Jual Beli dan Syarat Syaratnya 4

Jual Beli dan Syarat-Syaratnya


4 July 2008, 9:22 pm



Jual Beli, Riba
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan berinteraksi, mereka
dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang merupakan hasil
interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang dengannya mereka mampu
mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan. Islam pun mengatur permasalahan ini dengan
rinci dan seksama sehingga ketika mengadakan transaksi jual beli, manusia mampu
berinteraksi dalam koridor syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap
sesama manusia, hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat universal
dan komprehensif.
Melihat paparan di atas, perlu kiranya kita mengetahui beberapa pernik tentang jual beli yang
patut diperhatikan bagi mereka yang kesehariannya bergelut dengan transaksi jual beli,
bahkan jika ditilik secara seksama, setiap orang tentulah bersentuhan dengan jual beli. Oleh
karena itu, pengetahuan tentang jual beli yang disyariatkan mutlak diperlukan.
Definisi Jual Beli

Secara etimologi, al-bay’u ‫( البيع‬jual beli) berarti mengambil dan memberikan sesuatu, dan
merupakan derivat (turunan) dari ‫( الباع‬depa) karena orang Arab terbiasa mengulurkan depa
mereka ketika mengadakan akad jual beli untuk saling menepukkan tangan sebagai tanda
bahwa akad telah terlaksana atau ketika mereka saling menukar barang dan uang.
Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi
beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan
maupun perbuatan. (Taudhihul Ahkam, 4/211).
Di dalam Fiqhus sunnah (3/46) disebutkan bahwa al-bay’u adalah transaksi tukar menukar
harta yang dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan kepada orang
lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat.
Adapun hikmah disyariatkannya jual beli adalah merealisasikan keinginan seseorang yang
terkadang tidak mampu diperolehnya, dengan adanya jual beli dia mampu untuk memperoleh
sesuatu yang diinginkannya, karena pada umumnya kebutuhan seseorang sangat terkait
dengan sesuatu yang dimiliki saudaranya (Subulus Salam, 4/47).
Dalil Disyari’atkannya Jual Beli
Islam telah mensyariatkan jual beli dengan dalil yang berasal dari A;-Qur’an, sunnah, ijma’
dan qiyas (analogi).

Dalil Al Qur’an
Allah ta’ala berfirman,

‫بوأ ببح ر بل الل ر بهه ال يببي يبع بوبح ربربم الرررببا‬
“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al
Baqarah: 275)
Al ‘Allamah As Sa’diy mengatakan bahwa di dalam jual beli terdapat manfaat dan urgensi
sosial, apabila diharamkan maka akan menimbulkan berbagai kerugian. Berdasarkan hal ini,
seluruh transaksi (jual beli) yang dilakukan manusia hukum asalnya adalah halal, kecuali
terdapat dalil yang melarang transaksi tersebut. (Taisir Karimir Rahman 1/116).
Dalil Sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, profesi apakah yang paling baik? Maka
beliau menjawab, bahwa profesi terbaik yang dikerjakan oleh manusia adalah segala
pekerjaan yang dilakukan dengan kedua tangannya dan transaksi jual beli yang dilakukannya
tanpa melanggar batasan-batasan syariat. (Hadits shahih dengan banyaknya riwayat,
diriwayatkan Al Bazzzar 2/83, Hakim 2/10; dinukil dari Taudhihul Ahkam 4/218-219).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
‫ب ربال ر بذبهرب بوال يرف ر بضهة ربال يرف ر بضرة بوال يبه رهر ربال يبهررر بوال ر بشرعيهر ربال ر بشرعيرر بوالتر بيمهر ربالتر بيمرر بوال يرمل يهح ربال يرمل يرح رمثيدلا ربرمثيدل بسبوادء رببسبوادء ي بددا ربي بدد‬
‫ال ر بذبه ه‬
‫ت بهرذره ال يأ بيصبناهف بفربيهعوا ك بي يبف رشئيتهيم رإبذا بكابن ي بددا ربي بدد‬
‫بفرإبذا ايختبل ببف ي‬
“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan
kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila

berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara
kontan” (HR. Muslim: 2970)
Berdasarkan hadits-hadits ini, jual beli merupakan aktivitas yang disyariatkan.
Dalil Ijma’
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen, dengan transaksi jual
beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain yang diinginkan tanpa melanggar
batasan syariat. Oleh karena itu, praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah
sepakat akan disyariatkannya jual beli (Fiqhus Sunnah,3/46).
Dalil Qiyas
Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang sangat membutuhkan
sesuatu yang dimiliki orang lain baik, itu berupa barang atau uang, dan hal itu dapat diperoleh
setelah menyerahkan timbal balik berupa kompensasi. Dengan demikian, terkandung hikmah

dalam pensyariatan jual beli bagi manusia, yaitu sebagai sarana demi tercapainya suatu
keinginan yang diharapkan oleh manusia (Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).
Syarat-syarat Sah Jual Beli
Kondisi umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli mereka meremehkan
batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual beli yang terjadi di masyarakat
adalah transaksi yang dipenuhi berbagai unsur penipuan, keculasan dan kezaliman.

Lalai terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah merupakan sebab yang
mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut, tidak tanggung-tanggung berbagai upaya
ditempuh agar keuntungan dapat diraih, bahkan dengan melekatkan label syar’i pada praktek
perniagaan yang sedang marak belakangan ini walaupun pada hakikatnya yang mereka
lakukan itu adalah transaksi ribawi.
Jika kita memperhatikan praktek jual beli yang dilakukan para pedagang saat ini, mungkin
kita dapat menarik satu konklusi, bahwa sebagian besar para pedagang dengan “ringan
tangan” menipu para pembeli demi meraih keuntungan yang diinginkannya, oleh karena itu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫حلرهفوبن‬
‫جابر ههيم ال يهف ر ب‬
‫رإ ربن التره ر ب‬
‫حرردهثوبن بفي بك يرذهبوبن بوي ب ي‬
‫جاهر بقابل رقيبل بيا برهسوبل الل ر بره أ ببول بي يبس بقيد أ ببح ر بل الل ر بهه ال يببي يبع بقابل بببلى بول بركن ربههيم ي ه ب‬
‫بوي بأ يث بهموبن‬
“Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para
sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai
Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan
barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka
bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110,

dinukil dari Maktabah Asy Syamilah; Hakim berkata: “Sanadnya shahih”, dan beliau
disepakati Adz Dzahabi, Al Albani berkata, “Sanad hadits ini sebagaimana yang dikatakan
oleh mereka berdua”, lihat Silsilah Ash Shahihah 1/365; dinukil dari Maktabah Asy
Syamilah).
Oleh karena itu seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib memperhatikan syaratsyarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya sesuai dengan batasan-batasan
syari’at dan tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang diharamkan .
Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau
berkata,
‫ بورإرلا أ بك ببل الررربا ب‬،‫بلا ي بربيع رفيي هسيورقبنا رإل رب بمين ي بيفبقهه‬
“Yang boleh berjualan di pasar kami ini hanyalah orang-orang yang faqih (paham akan ilmu
agama), karena jika tidak, maka dia akan menerjang riba.”

Berikut beberapa syarat sah jual beli -yang kami rangkum dari kitab Taudhihul ahkam 4/213214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan beberapa referensi lainnya- untuk diketahui dan
direalisasikan dalam praktek jual beli agar tidak terjerumus ke dalam praktek perniagaan
yang menyimpang.
Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik penjual maupun
pembeli, yaitu:


Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela, tanpa

ada paksaan. Allah ta’ala berfirman:
‫عين تببرادض رمن يك هيم‬
‫بيا أ بي رهبها ال ر برذيبن آبمهنوا ل تبأ يك ههلوا أ بيمبوال بك هيم ببي ين بك هيم ربال يببارطرل رإل أ بين تب ه‬
‫جابردة ب‬
‫كوبن رت ب‬
“… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS.
An-Nisaa’: 29)



Kedua belah pihak berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia adalah
seorang mukallaf dan rasyid (memiliki kemampuan dalam mengatur uang), sehingga
tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang tidak cakap, orang gila atau
orang yang dipaksa (Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 92). Hal ini merupakan salah
satu bukti keadilan agama ini yang berupaya melindungi hak milik manusia dari
kezaliman, karena seseorang yang gila, safiih (tidak cakap dalam bertransaksi) atau
orang yang dipaksa, tidak mampu untuk membedakan transaksi mana yang baik dan
buruk bagi dirinya sehingga dirinya rentan dirugikan dalam transaksi yang
dilakukannya. Wallahu a’lam.


Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan, syarat-syaratnya yaitu:


Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang
yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang
yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.



