TINJAUAN TENTANG KEKUATAN ALAT BUKTI AHLI KETERANGAN DOKTER DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA DI PENGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA)

(1)

commit to user

i SKRIPSI

TINJAUAN TENTANG KEKUATAN ALAT BUKTI AHLI KETERANGAN DOKTER DALAM PROSES PEMBUKTIAN

PERKARA PIDANA DI PENGADILAN

(STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA)

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Melengkapi Derajat Sarjana Dalam Ilmu Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh : KARISMA

E.0004197

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA


(2)

commit to user


(3)

commit to user


(4)

commit to user

iv

Mot t o dan Per sembahan

Sesuat u yang baik, bel um t ent u benar . Sesuat u yang benar , bel um t ent u baik. Sesuat u yang bagus, bel um t ent u ber har ga. Sesuat u yang ber har ga/ ber guna, bel um t ent u bagus.

J angan per nah mal u unt uk ber kat a Maaf ,

Maka hat imu akan t er l at ih dan t er biasa unt uk ikhl as dan sabar . ( Mama T r i Handayani Per t iwi, SE.)

PENU LISAN HU KU M INI KU PERSEMBAHKAN U NT U K :

Al l ah SWT yang t el ah membar ikan per l indungan dan r ahmat -Nya sedemikian besar dan t ak hent i-hent inya

Papa dr . H. Mar wot o, MSc., SpMK. Yang t el ah member ikan dor ongan semangat , nasehat dan t aul adan bagiku…kar ena papa aku menger t i ar t i semangat , masa depan, ker ingat , ker j a ker as, ket abahan dan kedewasaan..senyum dan t awamu begit u ber har ga dihat iku, ku ingin seper t imu papa….

M ama T r i Handayani Per t iwi, SE. t er cint a unt uk mar ah, nasehat , senyum, t awa, air mat a, bahagia dan

segal anya…t r imakasih t el ah buat ku sadar dan menger t i akan kehidupan, kubegit u mengagumi pr insip dan car a mama menghadapi segal anya…

Adik-adikku t er cint a Kinant i, Kumal a, dan Kidung Asmor o Mar wot o unt uk segal a kasih sayang, kebahagiaan, canda t awa, dan r asa mal uku kar na kal ian l ebih cer das dan pint ar ...aku bangga pada kal ian..t r imakasih kar na kal ian sel al u menghadir kan t awa buat ku, kal ian begit u cemer l ang…

M bah Put r i Sar mi dan Kakung M ingun Mar t o Suwit o di sal ah sat u al am mil ik Al l ah…wal aupun hanya sedikit yang kuingat , namun kenanganmu sel al u l ekat di hat iku…aku akan membanggakanmu mbah, seper t i papa….


(5)

commit to user

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kekuatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan hukum dengan judul “TINJAUAN TENTANG KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN DOKTER DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA DI PENGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA)”

Dalam penyelesaian penulisan hukum ini tentu saja dapat terwujud berkat bantuan berbagai pihak baik berupa bimbingan, dorongan semangat dan dukungan secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Allah SWT dan Muhammad SAW yang telah memberi dan menyebarkan rahmat

kepada semesta alam.

2. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Edy Herdyanto, SH. M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara.

4. Bapak Kristiadi, S,H, M.Hum., selaku pembimbing akademik dan sekaligus dosen

pembimbing penulisan hukum yang telah banyak meluangkan waktu memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis.

5. Bapak Bambang Santoso, SH., Mhum. yang telah memberikan ide bagi penulis

untuk penulisan hukum ini.

6. Kedua orangtuaku dr. H. Marwoto, MSc.,SpMk., dan Hj. Tri Handayani Pertiwi,

S.E., beserta ketiga adikku Kinanti, S.Ked., Kumala, dan Kidung Asmoro Marwoto yang selalu memberikan dukungan, doa, kebahagiaan dan kebersamaan dalam setiap hariku, terimakasih atas segalanya.

7. Taufik Teguh. yang manjadi inspirasi dan semangat dalam melewati hari-hariku

akhir-akhir ini, trimakasih karena kamu telah hadir dan menyayangiku.

8. Mbah Kakung Mingun Marto Suwito dan Mbah putri Sarmi Marto Suwito yang


(6)

commit to user

vi

sehingga tidak pernah merasa lelah dan bosan menasehatiku berulang-ulang dan berkali-kali.

9. Keluarga besar Mbah Sutojo Jaten, budhe, bulik, om, mas-masku, adik-adikku.

Terimakasih karena kehidupan kalian sudah menjadi salah satu cermin untuk setiap langkah yang kuambil dalam hidup.

10. Teman-teman seperjuangan dan seangkatan 2004 fakultas hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

11. Kosnya Gagah, Kartini I. Mbak Andri, mbak Arie, mbak Ita, Ventin, Elvi, Rina, Nanda, Ike, Panda, Faul, Vie, Dinda. Satu atap telah membuat kita berkeluarga dan kompak. Ayo gapai cita-cita untuk slalu mengedepankan emansipasi wanita. 12. Teman-teman Pondok Pesantren Assalam 286.

13. Teman-teman komunitas Mig33 dhita, dicka, ayuk, mas nezz, fryant, emo, khansa, penyu, dan teman-teman komunitas Mig33 se-Jawa Tengah, terimakasih telah memberikanku motifasi dengan kemalasan kalian menyelesaikan skripsi. Kali ini aku menang duluan dalam kompetisi kita kawan, haha!

14. Teman-teman Komunitas Suzuki Thunder se Jawa, friendship never end. Keep Brotherhood!

15. Semua pihak yang tercecer yang tak sempat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dengan segenap kerelaannya sehingga penulisan hukum ini bisa terselesaikan.

Terima kasih atas bantuan dan motifasi yang telah diberikan kepada penulis dalam penulisan hukum ini, semoga Allah SWT membalas semua budi baik yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini, masih terdapat kelemahan dan kekurangan. Oleh sebab itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap penulisan hukum yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Surakarta, 2011 Penulis


(7)

commit to user

vii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.……...………... i

HALAMAN PERSETUJUAN.………... ii

HALAMAN PENGESAHAN………... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN.………... iv

KATA PENGANTAR.………... v

DAFTAR ISI.………...………. vii

ABSTRAK.………...….... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Pembatasan Masalah………..…... 4

C Perumusan Masalah... 4

D. Tujuan Penelitian... 5

E. Manfaat Penelitian... 5

F. Metode Penelitian... 6

1. Jenis Penelitian... 6

2. Lokasi Peneltian... 6

3. Jenis Data... 6

4. Sumber Data... 7

5. Teknik Pengumpulan Data... 7

4. Teknik Analisis Data... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori... 10

B. Penjelasan... 10

1. Tinjauan tentang sistem pembuktian perkara pidana... 11


(8)

commit to user

viii

b. Teori-teori dasar pembuktian... 11

c. Dasar sistem pembuktian negatif... 11

d. Macam-macam alat bukti yang sah... 13

2. Tinjauan tentang keterangan dokter... 16

a. Dokter sebagai ahli... 16

b. Bantuan dokter sebagai ahli... 18

c. Fungsi keterangan dokter sebagai ahli di Pengadilan... 20

d. Tata cara permintaan penyidik kepada dokter sebagai ahli... 23

e. Cara dokter menyampaikan keterangan... 24

f. Kewajiban dokter sebagai ahli... 30

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 32

A. Kekuatan Pembuktian Keterangan Dokter Dalam Proses Pembuktian Perkara Pidana di Persidangan... 32

1. Deskripsi kasus... 32

2. Identitas terdakwa... 32

3. Dakwaan... 32

4. Alat bukti yang digunakan Penuntut umum... 71

5. Pertimbangan hakim dalam menilai alat bukti keterangan ahli kedokteran... 83

Pembahasan... 85

B. Hambatan dalam penggunaan keterangan dokter sebagai alat bukti dalam proses peradilan... 86

BAB IV PENUTUP A. Simpulan... 88

B. Saran-saran... 89 DAFTAR PUSTAKA


(9)

commit to user

ix ABSTRAK

KARISMA, E. 0004197, TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN DOKTER DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA DI PENGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA), Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, Tahun 2010.

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tinjauan tentang kekuatan pembuktian keterangan dokter dalam proses pembuktian perkara pidana di pengadilan. Adapun permasalahan yang diteliti adalah tentang kekuatan pembuktian keterangan dokter dalam proses pembuktian perkara pidana di Pengadilan beserta hambatan-hambatan yang muncul dalam kegunaan keterangan dokter sebagai alat bukti dalam proses peradilan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah yang diteliti / diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan pada fakta-fakta yang nampak atau sebagaimana mestinya. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dikumpulkan dengan wawancara dan observasi serta studi pustaka dengan mempelajari buku-buku literature-literatur, peraturan perundangan yang berlaku dan berkas perkara di Pengdilan Negeri Surakarta yang kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif.

Kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan adalah bahwa keberadaan Ilmu Kedokteran Kehakiman sangat penting dalam suatu proses pembuktian perkara pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dimana keterangan dari dokter ahli ilmu kedokteran kehakiman dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Sehingga kekuatan ilmu kedokteran kehakiman yang digunakan dokter sebagai dasar dalam pemberian keterangan ahli dalam proses pembuktian penyelesaian perkara pidana dapat menjadi bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, karena merupakan salah satu alat bukti sebagai pencapaian kebenaran secara materiil.

Keterangan dokter sebagai ahli dan Visum et Repertum memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pandangan hakim dalam menilai suatu perbuatan pidana. Namun Visum et Repertum dan keterangan dokter sebagai ahli mempunyai kekuatan pembuktian yang lemah apabila tidak sejalan dengan alat bukti yang lain, khususnya alat bukti keterangan saksi korban atau keterangan terdakwa.


(10)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam ruang lingkup hukum pidana yang luas, hukum pidana dibagi menjadi dua bagian hukum yaitu hukum pidana substantif (materiil) maupun hukum acara pidana (hukum pidana formal). Hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substantif (materiil), sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana. Penjatuhan sanksi dalam hukum pidana diwajibkan untuk memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu menyangkut hukum pidana materiil dan hukum pidana formil (hukum acara pidana). Sedangkan fungsi hukum acara pidana menurut van Bemmelem adalah mencari dan menemukan kebenaran, pemberian keputusan oleh hakim, dan pelaksanaan keputusan (Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, 1984).

Berdasarkan pendapat tersebut, hukum acara pidana dalam rangka penegakan hukum pidana menduduki posisi yang sangat penting dan menentukan dalam penyelesaian perkara pidana di pengadilan. Salah satu tugas pokok dari hukum acara pidana ialah untuk menemukan kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang sesungguh-sungguhnya. Proses pencarian kebenaran materiil atas peristiwa pidana melalui tahap-tahap tertentu yaitu, dimulai dari tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan untuk menentukan lebih lanjut putusan pidana yang akan diambil. Putusan pidana oleh hakim tersebut didasarkan pada adanya kebenaran materiil yang tepat dan berlaku menurut undang-undang, dalam hal ini hukum acara pidana.

