Kajian Penanda Genetik Gen Cytochrome B dan Daerah D-loop pada Tarsius sp.
KAJIAN PENANDA GENETIK GEN CYTOCHROME B
DAN DAERAH D-LOOP PADA
Tarsius sp.
OLEH :
RINI WIDAYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
(2)
ABSTRACT
RINI WIDAYANTI. The Study of Genetic Marker on Cytochrome B gene and D-loop region of Tarsius sp.. Under the direction of DEDY DURYADI SOLIHIN, DONDIN SAJUTHIand R. R. DYAH PERWITASARI.
Tarsius is an endemic species of Indonesia that is threatened.
Conservation of this species would yield better results if its genetic make up and diversity determined. The objective of this research was to study the specific genetic marker on Cyt b gene and D-loop region of Tarsius sp. Sequencing of PCR product using primer H15149 on Cyt b gene yielded base sequence of 276 nts (coding 92 amino acids), while sequencing using primer DLTARPROF on D-loop resulted in base sequence of 270 nts. Results of Cyt b and D-loop fragments sequencing were put on multiple alignment with other primates from Genbank with the aid of software Genetyc-Win Version 3.0 and Clustal W, and were analyzed using MEGA program version 3.1.Fourteen different amino acid sites were found. Tarsius dianae had 12 amino acid sites (amino acid no. 2, 6, 9, 22, 23, 29, 39, 41, 42, 45, 55, and 85), T. spectrum had 7 amino acid sites (amino acid no. 2, 6, 9, 41, 45, 55 and 85) and T. bancanus had 2 amino acid sites (amino acid no. 23 and 45) which can be used as genetic marker. Five unique amino acids were found on T. dianae, such as amino acid site: 6 (valine), 22 (alanin), 29 (alanin), 39 (serin) and site 42 (valine). The genetic distance based on nucleotide Cyt b calculated using Kimura 2-parameter model indicated that in the smallest value of 0.7%, biggest 22.3% and average 13.1%, while for D-loop, the smallest genetic distance is 0% and biggest 11.8% and average 2.3%. The phylogenetic tree using neighbor Joining Method based on the sequence of nucleotide and amino acid Cyt b reveded differentiation among
Tarsius, but the phylogenetic tree based on some nucleotide sequence on D-loop region could not be used to differentiate among species.
(3)
ABSTRAK
RINI WIDAYANTI. Kajian Penanda Genetik Pada Gen Cytochrome B dan Daerah D-loopTarsius sp.. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN, DONDIN SAJUTHI, R.R. DYAH PERWITASARI
Tarsius merupakan salah satu satwa endemik Indonesia yang
keberadaannya mulai memprihatinkan. Konservasi sebagai salah satu cara untuk pelestarian satwa ini akan lebih terarah dan berhasil guna apabila karakteristik dan keragaman sumber genetiknya diketahui dengan pasti. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji penanda genetik spesifik pada gen Cyt b dan daerah D-loopTarsius sp.
Penentuan runutan hasil PCR menggunakan primer H15149 pada gen
Cyt b didapatkan runutan basa sebesar 276 nt (menyandi 92 asam amino),
sedangkan hasil pengurutan menggunakan primer DLTARPROF pada daerah D-loop didapatkan runutan basa sebesar 270 nt. Fragmen Cyt b dan D-loop hasil pengurutan disejajarkan berganda dengan primata lain dari data Genbank
dengan bantuan perangkat lunak Genetyx-Win versi 3.0 dan Clustal W, kemudian dianalisis dengan menggunakan program MEGA versi 3.1. Dari hasil analisis diperoleh 14 situs asam amino yang berbeda. Tarsius dianae memiliki 12 situs asam amino (asam amino ke 2, 6, 9, 22, 23, 29, 39, 41, 42, 45, 55, 85),
T. spectrum memiliki 7 situs asam amino (asam amino ke 2, 6, 9, 41, 45, 55 dan 85) dan T. bancanus memiliki 2 situs asam amino (ke 23 dan 45) yang dapat digunakan sebagai penanda genetik. Lima asam amino unik ditemukan pada T.
dianae, yaitu pada situs asam amino ke 6 (valina), ke 22 (alanina), ke 29
(alanina), ke 39 (serina) dan ke 42 (valina).
Jarak genetik berdasar nukleotida Cyt b yang dihitung menggunakan model 2 parameter Kimura ditemukan nilai paling kecil sebesar 0,7%, nilai paling besar 22,3% dan rata-rata 13,1%, sedangkan pada D-loop jarak genetik paling kecil adalah 0% dan nilai paling besar 11,8% dengan rata-rata 2,3%. Filogram menggunakan metode neighbor joining berdasar hasil penentuan runutan nukleotida dan asam amino Cyt b tersebut dapat dijadikan pembeda masing-masing spesies Tarsius, tetapi filogram berdasar runutan nukleotida pada daerah
D-loop tidak dapat digunakan untuk membedakan spesies Tarsius tersebut. Kata kunci: Tarsius sp., D-loop, Gen Cyt b, asam amino, runutan DNA
(4)
KAJIAN PENANDA GENETIK GEN CYTOCHROME B
DAN DAERAH D-LOOP PADA Tarsius sp.
OLEH :
RINI WIDAYANTI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Primatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
(5)
Judul Disertasi : Kajian Penanda Genetik Gen Cytochrome B dan Daerah D-loop pada Tarsius sp.
Nama : Rini Widayanti NRP : P30600001 Program Studi : Primatologi
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA
Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari, MSc
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Primatologi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Prof. Dr.Ir. Syafrida Manuwoto, MSc
(6)
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:
“KAJIAN PENANDA GENETIK GEN CYTOCHROME B DAN DAERAH
D-LOOP PADA Tarsius sp .”
Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 26 Januari 2006
Rini Widayanti Nrp. P30600001
(7)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 25 Januari 1963 dari ayah Djuwari (alm) dan ibu Hidajati. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.
Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1974 di SD Cacaban III Magelang, Sekolah Menengah Pertama lulus tahun 1977 di SMP Negeri I Magelang dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri I Magelang lulus pada tahun 1981.
Sarjana Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta diselesaikan pada tahun 1986, selanjutnya profesi Dokter Hewan diperoleh pada tahun 1987. Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan S2 untuk program studi Sain Veteriner di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penulis pada tahun 2000 mendapat kesempatan untuk mengikuti program S3 pada program studi Primatologi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai dosen untuk mata kuliah Biokimia di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sejak tahun 1989 sampai sekarang.
(8)
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala karunia-Nya sehingga berhasil menyelesaikan disertasi yang berjudul “ Kajian Penanda Genetik Gen Cytochrome B dan Daerah D-loop Pada Tarsius sp.”. Disertasi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir Dedy Duryadi Solihin , DEA, selaku ketua komisi pembimbing serta Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D dan Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari. M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing atas waktu, bimbingan, perhatian dan nasehat yang telah diberikan kepada penulis sejak awal rencana penelitian hingga selesainya penulisan disertasi ini.
Terima kasih penulis sampaikan juga kepada Dr. Ir. Achmad Farajallah M.Si selaku penguji luar komisi pada sidang tertutup dan kepada Prof. Dr. Ir. H. Abdullah Syam, M.Sc dan Ir. Muladno, M.Sc., Ph.D selaku penguji luar komisi pada sidang terbuka atas masukan dan koreksinya, sehingga lebih sempurnanya disertasi ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer selaku Ketua Program Studi Primatologi dan staf pengajar Program Studi Primatologi, Dr. drh. Joko Pamungkas, M.Sc selaku Kepala Pusat Studi Satwa Primata, LPPM-IPB dan Dr. Ir Komang G Wiryawan selaku Kepala Pusat Studi Ilmu Hayati, PAU-IPB yang telah memberi ijin penulis melakukan penelitian beserta fasilitasnya di laboratorium Biologi Molekuler, PSIH-PAU, IPB. Dalam kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs. Yulius Duma, MSi, Dr. Saroyo dan Dr. Hengki Johannis Kiroh yang telah membantu dalam memperoleh sampel Tarsius. Penulis berterima kasih pula kepada rekan-rekan PRM, teman seperjuangan di lab (mbak Niken, dik Evi, Ari, dan Chule, bu Amin, bu Donata, pak Is, pak Asep, pak Jack, pak Sinaga, pak Heri) atas dukungan dan kerjasamanya.
Untuk mas Prapto, Galih, Wida dan Tika, ibu dan saudaraku terima kasih atas dukungan dan doanya.
Akhirnya, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada lembaga yang memberikan bantuan selama penulis menjalani program doktor, yaitu DIKTI melalui BPPS dan Universitas Gadjah Mada.
(9)
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR ………..
DAFTAR TABEL ………...……….. DAFTAR LAMPIRAN ………...……..
PENDAHULUAN ………..………..
Latar Belakang ……… Ruang Lingkup Penelitian ………. Tujuan Penelitian ……… Manfaat Penelitian ………. Hipotesis ……….. TINJAUAN PUSTAKA ………..…….…
Tarsius sp. ……….
Klasifikasi ………... Morfologi ……… Karakteristik dan Anatomi T. spectrum dan T. dianae ……... Ekologi ……… Penyebaran ……… Usaha Konservasi ………...……….. DNA Mitokondria (mt-DNA) ………..
Cytochrome b ……….……….
D-loop ………..………..
BAHAN DAN METODE ……….. Tempat dan Waktu Penelitian ……….. Rancangan Penelitian ……… Koleksi Contoh Darah dan Otot ………... Isolasi DNA Total ……… Amplifikasi DNA dengan PCR ……….. Penentuan Runutan Nukleotida ……….……….. Analisis Data ………... HASIL DAN PEMBAHASAN ……….... DNA Total ……….…….………….……. Amplifikasi Gen Cyt b dan D-loop ……….……….. Amplifikasi Gen Cyt b ………....…..………….…….. Amplifikasi daerah D-loop ………..……….
Halaman xi xiii xv 1 1 2 3 3 3 4 4 4 6 8 9 9 11 12 15 17 20 20 20 20 21 22 23 24 26 26 26 26 27
(10)
Penentuan Runutan Nukleotida Gen Cyt b Parsial …..………... Keragaman Runutan Asam Amino ……….... Keragaman Runutan Nukleotida ……… Hubungan Kekerabatan Tarsius sp. Berdasar Runutan
Nukleotida dan Asam Amino Cyt b Parsial ……….…… Penentuan Runutan Nukleotida D-loop Parsial ……… Keragaman Runutan Nukleotida ………... Hubungan Kekerabatan Tarsius sp. Berdasar Runutan Nukleotida D-loop Parsial ……….……… Keragaman Runutan Nukleotida Gen Cyt b dan D-loop ….….… Hipotesis Terjadinya Keragaman Tarsius sp. di Sulawesi ………. Konsistensi Hubungan Kekerabatan Tarsius sp. ...……… Strategi Konservasi untuk Tarsius sp. ……… SIMPULAN DAN SARAN ………..…... Simpulan ……….. Saran ……… DAFTAR PUSTAKA ………...………
29 29 35 40 42 42 44 45 46 49 53 58 58 58 59
(11)
KAJIAN PENANDA GENETIK GEN CYTOCHROME B
DAN DAERAH D-LOOP PADA
Tarsius sp.
