Kajian Imunohistokimia Perkembangan Neuron Katekolaminergik pada Area Postrema Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

KAJIAN IMUNOHISTOKIMIA PERKEMBANGAN
NEURON KATEKOLAMINERGIK PADA AREA
POSTREMA MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis)

TRI WAHYU PANGESTININGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan

ini

saya

menyatakan


bahwa

disertasi

berjudul

“Kajian

Imunohistokimia Perkembangan Neuron Katekolaminergik pada Area Postrema
Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)” ini adalah karya saya sendiri
dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.

Bogor, Februari 2006

Tri Wahyu Pangestiningsih
NRP: P 30600003


KAJIAN IMUNOHISTOKIMIA PERKEMBANGAN
NEURON KATEKOLAMINERGIK PADA AREA
POSTREMA MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis)

TRI WAHYU PANGESTININGSIH

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Doktor
pada Program Studi Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

Judul Disertasi


:

Nama
NRP
Program Studi

:
:
:

Kajian Imunohistokimia Perkembangan Neuron
Katekolaminergik pada Area Postrema Monyet
Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
Tri Wahyu Pangestiningsih
P 30600003
Primatologi

Disetujui
Komisi Pembimbing


Prof. Dr. drh. Koeswinarning Sigit, MS.
Ketua

Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST., Ph.D.
Anggota

Dr.drh. Nurhidayat, MS.
Anggota

Prof. Douglas McHose Bowden, MD.
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi Primatologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.


Tanggal Ujian: 14 Februari 2006

Tanggal Lulus

KAJIAN IMUNOHISTOKIMIA PERKEMBANGAN NEURON
KATEKOLAMINERGIK PADA AREA POSTREMA
MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis)
Tri Wahyu Pangestiningsih1,3), Koeswinarning Sigit2), Dondin Sajuthi2,3),
Nurhidayat2), Douglas McHose Bowden4)
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian secara imunohistokimia tentang perkembangan
neuron katekolaminergik (KA) pada area postrema (AP) monyet ekor panjang
/MEP (Macaca fascicularis), mulai umur kebuntingan 40 hari (F 40) sampai anak
umur 105 hari (P 105) menggunakan pelabelan tunggal tirosin hidroksilase (TH),
dan pada F 55, F 70, F 145 dengan pelabelan ganda TH dan dopamin ßhidroksilase (DBH).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa neuron KA dalam bentuk kelompok
imunoreaktif TH (ir-TH) dapat diamati mulai F 55 pada daerah yang sejajar
dengan bagian kaudal medula oblongata, dan pada umur tersebut neuron KA
bermigrasi ke ventrolateral menjadi bakal Grup A2 dan A1.

Neuron ir-TH pada AP fetus terletak di dekat lapisan ependimal serta di bagian
internal, berbentuk bulat dengan prosesus sitoplasma kecil pada F 55, kemudian
berkembang menjadi neuron bipolar dengan prosesus sitoplasma yang pendek
pada F 100, dan berkembang lebih lanjut menjadi neuron bipolar dengan
prosesus sitoplasma yang panjang pada P 105. Sejumlah kecil badan sel yang
imunoreaktif-DBH (ir-DBH) ditemukan pada F 55, dan jumlahnya semakin
bertambah pada F 70 dan F 145.
Jalur katekolamin pada medula oblongata pertama kali ditemukan pada F 120,
yang menghubungkan antara neuron KA di Grup A2 dengan A1, dari
dorsomedial medula oblongata menuju area ventrolateral. Keberadaan jalur
katekolaminergik ini menandakan bahwa neuron KA dalam medula oblongata
telah berdiferensiasi membentuk jalur akson yang saling tersambung satu
dengan yang lain, dan merupakan tanda bahwa sistem katekolaminergik sudah
berada dalam tahap siap berfungsi.
Penelitian juga menemukan bahwa neuron KA di AP pada MEP dipertahankan
keberadaannya sampai postnatal, yang pada spesies mamalia lain belum
diketahui karena belum ada informasinya. Ditemukan juga bahwa pada periode
fetus, neuron KA di AP pada MEP didominasi oleh neuron dopaminergik dengan
sedikit neuron noradrenergik. Dapat disimpulkan bahwa neuron KA di AP pada
MEP merupakan sel bakalan yang membentuk sel-sel Grup A2 dan A1.

Kata kunci: monyet ekor panjang, area postrema, tirosin hidroksilase, dopamin
ß-hidroksilase, neuron katekolaminergik, neuron dopaminergik,
neuron noradrenergik, perkembangan fetus, sel bakalan.

________
1)
2)
3)
4)

Bagian dari disertasi penulis pertama, Program Studi Primatologi, Sekolah Pascasarjana-IPB; Fak.
Kedokteran Hewan UGM, Tel: 0274-7480307, email: wahyuwijayanto@yahoo.com
Program Studi Primatologi, Sekolah Pascasarjana-IPB, Tel: 0251-353386; Fak. Kedokteran Hewan
IPB, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Tel: 0251-421865
Pusat Studi Satwa Primata, LPPM-IPB, Jl. Lodaya II/5 Bogor, 16151, Tel: 0251-313637.
National Primate Research Center, University of Washington,1705 NE Pacific St. Seattle, Washington.
98195.

DEVELOPMENT OF CATECHOLAMINERGIC NEURONS IN THE AREA
POSTREMA OF THE LONG-TAILED MACAQUE (Macaca fascicularis):

AN IMMUNOHISTOCHEMICAL STUDY
Tri Wahyu Pangestiningsih1,3), Koeswinarning Sigit2), Dondin Sajuthi2,3),
Nurhidayat2), Douglas McHose Bowden4)

ABSTRACT
The development of catecholaminergic (CA) neurons in the area
postrema (AP) of the long-tailed macaque from fetal day (F) 40 to postnatal day
(P) 105 was studied immunohistochemically.
Single label for tyrosine
hydroxylase (TH) was applied for F40 up to P105, while double labeling for TH
and dopamine ß-hydroxylase (DBH) was used for specimens F 55, F 70 and F
145. (Average duration of pregnancy is about 165 days.).
CA neurons first appeared at F 55 as a cluster of TH immunoreactive
(TH-ir) neurons predominantly in the anlage of AP in the posterolateral wall of the
fourth ventricle. Labeled neurons, round with very short cytoplasmic processes
were distributed most densely just deep to the ependymal layer with scattered
cells further from the ventricular surface. At F 55 a very small number of THir
cells was seen in dorsomedial and ventrolateral areas corresponding to the
subsequent location of CA groups A1 and A2 in the caudal medulla. At F 100
TH-ir cells were more bipolar in shape with short cytoplasmic processes that

were longer in the P 105 specimen. Double labeling revealed that most of the
CA cells in AP were immunoreactive for TH. A very few were reactive for DBH at
F 55, and a few more at F 70 and F 145. The first evidence of CA pathway
development appeared in the F 120 specimen. TH labeled fibers were seen in
coronal section between labeled cells in A1, A2 and AP.
From these results we propose that in the long-tailed macaque: 1) the
area postrema is the source of stem cells for CA neurons that migrate to areas
A1 and A2; 2) by the end of the fetal period and during early infancy A1 and A2
are already predominantly noradrenergic, whereas cells in area postrema remain
largely dopaminergic.

