Pengakuan Anak Dalam Hukum Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

(1)

PENGAKUAN ANAK DALAM HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

(BURGERLIJK WETBOEK)

TESIS

Oleh:

MUHAMMAD ALI 087011072

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAK

Pengakuan anak dalam Hukum Islam yaitu pengakuan seorang laki-laki secara suka rela terhadap seorang anak bahwa ia mempunyai hubungan darah dengan anak tersebut, baik anak tersebut diluar nikah ataupun anak tersebut tidak diketahui asal usulnya. Pengakuan anak dibolehkan dalam hukum Islam selama pengakuan itu wajar, dan terpenuhi syarat-syaratnya. Pengakuan anak dalam hukum Islam di bagi kepada dua yaitu :pertama pengakuan keatas diri sendiri yaitu bapak mengakui anak atau sebaliknya anak mengakui bapaknya. Misalnya seorang berkata ”ini adalah anak saya”. Kedua Pengakuan terhadap orang lain yakni ikrar keturunan yang merupakan cabang dari asal nasab. Contohnya seorang berikrar ”ini adalah saudara saya” atau ”ini adalah bapak saya”.

Pengakuan anak luar nikah jika hasil hubungan zina maka tidak berakibat terhadap pewarisan, nafkah, perwalian dalam pernikahan, dan penasaban terhadap orang tua laki-lakinya ini adalah hasil kesepakatan para ulama.Pengakuan terhadap anak temuan dapat disimpulkan untuk menjunjung tinggi hak anak maka dibolehkan dinasabkan kepada orang tuan angkatnya, tetapi tidak berakibat hukum terhadap pewarisan, terkecuali orang tua angkatnya memberikan wasiat terhadap anak temuan tersebut.

Pengakuan anak yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yang mana mengatur bahwa status hak waris anak luar kawin akan timbul setelah adanyanya pengakuan dan pengesahan. Suatu peringatan bahwa dalam lembaga “Pengakuan” anak luar kawin yang diakui dan anak luar nikah yang disahkan merupakan perbuatan untuk meletakkan hubungan hukum antara anak dan orang tua yang menyakininya. Pengesahan hanya terjadi dengan perkawinan orang tuanya yang telah mengakuinya lebih dulu atau mengakuinya pada saat perkawinan dilangsungkan. Anak luar kawin ini dapat diakui dan disahkan menurut ketentuan undang-undang yang sudah ada (Erkening dan Wetting)

Peristiwa pengakuan, pengesahan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam tetapi harus dilakukan di muka pegawai pencatatan, dengan percatatan dalam akta kelahiran, atau dalam akta perkawinan orang tuanya (yang berakibat pengesahan) atau dalam akta tersendiri dari pegawai pencatatan sipil.

Sedangkan, mengenai besarnya bagiannya adalah telah ditentukan porsinya sesuai dengan siapa ia bersama-sama mewaris, yaitu sebagaimana diatur pada Pasal 863 BW.

Kata Kunci : Pengakuan Anak, Hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


(3)

ABSTRACT

Child recognition in Islamic Law is a recognition voluntarily made by a man on a child that he has a blood relationship with the child either the child was born from an illegal marriage or the birth origin of the child is unknown. In Islamic Law, the recognition of child is allowed as along as the recognition is natural and the requirements are met. In Islamic Law, this recognition of child is classified into two classification: first, a self-recognizing in which a father recognizes his child and c child recognizes his father. For example, someone says “This is my child” or “This is my father”; second, recognizing somebody else of the same descendant, for example, someone says “This is my brother” or “This is my father”.

The recognition of a child born from an illegal marriage will not result in legacy, cost of living, marriage guardian, and descendant from the child’s father side and this is the agreement of Islam scholars. The recognition of an adopted child can be concluded as the attempt to highly respect the child’s rights, therefore, the child can be included in the descendant of his adopted father, but the child has no legal right to legacy unless the child’s adopted father include this adopted child in his will.

The recognition of child regulated in the Indonesian Civil Codes (Burgerlijk Wetboek) shows that the status of legacy right of a child born from an illegal marriage will be active after the recognition and approval. A notice is that in the institution of recognition, the child born from an illegal marriage that is recognized or approved is an action to set a legal relationship between the child and the parents who are sure with this. The approval will not occur until the parents recognized the child before their marriage or the parents recognized the child at the time when their marriage was going on. This illegal child can be recognized and approved based on the existing law (Erkening and Wetting)

The event of child recognition and approval cannot be done behind closed doors but it must be done before the registrar with the registration in birth certificate or in the child’s parent’s marriage certificate (with approval) or in a separated certivicate issued by the civil registration official.

The size of the child’s share has been determined in accordance with the number of the heir included in the will as regulated in Article 863 BW.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT dan shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW berikut keluarga, para sahabat dan seluruh umat pengikutnya, atas terselesaikannya penulisan Tesis dengan judul “Pengakuan Anak dalam Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata”.

Penyusunan Tesis ini bertujuan untuk melengkapi syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan penuh kesadaran bahwa tiada satupun yang sempurna di muka bumi ini, penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan tesis ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan terlebih dengan keterbatasan kemampuan, baik dari segi penyajian teknik penulisan maupun materi.

Penulisan tesis ini tidaklah mungkin akan menjadi sebuah karya ilmiah tanpa adanya bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah ikut serta baik langsung maupun tidak langsung dalam usaha menyelesaikan tesis ini. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM), SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagi anggota komisi pemibimbin, atas


(5)

kesempatan yang diberikan untuk dapat menjadi mahasiswa Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus selaku Penguji yang telah memberikan waktu dan bimbingan serta materi ataupun teknik penulisan Tesis ini.

4. Prof. DR. H M. Hasballah Thaib, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan waktu dan bimbingan serta materi ataupun teknik penulisan Tesis ini.

5. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan waktu dan bimbingan serta materi ataupun teknik penulisan Tesis ini. 6. Dr. Utary Maharani Barus SH MHum selaku anggota Komisi Penguji dalam

penelitian ini.

7. Dr. T. Kezeirina Devi A, SH., CN., M. Hum., Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,

8. Bapak-bapak dan ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar diantaranya Bapak Notaris Safnil Gani, SH., M. Hum, Bapak Notaris Syahril Sofyan, Ibu Hj. Chairani Bustami SH. M. Kn., Prof. Budiman ginting, dan lain-lain pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu penulis selama masa pendidikan sampai punulis menyelesaikan pendidikan di Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjan Universitas Sumatera Utara.


(6)

9. Seluruh Staff Pegawai Adiministrasi Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Kepada Bapak Ramli Simanjuntak selaku Senior Manager Program Kemitraan dan Bina Lingkungan PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero), Bapak Dhiel Arianto selaku Manager Keuangan PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Cabang Belawan dan Ibu Fatimah Juhra selaku Asisten Manager Program Kemitraan dan Bina Lingkungan PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Cabang Belawan, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan informasi serta bantuan lain yang diperlukan demi kelancaran pelaksanaan penulisan tesis ini.

11. Teman-temanku tercinta di Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjan Universitas Sumatera Utara, yang selalu memberik semangat, memberi dorongan, bantuan pikiran dan mengingatkan dikala lupa kepada penulis untuk menyelesaikan penullisan ini dalam rangka untuk menyelesaikan studi.

12. Ucapan trima kasih yang tak terhingga pada sepesial teman M. Dhana ginting, M. Rijal, Rory Octo rangga, Abi Jumrah harahap, Budi hari prima, Ricardo Simanjuntak, Doni Harahap, Adisti eka ismayani, Junita Sila zebua, Yola ardiza, Desi Amrina, Azmi maya sari, Erika Herawati, Oti pertiwi, Fitri Zakia, Kak Ica, Hortina, Merisda, Serly zebua, Muhairani, Syarifah Muzdalifah, M. Kamal, Heri azwar, Zarly, Ridwan, Surya adinata, Ronaldo, dan lain-lain.

13. Ucapan trima kasih rekan-rekan dari Organisasi Kerawang Gayo Lues Medan (Rijaluddin, Kairul amri, Irwansyah Putra, Salam, Rasek)


(7)

Secara khusus, pnulis menghaturkan sembah dan sujud serta ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang sangat penulis cintai dan muliakan

almarhum ayahnda haji Ibrahim dan mamaku yang tercinta dan tersayang hajjah

Aminah yang telah bersusah payah melahirkan membesarkan dengan penuh kasih sayang, pengorbanan, kesabaran, dan ketulusan serta memberi doa restu, sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjan Universitas Sumatera Utara serta semuanya ini penulis persembahkan seiring ucapan terima kasih yang tidak terbatas kepada abangnda H. Aman Nova dan keluarga, abangnda Nurdin dan keluarga, abangnda Hendra dan keluarga adiku Safrida, Sarifina dan kemanakanku Nurhalimah, Siti maryam, zahara.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat rahmat dari Allah SWT dan senantiasa dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada semua pihak. Aminn

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu kenotariatan.