OLEH :
RINI WIDAYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
(12)
ABSTRACT
RINI WIDAYANTI. The Study of Genetic Marker on Cytochrome B gene and D-loop region of Tarsius sp.. Under the direction of DEDY DURYADI SOLIHIN, DONDIN SAJUTHIand R. R. DYAH PERWITASARI.
Tarsius is an endemic species of Indonesia that is threatened.
Conservation of this species would yield better results if its genetic make up and diversity determined. The objective of this research was to study the specific genetic marker on Cyt b gene and D-loop region of Tarsius sp. Sequencing of PCR product using primer H15149 on Cyt b gene yielded base sequence of 276 nts (coding 92 amino acids), while sequencing using primer DLTARPROF on D-loop resulted in base sequence of 270 nts. Results of Cyt b and D-loop fragments sequencing were put on multiple alignment with other primates from Genbank with the aid of software Genetyc-Win Version 3.0 and Clustal W, and were analyzed using MEGA program version 3.1.Fourteen different amino acid sites were found. Tarsius dianae had 12 amino acid sites (amino acid no. 2, 6, 9, 22, 23, 29, 39, 41, 42, 45, 55, and 85), T. spectrum had 7 amino acid sites (amino acid no. 2, 6, 9, 41, 45, 55 and 85) and T. bancanus had 2 amino acid sites (amino acid no. 23 and 45) which can be used as genetic marker. Five unique amino acids were found on T. dianae, such as amino acid site: 6 (valine), 22 (alanin), 29 (alanin), 39 (serin) and site 42 (valine). The genetic distance based on nucleotide Cyt b calculated using Kimura 2-parameter model indicated that in the smallest value of 0.7%, biggest 22.3% and average 13.1%, while for D-loop, the smallest genetic distance is 0% and biggest 11.8% and average 2.3%. The phylogenetic tree using neighbor Joining Method based on the sequence of nucleotide and amino acid Cyt b reveded differentiation among
Tarsius, but the phylogenetic tree based on some nucleotide sequence on D-loop region could not be used to differentiate among species.
(13)
ABSTRAK
RINI WIDAYANTI. Kajian Penanda Genetik Pada Gen Cytochrome B dan Daerah D-loopTarsius sp.. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN, DONDIN SAJUTHI, R.R. DYAH PERWITASARI
Tarsius merupakan salah satu satwa endemik Indonesia yang
keberadaannya mulai memprihatinkan. Konservasi sebagai salah satu cara untuk pelestarian satwa ini akan lebih terarah dan berhasil guna apabila karakteristik dan keragaman sumber genetiknya diketahui dengan pasti. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji penanda genetik spesifik pada gen Cyt b dan daerah D-loopTarsius sp.
Penentuan runutan hasil PCR menggunakan primer H15149 pada gen
Cyt b didapatkan runutan basa sebesar 276 nt (menyandi 92 asam amino),
sedangkan hasil pengurutan menggunakan primer DLTARPROF pada daerah D-loop didapatkan runutan basa sebesar 270 nt. Fragmen Cyt b dan D-loop hasil pengurutan disejajarkan berganda dengan primata lain dari data Genbank
dengan bantuan perangkat lunak Genetyx-Win versi 3.0 dan Clustal W, kemudian dianalisis dengan menggunakan program MEGA versi 3.1. Dari hasil analisis diperoleh 14 situs asam amino yang berbeda. Tarsius dianae memiliki 12 situs asam amino (asam amino ke 2, 6, 9, 22, 23, 29, 39, 41, 42, 45, 55, 85),
T. spectrum memiliki 7 situs asam amino (asam amino ke 2, 6, 9, 41, 45, 55 dan 85) dan T. bancanus memiliki 2 situs asam amino (ke 23 dan 45) yang dapat digunakan sebagai penanda genetik. Lima asam amino unik ditemukan pada T.
dianae, yaitu pada situs asam amino ke 6 (valina), ke 22 (alanina), ke 29
(alanina), ke 39 (serina) dan ke 42 (valina).
Jarak genetik berdasar nukleotida Cyt b yang dihitung menggunakan model 2 parameter Kimura ditemukan nilai paling kecil sebesar 0,7%, nilai paling besar 22,3% dan rata-rata 13,1%, sedangkan pada D-loop jarak genetik paling kecil adalah 0% dan nilai paling besar 11,8% dengan rata-rata 2,3%. Filogram menggunakan metode neighbor joining berdasar hasil penentuan runutan nukleotida dan asam amino Cyt b tersebut dapat dijadikan pembeda masing-masing spesies Tarsius, tetapi filogram berdasar runutan nukleotida pada daerah
D-loop tidak dapat digunakan untuk membedakan spesies Tarsius tersebut. Kata kunci: Tarsius sp., D-loop, Gen Cyt b, asam amino, runutan DNA
(14)
KAJIAN PENANDA GENETIK GEN CYTOCHROME B
DAN DAERAH D-LOOP PADA Tarsius sp.
OLEH :
RINI WIDAYANTI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Primatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
(15)
Judul Disertasi : Kajian Penanda Genetik Gen Cytochrome B dan Daerah D-loop pada Tarsius sp.
Nama : Rini Widayanti NRP : P30600001 Program Studi : Primatologi
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA
Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari, MSc
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Primatologi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Prof. Dr.Ir. Syafrida Manuwoto, MSc
(16)
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:
“KAJIAN PENANDA GENETIK GEN CYTOCHROME B DAN DAERAH
D-LOOP PADA Tarsius sp .”
Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 26 Januari 2006
Rini Widayanti Nrp. P30600001
(17)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 25 Januari 1963 dari ayah Djuwari (alm) dan ibu Hidajati. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.
Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1974 di SD Cacaban III Magelang, Sekolah Menengah Pertama lulus tahun 1977 di SMP Negeri I Magelang dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri I Magelang lulus pada tahun 1981.
Sarjana Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta diselesaikan pada tahun 1986, selanjutnya profesi Dokter Hewan diperoleh pada tahun 1987. Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan S2 untuk program studi Sain Veteriner di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penulis pada tahun 2000 mendapat kesempatan untuk mengikuti program S3 pada program studi Primatologi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai dosen untuk mata kuliah Biokimia di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sejak tahun 1989 sampai sekarang.
(18)
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala karunia-Nya sehingga berhasil menyelesaikan disertasi yang berjudul “ Kajian Penanda Genetik Gen Cytochrome B dan Daerah D-loop Pada Tarsius sp.”. Disertasi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir Dedy Duryadi Solihin , DEA, selaku ketua komisi pembimbing serta Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D dan Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari. M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing atas waktu, bimbingan, perhatian dan nasehat yang telah diberikan kepada penulis sejak awal rencana penelitian hingga selesainya penulisan disertasi ini.
Terima kasih penulis sampaikan juga kepada Dr. Ir. Achmad Farajallah M.Si selaku penguji luar komisi pada sidang tertutup dan kepada Prof. Dr. Ir. H. Abdullah Syam, M.Sc dan Ir. Muladno, M.Sc., Ph.D selaku penguji luar komisi pada sidang terbuka atas masukan dan koreksinya, sehingga lebih sempurnanya disertasi ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer selaku Ketua Program Studi Primatologi dan staf pengajar Program Studi Primatologi, Dr. drh. Joko Pamungkas, M.Sc selaku Kepala Pusat Studi Satwa Primata, LPPM-IPB dan Dr. Ir Komang G Wiryawan selaku Kepala Pusat Studi Ilmu Hayati, PAU-IPB yang telah memberi ijin penulis melakukan penelitian beserta fasilitasnya di laboratorium Biologi Molekuler, PSIH-PAU, IPB. Dalam kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs. Yulius Duma, MSi, Dr. Saroyo dan Dr. Hengki Johannis Kiroh yang telah membantu dalam memperoleh sampel Tarsius. Penulis berterima kasih pula kepada rekan-rekan PRM, teman seperjuangan di lab (mbak Niken, dik Evi, Ari, dan Chule, bu Amin, bu Donata, pak Is, pak Asep, pak Jack, pak Sinaga, pak Heri) atas dukungan dan kerjasamanya.
Untuk mas Prapto, Galih, Wida dan Tika, ibu dan saudaraku terima kasih atas dukungan dan doanya.
Akhirnya, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada lembaga yang memberikan bantuan selama penulis menjalani program doktor, yaitu DIKTI melalui BPPS dan Universitas Gadjah Mada.
(19)
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR ………..
DAFTAR TABEL ………...……….. DAFTAR LAMPIRAN ………...……..
PENDAHULUAN ………..………..
Latar Belakang ……… Ruang Lingkup Penelitian ………. Tujuan Penelitian ……… Manfaat Penelitian ………. Hipotesis ……….. TINJAUAN PUSTAKA ………..…….…
Tarsius sp. ……….
Klasifikasi ………... Morfologi ……… Karakteristik dan Anatomi T. spectrum dan T. dianae ……... Ekologi ……… Penyebaran ……… Usaha Konservasi ………...……….. DNA Mitokondria (mt-DNA) ………..
Cytochrome b ……….……….
D-loop ………..………..
BAHAN DAN METODE ……….. Tempat dan Waktu Penelitian ……….. Rancangan Penelitian ……… Koleksi Contoh Darah dan Otot ………... Isolasi DNA Total ……… Amplifikasi DNA dengan PCR ……….. Penentuan Runutan Nukleotida ……….……….. Analisis Data ………... HASIL DAN PEMBAHASAN ……….... DNA Total ……….…….………….……. Amplifikasi Gen Cyt b dan D-loop ……….……….. Amplifikasi Gen Cyt b ………....…..………….…….. Amplifikasi daerah D-loop ………..……….
Halaman xi xiii xv 1 1 2 3 3 3 4 4 4 6 8 9 9 11 12 15 17 20 20 20 20 21 22 23 24 26 26 26 26 27
(20)
Penentuan Runutan Nukleotida Gen Cyt b Parsial …..………... Keragaman Runutan Asam Amino ……….... Keragaman Runutan Nukleotida ……… Hubungan Kekerabatan Tarsius sp. Berdasar Runutan
Nukleotida dan Asam Amino Cyt b Parsial ……….…… Penentuan Runutan Nukleotida D-loop Parsial ……… Keragaman Runutan Nukleotida ………... Hubungan Kekerabatan Tarsius sp. Berdasar Runutan Nukleotida D-loop Parsial ……….……… Keragaman Runutan Nukleotida Gen Cyt b dan D-loop ….….… Hipotesis Terjadinya Keragaman Tarsius sp. di Sulawesi ………. Konsistensi Hubungan Kekerabatan Tarsius sp. ...……… Strategi Konservasi untuk Tarsius sp. ……… SIMPULAN DAN SARAN ………..…... Simpulan ……….. Saran ……… DAFTAR PUSTAKA ………...………
29 29 35 40 42 42 44 45 46 49 53 58 58 58 59
(21)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16.Tarsius sp. ………..
Bentuk jumbai pada ekor T. bancanus, T. spectrum
dan T. dianae ………
Bentuk telinga pada T. spectrum dan T. dianae …... Tiga hipotesis biogeografi Sulawesi dan sekitarnya ..