Penemuan kebenaran materiil tidak terlepas dari masalah pembuktian, yaitu kejadian yang konkret dan senyatanya. Membuktikan sesuatu menurut hukum pidana berarti menunjukkan hal-hal yang ditangkap oleh panca indera, mengutarakan hal-hal


(11)

commit to user

tersebut dan diutarakan secara logika. Hal ini karena hukum pidana hanya mengenal pembuktian yang dapat diterima oleh akal sehat berdasarkan peristiwa yang konkret.

Pembuktian dalam perkara pidana menurut pasal 184 KUHAP memerlukan adanya alat bukti yang sah, yaitu keterangan saksi, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana menurut Pasal 183 KUHAP, sekurang-kurangnya berdasarkan dua alat bukti yang sah, yang dapat menentukan keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa. Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada proses persidangan.

Salah satu tugas pokok dari hukum acara pidana ialah untuk menemukan kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang sesungguh-sungguhnya Tugas itu tidaklah mudah bagi penyidik, penuntut umum dan hakim yang tidak berada pada tempat dimana tindak pidana itu terjadi. Penyidik, penuntut umum, dan hakim tidak menyaksikan sendiri bagaimana proses berlangsungnya tindak pidana itu dan siapa yang menjadi pelakunya. Tugas yang sangat berat itu baru dilaksanakan hanya dengan memanfaatkan saksi, terdakwa, tersangka, dan barang bukti.

Di dalam penanganan masalah kriminal, seringkali mengalami kesulitan

dalam pemeriksaan barang bukti (BB) terutama dalam hal ini, berkaitan dengan perkara pidana. Sehingga diperlukan “penerjemah” dalam menerjemahkan barang bukti yang ada. Penerjemah yang dimaksud adalah seorang ilmuwan yang dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dapat menerjemahkan barang bukti yang ada sehingga dapat dimengerti oleh pihak-pihak yang berkepentingan yaitu polisi, hakim, jaksa/penuntut umum, penyidik, pembela, maupun terdakwa sendiri. “Penerjemah” ini lazim disebut saksi ahli, yaitu orang-orang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (KUHAP Pasal 1 butir 28).

Dalam hal penerjemahan barang bukti yang berupa manusia (hidup atau mati) atau sesuatu yang merupakan bagian tubuh dari manusia, aparat penegak hukum


(12)

commit to user

sering menemukan hal-hal yang tidak bisa diterjemahkan. Oleh karena itu untuk mengatasinya, aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik, jaksa dan hakim dapat meminta bantuan pada orang yang memiliki keahlian khusus yang berkaitan dengan masalah tersebut dan diharapkan dapat menjawab, memecahkan dan memperjelas tindak pidana yang dihadapi. Yaitu seseorang yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang anatomi, fisiologi, biokimiawi, patologi, dan ilmu kedokteran forensik. Ilmu pengetahuan yang digunakan itu dinamakan Ilmu Kedokteran Kehakiman.

Pengertian Ilmu Kedokteran Kehakiman sendiri adalah ilmu yang menggunakan ilmu kedokteran untuk membantu peradilan baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara lain (R. Atang Ranoemihardja, 1983 : 10). Pengaturan mengenai keberadaan Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam fungsinya untuk membantu aparat penyidik termuat dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP.

Dalam hal ini keterangan ahli yang digunakan adalah keterangan dokter. Dalam proses pembuktian perkara pidana di persidangan, dokter dimintai keterangannya tentang masalah yang berkaitan dengan ilmu kedokteran. Kepada dokter tidak disodori sesuatu barang bukti untuk diperiksa, melainkan disodori berbagai pertanyaan atau diminta untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan ilmu kedokteran yang tidak diketahui oleh hakim. Dari jawaban atau keterangan dokter itu maka persoalan yang tidak diketahui oleh penegak hukum yang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya menjadi jelas.

Peran Ilmu Kedokteran Kehakiman tidak dapat dilepaskan dari orang yang memilikinya, yaitu dokter yang melakukan pemeriksaan barang bukti guna membantu penyidik dalam menemukan bukti perkara pidana yang sedang ditanganinya. Hakim pada dasarnya dapat memberikan vonis sesuai keyakinannya, hakim juga tidak terikat pada keterangan saksi ahli dan dapat menolak keterangan tersebut jika bertentangan dengan keyakinan hakim, tetapi hakim tetap terikat dalam Pasal 183 KUHAP.


(13)

commit to user

Dengan adanya hal-hal tersebut diatas, maka penulis dalam rangka penyusunan penulisan hukum sebagai syarat guna menyelesaikan program kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret memilih judul :

“TINJAUAN TENTANG KEKUATAN ALAT BUKTI AHLI KETERANGAN DOKTER DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA DI PENGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN SURAKARTA).”

B. Pembatasan Masalah

Mengingat betapa luas ruang lingkup Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam penerapannya di proses peradilan perkara pidana, sehingga penulis tidak mungkin mengadakan penelitian secara mendalam, menyeluruh, karena didasari kemampuan penulis yang sangat terbatas. Agar penelitian dapat dilaksanakan secara terarah dan menghindari kemungkinan pembahasan yang menyimpang. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis bermaksud membatasi ruang lingkup permasalahan dengan kekuatan pembuktian keterangan dokter dalam proses pembuktian penyelesaian perkara pidana.

C. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam suatu penelitian sangat penting karena merupakan suatu pedoman serta mempermudah penulis dalam membahas permasalahan yang akan diteliti, sehingga sasaran yang hendak dicapai jelas sesuai dengan apa yang diharapkan.

Maka berdasarkan uraian latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang telah disebutkan diatas sekiranya perlu dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas. Adapun perumusan masalahannya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian keterangan dokter dalam proses pembuktian

perkara pidana di Pengadilan Negeri?

2. Hambatan apa yang muncul dalam penggunaan keterangan dokter sebagai alat


(14)

commit to user

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan sasaran yang ingin dicapai sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi (tujuan obyektif) dan untuk memenuhi kebutuhan (tujuan subyektif). Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan pembuktian keterangan dokter dalam

proses pembuktian perkara pidana di Pengadilan.

b. Untuk mengetahui cara menanggulangi hambatan-hambatan yang muncul

dalam pemggunaan keterangan dokter sebagai alat bukti dalam proses peradilan.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperoleh data dan pengetahuan sebagai hasil penelitian untuk

menjawab permasalahan yang ada dalam rangka penyusunan penulisan hukum yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dibidang ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah wawasan dalam memperluas pemahaman akan arti penting

ilmu hukum dalam teori dan praktek.

c. Untuk meningkatkan serta mendalami berbagai materi yang diperoleh di

dalam maupun di luar perkuliahan.

E. Manfaat Penelitian

Dalam suatu penelitian diharapkan akan memberikan manfaat yang berguna, khususnya bagi ilmu pengetahuan di bidang penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi perkembangan

Hukum Acara Pidana khususnya mengenai kekuatan pembuktian keterangan dokter sebagai saksi ahli dalam proses pembuktian perkara pidana di Pengadilan.


(15)

commit to user

b. Hasil penelitian ini diharapkan menambah referensi dan literatur kepustakaan di bidang Hukum Acara Pidana khususnya dalam hal kejahatan pelanggaran hukum pidana.

c. Hasil penelitian ini, dapat dipergunakan sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian yang sejenis di kemudian hari.

2. Manfaat Praktis

a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

b. Dengan adanya hasil penelitian ini, dapat mengembangkan pemikiran,

penalaran, pemahaman, tambahan pengetahuan serta pola kritis bagi penulis dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam penelitian atau bidang ini.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan penulis dalam karya tulis ini adalah penelitian hukum deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu mempertegas teori-teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1986 : 2). Berdasarkan pengertian tersebut diatas, metode penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan dan menguraikan tentang kekuatan pembuktian keterangan dokter dalam proses pembuktian perkara pidana.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan ditempat yang berkaitan dengan ilmu kedokteran dan kasus-kasus yang berkenaan dengan Ilmu Kedokteran Kehakiman, yaitu Pengadilan Negeri Surakarta.

3. Jenis Data


(16)

commit to user

a. Data Primer

Merupakan sejumlah data yang diperoleh secara langsung dari sumber data untuk tujuan penelitian. Adapun data tentang penelitian ini diperoleh dari ahli Ilmu Kedokteran Kehakiman, aparat-aparat penegak hukum diwilayah surakarta, sehingga diharapkan agar hasil yang diperoleh merupakan hal yang obyektif dan sesuai dengan objek yang diteliti.

b. Data Sekunder

Merupakan sejumlah data yang digunakan untuk mendukung data pimer. Data sekunder ini meliputi data yang diperoleh dengan cara penelitian kepustakaan / melalui literatur-literatur, himpunan peraturan perundang-undangan yang berlaku, hasil penelitian yang terwujud laporan, maupun bentuk-bentuk lain yang berkaitan dengan penelitian

4. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer yang digunakan berupa hasil wawancara dengan ahli hukum kedokteran kehakiman dan aparatur penegak hukum di wilayah hukum Surakarta.

b. Sumber Data Sekunder

Yaitu keterangan-keterangan yang diperoleh dengan mempelajari dokumen-dokumen yang berhubungan dan dapat menunjang permasalan yang diteliti serta literature-literatur atau buku-buku kepustakaan mengenai Ilmu Kedokteran Kehakiman, hukum pidana, dan hukum acara pidana, khususnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

5. Teknik Pengumpulan Data

Guna memperoleh data yang sesuai dan mencakup permasalahan yang diteliti, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan aparat-aparat dari instansi terkait dan studi kepustakaan, yaitu dengan membaca buku-buku literature, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, makalah ilmiah, hasil-hasil penelitian yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang sedang diteliti.


(17)

commit to user

6. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian dalam bentuk laporan data yang diadakan suatu penganalisaan data. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti dalam data (Lexy J. Moleong, 2002: 103).

Data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dan kualitatif. Data dijabarkan sehingga menggambarkan permasalahan dan selanjutnya dipilih, disusun, dan diolah berdasarkan kualitas yang relevan untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang ada secara jelas dan lengkap berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan.

Menurut Sutopo, analisis data kualitatif adalah upaya berlanjut, berulang, dan terus-menerus. Masalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul. Adapun model analisis data yang dipergunakan adalah model analisis data interaktif.