Keywords: long-tailed macaque, area postrema, tyrosine hydroxylase, dopamine
ß-hydroxylase, catecholaminergic neurons, dopaminergic neurons,
noradrenergic neurons, fetal development, stem cells.

________
1)
2)
3)
4)


Part of the dissertation of the first author. Program Studi Primatologi, Sekolah Pascasarjana-IPB;
Fak. Kedokteran Hewan UGM, Tel: 0274-7480307, email: wahyuwijayanto@yahoo.com
Program Studi Primatologi, Sekolah Pascasarjana-IPB Tel: 0251-353386; Fak. Kedokteran
Hewan IPB, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Tel: 0251-421865
Pusat Studi Satwa Primata, LPPM-IPB, Jl. Lodaya II/5 Bogor, 16151, Tel: 0251-313637.
National Primate Research Center, University of Washington, 1705 NE Pacific St. Seattle,
Washington. 98195.

PRAKATA
Syukur ke hadlirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan
hidayah-Nya, sehingga disertasi yang membahas mengenai perkembangan sel
syaraf (neuron) dengan judul ”Kajian Imunohistokimia Perkembangan Neuron
Katekolaminergik pada Area Postrema Monyet Ekor Panjang (Macaca
fascicularis)” ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga
tahun, sejak Agustus 2002 sampai dengan September 2005 di Pusat Studi
Satwa Primata-LPPM, IPB dan University of Washington, Seattle, Amerika
Serikat, yang merupakan projek kerjasama penelitian antara ke-dua institusi
tersebut di atas.
Pada kesempatan ini penghargaan dan terima kasih setinggi-tingginya

Penulis ucapkan kepada:
Prof. Dr. drh. Koeswinarning Sigit, MS., Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST., Ph.D.,
Dr. drh. Nurhidayat, MS.,

dan Prof. Douglas M Bowden, MD. selaku Dewan

Komisi Pembimbing atas segala waktu, nasehat, kesabaran, ketelitian, dan
pengorbanan yang dicurahkan selama pembimbingan hingga selesainya
penulisan disertasi ini.
Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada Rektor dan Dekan
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan
ijin tugas belajar, serta Dekan Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan
belajar yang diberikan.
Tak lupa ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Dr. Ir. Sri Supraptini
Mansjoer selaku Ketua Program Studi Primatologi, Sekolah Pascasarjana IPB,
Dr. drh. Joko Pamungkas, MSc., selaku Kepala Pusat Studi Satwa Primata
LPPM-IPB, drh. I Nengah Budiarsa selaku Direktur Wanara Satwa Loka atas
fasilitas serta bantuan yang diberikan.

Kepada

Dr. Anita Hendrickson dari

National Primate Research Center-University of Washington, Seattle, Amerika
Serikat atas fasilitas, bantuan dan bimbingan pada pewarnaan label ganda, serta
masukan-masukannya melalui komunikasi pribadi selama penulisan disertasi.
Kepada Dr. David Pow dari Queensland University atas bantuan revealit antigen
yang diberikan.

Terima kasih juga Penulis sampaikan kepada BPPS-DIKTI dan APPERI
sebagai Lembaga Pemberi Beasiswa selama Penulis menjalankan tugas belajar.
Penghargaan dan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Nastiti
Kusumorini, Prof. drh. Soesanto Mangkoewidjojo, MSc., PhD., dan Dr. drh. Arief
Boediono selaku penguji luar komisi dalam ujian tertutup dan terbuka atas segala
saran dan masukannya untuk penyempurnaan disertasi ini.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada
Dr. drh. Diah Iskandriati, Dr. drh. Erni Sulistiawati, Dr. Drh. Chairun Nisa MS, drh.
Diah Pawitri, dr. Irma A Suparto MS, Ir. Entang Iskandar MSi, Ir. Itasia A Lelana,
Dr. Mark Dubah, Andra Erickson, Erik McArthur, Hidayat

Djajadi, Rahayu

Sulistina, Artati Sri Redjeki SH, Ir. Linda, para staf di Laboratorium Patologi dan
Lipida serta di Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi PSSP LPPM-IPB,
Bagian Anatomi FKH IPB dan UGM, dan semua rekan di PSSP LPPM-IPB dan
PRM yang telah membantu selama Penulis menjalani studi.
Segala ujian dan tantangan selama tugas belajar tak akan dapat Penulis
lalui tanpa dorongan dari seluruh keluarga. Untuk itu, Penulis sangat berterima
kasih kepada suami tercinta Mas Hery, serta anak-anakku Dian, Andi, Dhanik
atas kesabaran, pengertian, dan pengorbanan yang diberikan selama Penulis
menjalani studi.

Kepada ayahnda Ignatius Jahoedi Priohamidjojo, Mas Tiwid,

Mbak Ninuk, Heni, dan Dhini beserta keluarga serta keluarga besar Supadi
terima kasih atas bantuan, dorongan semangat, dan doa yang tiada henti.
Akhir kata, semoga Allah Yang Maha Kuasa selalu melimpahkan rahmat
dan hidayah kepada Penulis untuk mengamalkan ilmu yang diperoleh demi
kemajuan bangsa dan negara, serta dapat dimanfaatkan bagi peningkatan
kesejahteraan manusia.

Bogor, Februari 2006
Penulis

Tri Wahyu Pangestiningsih
NRP: P 30600003

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pacitan, Jawa Timur pada tanggal 6 November
1962, sebagai anak ketiga dari Ayah Ignatius Jahoedi Priohamidjojo dan Ibu
Maria Elizabeth Soepartijani (Almh).
Pendidikan dasar sampai menengah pertama Penulis selesaikan di
Pacitan tahun 1978, sedang pendidikan menengah atas di SMA Negeri I Madiun
lulus tahun 1981. Pada tahun yang sama Penulis diterima sebagai mahasiswa di
Fakultas Kedokteran Hewan UGM hingga mendapatkan gelar Dokter Hewan
pada tahun 1987, dan diterima menjadi staf edukatif pada fakultas yang sama
pada tahun 1989. Gelar Magister Ilmu-Ilmu Pertanian (MP) Penulis peroleh dari
Program Studi Sain Veteriner, Program Pascasarjana UGM tahun 1994.
Untuk mengembangkan diri

dalam IImu Anatomi Veteriner khususnya,

hingga kini Penulis menjadi anggota Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia
sejak tahun 1987 dan Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia sejak tahun 1989.
Untuk

