Analisis Wacana Kritis Terhadap Pidato Kenegaraan Presiden Soekarno pada Tanggal 17 Agustus 1966

(1)

BAB II

SUKARNO, MASA PEMERINTAHAN DAN PIDATO KENEGARAAN

TANGGAL 17 AGUSTUS 1966

Pada bab ini peneliti akan menguraikan Biografi Sukarno, yang dimulai

dari masa mudanya sampai ke masa proklamasi 1945, masa pemerintahan

Sukarno, yaitu Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin, dan juga isi pidato

kenegaraan pada tanggal 17 Agustus 1966. Penguraian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan penelitian ini.

2.1. Biografi Sukarno

Sukarno mempunyai kepribadian yang kompleks. Ia lahir berbintang

Gemini, yang menurutnya pendapatnya sendiri, memberi corak beraneka ragam

pada kepribadian itu. Pada puncak masa kekuasaanya, Sukarno digelari Pemimpin

Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Waljul Amri, Panglima Tertinggi,

dan lain-lain. Namun secara tiba-tiba, semua gelarnya dicopot. Jasa dan

peranannya ditiadakan bahkan diejek. Disini, peneliti akan menguraikan

bagaimana Sukarno tumbuh dan berkembang serta bagaimana perjalanan

politiknya yang mengantarkan dia sampai ke kursi kepresidenan.

2.1.1. Masa Muda Sukarno

Sukarno dilahirkan pada tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya. Ayahnya

bernama Raden Sukemi Sosrodihardjo, yang semasa hidupnya menjabat sebagai


(2)

guru dan kepala sekolah. Ibunya berasal dari Bali, bernama Ida Ayu Nyoman Ray

lebih dikenal dengan sebutan Idayu. Mula-mula ia diberi nama Koesnososro

Sukarno. Tetapi karena sering sakit pada masa kecilnya, kemudian nama Koesno

ditanggalkan dan hanya disebut Sukarno saja. Namun di beberapa lingkungan ia

masih juga dipanggil dengan nama Koesno.

21

Pada masa kecilnya, Sukarno tampak sebagai anak biasa saja. Tidak ada

sesuatu yang menonjol ketika Sukarno masih belum bersekolah. Ibu Wardoyo

yang nama kecilnya Sukarmini, kakak Sukarno pernah berkata:

“Atau mungkin saya kurang memperhatikan secara teliti, saya menganggap Karno adalah bocah kecil biasa saja. Sebab tidak ada yang bisa meramalkan seseorang anak akan menjadi presiden atau orang penting di kelak kemudian

hari. Kecuali setelah si anak menjelang remaja”.22

Dalam masa kanak-kanak Sukarno hidup bersama ayah bundanya serta

neneknya di Tulungangung, Jawa Timur. Barulah sesudah Sukarno memasuki

sekolah dasar dan bergaul dengan banyak temannya memang ada juga kelainan

atau kelebihan yang menonjol pada dirinya. Sukarno waktu kecil itu anak

pemberani dan suka berkelahi. Tidak aneh bila Sukarno sering pulang kerumah

dengan muka bengkak-bengkak atau benjut karena dipukul lawan berkelahinya.

Hebatnya lagi kalau berkelahi Sukarno itu jarang kalah. Itu karena sifatnya yang

pemberani.

Mungkin sifat pemberaninya itu merupakan warisan dari kedua orang

tuanya. Ibunda Sukarno yaitu Ida Ayu Nyoman Rai atau Idayu itu keturunan

21

Tugiyono. 1998. Dwitunggal Sukarno-Hatta Pahlawan Proklamator Kemerdekaan Indonesia.

Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya. hal. 5

22


(3)

bangsawan Bali yang menentang penjajahan Belanda. Raja Singaraja yang

terakhir adalah paman Ibunda Bung Karno. Belanda pada akhir abad ke-19

memerangi kerajaan Singaraja di Bali. Kakek dan moyang Bung Karno dari pihak

ibu telah berjuang mempertahankan kemerdekaan. Ketika mereka menyadari,

bahwa segala sesuatu telah ditumpas Belanda, mereka dengan gagah berani

melakukan Perang Puputan. Dengan mengenakan pakaian serba putih dari kepala

hingga kaki, kemudian mereka menunggang kuda dan berlarian dengan pedang

terhunus menyerang pasukan Belanda sampai semuanya gugur di medan

pertempuran. Tidak ada seorang pejuang pun yang tersisa hidup. Tidak ada yang

menyerah dan menjadi tawanan musuh. Demikianlah perang puputan.

Ibunda Bung Karno, memang seorang wanita pemberani dan keras hati

melawan penjajahan Belanda. Pada zaman perang kemerdekaan, ketika usianya

sudah 70 tahunan kota Blitar sudah akan diserang pasukan Belanda, Ibu Idayu

pernah langsung mendatangi pasukan dan pemuda pejuang Indonesia yang

bertahan di garis depan. Beliau berbicara di depan pasukan kita dengan

bersemangat:

Janganlah gentar menghadapi pasukan Belanda. Ayo, kamu semua

lekas-lekas menyerang pasukan Belanda itu

!”

Sedangkan ayah Bung Karno adalah keturunan raja-raja Kediri pada abad

ke-12. Nenek moyang Bung Karno dari garis ayah juga ikut berjuang bersama

Pangeran Diponegoro dalam perang dari tahun 1825 sampai 1830.


(4)

Ketika masih kecil Sukarno seringkali mendengar cerita kepahlawanan

dari ibunya. Tentu berbagai kisah kepahlawanan itu ikut membina watak dan

kepribadian Bung Karno di kemudian hari. Salah satu kesukaan Sukarno pada

masa kecil ialah menonton wayang. Ia selalu memperhatikan lakon wayang

dengan penuh minat. Cerita-cerita yang melukiskan semangat pahlawan sangat

mempengaruhi jiwanya, sehingga kadang-kadang semalam suntuk dia tidak tidur,

dan asyik menonton. Yang amat disukainya dalam permainan wayang ialah tokoh

Bima, yang dilukiskan sebagai pecinta keadilan, pembela kebenaran dan satria

sejati.

Pada waktu kecil Sukarno sudah akrab dengan rakyat kecil. Di rumah

Sukarno lebih banyak diasuh oleh pembantu rumah tangga, bernama mbok

Sarinah. Begitu akrab hubungannya dengan mbok Sarinah, sehingga sesudah

menjadi Presiden Republik Indonesia, Sukarno memberi judul Sarinah pada buku

yang ditulisnya. Begitu pula pasar swalayan atau toko serba ada (toserba) yang

pertama berdiri tahun 1962 di Indonesia di Jalan Muhammad Husni Thamrin,

Jakarta, diberi nama Sarinah.

Setelah usianya cukup enam tahun, Sukarno dimasukkan ke sekolah desa

di Tulungagung. Waktu itu tidak kelihatan rajinnya di sekolah itu, malah ia

termasuk murid yang pemalas, karena senantiasa diganggu oleh cerita-cerita

wayang. Kemudian ketika ayahnya dipindah ke Mojokerto, ia pun ikut pindah. Di

kota inilah ia meneruskan sekolahnya yang dipimpin oleh ayahnya sendiri.

Sukarno dapat lulus dari Sekolah Dasar Bumiputera itu, sementara usianya sudah


(5)

hampir 13 tahun. Ayahnya bercita-cita agar Sukarno dapat meneruskan

pelajarannya ke sekolah menengah, kemudian ke perguruan tinggi. Ayah Sukarno

adalah seorang mantra guru atau kepala sekolah dasar Bumiputera yang

bercita-cita tinggi. Kalau Sukarno hanya tamat sekolah dasar Bumiputera lima tahun,

pasti tidak akan dapat meneruskan pelajarannya karena tidak dapat berbahasa

Belanda. Karena itu bapak Sukemi Sosrodihardjo meminta bantuan ibu guru

bahasa Belanda, yaitu Juffrouw M.P de La Riviere untuk mengajar bahasa

Belanda pada Sukarno. Tiap hari Sukarno belajar bahasa Belanda selama satu jam.

Pada waktu yang singkat Sukarno sudah pandai berbahasa Belanda.

Sesudah itu ayah Sukarno membawanya ke sekolah dasar Belanda atau

Europesche Lagere School

. Tidak mudah bagi anak Indonesia untuk dapat

diterima di sekolah dasar Belanda ini. Orang tua murid mesti harus seorang

pegawai negeri (pemerintah Hindia-Belanda), dan masih keturunan bangasawan

serta dapat berbahasa Belanda.