Model analisis ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Komponen-komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian kepada penyerdehanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari

Pengumpulan Data

Sajian data Reduksi data


(18)

commit to user

catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus menerus bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sampai sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun.

b. Penyajian Data

Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

c. Penarikan kesimpulan / Verifikasi

Dalam pengumpulan data, seorang penganalisa kualitatif mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proporsi. Kesimpulan-kesimpulan dibuat secara longgar, tetap terbuka, tetapi Kesimpulan-kesimpulan sudah disediakan mula-mula belum jelas, meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan pokok. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi itu mungkin sesingkat pemikiran kembali yang melintas ddalam pikiran penganalisis selama ia menulis, suatu tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan atau mungkin menjadi seksama dan ulang pada catatan-catatan lapangan atau mungkin menjadi seksama dan makan tenaga dengan peninjauan kembali. (Sutopo, 1990 : 8)


(19)

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KERANGKA TEORI PEMBUKTIAN

Teori-teori dasar pembuktian

Dasar system pembuktian negatif (Pasal 183 KUHAP)

Macam-macam alat bukti yang sah. (Pasal 184 ayat I KUHAP)

Tinjauan tentang keterangan dokter sebagai saksi ahli.

Dokter sebagai ahli

Bantuan dokter sebagai ahli

Fungsi keterangan dokter sebagai ahli di Pengadilan.

Tata cara permintaan penyidik kepada dokter sebagai ahli

Cara dokter menyampaikan keterangan.


(20)

commit to user

B. PENJELASAN

1. Tinjauan Tentang Sistem Pembuktian Perkara Pidana a. Pembuktian

Penanganan suatu perkara pidana mulai dilakukan oleh penyidik setelah menerima pengaduan atau laporan dari masyarakat ataupun diketahui sendiri tentang terjadinya tindak pidana, kemudian dituntut oleh penuntut umum dengan jalan melimpahkan perkara itu ke pengadilan negeri. Selanjutnya hakim melakukan pemeriksaan apakah dakwaan penuntut umum terhadap terdakwa terbukti atau tidak. Bagian terpenting dari tiap-tiap proses pidana adalah persoalan mengenai pembuktian, karena dari jawaban soal inilah terdakwa akan dinyatakan bersalah atau dibebaskan.

Undang-Undang no.4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali karena alat pembuktian yang sah, menurut Undang-undang hakim mendapat keyakinan bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.

Pembuktian tentang benar dan tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam proses acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akhirnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar.

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dalam pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184

Kewajiban dokter sebagai ahli.


(21)

commit to user

KUHAP tertdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhi hukuman.

b. Teori-teori Dasar Pembuktian

Dalam sistem pembuktian perkara pidana dibutuhkan teori-teori yang digunakan sebagai dasar pembuktian, teori-teori ini dibagi menjadi 4, yaitu : 1) Sistem atau teori pembuktian yang terikat pada alat bukti menurut

undang-undang secara positif (positiet wettelijk bewijstheorie). Yang artinya apabila dalam pertimbangannya, hakim telah menganggap bahwa alat bukti yang diajukan ke persidangan telah dapat membuktikan suatu perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang tanpa diperlukan keyakinan, hakim dapat menjatuhkan putusan.

2) Sistem atau teori pembuktian menurut keyakinan hakim semata-mata

(conviction intime). Yang berarti bahwa dalam menjatuhkan putusannya hakim hanya berdasarkan pada keyakinan yang timbul dari hati nuraninya atau sifat kebijaksanaan dari hakim itu sendiri.

3) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (laconviction raisonnee). Pembuktian yang berdasarkan pada keyakinan yang dibatasi dengan alasan menurut logika yang tepat ini dapat juga disebut sebagai pembuktian yang memberikan keleluasaan yang bebas untuk memakai alat-alat bukti yang dengan disertai alasan logis.

4) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negative

(negatief wettelijk). Teori pembuktian yang didasarkan cara pembuktian berganda (dubbelen gronslag) yaitu pembuktian dengan keyakinan hakim dan alat bukti ini sebenarnya dalam pelaksanaannya merupakan pekerjaan sulit. Karena kadang sukar untuk disimpulkan.

c. Dasar Sistem Pembuktian Negatif

Dalam Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana pada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya


(22)

commit to user

dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Adanya ketentuan tersebut dalam Pasal 183 KUHAP menunjukkan bahwa Negara kita menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negative wettelijk), dimana hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman apabila sedikit-dikitnya dua alat bukti yang telah ditentukan dalam kesalahan terdakwa terhadap peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya. Walaupun alat bukti lengkap, akan tetapi hakim tidak yakin tentang kesalahan terdakwa maka harus diputus bebas.

d. Macam-Macam Alat Bukti Yang Sah.

Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut :

1) Keterangan saksi.

Menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidik dan peradilan tentang sesuatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Sedangkan pengertian keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP, adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.

Jadi untuk menjadi saksi, seseorang harus mengetahui secara langsung suatu perbuatan pidana yan terjadi baik secara melihat, mendengar, mengalami secara langsung suati kejadian atau peristiwa yang sedang terjadi. Dengan demikian, kesaksian yang didengar dari orang lain atau yang biasa disebut dengan “testimoniom de auditu” bukan merupakan keterangan saksi atau termasuk keterangan saksi. Begitu pula pendapat pendapat umum rekaan


(23)

commit to user

yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5) KUHAP).

2) Keterangan ahli.

Definisi Keterangan ahli menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli dapat digunakan sebagai alat bukti, oleh hakim dapat dianggap suatu keterangan yang bersifat memperjelas barang bukti yang ada, sehingga digunakan untuk menganggap benar adanya sesuatu.

3) Surat.

Pengertian surat terdapat dalam Pasal 187 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah :

a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri disertai dengan alasan jelas dan tegas tentang keterangannya itu.

b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau

surat yang dibuat oleh pejabat yang menangani hal yang ternasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan.

c) Surat keterangan dari seorang ahliyang memuat pendapat berdasarkan

keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.

d) Surat ijin yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain.


(24)

commit to user

Surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP ialah surat-surat yang dibuat oleh pejabat-pejabat resmi yang berbentuk berita acara, akte surat keterangan ataupun surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili.

Sebagai syarat mutlak dalam menentukan dapat tidaknya suatu surat dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus dibuat diatas sumpah jabatan atau dikuatken dengan sumpah. Sehingga pejabat yang mempunyai wewenang untuk membuat surat tersebut dibebaskan untuk menghadiri persidangan, karena surat yang disertakan sumpah tersebut telah dianggap mempunyai kekuatan pembuktian.

4) Petunjuk.

Alat bukti petunjuk dalam KUHAP dicantumkan dalam Pasal 188 yang terdiri dari ayat (1), (2), (3), dalam ayat (1) yang diartikan “petunjuk” adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Pada Pasal 188 ayat (1) KUHAP, antara lain dapat dijumpai kata-kata “menandakan” yang maksudnya adalah bahwa justru oleh karena tidak mungkin tidak dapat diperoleh kepastian mutlak bahwa terdakwa benar-benar telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian dipergunakan sehingga dari sekian banyak petunjuk yang ada telah dapat terbukti.

Perbuatan, kejadian atau keadaan yang dianggap sebagai petunjuk haruslah ada kesesuaian antara satu dengan yang lain, karena justru pada persesuaian itulah letak kekuatan utama dari petunjuk-petunjuk sebagai alat bukti, dan Pasal 188 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa diantara petunjuk-petunjuk harus ada “persesuaian”, maka hal itu berarti bahwa sekurang-kurangnya harus ada dua petunjuk umtuk memperoleh alat bukti yang sah, namun kalau bunyi Pasal itu lebih dicermati lagi ternyata satu perbuatan saja ada penyesesuaian dengan tindak pidana itu, ditambah dengan satu alat bukti


(25)

commit to user

sah lainnya dan yang bersesuaian seluruhnya, maka sudah cukup alasan untuk menyatakan menurut hukum yang didakwakan telah terbukti.

Menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk hanyalah dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Dengan demikian alat bukti petunjuk itu memiliki persesuaian dengan keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Apabila petunjuk tersebut tidak memiliki persesuaian dengan ketiga alat bukti tersebut, maka dengan sendirinya alat bukti petunjuk tersebut tidak bisa digunakan sebagai alat bukti.

5) Keterangan terdakwa.

Merupakan alat bukti terakhir dari alat-alat bukti yang ada. Pengertiannya dituangkan dalam Pasal 189 ayat (1), yang berbunyi : Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

Jadi keterangan terdakwa itu bisa menjadi alat bukti jika keterangan terdakwa itu dinyatakan di muka sidang. Keterangan yang dinyatakan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat (2) KUHAP).

Dalam acara pemerikasaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung oleh salah satu alat bukti yang sah. Dengan kata lain walaupun hanya didukung satu alat bukti yang sah, dan hakim yakin atas kesalahan terdakwa maka terdakwa tersebut dapat dihukum.

Dengan demikian hakim dapat menghukum seorang terdakwa apabila kesalahannya terbukti secara sah menurut undang-undang. Keterbuktian itu haruslah diperkuat dan didukung keyakinan hakim, jadi walaupun alat bukti sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP terpenuhi, namun apabila hakim tidak berkeyakinan atas kesalahan terdakwa, maka terdakwa tersebut harus dibebaskan. Hal ini sejalan dengan tugas hakim dalam pengadilan pidana yaitu mengadili dalam arti menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana


(26)

commit to user

berdasarkan asas bebas jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan (Pasal satu butir sembilan KUHAP) (Ratna Nurul Afiah, 1988:14).

2. Tinjauan tentang Keterangan Dokter a. Dokter Sebagai ahli

Salah satu tugas pokok dari hukum acara pidana ialah intuk menemukan

kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang sesungguh-sungguhnya. Tugas itu tidaklah mudah bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim yang tidak berada pada tempat dimana tindak pidana itu terjadi. Penyidik, penuntut umum, dan hakim tidak menyaksikan sendiri bagaimana proses berlangsungnya tindak pidana itu dan siapa pelakunya. Tugas yang amat berat itu baru dilaksanakan hanya dengan memanfaatkan saksi, terdakwa, tersangka, dan barang bukti.

Mungkin tidak begitu sulit bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim untuk memeriksa saksi dan tersangka/terdakwa agar memberikan keterangannya. Tetapi untuk menjadikan barang bukti yang ditemukan dapat membantu mengungkap suatu tindak pidana mereka akan mengalami kesulitan. Mereka sebagai penegak hukum tidak dibekali dan tidak mungkin dibekali berbagai macam ilmu dan pengetahuan yang digunakan untuk menganalisa dan menyimpulkan secara ilmiah segala macam barang bukti yang ditemukan dari suatu tindak pidana. Oleh sebab itu diperlukan jasa para ahli, yaitu orang-orang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (KUHAP Pasal 1 butir 78).