memperkuat

pemahaman

tentang

neuroscience,

Penulis

berkesempatan menjadi peneliti tamu pada Biostructure Technology Laboratory,
National Primate Research Center, University of Washington, Amerika Serikat
pada bulan Januari-Juni 2002 dan Juni-Agustus 2005. Pada kesempatan
pertama sebagai peneliti tamu di Institusi di atas, Penulis berhasil menyelesaikan
penambahan istilah neuroanatomi dalam Bahasa Indonesia pada website neuro
science dengan alamat situs http://braininfo.rprc.washington.edu

melengkapi

istilah dalam bahasa Inggris, Rusia, Spanyol, Italia, dan Belanda yang sudah
ada sebelumnya.
Penulis menikah dengan Dr. drh. Hery Wijayanto, MP. dan dikaruniai tiga
orang putra-putri, Dian Meididewi Nuraini, Jazmi Anditya Wicaksono, dan
Sabrina Wahyu Wardhani.

DAFTAR ISI
Hal
DAFTAR ISI ....................................................................................................

x

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................

xii

DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................

xiv

PENDAHULUAN .............................................................................................
Latar belakang ...........................................................................................
Tujuan penelitian .......................................................................................
Manfaat penelitian .....................................................................................

1
1
6
6

TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................
Biologi Macaca fascicularis........................................................................
Anatomi dan fungsi otak ............................................................................
Perkembangan otak ..................................................................................
Neurotransmiter .........................................................................................
Katekolamin ................... ...........................................................................
Identifikasi katekolamin .............................................................................
Neuron katekolaminergik ...........................................................................
Area postrema ...........................................................................................

7
8
8
13
18
19
21
22
25

MATERI DAN METODE .................................................................................
Tempat dan waktu penelitian ....................................................................
Materi penelitian ........................................................................................
Metode........................................................................................................
Pengambilan fetus................................................................................
Perfusi jaringan otak ...........................................................................
Proses blok parafin dan sayatan preparat untuk pewarnaan
imunohistokimia label tunggal .............................................................
Pewarnaan cresyl eacht violet dan HE ...............................................
Pewarnaan imunohistokimia secara label tunggal ..............................
Pewarnaan imunohistokimia secara label ganda ................................
Pengamatan hasil penelitian................................................................
Interpretasi hasil pewarnaan imunohistokimia......................................
Analisis hasil ........................................................................................

30
30
30
31
31
31

HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................................
Hasil ..........................................................................................................
Anatomi area postrema .......................................................................
Perkembangan morfologi neuron KA di AP ........................................
Migrasi neuron KA di AP dan distribusinya .........................................
Diferensiasi neuron KA di AP menjadi neuron dopaminergik atau
noradrenergik......................................................................................

32
34
34
36
36
37
38
39
39
39
39
45
48

Terbentuknya jalur akson katekolamin di medulla oblongata ..............
Intensitas pewarnaan neuron KA di AP ...............................................
Pembuluh darah pada AP ...................................................................
Pembahasan .............................................................................................
Anatomi area postrema .......................................................................
Perkembangan morfologi neuron KA di AP ........................................
Migrasi neuron KA pada medula oblongata dan distribusinya ............
Diferensiasi neuron KA di AP menjadi neuron DA atau NA ................
Terbentuknya jalur akson katekolamin di medula oblongata ...............
Intensitas pewarnaan neuron KA di AP ...............................................
Pembuluh darah pada AP ...................................................................

52
52
52
56
56
56
58
59
61
62
63

KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................................
Kesimpulan ................................................................................................
Saran .........................................................................................................

64
64
64

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................

65

DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1.

Potongan di bidang median otak manusia..........................

12

Gambar 2.

Perkembangan sistem syaraf manusia pada bulan pertama
kebuntingan.............................................................................

13

Skema perkembangan neuron dan neuroglia di buluh
neural dan krista neural ..........................................................

15

Gambar 3.

Gambar 4.

Skema perkembangan otak. ……………………………………….. 17

Gambar 5.

Klasifikasi neurotransmiter .....................................................

19

Gambar 6.

Sintesis berbagai jenis katekolamin yang ditemukan pada
jaringan syaraf serta enzim yang terlibat dalam seri
perubahannya .........................................................................

20

Metabolisme katekolamin oleh enzim catechol-Ométhyltransferase (COMT) dan mono-aminoxidase (MAO) ..

21

Potongan batang otak pada bidang frontal (kiri) dan bidang
sagital (kanan) pada monyet Rhesus......................................

25

Potongan koronal AP tikus dengan pewarnaan
imunositokimia terhadap TH ...................................................

26

Skema tahap-tahap penelitian mulai dari seleksi induk,
preparasi sampel sampai ke pewarnaan imunohistokimia ....

32

Sayatan koronal medula oblongata pada P 105 dengan
perwarnaan imunohistokimia terhadap TH..............................

40

Gambaran mikroskopis area postrema pada P 10 dengan
pewarnaan HE .......................................................................

41

Sayatan koronal bakal medula oblongata pada F 40 dengan
pewarnaan imunohistokimia terhadap TH ............................

42

Sayatan koronal daerah bakal AP di medula oblongata pada
F 55 dengan pewarnaan imunohistokimia terhadap TH ......

43

Perkembangan bentuk neuron katekolaminergik di AP mulai
F 40 sampai P 105 .................................................................

44

Gambar 7.

Gambar 8.

Gambar 9.

Gambar 10.

Gambar 11.

Gambar 12.

Gambar 13.

Gambar 14.

Gambar 15.

Gambar 16. Gambaran skematis perkembangan bentuk neuron KA di AP
mulai F 40 sampai P105. .........................................................
Gambar 17.

45

Sayatan koronal daerah medula oblongata pada F 55
dengan pewarnaan imunohistokimia terhadap TH..................

46

Sayatan koronal daerah medula oblongata pada F 70
dengan pewarnaan imunohistokimia terhadap TH ................

47

Sayatan sagital AP pada F 55 dengan pewarnaan
imunofloresen label ganda terhadap TH dan DBH .................

49

Sayatan sagital AP pada F 70 dengan pewarnaan
imunofloresen label ganda terhadap TH dan DBH .................

50

Sayatan sagital AP pad F 145 dengan pewarnaan
imunofloresen label ganda terhadap TH dan DBH .................

51

Jalur akson katekolamin ventral ascenden catecholamine
pathway (acp v) di medula oblongata pada F 120 dengan
pewarnaan imunohistokimia terhadap TH ..............................

53

Sayatan koronal area postrema pada F 100 dengan
pewarnaan imunohistokimia terhadap TH ..............................

54

Gambar 24. Sayatan koronal area postrema dengan pewarnaan
imunohistokimia terhadap TH pada P 10 ..............................

