BURGERLIJK WETBOEK Recht boek of Wet boe

BURGERLIJK WETBOEK: Recht boek of Wet boek?1
(Menggugat Eksistensi BW dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia)
Oleh:
Muhammad Rizal Rachman2
Pendahuluan
Bagi mahasiswa pada Fakultas Hukum maupun Sarjana Hukum (meester in
de rechten), sudah barang tentu tidak asing lagi dengan istilah Burgerlijk Wetboek
(BW). Dimulai dari awal masuk perkuliahan sampai kepada menyusun skripsi,
mahasiswa selalu menjumpai istilah tersebut. Begitupun pula kalangan praktisi
dan akademisi, tidak pernah luput dan selalu berkutat dengan pasal-pasal yang ada
dalam BW. Lantas, apakah yang dimaksud dengan BW? Apakah BW termasuk
sebagai undang-undang atau hanya sebuah kitab atau yang lebih ekstrim disebut
dengan kitab yang diterjemahkan? Dan bagaimana kedudukannya dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia?
Tema sentral tulisan ini adalah menakar kembali kedudukan BW dalam tata
urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tujuan utamanya tidak lain
adalah untuk mendapatkan suatu gambaran (overzicht) utuh tentang arti penting
BW yang masih berlaku hingga saat ini. Melalui tulisan ini juga, penulis akan
mencoba menguraikan secara singkat problematika yang menyelimuti BW, baik
dari segi istilah, asal-usul, bahkan eksistensinya yang lambat laun kian meredup.
Dilematik antara Burgerlijk Wetboek (BW) dengan Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUH Perdata)
Secara harfiah istilah BW atau yang mempunyai nama lengkap Burgerlijk
Wetboek voor Indonesie jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lazim disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Nomenklatur
perdata pertama kali dikemukakan Prof. Djojodigoeno, dimana beliau mengambil
dari bahasa jawa yaitu berasal dari kata “perdoto” yang artinya perselisihan atau
pertengkaran. Perdata sendiri merupakan terjemahan dari kata “burgerlijkrecht”
pada masa kependudukan Jepang, selain dikenal juga istilah privatrecht/civilrecth.
1 Tulisan ini dibuat secara pribadi melalui berbagai sumber pada tanggal 28-31 Juli 2016.
2 Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember dengan konsentrasi pada
Hukum Keperdataan dan aktif sebagai anggota Forum Kajian Keilmuan Hukum (FK2H) FH-UJ.

1

Mengingat versi BW yang asli adalah berbahasa Belanda yang dijadikan
sebagai pegangan atau pedoman, sehingga sangat perlu untuk diterjemahkan. Oleh
karena itu, para ahli mencoba untuk menerjemahkan dan menafsirkan BW ke
dalam bahasa Indonesia seperti yang dilakukan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio 3,
dan bahkan banyak penerbit menerjemahkan BW secara individu. Perbedaan
penerjemahan akan menimbulkan suatu kesesatan (dwang) dalam memahami dan
memaknai isi dan maksud pasal-pasal yang berada di dalam BW.