T. spectrum sebagai maskot di Sulawesi Utara …… Susunan gen dari organisasi genom mitokondria
T bancanus ………
Skema organisasi Gen Cyt b pada T. bancanus ….. Posisi asam amino (asam amino ke 47 sampai dengan 126) hasil amplifikasi menggunakan primer L14841 dan H15149 ……… Skema organisasi daerah kontrol mt-DNA pada mamalia ………..……….. Peta pengambilan contoh T. spectrum, T. dianae
dan T. bancanus ………
Profil DNA Total Tarsius sp. menggunakan gel agarose 1,2% ……… Profil DNA Tarsius sp. hasil amplifilkasi pasangan primer L14841dan H15149 ……… Skema letak penempelan primer L14841 dan
H15149 untuk mengamplifikasi daerah Gen Cyt b
pada Tarsius sp. ………..
Profil DNA Tarsius sp. hasil amplifikasi pasangan primer DLTARPROF-DLTARPHER dan
DLTARPROF-DLTARBFR ………. Skema letak penempelan primer DLTARPROF, DLTARBFR, DLTARPHER untuk mengamplifikasi fragmen D-loopTarsius sp. ……… Skema Gen Cyt b dan sebagian daerah hasil
perunutan DNA (berukuran 276 pb) yang dipakai untuk analisis keragaman genetik pada Tarsius sp.
Halaman 4 7 8 10 12 14 15 17 19 21 26 26 27 28 28 29
(22)
Gambar 17. Gambar 18.
Gambar 19. Gambar 20.
Gambar 21.
Gambar 22.
Gambar 23.
Gambar 24.
Posisi asam amino hasil amplifikasi menggunakan primer L14841& H15149 ………... Filogram menggunakan metode Neighbor joining dari nukleotida daerah Gen Cyt b parsial (berukuran 276 nt) Tarsius sp. hasil penelitian dengan spesies primata lain sebagai pembanding ……… Filogram menggunakan metode Neighbor joining dari asam amino sebagian daerah gen Cyt b
(berukuran 92 aa) Tarsius sp. hasil penelitian
dengan spesies primata lain ………. Skema daerah D-loop dan sebagian daerah hasil perunutan DNA (berukuran 270 nt) yang dipakai untuk analisis keragaman genetik pada Tarsius sp. Filogram menggunakan metode Neighbor joining
dari nukleotida daerah D-loop parsial (berukuran 270 nt).Tarsius sp hasil penelitian dengan spesies
primata lain) ………..
Hipotesis terjadinya keragaman Tarsius sp. di Sulawesi ……… Deforestasi sejak masa prapertanian sampai tahun 1997 ………... Perubahan tutupan hutan di Sulawesi ………..
33
40
41
42
45
48
54 55
(23)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14.Data yang mendukung 16 taksa di Sulawesi ………... Pengukuran telinga T. dianae dan T. spectrum ……… Urutan basa dan suhu penempelan primer untuk
mengamplifikasi Gen Cyt b dan D-loopTarsius sp. …… Asam amino beserta kodon penyandi yang mengalami mutasi pada Cyt b parsial dari T. bancanus,
T. spectrum dan T. dianae hasil penelitian dan spesies primata lain ………. Komposisi dan situs asam amino beragam pada Tarsius
hasil penelitian dan T. bancanus asal Malaysia
(Genbank) ………
Perubahan asam amino Cyt b parsial hasil penjajaran
Tarsius hasil penelitian dengan T. bancanus asal
Malaysia berdasar sifat kimianya ………. Rata-rata komposisi asam amino hasil translasi gen Cyt b parsial T. bancanus, T. spectrum, T. dianae dan primata lain ………...………. Rata-rata komposisi nukleotida pada gen Cyt b parsial
Tarsius sp. hasil penelitian dan T. bancanus dari
Genbank ………..………..
Jumlah dan posisi basa dari triplet kodon beragam (79 situs) gen Cyt b parsial Tarsius sp. hasil penelitian dan
T. bancanus dari Genbank ……..……..………...
Rasio transisi terhadap transversi (di bawah diagonal) dan rata-rata perbedaan asam amino Tarsius sp. dan primata lain ……….……… Rata-rata transisi basa ke 1, 2 dan 3 (di bawah diagonal) dan transversi basa ke 1, 2, 3 (di atas diagonal) setiap kodon pada Gen Cyt b parsial Tarsius dan primata lain . Rasio antara asam amino total, asam amino kekal, asam amino sinonimus dan asam amino non sinonimus gen
Cyt b parsial Tarsius sp. ………..….
Persentase rataan komposisi nukleotida daerah D-loop
parsial (berukuran 270 nt) T. bancanus dan T.spectrum Jarak genetik T. bancanus, T. spectrum dan T.bancanus
Halaman 5 9 22 30 31 34 35 36 37 37 38 39 43
(24)
Tabel 15.
* berdasar runutan nukleotida D-loop parsial (berukuran 270 nt) ……….……….. Hutan alam, hutan yang sudah terdegradasi, dan kawasan yang hutannya sudah gundul pada
pertengahan 1990-an di Sulawesi ………
44
(25)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12.Letak penempelan primer L14841 dan H15149 pada urutan basa nukleotida Gen Cyt bT. bancanus ……. Letak penempelan primer DLTARPROF, DLTARBFR pada runutan basa nukleotida daerah D-loop
T. bancanus ………..…
Penjajaran berganda nukleotida dari Cyt b parsial (276 nt) T. bancanus, T. spectrum, T. dianae hasil penelitian terhadap T. bancanus dan spesies
primata lain ……….….. Penjajaran berganda asam amino dari Cyt b parsial (92 aa) T. bancanus, T. spectrum,T.dianae hasil penelitian terhadap T. bancanus dan beberapa spesies primata lain ………. Jumlah penggunaan kodon dan nilai indeks
penggunaan kodon dalam mt-DNA Tarsius ……….. Keluarga asam amino berdasar rantai samping …. Komposisi asam amino hasil translasi nukleotida gen
Cyt b parsial (92 asam amino) T. bancanus,
T. spectrum, T. dianae hasil penelitian, T. bancanus
dan N. coucang ……….………….
Matriks perbedaan nukleotida dari gen Cyt b parsial antara T. bancanus, T. spectrum, T. dianae terhadap beberapa spesies primata lain ……….. Matriks perbedaan asam amino dari Cyt b parsial (92 asam amino) antara T. bancanus, T. spectrum, T. dianae terhadap T. bancanus dan beberapa spesies primata lain ……….
Komposisi nukleotida yang menyusun DNA daerah Gen Cyt b parsial (berukuran 276 nt) T. bancanus,
T. spectrum, T. dianae hasil penelitian dan
T. bancanus * ………..………..
Jarak genetik (di bawah diagonal) menggunakan metode 2 parameter Kimura dan rasio transisi terhadap transversi (di atas diagonal) berdasarkan urutan nukleotida pada Gen Cyt b parsial (276 pb) Penjajaran berganda dari D-loop parsial antara T. bancanus, T. spectrum terhadap primata lain ……...
Halaman 65 66 67 72 74 75 76 78 79 80 81 82
(26)
Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Lampiran 18. Lampiran 19. Lampiran 20. Lampiran 21. Lampiran 22. Lampiran 23. Lampiran 24. Lampiran 25.
Matriks perbedaan nukleotida dari D-loop parsial (berukuran 270 nt) antara T. bancanus, T. spectrum hasil penelitian dan beberapa spesies primata ……. Persentase komposisi nukleotda yang menyusun DNA daerah D-loop parsial (berukuran 270 nt)
T. bancanus, T. spectrum hasil penelitian dan
T. bancanus* ………..……
Jarak genetik (di bawah diagonal) menggunakan metode 2 Parameter Kimura dan rasio transisi terhadap transversi (di atas diagonal) berdasar runutan nukleotida pada D-loop parsial (270 nt) …… Runutan basa nukleotida Gen tRNA Glu, Cyt b, tRNAThr, tRNAPro, daerah D-loop dan tRNAPhe dari Tarsius bancanus ……… Runutan basa nukleotida Gen tRNA Glu, Cyt b, tRNAThr, tRNAPro, daerah D-loop dan tRNAPhe dari Nycticebus coucang ………. Runutan basa nukleotida Gen tRNA Glu, Cyt b, tRNAThr, tRNAPro, daerah D-loop dan tRNAPhe
dari Cebus albifrons ……….
Runutan basa nukleotida Gen tRNA Glu, Cyt b, tRNAThr, tRNAPro, daerah D-loop dan tRNAPhe
dari Macaca sylvanus ………..
Runutan basa nukleotida Gen tRNA Glu, Cyt b, tRNAThr, tRNAPro, daerah D-loop dan tRNAPhe dari Gorilla gorilla ………. Runutan basa nukleotida Gen tRNA Glu, Cyt b, tRNAThr, tRNAPro, daerah D-loop dan tRNAPhe
dari Pan troglodytes ……….
Runutan basa nukleotida Gen tRNA Glu, Cyt b, tRNAThr, tRNAPro, daerah D-loop dan tRNAPhe
dari Pan paniscus ……….
Runutan basa nukleotida Gen tRNA Glu, Cyt b, tRNAThr, tRNAPro, daerah D-loop dan tRNAPhe dari Hylobates lar ………... Runutan basa nukleotida Gen tRNA Glu, Cyt b, tRNAThr, tRNAPro, daerah D-loop dan tRNAPhe
dari Homo sapiens ………
Runutan basa nukleotida Gen tRNA Glu, Cyt b, tRNAThr, tRNAPro, daerah D-loop dan tRNAPhe
dari Lemur catta ………..
90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102
(27)
Lampiran 26. Lampiran 27.
Runutan basa nukleotida daerah D-loopLagothrix
lagotricha ………..
Data spesies primata yang digunakan dalam analisis
kekerabatan Tarsius ………..
103
(28)
PENDAHULUAN
Latar BelakangIndonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ragam jenis primata terkaya di dunia. Dari sekitar 195 jenis primata yang ada, 40 jenis ditemukan di Indonesia dan 24 jenis di antaranya merupakan satwa yang hanya ditemukan di Indonesia (endemik). Salah satu jenis satwa endemik yang hidup di Indonesia adalah Tarsius sp. dari genus Tarsius, famili Tarsiidae (Supriyatna & Wahyono, 2000).
Genus Tarsius berdasar data morfologi yang didukung dengan data vokalisasi dikelompokkan ke dalam lima spesies, yaitu Tarsius pumilus, T. dianae, T. spectrum, T. bancanus dan T. syrichta (Musser dan Dagosto 1987).
Empat spesies diantaranya terdapat di Indonesia dengan daerah penyebaran Sumatera dan Kalimantan (T. bancanus), Sulawesi (T. spectrum, T. pumilus dan
T. dianae) dan satu spesies ada di Filipina (T. syrichta). Menurut Shekelle dan Leksono (2004) sampai saat ini telah ditemukan 16 populasi Tarsius di Sulawesi yang kemungkinan dapat menjadi spesies sendiri dan baru lima spesies di antaranya sudah mempunyai nama (T. spectrum, T. dianae, T. pumilus, T. sangiriensis dan T. pelengensis). Satwa ini memiliki daya tarik tersendiri karena memiliki bola mata yang besar, tubuh yang sangat kecil dan warna yang menarik. Dalam usaha mempertahankan keberadaan Tarsius sp. sebagai sumber keragaman hayati Indonesia dan ditunjang dengan statusnya sebagai satwa langka, maka pemerintah telah lama mengkategorikan satwa ini sebagai satwa yang dilindungi sejak tahun 1931 yaitu berdasar Peraturan Perlindungan Binatang Liar tahun 1931 dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Meskipun dalam daftar buku yang dikeluarkan International Union for
Conservation Nature and Natural Resources (IUCN) karena data yang kurang,
maka status konservasi satwa ini adalah “Data Deficient”.