Akhirnya tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kesalahan baik yang disengaja maupun tidak sengaja. Penulis hanya bisa mendoakan agar semua pihak yang telah membantu selama ini dilipatgandakan pahalanya. Dengan iringan doa semoga Allah SWT berkenan menerima amal ini menjadi sebuah nilai ibadah


(8)

disisi-Nya dan dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga Tesis ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan. Amiin Yaa Robbal’alamin

Wasalamu’alaikum Wr. Wb.

Medan, 30 Juli 2010

Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi :

1. N a m a : Muhammad Ali

2. Tempat/Tanggal lahir : Terangun. 10 Oktober 1984

3. Alamat : Jl. Terangun-Blang Pidie, No. 100. Kec, Terangun

Kab. Gayo Lues-Nanggroe Aceh Darussalam

II. Identitas Keluarga :

1. Nama Orang Tua : almarhum H. Ibrahim.

Hj. Aminah

2. Nama Saudara : 1. Anis

2. Semidah

3. Rosika

4. Safrida

5. Sari Fina

III. Keterangan Pendidikan :

1. Sekolah Dasar : SD Negeri Rempelam Pinang Tamat tahun 1997

2. Madrasah Stanawiyah : MT Swasta Darul Arafah Tamat tahun 2000

3. Madrasah Aliyah : MA Swasta Darul Arafah Tamat tahun 2003.

4. S-1 Fakultas Hukum : Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Tamat tahun 2007.

5. S-2 Magister Kenotariatan : Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Tamat tahun 2010.


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR ISTILAH ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... ...1

B. Perumusan Masalah ... ...5

C. Tujuan Penelitian ... ...6

D. Manfaat Penelitian ... ...6

E. Keaslian Penelitian... ...6

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... ...10

1. Kerangka Teori... ...10

2. Kerangka Konsepsi ... ...20

G. Metode Penelitian... ...21

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... ...21

2. Metode Pengumpulan Data... ...22


(11)

BAB II PENGAKUAN ANAK DALAM HUKUM ISLAM

A. Kedudukan Anak dalam Hukum Islam... ...24

1. Pengertian Anak dalam Hukum Islam ... ...25

2. Macam-macam Anak dalam Hukum Islam ... ...29

3. Hak-hak Anak dalam Hukum Islam... ...35

B. Pengaturan Nasab dalam Hukum Islam ... ...40

1. Ketentuan dalam al-Qur’an... ...40

2. Ketentuan dalam al-Hadits... ...41

3. Kesepakatan Ulama Fiqh ... ...41

C. Pengakuan Anak dalam Hukum Islam... ...52

1. Pengakuan Keatas diri sendiri... ...53

2. Pengakuan Terhadap orang Lain... ...58

3. Pengakuan Terhadap Anak Temuan ... ...64

BAB III PENGAKUAN ANAK DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengakuan anak dalam Hukum Perdata... ...69

B. Kedudukan Anak luar kawin dalam KUH Perdata ... ...74


(12)

BAB IV Perbandingan Status Hak waris anak yang diakui dalam Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

A. Hak waris anak yang diakui dalam Hukum Islam ... ...84 B. Hak waris anak yang diakui dalam Hukum Perdata ... ...90

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... ... 103 B. Saran...

... 104


(13)

ABSTRAK

Pengakuan anak dalam Hukum Islam yaitu pengakuan seorang laki-laki secara suka rela terhadap seorang anak bahwa ia mempunyai hubungan darah dengan anak tersebut, baik anak tersebut diluar nikah ataupun anak tersebut tidak diketahui asal usulnya. Pengakuan anak dibolehkan dalam hukum Islam selama pengakuan itu wajar, dan terpenuhi syarat-syaratnya. Pengakuan anak dalam hukum Islam di bagi kepada dua yaitu :pertama pengakuan keatas diri sendiri yaitu bapak mengakui anak atau sebaliknya anak mengakui bapaknya. Misalnya seorang berkata ”ini adalah anak saya”. Kedua Pengakuan terhadap orang lain yakni ikrar keturunan yang merupakan cabang dari asal nasab. Contohnya seorang berikrar ”ini adalah saudara saya” atau ”ini adalah bapak saya”.

Pengakuan anak luar nikah jika hasil hubungan zina maka tidak berakibat terhadap pewarisan, nafkah, perwalian dalam pernikahan, dan penasaban terhadap orang tua laki-lakinya ini adalah hasil kesepakatan para ulama.Pengakuan terhadap anak temuan dapat disimpulkan untuk menjunjung tinggi hak anak maka dibolehkan dinasabkan kepada orang tuan angkatnya, tetapi tidak berakibat hukum terhadap pewarisan, terkecuali orang tua angkatnya memberikan wasiat terhadap anak temuan tersebut.

Pengakuan anak yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yang mana mengatur bahwa status hak waris anak luar kawin akan timbul setelah adanyanya pengakuan dan pengesahan. Suatu peringatan bahwa dalam lembaga “Pengakuan” anak luar kawin yang diakui dan anak luar nikah yang disahkan merupakan perbuatan untuk meletakkan hubungan hukum antara anak dan orang tua yang menyakininya. Pengesahan hanya terjadi dengan perkawinan orang tuanya yang telah mengakuinya lebih dulu atau mengakuinya pada saat perkawinan dilangsungkan. Anak luar kawin ini dapat diakui dan disahkan menurut ketentuan undang-undang yang sudah ada (Erkening dan Wetting)

Peristiwa pengakuan, pengesahan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam tetapi harus dilakukan di muka pegawai pencatatan, dengan percatatan dalam akta kelahiran, atau dalam akta perkawinan orang tuanya (yang berakibat pengesahan) atau dalam akta tersendiri dari pegawai pencatatan sipil.

Sedangkan, mengenai besarnya bagiannya adalah telah ditentukan porsinya sesuai dengan siapa ia bersama-sama mewaris, yaitu sebagaimana diatur pada Pasal 863 BW.

Kata Kunci : Pengakuan Anak, Hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


(14)

ABSTRACT

Child recognition in Islamic Law is a recognition voluntarily made by a man on a child that he has a blood relationship with the child either the child was born from an illegal marriage or the birth origin of the child is unknown. In Islamic Law, the recognition of child is allowed as along as the recognition is natural and the requirements are met. In Islamic Law, this recognition of child is classified into two classification: first, a self-recognizing in which a father recognizes his child and c child recognizes his father. For example, someone says “This is my child” or “This is my father”; second, recognizing somebody else of the same descendant, for example, someone says “This is my brother” or “This is my father”.

The recognition of a child born from an illegal marriage will not result in legacy, cost of living, marriage guardian, and descendant from the child’s father side and this is the agreement of Islam scholars. The recognition of an adopted child can be concluded as the attempt to highly respect the child’s rights, therefore, the child can be included in the descendant of his adopted father, but the child has no legal right to legacy unless the child’s adopted father include this adopted child in his will.

The recognition of child regulated in the Indonesian Civil Codes (Burgerlijk Wetboek) shows that the status of legacy right of a child born from an illegal marriage will be active after the recognition and approval. A notice is that in the institution of recognition, the child born from an illegal marriage that is recognized or approved is an action to set a legal relationship between the child and the parents who are sure with this. The approval will not occur until the parents recognized the child before their marriage or the parents recognized the child at the time when their marriage was going on. This illegal child can be recognized and approved based on the existing law (Erkening and Wetting)

The event of child recognition and approval cannot be done behind closed doors but it must be done before the registrar with the registration in birth certificate or in the child’s parent’s marriage certificate (with approval) or in a separated certivicate issued by the civil registration official.

The size of the child’s share has been determined in accordance with the number of the heir included in the will as regulated in Article 863 BW.


(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status sosial orang tua.

Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk, tinggi, maupun rendah. Anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya. Begitu pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka Allah SWT mensyari’atkan adanya perkawinan.

Pensyari’atan perkawinan memiliki tujuan antara lain untuk berketurunan serta hidup dalam kedamaian1, memelihara nasab, menghindarkan diri dari penyakit dan menciptakan kaluarga yang sakinah. Sebagaimana firman Allah SWT.,dalam al-Qur’an surat al-Rum ayat 21:

1 M. Hasballah Thaib, Marhalim Harahap, Hukum Keluarga dalam Syariat Islam, Universitas


(16)

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya adalah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”

Oleh karena itu agama Islam melarang perzinaan. Hukum Islam memberi sanksi yang berat terhadap perbuatan zina. Karena zina dapat mengakibatkan ketidak jelasan keturunan. Sehingga ketika lahir anak sebagai akibat dari perbuatan zina, maka akan ada keraguan tentang siapa bapaknya. Hal ini diungkapkan dalam al-Qur’an surat al-Isra’ : 32:

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji. Dan suatu jalan yang buruk”.

Hadist Nabi, dari Abu Hurairah r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda :

“Anak itu adalah untuk pemilik tilam dan bagi pezina adalah hukuman rajam”2

Pergaulan bebas antara muda-mudi yang banyak terjadi sekarang ini, seringkali membawa kepada hal-hal yang negatif yang tidak dikehendaki, seperti hubungan sex luar nikah dan hamil luar nikah. Hal ini disebabkan oleh adanya pergesekan budaya, sehingga pada saat ini menggejala dimasyarakat adanya hidup bersama antara seorang pria dan wanita tanpa adanya ikatan perkawinan. Anak yang lahir di luar nikah mendapatkan julukan dalam masyarakat sebagai anak haram, hal ini menimbulkan gangguan psikologis bagi anak, walaupun secara hukum anak

2 Ahmad Mudjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-Hadis Muattafafaq ‘Alaih,


(17)

tersebut tidak mempunyai akibat hukum dari perbuatan orang tuanya, namun banyak persoalan yang muncul akibat hamil luar nikah tersebut, seperti hubungan nasab antara anak dengan bapak biologisnya, dan lain sebagainya dari berbagai perspektif hukum.

