Analisis Sebaran Dan Kerapatan Vegetasi Pantai Pada Daerah Bekas Tsunami Aceh

13

TINJAUAN PUSTAKA
Vegetasi Pantai
Di Indonesia, termasuk wilayah Aceh, terdapat peraturan nasional yang
membatasi serta mengatur perlindungan atas wilayah jalur hijau yang terdapat di
sepanjang pesisir pantai, batas wilayah selebar 100-200 m di sepanjang pantai,
dan 50-100 m hingga air pasang dapat menyentuh wilayah sungai (jarak yang
tepat akan tergantung pada kemampuan air pasang mencapai tepi pantai)
(Hanley dkk).
Vegetasi yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam meliputi
kawasan hutan hujan tropis dataran tinggi sampai hutan hujan tropis dataran
rendah. Vegetasi hutan hujan tropis dataran rendah di daerah pesisir secara
umum dibagi ke dalam dua kelompok hutan yaitu hutan mangrove dan hutan
pantai (Suryawan, 2007),
Hutan pantai adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi
laut. Tumbuhan pantai bersifat unik karena merupakangabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang
hidup di darat dan di laut. Umumnya mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang
disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi
terhadapkeadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Hutan pantai terdapat di
sepanjang pantai yang kering, berpasir, dan tidak landai, tumbuh dan berkembang di tepi

pantai, tidak dipengaruhi oleh iklim dan berada di atas garis pasang tertinggi. Di
daerah seperti itu pada umumnya jarang tergenang oleh air laut, namun sering
terjadi atau terkena angin kencang dengan embusan garam (Rachmani, 2013).
Hutan pantai memberikan perlindungan terhadap badai, angin dan terpaan
garam, meningkatkan keragaman hayati dari lingkungan pantai dan juga
4
Universitas Sumatera Utara

14

memberikan perlindungan terhadap bahaya tsunami. Selain itu, mereka
memberikan kesempatan dalam meningkatkan taraf hidup dengan meningkatkan
produktivitas dari sistem pertanian dan perikanan serta memasok kayu dan
produk hutan non-kayu (Hanley dkk).
Sebelum tsunami pantai menjadi salah satu tempat yang diminati warga
masyarakat untuk berkreasi, karena disamping pantainya yang menarik dan
terbentang luas, di tempat ini juga dijumpai beberapa spesies pantai berupa
pohon, perdu, dan herba khususnya dijadikan sebagai tempat berteduh. Beberapa
spesies yang dijumpai di tempat sebelum tsunami antara lain; waru laut
(Hibiscus


rosasinensis),

kelapa

(Cocos

nucifera),

cemara

(Casuarina

equisetifolia), kedondong laut (Polycias fruticosa), bakau (Rhizophora
mucronata), dan kulur (Artocarpus altilis) dari kelompok pohon, dan nyawon
(Eupatorium odoratum), pandan laut (Pandanus tectorius), biduri (Calotropis
gigantea), bulu babi (Theprosia candida), beluntas (Plucea indica), harendong
(Melastoma malabatricum), putri malu besar (Mimosa virgatus) dari kelompok
perdu, dan tapak kuda (Ipomoea prescaprae), rumput laut (Spinifex littoralis),
jarong lelaki (Stachytarpeta indica), teki (Cyperus rotundus), sida gori (Sida

rhombifolia), belulang (Eleusine indica), kacangan (Desmodium triflorum),
cagak langit (Tridax procumbens), ceplukan (Physalis angulata), babadotan
(Ageratum conyzoiedes), gelagah (Sacharum spontanoium), dan meniran
(Phyllantus debilis) (Djufri, 2010)

Universitas Sumatera Utara

15

Kerapatan Vegetasi
Kerapatan vegetasi dapat didekati dengan pengenalan manual atau dengan
cara digital. Pengenalan manual dapat menghasilkan kerapatan secara kualitatif
atau kuantitatif dengan tingkat ketelitian yang rendah. Kerapatan tajukdapat
diketahui dengan cara digital. Dasar pengenalan kerapatan tajuk dengan cara
digital adalah nilai pantulan spektral hijau daun. Berdasarkan tinggi rendahnya
intensitas pantulan hijau daun dapat dikelaskan sebagai indikasi tingkat kerapatan
tajuk (BPDAS, 2006).
Kerapatan vegetasi umumnya diwujudkan dalam bentuk persentase untuk
mengetahui tingkat suatu kerapatan vegetasi. Indeks vegetasi merupakan suatu
algoritma yang ditetapkan terhadap citra (biasanya pada citra multisaluran) untuk

menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang berkaitan dengan
kerapatan, misalnya biomassa, Leaf Area Index (LAI), konsentrasi klorofil, dan
sebagainya, menghasilkan citra baru yang lebih representative dalam menyajikan
fenomena vegetasi (Danoedoro, 2012).
Klasifikasi kerapatan tajuk ini dilakukan dengan menggunakan program
pengolah data citra (image processing), dimana di dalamnya tersedia modul
untuk menghitung nilai intensitas pantulan spektral hijau daun. Sesuai dengan
karakteristiknya, saluran merah dan infra merah sangat sesuai dengan kepekaan
terhadap pantulan hijau dari kandungan klorofil daun. Oleh sebab itu,
keduasaluran tersebut digunakan untuk mengidentifikasi pantulan hijau
daundengan menggunakanformula NDVI (Normalized Defference Vegetation
Index) (BPDAS, 2006).