Dalam upaya mengetahui sejarah perkembangan yang pasti dari
Tarsius sp. di Indonesia dan mengetahui keragaman sumber daya genetiknya
maka perlu penelaahan hewan ini lebih rinci terutama dengan pemakaian beberapa teknik modern yang telah berkembang pesat. Hal ini penting agar karakteristik serta informasi mengenai sumber daya alam spesifik Indonesia dapat diketahui dengan pasti. Namun informasi mengenai karakteristik genom satwa ini masih terbatas sehingga perlu dilakukan penelitian dasar yang dapat mendukung kemudahan penggalian informasi lebih mendalam.
(29)
Penelitian tentang eksplorasi molekuler untuk analisis genom sitoplasma yaitu mitokondria berupa runutan utuh dari DNAnya, telah dilakukan pada
T. bancanus oleh Schmitz et al. (2002). Dengan diketahuinya runutan utuh DNA mitokondria pada T. bancanus maka terbuka kesempatan untuk mengkaji penanda genetik untuk setiap gen penyandi protein maupun bagian yang tidak menyandi protein pada spesies lain dari Tarsius ini. Fragmen penyandi protein di dalam genom mitokondria yaitu Cytochrome b (Cyt b), Cytochrome oxsidase-c dan gen lainnya banyak digunakan untuk penelitian mengenai hubungan spesies dari genus atau famili yang sama, seperti yang dilakukan oleh Ozawa et al.
(1997) yaitu pada gajah Asia dan gajah Afrika; Randi dan Lucchini (1998) pada genus Alectoris. Namun demikian penelitian keragaman daerah penyandi protein untuk melihat hubungan antar spesies pada Tarsius sp. belum dilakukan.
Fragmen bukan penyandi protein di dalam genom mitokondria yang sering dipakai dalam penelaahan keragaman genetik dan hubungan kekerabatan di antara spesies hewan adalah daerah D-loop. Daerah D-loop ini menarik untuk ditelaah karena dua dari ketiga domainnya memiliki mutasi yang tinggi sehingga perubahan runutan basa-basa nukleotidanya terjadi tidak saja pada tingkatan inter-spesies tetapi juga pada tingkatan intra-spesies. Dengan demikian penelaahan daerah D-loop banyak digunakan untuk penelitian biologi populasi dan evolusi hewan. Misalnya, seperti yang dilakukan oleh Randi et al. (1997) yaitu pada populasi Capreolus pygargus dan C. capreolus; Fumagalli et al.
(1996) pada tupai; Savolaenin et al. (2000) pada anjing domestik dan srigala; Wilkinson dan Chapman(1991) pada Nycticebus humeralis; Casane et al. (1997) pada lagomorph dan Tamura (2000) untuk mempelajari evolusi pada manusia. Namun demikian penelaahan keragaman genetik daerah bukan penyandi ( D-loop) pada Tarsius sp. belum dilakukan.
Pemanfaatan penanda genetik pada Tarsius sp. diharapkan dapat membantu dalam melengkapi data yang kurang sehingga dapat menunjang usaha konservasi.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah mengkaji penanda genetik pada genom mitokondria dari T. bancanus, T. spectrum dan T. dianae dengan menganalisis runutan DNA mitokondria pada gen penyandi protein (Cyt b) dan pada daerah
(30)
Untuk menganalisis runutan gen penyandi Cyt b dan daerah D-loop yang terdapat pada DNA mitokondria digunakan teknik Polymerase Chain Reaction
(PCR) yang dilanjutkan dengan penentuan runutan DNA memakai alat
“automatic sequencing” (ABI Prism versi 341 dan ALF Express II). Contoh
Tarsius diperoleh dari beberapa lokasi yang secara alami dihuni oleh spesies
Tarsius seperti: T. spectrum (Tangkoko dan Air Madidi, Sulawesi Utara),
T. dianae (Kamarora, Sulawesi Tengah) dan T. bancanus diperoleh dari
Lampung, Sumatera Selatan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penanda genetik DNA mitokondria (gen penyandi Cyt b dan D-loop) dari T. spectrum; T. dianae dan T. bancanus.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membantu memperjelas pengelompokan spesies Tarsius yang ada di Indonesia. Informasi tersebut dapat dipakai dalam usaha pengelolaan program penangkaran atau konservasi.
Hipotesis
Penanda genetik spesifik pada gen Cyt b dan D-loop T. spectrum,
T dianae dan T. bancanus memiliki fragmen DNAunik dan mencirikan
(31)
TINJAUAN PUSTAKA
Tarsius sp. Klasifikasi
Gambar 1. Tarsius sp. (Abdullah 2000)
Tarsius syrichta terdapat di Filipina, T. spectrum ditemukan di hutan primer maupun hutan sekunder di Tangkoko-Batuangus Sulawesi Utara yang terletak pada ujung sebelah utara dari semenanjung utara Sulawesi pada ketinggian 500 m di atas permukaan air laut. Tarsius spectrum juga ditemukan di Sulawesi Selatan, pulau Togian dan pulau kecil lainnya (Musser dan Dagosto 1987). Tarsius pumilus ditemukan endemik di Sulawesi Tengah yaitu di gunung Rano-rano (ketinggian 1800 m), di gunung Rorekatimbu Sulawesi Tengah (ketinggian 2200 m), dan di hutan gunung Latimojong Sulawesi Selatan pada ketinggian sekitar 2200 m (Maryanto dan Yani 2000, Jones et al. 2004). Tarsius
dianae ditemukan di hutan primer tidak jauh dari batas sebelah utara Taman
Nasional Lorelindu pada 001o10’S, 120 09’E, 2 km di sebelah Tenggara Kamarora pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut (Niemitz et al. 1991),
dan T. bancanus ditemukan di Sumatera Selatan, Borneo dan sekitar Bangka
dan Belitung (Musser dan Dagosto 1987). Menurut Shekelle (2003) sampai saat ini telah ditemukan 16 populasi Tarsius di Sulawesi yang kemungkinan dapat menjadi spesies sendiri dan baru lima spesies di antaranya yang sudah mempunyai nama yaitu T. spectrum, T. sangiriensis, T. pumilus, T. pelengensis
dan T. dianae. Sebelas spesies lainnya masih perlu pemberian nama untuk
keperluan konservasi, seperti terlihat pada Tabel 1.
Tarsius sp. atau monyet hantu
diklasifikasikan dalam Kelas Mammalia, Ordo Primata, Subordo Prosimian,
Superfamili Tarsoidea, Famili Tarsiidae,
Genus Tarsius dan Spesies Tarsius spectrum, Tarsius pumilus, Tarsius dianae, Tarsius bancanus dan Tarsius syrichta (Musser dan Dagosto 1987).
(32)
Tabel 1. Data yang mendukung 16 Taksa di Sulawesi (Shekelle 2003)
Taksa Morfologi Tes
Playback Spektrogram
Hipotesis Biogeografi
Molekuler
12 SRNA Status
T. tarsier (=spectrum) (i.e. Makassar)
9 (l) - 9 (l, k) 9 (j) - Terdaftar di IUCN
T. sangirensis 9 (c, e, f) 9 (e, j) 9 (e, j) 9 (a, j) 9 (j) Terdaftar di IUCN
T. pumilus 9 (b, f) - - 9 (j) - Terdaftar
di IUCN
T. pelengensis 9 (f) - 9 (m) 9 (a, j) - Terdaftar
di IUCN
T. dianae 9 (d, tapi lihat ‘e’)
9 (e, g, j) 9 (d, e, g, j) 9 (j) - Terdaftar di IUCN
T. sp. (Selayar)
9 (f) - 9 (h, k) 9 (a, j) - Baru
Manado form 9 (l) 9 (e, j) 9 (a, d, e, g, j)
9 (a, j) - Baru
Gorontalo form 9 (l) 9 (d) 9 (a, d) 9 (a, j) - Baru
Palu form 9 (l) - 9 (a, k) 9 (a, j) - Baru
Togian form - 9 (e, j) 9 (e, g, j) 9 (j) 9 (j) Baru
Sejoli form - 9 (e, j) - - - Baru
Tinombo form - 9 (e, j) 9 (e, j) 9 (j) - Baru
Kendari form - - 9 (i, m) 9 (j) - Baru
Buton form - - 9 (i, m) 9 (j) - Baru
Kabaena form - - 9 (i, m) 9 (j) - Baru
Tanjung Bira form
- - 9 (h, m) - - Baru
Keterangan: - : belum diteliti 9 : sudah diteliti oleh:
(a) MacKinnon dan MacKinnon (1980)
(f) Groves (1998) (k) Shekelle (in review) (b) Musser danDagosto (1987) (g) Nietsch dan Kopp (1998) (l) Groves (in review) (c) Feiler (1990) (h) Nietsch dan Babo (2001) (m) Nietsch (pers. comm.) (d) Niemitz et al. (1991) (i) Nietsch dan Burton
(2002)
(e) Shekelle et al. (1997) (j) Shekelle (2003)
Di Indonesia Tarsius memiliki bermacam-macam nama lokal. Tarsius spectrum disebut juga Tangkasi (Minahasa), Ngasi (Sulteng), Tanda-bona Passo (Wana), Podi (Tolaki), Wengu (Mornene), Tenggahe (Sangir) dan Tanda-bana (Sulut). Tarsius bancanus disebut juga Kera buku, Singapuar (Bengkulu), Krabuku (Lampung), Palele (Belitung), Mentiling ingkir, Ingkit, Linseng (Ngaju), Page (Tidung), Makikebuku (Karimata), Singaholeh (Kutai), Tempiling (Kalbar), Binatang hantu dan Simpalili (Melayu) (Supriatna dan Wahyono 2000).
(33)
Morfologi
Tarsius sp. merupakan primata yang mempunyai ukuran tubuh paling
kecil dan dapat hidup sampai berumur sekitar 13,5 tahun. Diberi nama Tarsius
karena mempunyai tulang tarsal panjang membentuk pergelangan kaki yang mampu meloncat hingga 3 meter dari pohon ke pohon. Tarsius dapat memutar kepalanya hingga 180 derajat. Tibia dan fibula pada bagian bawah bergabung menjadi satu, berfungsi sebagai alat penahan goncangan pada saat hewan meloncat dari pohon ke pohon. Jari kaki dan jari tangan sangat panjang dan ramping, sehingga Tarsius dapat berpegangan erat pada pohon dan ranting.