Bencana yang dialami Aceh, juga terjadi di daerah-daerah lain di bumi pertiwi, kendatipun dengan intensitas yang berbeda. Fenomena alam tersebut, telah, sedang dan akan terus terjadi. Sejarah Indonesia mencatat meletusnya gunung Krakatau 2(dua) abad yang lalu menimbulkan gelombang laut yang dahsyat sehingga mencapai negara tetangga. Dapat dipastikan bencana tersebut menimbulkan akibat yang tidak berbeda dengan tsunami di Aceh. Terkait dengan kewenangan pengadilan agama tentang pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam, muncul pula pertanyaan bolehkah anak-anak korban bencana alam yang tidak diketahui siapa orang tuanya itu dinasabkan oleh pengadilan agama kepada orang tua angkatnya?

Islam adalah agama kebenaran dan keadilan. Kebenaran dan keadilan menunjukan wajib dinisbahkan anak kepada bapak yang sebenarnya, bukan bapak palsu. Di dalam al-Qur’an pada surat al-Ahzab ayat 4-5 yakni tentang menisbahkan anak kepada bapaknya, Allah SWT berfirman :

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak ankatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukan jalan (yang benar)”


(18)

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai ) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu segama dan maula-maulamu”

Permasalahan istilhaq atau bisa juga disebut iqraru bin nasab, yang menjadi aktual untuk dibahas karena berkaitan erat dengan kewenangan mutlak (absolute compentence) badan peradilan agama tentang penyelesaian asal usul anak dan pengangkatan anak dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Disamping itu, secara sosiologis, walaupun belum ada penelitian ilmiah dalam hal ini, dirasakan banyaknya anak-anak yang lahir di luar suatu perkawinan yang sah, yang kemudian antara lain ditelantarkan begitu saja oleh orangtuanya. Kenyataan ini suatu saat, besar kemungkinan akan menjadi kasus yang akan diajukan ke Pengadilan Agama untuk diselesaikan dalam bentuk pengangatan anak atau pengesahan/pengakuan anak.

Permasalahan istilhaq erat kaitannya dengan kedudukan anak luar nikah. Dalam Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan kedudukan anak luar nikah tersebut akan di atur dalam suatu Peraturan Pemerintah.

Akan tetapi sampai saat ini Peraturan Pemerintah tersebut belum juga terbit. Berkaitan dengan belum terbitnya Peraturan Pemerintah dimaksud, maka hal tersebut


(19)

akan menimbulkan ketidak pastian hukum dan ketidak adilan, terutama dirasakan pihak anak dan ibu yang melahirkannya. Sedangkan lelaki yang menghamili terkesan kurang mendapat akibat dan tanggung jawab atas perbuatannya yang telah menyebabkan kelahiran seorang anak yang kemudian disebut anak luar nikah.

Deskripsi tersebut di atas menunjukkan bahwa Islam mengajarkan agar orang Islam peduli dengan sesama umat manusia. Kendatipun anak yang dibuang tersebut diyakini anak zina, Islam tetap menganjurkan agar menyelamatkan nyawanya karena anak zina terlahir fitrah/suci, dan perlu diselamatkan. Adapun yang salah dan berdosa adalah orang tuanya. Apalagi kalau seorang anak tidak diketahui orang tuanya karena musibah dan bencana alam, tentulah sangat terpuji menyelamatkan nyawa mereka. Uraian diataslah yang melatar belakangi Penulis untuk mengambil judul Tesis ini yang penulis beri judul “Pengakuan anak menurut hukum Islam dan Kitab undang-undang Hukum Perdata ”

B.Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengakuan anak dalam hukum Islam?

2. Bagaimanakah pengakuan anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?

3. Bagaimanakah perbandingan status hak waris anak luar kawin dalam hukum Islam dan kitab Undang-undang hukum Perdata?

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :


(20)

1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai pengakuan anak dalam hukum Islam 2. Untuk mengetahui pengakuan anak Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 3. Untuk mengetahui perbandingan status hak waris anak luar kawin dalam

hukum Islam dan kitab Undang-undang hukum Perdata

D.Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang mumpunyai signifikasi akademis (academic significance) bagi peneliti selanjutnya dan juga dapat memperkaya khasanah perpustakaan.

2. Manfaat Praktis

Sebagai bahan masukan di dalam membuat kebijakan dan perumusan aturan formal yang lengkap, khususnya bagi Pengadilan Agama dan Instansi yang terkait dalam hal menangani Pengakuan Anak dalam Hukum Islam.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul pengakuan anak menurut hukum Islam, dan hukum perdata belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya, dengan demikian penelitian ini adalah asli. Adapun penelitian yang pernah dilakukan adalah :

1. Kedudukan anak angkat dalam Sistem Hukum Indonesia, Disertasi, oleh A. Hamid Sarong NIM 018101018/S3 HK, Tahun 2004 Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004, adapun masalah yang diteliti ialah :


(21)

a. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya pembaharuan hukum Islam?

b. Apakah peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan Peradilan Agama telah berperan aktif dalam pembaharuan hukum Islam?

c. Bagaimanakah peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan Peradilan Agama telah berperan aktif dalam pembaharuan hukum Islam? d. Bagaimanakah peranan hakim Peradilan Agama dalam melaksanakan

pembaharuan hukum Islam di Indonesia?

e. Bagaimana penerimaan masyarakat Islam terhadap pembaharuan hukum Islam?

2. Kedudukan Anak angkat dalam Sistem Hukum Indonesia, Disertasi, oleh A. Hamid Sarong NIM 08101018/S3 HK Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2008, adapun masalah yang diteliti ialah :

a. Bagaimana kedudukan anak angkat dalam sistem hukum nasional Republik Indonesia?

b. Mengapa masyarakat muslim masih enggan melakukan pengangkatan secara resmi, pada hal praktek pengangkatan anak atau nama lain terus terjadi dalam masyarakat?

c. Bagaimana realiata hukum masyarakat Aceh yang didasarkan pada mashalah

yang dapat dijadikan pertimbangan dalam merumuskan undang-undang pengangkatan anak.


(22)

3. Hak Anak Angkat dari Orang Tua Angkat dalam Hukum Islam, oleh Tresna Hariadi, NIM 027011065, tahun 2004, Mahasiswa Program Magister Kenotariatan. Permasalahan yang diteliti adalah:

a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan bagi Pengadilan Agama Medan dalam memberikan harta peninggalan orang tua angkat kepada anak angkat? b. Bagaimanakah pandangan Hukum Islam dan Pengadilan Agama Medan

dalam menentukan hak anak angkat atas harta peninggalan orang tua angkatnya?

c. Bagaimanakah ukuran keadilan yang diterapkan Pengadilan Agama Medan untuk menentukan bagian anak angkat?

4. Perlindungan Hukum berdasarkan Akta Kelahiran Terhadap Anak yang tidak diketahui Asal-Usulnya Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Perundang-udangan (study kasus Kota Binjai), oleh Enti Lavina Nasution, NIM 076010012, tahun 2007, Mahasiswa Program Ilmu Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi. Permasalahan yang diteliti adalah :

a. Bagaimana cara menentukan asal-usul seorang anak menurut Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan perUndang-Undangan.?

b. Bagaimana perlindungan Hukum terhadap anak yang tidak diketahui asal-usulnya menurut kompilasi Hukum Islam dan Peraturan PerUndang-Undangan.?


(23)

c. Bagaimanakah tata cara pembuatan Akta Kelahiran terhadap anak yang tidak diketahui asal-usulnya yang akan diangkat oleh orang tua angkat yang beragama Islam?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.3 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis

artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.4

Dengan demikian dalam bahasan judul tesis ini, teori yang digunakan sebagai alat atau pisau analisis yaitu teori maqasid syariah. Yang juga akan didukung oleh teori pendukung diantaranya teori pendakuan nasab, danteori al-laqith.

Secara etimologi kata maqasid masdar dari qasada berarti tujuan, sedangkan

syari’ah berasal dari bahasa arab yang berarti “jalan yang harus diikuti”. Kata syariah

secara harfiah berarti “jalan menuju sumber mata air”5 Syari’ah secara langsung

berasal dari perintah Allah. Namun demikian, di dalam memahami Syari’ah ini ada sedikit bagian campur tangan yang diberikan kepada manusia untuk menafsirkan dan

3 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986,

hlm. 122.

4 Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Andi, Yogyakarta,

2006, hlm. 6.