Dalam hal ahli mengemukakan pendapatnya, hakim dapat menyetujui dan mengambil alih pendapat itu ataupun tidak menyetujui ataupun mengambil kesimpulan sendiri. Akan tetapi, apabila ahli tersebut mengemukakan dan mengajukan hal-hal atau keadaan atas dasar fakta-fakta apa adanya, hakim disini tidak mudah akan mengambil kesimpulan sendiri.

Apabila seorang ahli sudah sampai pada pendapatnya, yaitu yang menyangkut perihal suatu penghargaan dan/pengambilan kesimpulan dari hasil pemeriksaan atau pengalaman, hal ini berarti mengenai hubungan sebab dan akibat (causal verbend) atas suatu hal dari perkara tersebut. Akan tetapi harus


(27)

commit to user

dipahami, bahwa pendapat tentang penghargaan dan/pengambilan kesimpulan hasil dari oleh orang ahli tersebut harus didasarkan atas pengalaman dan pengetahuannya yang sebaik-baiknya dalam bidang ilmu, pengalaman, dan keahliannya.

Dalam hal barang bukti itu berupa manusia (hidup atau mati) atau sesuatu yang merupakan tubuh manusia maka ahli yang tepat yang dapat menganalisa dan menyimpulkan ialah dokter. Keterangan ahli yang diberikan oleh Ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter bukan Ahli Kedokteran Kehakiman, tentang seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang

merupakan tindak pidana. Mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang

anatomi, fisiologi, biokimiawi, palotologi, dan ilmu kedokteran forensik.

Dapat diketahui bahwa dalam KUHAP tidak ada satu Pasalpun yang secara emplisit menyatakan bahwa dokter itu ahli. Tetapi dalam Pasal 1 butir 28, Pasal 133 ayat (1) dan Pasal 179 ayat (1) dapat dikatakan bahwa secara emplisit setiap dokter adalah ahli, baik ia ahli ilmu kedokteran forensik ataupun bukan. Benar bahwa menurut Pasal 133 KUHAP yang dapat memberikan keterangan ahli adalah ahli ilmu kedokteran kehakiman forensik, sehingga secara emplisit menurut penjelasan Pasal itu, dokter umum atau dokter lain yang bukan ahli kedokteran forensik dianggap bukan ahli. Namun perlu diteliti lagi bahwa menurut Pasal 133 ayat (1) yang jelas-jelas menyatakan bahwa penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran forensik atau dokter atau ahli lainnya. Jelas disini bunyi Pasal 133 ayyat (1) tidak sejalan dengan dengan penjelasannya, yurisprudensi menyatakan bahwa bunyi Pasal yang sudah jelaslah yag dimenangkan terhadap maksud sipembuat undan-undang. Karena bunyi Pasal 133 KUHAP tidak sejalan dengan penjelasannya, sedangkan bunyi Pasal itu sudah jelas, maka bunyi Pasal itulah yang perlu dianut, bukan penjelasannya.

b. Bantuan Dokter Sebagai Ahli

Bantuan dokter sebagai ahli yaitu bantuan dokter yang dapat diberikan dalam rangka menemukan kebenaran materiil, ialah :


(28)

commit to user

1) Memberikan keterangan tentang teori di bidang kedokteran.

Dalam hal ini dokter hanya diminta keterangannya tentang masalah yang berkaitan dengan ilmu kedokteran. Kepada dokter tidak disodori sesuatu barang bukti untuk diperiksa, melainkan disodori berbagai pertanyaan atau diminta untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan ilmu kedokteran yang tidak diketahui oleh hakim. Dari jawaban atau keterangan dokter itu maka persoalan yang tidak diketahui oleh penegak hukum yang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya menjadi jelas. Jadi dalam perkara ini dokter yang dipanggil tersebut hanya akan menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran yang tidak diketahui oleh hakim.

2) Memberikan keterangan tentang sesuatu obyek benda.

Dalam hal ini, kepada dokter, disodorkan suatu objek benda untuk diperiksa lebih dahulu sebelum dokter memberikan keterangan mengenai obyek benda tersebut. Objek benda itu meliputi terdakwa, korban dan obyek-obyek lain. a) Obyek terdakwa.

a. Melalui pemeriksaan dokter akan dapat dibuktikan : - Apakah ia benar-benar menderita kelainan jiwa? - Apa jenis penyakit jiwa tersebut?

- Apakan jenis penyakit jiwa tersebut menyebabkan ia tidak mampu

bertanggungjawab terhadap perbuatannya?

b. Terdakwa yang tidak diketahui dengan jelas berapa umurnya.

Terdakwa yang demikian ini perlu diketahui umurnya agar dapat ditentukan statusnya sebagai terdakwa anak-anak atau terdakwa dewasa. Perlu diketahui bahwa tata cara mengadili terdakwa anak-anak berbeda dengan tata cara mengadili terdakwa dewasa.

c. Terdakwa dengan impotensi yang dituduh melakukan tindak pidana yang mempunyai unsur persetubuhan (misalnya perkosaan, perzinahan, atau bersetubuh dengan wanita tak berdaya). Perlu diketahui bahwa orang yang menderita impotensi tidak mungkin melakukan persetubuhan. Sehingga tidak mungkin ia dapat melakukan tindak pidana seperti tersebut diatas.


(29)

commit to user

d. Terdakwa wanita yang diduga melakukan tindak pidana infanticide (membunuh bayinya sendiri), tetapi ia menyangkal telah melahirkan anak. Melalui pemeriksaan dokter akan dapat dibuktikan apakah ia benar-benar telah melahirkan anak atau tidak.

b) Obyek korban.

a. Korban hidup yang menderita luka-luka.

Dalam hal ini bantuan dokter perlu dimintakan untuk mengetahui : - Jenis luka yang diderita.

- Jenis traumanya (benda penyebab luka). - Kualifikasi lukanya.

b. Korban hidup dari tindak pidana seksual.

Bantuan dokter dalam perkara ini untuk mengetahui : - Ada tidaknya tanda-tanda akibat persetubuhan. - Ada tidaknya luka-luka.

Jika ada luka-luka maka perlu dijelaskan pula tentang : - jenis luka yang diderita.

- Jenis traumanya (benda penyebab luka). - Kualifikasi lukanya.

Pada tindak pidana bersetubuh dengan wanita dibawah umur atas dasar mau sama mau, penentuan umur korban dapat diminta kepada dokter jika terdapat keragu-raguan tentang umur korban. Perlu diketahui bahwa penentuan apakah persetubuhan atas dasar mau sama mau termasuk tindak pidana atau bukan tergantung pada umur korban.

c. Fungsi keterangan dokter sebagai ahli di sidang pengadilan

Menurut Undang-undang No.4 tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi bahwa tak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktiannya yang sah menurut Undang-Undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Selanjutnya didalam Pasal 185 KUHAP disebutkan bahwa hakim tidak


(30)

commit to user

boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benat terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 185 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa diperlukan keyakinan hakim.

2. Keyakinan hakim harus timbul dari alat bukti. Keyakinan yang timbul kerena hal-hal lain (misalnya melihat tampang, gerak-gerik atau riwayat yang jelek dari terdakwa) bukanlah keyakinan yang dikehendaki oleh undang-undang dan tidak dapat sebagai dasar untuk memidana seseorang.

3. Jumlah alat bukti yang dapat digunakan untuk membentuk keyakinan ialah

minimal 2 buah.

Tugas penuntut umum untuk memberikan alat bukti yang diperlukan di persidangan, dan menjadi tugas penyidik ditingkat penyidikan untuk mengusahakan segala sesuatu yang kelak dapat dijadikan alat bukti di sidang pengadilan sesuai dengan Pasal 184 KUHAP yang berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Keterangan dokter sebagai ahli dapat berperan sebagai alat bukti yaitu dilihat dari cara dokter tersebut memberikan keterangannya. Apabila persyaratannya dipenuhi maka keterangan dokter tersebut dapat dijadikan alat bukti yang sah, tetapi apabila persyaratannya tidak dipenuhi maka keterangannya tidak dapat dianggap sebagai alat bukti.

Menurut KUHAP, kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dari keterangan-keterangan dokter sebagai ahli di sidang pengadilan ialah :

1. Sebagai Alat Bukti, yaitu :

a. Alat bukti surat, jika memenuhi : 1) Syarat Formal :

a) Diberikan secara tertulis.

b) Dengan sumpah atau janji atau dengan mengingat sumpah atau


(31)

commit to user

2) Syarat Meteriil :

a) Isi keterangan sesuai dengan kenyataan yang ada pada obyek yang diperiksa.

b) Tidak bertentangan dengan teori kedokteran yang telah teruji

kebenarannya.

b. Alat bukti keterangan ahli, jika memenuhi : 1) Syarat Formal :

a) Keterangan diberikan secara lisan disidang pengadilan.

b) Dengan mengucapkan sumpah/janji sebelumnya dan jika hakim

memandang perlu juga sesudah memberikan keterangan 2) Syarat Meteriil :

a) Isi keterangan sesuai dengan kenyataan yang ada pada obyek yang diperiksa.

b) Tidak bertentangan dengan teori kedokteran yang telah teruji

kebenarannya.

2. Sebagai keterangan yang disamakan nilainya dengan alat bukti, yaitu jika

memenuhi :

a. Syarat Formal :

1) Keterangan dokter yang pernah diberikan secara lisan didepan

penyidik dibacakan didepan sidang.

2) Alasan dibebaskan disidang pengadilan karena dokter meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir atau tidak dipanggil karena jauh tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara.

3) Ketika dokter memberikan keterangan lisan idepan penyidik, dokter

telah mengucapkan sumpah atau janji. b. Syarat Materiil :

1) Isi keterangan sesuai dengan kenyataan yang ada pada obyek yang

diperiksa.

2) Tidak bertentangan dengan teori kedokteran yang telah teruji


(32)

commit to user

3. Sebagai keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim, jika memenuhi

:

a. Syarat Formal :

1) Diberikan secara lisan di sidang pengadilan.

2) Tidak dengan sumpuah/janji karena dokter tanpa alasan yang sah

menolak untuk mengucapkannya.

3) Dokter telah selesai menjalani sandera 14 hari. b. Syarat Materiil :

1) Isi keterangan sesuai dengan kenyataan pada obyek yang diperiksa.

2) Tidak bertentangan dengan teori kedokteran yang telah teruji

kebenarannya.

4. Sebagai keterangan yang tidak berarti apa-apa. Yaitu jira keterangan itu tidak memenuhi syarat formal seperti tersebut diatas atau tidak memenuhi syarat material.

Untuk mengetahui apakah keterangan dokter memenuhi syarat material atau tidak maka keterangan itu perlu diuji dengan keterangan-keterangan lain yang ada. Jira hakim ragu-ragu terhadap kebenaran material dari keterangan tersebut maka hakim dapat meminta bantuan kepada dokter lain untuk melakukan pemeriksaan ulang.