Tarsius memiliki tungkai belakang yang pendek dan tangan yang kecil. Jari kaki dan tangan memiliki bantalan, tetapi pada T. pumilus jari tangan mengalami reduksi dalam ukurannya sehingga T. pumilus memiliki genggaman yang lebih bagus daripada spesies Tarsius lainnya. Tarsius pumilus juga memiliki ujung kuku yang perluasannya melebihi tepi bantalan jari. Pada jari kaki kedua dan ketiga memiliki cakar yang dipergunakan untuk grooming, sedangkan jari lainnya memiliki kuku. Bola mata sangat besar dan setiap mata memiliki lapisan postorbital di belakangnya, yang akan melindungi bola mata dari musculus
temporalis yang sangat kuat ke arah samping. Telinga sangat lebar dan aktif
(mobile), memiliki gigi taring yang besar dan tajam (Musser dan Dagosto 1987). Kunci identifikasi Tarsius (Storr 1780) menurut Niemitz dan Verlag (1984) adalah sebagai berikut: Tarsius spectrum (Pallas 1778) mempunyai ciri-ciri antara lain muka seperti Galago senegalensis, ekor berambut dengan panjang jumbai kurang-lebih 110 mm, panjang rambut 5-12 mm dan terdapat juga kelompok rambut pendek memiliki sisik menyerupai struktur kulit ekor. Tarsius pumilus (Miller dan Hollister 1921) mempunyai ciri-ciri antara lain hewan dewasa memiliki panjang kepala-badan 95-105 mm, panjang kranial maksimum 31mm, lebar kranial maksimum 26,3 mm, kulit bagian tarsal berambut dengan baik, dan terdapat titik warna kekuning-kuningan dibelakang telinga. Tarsius bancanus
(Horsfield 1821) mempunyai ciri-ciri antara lain panjang kaki belakang antara 59-74 mm, panjang ekor antara 180-245 mm, jumbai pada ekor berkembang baik, rambut jumbai memiliki panjang sekitar 7 mm dan kulit bagian tarsal ditumbuhi rambut dengan baik. Tarsius syrichta (Linnaeus 1758) memiliki ciri- ciri antara lain kaki belakang panjangnya antara 56-69 mm, panjang ekor antara 200-240 mm, jumbai pada ekor tidak berkembang baik, rambut pada jumbai panjang kurang lebih 3 mm dan kulit bagian tarsal ditumbuhi rambut yang
(34)
pendek dan sangat sedikit. Tarsius bancanus, T. spectrum dan T. dianae dapat dilihat pada Gambar 2. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), ukuran tubuh
T. bancanus T. spectrum T. dianae
Gambar 2. Bentuk jumbai pada ekor T. bancanus, T. spectrum dan T. dianae (Shekelle 2003)
T. dianae sama dengan T. spectrum, namun sedikit lebih besar dibanding
dengan T. pumilus. Panjang badan antara 110-120 mm, panjang ekor antara 215-225 mm, berat badan antara 95-110 gram, warna kulit keabu-abuan dengan
bintik-bintik hitam pada kedua sisi, hidung sedikit menonjol dibanding
T. spectrum dan bagian atas bibir terdapat rambut putih yang tumbuh. Tarsius
sangiriensis memiliki warna rambut abu-abu kekuningan, menyerupai
T. spectrum; panjang tubuh antara 115-125 mm, panjang ekor 225-240 mm,
jumbai ditumbuhi rambut yang tumbuhnya jarang, berat tubuh 110-120 gram, telinga besar bila dibandingkan dengan kepala.
Secara morfologi, antara T. bancanus dan Tarsius sp. yang berasal dari Sulawesi dapat dibedakan dengan melihat panjang jumbai pada ekor dan dari lebar telinga, namun diantara spesies Tarsius yang ada di Sulawesi sangat sulit
untuk dibedakan. Gambar 3, memperlihatkan perbedaan telinga antara
(35)
T. bancanus T. spectrum T.dianae
Gambar 3. Bentuk telinga pada T. bancanus , T. spectrum dan T. dianae (Stevan Merker)
Karakteristik dan Anatomi T. spectrum dan T. dianae.
Rambut abu-abu kekuningan dengan spot hitam T. dianae ditemukan di kedua sisi hidung dan tampak sangat jelas apabila dibanding pada T. spectrum.
Rambut pendek keputihan ditemukan di kedua sisi bibir atas dan di bagian tengah bibir bawah. Ada bagian yang tak berambut pada bagian bawah telinga (pada T. spectrum tidak dijumpai). Terdapat celah di bagian tengah yang membagi hidung menjadi dua belahan. Pada saat pelupuk mata tidak terbuka secara penuh bentuk mata tampak lebih tidak simetris dibanding dengan
T. spectrum. Kuku jari berwarna gelap dan tajam (tirus). Mata lebih tertarik ke arah samping (kurang pada T. spectrum). Warna rambut pada tubuh hampir sama, tetapi T. dianae memiliki pigmen yang lebih gelap pada ekor, jari kaki, jari tangan dan kuku daripada T. spectrum. Kulit bersisik di bawah ekor pada
T. dianae berwarna coklat, sedangkan pada T. spectrum tidak berwarna. Kuku tangan T. dianae lebih sempit dan lebih melengkung daripada T. spectrum
(Niemitz et al. 1991).
Telinga T. dianae lebih pendek dan lebih sempit dibanding T. spectrum.
Telinga T. dianae ditandai dengan daerah yang sebagian besar tak berambut (gundul) pada tragus, antitragus dan lobulus aurikularis. Lobulus aurikularis ini besarnya tiga kali lipat dari T. spectrum. Incisura intertragica pada T. dianae lebih dalam dan lebih sempit. AntitragusT. dianae hanya memiliki rambut yang sedikit pada tepi sebelah tengah, namun pada T. spectrum banyak ditumbuhi rambut. Pengukuran telinga T. dianae dan T. spectrum mengikuti Lasinski ditunjukkan pada Tabel 2 (Niemitz et al. 1991).
(36)
Tabel 2: Pengukuran telinga T. dianae dan T. spectrum (Niemitz et al. 1991)
Deskripsi, Pengukuran (mm) T. dianae T. spectrum
1. Panjang telinga dari ujung pinna ke dalam incisura intertagrica
2. Panjang telinga dari ujung pinna sampai titik paling basal dari telinga luar
3. Lebar telinga yang terbesar
4. Panjang maksimum daerah tak berambut dari ujung tragus ke titik paling basal dari telinga luar 5. Area yang paling lebar
6. Kedalaman incisura intertagrica
7. Lebar incisura intertagrica
28,8
31,7
19,3 7,9
6,0 4,1 2,0
32,2
33,5
23,4 5,0
3,6 3,6 1,0 Index: Lebar x 100____
Panjang maksimum
60,8 70,0
Ekologi
Tarsius sp. hidup di hutan tropis, hutan primer, hutan sekunder, hutan bambu, semak-semak, perkebunan dan kadang hidup di perkampungan. Tarsius
hidup berkelompok, dengan jumlah anggota antara 2-6 individu. Komposisi kelompok bervariasi dari hanya 2 individu (1 ekor jantan dan 1 ekor betina), 1 ekor jantan dewasa, 2 ekor betina dewasa dan anak-anaknya. Struktur sosial sebagian besar monogami dan hanya sedikit yang poligami (Gursky 1995).
Penyebaran
Data sebaran biogeografi primata dan kodok (Macaca dan Bufo) di Sulawesi, menurut Evans et al. (2003) dapat digunakan untuk memperkirakan 7 daerah endemisitas (oleh Shekelle dan Leksono dianggap 8 daerah endemisitas). Menurut Mac Kinnon dan Mac Kinnon (1980) daerah endemisitas tersebut masih ditambah daerah yang tidak dihuni Macaca tetapi dihuni Tarsius
yaitu kepulauan Sangihe, Kepulauan Togian, Kepulauan Banggai, pulau Selayar dan pulau Kabaena. Menurut Shekelle dan Leksono (2004) diperkirakan ada 13 daerah endemisitas di Sulawesi dan sekitarnya (Gambar 4a).
(37)
Menurut Hall (2001), di zaman Miosen sampai dengan Pleistosen Sulawesi merupakan kepulauan yang berasal dari beberapa daratan Asia, Australia dan daratan yang timbul dari dasar lautan. Melalui proses pergeseran lempeng (playtectonic) daratan tersebut (disebut “microplates”) membentuk pulau Sulawesi sekarang (Gambar 4b). Pulau Sulawesi sekarang, diduga selesai terbentuk pada zaman Pleistosen yaitu kira-kira 1-2 juta tahun yang lalu.
Menurut Shekelle dan Leksono (2004), daerah sebaran Tarsius
mempunyai banyak kesamaan dengan sebaran hipotesis biogeografi berdasar data biologi (Gb 4a) dan mempunyai banyak kesamaan dengan “microplates”
Sulawesi seperti terlihat pada gambar 4b. Daerah sebaran Tarsius di Sulawesi
4a 4b 4c
Gambar 4. Tiga Hipotesis Biogeografi Sulawesi dan Sekitarnya (Shekelle dan Leksono 2004)
4a : Berdasarkan Data Biologi, 4b : Berdasarkan Data Geologi,
4c : Hipotesis hibrid (Biologi dan Geologi) dengan data daerah sebaran Tarsius
Keterangan: (kiri) Daerah 1-8 berdasarkan data genetik Macaca dan Bufo (Evans et al. 2003). Daerah 9-13 berdasarkan hipotesis MacKinnon dan MacKinnon (1980) merupakan daerah yang dihuni Tarsius tetapi tidak dihuni Macaca yang secara alami mempunyai daerah endemisitas sendiri. (tengah) Rekonstruksi geologi peristiwa tektonik dari zaman Cenozoik bahwa Sulawesi terbentuk dari kepulauan dengan beberapa asal (abu-abu muda = Asia, abu-abu sedang = Australia, abu-abu tua =daratan yang timbul dari dasar lautan). (kanan) Hipotesis 4a di padukan dengan 4b dan dibandingkan dengan data sebaran kelompok akustik Tarsius (Shekelle dan Leksono 2004).
Keterangan Gambar 4c.(1) T. sangiriensis, (2) Manado form, (3) Gorontalo form, (4) Sejoli form, (5) Tinombo form, (6) Palu form, (7) T. pumilus, (8) Togian form, (9) T. pelengensis, (10) T. spectrum, (11) Tanjung Bira form, (12) Tarsius sp. (Selayar), (13) Kendari form, (14) Buton form, (15) Kabaena form.
dan sekitarnya sangat sesuai dengan kombinasi hipotesis biogeografi berdasar data biologi dan geologi (Gb 4c), yang disebut “hybrid biogeographic hypothesis”
(38)
yang berarti hipotesis biogeografi Sulawesi secara menyeluruh. Hipotesis berdasar data biologi berasumsi bahwa spesies-spesies yang lain pindah ke Sulawesi hampir bersama dengan Macaca dan Bufo, sedangkan hipotesis berdasar data geologi berasumsi bahwa spesies-spesies lain pindah ke Sulawesi pada saat proses pergeseran lempeng dimulai.
Menurut Shekelle (2003), berdasar pada data molecular clock
kedatangan bajing diperkirakan 11,5 juta tahun yang lalu dan evolusi semua spesies Macaca dari Afrika Utara sampai Sumbawa terjadi kurang dari 7 juta tahun yang lalu. Berdasar data jarak genetik, kedatangan Tarsius ke Sulawesi diperkirakan pada zaman pertengahan Miosen (sekitar 15 juta tahun yang lalu) yang hampir bersama dengan kedatangan bajing. Oleh karena itu menurut Shekelle dan Leksono (2004), hipotesis hibrid biogeografi lebih sesuai untuk sebaran kelompok Tarsius dan merupakan hipotesis yang paling masuk akal dibanding dengan hipotesis biografi lainnya.
Usaha Konservasi
Sulawesi memiliki luas 187,882 km2 dan merupakan pulau terbesar dan
terpenting di daerah biogeografi Wallacea. Ditinjau dari sejarah geologi, pulau Sulawesi diduga tidak pernah bersatu dengan daratan manapun (Hall
2001). Keadaan terisolasi dalam waktu yang lama menimbulkan terjadinya evolusi pada berbagai spesies, sehingga satwa di pulau Sulawesi mempunyai tingkat endemisitas yang tinggi. Tingkat endemisitas paling tinggi terjadi pada taksa vertebrata. Pada mamalia, 61% dari 127 jenis yang ada di Sulawesi bersifat endemik. Sedangkan pulau Kalimantan yang mempunyai endemisitas paling tinggi di daratan Asia hanya 18% mammalia yang bersifat endemik (Whitten et al. 1987).