23

Pada usia 14 tahun, Sukarno tinggal di rumah Oemar Said Tjokroaminoto,

seorang pemimpin Sarekat Islam yang kharismatik, dan disekolahkan ke Hoogere

Burger School (H.B.S). Dengan mudah, Sukarno yang cerdas diperkenalkan

kepada kalangan nasionalis, anggota Jong Java dan anggota Sarekat Islam (SI).

Sejak tahun 1911 Sukarno telah menerbitkan tulisan-tulisan pertamanya dalam

penerbitan-penerbitan nasionalis

23


(6)

Sesudah menamatkan pendidikan HBS di Surabaya, Sukarno sejak tahun

1920 pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di Sekolah Tinggi Teknik

Bandung yang terletak di wilayah Dago. THS memang baru saja dibuka dan

diresmikan pada tanggal 3 Juli 1920 atau yang sekarang bernama Institut

Teknologi Bandung (ITB). Sesudah melalui perjuangan berat selama lima tahun

Bung Karno dapat menyelesaikan pelajaran di THS pada tahun 1925. Bung Karno

dapat lulus sesudah membuat skripsi tentang perencanaan sebuah pelabuhan.

Sejak saat itu nama resminya menjadi Ir.Sukarno

2.1.2. Masa Pergerakan Nasional

Pada tahun 1926, Sukarno mendirikan

Algemene Studie Club

di Bandung.

Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan

pada tahun 1927. Pendirian PNI oleh Sukarno merupaka jawaban bagi tawaran

kerjasama pihak Belanda. Pada waktu itu , pergerakan Indonesia dalam keadaan

yang sangat suram. Sejak bangkitnya pergerakan, perpecahannya di dalam dan

tekanan dari luar telah merusaknya. Keanekaragaman masyarakat Indonesia,

sukuisme dan agama-agama, aliran-aliran, isme-isme serta konflik-konflik sosial

yang menggoncangkan pergerakan ini.

Pada tahun 1926, Sukarno menerbitkan tulisan pertamanya yang matang

dalam

Indonesia Muda

: “Nasionalisme, Islam dan Marxisme”. Pikiran pokok

disini adalah nasionalisme. Dengan cermat ia melihat bahwa ide nasionalisme

yang dipertajam denga tujuan-tujuan yang jelas akan dapat diterima dalam

keadaan pergerakan pada waktu itu. Dengan ide itu pula, pergerakan dapat


(7)

diorganisir kembali. Tulisannya terutama ditujukan kepada elite pergerakan dan

bukan kepada rakyat.

Sukarno, dalam tulisannya tadi mencoba meyakinkan golongan-golongan

Islam dan nasionalis untuk tidak marxistphobi. Sukarno merasa marxisme adalah

esensi dalam perjuangan. Hal ini mungkin dikarenakan pertumbuhan intelektual

Sukarno sendiri yang sangat dipengaruhi oleh marxisme. Nasionalisme mapupun

Islam dirasakan sabagai paham-paham kurang tajam untuk menganalisis keadaan.

Namun Sukarno hanya akan membatasi analisis marxisnya pada fenomena

imperialisme dan tidak sampai ke masyarakat Indonesia.

Tampilnya Sukarno dengan konsep nasionalisme pada saat pergerakan,

banyak mendapat pukulan dan hambatan. Ditengah-tengah kekacauan tujuan,

Sukarno membukan suatu babak baru dalam perkembangan nasionalisme

Indonesia. Fokus baru diberikan bagi pergerakan dan bagi semua orang yang

terlibat dalam politik atau sadar politik. Dengan aksi dan programnya, Sukarno

bertindak seolah-olah telah berdiri suatu negara di dalam negara kolonial. Salah

seorang pendengar pidato Sukarno mengatakan bahwa pada saat itu ia

seakan-akan percaya bahwa Indonesia telah merdeka. Dengan susah payah, Sukarno

akhirnya

berhasil

mendirikan

PPPKI

(Permoefakatan

Perhimpoenan-perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia), dimana PNI mendapat peranan

penting. Akan tetapi, ditahun 1930, diadakan razia terhadap PNI. Pada saat itu

Sukarno ditangkap. Didepan pengadilan, Sukarno mengucapkan tuduhan

klasiknya terhadap kolonialisme dan imperialisme. Sukarno dihukum dua tahun.


(8)

Sekeluarnya dari penjara, ia terjun lagi ke dalam kancah politik. Sukarno

mendefenisikan konsepsi rakyatnya lebih lanjut dengan melahirkan marhaenisme

pada tahun 1930 di dalam penjara dan pembuangan.

24

2.1.3. Proklamasi Kemerdekaan 1945

Kesempatan yang lama ditunggu-tunggu kaum nasionalais untuk

berkumpul guna merencanakan suatu negara merdeka di masa depan, direalisasi

dengan bantuan Jepang pada tanggal 28 Mei 1945. Keenampuluh dua anggota

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI yang

diresmikan hari itu diberikan kebebasan besar oleh Jepang untuk membicarakan

persoalan-persoalan konstitusional dan ideologi. Bagi Sukarno dan rekan-rekan

nasionalisnya inilah kesempatan untuk membuktikan bahwa penghinaan yang

diderita di bawah penguasaan Jepang tidaklah sia-sia. Terutama Sukarno yang

mengobarkan semangat sehingga panitia didorong mengambil suatu kesimpulan

dengan kecepatan mencengangkan pihak Jepang.

25

Setelah bersidang selama tiga hari, yang terutama digunakan membahas

manifesto-manifesto ideologis, BPUPKI membentuk suatu sub-komite yang

terdiri dari tujuh orang anggota di bawah pimpinan Sukarno untuk menyelesaikan

persoalan agama yang rumit.

26

Di dalam Badan Penyelidik di Jakarta, Sukarno

mendesak agar versinya tentang nasionalisme yang bebas dari agama disetujui.

Karena konsep ini memang merupakan satu-satunya dasar yang dapat disepakati

24 Ongokham. 2009. Sukarno, Orang Kiri, Revolusi dan G30S PKI. Jakarta: Komunitas Bambu. Hal:12-13. 25

Anthony J.S Reid. 1996. Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal: 31-32.


(9)

pemimpin-pemimpin lainya, maka menanglah Sukarno. Pada pidatonya pada

tnggal 1 Juni, Ia mengemukakan doktrin Pancasilanya, „lima dasar‟ yang akan

menjadi falsafah resmi dari Indonesia merdeka, yaitu ketuhanan, kebangsaan,

perikemanusiaan, kesejahteraan dan demokrasi. Walaupun dasar-dasar ini pada

umumnya diterima oleh anggota-anggota Badan Penyelidik, tetapi para pemimpin

Islam tampakanya tidak akan memainkan peranan yang istimewa. Akhirnya

mereka menyetujui suatu kompromi yang disebut Piagam Jakarta yang

menyebutkan bahwa negara akan didasarkan pada „ketuhanan dengan kewajiban

menjalankan syariat islam bagi pemeluk-

pemeluknya”. Implikasi Piagam Jakarta

terhadap hubungan antara syariat Islam dan negara menjadi sumber

pertentangan-pertentangan sengit di tahun-tahun mendatang.

27

Pada tanggal 6 Agustus, bom atom pertama dijatuhkan di Hioshima yang

menewaskan sedikitnya 78.000 orang. Hari berikutnya, keanggotaan Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang baru dibentuk diumumkan ke Jakarta, dan

berita-berita mengenai panitia ini disiarkan ke seluruh Indonesia. Pada tanggal 8

Agustus Uni Soviet mengumumkan perang terhadap Jepang. Dan pada hari

berikutnya, bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki. Karena kekalahan sudah

tampak di pihak Jepang, maka Sukarno, Hatta, dan Radjiman terbang ke Saigon

untuk menemui Panglima Wilayah Selatan, Panglima Tertinggi Terauchi Hisaichi.

Kepada mereka, Terauchi menjanjikan kemerdekaan bagi seluruh bekas wilayah

Hindia Timur Belanda. Sukarno ditunjuk sebagai Ketua Panitia Persiapan dan

27

M.C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Hal: 441-442.


(10)

Hatta sebagai wakil ketua. Pada tanggal 14 Agustus, Sukarno dam rekan-rekannya

tiba kembali ke Jakarta.

28

Jepang menyerah tanpa syarat pada tanggal 15 Agustus, dan dengan

demikian menghadapkan para pemimpin Indonesia pada suatu masalah yang

berat. Karena pihak sekutu tidak menaklukkan kembali Indonesia, maka terjadi

kekosongan politik: pihak Jepang masih tetap berkuasa namun telah menyerah,

dan tidak tampak pasukan sekutu yang akan menggantikan mereka.