Sudah barang tentu hanya keterangan yang berkualitas alat bukti dan keterangan yang disamakan dengan alat bukti saja yang dapat dipakai sebagai unsur pembentuk keyakinan, sedangkan keyakinan yang dapat menguatkan keyakinan hakim tidak dapat dipakai sebagai unsur pembentuk keyakinan. Keterangan tersebuat hanya akan berguna jika keyakinan hakim sudah terbentuk, yaitu hanya sebagai unsur penambah keyakinan. Berdasarkan alasan tersebut maka hendaknya setiap keterangan dokter sebagai ahli dapat diusahakan menjadi keterangan yang berkualitas sebagai alat bukti atau sebagai keterangan yang disamakan nilainya dengan alat bukti.


(33)

commit to user

d. Tata cara permintaan penyidik kepada dokter sebagai ahli

Seperti tercantum dalam KUHAP Pasal 133 ayat 1, dimana dalam hal penyidik atau kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati, yang diduga karena peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, adapun tata cara permintaannya sabagai berikut :

1) Surat permintaan Visum et Repertum kepada Dokter, Dokter ahli Kedokteran

Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan jenis bantuan atau pemeriksaan yang dikehendaki, dan dengan menggunakan formulir sesuai dengan kasusnya dan ditanda tangani oleh penyidik yang berwenang. Surat permintaan tersebut harus diajukan bersama-sama dengan objek benda yang akan disampaikan.

2) Syarat kepangkatan Penyidik seperti ditentukan oleh Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1983, tentang pelaksanaan KUHAP Pasal 2 yang berbunyi :

a) Penyidik adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurang berpangkat Pelda

Polisi.

b) Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya

berpangkat Serda Polisi.

c) Kapolsek yang berpangkat Bintara dibawah Pelda Polisi karena

Jabatannya adalah Penyidik.

Kapolsek yang dijabat oleh Bintara berpangkat Serda Polisi, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1983 Pasal 2 ayat (2), maka Kapolsek yang berpangkat Serda tersebut karena Jabatannya adalah Penyidik.

3) Permintaan Visum et Repertum ini diajukan kepada Dokter ahli Kedokteran

Kehakiman atau Dokter dan atau ahli lainnya. Dokter ahli Kedokteran Kehakiman biasanya hanya ada di Ibu Kota Propinsi yang terdapat Facultas Kedokterannya. Ditempat-tempat dimana tidak ada Dokter ahli Kedokteran


(34)

commit to user

Kehakiman maka biasanya surat permintaan Visum et Repertum ini ditujukan kepada Dokter. Dalam pelaksanaannya maka sebaiknya :

a) Prioritas Dokter Pemerintah, ditempat dinasnya (bukan tempat praktek

partikelir).

b) Ditempat yang ada fasilitas rumah sakit umum / Fakultas Kedokteran,

permintaan ditujukan kepada bagian yang sesuai yaitu : Untuk korban hidup :

a. Terluka dan kecelakaan lalu lintas : kebagian bedah b. Kejahatan susila / perkosaan : ke bagian kebidanan

Untuk korban mati : bagian Kedokteran Kehakiman.

c) Ditempat yang tidak memiliki fasilitas tersebut, permintaan ditujukan

kepada Dokter pemerintah di Puskesmas atau Dokter ABRI/ khususnya Dokter Polri. Bila hal ini tidak memungkinkan, baru dimintakan ke Dokter swasta

d) Korban, baik hidup ataupun mati harus diantar sendiri oleh petugas Polri, disertai surat permintaannya

e. Cara dokter menyampaikan keterangan.

Ada 2 cara dokter dalam penyampaian keterangan, yaitu : d) Keterangan tertulis.

Keterangan ini dibuat dalam bentuk tulisan yang dahulu dikenal sebagai Visum et Repertum. Istilah Visum et Repertum ini dapat ditemukan dalam lembaran Negara tahun 1937 Nomor : 350 Pasal I yang terjemahannya : Visa et Reperta pada Dokter yang dibuat baik atas sumpah Dokter yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajarannya di Negeri Belanda atau Indonesia, maupun atas sumpah khusus seperti tercantum dalam Pasal 2, mempunyai daya bukti yang syah dalam perkara pidana selama visa et Reperta tersebut berisi keterangan mengenai hal hal yang diamati oleh Dokter itu pada benda-benda yang diperiksa.

Dengan berlakunya KUHAP maka Lembaran Negara tahun 1937 Nomor 350 ini seharusnya dicabut. Namun karena isi Lembaran Negara tersebut


(35)

commit to user

tidak bertentangan dengan KUHAP sedang istilah Visum et Repertum tidak ditemukan dalam KUHAP, maka Menteri Kehakiman dalam peraturan Nomor : M. 04.UM.01.06 tahun 1983 Pasal 10 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan Ilmu Kedokteran Kehakiman disebut Visum et Repertum.Oleh karena itu keterangan ahli/keterangan hasil pemeriksaan Ilmu Kedokteran Kehakiman seperti dimaksud KUHAP tidak lain adalah Visum et Repertum.

Keterangan tertulis dapat diberikan pada tingkat penyidikan, penyidikan tambahan atau sidang pengadilan. Sebaiknya dibuat dengan sumpah atau sidang pengadilan. Sebaiknya dibuat dengan sumpah atau dengan mengingat sumpah jabatan agar supaya keterangan itu kelak disidang pengadilan dapat berlaku sebagai alat bukti yang sah, yaitu alat bukti surat, tanpa harus mengahadirkan dokter ke sidang pengadilan.

Visum er Repertum (VeR) adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati, ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan dibawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.

Visum et Repertum berperan sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam proses pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Dalam Visum et Repertum terdapat uraian hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. Visum et Repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medis yang tertuang pada bagian kesimpulan. Bila Visum et Repertum belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan, hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukan bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memberikan kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan.


(36)

commit to user

Tugas seorang dokter dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman adalah membantu para petugas kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam mengungkap suatu perkara pidana yang berhubungan dengan perusakan tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, sehingga bekerjanya harus obyektif dengan mengumpulkan kenyataan dan menghubungkannya satu sama lain secara logis untuk kemudian mengambil kesimpulan, maka oleh karenanya pada waktu memberi laporan dalam pemberitaan dari Visum et Repertum harus yang sesungguh-sungguhnya dan seobyektif-obyektifnya tentang apa yang dilihat dan diketemukan pada waktu melakukan pemeriksaan, dan dengan demikian Visum et Repertum merupakan kesaksian tertulis.

Visum et Repertum merupakan rencana (verslag) yang diberikan oleh seorang dokter mengenai apa yang dilihat dan diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan secara obyektif, sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus dapat mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan sehingga akhirnya dapay ditarik suatu kesimpulan yang tepat. Selain itu Visum et Repertum mungkin dipakai pula sebagai dokumen, Visum et Repertum dapat ditanyakan pada dokter lain mengenai barang bukti yang telah diperiksa apabila pihak berwajib tidak menyetujui hasil pemeriksaan tersebut. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan Visum et Repertum adalah :

a. Harus sepenuhnya mengganti barang bukti yang diperiksa.

b. Merupakan dokumen Kedokteran.

Ada beberapa jenis Visum et Repertum, yaitu :

1. Visum et Repertum pada Kasus Perlukaan (termasuk keracunan). Terhadap setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun belum ada surat permintaan visum et repertum dari polisi, dokter harus memuat catatan medis atas semua hasil pemeriksaan medisnya secara lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk pembuatan visum et repertum. Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter


(37)

commit to user

setelah melapor ke penyidik, sehingga membawa surat permintaan visum et repertum. Sedangkan korban dengan luka berat atau sedang akan datang ke dokter sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan visum et repertum dari penyidik datang terlambat. Keterlambatan dapat diperkecil dengan komunikasi dan kerjasama antara institusi kesehatan dengan penyidik.

Di dalam bagian Pemberitaan biasanya disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang, luka-luka atau cedera atau penyakit yang ditemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang letak, jenis dan sifat luka dan ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medis yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat perawatan selesai. Gejala yang dapat dibuktikan secara obyektif dapat dimasukkan, sedangkan yang subjektif dan tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan dalam visum et repertum.

2. Visum et Repertum Kejahatan Asusila.

Umumnya korban kejahatan asusila yang dimintakan visum et repertumnya pada dokter adalah pada kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP (meliputi perzinahan, perkosaan, persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya, persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur, dan perbuatan cabul).

Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya persetubuhan atau perbuatan cabul, adanya kekerasan (termasuk keracunan), serta usia korban. Selain itu juga diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan psikiatrik sebagai akibat dari tindakan pidana tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan, karena istilah pemerkosaan hádala istilah hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.


(38)

commit to user

Dalam kesimpulan diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya, dan ada atatu tidaknya tanda kekerasan.

Bila ditemukan adanya tanda-tanda ejakulasi atau adanya tanda-tanda perlawanan berupa darah pada kuku korban, dokter berkewajiban mencari identitas tersangka melalui pemeriksaan golongan darah serta DNA dari benda-benda bukti tersebut.

3. Visum et Repertum Jenazah.

Jenazah yang akan dimintai visum et repertumnya harus diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikat pada ibu jari kaki, atau pada bagian tubuh lainnya. Pada surat pemintaan visum et repertum harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakan pemeriksaan luar (pemeriksaan jenazah) atau pemeriksaan luar dan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah). Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi :

a. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak

merusak keutuhan jaringan jenazah secara telita dan sistematik.

b. Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh

dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut dan panggul. Kedangkala dilakukan pemeriksaan pemunjang yang dilakukan seperti pemeriksaan histopatologi, toksikologi, serologi, dan sebagainya.

Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, sebab dan mekanisme kematian, serta saat kematian seperti tersebut diatas.

4. Visum et Repertum tentang Pemeriksaan Bedah Mayat.

5. Visum et Repertum tentang Penggalian Mayat. 6. Visum et Repertum Psikiatrik.

Visum et Repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi, “Barang siapa melakukan perbuatan


(39)

commit to user

yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.” Jadi selain orang yang tenderita sakit jiwa, orang yang raterdasi mental juga terkena Pasal ini.

Visum ini deperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka lebih baik bila pembuat visum ini adalah dokter spsialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.

Dalam keadaan tertentu dimana kesaksian seseorang amat diperlukan sedangkan ia diragukan kondisi kejiwaannya jira ia bersaksi di depan pengadilan maka kadangkala hakim juga meminta evaluasi kejiwaan saksi tersebut dalam bentuk visum et repertum psikiatrik.

7. Visum et Repertum di Tempat Kejadian Perkara.

8. Visum et Repertum Pemeriksaan Barang Bukti (Bukti-Bukti) lain. Visum et Repertum merupakan suatu Relaas, suatu Rencana, dan suatu Verslag atas pemeriksaan barang bukti. Oleh karena itu Visum et repertum merupakan pengganti sepenuhnya daripada barang bukti yang diperiksa, maka oleh karenanya pula Visum et Repertum pada hakekatnya adalah menjadi “Alat Bukti yang Sah”.

e) Keterangan lisan.