5 A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), PT RajaGrafindo


(24)

menjabarkan perintah Allah dengan metode dedukasi analogis (qiyas) maupun dengan metode lain6

Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 105, yang artinya :

“Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili di antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang-orang yang tidak bersalah), karena membela (orang-orang-(orang-orang yang khianat”

Dan sabda Rasulullah SAW :

“Aku telah meninggalkan untukmu sekalian dua hal. Apabial engkau semua berpegang teguh pada keduanya, kalian tidak akan sesat selama-lamanya. Dua hal itu adalah Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dari ketentuan diatas maka sumber utama Hukum Islam yaitu Qur’an al-Karim, dan sumber utama kedua yaitu al-Sunnah al-Rasulullah SAW, adapun yang ketiga yaitu Ijma’ (kesepakatan para ulama) dan Qiyas (dedukasi analogi). Melalui proses inilah syari’ah bertujuan mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, dan sesama Manusia alam dan lingkunganya.

Tujuan Syar’i dalam pembentukan hukumnnya, yaitu merealisasikan kemashlahatan manusia dengan menjamin kebutuhannya, Menurut Nukman Sulaiman ada tiga tingkatan kepentingan kebutuhan manusia: 7

6 Ibid.

7 Nukman Sulaiman , seminar sehari tentang Meminjamkan Rahim untuk Kandungan Bayi,


(25)

1. Kepentingan yang sangat mendasar (prinsiple) sekali, disebut dengan kepentingan dharuu-riyah, yang meliputi yaitu pemeliharaan terhadap agama, jiwa, Aqal, Kehormatan, Harta, nasab (keturunan)

2. Kepentingan yang sangat dihajatkan, disebutkan kepentingan haa-jiyah yaitu perkara yang sangat dihajatkan manusia, tetapi tidak lah sampai membahayakan, seandainya perkara itu tidak dipenuhi, seperti bahaya yang timbul karena tidak terpeliharanya perkara dharuu-riyah.

3. Kepentingan yang sangat diperlukan (untuk penyempurnaan kepentingan dharuu-riyah dan haa-jiyah.) yaitu tahsiniyah.

Dharuriyah adalah kebutuhan pokok yang harus terjamin dan terlindungi dalam kehidupan manusia di mana saja, siapa saja, dan kapan saja. Dalam wacana syariat Islam, dharuriyah yang harus dilindungi atau dipelihara kemaslahatanya, yaitu meliputi: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila tidak terpelihara atau terancam kelima hal itu dalam kehidupan manusia, maka akan terjadi ketidak harmonisan. Oleh karena itu, setiap manusia atau pemerintah dalam mewujudkan suatu hukum positif, pokok utama yang harus mendapat perlindungan hukum adalah berkaitan dengan kelima hal tersebut.

Dalam bahasan kali ini kita akan mempokuskan Teori Tujuan Hukum Islam tentang Perlindungan Hukum terhadap nasab keturunan, maka Islam mensyariatkan perkawinan agar mempunyai keturunan yang shaleh, keturunan yang menjadi panutan (zurriyyata qurrota a’yun waj’alna lilmuttaqina imama), bukan keturunan yang lemah (zurriyyatan dhia ‘fa). Islam juga mensyariatkan makan yang halal dan baik (halalan thayyiban) agar manusia tidak sakit sehingga keturunanya menjadi lemah, baik fisik maupun psikis. Firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 72 yang artinya :


(26)

“Dan Allah telah menjadikan bagimu pasanganmu dari jenismu sendiri dan menjadikan bagimu bersamanya anak-anak dan cucu-cucu serta telah memberimu rezeki dari yang baik-baik”

Dan Nabi sabda Rasulullah SAW dalam hadits yang dirawikan oleh an-Nas Ibni Malik, Rasulullah SAW bersabda yang artinya :

“Menikah itu merupakan Sunnahku, maka barang siapa yang membenci sunnahku , bukanlah dari golonganku”8

Dalam menjaga keturunan ini, Islam melarang perbuatan zina dan dan orang yang menuduhnya karena keduanya merupakan kehormatan, harga diri yang perlu dilindungi dari setiap keperibadian seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, perbuatan zina dianggap sebagai perbuatan keji karena dapat merusak keturunan seseorang, dalam hal ini Hasballah Thaib berpendapat bahwa kehormatan merupakan bagian dari iman oleh sebab itu untuk mencapai kesempurnaan Iman seseorang harus melaksanakan perkawinan9. Demikian juga menuduh palsu berbuat zina, dapat

merusak hubungan suami-istri dari kehancuran rumah tangga. Termasuk didalamnya perbuatan zina ini, sek melalui kekerasan, perkosaan, dan pelecehan seksual. Untuk memelihara keturunan ini, Islam memberikan sanksi hukuman secara berat dengan cara mendera kepada pelaku zina dan penuduhnya. Seperti dinyatakan Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ a ayat 23 yang artinya :

8 Hussein Bahreisy, Himpunan Hadits Pilihan Hadits Shahih Bukhari, Al-Ikhlas, Surabaya, 1980,

hlm. 329.


(27)

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anak yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi bila kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak ada dosa kamu mengawininya (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu) dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau…”

Dan firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Isra’ ayat 23 yang artinya

“Dan janganlah engaku dekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk”

Demikianlah pentingnya pernikahan yang bertujuan memelihara keturunan sehingga segolongan fuqaha, yaitu golongan Zhahiri berpendapat bahwa nikah itu wajib, sedangkan ulama Maliki mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunat untuk sebagian orang , dan mubah untuk golongan yang lainya. Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran terdapat kesusahan dirinya.10 Menurut M. Hasballah dengan adanya perkawinan dalam Islam maka akan menghasilkan dan melingkupi banyak pandangan tentang fungsi keluarga, diantaranya :11

1. Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar.

2. Suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan 3. Cara untuk memperoleh keturunan yang sah 4. Menduduki fungsi sosial

5. Mendekatkan hubungan antar keluarga dan solidaritas kelompok

10 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Jilid 2, Pustaka Amani, Jakarta, 2007, hlm. 394. 11 Hasballah Thaib, Op. cit., hlm. 15.


(28)

6. Merupakan perbuatan menuju ketaqwaan

7. Merupakan suatu bentuk ibadah, yaitu pengabdian kepada Allah mengikuti sunnah Rasulullah SAW.

Selain teori maqasidu syara’ juga akan didukung dengan teori lain sebagai teori pendukung atau wacana yaitu teori pendakuan nasab, dan al-Laqith. pendakuan nasab ialah mendaku orang lain yang tidak diketahui asal-mula nasabnya sebagai nasabnya sendiri atau sebagai nasab keluarganya.12

Pendakuan nasab mempunyai dua bentuk yakni:13

1. Mendaku nasab orang lain untuk didaku nasabnya oleh si pendaku

(Muqrir) sendiri dan,

2. Mendaku nasab orang lain untuk didakukan-nasabnya kepada orang lain yang tidak mendaku.

Disamping teori pendakuan anak yang dipergunakan pada penelitian ini juga didukung oleh teori al-laqith

Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak yang terjamin dan pasti menurut hukum positif merupakan paksaan dari peradilan Agama kepada orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara.

Tentang perlindungan anak yang terdapat unsur positivisme, maka M. Solly Lubis menyebutkan bahwa :

‘Alamaiyah yang di bawa Islam datang untuk menghormati umat manusia semuanya adalah : “Allah subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan manusia khalifah di muka bumi untuk kepentingan mereka semuanya. Selain untuk

12 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1975, hlm. 72.


(29)

menghormati dan memuliakan seluruh manusia, ‘Alamiah juga datang untuk menyatakan bahwa manusia itu sama, tidak ada diskriminasi dalam hal kedudukan dan asalnya yang mulia sebagai manusia serta dalam tugas dan tanggung jawab dengan penuh kesadaran hukum.14

al-laqith dalam terminology fiqh diartikan dengan anak kecil yang hilang atau dibuang orang tuanya untuk menghindari tanggung jawab atau untuk menutupi suatu perbuatan zina, sehingga tidak diketahui orang tuanya15

Dari defenisi diatas jelaslah bahwa substansi al-laqith adalah anak yang tidak diketahui dan tidak dapat ditelusuri keberadaan orang tuanya yang mana disebabkan oleh perbuatan zina, atau hilang dan tercecer diluar kesadaran orang tua, bisa juga akibat perbuatan penjualan anak maupun akibat bencana alam seperti peristiwa tsunami yang terjadi pada tanggal 26 desember 2004 di Aceh.

Di dalam membicarakan teori al-laqith ini maka sudah termasuk di dalamnya adalah keabsahan anak dan perwalian.

Tentang keabsahan seorang anak, menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pada pasal 42 dikatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Dalam Pasal 43 pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan:

(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

14 M. Solly Lubis, Kita dan Perkembangan Global, Makalah Seminar Hukum (Debat Publio

tentang Kemungkinan Transformasi Hukum Islam ke dalam Hukum Positif di Indonesia), tanggal 13-30 Agustus 2002 di Hotel Darma Deli Medan, Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara, 2002, hlm. 5.

15 Abd. Aziz Dahlan, Abdul Aziz Dahlan, Ensikilopedi Hukum Islam, (et.all./ad) Jilid I, Cet V,


(30)

(2) Dikatakan bahwa kedudukan anak tersebut pada ayat (1) selanjutnya akan di atur dalam peraturan pemerintah.