Objek jual beli merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang yang
bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
‫بلا تبربيع بما ل بي يبس رعن يبدبك‬
“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503,
Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434;
dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)

Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan miliknya
dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang dilakukannya, karena

yang menjadi tolok ukur dalam perkara muamalah adalah rida pemilik. (Lihat Fiqh wa
Fatawal Buyu’ hal. 24). Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam terhadap perbuatan Urwah tatkala beliau memerintahkannya untuk membeli
kambing buat beliau. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)


Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang
terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya.
Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena
mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat diserahkan.



Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah
pihak sehingga terhindar dari gharar. Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil
yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.”
(HR. Muslim: 1513)
Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang
ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ب رإ ر بلا ببي ربن بهه ل بهه‬
‫ال يهميسلرهم أ بهخو ال يهميسلررم بلا ي برح رهل لرهميسلردم ببابع رمين أ برخيره ببي يدعا رفيره ب‬
‫عي ي ب‬
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang
muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama
muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah nomor
2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al
Hilali)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
‫ بوال يبمك يهر بوال يرخبداهع رفي ال ربنارر‬، ‫غ ر بشبنا بفل بي يبس رم ربنا‬
‫بمين ب‬
“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan
kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 567,
Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah IV/189;
dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)

Terakhir, Jual Beli Bukanlah Riba
Sebagian orang beranggapan bahwa jual beli tidaklah berbeda dengan riba, anggapan mereka
ini dilandasi kenyataan bahwa terkadang para pedagang mengambil keuntungan yang sangat


besar dari pembeli. Atas dasar inilah mereka menyamakan antara jual beli dan riba?!. Alasan
ini sangat keliru, Allahta’ala telah menampik anggapan seperti ini. Allah ta’ala berfirman:
‫خبر بهطهه ال ر بشي يبطاهن رمبن ال يبمررس بذلربك ربأ بن ر بههيم بقاهلوا رإن ر ببما ال يببي يهع رمثيهل الرررببا بوأ ببح ر بل‬
‫ال ر برذيبن ي بأ يك ههلوبن الرررببا ل ي بهقوهموبن رإل ك ببما ي بهقوهم ال ر برذي ي بتب ب‬
‫الل ر بهه ال يببي يبع بوبح ربربم الرررببا‬
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275)
Tidak ada pembatasan keuntungan tertentu sehingga diharamkan untuk mengambil
keuntungan yang lebih dari harga pasar, akan tetapi semua itu tergantung pada hukum
permintaan dan penawaran, tanpa menghilangkan sikap santun dan toleran (disadur dari Fikih
Ekonomi Keuangan Islam, hal. 87 dengan beberapa penyesuaian). Bahkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menyetujui tatkala sahabatnya Urwah mengambil keuntungan dua kali lipat
dari harga pasar tatkala diperintah untuk membeli seekor kambing buat beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)
Namun, yang patut dicermati bahwa sikap yang lebih sesuai dengan petunjuk para ulama
salaf dan ruh syariat adalah memberikan kemudahan, santun dan puas terhadap keuntungan
yang sedikit sehingga hal ini akan membawa keberkahan dalam usaha. Ali radhiyallahu

‘anhu pernah berkata, “Hai para pedagang, ambillah hak kalian, kalian akan selamat. Jangan
kalian tolak kentungan yang sedikit, karena kalian bisa terhalangi mendapatkan keuntungan
yang besar.”
Adapun seseorang yang merasa tertipu karena penjual mendapatkan keuntungan dengan
menaikkan harga di luar batas kewajaran, maka syariat kita membolehkan pembeli untuk
menuntut haknya dengan mengambil kembali uang yang telah dibayarkan dan
mengembalikan barang tersebut kepada penjual, inilah yang dinamakan dengan khiyarul
gabn bisa dilihat pada pembahasan berbagai jenis khiyar. Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.
Demikianlah beberapa penjelasan ringkas mengenai jual beli dan beberapa persyaratannya.
Semoga bermanfaat bagi kami dan kaum muslimin.
Washshalatu was salamu ‘alaa nabiyyinal mushthafa. Wal hamdu lillahi rabbil ‘alamin.
***
Penulis:

Muhammad

Artikel www.muslim.or.id

Nur

Ichwan

Muslim

http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/jual-beli-dan-syarat-syaratnya.html
2014

23.02.18 2 juni