Tidak adanya unifikasi dalam penerjemahan BW hingga saat ini menjadi
salah satu pekerjaan rumah yang tak kunjung berakhir dalam menjamin keutuhan
makna yang sebenarnya, disamping tugas utama melalukan pembaruan hukum
perdata nasional. Dengan demikian untuk memudahkan uraian selanjutnya penulis
akan menggunakan istilah BW dalam tulisan ini.
Menggugat Eksistensi BW: Perjalanan Historis menuju Keredupan
Asal muasal BW di Indonesia jika ditelusuri ke belakang memiliki keterkaitan sejarah yang panjang dengan bangsa Eropa sejak kekaisaran Romawi. Secara
singkat dimulai kurang lebih pada abad ke-5 SM, Prancis ditaklukan Julius Caesar
sebagai awal hukum Romawi diberlakukan di wilayah Prancis. Kemudian Kaisar
Justinianus berkuasa, dibentuklah Corpus Iuris Civilis (524-565 M) dan saat kepemimpinan Raja Louis XV dimulainya awal kodifikasi yang menghasilkan Code
Civil Prancis pada 21 Maret 1804. Revolusi Prancis pecah, Kekaisaran Prancis
direbut oleh Napoleon Bonaparte. Tahun 1807 tercetuslah Code Napoleon (kodifikasi hukum perdata Prancis) yang menjadi cikal bakal lahirnya BW dan setahun
kemudian disusul lahirnya Code Du Commerce (kodifikasi hukum dagang).
Code Napoleon dan Code Du Commerce juga diberlakukan bagi negaranegara wilayah jajahan Prancis salah satunya Belanda yang mulai berlaku sejak 1
Maret 1811. Pada tahun 1813 pendudukan Perancis berakhir dan Belanda merdeka. Selanjutnya tahun 1814 Belanda mengadakan kodifikasi yang diketuai oleh.
Mr. JM. Kempur yang bersumber dari Code Napoleon dan hukum Belanda kuno.
Tepatnya tanggal 1 Oktober 1838 kodifikasi ini disahkan dengan nama: Burgerlijk
Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK) setelah disahkan oleh Raja.
3 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2009, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek yang diterjemahkan), Cetakan Keempat Puluh, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.


2

Masuknya BW di nusantara dapat ditelusuri mengingat Indonesia (dahulu
Hindia Belanda) pada waktu itu merupakan jajahan Belanda, maka hukum perdata
Belanda yang sebagian besar merujuk kepada Code Civil itu, berdasarkan asas
konkordansi diberlakukan pula bagi Indonesia. Pada 31 Oktober 1837, Mr. C.J.
Scholten van Oud Haarlem didapuk menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr.
A.A. van Vloten dan Mr. Meyers masing-masing sebagai anggota yang kemudian
anggotanya ini diganti dengan Mr. J. Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi
BW Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Stb. No. 23 dan
mulai berlaku pada Januari 1848.
Berkenaan dengan berlakunya BW, tidak akan lepas dari politik hukum
pemerintahan Hindia Belanda yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi 3
(tiga) golongan, yakni: Golongan Eropa; Golongan Timur Asing; dan Golongan
Pribumi/Bumi Putera. Penggolongan tersebut diatur dalam Pasal 163 IS (Indische
Staatsregeling). Disamping itu juga, berdasarkan Pasal 131 IS (yang sebelumnya
Pasal 75 RR) yang mengatur hukum apa yang berlaku bagi tiap-tiap golongan itu.
Jadi, awal mulanya BW hanya berlaku bagi Golongan Eropa dan Golongan Timur
Asing dengan beberapa pengecualian dan penambahan, sementara Golongan

Bumi Putera berdasar kepada Pasal 131 ayat (6) IS berlaku hukum perdata adat,
yaitu keseluruhan peraturan hukum yang tidak tertulis tetapi hidup dalam tindakan
tindakan rakyat sehari-hari. Dalam pada itu, hukum perdata adat masih belum
seragam sesuai dengan banyaknya lingkungan hukum adat (adat rech skiringen)
di Indonesia sebagaimana penelitian yang ditemukan oleh van Vollenhoven.
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, terjadi kekosongan
baik pemerintahan dan dasar hukum, sehingga akan sangat mungkin timbul chaos
atau kekacauan. Barulah pada tanggal 18 Agustus 1945 disahkannya dasar hukum
negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Tepatnya dalam Pasal I
Aturan Peralihan UUD 19454 menyatakan bahwa: “Segala peraturan perundang4 Dahulu Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum diadakan Amandemen UUD 1945.
Dalam butir 127 Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, disebutkan bahwa
“Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum
yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan
Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan; dan