Daerah Wallacea mempunyai 529 spesies vertebrata endemik (1,9% dari jumlah di dunia) dan spesies-spesies ini mengalami ancaman yang serius karena hanya 15% habitat alami yang masih tersisa. Sekitar 39,2% dari habitat alami yang tersisa terdapat dalam kawasan konservasi. Habitat alami yang masih tersisa tersebut hanya akan efektif untuk melindungi biodiversitas di Sulawesi jika tersebar sesuai dengan distribusi, sehingga upaya konservasi di Sulawesi harus dirancang secara komprehensif (Shekelle dan Leksono 2004).
Menurut Shekelle dan Leksono (2004), data biogeografi dapat membantu upaya konservasi secara menyeluruh di Sulawesi, yaitu untuk mengidentifikasi
(39)
daerah endemisitas di Sulawesi. Sebaran daerah endemisitas ini sangat penting untuk merancang kawasan konservasi yang sesuai dengan sebaran daerahnya. Selain itu, upaya konservasi juga dapat dibantu dengan menggunakan hewan maskot. Hewan maskot biasanya berupa hewan yang mempunyai karisma yang mempunyai nilai tertentu seperti bentuk yang lucu, langka, unik, mudah diingat, berukuran besar dan endemis. Tarsius tidak berukuran besar tetapi dijadikan maskot di Sulawesi (terutama di Sulawesi Utara, dapat dilihat pada Gambar 5), karena (1) mempunyai sebaran yang luas, sampai ke pulau-pulau sekitar
Gambar 5. T. spectrum sebagai maskot di Sulawesi Utara
Sulawesi, (2) mempunyai banyak taksa endemik yang tersebar di hampir seluruh daerah endemisitas, (3) berada di lebih banyak tipe habitat, (4) bukan merupakan hama sehingga tidak mengancam produk pertanian, (5) tidak mempunyai nilai ekonomi, misalnya daging atau bagian tubuh lainnya (kecuali sebagai hewan peliharaan), (6) merupakan hewan yang karismatik. Menurut Shekelle dan Leksono (2004), program yang akan dilakukan untuk membantu usaha konservasi adalah melakukan pemberian nama pada 11 spesies Tarsius
baru, yaitu dengan menangkap Tarsius hidup-hidup dan memeliharanya dalam kandang sehingga memungkinkan semua untuk melakukan penelitian, pelatihan, pendidikan, penangkaran dan sebagai sumber analisis genetik, sebelum hewan tersebut mati untuk dijadikan contoh spesimen.
DNA Mitokondria (mt-DNA)
Mitokondria merupakan organela di luar inti sel yang mengandung sekitar 16,5 x 103/3,3 x 109 pbdari DNA yang ditemukan di dalam sel manusia (Wertz 2000). Menurut Melton (1999), kemungkinan untuk memperoleh kembali mt-DNA
(40)
dari sampel biologis dalam jumlah kecil atau dari sampel biologis yang sudah terdegradasi adalah lebih besar daripada DNA inti karena molekul mt-DNA terdapat dalam ratusan sampai ribuan kopi dibanding dengan DNA inti yang hanya dua kopi pada setiap selnya. Oleh karena itu, otot, tulang, rambut, kulit, darah dan cairan tubuh lainnya dapat digunakan sebagai sumber materi untuk penentuan lokus mt-DNA apabila terjadi degradasi oleh karena peralatan atau karena waktu.
Runutan mt-DNA dipilih sebagai penanda genetik karena berukuran relatif kecil dan jumlah kopi yang banyak sehingga mudah didapat dari sel, diturunkan dari induk betina (maternal) dan beberapa gen dalam mitokondria mutasinya lebih cepat daripada gen inti karena rendahnya aktivitas proof reading dari γ DNA
polymerase selama replikasi di dalam mitokondria (Wertz 2000). Menurut Reyes
et al. (1998), mutasi pada genom mitokondria juga karena kurangnya sistem
reparasi DNA dan adanya kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas, hasil selama transpor elektron ke oksigen pada rantai respirasi kompleks di membran dalam mitokondria. Menurut Majerus (1996) genom mitokondria mempunyai kecepatan evolusi 5-10 kali lebih cepat daripada genom inti, dan satu bagian dari genom mitokondria yang disebut D-loop mengalami evolusi sepuluh kali lebih cepat lagi.
Genom mt-DNA mamalia berbentuk sirkuler, beruntai ganda, memiliki panjang sekitar 16,5 kb yang mengandung basa guanine (G) dan cytosine (C) berkisar antara 32-45,6%. Kedua basa G dan C terdistribusi secara tidak merata diantara kedua untai DNA. Berdasar kandungan basa guaninnya, mt-DNA dibagi menjadi 2 untai yaitu, untai yang kaya G disebut untai berat (heavy strand) dan yang mengandung sedikit G disebut untai ringan (light strand) (Reyes et al.
1998).
Berdasarkan data dari GenBank, organisasi genom mitokondria pada primata yang telah diketahui urutan nukleotidanya masing-masing memiliki jumlah dan susunan gen yang sama dengan mamalia lain, sedangkan perbedaan yang ada hanya jumlah nukleotida penyusun mt-DNA. Jumlah nukleotida penyusun genom mt-DNA T. bancanus adalah 16927 pb (GenBank
NC 002811), Gorilla gorilla 16364 pb (GenBank NC 001645), Pan troglodytes
16554 pb (GenBank NC 001643), Nycticebus coucang 16764 pb (GenBank NC 002765), P. paniscus 16563 pb (GenBank NC 001644), Hylobates lar 16472 pb
(41)
Cebus albifrons 16554 pb (GenBank NC 002763) dan Homo sapiens 16571 pb (GenBank DQ 246833). Susunan gen dari organisasi genom mitokondria
T. bancanus dapat dilihat pada Gambar 6.
Berdasar jenis gennya, genom mitokondria dibagi menjadi 2 bagian, yaitu daerah penyandi (coding region) dan daerah bukan penyandi (non coding region). Daerah penyandi terdiri dari 37 gen yaitu 13 gen penyandi protein yang berperan penting di dalam transpor elektron dan fosforilasi oksidatif, 2 gen penyandi rRNA dan 22 gen penyandi tRNA. Gen tersebar secara asimetris pada kedua untai DNA (Reyes et al. 1998). Untai berat mt-DNA mengandung 28 gen yaitu 2 gen penyandi ribosomal RNA (12S rRNA dan 16S rRNA); 12 gen penyandi protein masing-masing NADH dehidrogense (ND1, ND2, ND4, ND5, ND4L), Cytochrome c oxydase (COX1, COX2, COX3), Cytochrome b (Cyt b),
Gambar 6. Susunan gen dari organisasi genom mitokondria T. bancanus (NC 002811).
ATPase (ATP6, ATP8) dan 14 gen penyandi tRNA masing-masing fenilalanina (tRNAPhe), valina (tRNAVal), leusina (tRNALeu), isoleusina (tRNAIle), metionina (tRNAMet), triptofana (tRNATrp), asam aspartat (tRNAAsp), lisina (tRNALys), glisina (tRNAGly), arginina (tRNAArg), histidina (tRNAHis), serina (tRNASer), leusina (tRNALeu) dan treonina (tRNAThr). Sedangkan untai ringan mt-DNA mengandung sisanya (9 gen) yaitu, 1 gen penyandi protein yaitu NADH dehidrogense6 (ND6) dan 8 gen penyandi tRNA yaitu asam glutamat (tRNAGlu), prolina (tRNAPro), serina (tRNASer), tirosina (tRNATyr), sistina (tRNACys), asparagina (tRNAAsn), alanina (tRNAAla) dan glutamina (tRNAGln). Daerah bukan penyandi genom
(42)
mitokondria hanya terdiri dari daerah kontrol (control region) (Reyes et al. 1998; Schmitz et al. 2002).
Cyt b
Gen penyandi Cyt b mempunyai ukuran 1140 pb, terletak diantara gen penyandi tRNAGlu (di sebelah kiri atau depan) dan gen penyandi tRNAThr (di sebelah kanan atau belakang) pada mt-DNA (Gambar 7) (Schmitz et al. 2002). Adanya variasi urutan pada Cyt b menyebabkan gen ini banyak digunakan untuk membandingkan spesies dalam genus yang sama atau famili yang sama (Randi 1996).
Protein Cyt b dibagi dalam 3 domain fungsional, yaitu intermembran, matriks dan transmembran. Domain intermembran terbentang antara membran dalam dan luar mitokondria, mengalami evolusi yang lebih lambat daripada ke 2 domain fungsional lainnya. Keadaan ini diduga karena fungsinya sebagai pusat redox Qo (Irwin et al. 1991 dan Griffiths 1997). Domain intermembran pada mamalia mengandung 105 residu asam amino dengan komposisi terbesar dari
ND6 tRNA Pro
Cyt b (1140 pb)
5’ 3’
tRNAGlu tRNAThr
Gambar 7. Skema organisasi gen Cyt b pada T. bancanus (Howell 1989 dan Schimtz et al. 2002)
asam aminonya adalah yang berhubungan dengan fungsi pusat redox Qo (Zhang et al. 1998 diacu dalam McClellan and McCracken 2001) dan sekitar 29% bersifat kekal pada metazoa (Degli Esposti et al. 1993 diacu dalam McClellan
Residu asam amino ke 20 – 40
Residu asam amino ke 130 - 150
Residu asam amino ke 270 -290
(43)
and McCracken 2001). Domain matriks berlokasi pada permukaan dalam dari membran dalam mitokondria, terdiri dari 65 residu asam amino dan proporsi terbesar adalah residu asam amino polar dan asam amino dasar (Griffiths 1997 diacu dalam McClellan and McCracken 2001). Pada bagian matriks relatif sedikit residu yang bersifat kekal kemungkinan karena sebagian besar bagian dari domain ini tidak diketahui fungsinya. Domain transmembran terdiri dari protein
Cyt b yang ditransfer ke membran dalam mitokondria, pada mammalia
mengandung 209 residu asam amino yang sebagian besar termasuk asam amino hidrofobik. Penggantian asam amino pada daerah transmembran terjadi antara asam amino hidrofobik leusina, isoleusina dan valina (Irwin et al., 1991; Kornegay et al. 1993 diacu dalam McClellan dan McCracken 2001), dan 19% dari residu asam amino ini bersifat kekal pada sebagian besar metazoa (Degli Esposti et al. 1993 diacu dalam McClellan and McCracken, 2001). Banyak dari residu tersebut dikaitkan dalam fungsinya untuk ligasi heme, aktivitas redoks atau stabilitas struktural.
Menurut Howell (1989), hasil analisis urutan asam amino pada golongan prokariotik dan eukariotik disimpulkan terdapat 5 region protein yang terdiri atas sekitar 20 residu asam amino yang bersifat kekal selama evolusi. Dua region protein yang sangat kekal diperkirakan terdapat pada residu protein ke 130 - 150 dan residu protein ke 270 – 290. Kedua region protein ini berlokasi pada loop ekstramembran dan diduga merupakan bagian pusat reaksi Qo. Region residu protein ke 20 – 40 yang merupakan bagian dari pusat reaksi Qi juga bersifat kekal di dalam tingkat spesies.