55

Gambar 18.

Gambar 19.

Gambar 20.

Gambar 21.

Gambar 22.

Gambar 23.

DAFTAR SINGKATAN
A

=

adrenergik

AADC

=

aromatic amino acid DOPA decarboxylase

acpv

=

ventral ascending catecholamine pathway

AP

=

area postrema

COMT

=

catechol O-methyl transferase

CTZ

=

chemoreceptor trigger zone

CVO

=

circumventricular organ

DA

=

dopaminergik

DAB

=

3,3-diamino benzidine tetrahydrochloride

DBH

=

dopamine ß-hydroxylase

DVC

=

dorsal vagal complex

FITC

=

fluorocein-iso-thiocyanate

ir-DBH

=

imunoreaktif DBH

ir-TH

=

imunoreaktif TH

KA

=

katekolaminergik

MAO

=

monoamine oxidase

MEP

=

monyet ekor panjang

MN

=

metanephrine

NA

=

noradrenergik

NGF

=

neuronal growth factors

NHS

=

normal horse serum

NMN

=

normetanephrine

PB

=

phosphate buffered

PBS

=

phosphate buffered saline

PNMT

=

phenylethanolamine N-methyl transferase

SIDS

=

sudden infant death syndrome

TH

=

tyrosine hydroxylase

VMA

=

vanilmandelic acid

PENDAHULUAN
Latar belakang
Suatu individu sering berada dalam lingkungan yang tidak sesuai dengan
kondisi yang diharapkan, sehingga diperlukan sistem yang peka terhadap
perubahan lingkungan agar homeostasis tubuh tetap terjaga. Salah satunya
adalah sistem syaraf, yang merupakan pengatur sistem-sistem tubuh untuk
memelihara homeostasis, karena kemampuannya menerima rangsangan, baik
eksternal maupun internal, mengolah serta mengintegrasikan rangsangan
tersebut untuk diteruskan ke organ target agar mendapat tanggapan. Sistem
syaraf terdiri dari sistem syaraf pusat yakni otak dan medula spinalis, serta
sistem syaraf perifer yaitu serabut-serabut syaraf dan ganglion (Carola et al.
1990). Untuk menjalankan fungsinya, sistem syaraf mempunyai neuron sebagai
unit anatomis dan fungsional terkecil, serta neuroglia sebagai sel penunjang.
Neuron tersusun atas badan sel atau perikarion, serta dua jenis prosesus
sitoplasma, yakni tempat masuknya impuls (dendrit) dan tempat keluarnya
impuls (akson), sedangkan daerah antar sel yang merupakan tempat akson dan
dendrit saling bersinapsis disebut neurofil (Shepherd 1983). Kumpulan badan
sel syaraf pada sistem syaraf pusat dinamakan nukleus, sedang yang berada
pada sistem syaraf perifer disebut ganglion (Banks 1993).
Komponen terbesar sistem syaraf pusat adalah otak, yang secara
embrional berkembang dari lempeng neural (neural plate), yaitu suatu penebalan
lapis ektodermal di bagian dorsal embrio. Di sisi lempeng neural terdapat
sepasang penonjolan jaringan yang kemudian bergabung membentuk buluh
neural (neural tube) dengan rongga di tengahnya yang disebut canalis neuralis.
Tepi ektodermal yang berbatasan dengan buluh neural selanjutnya berkembang
membentuk krista neural, yang kemudian berkembang menjadi ganglion, sel
kromafin di medula adrenal, neuron bipolar pada alat pendengaran, dan selaput
pembungkus otak.
Untuk melakukan komunikasi, baik antar neuron atau antara neuron
dengan organ target, biasanya berjalan melalui penghantaran impuls di daerah

1

sinaps, baik secara elektrik maupun kimiawi. Penghantaran impuls secara
elektrik terjadi karena adanya perbedaan aksi potensial pada akson, sehingga
sinyal berjalan dari pangkal akson menuju ke ujung dan diteruskan ke organ
target oleh

gap junction, sedang penghantaran sinyal secara

kimiawi

memerlukan bahan kimia perantara yang disebut dengan neurotransmiter.
Neurotransmiter ini dilepaskan dari ujung akson menuju ke daerah synaptic gap,
yang kemudian ditangkap oleh reseptor pada organ target untuk menghasilkan
reaksi.
Di otak, terdapat kurang lebih 50 macam neurotransmiter, yang pada
garis besarnya digolongkan menjadi golongan asetilkolin, monoamin, asam
amino, dan peptida. Golongan monoamin terdiri atas kelompok katekolamin
(contohnya dopamin, noradrenalin, dan adrenalin), serta kelompok indoleamin
(contohnya adalah serotonin). Neuron yang mensintesa katekolamin disebut
neuron katekolaminergik (KA).
Katekolamin disintesa dari asam amino tirosin sebagai prekursor, yang
kemudian diubah menjadi catecholamine dihydroxyphenylalanine (disebut juga
DOPA) dengan penambahan sebuah gugus hidroksil pada cincin katekol oleh
enzim tyrosine hydroxylase (TH). Selanjutnya DOPA mengalami dekarboksilasi
pada kelompok amin menjadi dopamin oleh enzim DOPA decarboxylase. Karena
enzim DOPA decarboxylase juga bekerja pada substrat asam amino aromatik
lain, maka enzim ini sering disebut juga dengan aromatic amino acid DOPA
decarboxylase (AADC).
Dopamin merupakan salah satu produk pada sintesis katekolamin, yang
selain aktif secara biologis, juga menjadi prekursor untuk sintesis noradrenalin,
melalui penambahan gugus hidroksil ke kelompok karbon yang dekat dengan
cincin katekol oleh enzim dopamine ß-hydroxylase (DBH).

Selanjutnya

noradrenalin diubah menjadi adrenalin dengan cara metilasi kelompok amin
terakhir oleh enzim phenylethanolamine N-methyl transferase (PNMT) (Reiner
1994; Erlandsen 2002).

2

Keberadaan katekolamin di dalam jaringan dapat diidentifikasi dengan
beberapa cara, antara lain dengan mendeteksi katekolamin itu sendiri, enzim
yang mensintesis maupun memetabolisir, ataupun kompleks uptake yang
terbentuk setelah degradasi katekolamin.

Salah satu metode anatomis yang

biasa digunakan untuk mengidentifikasi katekolamin tersebut adalah teknik
imunohistokimia. Teknik imunohistokimia yang dipakai untuk mengidentifikasi
keberadaan neuron dopaminergik (DA), noradrenergik (NA), dan adrenergik (A),
dikerjakan dengan menggunakan antibodi terhadap TH, yang merupakan enzim
pertama dalam jalur sintesa katekolamin, sedang untuk mendeteksi neuron NA
digunakan antibodi terhadap DBH.