3


undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini.” Berdasarkan ketentuan diatas, BW dinyatakan masih tetap berlaku. Dengan begitu, BW secara mutatis mutandis disebut
sebagai soko guru hukum perdata Indonesia.
Saat ini masih cukup banyak peraturan perundang-undangan yang berasal
dari pemerintah kolonial Belanda selain BW yang masih berlaku, karena belum
diadakan yang baru menurut UUD 1945, 5 diantaranya Wetboek van Koophandel
(KUHD), Wetboek van Strafrecht (KUHP), HIR6 (Het Herziene Indonesich
Reglement atau Reglemen Indonesia Baru, Stb. 1941 No. 44), RBg. (Reglement
Buitengewesten, Stb. 1927 No. 227), dan Rv. 7 (Reglement op de burgerlijk
rechtsvordering voorde raden van Justitie op Java en het Hoogerechtshof van
Indonesie, alsmede voor de residentiegerechten op Java en Madura, Stb. 1847
No. 52 jo. Stb. 1849 No. 63). Padahal kalau kita melihat peraturan perundangundangan yang disusun oleh pemerintah Belanda, jelas mempunyai landasan
berpikir yang berbeda. Menurut R. Subekti, “cara berpikir orang Belanda itu bisa
disamakan dengan cara berpikir yang abstrak, sedangkan cara berpikir kita yang
tercermin dari Hukum Adat itu konkrit”. Selain cara berpikir yang berbeda,
mentalitas antara Indonesia dan Belandapun juga terdapat perbedaan. Itupun yang
dirasakan Ter Haar, cara berpikir yang menjadi hal yang determinan adalah unsur
rasio, sedang mentalitas lebih mengedepankan sikap batin dan perilaku manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut menarik untuk diuraikan seperti dikemukakan

oleh Koerniatmanto Soetoprawiro8 dalam tulisannya yang berjudul “Mentalitas
Barat dan Mentalitas Timur”. Dalam tulisannya, diperbandingkan pertemuan
antara dua mentalitas dikotomis tersebut dalam konteks kebudayaan, bukan dalam
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
5 Harifin A. Tumpa, 2014, Pembentukan Norma Hukum Perdata melalui Yurisprudensi
dalam Antologi 70 Tahun Valerine J.L. Kriekhoff, Pendulum Antinomi Hukum, Yogyakarta: Genta
Publishing, hal. 346.
6 Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, sebagian
ketentuan HIR khususnya untuk acara pidana telah dicabut.
7 Menurut R. Supomo, karena telah dihapuskannya Raad van Justitie dan
Hooggerechtshof, Rv. sudah tidak berlaku lagi, sehingga hanya HIR dan RBg. sajalah yang
berlaku. Akan tetapi, dalam praktik peradilan eksistensi ketentuan dalam Rv. oleh judex facti (PN
dan PT) serta judex juris Mahkamah Agung tetap dipergunakan dan dipertahankan. Mohammad
Saleh dan Lilik Mulyadi, 2012, Bunga Rampai Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT
Alumni, hal. 12.
8 Koerniatmanto Soetoprawiro, 1993, Percikan Gagasan Tentang Hukum II, Kumpulan
Tulisan Ilmiah Hukum Alumni dan Dosen Fakultas Hukum UNPAR, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, hal. 57-77.

