6
BAB : I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan seperangkat
perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan penegakan hukum khususnya pidana yang sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing aparatur penegak
hukum kearah tegaknya hukum, keadilan, ketertiban, kepastian hukum serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Berlakunya UU No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP telah menimbulkan perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap
cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia.
1
Perubahan sikap dan cara bertindak aparat penegak hukum secara keseluruhan. Diantaranya adalah perubahan Sistem Peradilan Pidana SPP dari sistem inkuisitor
inquisitoir yang dianut oleh HIR ke sistem akusatur accusatoir yang dianut oleh KUHAP. Dari sistem akusatur tersangka ditempatkan sebagai subyek dalam
pemeriksaan, yang menurut M. Yahya Harahap bahwa: Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat
dan martabat. Dia harus dinilai sebagai subyek, bukan sebagai obyek.
2
Ansori Sabuan Syarifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad mengatakan bahwa : sejak dikeluarkannya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP di
Indonesia tampaknya ada gejala pertumbuhan ide kearah keterpaduan tersebut. Hal ini tampak misalnya dari adanya kerjasama atau koordinasi masing-masing
lembaga
Polisi, Jaksa,
Hakim, Pengacara
dan Petugas
Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan peradilan pidana.
3
1
Romli Atmasasmita, 1966, Sistem Peradilan Pidana, Criminal Justice System, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra Abardin, Jakarta, h. 47
2
M. Yahya Harahap, 2007, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 134
3
Ansori Sabuan Syarifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad, 1990, Hukum Acara Pidana, Angkasa Bandung, Bandung, h. 15
7
Jadi dalam Sistem Peradilan Pidana beberapa institusi penegak hukum mengambil peran masing-masing dalam menegakkan hukum dan sub sistem tersebut
telah mempunyai kewenangan fungsi dan peran masing-masing yang telah diatur dalam undang-undang tersendiri. Sub sistem yang satu dengan yang lainnya mempunyai
hubungan yang sangat erat, bahkan dapat dikatakan saling menentukan dan bergantung untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam penegakan hukum maupun bertujuan
menanggulangi kejahatan baik dalam bentuk pencegahan maupun penanganan kejahatan Salah satu bagian terpenting dari hukum acara pidana adalah pemeriksaan
pendahuluan, yang dalam prakteknya berkaitan dengan tersangka atau terdakwa yang dilakukan oleh penyidik menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara
pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti dan dengan bukti-bukti itu akan membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Serta pada gilirannya pengadilan benar-benar mampu menetapkan pidana atau menghukum orang yang bersalah dan membebaskan orang yang tidak bersalah.
Menurut La Patra, masyarakat mempunyai pengaruh terhadap sistem peradilan pidana. La Patra menyebutkan bahwa :
Applaying systems analysis faces the same problem in Criminal Justice System CJS as it does in other social systems. The systems approach frequently bites
the hand that feeds it. Whenever a social process is being investigated, that resulting recommendations usually threaten the status quo, including the source
of the financial support, which initiated the investigation. It is ridiculous for researcher to believe that results are acceptable if the will substantially change
on going organizational procedure.
4
Dalam terjemahan bebasnya: Menerapkan analisis sistem menghadapi masalah yang sama dalam Sistem
Peradilan Pidana SPP seperti dalam sistem sosial lainnya. Pendekatan sistem sering mengena kepada penggunanya. Setiap kali sebuah proses sosial sedang diselidiki,
bahwa rekomendasi yang dihasilkan biasanya mengancam status quo, termasuk sumber dukungan keuangan, yang dimulai penyelidikan. Hal ini konyol bagi peneliti untuk
percaya bahwa hasil yang dapat diterima jika secara substansial akan mengubah prosedur organisasi berjalan.
4
J.W. LaPatra, Analyzing the Criminal Justice System, Lexington Books, D.C. Heath and Company Lexington, Massachusetts Toronto, USA, h. 98
8
Kekurang telitian dalam pemeriksaan pendahuluan dapat memperoleh ganti rugi, serta rehabilitasi nama baiknya. Konsekuensinya adalah perlunya kesadaran para
penegak hukum untuk memandang tersangka atau terdakwa sebagai subyek dan bukan sebagai obyek penyidikan dengan berlandaskan asas atau pandangan “praduga tidak
bersalah” pada tiap tingkat pemeriksaan termasuk pada pemeriksaan pendahuluan. Kenyataan menunjukkan seringnya terjadi kekeliruan dalam proses penyidikan
seperti salah tangkap ataupun sering terjadi yang melakukan tindak pidana dapat lolos sedangkan, yang tidak terlibat ditangkap dan kemudian menjadi terdakwa dan terpidana.