Dengan metode yang sama sering juga

dilakukan identifikasi terhadap keberadaan neuron A, dengan memanfaatkan
antibodi terhadap PNMT.
Pada manusia dewasa, neuron KA berfungsi untuk mengontrol perasaan
(mood), aktivitas psikomotorik, mengatasi gangguan emosional (affective
disorder) dan kegelisahan (Carlsson 1987), semangat (drives), penghargaan
(reward), nafsu makan, minum dan reproduksi (Fellous 1999), serta mengatur
fungsi endokrin dan sistem syaraf otonom (Tillet 1994). Pada masa prenatal,
katekolamin penting bagi perkembangan fetus, sedangkan pada masa postnatal
berperan dalam mempertahankan daya hidup (Zhou et al. 1995; Thomas et al.
1995). Organisasi neuron KA yang memiliki peran besar dalam sistem
homeostasis tubuh salah satunya adalah area postrema (AP).
Area postrema merupakan sepasang circumventricular organ (CVO)
yang letaknya di otak bagian paling kaudal, berbentuk agak bulat dan menonjol
ke ventrikel IV, di sebelah rostral nukleus grasilis, di dorsal nukleus traktus
solitarius. Posisi ini membuat AP menjadi tempat berkomunikasinya parenkim
otak dengan cairan cerebrospinal. Oleh karena itu, AP memiliki peran besar
dalam

mengontrol sistem respirasi, pengaturan sistem kardiovaskuler, dan

mengatur intake makan, minum, dan pengosongan isi lambung, serta proses
muntah karena pengaruh bahan kimia emetik. Untuk melaksanakan fungsi
tersebut, neuron AP didukung oleh adanya kandungan katekolamin, yaitu

3

dopamin dan noradrenalin, serta enkefalin dan serotonin. Selain itu, AP juga
mendapat input katekolamin dalam bentuk adrenalin dan serotonin, asetilkolin, Lglutamat, substansi P, dan beberapa peptida seperti arginine vasopressin,
angiotensin, dan sitokin. Mekanisme DA dan A di AP ini diduga kuat berperan
dalam proses muntah.
Di otak terdapat beberapa CVO, yaitu organ yang letaknya berdekatan
dengan ventrikel, pembuluh darahnya memiliki fenestra, dan tidak dibatasi oleh
blood brain barrier. Struktur ini membuat CVO peka terhadap perubahan humoral
maupun neuronal.

Bagian dari otak

yang termasuk CVO adalah organ

vaskulosum lamina terminalis, eminensia mediana, neurohipofisis, organ
subfornikal, dan AP. Secara umum, CVO merupakan tempat bersirkulasinya
beberapa hormon seperti peptida hipotalamus, steroid, sitokin, dan angiotensin II
yang berfungsi sebagai neuroendokrin, sehingga sangat erat kaitannya dengan
berbagai fungsi homeostasis tubuh.
Muntah tidak selalu berhubungan dengan penyakit, tetapi merupakan
reaksi tubuh untuk mengeluarkan bahan berbahaya. Dalam pemberian
kemoterapi untuk menghentikan mitosis sel kanker, biasanya diikuti dengan efek
samping mual dan muntah. Kondisi ini apabila tidak dikendalikan dapat
menyebabkan komplikasi fisik maupun psikis yang sering mendorong pasien
menghentikan proses pengobatannya karena tidak tahan terhadap rasa mual
dan muntah tersebut. Untuk mengatasi itu, para peneliti sedang mempelajari
cara mempengaruhi fungsi AP agar rasa mual dan muntah dapat dihilangkan
pada saat kemoterapi, sehingga pasien merasa lebih nyaman (Kufe et al. 2003).
Pada proses muntah yang disebabkan oleh kemoterapi dan bahan kimia lainnya,
AP berfungsi sebagai chemoreceptor trigger zone (CTZ) (Klara dan Brizzee
1975; Brizzee et al. 1978; Miller dan Leslie 1994), meskipun mekanisme pastinya
belum diketahui.
Berkaitan dengan fungsinya sebagai kontrol sistem respirasi, AP juga
terkait erat dengan kejadian sudden infant death syndrome (SIDS), yaitu sindrom
kematian mendadak pada bayi umur satu bulan sampai satu tahun, yang
sebagian besar (90% - 95%) terjadi pada saat bayi tidur, dan menjadi penyebab
kematian pada kurang lebih 2500 bayi pertahun di Amerika Serikat (pada periode

4

tahun 2000 sampai 2005). Lebih dari separuh (60%-70%) kematian tersebut
berkaitan dengan abnormalitas kronis yang terjadi sebelum kelahiran.

Oleh

karena itu, hasil dari penelitian intensif mengenai perkembangan AP yang diduga
terkait erat dengan peristiwa SIDS ini diyakini dapat membantu menurunkan
angka kematian dan menyelamatkan lebih banyak bayi. Hal ini penting, terutama
pada ibu yang pernah melahirkan bayi yang mengalami SIDS, bayi yang lahir
berikutnya memiliki predisposisi yang tinggi untuk mengalami hal sama (The
American SIDS Institute 2005). Penyebab pasti terjadinya SIDS sampai saat ini
belum diketahui, tetapi diduga kuat akibat adanya gangguan perkembangan AP
dan sirkuitnya pada bayi, meskipun tidak menutup kemungkinan karena adanya
infeksi serta gangguan sistem respirasi dan kardiovaskuler.

Dalam kondisi

normal, AP bertugas merespon adanya hiperkapnia (peningkatan kadar CO2
dalam darah), yang dimungkinkan karena adanya peran neuron KA dalam
mengontrol sistem respirasi dan kardiovaskuler.
Gangguan perkembangan AP pada janin dapat disebabkan oleh karena
adanya stres lingkungan, antara lain disebabkan oleh asap rokok yang
mengandung nikotin dan inhalasi carbon monoksida, yang keduanya diketahui
berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan AP dan menganggu
proses maturasi neuron serta pembentukan sirkuitnya (Gozal dan Gaultier 2001).
Pemeriksaan terhadap pasien yang meninggal karena SIDS ditemukan adanya
penurunan secara signifikan imunoreaktivitas TH pada neuron di medula
oblongata, yaitu di AP, nukleus traktus solitarius, nukleus retikular sentralis,
nukleus motor dorsalis dari nervus vagus, dan area ventrolateralis.
Meskipun pada fetus manusia umur 14,5-16 minggu ditemukan adanya
neuron KA pada AP, tetapi keberadaannya hanya untuk sementara saja karena
pada individu dewasa tidak ditemukan lagi. Neuron tersebut diduga mengalami
apoptosis, yaitu kematian sel yang terprogram, sehingga tidak dijumpai lagi saat
dewasa.