4


konteks geo-politik. Tentu saja yang menjadi turning point-nya adalah mentalitas
kebudayaan Indonesia. Holleman mengatakan bahwa mentalitas Indonesia itu
dapat dirumuskan sebagai Kosmik, Komunal, Kontan, dan Konkrit (de vier C atau
4 K). Model mentalitas semacam ini banyak pula dikemukakan meski tak sepadat
Holleman, seperti Ter Haar dam F.D.E. van Ossenbruggen. Sebagai contoh,
kosmos disimbolkan secara konkrit seperti cara pendakian gunung yang
melingkar menggambarkan suatu kosmos yang terbagi ke dalam 4 (empat) bagian.
Keempat bagian ini disimbolkan dalam bentuk 4 (empat) arah mata angin sebagai
perjalan-an hidup seorang manusia. Lantas, apakah pemberlakuan BW telah
sesuai dengan mentalitas atau cara berpikir budaya masyarakat Indonesia? dan
bagaimana posisi yang sebenarnya dari BW menurut peraturan perundangundangan di Indonesia?
Pada masa kini, BW bisa dipahami sedang mengalami alienasi eksistensi
sebagai imbas dari tuntutan perkembangan jaman. Mau tidak mau, suka tidak suka
sampai kapanpun BW akan tetap berlaku di Indonesia sebelum ada penetapan
yang baru peraturan tentang hukum perdata nasional sebagai amanat UUD 1945
sekalipun sangat bertolak belakang dengan kebudayaan Indonesia. Sehingga tidak
mengherankan jika masih banyak yang menyangsikan keabsahan BW saat ini.
Mr. Sahardjo yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman pernah
melontarkan bahwa BW (KUH Perdata) itu hanya dianggap sebagai Recht Boek,

bukan Wet Boek. Akan tetapi pandangan itu ditentang keras oleh R. Subekti yang
tetap berpandangan bahwa BW tetaplah Wet Boek, karena dalam konsiderans
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria
(UUPA), jelas disebutkan bahwa sepanjang ketentuan dalam Buku II BW yang
mengatur tentang bumi, air serta kekayaan yang terkandung didalamnya, dicabut
kecuali ketentuan mengenai hipotik (hypotheek).9 Sri Soedewi Majchun Sofwan
mengatakan terdapat 3 (tiga) konsekuensi sejak diundangkannya UUPA bagi Buku
II BW, yaitu : Pasal-pasal yang masih berlaku penuh; Pasal-pasal yang tidak
9 R. Subekti, 1998, Ceramah Perbandingan Hukum Perdata, Mahkamah Agung RI: Bina
Yustisia, hal. 49. Bandingkan dengan R. Subekti, 2003, Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, hal.
14, bahwa “Kita sedang berusaha untuk membentuk suatu kodifikasi hukum nasional. Sementara
belum tercapai, BW dan WvK masih berlaku dengan ketentuan hakim dapat menganggap suatu
pasal tidak berlaku lagi jika bertentangan dengan keadaan jaman sekarang ini. Dikatakan bahwa
BW dan WvK itu tidak lagi merupakan suatu “Wetboek” tetapi suatu “Rechtsboek”, kursif penulis.

5

berlaku lagi; dan Pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh.10 Semua pasal
yang merupakan pelaksanaan atau bertalian dengan pasal-pasal yang tidak berlaku
itu meskipun tidak tegas-tegas dicabut dan letaknya diluar Buku II BW.11

Sedikit demi sedikit, pasal-pasal yang ada dalam BW dipreteli satu per satu.
Setelah berlakunya UUPA, giliran selanjutnya yaitu terbitnya SEMA Nomor 3
Tahun 1963 tanggal 5 September 1963 perihal Gagasan Menganggap Burgerlijk
Wetboek Tidak sebagai Undang-Undang. Beberapa pasal dipandang sudah tidak
berlaku lagi, yaitu: (a) Pasal 108-110 BW; (b) Pasal 284 ayat (3) BW; (c) Pasal
1682 BW; (d) Pasal 1579 BW; (e) Pasal 1238 BW; (f) Pasal 1460 BW; dan juga
(g) Pasal 1603 ayat (1) dan (2) BW.
Sementara itu, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tanggal 2 Januari 1974 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tanggal 1
April 1975 tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan yang mengganggap tidak
berlaku lagi semua peraturan yang mengatur perkawinan sepanjang telah diatur
dalam undang-undang tersebut. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia telah mengantikan pengaturan tentang jaminan fidusia telah
digunakan di Indonesia sejak jaman Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang
lahir dari yurisprudensi pengadilan di Indonesia.
Dalam perkembangannya selama ini, kegiatan pinjam-meminjam dengan
menggunakan hak tanggungan atau hak jaminan telah diatur dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) yang merupakan
pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undangundang Pokok Agraria, dan sekaligus sebagai pengganti dari lembaga hipotek atas
tanah dan credietverband dalam BW. Dan masih banyak lagi perubahan ketentuan
yang terdapat dalam BW sesuai tuntutan dan kebutuhan masyarakat saat ini.