Pada pasal 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang keabsahan seorang anak dijelaskan:

(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut,

(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

Pada undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 55 tentang pembuktian asal usul anak:

(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

(2) Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan asal-usul anak setelah diadakan pemeriksaan yang diteliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. (3) Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut pada ayat (2) maka instansi

pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pada Pasal 27 tentang identitas anak, bahwa:


(31)

(2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran

(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang tua yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran

(4) Dalam hal anak yang diperoses kelahiranya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak dapat keberadaanya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukanya.

Pada Pasal 28 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak:

(1) Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaanya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.

(2) Pembuatan akta Kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan,

(3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimna dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenakan biaya.

(4) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), di atur dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam kompilasi hukum Islam yang diberlakukan dengan Inpres No. 1 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 jo keputusan mentri agama RI No. 154 tahun 1991 tanggal


(32)

22 Juli 1991 tentang pelaksanaan Instruksi Presiden Rebublik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 yang mana dalam Pasal 103 menyebutkan :

(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainya.

(2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.

(3) Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka Instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Keabsahan anak ini dapat dilihat dari cara menentukan asal usul anak baik dari hukum Islam yang mana di Indonesia dapat diketahui dari kompilasi hukum Islam juga maupun dari peraturan perundang-undangan.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang disebut defenisi operasional.16 Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka


(33)

konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi pegangan kongkrit dalam proses penelitian.17

Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.18 Oleh

karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus dibuat beberapa defenisi konsep dasar sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, yaitu :

a. Pengakuan anak dalam literatur Hukum Islam disebut dengan “istilhag”

atau “iqrar” yang berarti pengakuan seorang laki-laki secara suka rela terhadap seorang anak bahwa ia mempunyai hubungan darah dengan anak tersebut, baik anak tersebut bersetatus di luar nikah atau anak tersebut tidak diketahui asal usulnya.19

b. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. (UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak.

c. Hukum yaitu norma atau kaedah, yaitu tolak ukur, patokan pedoman yang digunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda.

17 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986,

hlm. 133.

18Ibid

19Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hlm.

76.


(34)

d. Hukum Islam yaitu kaidah yang dijadikan patokan perbuatan manusia, baik beribadah dan bermuamalah. Dalam hukum Islam dibagi kedalam lima kaidah wajib, sunnah,mubah,makruh dan haram.20

e. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu sebuah kitab Peraturan Perundang-Undangan Hasil Peninggalan zaman pemerintahan belanda dahulu, kitab mana demi peraturan peralihan undang-undang dasar sementara harus kita warisi dengan segala cacat dan segala celanya.

G. Metode Penelitian

Pengertian metode penelitian yang dilakukan dalam tesis ini adalah suatu cara penyelidikan atau pemeriksaan dengan menggunakan penalaran yang berpikir logis berdasarkan nilai-nilai, asas-asas dan norma-norma, serta teori-teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yang berbasis kepada ilmu hukum normatif, yaitu penelitian tentang asas-asas hukum, kaedah hukum, dan sistematika hukum, serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya.21

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis. Bersifat deskriptif maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan

20 Muchsin, Masa depan hukum Islam di Indonesia, BP Iblam, Jakarta, 2004. hlm. 11. 21 Ibrahim Johni, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang,


(35)

berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat bagaimana menjawab permasalahan.22

2. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi kepustakaan (library research). Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu berupa undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan objek penelitian.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer,23 seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, pendapat pakar hukum yang erat kaitannya dengan objek penelitian.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, kamus umum dan kamus hukum, surat kabar, internet, serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian. 24

3. Analisis Data

22 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung,

1994, hlm. 101.

23 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta 1982, hlm.

24.

24 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,


(36)

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisa dengan metode kualitatif yaitu pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis untuk memberi gambaran jelas jawaban atas permasalahan yang ada. Selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan menggunakan metode deduktif untuk sampai pada suatu kesimpulan.


(37)

BAB II

PENGAKUAN ANAK DALAM HUKUM ISLAM A. Kedudukan Anak dalam hukum Islam

Anak adalah bunga hidup. Anak adalah harum-haruman rumah tangga. Obat jerih pelarai demam. Kepada anak bergantung pengharapan keluarga dikemudian hari. Dialah ujung cita-cita dalam segenap kepayahan. Misalnya terjadi perselisihan di dalam rumah antara suami dan istri, perselisihan itu dapat didamaikan apabila suami-istri sama-sama melihat anaknya masih suci itu, yang tak boleh menjadi korban pertikaian dan perselisihan ayah bundanya. Oleh sebab itu Nabi Muhammad SAW sangat sayang kepada anak-anak. Sampai punggungnya diperkuda-kuda oleh anak-anak sedang dia sujud waktu shalat. Sampai anak-anak dipangkunya ketika mengerjakan ibadat itu. Apabila dia hendak sujud diletakannya anak itu kesampingnya dan bila hendak tegak di pungutnya kembali. Beliau bersabda :

“Rumah yang tidak ada anak-anak, tidaklah ada berkat didalamnya” (Abu Syaikh, Ibnu Hibban)25

Dalam Hadis lain Rasul bersabda :

“Anak-anak adalah setengah dari harum-haruman surga” (Turmidzi)

“peliharalah anak-anakmu dan perbaikilah budi pekerti mereka. Sesungguhnya anak-anak itu adalah hadiah Allah kepadamu”. (Dirawikan Oleh Bukhari). 26


(38)

1. Pengertian anak dalam hukum Islam

Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa, “Anak adalah manusia yang masih kecil” atau “Anak-anak yang masih kecil (belum dewasa)”.27 Anak dalam

pengertian bahasa sangat banyak yaitu keturunan yang kedua, manusia yang masih kecil, binatang yang masih kecil, pohon kecil yang tumbuh pada umbi atau rumpun tumbuhan-tumbuhan yang besar, orang yang termasuk dalam satu golongan pekerjaan (keluarga dan sebagainya), bagian yang kecil (pada suatu benda), yang lebih kecil dari pada yang lain.28

Pengertian anak dalam Hukum Islam dan hukum keperdataan yang dihubungkan dengan keluarga. Anak dalam hubunganya dengan keluarga, seperti anak kandung, anak laki-laki dan anak perempuan, anak sah dan anak tidak sah, anak sulung dan anak bungsu, anak tiri dan anak angkat, anak piara, anak pungut, anak kemenakan, anak pisang, anak sumbang (anak haram) dan sebagainya.29

Pengelompokan pengertian anak, memiliki aspek yang sangat luas. Berbagai makna terhadap anak, dapat diterjemahkan untuk mendekati anak secara benar menurut system kepentingan agama, hukum, sosial dari bidang masing-masing

26 Ibid.

27 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Pusat Pembinaan dan Perkembangan Bahasa,

Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hlm.31.

28 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, lihat Darwin

Prinst, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.4, lihat juga Afisah Wardah Lubis, “Memahami Perkembangan Psikologi Anak dalam Rangka Implementasi

Perlindungan Anak”, Majalah Konvensi, Vol. II No. 1 Maret 1998, LAAI, Medan, hlm. 62, dan lihat

juga Syakir Abdul Azhim, Membimbing Anak Trampil Berbahasa, Gema Insani, Jakarta, 2002, hlm. 2.

29 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai


(39)

bidang. Pengertian anak dari berbagai cabang ilmu akan berbeda-beda secara substansial fungsi, makna dan tujuan. Sebagai contoh, dalam agama Islam pengertian anak sangat berbeda dengan pengertian anak yang dikemukakan bidang disiplin ilmu hukum, sosial, ekonomi, politik dan hankam. Pengertian anak dalam Islam disosialisasikan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang arif dan berkedudukan mulia yang keberadaanya melalui proses penciptaan yang berdimensi pada kewenangan kehendak Allah SWT30. Secara rasional, seorang anak terbentuk dari unsur gaib yang transcendental dari proses ratifiksi sain (ilmu pengetahuan) dengan unsur-unsur ilmiah yang diambil dari nilai-nilai material alam semesta dan nilai-nilai spiritual yang diambil dari proses keyakinan (tauhid Islam).31

Penjelasan status anak dalam agama Islam ditegaskan dalam al-Quran surat al-Isra ayat 70, yang artinya :

“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka didarat dan dilautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.”

Menunjukan bahwa al-Qur’an atau akidah Islam meletakan kedudukan anak sebagai suatu makhluk yang mulia, diberikan rezeki yang baik-baik dan memiliki nilai plus semua diperoleh melalui kehendak sang Pencipta Allah SWT, untuk menyikapi nilai transcendental dimaksud, pada bagian lain al-Qur’an menegaskan

30 Iman Jauhari, Advokasi Hak-Hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan

Perundang-undangan, Pusataka Bangsa, Medan, 2008, hlm. 46.