Keterangan lisan dari dokter sebagai ahli juga dapat juga dapat diberikan pada tingkat penyidikan, penyidikan tambahan dan sidang pengadilan. Jika diberikan pada hakim disidang pengadilan setidaknya diberikan dengan diberikan sumpah atau janji agar supaya keterangan itu dapat berlaku sebagai alat bukti yang sah, yaitu alat bukti keterangan ahli. Jika diberikan didepan penyidik sebaiknya keterangan itu juga deberikan dengan mengucapkan sumpah atau janji, agar supaya keterangan disidang pengadilan dapat berlaku sebagai keterangan yang sama nilainya dengan alat


(40)

commit to user

bukti jika dokter dengan alasan-alasan yang sah tidak dapat hadi atau tidak dipanggil ke sidang pengadilan. Tetapi hal ini tidak boleh diartikan bahwa sumpah atau janji sebagai ganti hadirnya dokter. Kalau alasan-alasan yang sah yang menyebabkan dokter tidak dapat hadir atau tidak dipanggil ke sidang pengadilan tidak ada, keterangannya tidak berlaku sebagai alat bukti atau sebagai keterangan yang disamakan nilainya dengan alat bukti meskipun pada waktu memberikan keterangan kepada penyidik disertai sumpah atau janji.

f. Kewajiban dokter sebagai ahli

Pentingnya peranan dokter dalam membantu menyelesaikan perkara-perkara pidana, maka pembuat Undang-undang hukum acara pidana pun menetapkan kewajiban-kewajiban dokter yang harus dilaksanakan oleh dokter apabila ia diminta bantuannya sebagai ahli. Dokter dapat dikenakan sanksi apabila ia tidak melaksanakan kewajiban tersebut tanpa alasan yang sah. Kewajiban dokter sabagai ahli ialah :

1. Kewajiban memberikan keterangan ahli.

Ketentuan yang mewajibkan dokter memberikan keterangan sebagi ahli apabila dilihat dalam Pasal 179 ayat (1) KUHAP, yang bunyinya :

Setiap orang yang dimintai pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

Apabila dokter dengan sengaja tidak memenuhi ketentuan Pasal 179 ayat (1) KUHAP tersebut dengan alasan yang sah maka dokter dapat dikenai sanksi berdasarkan Pasal 224 KUHP, yang berbunyi :

Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang selaku demikian harus dipenuhinya, diancam :

Ke-1 dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;s

Ke-2 dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. Alasan yang dapat dikatakan sah menurut hukum, bagi dokter tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai ahli, yaitu :


(41)

commit to user

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah

sampai derajad ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai tedakwa.

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,

saudara ibu atau bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajad ketiga. c. Suami atai istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang

bersama-sama sebagai terdakwa.

Alasan yang sah bagi dokter untuk tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai ahli tersebut diatas, sama dengan alasan yang sah bagi saksi untuk tidak didengar keterangannya didalam persidangan. Hal ini dijelaskan dalam KUHAP yang menyatakan bahwa ketentuan untuk saksi berlaku bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan demikian alasan-alasan tersebut berlaku pula bagi dokter.

Pada tingkat penyidikan dan penyidikan tambahan dokter juga mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai ahli apabila diminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 120 KUHAP yang bunyinya :

(1). Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli atau orang yang mempunyai keahlian khusus.

(2). Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucap janji dimuka

penyidik bahwa ia akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat dan martabat, pekerjaan atau jabatannya yang menyebabkan ia menyimpan rahasia dapat menolak atau memberikan keterangan yang diminta.

2. Kewajiban mengucap sumpah atau janji.

Pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan dokter wajib mengucapkan sumpah atau janji sebagai ahli sebelum ia memberikan keterangan dan sesudah memberikan keterangannya apabila dipandang perlu oleh hakim. Apabila dokter menolak mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah, maka ia dapat disandera dirumah tahanan negara untuk paling lama 14 hari. Dengan penyanderaan itu dokter diharapkan dapat merubah sikapnya. Jika sampai tenggat waktu 14 hari dokter menolak mengucapkan sumpah


(42)

commit to user

atau janji, maka ia harus dikeluarkan dari rumah tahanan negara, sedangkan keterangan yang telah diberikannya tidak dapat diberlakukan sebagai alat bukti yang sah melainkan sebagai keterangan yang menguatkan keyakinan hakim.

Apabila dokter menolak memberikan sumpah atau janji di depan penyidik waktu memberikan keterangan lisan, dokter tidak dapat disandera. Penyandera hanya dimungkinkan pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan surat penetapan hakim ketua sidang.


(43)

commit to user

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kekuatan Pembuktian Keterangan Dokter dalam Proses Pembuktian Perkara Pidana di Persidangan

1. Deskripsi Kasus

Pada hari senin tanggal 20 november 2006 kira – kira pukul 16.00 WIB, bertempat di ruang Opsnal Unit Reskrim Polsektabes Banjarsari Kodya Surakarta, telah melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya Roni Ronaldo Rachditya Als gendon yang dilakukan oleh terdakwa M. Trikogani bersama dengan rekan-rekannya Briptu Sudalmi, Briptu Supriyanto, Brigadir Aan Yuantoro, Brigadir Didik Setiawan, dan Bripda Kristian Fery.

Pada saat proses interogasi dilakukan tindak penganiayaan fisik dengan menggunakan tangan terdakwa maupun alat bantu lain yang berupa rotan. Penganiayaan yang dilakukan terdakwa bersama rekan-rekannya bertujuan untuk mendapatkan informasi atas tindak pidana yang dilakukan korban, tetapi ternyata penganiayaan tersebut mengakibatkan kematian matinya Roni Ronaldo Rachditya Als gendon. Korban meninggal dunia pada saat perjalanan ke RS PKU Muhammadiyah Surakarta.

2. Identitas Terdakwa

Nama : M.Trikogani

Tempat lahir : Makasar

Umur / Tanggal lahir : 22 oktober 1963 Jenis kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat Tinggal : Perumahan Gondang Indah IV RT.07 / 09 Colomadu

Agama : Islam


(44)

commit to user

3. Dakwaan Kesatu Primair

Bahwa terdakwa M.Trikogani bertindak sendiri atau bersama-sama

dengan BRIPTU SUDALMI, BRIPTU SUPRIYANTO, BRIGADIR AAN YUANTORO, BRIGADIR DIDIK SETIAWAN, dan BRIPDA KRISTIAN FERY (kelimanya disidangkan dalam berkas perkara terpisah), pada hari senin tanggal 20 november 2006 kira – kira pukul 16.00 WIB, bertempat di ruang Opsnal Unit Reskrim Polsektabes Banjarsari Kodya Surakarta, telah melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya Roni Ronaldo Rachditya Als gendon, yang dilakukan dengan cara – cara berikut :

Bahwa pada hari senin tanggal 20 November 2006 sekitar pk. 15.00 WIB,

terdakwa bersama dengan teman terdakwa yang bernama Briptu Sudalmi dan Briptu Supriyanto Diajak Oleh Brigadir Aan Yuantoro Yang Ditelepon Oleh Brigadir Didik Setiawan Untuk Membantu Brigadir Didik Setiawan yang telah berhasil menangkap Roni Ronaldo Rachditya Als gendon dijalan raya daerah Kp. Ketelan (dekat es Barokah) Kec. Banjarsari Surakarta. Terdakwa bersama dengan Briptu Sudalmi dan Briptu Supriyanto pergi menggunakan mobil Suzuki Carry Futura warna ungu No. Pol AD 8937 NU (milik Polsektabes Banjarsari), kemudian setelah sampai di tempat tertangkapnya Roni Ronaldo Rachditya als Gendon tersebut, terdakwa bernama Briptu Sudalmi dan Briptu Supriyanto menaikkan Roni Ronaldo Rachditya als Gendon ke dalam mobil dan dibawa ke Polsektabes Banjarsari dimana pada saat itu yang mengemudikan mobil adalah terdakwa, untuk Briptu Sudalmi dan Briptu Supriyanto mendampingi Roni Ronaldo Rachditya als Gendon di tempat duduk belakang, sedangkan Brigadir Aan Yuantoro mengendarai sepeda motor milik Roni Ronaldo als Gedon dan Brigadir Didik Setiawan mengendarai sepeda motornya sendiri.

Bahwa sesampainya di Polsektabes Banjarsari, Roni Ronaldo Rachditya als Gendon dibawa masuk ke ruang Opsnal oleh Briptu Sudalmi untuk diinterogasi berkaitan dengan dugaan tindak pidana yang telah dilakukan oleh Roni Ronaldo Rachditya als Gendon, tidak lama kemudian Brigadir Didik


(45)

commit to user

Setiawan dan Brigadir Aan Yuantoro masuk ke ruang Opsnal, selanjutnya Brigadir Didik Setiawan didampingi Brigadir Aan Yuantoro melakukan interogasi terhadap Roni Ronaldo Rachditya als Gendon, sedangkan Briptu Sudalmi duduk di samping sebelah kin Roni Ronaldo Rachditya als Gendon sambil memperhatikan proses interogasi tersebut, pada saat diinterogasi oleh Brigadir Didik Setiawan, Roni Ronaldo Rachditya als Gendon berbelit-belit, lalu Brigadir Didik Setiawan memukul jari tangan Roni Ronaldo Rachditya als Gendon dengan menggunakan penggaris stainless sebanyak l (satu) kali, baru Roni Ronaldo Rachditya als Gendon mau memberikan keterangan perbuatan pidana yang telah ia lakukan, karena melihat Roni Ronaldo Rachditya als Gendon berbelit-belit dalam memberikan keterangan, akhirnya Briptu Sudalmi ikut memukul Ronaldo Rachditya als Gendon dengan menggunakan tangan kosong mengepal yang mengenai bagian pipi sebelah kin sebanyak 2 (dua) kali sehingga Roni Ronaldo Rachditya als Gendon menambah pengakuan atas perbuatan pidana yang telah ia lakukan. Setelah Roni Ronaldo Rachditya als Gendon mau memberikan keterangan, tidak lama kemudian Terdakwa masuk ke ruangan Opsnal untuk membantu menginterogasi, lalu Briptu Sudalmi dan Brigadir Aan Yuantoro keluar ruangan.