Baik pencabutan maupun perubahan terhadap pemberlakuan pasal-pasal
dalam BW berpegang teguh pada asas “lex a posteriori derogate lex a priori”
yang artinya undang-undang yang baru mengesampingkan undang-undang yang
dahulu/lama, disamping kebutuhan masyarakat. Pencabutan dilakukan jika ada
undang-undang yang tidak diperlukan lagi dan diganti dengan undang-undang
10 Selanjutnya baca Sri Soedewi Maschun Sofwan, 1974, Hukum Perdata: Hukum Benda;
Yogyakarta: Liberty, hal: 5.
11 Mariam Darus Badrulzaman, 2015, Hukum Perikatan dalam KUH Perdata, Buku
Ketiga, Yurisprudensi, Doktrin serta Penjelasan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 205.

6

yang baru, sedangkan perubahan dilakukan dengan menyisipkan atau menambah
materi atau menghapus atau mengganti sebagian materi undang-undang.12
Sudah secara jelas dan terang-benderang bahwa BW hingga saat ini masih
diakui eksistensinya sebagai undang-undang dalam peraturan perundang-undangan, sekalipun dalam penyebutannya diistilahkan kitab (KUH Perdata) yang tidak
sama tingkatannya dengan UUD 1945. Terlebih pasal-pasal dalam Buku III BW
perihal hukum perikatan atau hukum perjanjian sebagai acuan dalam berkontrak.
Sungguhpun demikian, dibalik itu semua BW berbicara tentang tantangan masa
kini dan masa datang masih banyak kekurangan yang belum diakomodasi, serta

tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Oleh karenanya, perlu diadakan
pembaruan hukum perdata yang bersifat nasional, bukan warisan kolonial Belanda
Tarik Ulur Kebijakan Legislasi dalam Pembaruan Hukum Perdata Nasional:
sebuah Harapan sebagai Keniscayaan
Era reformasi telah menandakan awal babak baru dalam sejarah bangsa
Indonesia. Bagaimana tidak, UUD 1945 yang dianggap sakral pada era orde lama
dan orde baru untuk diubah, justru mengalami amandemen sebanyak 4 (empat)
kali dengan segala konsekuensinya. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan
“negara Indonesia adalah negara hukum” dengan esensi utamanya bahwa hukum
Indonesia berdasarkan alas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan
belaka (machtsstaat). Artinya adalah hukum sebagai panglima dan pemberi rasa
keadilan, maka dari itu hukum harus bisa mengejar setiap perkembangan yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Pemeo “ubi societas ibi ius” (di mana ada masyarakat manusia, di sana ada
hukum) hendak mengungkapkan bahwa hukum adalah suatu gejala sosial yang
bersifat universal. Di setiap lingkungan masyarakat bahkan negara, hukum selalu
mengalami perkembangan. Tanpa kecuali BW yang usianya hampir menginjak
170 tahun. BW yang kini sudah semakin lapuk, usang (verouderd), dan sangat
jauh ketinggalan jaman. Hukum terus berkembang, begitupun pula aneka permasalahan hukum semakin beragam dan kompleks. Seperti contohnya perluasan alat
bukti selain yang diatur dalam Buku IV BW mengenai alat bukti elektronik.
Hukum sudah selayaknya menjangkau fenomena kemasyarakatan. Apabila ter12 Aziz Syamsuddin, 2013, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, Jakarta:
Sinar Grafika, hal. 124-125.