Rencana-rencana kemerdekaan yang disponsori pihak Jepang secara teratur kini tampaknya

terhenti, dan pada hari berikutnya Gunseikan telah mendapat perintah-perintah

khusus supaya mempertahankan status quo sampai kedatangan pasukan sekutu.

Sukarno, Hatta dan generasi tua ragu-ragu tenatang apa yang harus dilakukan dan

takut memancing konflik dengan Jepang. Maeda ingin melihat pengalihan

kekuasaan secara cepat kepada generasi tua, karena merasa khawatir terhadap

kelompok-kelompok pemuda yang dianggapnya berbahaya maupaun terhadap

pasukan-pasukan Jepang yang kehilangan semangat. Para pemimpin pemuda

menginginkan suatu pernyataan kemerdekaan secara dramatis diluar kerangka

yang disusun oleh pihak Jepang, dan dalam hal ini mereka didukung oleh Sjahrir.

Pada tanggal 16 Agustus, Sukarno dan Hatta tidak dapat ditemukan di

Jakarta. Mereka telah dibawa oleh pemimpin pemuda pada malam harinya ke

garnisun Peta di Rengasdengklok, dengan dalih melindungi mereka bilamana

meletus pemberontakan oleh Peta atau Heiho. Ternya tidak ada pemberontakan


(11)

sama sekali, sehingga Sukarno dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini

merupakan usaha memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan diluar

rencana pihak Jepang. Mereka menolak melakukan hal itu. Maeda mengirim

kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat, maka dia dapat mengatur

agar pihak Jepang tidak peduli bilamana kemerdekaan dinyatakan. Pada malam itu

Sukarno dan Hatta sudah berada di rumah Maeda di Jakarta. Pernyataan

kemerdekaan dirancang sepanjang malam. Kaum aktivis pemuda menginginkan

bahasa yang dramatis dan berapi-api, tetapi untuk menjaga supaya tidak melukai

perasaan pihak Jepang dan mendorong terjadinya kekerasan, maka disetujuilah

suatu pernyataan yang sejuk dan bersahaja yang dirancang oleh Sukarno.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi, Sukarno membacakan pernyataan

kemerdekaan tersebut dihadapan sekelompok orang yang relatif sedikit

jumlahnya. Sementara itu, sekutu sebagai pihak yang menang, yang hampir sama

sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi di Indonesia selama

berlangsungnya perang, dengan tergesa-gesa merencanakan kedatangan mereka

untuk menerima penyerahan pihak Jepang dan memulihkan kembali rejim

kolonial.

Langkah-langkah pertama kemudian diambil oleh PPKI pada tanggal 18

Agustus. Sukarno berusaha memberikannya kuasa yang lebih luas dengan

menambah Sembilan anggota, enam diantaranya kaum nasionalis tua yang

memegang jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan di Jakarta, sedangkan tiga


(12)

lainnya merupakan pemimpin-pemimpin pemuda, antara lain Chaerul Saleh,

Sukarni dan Wikana.

Langkah pertama ini meliputi sejumlah perubahan yang diadakan terhadap

undang-undang dasar yang disusun pada bulan Juli. Perubahan terpenting

diakibatkan desakan juru bicara Angkatan Laut Jepang yang menyampaikan

kepada Hatta perasaan tidak puas minoritas-minoritas kristiani yang penting di

wilayah kekuasaan Angkatan laut terhadap kosesi-kosesi kepada pihak Islam. Htta

mampu membujuk para juru bicara utama Islam di PPKI agar menerima

dihapuskannya semua acuan kepda tempat yang khusu bagi Islam, dengan alasan

supaya minoritsa-minoritsa jangan menjauhkan diri pada saat-sat yang begitu

kritis bagi Republik. Perubahan utama lainnya berhubungan dengan perode

transisi sebelum dapat dipilihnya dewan-dewan perwakilan, yang ditentukan

dalam undang-undang dasar. Sampai waktu itu, Pemerintahan akan dijalankan

oleh Presiden, dibantu oleh suatu Komite Nasional. Bila kuasa Presiden belum

cukup, ditambahkan bahwa selama enam bulan setelah berakhirnya perang,

Presiden “akan mengatur dan mempersiapkan segala sesuatu yang ditentukan

Undang-Undang Dasar. Sukarno dan Hatta kemudian dipilih sebagai Presiden dan

Wakil Presiden oleh PPKI.

29


(13)

2.2. Masa Pemerintahan

2.2.1. Masa Demokrasi Liberal

Indonesia akhirnya merdeka, setidak-tidaknya dalam pengertian hukum

internasional, dan kini menghadapi prospek menentukan masa depannya sendiri.

Dalam sebuah negeri yang masih menunjukkan adanya kemiskinan, rendahnya

tingkat pendidikan dan tradisi-tradisi otoriter, maka banyak hal yang bergantung

pada kearifan dan nasib baik kepemimpianan negeri itu. Akan tetapi sebagian

sejarah bangsa Indonesia sejak tahun 1950 merupakan kisah kegagalan rentetan

pimpinan untuk memenuhi harapan-harapan tinggi yang ditimbulkan oleh

keberhasilan mencapai kemerdekaan. Dalam tahun 1950, kendali pemerintahan

berada di tangan kaum nasionalis perkotaan dari generasi yang lebih tua dari

partai-partai sekuler dan islam yang terkemuka. Ada suatu kesepakatan umum

bahwa demokrasi diinginkan dan bahwa mereka itulah orang-orang yang akan

dapat menciptakan sebuah negara demokrasi. Akan tetapi, pada tahun 1957,

percobaan demokrasi pertama ini telah mengalami kegagalan, korupsi tersebar

luas, kesatuan wilayah negara terancam, keadilan sosial belum tercapai,

masalah-masalah ekonomi belum terpecahkan, dan banyak harapan yang ditimbulkan oleh

revolusi yang belum terwujud.

30

Masalah politik pada masa ini dapat dimulai dengan masalah tentara.

Masalah ini merupakan persoalan-persoalan yang mendominasi sebagian besar

sejarh Indonesia setelah tahun 1950. Pada tahun 1950, para politikus sipil


(14)

beranggapan bahwa menentukan urusan militer adalah hak mereka. Para panglima

tentara terpecah-pecah diantara mereka sendiri, merasa tidak pasti akan peranan

mereka yang sebenarnya, kurang terpelajar jika dibandingkan dengan para

politikus terkemuka, dan kebanyakan sedikitnya sepuluh tahun lebih muda

daripada mereka. Masih akan memerlukan beberapa waktu tentara mendapat

peranan dalam gelombang politik nasional.

Masa Demokrasi Liberal merupakan fase pencarian sistem politik yang

tepat untuk Indonesia muda. Pada kerangka itu, partai politik muncul sebagai

kebutuhan negara baru untuk memperkuat keberadaan negara yang membutuhkan

dukungan dari segenap kekuatan politik rakyat. Hatta sebagai Wakil Presiden

kemudian menandatangani beberapa ketetapan yang kemudian sangat menentukan

sistem pemerintahan dan sistem kepartaian di Indonesia pada masa-masa awal

setelah kemerdekaan. Ketetapan pertama dikeluarkan adalah Maklumat Wakil

Presiden No. X Tahun 1945 tanggal 16 Oktober 1945 mengenai perubahan peran

dan fungsi KNIP yang tadinya menjadi pembantu presiden berubah fungsi

menjadi sebagai ganti keberadaan MPR dan DPR. Kemudian pada tanggal 3

November1945 dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945:

pertama, Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan

partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran yang

ada dalam masyarakat; kedua, Pemerintah berharap supaya partai politik-partai


(15)

politik telah tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota badan-badan

perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946.

31

Para politikus sipil membentuk banyak partai politik, tetapi hanya

beberapa partai yang benar-benar mempunyai arti penting di Jakarta. Sjahrir tetap

memimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang didukung kaum intelektual

Jakarta, tetapi hanya mendapat sedikit dukungan umum di luar Jakarta. Psi

berpengaruh di kalangan pejabat tinggi pemerintahan dan mempunyai pendukung

di kalangan tentara pusat. Kaum “komunis nasional” yang mengagumi Tan

Malaka menjadi anggota Partai Murba. Umat Kristen memiliki Parkindo (Partai

Kristen Indonesia) untuk orang Protestan dan Partai Katolik.

Masyumi mewakili kepentingan-kepentingan politik Islam dan dianggap

merupakan partai terbesar di negara ini

32

, walaupun sampai terselanggaranya

pemilihan umum hal ini hanya dapat menjadi anggapan belaka. Partai ini tidak

terorganisasikan secara teratur, dan mengalami perpecahan utama di dalamnya

anatar pemimpin Islam ortodoks dan Islam modernis. Di tingkat tertinggi,

Masyumi dipimpin oleh Sukiman Wirjosandjojo dan Mohammad Natsir, dua

politikus dari golongan Islam modernis. Basis politik Masyumi terdiri atas kaum

muslim yang taat, termasuk sebagia besar kaum borjuis pribumi, para kyai, dan

ulama, serta kaum gerilya Hizbullah dan Sabilillah yang didemobilisasikan. Akan

31

Sigit Pamungkas. 2011. Partai Politik : Teori dan Praktik di Indonesia, Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism, hlm.149-150.