Runutan DNA yang menyandi 80 asam amino (posisi ke 47 sampai dengan ke 126) dari Cyt b rodensia, burung, ikan dan manusia (hasil amplifikasi menggunakan primer L14841 dan H15149) setelah disejajarkan berganda didapatkan 129 posisi nukleotida beragam dari 240 nukleotida. Komposisi nukleotida dari ke 4 contoh individu tersebut kandungan Gnya adalah yang paling sedikit, seperti yang dilaporkan pada mt-DNA vertebrata. Perubahan nukleotida yang terjadi pada interspesies sebagian besar adalah terjadi secara substitusi transisi, sedangkan untuk antar genera dalam famili atau ordo yang sama perubahan terjadi sebagian besar adalah transversi. Menurut hipotesis struktural Cyt b, runutan DNA hasil amplifikasi primer L14841 dan H15149 terletak pada intermembran mitokondria, yaitu dengan ditandai tidak adanya penggantian asam amino pada posisi ke 80, yaitu asam amino arginina (R),
(44)
posisi ke 83 yaitu histidina (H), posisi ke 97 yaitu H, dan posisi ke 100 adalah R, Tidak adanya penggantian keempat asam amino ini disebabkan fungsi asam amino histidina dalam ligasi heme di domain intermembran (Gambar 8) (Kocher
et al. 1989). Berdasar penjajaran urutan basa gen Cyt b, daerah tersebut dapat memberikan informasi filogenetik pada tingkat intraspesies sampai tingkat antar genera.
Menurut Schmitz et al. (2002), hasil analisis asam amino pada primata dan nonprimata menunjukkan bahwa primata besar memiliki afinitas yang lebih tinggi basa G+C sedangkan Tarsius dan Slow loris memiliki lebih banyak basa A+T pada gen yang menyandi asam amino seperti yang tampak pada non primata.
Gambar 8. Posisi 80 asam amino (asam amino ke 47 sampai dengan 126) hasil amplifikai menggunakan primer L14841 dan H15149.
Keterangan: asam amino variatif ; asam amino tidak dirunut;
(ada huruf di dalamnya) asam amino tidak variatif diantara vertebrata; asam amino kekal yang berhubungan dengan fungsi
Cyt b (Kocher et al. 1989) D-loop
Daerah bukan penyandi (non coding region) merupakan genom yang tidak membawa urutan informasi untuk pembentukan protein maupun RNA. Tingginya angka dari polimorfisme nukleotida atau adanya perbedaan runutan pada kedua bagian hipervariabel dari non coding region digunakan untuk membedakan di antara individu dan atau sampel biologis (Melton 1999).
Daerah bukan penyandi (non coding region) atau disebut juga daerah kontrol (control region) atau D-loop terletak di antara gen penyandi tRNAPro (di
126 47
(45)
sebelah kiri atau depan) dan gen penyandi tRNAPhe (di sebelah kanan atau belakang). Jumlah dan runutan nukleotida penyusun D-loop dari beberapa spesies primata dapat dilihat pada Lampiran 16 –24 dan 26.
D-loop merupakan bagian dari mt-DNA yang sangat variatif dalam
substitusi nukleotida, insersi atau delesi pendek (indels) dan memiliki variable
number tandem repeat (VNTRs) yang dinamis yang terletak pada bagian yang
hipervariatif dan domain yang khusus (Fumagalli et al. 1996). Daerah D-loop
dibagi menjadi 3 domain, yaitu domain I yang berbatasan dengan tRNAPro, terdiri dari runutan yang diasosiasikan dengan termination of H-strand replication (TAS) yang sering mengandung VNTRs (R1 repeats), domain II yang terdapat di bagian sentral dan bersifat kekal, terdapat conserved sequence block (CSB B, C, D,E dan F) dan domain III yang berbatasan dengan tRNAPhe, terdiri dari runutan yang variabilitasnya tinggi karena substitusi nukleotida, insersi dan delesi (indels) serta VNTRs (R2 repeat) dan runutan nukleotida bersifat kekal yang merupakan promotor untuk transkripsi untai berat (heavy strand) dan untai ringan (light strand) berturut-turut HSP dan LSP, titik awal replikasi strand H (OH) dan daerah blok runutan pendek yang kekal (short conserved sequence block) (CSB1, CSB2 dan CSB3) (Sbisa et al. 1997 diacu dalam Randi dan Lucchini 1998). Menurut Southern et al. (1988), blok runutan kekal (Conserved sequence block, CSB) merupakan daerah yang homologinya tinggi yang ditemukan pada mt-DNA lumba-lumba, sapi, manusia dan tikus. Variasi ukuran panjang dari D-loop mt-DNA disebabkan oleh variasi jumlah runutan kopi berulang (sequence tandem repeat) (Fumagalli et al. 1996). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Wilkinson dan Chapman (1991), bahwa adanya runutan nukleotida yang berbeda panjangnya antara anak dan induk evening bat disebabkan oleh duplikasi atau delesi runutan sebesar 81pb yang berulang dengan kopi sebanyak 5-8 kali di daerah D-loop. Demikian juga menurut Greenberg et al. (1983), runutan nukleotida di sekitar daerah awal replikasi untai H pada manusia lebih dari 96% perubahan basanya adalah transisi dan variasi panjang nukleotida disebabkan oleh penambahan atau delesi mono atau dinukleotida dalam repeat yang berurutan.
Pada vertebrata, susunan dari repeat tersebut ditemukan dalam 5 posisi, dinyatakan sebagai runutan berulang (repetitive sequence) (RS) 1-5 (Hoelzel et al. 1994) dan semua terletak di region replikasi untai H diatur (Gambar 9). RS1 dan RS2 berada di ujung 5’ dari CR dimana replikasi untai H berhenti sebentar,
(46)
membentuk untai tiga D-loop. RS3, RS4 dan RS5 berada di ujung 3’ dari CR,
upstream dari titik awal replikasi untai H (Hoelzel et al. 1994). Susunan pada RS1, RS2, RS4 dan RS5 memiliki kopi antara 40-160 pb, sedangkan pada RS3 memiliki kopi yang lebih pendek yaitu antara 6-22 pb dengan jumlah pengulangan yang lebih tinggi (lebih dari 40) dan tingkat heteroplasmiknya juga lebih tinggi. Susunan kopi berulang pada RS3 ditemukan pada beberapa mamalia yaitu, anjing dan srigala (Savolainen et al. 2000), pada 14 spesies tupai (Fumagalli et al. 1996), babi (Ghivizzani et al. 1993), kelinci (Mignotte et al.
1990), Lagomorph (Casane et al. 1997), Tupaia belangeri (Schmitz et al. 2000),
Nycticebus coucang (GenBank NC 002765) dan T. bancanus (Schmitz et al.
2002).
Gambar 9. Skema organisasi daerah kontrol mt-DNA pada mamalia.
CSB1, CSB2, CSB3:blok runutan berulang; OH:titik awal replikasi untai H; HSP: promotor replikasi untai H; LSP: promotor transkripsi untai L; RS1-RS5: lokasi runutan kopi berulang pada spesies yang berbeda (Savolainen et al. 2000).
Berdasar hasil penelitian Schmitz et al. (2002) panjang genom mt-DNA T. bancanus adalah 16927 pb dan terdapat VNTRs sebanyak 22 pb dengan urutan basa TACACCCATGCGTACACGCACG dalam jumlah yang bervariasi antara 4-15 dan terletak di antara CSB1 dan CSB2 atau pada daerah RS3. Pada Tupaia belangeri, VNTRs sebanyak 26 pb yang memiliki runutan basa CACACATACACACACATACACACATA (Schmitz et al. 2000), pada anjing memiliki 2 tipe kopi sebanyak 10 pb dengan runutan basa yang berbeda yaitu ACACGTGCGT dan ACACGTACGT, jumlah pengulangan antara 8-46 (Sovalainen et al. 2000) sedangkan pada Nycticebus coucang memiliki VNTRs sebanyak 12 pb, dengan runutan basa TACGTATACACA dan jumlah pengulangan sekitar 21 (GeneBank accession number NC 002765).
(47)
20
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler, Pusat Studi Ilmu Hayati, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor (PSIH-PAU, IPB), Bogor. Penelitian ini telah dilakukan sejak Juni 2003 sampai dengan Juni 2005.
Rancangan Penelitian
Koleksi Contoh Darah dan Otot
Sebanyak 5 contoh darah T. spectrum asal Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara dan 4 contoh otot T. spectrum asal Air Madidi, Sulawesi Utara diperoleh dari penangkaran Tarsius di Manado, Sulawesi Utara. Sebanyak 1 contoh otot telinga T. dianae asal Kamarora, Sulawesi Tengah dan 8 contoh otot
T. bancanus diperoleh dari Lampung, Sumatera Selatan. Lokasi pengambilan
contoh Tarsius dapat dilihat pada Gambar 10.
Koleksi Contoh Darah dan Otot
Isolasi DNA Total
PCR
D-Loop Parsial
Perunutan Nukleotida
Analisis dengan Program MEGA 3.1
(48)
21
Gambar 10. Peta pengambilan contoh T. spectrum, T. dianae dan T. bancanus
Keterangan: T. bancanus (Lampung), T. spectrum (Air Madidi), T. spectrum (Tangkoko), T. dianae (Kamarora)
Isolasi DNA Total
DNA total diekstraksi dari darah, otot dan telinga. Darah diambil dari pembuluh darah pada pangkal ekor, ditambah larutan EDTA 10% sebagai antikoagulan. Otot diambil dari Tarsius yang sudah mati dan potongan telinga diambil dari hewan yang masih hidup.
Preparasi contoh darah dan otot mengikuti metode Duryadi (1993). Setiap otot (50-100mg) secara terpisah digerus dalam larutan STES {1% (W/V) SDS; 50 mM Tris-HCl, pH 9,0; 0,1 M EDTA, pH 8,0; 0,2 M NaCl}. Darah sebanyak 50-100 μl ditambah 1X volume larutan lisis {0,32M Sucrose, 1% (V/V) Triton X-100, 5 mM MgCl2 dan 10 mM Tris-HCl, pH 7,4}. Organel sel dalam larutan diendapkan dengan sentrifugasi 6500 rpm selama 1 menit. Endapan ditambah dengan 1X volume larutan pencuci (75 mM NaCl, 50 mM EDTA, pH 8,0). Contoh otot yag sudah digerus dan darah selanjutnya ditambah dengan digestion buffer
(larutan STES + 0,5 mg/ml Proteinase K) sebanyak 500 ul, kemudian diinkubasi pada penangas air suhu 55oC selama + 16 jam atau semalam.