Bahwa selama Terdakwa berada dalam ruangan membantu Brigadir Didik

Setiawan menginterogasi Roni Ronaldo Rachditya als Gendon, Briptu Sudalmi

tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh Terdakwa, karena kesal terhadap Roni Ronaldo Rachditya als Gendon yang berbelit-belit dalam memberikan keterangan, maka Terdakwa mengambil sebatang rotan sepanjang 1 meter berwarna hitam yang ada di ruangan tersebut kemudian memukul Roni Ronaldo Rachditya als Gendon dengan menggunakan rotan tersebut mengenai tubuh Roni Ronaldo bagian tangan kiri dan paha kiri masing-masing sebanyak 1 kali sehingga dengan dengan pemukulan tersebut, Roni Ronaldo Rachditya als Gendon menambah satu pengakuan lagi tindak pidana yang dilakukannya dan ditulis dalam berita acara oleh Brigadir Didik Setiawan, selanjutnya Terdakwa melemparkan rotan tersebut dilantai dan keluar ruangan, selang beberapa saat masuklah Brigadir Aan Yuantoro untuk membantu interogasi dan karena Roni Ronaldo berbelit-belit,


(46)

commit to user

Bngadir Aan Yuantoro merasa jengkel lalu mengambil sebatang rotan sepanjang 1 meter berwarna hitam yang digunakan oleh Terdakwa tadi di ruangan tersebut kemudian memukul Roni Ronaldo mengenai tangan kanan dan kiri, paha kanan dan kiri masing-masing sebanyak 1 kali sehingga Roni Ronaldo menambah pengakuan lagi tindak pidana yang ia lakukan dan ditulis lagi dalam berita acara oleh Brigadir Didik Setiawan, kemudian karena merasa haus, Brigadir Aan Yuantoro keluar ruangan untuk mencari minum setelah meletakkan rotan tersebut dilantai, tak lama kemudian masuklah Briptu Supriyanto ke ruangan Opsnal lalu membantu menginterogasi Roni Ronaldo agar mengakui terus terang semua tindak pidana yang telah ia lakukan namun masih saja Roni Ronaldo berbelit-belit dalam memberikan keterangan sehingga Briptu Supriyanto merasa jengkel lalu menyuruh Roni Ronaldo berdiri kemudian Briptu Supriyanto menampar Roni Ronaldo sebanyak 1 kali dan arah kanan dengan menggunakan tangan kanan sehingga mengenai pipi kanan Roni Ronaldo, setelah itu Briptu Supriyanto mengambil rotan yang berada di lantai dan memukul Roni Ronaldo sebanyak 2 kali dengan menggunakan rotan tersebut mengenai tangan kanan Roni Ronaldo, seketika itu Roni Ronaldo berusaha menangkis sehingga posisi Roni Ronaldo berdiri den berjongkok, selanjutnya Briptu Supriyanto memukul Roni Ronaldo dengrti menggunakan rotan tersebut mengenai paha kanan dan kiri sebanyak masing-masing 1 kali, kemudian pukulan berikutnya mengenai mata kaki kanan

dan kiri Roni Ronaldo sebanyak masing-masing 1 kali sehingga Roni Ronaldo

menambah pengakuan lagi tindak pidana yang ia lakukan dan ditulis lagi dalam berita acara oleh Brigadir Didik Setiawan, tak lama kemudian masuklah Bripda Kristian Fery dengan maksud untuk membantu menginterogasi Roni Ronaldo, sedangkan Briptu Supriyanto meletakkan rotan ke lantai dan keluar ruangan karena sudah merasa cukup dalam membantu menginterogasi Roni Ronaldo, pada saat itu Bripda Kristian Fery ikut menanyakan beberapa hal kepada Roni Ronaldo, karena merasa kesal, Bripda Kristian Fery menyuruh Roni Ronaldo berdiri lalu tiba-tiba mendorong lengan sebelah kiri Roni Ronaldo dengan menggunakan kedua tanggannya sehingga Roni Ronaldo terjatuh ke arah depan dan sempat dadanya membentur bibir meja tempat Brigadir Didik Setiawan menulis berita


(47)

commit to user

acara pemeriksaan lalu terjatuh ke lantai dengan posisi terlentang, kemudian Bripda Kristian Fery menyuruh Roni Ronaldo bangun lain menampar mata kanan Roni Ronaldo dengan tangan kanannya sebanyak 2 kali, setelah itu mengambil rotan warna hitam yang ada di lantai dan memukulkan ke arah lengan tangan, punggung, pinggang, paha dan pergelangan tangan Roni Ronaldo sebanyak masing-masing 1 kali sehingga Roni Ronaldo Rachditya als Gendon menambah pengakuan atas perbuatan pidana yang telah ia lakukan dan ditulis lagi pengakuan tersebut dalam berita acara oleh Brigadi Didik Setiawan, kemudian Bripda Kristian Fery meletakkan kembali rotan tersebut di lantai dan meninggalkan ruangan Opsnal.

Setelah Brigadir Didik Setiawan meminta Roni Ronaldo untuk menandatangimi berita acara pemeriksaan sekitar pukul 16.30 WIB, lalu Roni Ronaldo diborgol dan dibawa oleh Briptu Sudalmi bersama-sama dengan Terdakwa, Briptu Supriyanto, Brigadir Aan Yuantoro, Brigadir Didik Setiawan, dan Bripda Kristian Fery untuk mengecek tempat-tempat yang diduga untuk melakukan tindak pidana dengan menggunakan mobil Suzuki Cary Futura warna ungu No. Pol AD 8937 NU milik Polsektabes Banjarsari, kemudian sekitar pukul 17.30 WIB pengecekan lokasi dihentikan dan kembali ke Polsektabes Banjarsari, setibanya di Polsektabes Bajarsari, Roni Ronaldo diturunkan dari mobil oleh Bripda Kristian Fery dengan keadaan tangan masih diborgol lalu dibawa menuju ruang tahanan, pada saat menaiki tangga lantai untuk menuju ke ruang tahanan, Roni Ronaldo terpeleset jatuh dengan posisi tertelungkup sehingga bagian mukanya membentur tangga lantai, kemudian dibantu berdiri lagi dan dipapah menuju ke ruang tahanan serta borgol dilepaskan oleh Bripda Kristian Fery, lalu pada saat sampai di pintu mau masuk lokasi ruang tahanan, Roni Ronaldo dibantu berjalan oleh Bisri Muhtarom dan Pandu Simbiono masuk ke ruang tahanan, kemudian memandikan Roni Ronaldo karena melihat badannya kotor, setelah itu Roni Ronaldo didudukkan bersandar didinding ruang tahanan, lalu oleh Bisri Muhtarom diberi minum air mineral sebanyak 3 tegukan, beberapa saat kemudian karena kondisi tubuhnya nampak lemah, Bisri Muhtarom. menidurkan Roni Ronaldo di dak tempat tidur tahanan lalu mengecek denyut nadi Roni Ronaldo di


(48)

commit to user

pergelangan tangan dan di leher, pada saat itu masih ada denyut nadi Roni Ronaldo, namun karena takut terjadi sesuatu di ruang tahanan maka Bisri Muhtarom dan Pandu Simbiono sepakat memanggil petugas lalu datanglah Brigadir Didik Setiawan, Bripda Kristian Fery, Terdakwa dan Briptu Sudalmi ke ruang tahanan; lalu Brigadir Didik Setiawan mengangkat tubuh Roni Ronaldo dibawa ke dalam mobil lalu menuju ke rumah sakit PKU Muhammadiyah Surakarta bersama dengan Terdakwa, Bripda Kristian Fery, Brigadir Aan Yuantoro, dan Briptu Sudalmi.

Setelah sampai di rumah sakit PKU Muhammadiyah Surakarta sekitar pukul 18.00 WIB, Roni Ronaldo dibopong oleh Bripda Kristian Fery dimasukkan ke ruang UGD dan diletakkan di bed/tempat tidur kemudian langsung diperiksa denyut nadi, denyut jantung, dan napasnya oleh dr. Harry Haryana dan perawat yang bertugas saat itu yaitu Retnd Wulandari, AMK, namun saat diperiksa pertama kali, denyut nadi, denyut jantung, dan napasnya sudah tidak ada, lalu sesuai prosedur tim medis melakukan RJP (Resusitasi Jantung Paru) untuk menimbulkan reaksi dari jantung dan paru Roni Ronaldo selama lebih kurang 15 menit, namun tidak ada respon dari Roni Ronaldo dan akhirnya tim medis memvonis Roni Ronaldo sudah meninggal dunia.

Bahwa akibat perbuatan terdakwa bersama-sama dengan Briptu Sudalmi, Briptu Supriyanto, Brigadir Aan Yuantoro, Brigadir Didik Setiawan, dan Bripda Kristian Fery tersebut, Roni Ronaldo Rachditya als Gendon meninggal dunia sebagaimana diterangkan dalam Visum et Repertum An. Roni Ronaldo Rachditya No.:64/MF/XI/2006 tertanggal 21 November 2006 yang ditandatangani oleh dr.Budiyanto, SpF dokter pada Bagian Kedokteran Forensik dan Medicolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut :

I. Pemeriksaan Luar :

1. Keadaan jenazah : tidak bermeterai, terletak diatas meja porselen warna putih, jenazah tidak dibungkus, jenazah memakai jas warna biru tua, sepatu adidas warna putih, berkaos kaki putih, memakai sarung tangan warna putih, tidak memakai celana dalam.


(1)

Sesuai dengan Visum Et Repertum No. 64/MF/XI/2006 dan keterangan ahli dr. Boedijanto, Sp.F yang berpendapat bahwa sisa makanan masuk kedalam saluran nafas (trachea dan bronchus) dapat terjadi karena muntahan yang tersedak akibat beberapa faktor akubat pukulan / benturan di kepala, pukulan pada perut atau akibat stres. Masuknya sisa makanan kedalam saluran nafas menyebabkan korban tidak bisa bernafas dengan sempurna dan menimbulkan / mengkibatkan kematian.

Pembahasan

Berdasarkan penerapan ilmu Kedokteran Kehakiman melalui Visum et Repertum, diperoleh kepastian bahwa diatas tampak menguatkan terjadinya penganiayaan yang mengakibatkan kematian terhadap korban Roni Ronaldo Rachditya Als gendon. Tindak penganiayaan tersebut terbukti setelah adanya Visum et Repertum No. 64/MF/XI/2006 dan keterangan ahli dr. Boedijanto, Sp.F. Visum et Repertum dapat dijadikan alat bukti yang sah menurut KUHAP Pasal 184 ayat (1) c sebagai alat bukti surat.

Peran ilmu Kedokteran kehakiman dalam Kasus ini yaitu, dikeluarkannya

Visum et Repertum dan keterangan Ahli atas korban Roni Ronaldo. Hal ini menerangkan bahwa ahli menemukan sisa makanan, yaitu hasil muntahan dari perut sudah berupa gumpalan masuk kedalam saluran pernafasan korban. Sehingga Ahli berpendapat masuknya sisa makanan kedalam saluran pernafasan menyebabkan korban tidak bisa bernafas dengan sempurna yang menimbulkan / mengkibatkan kematian.