32


(16)

tetapi, partai ini tidak pernah secara resmi menempatkan ide tentang sebuah

negara Islam diantara prioritas-prioritasnya pada tahun 1950-an.

Partai Nasional Indonesia (PNI)

dianggap merupakan partai terbesar

kedua. Basis utamanya ialah di dalam birokrasi dan kalangan pegawai kantor.

Didaerah pedesaan Jawa, partai ini memiliki daya tarik yang sangat besar bagi

masyarakat muslim abangan, sebagian karena partai ini dianggap sebagai partai

Sukarno dan sebagian karena partai ini dianggap merupakan imbangan utama

terhadap keinginan-keinginan politik Islam. Demikian pula PNI mendapat banyak

dukungan di daerah-daerah Kristen di luar Jawa dan di Bali yang menganut agama

Hindu, dimana juga terdapat perasaan-perasaan anti-Islam.

Partai Komunis Indonesia kemudian muncul secara menakjubkan dalam

sejarahnya yang berganti-ganti. Dalam persaingan di dalam tubuh partai yang

berakhir pada bulan Januari 1951, para pemuda, Aidit, Lukman, Njoto, dan

Soedisman mengambl alih kekuasaan atas politburo dari tangan generasi tua yang

berhasil selamat dari peristiwa Madiun. Pada mulanya basis PKI terutama adalah

kaum buruh perkotaan dan buruh perusahaan pertanian yang diorganisasikan

melalui federasi serikat SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia)

yang sepenuhnya dikendalikan oleh PKI. Kemudian partai ini melebarkan sayap

ke sektor-sektor kemasyarakatan lainnya, termasuk kaum tani, yang

menjadikannya kehilangan banyak sifat proletarnya.Karena PKI secara luas tidak

dipercaya oleh banyak pihak kalangan elit politik dan militer, Aidit memilih


(17)

strategi yang bersifat defensif. Tujuan utamanya ialah melindungi partai ini dari

pihak-pihak yang mengharapkan kehancurannya.

Pada tahun 1950, para politikus Jakarta tentu saja membentuk suatu sistem

parlementer seperti yang paling baik yang mereka ketahui, yaitu demokrasi multi

partai dari negeri Belanda. Dalam sidang panitia, akhirnya diputuskan akan

mengumumkan negara kesatuan pada 17 Agustus 1950, sedangkan

Undang-Undang Dasar negara keastuan mengadopsi dari konstitusi RIS (Republik

Indonesia Serikat) tanpa amandemen dan mengubahnya menjadi UUDS 1950

yang bersifat sementara. 17 Agustus 1950, RIS berakhir dan dinyatakan resmi

menjadi negara kesatuan dengan nama yang sesuai Proklamasi Kemerdekaan,

yaitu Republik Indonesia.

33

Sistem yang berubah ini, tentunya akan merubah sistem kekuasaan yang

ada. Kabinet betanggung jawab kepada parlemen satu majelis (Dewan Perwakilan

Rakyat) yang jumlah anggotanya 232 orang yang mencerminkan apa yang

dianggap sebagai kekuatan partai. Masyumi mendapat 49 kursi (21%), PNI 36

kursi (16%), PSI 17 kursi (7,3%), PKI 13 kursi (5,6%), partai katolik 9 kursi

(3,9%), Partai Kristen 5 kursi (2,2%) dan Partai Murba (1,7%), sedangkan lebih

dari 42 persen kursi dibagi diantara parta-partai atau perorangan lainnya.

34

2.2.1.1. Kabinet Mohammad Natsir

Kabinet pertama (September 1950-Maret 1951) dibentuk oleh Natsir dan

berintikan Masyumi dengan dukungan PSI setelah usaha membentuk koalisi

33

Wawan Tunggul Alam. 2003. Pertentangan Sukarno vs Hatta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hal: 253.


(18)

Masyumi-PNI gagal. Pemerintahan Natsir menghadapi keadaan ekonomi yang

paling menguntungkan selama masa demokrasi liberal, karena kenaikan harga

komoditas sebagai akibat perang Korea meningkatkan pendapatan ekspor dan bea

ekspor pemerintah sampai pertengahan 1951.

Kebijakan luar negeri Natsir adalah bebas dan netral, namun tetap

bersimpati terhadap Barat. Masalah Irian Barat adalah salah satu masalah politik

luar negeri yang cukup menyita perhatian. Belanda menolak memasukkan Irian

Barat ke dalam wilayah dalam penyerahan kedaulatan. Masalah ini menjadi bahan

pertentangan dalam negeri karena terdapat perbedaan dalam pendekatan untuk

menyelesaikan persengketaan. Dalam penyelesaian masalah ini Sukarno

menempatkan dirinya terpisah dari Kabinet yang didominasi oleh kelompok

Masyumi dan mendapat dukungan dari kelompok-kelompok oposisi parlemen.

35

Sukarno mendesak agar dilakukan tindakan-rindakan keras terhadap Belanda di

bidang ekonomi. Ia sekaligus bermaksud agar Belanda sadar bahwa mereka tidak

bisa seenaknya mempermainkan kepentingan Indonesia, mengingat Belnada

sudah berjanji menyerahkan Irian Barat setahun kemudian sesuai perjanjian KMB.

Tapi, Perdana Menteri Natsir enggan mengikuti jalan pikiran Sukarno, karena

menurutnya pengembalian Irian Barat hanya bisa dilakukan dengan

perundingan-perundingan. Karena itu, terjadilah pertentangan politik yang hebat antara

keduanya.

36

35

Michael Leifer.1989. Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. Hal:47.


(19)

Usia kabinet Natsir tidaklah lama, hanya betahan 6 bulan. Pemicu

utamanya jatuhnya kabinet ini adalah masalah Irian Barat. Rakyat terlanjur

menganggap Politik Natsir dalam hal Irian barat adalah kegagalan. Kerena itu,

dengan dikuasainya parlemen oleh golongan nasionalis yang otomatis menguasai

suara mayoritas, keluarlah mosi tidak percaya yang membuat kabinet Natsir jatuh

pada tanggal 21 Maret 1951. Situasi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh PKI

dengan membonceng isu Irian Barat menjadi perjuangan PKI dan sekaligus

memperlihatkan bahwa golongan komunis sangat mendukung politik Sukarno.

2.2.1.2. Kabinet Sukiman Wirjosandjojo

Perdana Menteri berikutnya adalah Sukiman Wijosandjojo, yang berrhasil

mementuk koalisi Masyumi-PNI yang oleh banyak orang dianggap bentuk

pemerintahan yang wajar. Kabinet Sukiman menjadi yang paling terkenal dengan

dilakukannya satu-satunya usaha yang serius pada masa itu untuk menumpas PKI.

Kaum komunis menjadi marah dengan bersedianya PNI berkoalisi dengan

Masyumi, karena strategi mereka tergantung pada masih terus bertikainya kedua

paratai tersebut. Karena merasa tidak pasti terhadap PNI sebagai sekutu, maka

PKI mulai mencari dukungan Sukarno. Meskipun segala kebencian mereka

terhadap Presiden, mulai saat itu para pemimpin PKI tidak lagi menyebut sebagai

kolaborator Jepang atau fasis.

Sementara itu, masalah-masalah keamanan muncul kembali setelah

tercapai banyak keberhasilan di beberapa daerah pada tahun 1950-1951. Pada

bulan Agustus 1951 Kolonel Kahar Muzakkar, seorang komandan Republik yang


(20)

terkemukan dalam revolusi, melancarkan pemberontakan secara terbuka. Kahar

menghubungi Kartosuwirjo dan secara resmi menjadikan pemberontakannya

sebagai bagian dari gerakan Darul Islam yang masih tetap belum mereda di Jawa

Barat.

Kegagalan kabinet Sukiman dalam menangani masalah Kahar Muzakar

sangat melemahkan kekuasaannya, tetapi krisis kebijakan luar negerilah yang

membuatnya terjungkal. Kabinet itu talah menganut garis pro-Barat secara lebih

aktif , dan pada bulan Januari 1952 menteri luar negeri dari Masyumi secara

diam-diam menandatangani suatu persetujuan bantuan dengan Amerika. Kabinet

Sukiman secara umum telah menampilkan dirinya sebagai tanpa kepekaan yang

cukup atas perasaan rakyat dalam menangani kebijaksanaan luar negeri.