(40)

eksistensi anak tersebut dengan firman Allah SWT, dalam al-Qur’an surat at-Tiin ayat 4 yang menentukan,

“Sesungguhnya aku ciptakan kamu manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, atau semulia-mulianya”

Statement yang diberikan oleh Islam menjadikan bidang ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum semakin objektif dalam memandang proses advokasi dan hukum perlindungan anak, baik dalam melakukan pembinaan anak, pemeliharaan anak, yang pada akhirnya akan menjadikan anak sebagai khalifah-filardi ditengah-tengah masyarakat millennium ini. Berbeda kalau cara pandang dengan system ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum yang dibangun berdasarkan liberaslisasi dari warisan hukum kaum penjajah belanda dan berpatokan pada filsafat, sosial, budaya dan ekonomi yang dikemukakan oleh teori-teori pada umumnya, seperti teori Darwin, Herbert Spencer, Karl Marx, August Comte, dan lain-lain menjadikan proses evolusi fisik, kultur, dan perdaban tentang status anak dan hak-hak anak yang transparansional. Pengertian status anak yang diberikan masing-masing Sarjana Hukum mengandalkan teori-teori yang dilandaskan pada alam semesta (natural of law) yang menekankan prinsip-prinsip the struggle for life and survival of the fittest

(perjuangan untuk hidup yang kuat akan bertahan)32

32 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung,2000, hlm. 345. statemen ini

mengandung pesan pewarisan anak sebagai generasi penerus, agama, bangsa, dan Negara harus dipersiapkan menjadi manusia yang tangguh, cerdas, dan mandiri. Statemen tersebut tidak meminimlisasikan system hukum dalam sosialisasi kehidupan tata pergaulan masyarakat di tingkat regional, maupun dunia internasional.


(41)

Menurut ajaran Islam, Anak adalah amanah Allah SWT dan tidak bisa dianggap sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak hati oleh orang tuanya. Sebagai amanah anak harus dijaga sebaik mungkin oleh orang tua yang mengasuhnya. Anak adalah manusia yang memiliki nilai kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan dengan alasan apapun.

“Dalam kamus bahasa Arab Anak disebut juga dengan walad, satu kata yang mengandung penghormatan, sebagai makhluk Allah yang sedang menempuh perkembangan kea rah abdi Allah yang shaleh. Pendapat Ibnu Abbas salah seorang ahli tafsir dikalangan sahabat Nabi Muhammad SAW dalam penafsiran kata-kata walad pada ayat 176 surat an-Nisa’ yang mempunyai pengertian mencakup baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Pandangan ini sangat berbeda dengan ijma para fuqaha dan ulama yang di anut selama ini, bahwa yang dimaksud dengan walad dalam ayat tersebut hanya anak laki-laki saja, tidak termasuk anak perempuan. Namun demikian, pengertian walad

dalam nash bisa berarti laki-laki dan juga bisa berarti perempuan33

Kata al-Walad dipakai untuk menggambarkan adanya hubungan keturunan, sehingga kata al-walid dan al-walidah diartikan sebagai ayah dan ibu kandung. Berbeda dengan kata ibn yang tidak mesti menunjukan hubungan keturunan dan kata

ab tidak berarti mesti ayah kandung.34 Dan menurut Prof.Dr. Hamka anak ialah aliran

dari air dan darah sendiri.35

2. Macam-macam anak dalam hukum Islam

33 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Maktabah Dakwah Islamiyah Shabab

al-Azhar, Cairo, 1990, hlm.95.

34 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, Jilid XV,

Lentera Hati, 2004, hlm. 614.

35 Prof. Dr. Hamka juzu’ XXI-XXII, Tafsir al-Azhar, pustaka panji mas Jakarta 1988, hlm.

195.


(42)

Dalam hukum Islam terdapat bermacam macam kedudukan/status anak, sesuai dengan sumber asal-usul anak itu sendiri, sumber asal itulah yang akan menentukan kedudukan status seorang anak. Adapaun kedudukan/status anak dalam hukum Islam adalah anak kandung, anak angkat, anak susu, anak pungut, anak tiri, dan anak luar nikah36 masing-masing anak tersebut diatas, mendapat perhatian khusus dalam syariat Islam yang menentukan kedudukan/statusnya, baik dalam keturunan dan kewarisan, maupun perwalian.

a. Anak Kandung

Anak kandung dapat juga dikatakan anak yang sah, pengertianya adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah antara ibu dan bapaknya. Dalam hukum positif dinyatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.37

Dalam pandangan hukum Islam, ada empat syarat supaya nasab anak itu dianggap sah, yaitu :

a) Kehamilan bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar untuk hami. Imam Hanafi tidak mensyaratkan seperti ini, menurut beliau meskipun suami isteri tidak melakukan hubungan seksual, apabila anak lahir dari seorang isteri yang dikawini secara sah maka anak tersebut adalah anak sah

b) Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan sedikit-dikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang ini terjadi ijma’ para pakar hukum Islam (fuqha) sebagai masa terpendek dari suatu kehamilan

36Lihat Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan lihat juga

Pasal 99 huruf a Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

37 Lihat Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan lihat Pasal


(43)

c) Anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang-panjangnya kehamilan. Tentang hal ini masih diperselisihkan oleh para pakar hukum Islam.

d) Suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga li’an. Jika seorang laki-laki ragu tentang batas minimal maksimal kehamilan kehamilan terlampaui maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak yang dikandung oleh isterinya dengan cara li’an38

Anak yang sah mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarganya, orang tua berkewajiban untuk memberikan nafkah hidup, pendidikan yang cukup, memelihara kehidupan anak tersebut sampai ia dewasa atau sampai ia dapat berdiri sendiri mencari nafkah. Anak yang sah merupakan tumpuan harapan orang tuanya dan sekaligus menjadi penerus keturunanya.39

b. Anak angkat

Anak angkat dalam hukum Islam, dapat dipahami dari maksud firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 4 dan 5 yang menyatakan :

“Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanya perkataanmu dimulutmu saja. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka”

Pengertian anak angkat dalam hukum Islam adalah yang yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan

38 H. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Material dalam Praktek Peradilan Agama, Editor

Iman Jauhari, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, 102.


(44)

putusan pengadilan.40 Dengan adanya pengangkatan anak, maka anak angkat itu tidak

mengakibatkan berubahnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkatnya baik dalam hubungan keturunan/darah maupun dalam hubungan muhrim. Sehingga status anak angkat terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya ia tidak mewarisi tetapi memperolehnya melalui wasiat dari orang tua angkatnya, apabila anak angkat tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka ia diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.41 Dalam hukum Islam, lembaga (peraturan) pengangkatan anak, anak angkat itu tidak mempunyai hubungan darah antara orang tua angkat dengan anak angkatnya. Hal ini berarti bahwa di dalam hukum Islam anak angkat tidak dijadikan dasar mewarisi, karena prinsip dasar untuk mewarisi adalah hubungan darah dan perkawinan, demikian juga pengangkatan anak tidak mengakibatkan halangan untuk melangsungkan perkawinan.

c. Anak tiri

Mengenai anak tiri ini dapat terjadi apabila dalam suatu perkawinan terdapat salah satu pihak baik isteri atau suami, maupun kedua belah pihak masing-masing membawa anak kedalam perkawinanya. Anak itu tetap berada pada tanggung jawab orang tuanya, apabila didalam suatu perkawinan tersebut pihak isteri membawa anak yang di bawah umur (belum dewasa) dan menurut keputusan pengadilan anak itu

40 Lihat Pasal 171 huruf h Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam.

41 Lihat Pasal 209 ayat (2) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum


(45)

masih mendapat nafkah dari pihak bapaknya samapai ia dewasa, maka keputusan itu tetap berlaku walaupun ibunya telah kawin lagi dengan peria lain.

Kedudukan anak tiri ini baik dalam Hukum Islam maupun dalam Hukum Adat, Hukum Perdata Barat tidak mengatur secara rinci. Hal itu karena seorang anak tiri itu mempunyai ibu dan bapak kandung, maka dalam hal kewarisan ia tetap mendapat hak waris dari harta kekayaan peninggalan (warisan) dari ibu dan bapak kandungnya apabila ibu dan bapak kandungnya meninggal dunia.42

d. Anak piara/asuh

Anak piara/asuh lain juga dari anak-anak tersebut diatas, karena mengenai piara/asuh ini ia hanya dibantu dalam hal kelangsungan hidupnya maupun kebutuhan hidupnya baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk biaya pendidikan.43

Dalam hal anak piara ini ada yang hidupnya mengikuti orang tua asuh, namun hubungan hukumnya tetap dan tidak ada hubungan hukum dengan orang tua asuh. Selain dari pada itu ada juga anak piara/asuh yang tetap mengikuti orang tua kandungnya, namun untuk biaya hidup dan biaya pendidikanya mendapatkan dari orang tua asuh. Sehingga dengan demikian dalam hal pewarisan, maka anak piara/asuh sama sekali tidak mendapat bagian, kecuali apabila orang tua asuh memberikan hartanya melalui hibah atau kemungkinan melalui surat wasiat.

e. Anak luar nikah

42 Iman Jauhari, Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, hlm. 87. 43 Ibid., hlm. 9.


(46)

Anak luar nikah adalah anak yang lahir dari hasil hubungan kelamin luar Nikah.44 Dalam Hukum Islam anak tersebut dapat dianggap anak di luar nikah adalah 1) Anak zina, adalah anak yang lahir dari hasil hubungan kelamin tanpa pernikahan, karena perbuatan yang dilakukan oleh orang yang menyebabkan kelahiran anak tersebut.