Peran dan fungsi pembuktian dalam suatu proses hukum menjadi sangat penting, baik bagi si tersangka maupun Jaksa dalam proses peradilan pidana dan untuk
menentukan apakah si tersangka dapat di hukum atau tidak. Disamping itu hukum pembuktian akan terkait pula secara langsung dengan masalah keadilan yang memang
merupakan tujuan utama dari setiap kaidah hukum di bidang apapun. Mewujudkan tujuan seperti yang telah dikemukakan di atas maka segala hal
yang berkaitan dengan pembuktian pun mengalami perubahan antara lain pengakuan tersangka pada masa ini tidak lagi menjadi hal yang terpenting sebagai alat bukti, tetapi
masih diperlukan alat bukti lainnya seperti keterangan ahli, dimunculkan sebagai alat bukti seperti yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita :
Undang-undang No.8 Tahun 1981 dapat juga dikatakan merupakan landasan bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik
dan berwibawa serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, tertuduh atau terdakwa sebagai seorang manusia.
5
Seperti telah diuraikan di atas bahwa telah berlakunya UU No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP maka ada beberapa perubahan yang terjadi dalam KUHAP yang baru
antara lain tentang : SPP, Pembuktian terutama tentang jenis-jenis alat bukti dan lain sebagainya. Khusus mengenai alat-alat bukti Pasal 184 KUHAP telah menentukan
bahwa yang dinyatakan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP yaitu : a.
Keterangan saksi b.
Keterangan ahli
5
Romli Atmasasmita, Op-cit, h. 35
9
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Mempergunakan keterangan ahli sebagai alat bukti dalam KUHAP, menurut Wiryono Prodjodikoro, mengatakan bahwa : Keterangan tentang penghargaan dan
kesimpulan dari para ahli seringkali mengenai sebab dan akibat dalam suatu perbuatan terdakwa, maka dapat membuktikan pula adanya suatu peristiwa pidana.
6
Pasal 184 KUHAP terdapat lima 5 alat bukti sah yang dipakai di persidangan, dimana salah satunya menyebutkan ”keterangan ahli”. Mengenai makna dari pasal
tersebut, ada kekaburan dalam pasal ini, dimana tidak diaturnya mengenai ”siapa yang disebut ahli”, ”kriteria seorang ahli” ataupun ”persyaratan” untuk menjadi seorang ahli
di dalam pasal tersebut. Pasal 1 butir 28 KUHAP menyebutkan bahwa :
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada sekarang ini
sangat membantu dalam memecahkan sebuah kasus. Keberadaan ataupun eksistensi keterangan ahli sangatlah diperlukan, karena dengan adanya keterangan ahli maka
diharapkan sebuah kasus akan menjadi terang. Begitu pentingnya manfaat dan peranan keterangan ahli yang dilandasi oleh
keahlian khusus yang di milikinya, tetapi apabila dihubungkan dengan Pasal 120 ayat 1 KUHAP, bahwa dalam hal penyidik menganggap perlu, dapat meminta pendapat
seorang ahli. Hal ini menunujukkan bahwa keterangan ahli itu diperlukan atau tidak adalah
tergantung dari keinginan hakim, dan sebelumnya harus mengangkat sumpah atau janji di hadapan hakim, sebelum memberikan keterangan.
6
Wiryono Prodjodikoro, 1977, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, h. 107
10
Merujuk pada Pasal 186 KUHAP yang menyatakan bahwa : “Keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan”. Makna dari keterangan ahli sebagai keterangan ahli adalah apabila seorang ahli
tersebut hadir dan memberikan pernyataan di depan sidang pengadilan. Namun apabila seorang ahli yang dimintai keterangan oleh Hakim tidak hadir dalam persidangan maka
keterangan ahli tersebut disebut dengan keterangan surat. Manfaat dan peranan keterangan ahli dalam mengungkap suatu peristiwa pidana,
berikut ini dikemukakan beberapa kasus agar tidak terjadi salah tangkap, salah penahanan, menghindari kerugian matriil maupun immatrril serta penyimpangan dan
juga agar bisa mendapatkan bayangan betapa hal-hal yang kadang-kadang mustahil bisa terjadi sehingga perlu kehati-hatian dalam pelaksanaan penyidikan perkara pidana.