37

2.2.1.3. Kabinet Wilopo

Setelah jatuhnya kabinet Sukiman, koalisi PNI-Masyumi terjadi lagi

dengan Wilopo yang berasal dari PNI menjadi Perdana Menteri. Kabinet Wilopo

meski dari PNI tapi tidak disukai oleh Sukarno. Karena di dalam kabinetnya

duduk orang-orang yang tidak disenangi Sukarno, seperti Mohammad Roem, Sri

Sultan Hamengkubuwono, dan Sumitro Djojohadikusumo. Selain itu pertikaian

yang terjadi di parlemen, ternyata juga merasuk Angkatan Darat (AD).

Setidaknya, Masyumi dan PSI telah menyusup dalam tubuh militer dan

melakukan politik adu domba antara perwira dan prajurit. Dalam keadaan

semacam ini persaingan antar kelompok di tubuh tentara dikaitkan dengan


(21)

pertentangan antar pemerintah dan oposisi di parlemen, dan masing-masing

mencari sekutunya sendiri-sendiri.

38

Kesulitan ekonomi yang dihadapi Kabinet Wilopo tak pelak memunculkan

berbagai kebijakan uang ketat. Salah satu yang terkena imbasnya adalah tentara,

khususnya Angkatan darat. Karena itu Angkatan Darat akan melakukan

reorganisasi dan rasionalisasi dengan program tentara professional seperti ide AH

Nasution. Namun, kebijakan Angkatan Darat ini tentunya merugikan kelompok

mantan Peta yang banyak menguasai posisi panglima daerah. Diangkat Karena

itu, kelompok ini mendekati partai politik oposisi, seperti PNI, maka persoalan ini

pun diangkat di parlemen. Diajukanlah suatu mosi untuk menilai kebijakan

pemerintah yang berkait dengan angkatan bersenjata. Pimpinan tentara tidak bisa

terima dan tidak bisa membiarkan adanya campur tangan pihak luar (parlemen)

dalam soal interen Angkatan Darat.

Delapan bulan kemudian, tepatnya Juni 1953 kabinet Wilopo jatuh.

Dengan demikian krisis kabinet telah terjadi empat kali dalam jangka waktu

kurang dari tiga tahun. Dan persaingan di kalangan Angkatan Darat ini akhirnya

menjadi penyebab kekacauan nasional yang lebih luas.

2.2.1.4. Kabinet Ali Sastroamidjojo

Setelah lima kali perundingan selama lebih dari enam minggu dan lima

kali upaya membentuk berbagai gabungan partai, sebuah kabinet PNI yang


(22)

didukung oleh Nahdatul Ulama (NU) dan partai-partai kecil yang dibentuk oleh

Ali Sastroamidjojo. Kabinet Ali memperluas birokrasi dengan lebih banyak

pendukung PNI, sebagian karena penguasaan atas birokrasi diduga akan memiliki

arti yang sangat penting dalam pemilihan yang akan datang. Kabinet juga

menekankan indonesianisasi perekonomian dan memberi dorongan kepda

pengusaha pribumi.

Dalam kabinetnya Ali tidak memasukkan orang-orang Masyumi, tapi

memasukkan wakil Nahdatul Ulama yang telah memisahkan diri dari Masyumi.

Penyingkiran Masyumi dari pemerintahan menimbulkan kemarahan

kelompok-kelompok Islam radikal yang hendak mendirikan negara Islam. Pada tahun 1950,

Daud Beureu‟eh, ornag kuat Aceh dan benteng Republik dalam revolusi, me

nolak

untuk menerima suatu pekerjaan di Jakarta dan tetap bermukim di Aceh. Pada

bulan Mei 1953 ditemukan bukti bahwa dia telah menjalin hubungan dengan

Kartosuwiryo dari Darul Islam.

Pada tanggal 19 Sepetember 1953, Daud dan para pengikutnya dalam

PUSA secara terang-terangan memberontak terhadap Jakarta dengan dukungan

banyak orang Aceh yang menjadi pegawai pemerintah dan tentara. Daud

mengumumkan bahwa di Aceh, yang kini merupakan bagian dari Darul Islam,

tiaka ada lagi pemerintahan Pancasila. Pemerintah Ali mengirim pasukan-pasukan

untuk menghalau kaum pemberontak dari kota-kota yang penting. PKI

mendukung kebijakan kabinet dan mengutuk pemberontakan Aceh sebagai

bersifat kolonial, militeristis, feodal, dan fasis, kebanyakan julukan yang dianggap


(23)

pihak Aceh lebih tepat diterapkan untuk Jakarta. Di Jawa Barat aktivitas Darul

Islam juga meningkat selama kabinet Ali. Darul Islam, yang telah meliputi

wilayah-wilayah pendalaman Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan, telah

menjadi tantangan yang bahkan semakin besar bagi pemerintah dan penguras

utama dana-dananya.

Pada tahun 1955, perhatian rakyat sementara dialihkan dari

masalah-masalah dalam negeri oleh sebuah peristiwa diplomatik yang besar, yaitu

Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Ali menginginkan Indonesia menjadi

pemimpin aktif dari blok negara-negara Afri-Asia, suatu tujuan yang didukung

dengan hangat oleh Sukarno.

Namun, Kabinet Ali pun akhirnya tidak dapat bertahan lama, dan pada 24

juli 1955, Ali Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya kepada Hatta, karena saat

itu Sukarno sedang menunaikan ibadah haji di Mekkah. Angkatan darat adalah

pemicu langsung jatuhnya Kabinet Ali ini, meski kemerosotan ekonomi dan

korupsi yang merajalela juga tidak dapat diabaikan.

39

Selain itu NU sudah lama

merasa tidak puas dengan kebijakan kabinet dalam bidang personel, ekonomi, dan

keamanan, serta pada tanggal 20 Juli memutuskan bahwa pemerintah harus

mengundurkan diri. Karena dukungan yang diperoleh di dalam DPR tidak

mencukupi lagi, maka pemerintahan Ali mengundurkan diri empat hari kemudian.


(24)

2.2.1.5. Kabinet Burhanuddin Harahap

Setalah berlangsung perundingan yang rumit, Burhanuddin Harahap dari

Masyumi berhasil menyusun satu kabinet yang didasarkan pada dukungan

Masyumi bersama PSI dan NU. Namun pihak tentara tidak puas sepenuhnya

karena merasa banyak anggota kabinet baru tersebut sama korupnya dengan para

pendahulu mereka.

Saat pertikaian-pertikaian politik di Jakarta menjadi semakin sengit dan

ketegangan di desa-desa semakin meningkat, pemilihan umum yang lama

ditunggu-tunggu akhirnya terlaksana juga. Namun, pemilihan umum itu tidak

menghasilkan apa-apa dan, oleh karenanya, merupakan langkah lebih lanjut dalam

mendiskreditkan keseluruhan sistem parlementer. Pemilihan anggota Majelis

Konstituante dalam bulan Desember merupakan suatu antiklimaks dan

menimbulkan hasil-hasil menyeluruh yang serupa. Majelis Konstituante tidak

mengadakan sidang sampai bulan November 1956.

Kabinet Burhanuddin betahan selama mungkin, melawan tekanan untuk

melapangkan jalan bagi DPR yang terpilih dan suatu pemerintahan baru.

Secepat-cepatnya kabinet Burhanuddin menempatkan para birokrat PNI pada

kedudukan-kedudukan tanpa kekusaan dan mengangkat para pendukung PSI dan Masyumi di

tempat mereka. Pada bulan Agustus 1955, kabinet menerima usulan pihak tentara

untuk melupakan peristiwa 17 Oktober, sehingga para perwira yang diskors

kemudian dapat kembali secara aktif. Pada bulan Februari 1956, pemerintah

mengumumkan pembubaran Uni Belanda-Indonesia secara sepihak dan berjanji


(25)

akan mengambil langkah-langkah lebih lanjut mengenai persetujuan-persetujuan

Meja Bundar. Akan tetapi, kebinet tidak dapat bertahan lagi setelah NU menarik

dukungannya pada bulan Januari 1956, dan akhirnya menyerahkan mandatnya

pada awal bulan Maret.

2.2.1.5. Kabinet Ali Sastroamidjojo II

Ali Sastroamidjojo sekali lagi membentuk sebuah kabinet. Ia bertekad

membentuk koalisi PNI-Masyumi-NU, sehingga ia tidak perlu tergantung pada

PKI. Pada tanggal 26 Maret, DPR yang baru bersidang, parlemen pertama dalam

sejarah Indonesia yang dapa menyatakan dirinya sebagai cerminan pilihan bebas

dari suara rakyat umum. Akan tetapi, baik parlemen baru maupun pemerintahan

yang baru tidak menunjukkan banyak wewenang, pada waktu itu hanya sedikit

rakyat Indonesia yang berpikir bahwa parlemen atau pemerintah akan berhasil.

