menemukan
alternatif pemecahan masalah melalui eksplorasi
data secara empiris dalam rangka menumbuhkan
sikap ilmiah. Oleh karena itu, dengan
pembelajaran berbasis masalah sikap ilmiah
yang muncul lebih terlihat dibandingkan dengan
metode ceramah dan tanya jawab.
4.

Tahap
Mengembangkan
Mempresentasikan Hasil Karya

dan

Dalam tahap ini siswa berlatih untuk
mengembangkan dan mempresentasikan hasil
karya dari jawaban pemecahan masalah yang
ditemukan berdasarkan pengetahuan siswa di
depan kelompok lain. Sikap ilmiah siswa yang
muncul adalah merefleksi secara kritis, artinya
siswa dituntut untuk mendengarkan hasil laporan
dari tiap kelompok sebagai penentuan jawaban
yang benar pada pemecahan masalah yang ada
di LKS dan mampu mempertimbangkan atas
jawaban dari hasil laporan dari tiap kelompok.
Sikap ilmiah pada aspek merefleksi secara kritis
yang muncul di kelas eksperimen sebesar
89,72% (kategori sangat baik), sedangkan di
kelas kontrol sebesar 73,75% (kategori baik).
Hal tersebut terjadi karena pada kelas
eksperimen siswa lebih aktif untuk menggali,
mencari, dan menemukan dalam memecahkan

|The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran,102-105
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-0-8

Ipa I. R., Evi S. B.

masalah sesuai dengan tahapan pada model
pembelajaran berbasis masalah. Sedangkan pada
kelas kontrol siswa mampu menjawab
permasalahan tersebut berasal dari guru, karena
metode pembelajaran yang diberikan metode
ceramah dan tanya jawab, sehingga sikap ilmiah
yang muncul lebih rendah jika dibadingkan
dengan kelas eksperimen. Hal ini menunjukan
bahwa dengan adanya penerapan pembelajaran
berbasis masalah maka sikap ilmiah siswa akan
meningkat.
5.

Tahap Menganalisis dan Mengevaluasi
Proses Pemecahan Masalah

Pada tahap ini, siswa menganalisis dan
mengevaluasi dari hasil penyelidikan mereka
terhadap pemecahan masalahan di LKS dengan
penjelasan yang guru berikan sebagai refleksi
atas jawab siswa yang telah dilaporkan. Selain
itu,
siswa
diberi
kesempatan
untuk
mengemukakan pendapat ataupun bertanya
kepada guru mengenai materi yang belum
dimengerti. Sikap ilmiah yang muncul yaitu
fleksibel dalam berpikir dan merefleksi secara
kritis,
artinya
dapat
merubah
atau
mempertimbangkan kebenaran jawaban dari
guru. Sikap ilmiah pada indikator merefleksi
secara kritis yang muncul di kelas eksperimen
sebesar 89,72% (kategori sangat baik),
sedangkan di kelas kontrol sebesar 73,75%
(kategori baik). Sikap ilmiah pada indikator
fleksibel dalam berpikir kelas eksperimen
sebesar 85,62% (kategori sangat baik),
sedangkan kelas kontrol sebesar 59,17%
(kategori cukup). Pada tahap ini sama halnya
seperti pada tahap sebelumnya, namun siswa
lebih ditekankan untuk merefleksi atas
kesesuaian kebenaran jawaban yang dijelaskan
oleh guru dan siswa lebih aktif untuk bertanya
atau mencari sumber yang lebih relevan lagi
untuk disamakan dengan jawaban yang
diberikan oleh guru. Sehingga pada tahap akhir

ini siswa mampu menyimpulkan sendiri pada
materi yang dipelajari.
Jadi secara umum pembelajaran dengan
menggungan model pembelajan berbasis
masalah dapat meningkatkan sikap ilmiah siswa.
Hal ini ditunjukkan dari nilai rata-rata kelas
eksperimen sebesar 83,85% (kategori sangat
baik) dan kelas kontrol sebesar 56,85% (kategori
cukup). Hal ini dikarenakan model pembelajaran
berbasis masalah merupakan salah satu model
pembelajaran yang memiliki kelebian, seperti: 1)
Teknik yang cukup bagus untuk memahami isi
pelajaran; 2) Menantang kemampuan siswa serta
memberikan kepuasan untuk menentukan
pengetahuan baru bagi siswa; 3) Meningkatkan
aktivitas pembelajaran siswa; 4) Membantu
siswa bagaimana mentransfer pengetahuan
mereka untuk memahami masalah dalam
kehidupan nyata; dan 5) Mengembangkan minat
siswa untuk secara terus menerus belajar
sekalipun belajar pada pendidikan formal telah
berakhir (Suyanti, 2010).
Penggunaan model pembelajaran berbasis
masalah dalam pembelajaran kimia juga dapat
memberi
ruang
kepada
siswa
untuk
mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki serta
meningkatkan sikap ilmiah siswa, sesuai dengan
yang dikemukakan oleh Putri (2014) bahwa
pembelajaran
berbasis
masalah
dapat
mempengaruhi sikap ilmiah siswa. Berdasarkan
indikator-indikator sikap ilmiah siswa kelompok
eksperimen menunjukkan hasil yang lebih baik
yaitu sebagian besar siswa sudah aktif bertanya,
berani menanggapi pernyataan teman dan guru,
dapat bekerja sama dengan baik dalam
kelompok, dan percaya diri mempresentasikan
hasil diskusi di depan kelas, sehingga sikap
ilmiah siswa yang muncul secara umum
dikategorikan sangat baik. Begitu juga dengan
penelitian yang dilakukan oleh Bahriah (2014),
yang menyatakan bahwa model pembelajaran
berbasis masalah (Problem Based Learning)

|The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran,103-105
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-0-8

Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Sikap Ilmiah

dapat meningkatkan literasi sains calon guru
kimia pada materi kinetika kimia.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat
disimpulkan
bahwapersentase
rata-rata
ketercapaian sikap ilmiah siswa di kelas
eksperimen sebesar 83,85% termasuk kategori
sangat tinggi, sedangkan di kelas kontrol hanya
diperoleh sebesar 56,85% dan termasuk kategori
cukup.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
pembelajaran berbasis masalah pada materi
elektrolit dan nonelektrolit berpengaruh terhadap
peningkatan sikap ilmiah siswa.
SARAN
Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian,
maka dapat dikemukakan beberapa saran,
diantaranya: 1) Pihak sekolah hendaknya
meningkatkan sarana dan prasarana untuk
menunjang aktivitas belajar siswa. 2) Guru
Bidang Studi kimia hendaknya dapat
menerapkan metode pembelajaran yang sesuai
dengan kondisi siswa dan membuat materi kimia
yang kompleks dan abstrak dapat menyenangkan
bagi siswa. 3) Siswa hendaknya mampu
menciptakan kondisi belajar yang kondusif agar
tercapai suasana belajar yang baik dan efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Arends, R. I. 2012. Learning to Teach. New
York: McGraw-Hill.
Bahriah, E.S. 2016. Peningkatan Keterampilan
Proses dan Sikap Ilmiah Mahasiswa
Melalui Pendekatan Saintifik. Prosiding
Seminar Nasional IPA VII ISBN 978-60270197-2-0 h. 832-841.
Bahriah, E.S. 2014. Pengembangan Model
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem
Based Learning) untuk Meningkatkan

Literasi Sains Calon Guru Kimia. Laporan
Penelitian: Tidak Diterbitkan.
Candrasekaran. 2014. Developing scientific
attitude, critical thinking and creative
intelligence of higher secondary school
biology students by applying synectics
techniques. International Journal of
Humanities and Social Science Invention,
31 (6), 2319 – 7714.
Depdiknas. 2006. Kriteria dan
keberhasilan
pembelajaran.
Depdiknas.

indikator
Jakarta:

Herlen, W. 2000. Teaching, learning &
assessing science 5 - 12 3rd edition.
London: Paul Chapman Publishing Ltd.
Hasibuan dan Moedjiono. 2009. Peran Guru
dalam Interaksi Belajar Mengajar.
Bandung : Bintang Karya Mandiri.
Jamaludin, D.N. 2013. Pengaruh Project Based
Learning Terhadap Berpikir Kritis,
Berpikir Kreatif Dan Sikap Ilmiah Pada
Materi Tumbuhan Biji. Tesis Magister SPS
UPI Bandung : tidak diterbitkan.
Kristiani, N., Susilo, H., Rohman, F., dan
Aloysius, D.C., 2015. The contribution of
students’ metacognitive skills and
scientific attitude towards their academic
achievements
in
biology
learning
implementing thinking empowerment by
questioning (TEQ) learning integrated
with inquiry learning (TEQI).International
Journal of Educational Policy Research
and Review, 2 (9), 113-120.
Putri, M.D. (2014.Pengaruh penerapan model
pembelajaran berbasis masalah (problem
based learning) terhadap hasil belajar
fisika dan sikap ilmiah siswa di SMPN 11
kota bengkulu. e-Journal Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan
GaneshaProgram Studi IPA, Volume 3.

|The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran,104-105
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-0-8

Ipa I. R., Evi S. B.

Riduwan. 2012. Pengantar statistika untuk
penelitian pendidikan, sosial, ekonomi
komunikasi dan bisnis. Bandung: CV.
Alfabeta.
Riyanto, Yatim. 2009. Paradigma baru
pembelajaran: sebagai referensi bagi
berkualitas. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Ruseffendi. 1998. Statistika Dasar untuk
Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP
Bandung Press.
Sanjaya, W. 2008. Strategi pembelajaran
berorientasi standar proses pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Slameto. 1991. Belajar dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Jakarta: Rineka cipta.
Sugiyono. 2012. Metode penelitian kuantitatif
kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suyanti, R.D. 2010. Strategi pembelajaran
kimia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sukmadinata, N.S. 2010. Metode Penelitian dan
Pendidikan. Bandung: PT.Remaja Rosda
Karya.

Silabus kurikulum 2013. Diakses dari
https://awan965.wordpress.com/2013/06/3
0/silabus-kurikulum-2013-untuk-sma.
Trianto. 2009. Mendesai model pembelajaran
inovatif-progresif.
Jakarta:
Kencana
Prenada Media Group.
Trianto. 2010. Pengantar penelitian pendidikan
bagi pengembangan profesi pendidikan
tenaga kependidikan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Triyas, I.A., Hidayat., dan Pathoni, H. 2014.
Artikel ilmiah upaya meningkatkan sikap
ilmiah dan hasil belajar dengan
menggunakan
model
pembelajaran
problem based learning di kelas SMA
Negeri 8 Kota Jambi. Diakses dari http://ecampus.fkip.unja.ac.id/eskripsi/data/pdf/ju
rnal_mhs/artikel/RRA1C309021.pdf.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasioanl. Diakses dari
http://kemenag.go.id/file/dokumen/UU200
3.pdf.
Zulfiani., Feronika, T., dan Suartini, K. 2009.
Strategi pembelajaran sains. Jakarta:
Lembaga Penitian UIN Jakarta.

|The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran,105-105
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-0-8