2) Anak mula’anah, adalah anak yang dilahirkan oleh seorang isteri yang mana keberadaan anak itu dibantah oleh suami sebagai anaknya dan menuduh isterinya telah berbuat zina dengan pria lain dengan cara melakukan sumpah li’an terhadap isterinya.

3) Anak shubhat, adalah anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang digauli dengan cara syubhat, yang dimaksud dengan syubhat dalam hal ini, menurut jawad mughaniyah yaitu seorang laki-laki menggauli seorang wanita yang haram atasnya karena tidak tahu dengan keharaman itu.45

Mengenai status anak luar nikah, baik didalam hukum nasional maupun hukum Islam bahwa anak itu hanya dibangsakan pada ibunya, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya.46 Maka hal ini berakibat pula pada hilangnya kewajiban tanggung jawab ayah kepada anak dan hilangnya hak anak kepada ayah

Didalam hukum Islam dewasa dilihat sejak ada tanda-tanda perubahan badaniah baik bagi laki-laki maupun perempuan. Apabila tanda-tanda ini tidak kelihatan maka seorang anak dianggap telah dewasa apabila telah mencapai usia 15 tahun. Dari Ibnu Umar menyebutkan yang artinya :

44 Iman Jauhari, Advokasi Hak-Hak Anak ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan

Perundang-Undangang, Op. cit., hlm. 202.

45 Huzaemah Tahido, Kedudukan Anak diluar Nikah menurut Hukum Islam, Makalah,

KOWANI, Jakarta, hlm. 2. seperti dikutip oleh Enty Lafina Nasution, Tesis Perlindungan Hukum berdasarkan Akta Kelahiran terhadap Anak yang tidak diketahui Asal-Usulnya dan Peraturan Perundang-undangan (Study Kasus di Kota Binjai), Program Pasca Sarjana Universitas Pembangunan Pancabudi, Medan 2009.

46 Lihat Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 100


(47)

“Rasulullah SAW memeriksaku ketika hendak berangkat perang Uhud. Ketika itu aku baru berusia 14 tahun. Beliau tidak membolehkanku pergi berperang. Ketika hendak berangkat ke medan perang khandak beliau memeriksaku pula. Ketika itu aku telah berusia 15 tahun, dan Beliau membolehkanku ikut perang. Kata Nafi’ maka ku datangi Umar Bin Abdul Aziz, ketika itu ia telah menjadi Khalifah. Lalu kusampaikan kepadanya hadist tersebut. Katanya sesungguhnya itu adalah batas antara usia kecil dan dewasa. Lalu dia tulis surat kepada seluruh pegawainya supaya mereka mewajibkan pelaksanaan tugas-tugas agama (mukallaf) bagi setiap anak yang telah mencapai usia 15 tahun. Anak yang kurang dari usia tersebut menjadi tanggungan orang tuanya”.47

Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara peria dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya gadis, bersuami atau janda, jejaka, beristeri atau duda sebagaimana yang berlaku pada hukum perdata. Ada dua macam istilah yang dipergunakan bagi zina yaitu

1) Zina muhson yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah

2) Zina ghairu muhson adalah zina yang dilakukan oleh orang belum pernah menikah, mereka bersetatus perjaka/perawan. Hukum Islam tidak menganggap bahwa zina ghairu muhson yang dilakukan oleh bujang/perawan itu sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap dianggap sebagai perbuatan zina yang harus dikenakan hukuman. Hanya saja hukuman itu kuantitasnya berbeda, bagi penzina muhson dirajam sampai mati sedangkan yang ghairu

muhson dicambuk 100 kali. Anak yang dilahirkan sebagai akibat zina ghairu muhson disebut anak luar perkawinan.48

Dalam kitab al-Ahwal Syakhsiyyah karangan Muhyidin sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Jawad Mughniyah diketemukan bahwa nasab tidak dapat

47 Imam Muslim, Shahih Muslim, terjemah Ma’mur daud, Hadits Nomor 1829, Jilid IV,

Wijaya, Jakarta, 1993, hlm 33. Lihat juga Imam Bukhari, Shahih Bhukari, Hadist Nomor 1241, Terjemahan Zainuddin Hammidi Bukhari, et al, Jilid III, Wijaya, Jakarta, 1981, hlm. 73.

48 Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta,

1991, hlm. 35. Lihat Fathurrahman Djamil, Pengakuan Anak Luar Kawin dan Akibat Hukumnya, PT. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hlm. 75.


(48)

ditetapkan dengan syubhat macam apapun, kecuali orang yang melakukan syubhat itu mengakuinya, karena ia sebenarnnya lebih mengetahui tentang dirinya. Tentang hal yang terakhir ini disepakati oleh para ahli hukum di kalangan sunny dan syaiah.49

Hukum Islam membedakan Syubhat kepada dua bentuk yaitu :

1) Anak syubhat dalam akad, adalah manakala seorang laki-laki melaksanakan akad nikah dengan seorang wanita seperti halnya dengan akad nikah sah lainya, tapi kemudian ternyata bahwa akadnya tersebut fasid karena satu dan lain alasan.

2) Syubhat dalam tindakan (perbuatan), yakni manakala seorang laki-laki mencampuri seorang wanita tanpa adanya akad antara mereka berdua baik sah maupun fasid. Semata-mata karena tidak sadar ketika melakukanya, atau dia menyakini bahwa wanita tersebut adalah halal untuk dicampuri, tapi kemudian ternyata bahwa wanita itu adalah wanita yang haram dicampuri. Termasuk dalam kategori ini adalah hubungan seksual yang dilakukan orang gila, orang mabuk dan orang mengigau, serta orang yang yakin bahwa orang yang dia campuri itu adalah isterinya, tapi kemudian ternyata bahwa wanita itu bukan isterinya.50

3. Hak-hak anak dalam hukum Islam

Kedudukan anak dalam pengertian Islam, yaitu anak adalah titipan Allah kepada orang tua, masyarakat, bangsa dan Negara pewaris dari ajaran Islam (Wahyu Allah SWT) yang kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lilalamin.51

Pemberian ini memberikan hak atau melahirkan hak anak yang harus diakui diyakini, dan diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima oleh anak dari orang tua, masyarakat, bangsa dan Negara. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam Surat al-Isra’ (17) yang artinya

49 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh lima mazhab, Lentera, Jakarta, 2007,hlm. 388.

50Ibid. hlm. 389

51 Iman Jauhari, Advokasi Hak-Hak Anak ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan


(49)

“dan janganlah kamu membunuh anak-anak karena takut kemiskinan. Kamilah yang member rezki kepada mereka dan juga kepada kamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”

Ukuran manusia menurut Islam adalah Iman dan akhlak, siapa yang telah memperoleh keduanya, maka tidak berbahaya baginya sekalipun ia memiliki dunia dan tidak pula turun kemuliaanya karena ia hidup sederhana.52

Hak mempunyai dua makna yang asasi, yaitu :

Pertama, “sekumpulan kaidah dan masih yang mengatur dasar-dasar yang harus ditaati dalam hubungan manusia sesame manusia, baik mengenai orang, maupun mengenai harta”. Dalam pengertian yang pertama kali, hak sama dengan makna hukum dalam istilah sarjana ushul. Inilah yang dikehendaki di waktu mengatakan al-Haqqul madaniyah. Kedua, “kekuasaan menguasai sesuatu atau sesuatu wajib atas seseorang bagi selainya”.53

Hak menurut Pengertian umum yaitu suatu ketentuan yang denganya syara’

menetapkan suatau kekuasaan atau suatu beban hukum54

Demikian ini adalah sebagai hak wali bertasharruf atas tiap-tiap anak yang dibawah perwalianya. Hak-hak anak yang mutlak dalam dimensi akidah dan pandangan kehidupan agama Islam, terdiri dari :

1) Hak untuk melindungi anak ketika masih berada dalam kandungan atau rahim ibunya terdapat dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 233

2) Hak untuk disusui selama dua tahun terdapat dalam al-Qur’an Surat Luqman ayat 14

3) Hak untuk diberi pendidikan, ajaran, pembinaan, tuntutan dan akhlak yang benar terdapat dalam al-Qur’an Surat al-Mujadilah ayat 11

52 Abdullah Syah, Harta Menurut Pandangan al-Qur’an, Press Medan, Medan, 1992, hlm.

18.

53 Tengku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, PT. Pustaka Rizki

Putra, Semarang, 1997, hlm. 121.

54 Iman Jauhari. Advokasi Hak-Hak Anak ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan


(50)

4) Hak untuk mewarisi harta kekayaan milik kedua orang tuanya terdapat dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 2, 6 dan 10.