Dalam pidato pembukaannya di depan DPR, Sukarno mengutarakan harapannya

akan suatu bentuk demokrasi yang benar-benar bersifat Indonesia. Sukarno mulai

menghendaki suatu “demokrasi terpimpin”, suatu isltilah yang telah lama dipakai

oleh sahabat lamanya, Ki Hadjar Dewantara, untuk menggambarkan pemerintahan

sekolah-sekolah Taman Siswanya.

40

Struktur sosial dan politik negara kini mulai hancur. Kesulitan ekonomi

cenderung ditimpakan kepada orang Cina, dan segera gerombolan-gerombolan

massa menyerang kelompok ini. Sentiment kesukukan dan kedaerahan

menjadi

semakin jelas, yang didorong oleh perbedaan-perbedaan daerah yang terungkap di


(26)

pemilihan umum 1955. Suku-suku dari luar Jawa merasa tidak puas dengan

banyaknya orang-orang Jawa yang diangkat menduduki jabatan-jabatan

pemerintahan. di Sumatera Timur, terutama orang-orang Batak Toba menjadi

sasaran permusuhan dan beberepa orang meninggal dalam keributan massa.

Tampak terjadi jalan buntu politik di Jakarta, karena banyak orang merasa

bahwa sistem konstitusional tidak dapat dipertahankan lagi, tetapi tidak tahu

langkah apa lagi yang harus diambil. Beberapa arang menyerukan kabinet Hatta

yang baru, tetapi kerjasama antara Sukano dan Hatta sudah berakhir. Pada tanggal

20 Juli 1956, Hatta mengajukan pengunduran dirinya sebagai wakil presiden,

yang kemudian berlaku tanggal 1 Desember.

Sukarno kemudian menyatakan bahwa ia mempunyai suatu pikiran, suatu

konsepsi tenntang sebuah sistem baru, yaitu “demokrasi terpimpin”. Natsir dan

para pemimpin Masyumi lainnya menentang gagasan itu. Murba, yang hanya

mempunyai kemungkinan kecil untuk dapat mencapai gagasan itu, dan membuat

ikatan yang lebih erat dengan Sukarno. Kemudian pada tanggal 21 Februaru 1957,

Sukarno menyatakan bahwa “demokrasi terpimpin”

-nya yang baru merupakan

suatu bentuk pemerintahan yang lebih cocok dengan kepribadian nasional.

Pemerintahan itu akan didasarkan pada kabinet gotong royong yang terdiri atas

parta-partai besar, termasuk PKI, dengan penasihat sebuah Dewan Nasional yang

terdiri atas golongan-golongan fungsional (pemuda, kaum tani, kelompok agama,

kelompok daerah, dan lain-lain) dan bukannya partai-partai politik.


(27)

Saat negara Indonesia benar-benar pecah, AH Nasution mengambil

prakarsa untuk mengakhiri demokrasi parlementer. Masih tetap muncul banyak

seruan untuk membentuk kabinet Hatta. Nasution berusaha mengatur pertemuan

anatara Hatta dan Presiden, tetapi Sukarno menolak. Maka, ia mengusulkan agar

Sukarno mengumumkan keadaan darurat perang untuk seluruh Indonesia. Ini akan

menempatkan pihak militer sebagai pemegang kekuasaan di seluruh Indonesia dan

memberinya alat untuk mengurus perpecahan-perpecahan internalnya sendiri.

Usulan tersebut disetujui. Pada tanggal 14 Maret, kabinet Ali mengundurkan diri

dan Sukarno, mengumumkan keadaan darurat perang. Demokrasi parlementer,

sperti yang tleah berjalan di Indonesia akhirnya berakhir.

2.2.2. Masa Demokrasi Terpimpin

Dalam periode Demokrasi Terpimpin (1958-1966), keseimbangan politik

merupakan suatu segitiga. Sukarno sebagi pucuknya adalah Pemimpin Besar

revolusi yang memainkan politik perimbangan antara dua pendukunnya yang

utama, yakni ABRI dan PKI.

Keadaan politik “ Demokrasi Terpimpin” ditandai oleh genjala keruntuhan

sosial ekonomi masyarakat Indonesia, seperti inflasi 600%, korupsi, kemacetan

birokrasi, serba kekurangan dan sebagainya. Suasana politik yang “revolusioner”

waktu itu juga mengandung suasana totaliter, bahkan disana sini terror. Hal ini

disebabkan pemberontakan PRRI/Permesta, usaha pembunuhan Sukarno, keadaan

darurat perang (SOB) serta konfrontasi dengan Malaysia.


(28)

2.2.2.1. Awal Demokrasi Terpimpin

Ditengah-tengah krisis tahun 1957, diambil langkah-langkah pertama

menuju suatu bentuk pemerintahan yang oleh Sukarno dinamakan Demokrasi

Terpimpin. Ini merupakan suatu sistem yang tidak tetap, yang dilahirkan dari

krisis dan terus menerus berubah sepanjang salah satu masa paling kacau dalam

sejarah Indonesia. Demokrasi terpimpin didominasi oleh kepribadian Sukarno,

walaupun prakarsa pelaksaannya diambil bersama dengan pimpinan angkatan

bersenjata. Dengan menampilkan dirinya ke depan dalam krisis tahun 1957, maka

ia didukung oleh para pemimpin lainnya dalam mempertahankan posisi

sentralnya.

Tampak jelas bahwa pada tahun 1957, parta-partai politik berada pada

posisi defensif, tetapi rasa saling bermusuhan terlalu berat bagi mereka untuk

bekerjasama dalam mempertahankan sistem parlementer. Pada bulan April 1957,

Sukarno mengumumkan pembentukan Kabinet Karya di bawah seorang politikus

non-partai, yaitu Djuanda Kartawidjaja sebagai perdana menteri. Selain itu

Sukarno juga mengangkat tiga orang sebagai wakil perdana menteri, yaitu Hardi

dari PNI, Kyai Haji Idham Chalid dari NU, dan Dr. Johannes Leimena dari Partai

Kristen. Kemudian pada bulan Mei 1957 dibentuklah Dewan Nasional yang terdiri

atas 41 wakil „golongan karya‟ (pemuda, tani, buruh, wanita, cendikiawan, agama,

daerah, dan lain-lain), ditambah beberapa anggota

exoffcio

. Sukarno menjadi

ketuanya, tetapi urusan-urusan dewan tersebut secara langsung berada di tangan


(29)

wakil ketuanya, Roeslan Abdulgan, yang tampil sebagai arsitek ideology

demokrasi terpimpin.

Lagkah Sukarno bertindak menjadi formatur Kabinet yang disebutnya

“kabinet kerja darurat ekstra parlementer”, lalu mengangkat kabinet Djuanda

mendapat reaksi keras dari Hatta. Ia menyatakan bahwa tindakan Sukarno itu

telah melanggar pasal-pasal UUDS 1950. Sebaliknya menurut ketua DPR

Sartono, cara Presiden Sukarno yang menunjuk dirinya sebagai formatur kabinet

itu memang bertentangan dengan UUDS 1950, tetapi dapat dibenarkan karana

“negara dalam keadaan bahaya”. Sama halnya dengan pendapat Ketua Mahkamah

Agung Wirjono Prodjodikoro yang menganggapnya melanggar UUDS 1950

karena keadaan memaksa. Dari hal ini, dapat dilihat keretakan hubungan Sukarno

dan Hatta.

Untuk mengatasi masalah keretakan hubungan Sukarno dan Hatta, yang

juga telah menjadi kecemasan publik, maka PM Djuanda memprakarasai

Musyawarah Nasional yang dibuka pada 10 September 1957. Menjelang Munas,

kelompok pembangkang berkumpul di Sumatera Selatan dan melahirkan Piagam

Palembang. Isinya selainmenghimbau dipulihkannya dwitunggal, juga terjadinya

perubahan-perubahan dalam kepemimpinan tentara di pusat, termasuk otonomi

daerah, juga pengubahan Dewan Nasional yang baru menjadi senat. Pada Munas

tersebut juga dibentuk Panitia Tujuh yang terdiri dari Sukarno, Hatta, Djuanda,

Hamengkubuwono, Leimena, Aziz Saleh dan AH Nasution. Namun kerja Panitia

Tujuh tidak membuahkan hasil.