Selain di AP, neuron KA di medula oblongata juga terdistribusi di

bagian ventrolateral, pada nukleus retikularis lateralis dan nukleus ambigus,
serta di bagian dorsomedial terkonsentrasi di nukleus motor dorsalis dari nervus
vagus, nukleus traktus solitarius, nukleus hipoglosus, dan daerah intermedia di
antara bagian ventrolateral dengan bagian dorsomedial seperti yang dijumpai

5

pada manusia dewasa. Neuron KA di AP pada hewan dewasa ditemukan pada
beberapa spesies, antara lain tikus, kucing, kelinci, anjing, dan marmut.
Keberadaan neuron KA pada monyet dewasa di AP masih perlu diteliti lagi
karena adanya kontroversi publikasi, seperti antara laporan Felten dan Sladek
(1983) yang menyatakan bahwa neuron KA tidak ditemukan pada monyet
Rhesus squirrel monkey dewasa, dan monyet Jepang (Kitahama et al. 1994),
namun menurut Schreihofer et al. (1997), neuron KA masih ditemukan pada
monyet ekor panjang (MEP) dan monyet Rhesus dewasa.
Sebagai organ yang terletak di bagian medial buluh neural, neuron di AP
juga berkontribusi dalam membentuk medula oblongata. Mengingat besarnya
peran neuron KA di AP dalam mengontrol sistem respirasi dan kardiovaskular,
proses muntah, dan keterkaitannya dengan kejadian SIDS, serta belum
lengkapnya informasi anatomis tentang perkembangan neuron tersebut pada
masa prenatal dan postnatal, merupakan alasan kuat dilakukannya penelitian
mengenai perkembangan neuron KA di AP ini.
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari tahap kesiapan sistem respirasi,
kardiovaskular, dan refleks muntah pada janin dan anak MEP, melalui
pengamatan tahap perkembangan bentuk, pola migrasi, distribusi, diferensiasi,
dan proses maturasi neuron KA di AP dan area di sekitarnya yang terkait.
Manfaat penelitian
Data perkembangan neuron KA di AP dan area sekitarnya yang terkait
sangat diperlukan untuk membantu memperdalam pemahaman fungsi respirasi,
kardiovaskular, refleks muntah, dan keterkaitannya dengan SIDS, serta untuk
menambah data perkembangan otak pada MEP, yang dapat digunakan sebagai
model untuk perkembangan neuron KA pada manusia.

6

TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Macaca fascicularis
Macaca fascicularis disebut juga Long-tailed macaque atau dalam
Bahasa Indonesia monyet ekor panjang (MEP).

Sinonim lain dari Macaca

fascicularis adalah monyet cynomolgus, Macaca irus, monyet pemakan kepiting
(crab eating monkey), dan monyet jawa (Soehartono dan Mardiastuti 2002).
Hewan ini memiliki warna rambut yang bervariasi, mulai dari abu-abu sampai
coklat kemerahan, dengan warna pada tubuh bagian bawah lebih muda, dan
rambut di daerah mahkota tumbuh ke belakang seperti krista atau jambul. Pada
individu jantan terdapat jambang dan kumis, sedangkan betinanya berjenggot.
Bayi yang baru lahir memiliki rambut hitam yang kemudian berubah menjadi
keabu-abuan ketika dewasa. Panjang tubuh betina dewasa mencapai 385-503
mm, sedangkan pada jantan dewasanya dapat mencapai 412-648 mm. Panjang
ekor betina dewasa bervariasi antara 400-550 mm, sementara pada jantan
dewasa antara 435-655 mm (Rowe 1996).
Monyet ekor panjang memiliki bobot tubuh pada individu betina dewasa
berkisar 2,5-7 kg, sedang jantan dewasa antara 4,7-8,3 kg, dengan berat otak
hewan dewasanya kurang-lebih 69,2 g. Periode bayi berlangsung antara umur 612 bulan, masa sapih antara umur 12-24 bulan, dan masa puber berlangsung
pada umur 42-54 bulan. Dewasa kelamin untuk betina dicapai pada umur 51,6
bulan, sedangkan pada jantan umur 50,4 bulan. Hewan ini memiliki panjang
siklus estrus 28 hari, dengan lama kebunt ingan antara 160-170 hari. Interval dari
bunting ke-bunting berikutnya berkisar antara 12-24 bulan, tetapi rata-rata
berlangsung selama 13 bulan (Rowe 1996).
Sejak tahun 1977 MEP masuk dalam Appendix II pada Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES),
yang berarti bahwa spesies ini dapat dimanfaatkan dan diperdagangkan sejauh
merupakan hasil penangkaran, karena populasinya masih cukup banyak
(Soehartono dan Mardiastuti 2002).

7

Taksonomi MEP menurut Whitney et al. (1995) adalah sebagai berikut:
Filum

:

Chordata

Kelas

:

Mammalia

Ordo

:

Primata

Sub ordo

:

Anthropoidea

Infra ordo

:

Catarrhini

Super famili

:

Cercopithecoidea

Famili

:

Cercopithecidae

Subfamili

:

Cercopithecinae

Genus

:

Macaca

Species

Macaca fascic ularis

Satwa primata merupakan salah satu sumber daya alam yang
mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, khususnya sebagai
hewan model dalam penelitian biomedis, karena secara anatomis dan fisiologis
memiliki banyak kemiripan dengan manusia dibandingkan dengan hewan model
lainnya. Nilai ilmiah satwa primata untuk penelitian biomedis diperoleh dari
kemiripan anatomis dan fisiologisnya dengan manusia karena adanya kedekatan
filogenetik (Vandeberg 1995). Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2002),
sampai saat ini spesies primata non manusia yang paling banyak digunakan
untuk hewan riset adalah monyet Rhesus (Macaca mullata), MEP (Macaca
fascicularis),

babun

savana

(Papio cynocephalus), dan monyet vervet

(Cercopithecus aethiops).
Anatomi dan fungsi otak
Sistem syaraf adalah sistem dalam tubuh yang memiliki kemampuan
untuk menerima rangsangan, baik dari dalam maupun dari luar tubuh,
mengintregasikan, kemudian menyeleksi serta mengkoordinir rangsangan
tersebut, dan meneruskannya ke target organ untuk ditanggapi. Sistem syaraf
sendiri dikelompokkan menjadi sistem syaraf pusat yang terdiri dari otak dan
medula spinalis, serta sistem syaraf perifer yang terdiri dari serabut syaraf dan
ganglion. Otak merupakan komponen terbesar dalam sistem syaraf. Dalam
menjalankan fungsinya, sistem syaraf memiliki sel-sel syaraf yang disebut