5) Hak untuk mendapatkan nafkah dari orang tuanya terdapat dalam surat al-Qashah ayat 12

6) Hak untuk mempertahankan agama dan aqidahnya, bila dipaksa untuk murtad oleh pelaksana hadhanah terdapat dalam surat Luqman ayat 5155

Hak asasi anak dalam pandangan Islam dikelompokan secara umum ke dalam bentuk hak asasi anak yang meliputi subsistem berikut ini :

a) Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan b) Hak dalam kesucian keturunan

c) Hak anak dalam menerima pemberian nama yang baik d) Hak anak dalam menerima susuan

e) Hak anak dalam mendapat asuhan, perawatan pemeliharaan

f) Hak dalam memiliki harta benda atau hak warisan demi kelangsungan hidup anak yang bersangkutan

g) Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran56

Hak anak dalam pandangan Islam ini memiliki aspek yang universal terhadap kepentingan anak, yaitu :

Meletakan hak anak dalam pandangan Islam, memberikan gambaran bahwa tujuan dasar kehidupan umat Islam adalah membangun umuat manusia yang memegang teguh ajaran Islam dengan demikian, hak anak dalam pandangan Islam meliputi aspek hukum dalam lingkungan hidup seseorang untuk Islam. Cara pandang yang dimaksud tidak saja memposisikan umat Islam yang harus tunduk pada hukum-hukum Islam seperti hukum-hukum pidana Islam, hukum-hukum perdata Islam, Hukum perkawinan Islam, hukum tata negara Islam dan hukum waris sebagai formalitas-formalitas wajib yang harus ditaati oleh umat Islam dan apabila dilanggar maka perbuatan tersebut

55 Iman Jauhari, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Keluarga Poligami, Pustaka

Bansa Press, Jakarta, 2003, hlm. 87


(1)

Fathurrahman, Ilmu Waris, Pustaka al-Ma’arif, Bandung, 1981.

Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, Pustaka Kartini, Jakarta, 2003.

______________, Hukum Perkawinan Nasional, Cetakan I, CV. Zahir Trading, Medan, 1975.

Hasan, M. Ali, Azas-azas Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Wali Press, Jakarta,

H. Taufiq, Pengakuan Anak Wajar Menurut Hukum Islam, Makalah, Kowani, Jakarta, 1996.

________Pengakuan Anak Wajar Menurut Hukum Perdata Tertulis dan Hukum Islam, Dirbinbaperais Depag RI, Jakarta, 1995.

Husni, Ahmad, Ahkam Syai’iyah fi Ahwalisy Syashiyah ‘ala Mazhibil Iman Abu Hanifah, Darul Qutub, Cairo.

Husein, Abdullah Ali, Muqarranah Tasyri’iyah minal qawaninul wadhriyyah wa Tasyri’il Islam muqaranatan bainil fiqhil Qanuniyah faransiy wa mazhabil Imukam Malik, Darul Ihyail Kutub Arabiyah, Cairo, 1997.

Husein, Abdul Rozak, Hak-Hak Anak Dalam Islam, Fikahati, Aneska, Jakarta, 1992. Hamka juzu’ XXI-XXII, Tafsir al-Azhar, pustaka panji mas Jakarta 1988.

______ Lembaga Hidup, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta.

Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992.

Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994,

Ibrahim, Jhoni, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2005, hlm. 336.

Jauhari, Iman, Kapita Selekta Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2007. __________, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Keluarga Poligami,


(2)

___________, Advokasi Hak-Hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan, Pusataka Bangsa, Medan, 2008, hlm. 46.

Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah Shabab al-Azhar, Cairo, 1990, hlm.95.

Lubis, H. Sulaikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Kencana, Jakazrta, 2006.

Muhammad, Abdulkadir, Perkembangan Hukum keluarga di beberapa Negara Eropa, PT. Aditya Bakti, 1998.

M. Situmorang, Victor, Aspek Hukum Catatan Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1991.

Manan, Bagir, Menjadi Hakim Yang Baik, dalam Varia Peradilan, Jakarta, 2007.

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006

____________, Aneka Masalah Hukum Material dalam Praktek Peradilan Agama, Editor Iman Jauhari, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003

Muslim, Imam, Shahih Muslim, terjemah Ma’mur daud, Hadits Nomor 1829, Jilid IV,

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, Jakarta, 2007. Muchsin, Masa Depan Hukum Islam, BP Iblam, Jakarta, 2004, hlm. 11.

Mahalli, Ahmad Mudjib, Hasbullah, Ahmad Rodli, Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alaih, Prenada media, Jakarta, 2004.

Nuruddin, H. Amiur, Azhari akmal tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2004


(3)

Prinst, Darwin, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Balai Pustaka, Jakarta, 2002,

Qal’ahji, Muhammad Rawwas, Ensklopedi Fiqh Umar bin Khattab, r.a. PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, 1999.

Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Jilid 2, Pustaka Amani, Jakarta, 2007. Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1975.

Soekanto, Soerjono Soekanto dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta 1990.

_________________, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986.

Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung,2000.

______, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, Jilid XV, Lentera Hati, 2004.

Sabiq, As-Sayid, Fiqhu as Sunnah, Jilid III. Dar as-Tsaqafah al-Islamiyah, tanpa tempat dan tahun

_____________, Fiqh Sunnah, Jilid 8, Penerjemah Moh. Thalib, PT Al-Ma’arif, Bandung, 1994

_____________, Fiqh Sunnah Jilid 7, Penerjemah Moh. Thalib, PT al-Ma’arif Bandung, 1994,

Syah, Abdullah, Harta Menurut Pandangan al-Qur’an, Press Medan, Medan, 1992. Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta

1982.

Subekti, R, Hukum Pembuktian, Prandya Paramita, Jakarta, 1991.

Soimin, Soedharyo Hukum orang dan keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat BW, Hukum Islam dan hukum adat, Penerbit sinar grafika, Jakarta


(4)

Sarifuddin,Amir, Pembahanian Pemikiran Dalam Hukum Islam, Angkasa Raya, Padang, 1993.

_____________ Meretas Kebekuan Ijtihad, Ciputat Press, Jakarta, 2002. _____________Hukum Kewarisan Islam, Prenada media, Jakarta, 2005. _____________Pembaharuan pemikiran Islam, Angkasa Raya, Padang, 1993.

Sjarif, Surini Ahlan dan Elmiyah, Nurul, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Kencana, Jakarta, 2005.

Sembiring, M.U. Beberapa Bab penting dalam Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Program Pendidikan Notariat Fakultas Hukum USU, Medan, 1989,

Thaib, M. Hasballah, dan Harahap, Marhalim, Hukum Keluarga dalam Syariat Islam, Universitas Al-Azhar, Medan, 2010.

_________________, Hukum Islam di Indonesia, Konsentrasi Hukum Islam Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. 2005.

Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Press, Jakarta, 1982

Taufiq, Pengakuan anak Wajar Menurut Hukum Perdata tertulis dan Hukum Islam, Disbinbaperais Depag RI, Jakarta, 1994

Ustman, Fathi, Ustman, al-Fiqhu Islamy wa Tathwwur, Darul Kuwaitiyah, Kuwait, 1989.

Wadong, Maulana Hasan, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000.

Wiratha, Made, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Andi, Yogyakarta, 2006.


(5)

B. UNDANG-UNDANG

Al-Quranul Karim Al-Hadits Nabawiyah

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama

Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Peraturan Pemerintah Nomor. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan anak.

C. MAKALAH, KARYA ILMIYAH DAN INTERNET

A, Husaini, Makalah Anak Istilhaq kaitanya dengan kewenang pengadilan Agama tentang Pengangkatan Anak, Banjar Masin, 2007

Asyrof, A Mukhsin, Mengupas Permasalahan Istilhaq dalam Hukum islam, Makalah Pada Rakernas Akbar Mahkamah Agung Ri, Agustus 2008, Pekan baru. Abbas, H. Hamdan, “Peminjaman Rahim untuk Kandungan Bayi Ditinjau Dari Segi

Islam”, dam Meminjamkan Rahim Untuk Kandungan Bayi, Universitas Washliyah, Medan 1987.

Hawi, H. M. Tarsi, Makalah Anak Laqith dan istilhaq, 31 Juli 2008, Serang (Banten) Lubis, M. Solly, Kita dan Perkembangan Global, Makalah Seminar Hukum (Debat

Publio tentang Kemungkinan Transformasi Hukum Islam ke dalam Hukum Positif di Indonesia), tanggal 13-30 Agustus 2002 di Hotel Darma Deli Medan, Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara, 2002.


(6)

Lubis, Afisah Wardah, “Memahami Perkembangan Psikologi Anak dalam Rangka Implementasi Perlindungan Anak”, Majalah Konvensi, Vol. II No. 1 Maret 1998, LAAI, Medan.

Nasution, Enty Lafina, Tesis Perlindungan Hukum berdasarkan Akta Kelahiran terhadap Anak yang tidak diketahui Asal-Usulnya dan Peraturan Perundang-undangan (Study Kasus di Kota Binjai), Program Pasca Sarjana Universitas Pembangunan Pancabudi, Medan 2009.

Sulaiman , Nukman, seminar sehari tentang Meminjamkan Rahim untuk Kandungan Bayi, Yaspenda Univa, Medan.

http://www.google.com/search?ie=UTF-8&oe=UTF-8&sourceid=navclient&gfns=1&q=mengupas+permasalahan+istilhaq+dala m+hukum+islam

http://meetabied.wordpress.com/2010/06/03/pengesahan-hukum-terhadap-anak-di-luar-nikah/

http://www.badilag.net/data/MENGUPAS%20PERMASALAHAN%20ISTILHAQ.p df