(30)

Tidak

diterimanya

tuntutan

daerah-daerah

itu

membangkitkan

pembangkangan yang memuncak. Dan ketika Sukarno melakukan perjalanan ke

luar negeri, para penglima pemberontak Sumatera dan Sumual dari Sulawesi

bertemu dengan para pemimpin politik seperti Natsir, Sjafruddin Prawiranegara,

Burhanuddin Harahap, dan Sumitro Djojohadikusumo di sungai daerah. Mereka

berencana membentuk pemerintahan alternatif Indonesia yang berpusat di

Bukittinggi. Sjafruddin kemudian ditunjuk sebagai Perdana Menteri.

Langkah mereka selanjutnya adalah menyampaikan ultimatum ke Jakarta,

pada 10 Februari 1958, dengan tuntutan agar kabinet PM Djuanda mengundurkan

diri, dan dibentuk kabinet kerja yang akan bekerja hingga pemilu mendatang.

Ultimatum itu tidak satupun ditanggapi pemerintah pusat hingga batas akhir 15

Februari 1958, sehingga mereka akhirnya menegaskan bahwa mereka terbebas

dari kewajiban taat kepada Ir. Sukarno sebagai Kepala Negara. Kemudian mereka

membentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Mengahadapi situasi gawat ini, Sukarno segera kembali ke tanah air dari

Tokyo, februari 1958. Ia pun meminta Hatta melakukan perundingan dengan

kaum pemberontak atas nama pemerintah pusat. Hatta menyetujinya, dan

menyarakan agar Sukarno melakukan tawar-menawar dengan kaum pemberontak,

yaitu, kembali ke konstitusi (UUDS 1950); ulitimatim dari PRRI dicabut dan

PRRI bubar; hukuman bagi para pengikutnya ditiadakan; dan pembentukan

kabinet presidensiil. Selain itu Hatta juga mengusulkan pengalihan Dewan

Nasional menjadi suatu pro-senat jika persetujuan itu diberikan parlemen. Hatta


(31)

juga menyatakan kesediannya untuk menjadi Perdana Menteri dari suatu kabinet

presidensil jika Sukarno beralih menjadi Presiden yang konstitusional.

41

Sementara itu konstituante (MPR) mulai bersidang sejak Desember 1956

untuk melakukan reformasi konstitusional. Tapi ketika pemerintah memasukkan

gagasan diberlakukannya UUD ‟45, perdebatan ke arah apakah akan memberikan

penagakuan lebih besar terhadap Islam dengan memasukkan Piagam Jakarta

ataukah hanya tetap mempertahankan Pancasila. Sidang Konstituante pun buntu.

Pemungutan suara tidak pernah menghasilkan suara mayoritas. Di tengah

kebuntuan konstituante ini KSAD Letjen AH Nasution atas nama

Pemerintah/Penguasa Perang Pusat (Peperpu) pada 3 Juni 1959 dengan peraturan

No. Prt/Peperpu/040/1959 melarang semua kegiatan politik untuk sementara

waktu.

Setelah pemerintah mengusulkan kepada Konstituante agar mengesahkan

kembalinya UUD 1945, dan ternyata Konstituante tidak mendukung hal ini, atas

saran KSAD dan ketua umum PNI Suwirjo, Presiden Sukarno yang baru tiba di

tanah air 29 Juni 1959 dari perjalanan ke luar negeri selama dua bulan,

mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD ‟45

sekaligus membubarkan Konstituante. Sejak saat itu berlakulah demokrasi

terpimpin. Rentetan selanjutnya dikeluarkanlah Penetapan Presiden No.7 Tahun

1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian, tertanggal 31


(32)

Desember 1959. Penpres No.7 juga mencabut Maklumat Pemerintah (Wakil

Presiden) 3 November 1945 tentang ajuran membentuk partai-partai.

Pada peringatan proklamasi 17 Agustus 1959, Sukarno menyampaikan

pidato berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Dalam pidato itu, Sukarno

menyatakan dengan tegas bahwa liberalisme dan individualisme gaya barat harus

di buang. Hasil pidato itu kemudian dirumuskan menjadi Garis-Garis Besar

Haluan Negara Manifesto Politik (GBHN Manipol) Republik Indonesia.

Manifesto itu merupakan realisasi dari konsepsi Presiden yang mencakup lima

prinsip, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi

Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK)

42

Konflik parlemen dan Sukarno semakin jelas di tahun 1960, yang ditandai

dengan ditolaknya Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)

oleh DPR peralihan, yang dibentuk dengan Penpres No.1/1959 ini. Saat itu

Pemerintah mengajukan APBN sebesar Rp 44 miliar, akan tetapi DPR hanya

menyetujui Rp36-38 miliar saja. Dengan penolakan APBN itu, Presiden akhirnya

membubarkan DPR dengan istilah dibekukan kegiatannya pada 27 Maret 1960,

melalui Penpres No.3 tahun 1960. Kemudian DPR diganti dengan parlemen baru

yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR),

berdasarkan Penpres No.4/1960 tentang Susunan Dewan Perwakilam Rakyat

Gotong Royong. Keanggotaan DPR-GR ini tidak mengikutsertakan wakil-wakil

Masyumi, PSI, maupun IPKI (parpol bentukan AD), karena partai-partai tiu

42

Amuwarni Dwi Lestariningsih. 2011. Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Hlm:58.


(33)

menolaknya. Separuh anggota DPR-GR mewakili anggota fungsional yang sejak

itu popular disebut Golongan Karya.

Protes keras mewarnai sikap Sukarno ini. Dan pada April 1960, ketika

Sukarno berada di luar negeri, terbentuk Liga Demokrasi atas prakarsa Masyumi

dan PSI, yang mendapat dukungan IPKI, beberapa anggota dari NU dan Partai

Kristen. Hatta juga memberikan dukungan tidak langsung kepada Liga

Demokrasi, kendati bersikap skeptic terhadap aktivitasnya. Bentuk dukungan

Hatta diwujudkan dengan menulis artikel, “Demokrasi Kita” sekaligus merupakan

kritikan terbuka terhadap kebijakan Sukarno, dan mulai menyebut Sukarno

sebagai diktator.

Angkatan sendiri terpecah dalam soal sikap mereka untuk mendukung

Liga Demokrasi atau tidak. Sebagian pemimpin Liga Demokrasi membujuk

tentara untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Sukarno. Tetapi cara ini

ditolak tegas. Dan ketika Sukarno kembali ke tanah air, aktivitas Liga Demokrasi

pun surut dengan cepatnya.

Penolakan Masyumi dan PSI dalam Parlemen Gotong Royong (DPR-GR),

mengakibatkan partai itu dibubarkan pemerintah, Agustus 1960. Tapi,

sebelumnya, telah lebih dahulu dikeluarkan Peratuarn Presiden No.13 Tahun 1960

tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaraan, pada Juli 1960. Penpres ini

merupakan kelanjuta dari Penpres No.7/1959. Semula Nasution sendiri tidak

begitu berhasrat membubarkan Masyumi dan PSI, sebab bagaimanapun kedua

parpol ini antikomunis. Akan tetapi, didesak dengan keterlibatan Masyumi dan


(34)

PSI dalam aksi pemberontakan (PRRI/Permesta), ia pun tidak bisa lagi selain

menerima keputusan pemerintah membubarkan Masyumi dan PSI.

43

Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1964 menuntut pemerintah

berkonsentrasi penuh dalam masalah ekonomi. Dewan Perancang Nasional

(dibentuk menurut UU No.80/1958, diundangkan 31 Oktober 1958) yang diketuai

Muhammad Yamin menghasilkan Rencana Umum Delapan Tahun. Sebagai

slogan

pendukung,

Sukarno

menegaskan

ekonomi

Berdikari

sebagai

pengejawantahan ekonomi terpimpin.

Krisis ekonomi pada tahun 1964 telah membuat semua orang sangat

gelisah dan bingung. Konfrontasi dengan Belanda mengenai Irian Barat berkahir

dengan kemenangan Indoensia dan perdamaian dengan Belanda. Amerika

menjanjikan suatu program pemulihan ekonomi Indonesia yang disebut DEKON

(Deklarasi Ekonomi). Sukarno menyebutnya sebagai paralel pada istilah dan

konsepsi deklarasi politiknya, pada pertengahan 1950-an, yang melahirkan

Demokrasi Terpimpi dan berlainan dengan Manipol (Manifesto Politik). Dekon

tidak mengalami masa yang panjang karena kandas setelah beberapa bulan dan

tidak pernah dimulai. Hal ini disebabkan konfrontasi dengan Malaysia dan proyek

NEKOLIM (Neo Kolonialisme).