Adapun kasus-kasus tersebut adalah sebagai berikut : Pengadilan Negeri Jakarta pernah menyidangkan kasus pembunuhan yang dalam
proses persidangan sebetulnya telah ditunjukkan keterangan ahli yang disebut dengan “visum et repertum” sebagai pengganti barang bukti serta keterangan terdakwa, tetapi
Hakim masih ada keragu-raguan maka memerlukan lagi kehadiran saksi ahli di sidang pengadilan. Hakim belum mendapatkan keyakinannya sehingga belum menganggap
cukup terang kasus tersebut.
7
Kasus di atas dapat di lihat bahwa walaupun visum et repertum yang berfungsi sebagai pengganti barang bukti sudah di ajukan di persidangan karena mayat sebagai
obyek pemeriksaan tidak mungkin sewaktu-waktu di hadirkan di sidang pengadilan, Hakim belum dapat menambah keyakinannya terhadap visum et repertum tersebut untuk
membuat putusan sehingga memerlukan lagi kehadiran seorang ahli yang lain di sidang pengadilan untuk menjelaskan kembali secara lisan hasil pemeriksaan ahli tersebut.
Pada kasus berikutnya pun terbukti bahwa Hakim tidak terikat akan adanya visum et repertum atau keterangan ahli sebagai dasar putusan untuk menentukan ada
tidaknya tindak pidana, tetapi hanya sebagai bahan pertimbangan bagi Hakim apakah
7
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, PT. Bina Aksara, Jakarta, h. 127
11
akan menambah atau tidak keyakinannya, semua itu adalah tergantung dari penilaiaan Hakim itu sendiri. Hal itu terjadi antara lain karena disebabkan oleh wewenang Hakim
yang bebas, Hakim adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang dilindungi oleh undang-undang baik menurut Pasal 24, 25 UUD NRI Tahun 1945 maupun Undang-
undang Kekuasaan Kehakiman yaitu Undang–undang Nomor 14 Tahun 1970, Bagian ketentuan Umum Pasal 1.
Untuk kasus yang terjadi di Amerika Serikat yang dikutip dari Soedjono D, yang diceritakan oleh seorang Guru Besar dalam ilmu kedokteran kehakiman yaitu Prof. DR.
Hausmann, menangani kasus kebakaran besar yang terjadi di tahun 1959 di sebuah rumah dekat San Antonio. Diantara reruntuhan diketemukan 3 mayat yang hampir tidak
dapat dikenali sebagai badan manusia, karena sapi-sapi yang ada di pekarangan rumah telah ditembak mati. Para penegak hukum setempat menyangka peristiwa itu adalah
kejahatan.
8
Pada kasus diatas awalnya diduga bahwa itu adalah hasil dari kejahatan. Namun setelah dilakukan autopsi ulang di rumah sakit ditemukan bahwa di dalam kepala 3
mayat tersebut, ditemukan masing-masing 1 butir peluru, maka diketahaui bahwa itu adalah penyebab kematian dari mayat tersebut. Oleh Prof. DR. Hausmann disimpulkan
bahwa peristiwa itu terjadi karena pembunuhan yang dilakukan oleh ayah dengan cara menembak kepala masing-masing korban sebelum membakar rumah, kemudian
menembak sapi-sapinya, lalu membakar rumahnya dan baru ayah tersebut menembak dirinya sendiri.
Keterangan ahli dapat memperlancar jalannya sidang dan dengan keterangan ahli diharapkan dapat menambah keyakinan Hakim tentang benar atau tidaknya tuduhan
dari pihak kejaksaan. Dari keterangan ahli dapat diketahui sebab dari kematian seseorang dan dapat membuktikan adanya suatu tindak pidana pembunuhan, apakah
pembunuhan itu masuk kedalam lingkungan tindakan terdakwa atau tidak. Walaupun pendapat dari seorang ahli tersebut disetujui atau tidak oleh Hakim,
maka apabila disetujui Hakim menganggap terbukti pembunuhan antara lain dengan mempergunakan pendapat seorang ahli tentang sebab itu. Di lihat dari penjelasan ini
dapatlah kiranya diketahui bahwa keterangan ahli di masukkan juga sebagai alat bukti
8
Ibid, h. 76-77
12
karena seorang ahli akan menerangkan sesuatu hal sesuai dengan keahliannya berdasarkan pengalaman dan ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya.
Berdasarkan atas pemaparan dari latar belakang tersebut, bahwa keterangan ahli sangatlah diperlukan dalam sidang peradilan, namun pengaturan mengenai hal tersebut
belumlah ada mengingat pentingnya keterangan ahli dalam membantu mengungkap suatu tindak pidana dari yang samar-samar sebagai tindak pidana menjadi terang,
apakah itu tindak pidana atau bukan. Untuk mengetahui hal tersebutlah perlu diadakan penelitian.
2. PERUMUSAN MASALAH