7

tinggal ataupun tidak sesuai, maka hukum tidak akan dapat memberikan keadilan
dan kepastian hukum kepada masyarakat. Maka dari itu, reformasi atau gagasan
pembaruan hukum perdata nasional menyeruat ke permukaan sebagai kebutuhan
yang mendesak dan tidak tertahankan.
Tercatat banyak sekali usaha dalam melakukan gagasan pembaruan hukum
perdata nasional, mulai dari seminar, simposium, lokakarya dan lain sebagainya.
Diantaranya yaitu Simposium Pembaruan Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada tanggal 21-23
Desember 1981 yang dihadiri para pakar/ahli hukum perdata. Kebutuhan akan
pembaruan hukum perdata dilakukan baik dari segi strukturnya maupun dari segi
substansinya.13 Usaha mengadakan pembaruan dimaksudkan untuk menyelaraskan perkembangan hukum perdata dengan mo-dernisasi di dalam segala aspek
kehidupan yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Didalam simposium tersebut, tujuan utamanya tidak lain adalah pembaruan
kodifikasi serta unifikasi hukum, dalam hal ini hukum perdata nasional. Kemudian timbul gagasan untuk mempercepat proses kodifikasi dibuka kemungkinan
menyusun kodifikasi parsial (bagian), yaitu kodifikasi dalam lapangan-lapangan
hukum yang lebih sempit. Disetujui bahwa bahan hukum penyusunan kodifikasi
hukum perdata nasional dipergunakan hukum perdata Barat, hukum Islam, dan
hukum adat, dan aturan-aturan lain yang relevan. 14 Pada kesimpulannya, penyusunan kodifikasi dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan prioritas
di dalam pembangunan. Perkembangan bidang hukum perdata di negara ini mempunyai tendensi untuk disusun dalam bentuk kodifikasi nasional sebagai berikut:
(1) bidang hukum keluarga (termasuk hukum perorangan); (2) bidang hukum
waris; (3) bidang hukum benda; (4) bidang hukum jaminan; (5) bidang hukum
perikatan (umum); (6) bidang badan hukum; (7) bidang perjanjian-perjanjian
khusus; dan materi hukum acara perdata dalam bentuk kodifikasi secara tersendiri.
Yang terbaru digagas Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK) yang
resmi berdiri pada tanggal 4 September 2013 dengan diselenggarakannya
Konferensi Nasional Hukum Perdata II yang bertemakan “Karakteristik Hukum
Perikatan Nasional: Menuju Pembaharuan Hukum Perikatan Nasional” tanggal
13 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal. 220.
14 Ibid.

8

16-17 April 2015 di Universitas Udayana, Denpasar, Bali yang kala itu fokus
dalam pembaruan hukum perikatan nasional. Pembahasan mengenai perikatan
didasari oleh Buku III BW sebagai satu-satunya buku dalam ketentuan tersebut
yang belum diatur secara khusus dalam hukum nasional dan sudah tidak sesuai
dengan kebutuhan hukum saat ini.
Ketua Umum APHK Y. Sogar Simamora dalam kesempatan itu berharap
pemerintah bisa memberi perhatian lebih pula dalam pembaruan hukum perdata
nasional. Sementara itu, menurut Dian Purnama Anugerah, di Indonesia sudah ada
gagasan untuk mengubah kodifikasi BW sudah ada sejak tahun 1970-an, tetapi
kemudian hal itu tidak pernah terwujud sama sekali. Dian juga berharap ke depan
pemerintah bisa melibatkan APHK dalam mereformasi hukum keperdataan di
Indonesia. Ketua Mahkamah Agung RI, M. Hatta Ali dalam pidato pembukaannya
menyatakan bahwa perjalanan memperbaharui hukum keperdataan Indonesia
memang masih panjang. Namun, para dosen ini sudah berada di track yang benar,
karena mereka-lah harusnya berperan mendorong reformasi itu. “Akademisi dan
Hakim harus berkolaborasi memperbarui hukum perdata”, tandasnya.
Sudah menjadi keharusan dan kewajiban untuk dilakukan pembaruan
hukum perdata nasional sesegera mungkin mengingat Indonesia sudah 71 tahun
merdeka harus keluar dari belenggu hukum peninggalan kolonial Belanda. Tidak
hanya BW, namun juga terhadap KUHD, KUHP, HIR, RBg. dan lain sebagainya.
Penutup
Eksistensi BW di Indonesia, tidak dapat dipungkiri sejak awal dipengaruhi
oleh politik hukum pemerintahan Belanda yang menerapkan asas konkordansi
bagi hukum wilayah jajahannya. Perbedaaan cara berpikir dan mentalitas antara
budaya Indonesia dengan budaya Belanda menjadi faktor determinan yang tidak
terelakkan untuk segera melakukan pembaruan terhadap hukum perdata nasional.
Diharapkan dengan dibentuknya Hukum Perdata Nasional, akan menunjukkan
pancaran kepribadian yang sesuai dengan kebudayaan asli Indonesia.
Pencabutan maupun perubahan pasal-pasal dalam BW adalah wujud konkrit
tuntutan pembaruan yang menurut Y. Sogar Simamora dapat dikatakan sangat
jauh tertinggal dengan BW Baru Belanda atau Niuew Burgerlijk Wetboek (NBW)
tahun 1992 yang berhasil diubah, dirombak, singkatnya dimodernisasi, sehingga