8

neuron, yang merupakan

unit anatomis dan fungsional terkecil, dengan

didukung oleh neuroglia sebagai sel penunjang. Secara anatomis, neuron terdiri
atas satu badan sel, satu akson, serta satu atau beberapa dendrit (Carola et al.
1990; Banks 1993). Dendrit merupakan prosesus sitoplasma yang berfungsi
menerima impuls masuk ke badan sel, sedangkan akson berfungsi untuk
meneruskan impuls menuju organ target atau neuron lain (Shepherd 1983).
Akson dan dendrit saling bersinapsis di daerah antar sel yang disebut dengan
neurofil. Badan sel sendiri berfungsi sebagai tempat untuk mengolah,
menyeleksi, dan mengintegrasikan impuls, tersusun atas inti sel beserta
sitoplasma di sekitar inti. Kumpulan badan-badan sel tersebut yang terdapat
pada sistem syaraf pusat disebut dengan nukleus, sedangkan pada sistem
syaraf perifer disebut ganglion (Carola et al. 1990).
Neuron memiliki tiga zona fungsional, yaitu zona dendritik, aksonik, dan
telodendritik. Zona dendritik adalah zona yang peka terhadap stimulus, baik
yang bersifat eksitatorik maupun inhibitorik, terdiri dari dendrit, badan sel, dan
segmen awal akson, sedang zona aksonik terdiri dari akson yang dimulai dari
segmen awal sampai di dekat terminal akson, berfungsi untuk meneruskan atau
menghambat impuls. Zona telondendritik merupakan daerah terminal akson
yang sudah mengalami modifikasi untuk mentransfer informasi ke elemen
selanjutnya. Terminal akson berhubungan dengan neuron lain atau sel efektor di
daerah transmisi elektrokimiawi yang disebut dengan sinaps (Banks 1993).
Menurut fungsinya, neuron dibagi menjadi dua, yaitu neuron transmisi
dan neuron neurosekretoris.
neuron,

Neuron transmisi, yang merupakan mayoritas

menyalurkan sekretanya berupa neurotransmiter melalui akson dan

melepaskannya pada daerah sinaps, sedangkan neuron neurosekretoris
mensintesa substansi neurosekretorik yang dilepas ke dalam darah

(Banks

1993). Neuron juga dikelompokkan berdasarkan arah penyaluran impulsnya
menjadi neuron sensoris, motoris, dan interneuron.

Neuron sensoris

menyalurkan impuls dari reseptor menuju ke sistem syaraf pusat, sedangkan
neuron motoris menyalurkan impuls keluar dari sistem syaraf pusat menunju ke
efektor yaitu kelenjar atau otot yang menjadi tempat

terjadinya respon.

9

Interneuron yang sering disebut juga dengan istilah neuron asosiasi, neuron
konektor atau neuron internusial, mempunyai fungsi untuk membawa impuls dari
neuron sensoris ke neuron motoris (Carola et al. 1990). Ujung dendrit pada
neuron sensoris sangat peka terhadap stimulasi baik dari eksternal maupun
internal, karena memiliki reseptor, atau berhubungan dengan reseptor sensoris
(Banks 1993).
Berdasarkan jumlah prosesus sitoplasmanya, neuron pada sistem syaraf
dapat dibagi menjadi neuron multipolar, bipolar, unipolar, unipolar semu dan
neuron an-aksonik. Sebagian besar neuron di otak dan medula spinalis adalah
neuron multipolar, yakni neuron yang memiliki beberapa dendrit. Neuron bipolar
memiliki satu dendrit yang letaknya berlawanan arah dengan akson. Neuron
berbentuk bipolar ini lebih banyak dijumpai pada masa perkembangan karena
merupakan bentuk perantara sebelum menjadi neuron dewasa. Seperti halnya
neuron bipolar, neuron unipolar yang hanya memiliki sebuah akson hanya
ditemukan selama periode perkembangan saja. Neuron unipolar semu adalah
neuron yang memiliki sebuah akson serta sebuah dendrit dan kedua prosesus
sitoplasma tersebut seperti bergabung namun sebenarnya saling terpisah.
Neuron unipolar semu sebagian besar merupakan penyusun neuron sensoris
pada sistem syaraf perifer. Kelompok terakhir adalah neuron an-aksonik, yaitu
neuron yang tidak memiliki akson yang merupakan kelompok terkecil pada
sistem syaraf, seperti neuron amakrin pada retina mata (Carola et al. 1990;
Banks 1993).
Pada otak terdapat beberapa macam neuroglia sebagai sel penunjang
agar neuron dapat berfungsi dengan baik, seperti astrosit berprotoplasma,
astrosit fibrosa, oligodendrosit, mikroglia, dan sel ependima.

Astrosit

berprotoplasma berbentuk seperti bintang, memiliki prosesus sitoplasma yang
menjulur ke kapiler dan menjadi salah satu komponen dalam blood brain barrier.
Astrosit fibrosa berbentuk mirip laba-laba, prosesus sitoplasmanya panjang tetapi
jumlahnya tidak sebanyak as trosit berprotoplasma. Ujung-ujung prosesus
sitoplasma tersebut menempel pada ruang perivaskuler, dan apabila terjadi luka
atau gangguan pada otak, astrosit berprotoplasma akan mengalami proliferasi
membentuk jaringan parut yang sering disebut dengan istilah ’gliosis’.

10

Oligodendrosit berukuran lebih kecil dengan prosesus sitoplasma yang lebih
sedikit dibanding astrosit, memiliki fungsi untuk menghasilkan mielin.

Mikroglia

dari segi ukuran juga kecil, berbentuk oval dengan sedikit prosesus sitoplasma,
dapat bergerak dan merupakan komponen pertahanan di otak karena
kemampuannya memfagositosis zat asing. Sel ependima memiliki bentuk pipih
sampai kuboid dan merupakan sel pelapis permukaan otak yang berbatasan
dengan ventrikel (Jenkins 1978).
Otak sebagai komponen terbesar sistem syaraf dilindungi oleh tulang
tengkorak serta tiga lapisan selaput pembungkus yang kuat. Dari luar ke dalam,
lapisan pembungkus otak meliputi duramater, arakhnoidea dan piamater.
Duramater tersusun atas jaringan ikat kolagen padat, sedang arahnoidea terdiri
atas jaringan ikat kolagen yang tersusun membentuk rongga-rongga seperti jala
dan terisi cairan serebrospinal, sehingga otak selalu diliputi oleh cairan tersebut.
Selain itu, arahnoidea juga merupakan area perlintasan pembuluh darah di otak.
Piamater letaknya paling dalam, merupakan lapisan jaringan ikat longgar yang
tipis dan langsung berbatasan dengan otak.