Kesimpulan dari hasil autopsi terhadap jenazah Roni Ronaldo adalah korban meninggal mati lemas karena tersumbatnya jalan nafas yang disebabkan masuknya sisa makanan kedalam saluran nafas (trachea dan bronchus). Sisa makanan masuk kedalam saluran nafas dapat terjadi karena muntahan yang tersedak akibat beberapa faktor seperti pukulan / benturan di kepala, pukulan pada perut atau akibat stress.

Kematian korban selain disebabkan sisa makanan masuk kedalam saluran nafas juga bisa disebabkan dari luka di tubuh korban karena trauma / pukulan di bagian kepala sebagimana tercatat dalam Visum Et Repertum No.64/MF/XI/2006, pada Pemeriksaan Luar No. 7.2 dan Pemeriksaan Dalam No.5.


(2)

commit to user

Bila dilihat dari Pasal yang digunakan jaksa, analisa yang dikemukakan penulis adalah :

Pasal 351 ayat 3 KUHAP :

Tentang Penganiayaan,

” Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun ”.

Unsur pertama adalah kesengajaan melakukan penganiayaan, sesuai

dengan keterangan terdakwa bahwa memang terdakwa melakukan penganiayaan terhadap korban sesaat sebelum korban meninggal dan diperkuat dengan Visum et Repertum No. 64/MF/XI/2006 dan keterangan ahli dr. Boedijanto, Sp.F. yang menerangkan ditemukan tanda-tanda kekerasan di tubuh korban baik dari pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam (adanya kerusakan organ akibat trauma benda tumpul). Dengan demikian unsur penganiayaan dapat terpenuhi dari keterangan terdakwa dan Visum et Repertum.

Unsur kedua adalah ” mengakibatkan mati ” bahwa akibat perbuatan terdakwamelakukan penganiayaan terhadap korban maka korban meninggal, dan terbukti pula akibat kematian tersebut adalah karena perbuatan terdakwa, bukan karena kelainan ataupun penyakit seperti yang dituangkan dalam Visum et Repertum. Dalam keterangan Visum et Repertum No. 64/MF/XI/2006 dan keterangan ahli dr. Boedijanto, Sp.F. ini pula dapat diambil kesimpulan bahwa unsur ” mengakibatkan kematian ” terpenuhi. Berdasarkan uraian di atas tentang penerapan pasal pidana terhadap perbuatan korban. Dapat dilihat betapa penerapan Ilmu Kedokteran kehakiman oleh ahli Ilmu kedokteran kehakiman melalui Keterangan Lisan atau keterangan tertulis berupa Visum et Repertum sangat berperan dalam proses pembuktian dan penyelesaian perkara pidana di pengadilan.

B. Hambatan dalam Penggunaan Keterangan Dokter sebagai Alat Bukti dalam


(3)

Ditemukan beberapa hasil hambatan yang timbul dalam penerapan penggunaan keterangan dokter dalam proses pembuktian perkara pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian.

Tidak optimalnya peran ilmu kedokteran kehakiman dikarenakan kurangnya pengetahuan yang dimiliki penyidik tentang ilmu kedokteran kehakiman sehingga mengakibatkan terhambatnya pencarian, pengumpulan dan pemeriksaan barang bukti di Tempat Kejadian Perkara. Kemudian akan berdampak pada kurang lengkapnya alat bukti yang diajukan kepada hakim, yang berpengaruh besar pada keyakinan hakim yang dapat mengakibatkan bebasnya terdakwa yang sebenarnya bersalah atau pengembalian berkas kepada jaksa ataupun penyidik untuk dilengkapi lagi, yang berarti akan menghambat penyelesaian perkara pidana.

Hambatan lain yang kerap kali muncul adalah adanya keberatan dari keluarga korban untuk memberikan ijin pemeriksaan jenazah, terutama pemeriksaan dalam atau bedah jenazah.

Adapun cara untuk mengoptimalkan peran Ilmu Kdokteran Kehakiman dalam proses pembuktian perkara pidana, perlu diadakan semacam pendidikan khusus bagi aparat Kepolisian RI sebagai penyidik, guna menambah pengetahuan mereka dibidang ilmu kedokteran kehakiman sehingga dapat mengefektifitaskan peran ilmu kedokteran kehakiman dalam proses pembuktian perkara pidana, sehingga memperlancar penyelesaian perkara pidana, dalam hal ini penganiayaan yang mengakibatkan kematian.

Saat ini penanganan terhadap barang bukti di tempat kejadian perkara (TKP) hanya ditangani oleh pihak penyidik, sedangkan dokter ahli ilmu kedokteran kehakiman jarang diikut sertakan dalam pencarian, pengumpulan dan pemeriksaan barang buti di TKP, padahal dokter ahli ilmu kedokteran kehakiman tentunya lebih ahli dan menguasai dalam hal tersebut dibanding pihak penyidik. Maka alangkah lebih baik jika pihak ahli kedokteran kehakiman dalam proses pembuktian tersebut diikutsertakan agar barang bukti yang didapat lebih lengkap sehingga akan lebih memperlancar penyelesaian perkara pidana tersebut.

Demi kelancaran proses penyelesaian suatu perkara pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, dalam acara pemeriksaan jenazah forensik korban yang


(4)

commit to user

meninggal diduga akibat pidana oleh orang lain, sebaiknya diadakan bedah jenazah dalam walaupun ada keberatan dari pihak keluarga korban, agar bisa ditemukan sebab-sebab kematiannya sehingga bisa mengungkapkan perkara pidana tersebut.

Keterangan dokter sebagai ahli dan Visum et Repertum memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pandangan hakim dalam menilai suatu perbiatan pidana. Namun Visum et Repertum dan keterangan dokter sebagai ahli mempunyai kekuatan pembuktian yang lemah apabila tidak sejalan dengan alat bukti yang lain, khususnya alat bukti keterangan saksi korban atau keterangan terdakwa.


(5)

BAB IV P E N U T U P

A. Simpulan

Berdasarkan apa yang diuraikan dalam bab hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut :

1. Kekuatan Pembuktian Keterangan Dokter dalam Proses Pembuktian Perkara

Pidana Di Persidangan adalah keterangan dokter sebagai ahli dan Visum et Repertum memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pandangan hakim dalam menilai suatu perbuatan pidana. Namun Visum et Repertum dan keterangan dokter sebagai ahli mempunyai kekuatan pembuktian yang lemah apabila tidak sejalan dengan alat bukti yang lain, khususnya alat bukti keterangan saksi korban atau keterangan terdakwa.

2. Hambatan-hambatan yang muncul dalam penerapan bukti keterangan dokter

dalam proses pembuktian perkara pidana yaitu tidak optimalnya peran ilmu kedokteran kehakiman dikarenakan kurangnya pengetahuan yang dimiliki penyidik tentang ilmu kedokteran kehakiman sehingga mengakibatkan terhambatnya pencarian, pengumpulan dan pemeriksaan barang bukti di Tempat Kejadian Perkara. Kemudian akan berdampakpada kurang lengkapnya alat bukti yang diajukan kepada hakim, yang berpengaruh besar pada keyakinan hakim yang dapat mengakibatkan bebasnya terdakwa yang sebenarnya bersalah atau pengembalian berkas kepada jaksa ataupun penyidik untuk dilengkapi lagi, yang berarti akan menghambat penyelesaian perkara pidana.

Saat ini penanganan terhadap barang bukti di tempat kejadian perkara (TKP) hanya ditangani oleh pihak penyidik, sedangkan dokter ahli ilmu kedokteran kehakiman jarang diikut sertakan dalam pencarian, pengumpulan dan pemeriksaan barang buti di TKP, padahal dokter ahli ilmu kedokteran kehakiman tentunya lebih ahli dan menguasai dalam hal tersebut dibanding pihak penyidik. Maka alangkah lebih baik jika pihak ahli kedokteran kehakiman


(6)

commit to user

dalam proses pembuktian tersebut diikutsertakan agar barang bukti yang didapat lebih lengkap sehingga akan lebih memperlancar penyelesaian perkara pidana tersebut.

B. Saran-Saran

1. Adapun cara untuk mengoptimalkan peran Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam

proses pembuktian perkara pidana, perlu diadakan semacam pendidikan khusus bagi aparat Kepolisian RI sebagai penyidik, guna menambah pengetahuan mereka dibidang ilmu kedokteran kehakiman sehingga dapat mengefektifitaskan peran ilmu kedokteran kehakiman dalam proses pembuktian perkara pidana, sehingga memperlancar penyelesaian perkara pidana, dalam hal ini penganiayaan yang mengakibatkan kematian.

2. Demi kelancaran proses penyelesaian suatu perkara pidana penganiayaan yang

mengakibatkan kematian, dalam acara pemeriksaan jenazah forensik korban yang meninggal diduga akibat pidana oleh orang lain, sebaiknya diadakan bedah jenazah dalam walaupun ada keberatan dari pihak keluarga korban, agar bisa ditemukan sebab-sebab kematiannya sehingga bisa mengungkapkan perkara pidana tersebut.

3. Ketarangan dokter tidak mengikat hakim, begitu pula dengan Visum et

Repertum. Artinya hakim tidak boleh aproiri terhadap hasil keterangan dokter dan hasil yang tertuang dalam Visum et Repertum karena bagaimanapun juga dokter juga manusia yang tidak luput dari kesalahan dan rekayasa.


Dokumen yang terkait

Studi tentang kekuatan pembuktian keterangan ahli Dalam proses pemeriksaan perkara pidana Di sidang pengadilan (studi kasus vcd bajakan di pengadilan negeri kediri

1 4 69

PERANAN DOKTER AHLI KANDUNGAN DALAM PEMBUKTIAN PERKARA ABORSI (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten) Peranan Dokter Ahli Kandungan Dalam Pembuktian Perkara Aborsi(Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten).

0 4 12

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Alat Bukti Petunjuk dalam Penyelesaian Perkara Pidana (Studi Kasus di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta).

0 6 15

SKRIPSI ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA Alat Bukti Petunjuk dalam Penyelesaian Perkara Pidana (Studi Kasus di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta).

0 3 13

PENDAHULUAN Alat Bukti Petunjuk dalam Penyelesaian Perkara Pidana (Studi Kasus di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta).

0 2 11

TINJAUAN TENTANG KEKUATAN ALAT BUKTI AKTA DI BAWAH TANGAN DALAM PROSES PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI KARANGANYAR.

0 0 13

SKRIPSI Penggunaan Keterangan Terdakwa dalam Pembuktian Persidangan Perkara Pidana ( Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta ).

0 0 14

PENDAHULUAN Penggunaan Keterangan Terdakwa dalam Pembuktian Persidangan Perkara Pidana ( Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta ).

0 1 18

PENGGUNAAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PENGGUNAAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SUKOHARJO).

0 0 11

PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI SIDANG PENGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI PADANG).

0 0 6