9

mengikuti perkembangan jaman yang dimulai sejak tahun 1947. Belajar dari itu,
para legislator (DPR RI) dan Pemerintah harus mulai memikirkan kapan pembaruan ini dapat terwujud. Harapan besar itu sudah menanti di depan mata. Jangan
sampai hukum semakin jauh meninggalkan peradaban masyarakat yang dari
waktu ke waktu terus berkembang.
Pembaruan hukum perdata nasional adalah suatu keniscayaan, yang bukan
hanya sekedar recht boek saja, namun wet boek sebagai pemecah permasalahanpermasalahan hukum keperdataan yang relevan dalam masyarakat. Baik pembaruan dalam bentuk kodifikasi, parsial, atau kodifikasi secara bertahap, hal tersebut
pada akhirnya akan menghasilkan suatu Hukum Perdata Nasional yang berciri
khas-kan keindonesiaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Semoga sekelumit
tulisan singkat ini dapat menambah cakrawala khazanah keilmuan dan pengetahuan dalam bidang hukum di Indonesia.
Daftar Pustaka
Aziz Syamsuddin, 2013, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang,
Jakarta: Sinar Grafika
Mariam Darus Badrulzaman, 2015, Hukum Perikatan dalam KUH Perdata, Buku
Ketiga, Yurisprudensi, Doktrin serta Penjelasan, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti
Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, 2012, Bunga Rampai Hukum Acara
Perdata Indonesia, Bandung: PT Alumni
Koerniatmanto Soetoprawiro, 1993, Percikan Gagasan Tentang Hukum II,
Kumpulan Tulisan Ilmiah Hukum Alumni dan Dosen Fakultas Hukum
UNPAR, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
R. Subekti, 1998, Ceramah Perbandingan Hukum Perdata, Mahkamah Agung RI:
Bina Yustisia
-------------, 2003, Hukum Perdata, Cetakan Ketiga Puluh Satu, Jakarta: Intermasa
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2009, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek yang diterjemahkan), Cetakan Keempat Puluh, Jakarta:
PT. Pradnya Paramita
Sri Soedewi Maschun Sofwan, 1974, Hukum Perdata: Hukum Benda; Yogyakarta:
Liberty
Valerine J.L. Kriekhoff, 2014, Pendulum Antinomi Hukum, Antologi 70 Tahun,
Yogyakarta: Genta Publishing
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f8e7835a3286/ilmu-hukum
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55461f3b61c74/aphk--asosiasi-dosenyang-bercita-cita-memperbaharui-hukum-perdata

10