Purifikasi DNA Total mengikuti Sambrook et al. (1989) dimodifikasi Duryadi (1993). Suspensi setelah diambil dari penangas air ditambah larutan fenol 1x volume, dicampur rata kemudian disentrifugasi 13.000 rpm selama 3 menit. Fase air di bagian atas yang mengandung DNA dipindah ke tabung baru, kemudian ditambah kloroform:isoamil-alkohol (24:1, CIAA) dan dicampur rata. Fase atas dipisahkan dengan sentrifugasi 13.000 rpm selama 3 menit. Cairan
LAMPUNG
KAMARORA
AIR MADIDI TANGKOKO
Laut Cina Selatan Samudra Pasifik
Laut Timor Samudra Hindia
Sumatera
Jawa
(49)
22
bagian atas dipindahkan ke tabung baru, ditambah etanol absolut 2x volume. Gumpalan DNA diendapkan dengan sentrifugasi 13.000 rpm selama 5 menit. Endapan DNA dicuci menggunakan alkohol 70% 1x volume dengan sentrifugasi 13.000 rpm selama 3 menit. DNA yang diperoleh dikeringkan di suhu ruang. DNA dilarutkan dalam larutan TE (10 mM Tris-HCl; 1 mM EDTA, pH 8,0), kemudian diinkubasi pada penangas air suhu 37oC selama 15 menit. Sampel DNA disimpan pada suhu –20oC. DNA dilihat kwalitasnya dengan dimigrasikan pada gel agarosa 1,2% dengan menggunakan buffer 1xTBE (89 mM Tris, 89 mM asam borat dan 2 mM EDTA, pH 8,0) dalam piranti Submarine Electrophoresis
(Hoefer, USA). Pengamatan dilakukan dengan bantuan sinar UV (λ = 300 nm) setelah gel diwarnai dengan ethidium bromide (0,5 μg/ml).
Amplifikasi DNA dengan PCR
DNA total hasil ekstraksi digunakan sebagai DNA cetakan untuk proses amplifikasi. Primer-primer yang digunakan dalam penelitian ini didisain untuk mengamplifikasi gen Cyt b parsial dan D-loop parsial (Tabel 3). Primer untuk Cyt b menggunakan primer L14841 dan H15149 (Kocher et al. 1989). Primer untuk
D-loop didisain berdasarkan data runutan T. bancanus (Kode akses Genbank
NC_002811) yang dibandingkan dengan primer-primer yang telah dipakai untuk mengamplifikasi daerah D-loop (Wilkinson et al. 1991; Hapke et al. 2001). Program primer 3 (http://www-genome.wi.mit.edu/cgi .bin/primr3.cgi/results_from-primer3) digunakan untuk menyeleksi primer-primer yang dapat memberikan kemungkinan hasil yang baik. Lokasi penempelan primer untuk mengamplifikasi gen Cyt b dan daerah D-loop berturut-turut dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.
Tabel 3. Urutan basa dan suhu penempelen primer untuk mengamplifikasi gen Cyt b dan D-loopTarsius sp.
PRIMER
TARGET NAMA Urutan Basa
Suhu Penempelan
Produk PCR (pb) Cyt b
parsial
L14841
H15149
(F) 5’AAAGCTTCCATCCAACATCTCAG CATGATGAAA 3’
(R) 5’ AAACTGCAGCCCCTCAGAATGAT ATTTGTCCTCA 3’
60OC 374
D-loop parsial
DLTARPROF DLTARBFR
(F) 5’ CTGGCATTCTCCATAAACT 3’
(R) 5’ GTTGCTGATTTCACGGAGGAAG 3’ 55 O
(50)
23
Komposisi 50 μl campuran pereaksi PCR terdiri dari 2,5 mM MgCl2, 10 mM dNTPs, 100-300 ng DNA cetakan, 20-100 pmol masing-masing primer dan 2 U Taq polimerase (Bio lab) beserta bufernya.
Amplifikasi DNA dengan PCR pada penelitian ini menggunakan mesin GeneAmpRPCR system 2400 (Perkin Elmer). Amplifikasi gen Cyt b parsial dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: denaturasi awal selama 2 menit pada suhu 94oC selanjutnya diikuti dengan 94oC selama 30 detik untuk denaturasi, 60oC selama 45 detik untuk penempelan primer (annealing), 72oC selama 1 menit untuk pemanjangan (elongation); amplifikasi dilakukan sebanyak 35 siklus kemudian diakhiri 5 menit pada 72oC.
Amplifikasi PCR D-loop utuh dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: denaturasi awal selama 2 menit pada suhu 94oC selanjutnya diikuti dengan 94oC selama 30 detik untuk denaturasi, 53oC selama 45 detik untuk penempelan primer (annealing), 72oC selama 1 menit untuk pemanjangan (elongation); reaksi amplifikasi sebanyak 35 siklus kemudian diakhiri dengan penambahan pemanjangan (extension) selama 5 menit pada 72oC. Amplifikasi PCR D-loop
parsial dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: denaturasi awal selama 2 menit pada suhu 94oC selanjutnya diikuti dengan 94oC selama 30 detik, 55oC selama 45 detik, 72oC selama 1 menit; sebanyak 35 siklus kemudian diakhiri 5 menit pada 72oC.
Produk PCR dideteksi dengan cara dimigrasikan pada gel agarosa 1,2% dengan menggunakan buffer 1xTBE dalam piranti Submarine Electrophoresis
(Hoefer, USA). Pengamatan dilakukan dengan bantuan sinar UV (λ = 300nm) setelah gel diwarnai dengan ethidium bromide. Penanda DNA dengan ukuran 100 pb digunakan sebagai penunjuk berat molekul.
Penentuan Runutan Nukleotida
Produk PCR hasil amplifikasi dimurnikan dengan menggunakan GFX
Column purification kit (Amersham, USA), selanjutnya dipergunakan sebagai
DNA cetakan untuk reaksi penentuan runutan nukleotida.
Runutan nukleotida gen Cyt b parsial diperoleh dengan menggunakan alat pennentuan runutan DNA otomatis ABI Prism versi 3.4.1 (USA). Kondisi untuk reaksi penentuan runutan adalah sebagai berikut: denaturasi awal selama 2 menit pada suhu 94oC selanjutnya diikuti dengan 94oC selama 30 detik, 60oC
(51)
24
selama 45 detik, 72oC selama 1 menit; reaksi amplifikasi sebanyak 35 siklus kemudian diakhiri dengan penambahan (extension) selama 5 menit pada 72oC.
Reaksi untuk penentuan runutan D-loop parsial menggunakan larutan pereaksi Thermo Sequenase Cy5 Dye Terminator Cycle Sekuencing Kit
(Amersham, USA) dengan mesin GeneAmpRPCR system 2400 (Perkin Elmer). Kondisi untuk reaksi penentuan runutan adalah sebagai berikut: denaturasi awal selama 2 menit pada suhu 94oC selanjutnya diikuti dengan 94oC selama 30 detik, 55oC selama 45 detik, 72oC selama 1 menit; reaksi amplifikasi sebanyak 35 siklus kemudian diakhiri dengan penambahan (extension) selama 5 menit pada 72oC.
Produk reaksi penentuan runutan dipurifikasi menggunakan kolom autoseq G-50, kemudian DNA dikonsentrasikan dengan penambahan alkohol absolut yang dilanjutkan pencucian menggunakan alkohol 70%. Setelah kering, ditambahkan ke dalamnya 6 μl stop solution. Larutan diinkubasi pada 72oC selama 5 menit dan kemudian dimasukkan ke dalam es. Runutan nukleotida diperoleh dengan menggunakan alat perunut DNA otomatis ALFexpress II
(Amersham pharmacia biotech), pada kondisi 1500 V, arus listrik 60mA, daya 25 W, suhu 55oC, selama 700 menit.
Analisis Data
Penjajaran berganda homologi runutan nukleotida gen Cyt b dan D-loop
dianalisis dengan bantuan perangkat lunak Genetyx-Win versi 3.0 dan Clustal W (Thompson et al. 1994). Selain berdasarkan runutan nukleotida, gen Cyt b
dianalisis berdasarkan runutan asam amino dari basa-basa yang diterjemahkan mengikuti vertebrate mitochondrial translation code yang ada dalam MEGA versi 3.1. Runutan asam amino sinonimus dianalisis secara manual berdasarkan runutan triplet kodon yang mengalami mutasi. Sebagai spesies pembanding digunakan T. bancanus (Nomor akses NC_002811), Nycticebus coucang
(NC_002765), Lemur catta (NC_004025), Cebus albifrons (NC_002763),
Lagothrix lagotricha (AF 213965), Macaca sylvanus (NC_002764), M. mulatta
(NC_005943), Hylobates lar (NC_002082), Pongo pygmaeus (NC_002083), Pan
paniscus (NC_001644), Pan troglodytes (NC_001643), Gorilla gorilla
(52)
25
Analisis filogeni menggunakan perangkat lunak MEGA versi 3.1 (Kumar
et al. 2001) dengan metode bootstrapped Neighbor-Joining dengan 1000 kali
(1)
102
Lampiran 25. Urutan basa nukleotida gen Cyt b dari Lemur catta (LCU 3575)
1 ccatccaaca tgtcagcatg atgaaatttc ggttccctcc taggagcctg cctagcccta 61 caaattatta caggattatt tctggcaata cactatacag cagacacaac aaccgcattt 121 tcctccgtcg cccacatctg ccgtgacgtg aactacggct gaattattcg ctacctccac 181 gccaacggag catccatatt cttcttatgc ttatttattc acattggccg aggactgtat 241 tatgggtcat ttactctaac agaaacctga aatataggta ttatcttatt attcacagta 301 atagccacag ctttcatagg gtacgttctc ccatgaggac aaatatcatt ctgaggg(2)
103
Lampiran 26. Urutan basa nukleotida daerah hipervariabel D-loop (region 1) dari
Lagothrix lagotricha (1-516) (AF 213965)
1 ctgatattct aatattaaac tatcccctga atcactaact aacttgttat cattgaaggt 61 ttgccataaa gtaccctata agtatacaca ataaaataca ttccccctat gtaattagtg 121 cattactgcc agtccccatg aataatacat ggtactaaga atgcttaact atacatagca 181 catacagtca aaacttacat aacaacgtcc acacaagctt ataagcaagt actataatct 241 cacactaact atcatacatt aacaaccaac gcacactaca aggccccgaa cacgacaagc 301 catctaacac gcaaacccat aacagtacat tcatacatta attcatttac agtacatagc 361 gcattctatt tggtctgtct acttccatac ggatatcccc caggtattgt tagtctctta 421 atctaccatc ctccgtgaaa ccagcaaccc gcccacattt gccgctcttc tcgctccggg 481 cccatattga cagggttggc tatactaaca tctagc
(3)
(4)
(5)
106
Lampiran 27. Data spesies primata yang digunakan dalam analisis kekerabatan Tarsius
Lokus No.
Akses
Spesies Pustaka
NC_002811 NC_002811 Tarsius bancanus
Schmitz et al. 2001
NC_002765 NC_002765 Nycticebus coucang
Arnason U. et al. 2000
CAL309866 NC_002763 Cebus albifrons
Arnason U. et al. 2000
MSY309865 NC_002764
Macaca sylvanus
Arnason U. et al. 2000
HLMITCSEQ NC_002082
Hylobates lar
Arnason U. et al. 1996
U 53575
LCU 3575
Lemur catta
Yoder A.D. 1996
AF 213965
AF 213965
Lagothrix lagotricha
Collins A.C. & Dubach J.M. 2000
NC_005943 NC_005943 Macaca mulatta
Arnason U. et al. 2000
NC_001644 NC_001644 Pan paniscus
Arnason U. et al. 2000
NC_001643 NC_001643 Pan troglodytes
Arnason U. et al. 2000
NC_001645 NC_001645 Gorilla gorilla
Arnason U. et al. 1996
DQ 246833
DQ 246833
Homo sapiens
Rajkumar R. et al. 2005
(6)