Arakhnoidea kaya akan kapiler

yang bertugas memberi suplai darah pada otak (Banks 1993).
Sebagai komponen terbesar sistem syaraf, otak dibagi menjadi forebrain
(otak depan), midbrain (otak tengah), dan hindbrain (otak belakang) (Gambar 1).
Otak depan terdiri dari telensefalon dan diensefalon, otak tengah dibentuk oleh
mesensefalon, dan otak belakang terdiri atas metensefalon dan mielensefalon
(Carola et al. 1990).
Telensefalon merupakan bagian otak depan yang memiliki sepasang
hemisferium

serebri,

berfungsi

untuk

menerima

impuls

sensorik

dan

mengkoordinasikan aktivitas motorik, kognisi, kerja syaraf otonom, sistem
endokrin, mengendalikan emosi, dan menyimpan memori. Diensefalon terdiri
dari talamus dan hipotalamus. Talamus berperan menyalurkan hampir semua
informasi sensorik ke korteks serebri dan mengatur tingkat kesadaran dan
beberapa aspek emosional berdasarkan pengalaman sensoris, sedangkan

11

Gambar 1. Potongan di bidang median otak manusia (Sumber: Porter 2006).

hipotalamus berfungsi untuk mengatur aktivitas syaraf otonom dan sekresi
hormon oleh kelenjar pituitari (Carola et al. 1990).
Mesensefalon terdiri atas korpora kuadrigemina yang penting sebagai
tempat melintasnya jalur pendengaran dan penglihatan.

Lebih dari itu,

mesensefalon juga berperan dalam mengendalikan gerakan mata dan otot
skelet. Di kaudal mesensefalon dijumpai metensefalon yang terbentuk dari pons
di bagian ventral dan serebelum di bagian dorsal. Serebelum berfungsi untuk
menerima input somatosensorik dari medula spinalis, menerima informasi
motoris dari korteks serebri dan informasi keseimbangan dari organ vestibular di
telinga bagian dalam, serta menyatukan informasi dan mengkoordinasikan
rencana, waktu, dan pola kontraksi otot selama individu bergerak.

Pons

bersama dengan medula oblongata (mielensefalon) berfungsi mengontrol
tekanan darah dan respirasi, serta berperan dalam pengaturan proses muntah,
batuk, dan menelan (Carola et al. 1990).

12

Perkembangan otak
Pada embrio mamalia yang sedang berkembang, lapisan ektodermal di
bb tahap selanjutnya, sel-sel di zona ventrikularis ini berkembang menjadi dua
macam sel, yaitu sel prekursor neuron dan sel prekursor glia, sehingga zona
ventrikularis ini sering disebut juga zona germinalis. Sel prekursor neuron
(neuroblas) pada proses neurogenesis kemudian bermigrasi menuju tempat

krista neural

Gambar 2. Perkembangan sistem syaraf manusia pada bulan pertama
kebuntingan (Digambar ulang dari: SFN 2003).
perkembangan akhir untuk berdiferensiasi menjadi sel yang memiliki struktur,
fungsi, dan penjuluran spesifik, serta

mengalami mielinasi (Shepherd 1983;

Insel 2000; Morilak et al. 2000). Menurut Velle dan La Velle 1970 (disitasi dari
Lorke et al. 2003), dalam sitodiferensiasi secara umum terjadi tiga tahap
perkembangan morfologi neuron, yaitu tahap perkembangan awal, neuron
bersifat apolar, berbentuk bulat tanpa prosesus sitoplasma.

Pada tahap

perkembangan menengah, neuron berbentuk bipolar, memiliki satu atau dua
prosesus sitoplasma yang masih pendek.

Tahap perkembangan akhir ditandai

dengan bentuk neuron yang telah mencapai bentuk definitifnya, yaitu bentuk
neuron multipolar yang memiliki beberapa dendrit, dan bentuk neuron bipolar
yang hanya memiliki sebuah dendrit, dengan prosesus sitoplasma yang sudah
mencapai tempat inervasinya.
Daerah di antara buluh neural dengan lapisan epidermis selanjutnya
berkembang menjadi krista neural.

Neuroblas di krista neural kemudian

bermigrasi menuju jaringan perifer menjadi ganglia radiks dorsal, ganglia dalam

13

sistem syaraf otonom, neuron bipolar pada alat pendengaran, dan sel kromafin di
medula kelenjar adrenal. Krista neural tersebut, bersama dengan buluh neural
selanjutnya membentuk selaput arakhnoidea dan piamater yang membungkus
otak, serta neuroglia yang lain seperti mikroglia dan sel Schwann (Shepherd
1983).

Gambar 3 menunjukkan gambaran skematis perkembangan sel

prekursor sistem syaraf, mulai dari buluh neural, pembentukan neuron, neuroglia,
serta jaringan pembungkus otak dan medula spinalis.
Otak yang berasal dari bagian rostral buluh neural kemudian berdilatasi,
dari anterior ke posterior berturut-turut dinamai prosensefalon atau otak bagian
depan, mesensefalon atau otak bagian tengah, dan rombensefalon atau otak
bagian belakang.

Prosensefalon berdiferensiasi menjadi telensefalon dan

diensefalon. Mesensefalon tidak berdilatasi tetapi mengalami pelangsingan di
bagian belakangnya, sedang rombensefalon tumbuh menjadi dua bagian yaitu
metensefalon di bagian depan dan mielensefalon di bagian belakang (Jenkins
1978; Carola et al. 1990; UNAM 2003).

Secara umum buluh neural terdiri atas

lamina alaris yang terletak di bagian dorsal dan lamina basalis yang terletak di
bagian ventral rombensefalon. Selama masa perkembangan kanalis neuralis,
bagian dorsal rombensefalon mengalami perluasan ke samping membentuk
ventrikel IV, sehingga lamina alaris menjadi terletak di sebelah dorsolateral
lamina basalis seperti (Gambar 4). Dalam perkembangan selanjutnya, lamina
alaris akan menjadi neuron yang bersifat sensorik, sedang lamina basalis
menjadi neuron yang bersifat motorik. Kedua lamina tersebut dipisahkan oleh
celah yang disebut sulkus limitan (Jenkins 1978).
Untuk merunut asal-usul neuron dapat dilakukan dengan cara melabel
DNA-nya menggunakan isotop H 3 thymidine. Dengan teknik ini dapat diketahui
waktu terjadinya mitosis terakhir pada neuron tersebut. Teknik ini dinamakan
teknik autoradiografi dengan menggunakan H3 thymidine. Secara ringkas teknik
tersebut dilakukan dengan pemberian H3 thymidine pada berbagai variasi umur,
mulai periode awal sampai akhir perkembangan, kemudian sayatan otak hewan

14

N

Gambar 3. Skema perkembangan neuron dan neuroglia di buluh neural dan
krista neural (Sumber: Shepherd 1983).

15

yang bersangkutan diamati pada usia menjelang dewasa. Pada pengamatan
tersebut akan teramati distribusi neuron yang terjadi pada umur ketika hewan
diberi perlakuan H 3 thymidine, sekaligus waktu mitosis terakhir yang terjadi (Levitt
dan Rakic 1982; Insel 2000; Morilak et al. 2000).