Universitas Sumatera Utara

16

Rentang nilai NDVI adalah antara -1,0 hingga +1,0. Nilai yang lebih besar
dari 0,1 biasanya menandakan peningkatan derajat kehijauan dan intensitas dari
vegetasi. Nilai diantara 0 dan 0,1 umumnya merupakan karakteristik dari

bebatuan dan lahan kosong, dan nilai yang kurang dari 0 kemungkinan
mengindikasikan awan es, awan air dan salju. Permukaan vegetasi memiliki
rentang nilai NDVI 0,1 untuk lahan savanna (padang rumput) hingga 0,8 untuk
daerah hutan hujan tropis (Tinambunan, 2006).
NDVI adalah salah satu cara yang efektif dan sederhana untuk
mengidentifikasi kondisi vegetasi di suatu wilayah, dan metode ini cukup
berguna dan sudah sering digunakan dalam menghitung indeks kanopi tanaman
hijau pada data multispectral penginderaan jauh. Secara definisi matematis,
dengan menggunakan NDVI, maka suatu wilayah dengan kondisi vegetasi yang
rapat akan memiliki nilai NDVI yang positif.Sedangkan nilai NDVI perairan
bebas akan cenderung bernilai negatif.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi citra
Landsat 8 dengan menghitung indeks kerapatan vegetasi atau NDVI yang
diperoleh dengan perhitungan near infrared dengan red yang dipantulkan oleh
tumbuhan. Nilai NDVI diperoleh dengan membandingkan data near-infrared
(NIR) dan Red. NDVI adalah nilai Normalized Diffrerence Vegetation Index,
NIR adalah band 5 citra Landasat 8 dan Red adalah band 4 dari citra Landsat 8.
Teknik analisis dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG), dengan
menentukan nilai kerapatan tajuk vegetasi menggunakan hasil dari perhitungan
NDVI,kemudian nilai kelas NDVI tersebut diklasifikasi ulang (reclass) menjadi

tiga kelas, yaitu kerapatan jarang, sedang dan rapat (Purwanto, 2015).

Universitas Sumatera Utara

17

Vegetasi dengan kondisi tajuk yang rapat akan meningkatkan variasi nilai
indeks luas daun, sehingga variasi pada nilai pantulan spektral pada kerapatan
tajuk yang sama disebabkan oleh perbedaan pada indeks luas daunnya, dan hal
tersebut akan memberikan kesalahan di dalam menduga tingkat kerapatan tajuk.
Indeks vegetasi NDVI sebagai refresentasi kerapatan vegetasi penutup lahan
memiliki hubungan yang searah. Semakin tinggi nilai NDVI, maka kerapatan
vegetasi penutup lahan semakin rapat, dan sebaliknya (Latuamury, 2013)

Teknologi Penginderaan Jarak Jauh dan Sistem Informasi Geografis (GIS)
Teknologi satelit berperan besar dalam perkembangan aplikasi ilmu
penginderaan jarak jauh, terutama dalam menganalisa keadaan vegetasi bumi.
Indeks vegetasi adalah salah satu parameter yang digunakan untuk menganalisa
keadaan vegetasi dari suatu wilayah. Indeks tersebut mempunyai berbagai
macam variasi algoritma. Algoritma yang akan dibahas pada penelitian ini adalah

algoritma NDVI dan EVI. Algoritma EVI merupakan hasil turunan dan
pengembangan algoritma NDVI. Saat ini berbagai macam sensor satelit
dimanfaatkan untuk memantau kondisi kehijauan vegetasi bumi, antara lain:
MODIS, MISR, ASTER, IKONOS, Quickbird, AVHRR, dan lain-lain. Masingmasing satelit melalui berbagai sensornya mempunyai fungsi yang spesifik dalam
mengolah informasi vegetasi (Sudiana dan Elfa, 2008).
Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan citra
satelit seperti Landsat TM mampu mendeteksi pola penggunaan lahan di muka
bumi. Informasi yang diperoleh dari citra satelit tersebut dapat digabungkan

Universitas Sumatera Utara

18

dengan data-data lain yang mendukung ke dalam suatu sistem informasi
geografis (SIG) (Sulistiyono, 2008).
Data penginderaan jarak jauh (PJJ) amat lazim digunakan dalam kegiatankegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini
dikarenakan data PJJ memuat kondisi fisik dari permukaan bumi yang dapat
dianalisa sehingga menghasilkan informasi factual tentang sumberdaya yang ada
dalam skala luas dan dilakukan berulang kali untuk keperluan pemantauan
(Ekadinata dkk., 2008).

Pemetaan hutan menggunakan teknologi inderaja multitemporal mampu
memberikan data mengenai luasan hutan, kerapatan hutan, dan perubahannya.
Sedangkan Sistem Informasi Geografis dapat menganalisis secara keruangan
aspek-aspek yang berpengaruh terhadap dinamika perubahan hutan diasosiasikan
dengan beberapa feature atau

kenampakan lain di permukaan bumi

(Yuwono dan Suprajaka, 2003).

Universitas Sumatera Utara