44

Ada banyak proyek yang kemudian disebut proyek mercusuar, seperti

ASIAN Games, Stadion Senayan, Hotel Indonesia, Conefo, Ganefo dan lain-lain.

namun demikian, proyek mercusuar yang paling mahal adalah konfrontasi.

43

Ibid, Hlm: 284-286.

44


(35)

Dengan sendirinya, semua ini mengakibatkan deficit anggaran belanja yang

kronis, sistem perpajakan pribadi adalah “nol” dan inflasi yang mencapai ratusan

persen , pemotongan uang dan lain-lain yang tidak menolong apa-apa.

Semakin parahnya krisis ekonomi, membuat Sukarno meminta bantuan

Hatta. Sayangnya keinginan kuat Sukarno ini telah dipolitisir pihak-pihak yang

tidak menyukai Hatta aktif kembali. Selain itu, dimasa ini PKI sedang

kuatkuatnya dan besar pengaruhnya terhadap Sukarno. Hal ini pula yang menjadi

faktor penghalang Sukarno bisa bekerjasama dengan Hatta dalam mengatasi krisis

ekonomi.

Disisi lain, Sukarno semakin merasa tentara dengan kosesi-kosesinya itu

mulai mengurungnya. Sehingga PKI menjadi pegangan Sukarno, mengingat

hubungan yang buruk antara PKI dan tentara. Kedekatan Sukarno dan PKI mulai

mengkahwatirkan aliran-liran lain. Mereka berusaha menjauhkan Sukarno dari

PKI. Seperti misalnya, Partai Murba mendirikan Barisan Pendukung Sukarno

pada Agustus 1964. Tapi, pengaruh Partai Murba yang dipelopori oleh Adam

Malik dan Chaerul Saleh tidak terlalu kuat.

PKI kemudian meminta Sukarno untuk melarang Partai Murba, tetapi

Sukarno tidak mau membubarkannya. Sebagai upaya mengurangi pengaruh

tentara, Sukarno memerlukan kekuatan lain. Ia pun mengajukan gagasan

mengenai Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Ini adalah upaya merangkul

parta-partai politik yang diperlukan untuk mengimbangi tentara. Apalagi D.N

Aidit pada masa itu terlihat melonggarkan ideologinya dengan berusaha


(36)

membangun citra partainya lebih nasionalis. Aidit menyatakan PKI menolak

tongkat komando partai komunsia manapun dan sikap ini akan membuat PKI

mudah diterima oleh aliran lain

45

Ide Nasakom telah dirintis Sukarno sejak Agustus 1960, ketika ia

membentuk Dewan Pusat sebuah Front Nasional, yang dimaksudkan untuk

mencakup seluruh aliran politik dalam masyarakat dari golongan-golongan

Nasionalis, Agama, dan Komunis. Bahkan bila dirunut ke belakng, ditemukan

bahwa ide mengenai Nasakom ini merupakan buah pikirnya sejak tahun 1926

yang saat itu dilahirkan lewat artikelnya, “Nasionalism

e, Islamisme, dan

Marxisme”, yang membuka kemungkinan diadakannya suatu sintesa terhadap

seluruh aliran yang ada di tanah air. Konsep itu ia peras menjadi satu kata, yaitu

Nasakom.

Konsep Nasakom sendiri mencoba memadukan unsur Nasionalis, Agama ,

dan Komunis. Konsep yang sangat ideal bahkan sangat utopis, tetapi dapat

dipastikan tidak akan mungkin dilaksanakan. Konsep itu dimanfaatkan

seluas-luasnya oleh PKI dengan cara mendominasi keadaan. Front Nasional yang

didirkan pada tahun 1963 disusupi oleh kader-keder mereka. Selain itu Sukarno

mengutuk pula pernyataan yang mengutuk sikap komunistophobia yang tumbuh

di tengah-tengah masyarakat. Beliau menyatakan adalah suatu dosa revolusi bagi

mereka-mereka antikomunis.

46

45

Ibid, Hlm: 288.

46


(37)

Dengan Nasakom, Sukarno berniat menyatukan seluruh aliran yang ada

demi mencapai tujuan bersama, yaitu masyarakat yang adil dan makmur.

Disamping itu, Sukarno bermaksud untuk menciptakan keadaan dimana PKI tidak

berada dalam oposisi yang membahayakan dan ikut betanggung jawab terhadap

kehidupan pemerintahan bersama golongan nasionalis dan agama. Akan tetapi,

rupanya Sukarno terlalu mengandalkan PKI dan Angkatan Bersenjata sebagai

penopang demokrasi terpimpinya, termasuk upaya nasakomisasi. Tapi, sayangnya

keinginannya menjadi penengah dari kedua golongan yang saling berseteru keras

itu akhirnya malah menjadi boomerang berbalik menghancurkannya dirinya kelak.

Hubungan Sukarno dan tentara mulai terganggu. Pasalnya, dengan konsep

Nasakomnya Sukarno yakin akan diterima oleh semua kalangan, termasuk

upayanya yang tak kenal lelah mendamaikan AD dan PKI, lalu melakukan

manuver di ketentaraan. Ia ingin melemahkan posisi Nasution, sebab Nasution

dinilai memiliki potensi berbalik menentangnya. Oleh karena itu, Sukarno

menunjuk Nasution sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam),

pada 1957, sebagai upaya menjauhkan Nasution dari pasukannya dengan cara

mencopot dia dari jabatan KSAD. Akan tetapi, Nasution menuntut dengan keras

agar ia tetap merangkap kedua jabatan tersebut.

Desas-desus Angkatan Darat berencana menggulingkan Sukarno pun

muncul, sejak Februari 1965. Dokumen Gilchrist menjadi indikasinya. Dokumen

itu berisi dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden Sukarno.

Disebut-sebut juga pembicaraan Gilchrist dengan seseorang Amerika tentang rencana


(38)

operasi militer di Indonesia. Karena adanya desa-desus tersebut, Sukarno

kemudian menyelenggarakan konfrensi militer para perwira, termasuk AH

Nasution dan Ahmad Yani, untuk menegaskan bahwa pasukan militer harus

menganut Nasakom. Tapi permintaan Sukarno ini ditanggapi secara dingin. Dan

kemarahan pemimpin AD terjadi setelah Sukarno melontarkan gagasan Angkatan

Kelima, yang dicurigai sebagi upaya mempersenjatai kaum buruh dan petani

dengan bantuan RRC.

Struktur sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia hampir runtuh.

Inflasi sangat tinggi, dengan harga-harga barang naik sekitar 500% selama tahun

itu. Diduga harga beras pada akhir tahun 1965 naik sebesar 900% setiap tahun.

Kurs pasar gelap untuk rupiah terhadap dolar Amerika jatuh dari Rp 5.100,00

pada awal tahun menjadi Rp 17.500 pada kuartal ketiga tahu itu dan Rp 50.000

pada kuartal keempat. Sejak akhir bulan September, dengan berkumpulnya

puluhan ribu tentara di Jakrta dalam rangka mempersiapkan peringatan Hari

Angkatan bersenjata pada tanggal 5 Oktober, dugaan-dugaan tentang akan

terjadinya kudeta menjadi semakin santer. Pada tanggal 27 September, Yani

akhirnya mengumumkan bahwa Angkatan Darat menentang pembentukan

Angkatan Kelima atau nasakomisasi militer dalam artian struktural.

Pada tanggal 30 September malam itu, satu batalion pengawal istana yang

dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, satu batalion dari Divisi Diponegoro, satu

batalion dari Divisi Brawijaya, dan orang-orang sipil dari Pemuda Rakyat PKI

meninggalkan pangkalan udara Halim. Mereka pergi untuk menculik Nasution,


(39)

Yani, Parman, dan empat orang jenderal senior Angkatan Darat lainnya dari

rumah-rumah mereka di Jakarta. Kudeta yang diusahakan itu menampakkan

ketidakcakapan dan kekacauan yang luar biasa. Yani dan dua orang jenderal

lainnya dibunuh di rumah mereka karena melawan ketika hendak ditangkap.

Nasution berhasil meloloskan diri serta melewatkan sisa malam itu dan sebagian

esok harinya di tempat persembunyian, tetapi putrinya yang baru berusia 5 tahun

tertembak dan kemudian wafat pada tanggal 6 Oktober dan salah seorang

ajudannya ditangkap. Ajudan ini, mayat ketiga jenderal tadi, dan tiga orang

jenderal lainnya berhasil ditangkap hidup-hidup dibawa menuju Halim. Disana,

Parman dan ketiga orang tawanan lain yang masih hidup itu dibunuh secara

kejam. Kemudian ketujuh mayat itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang

sudah tidak terpakai lagi.

Tepat menjelang fajar tanggal 1 Oktober, Soeharto yang tidak masuk

dalam daftar penculikan, pergi ke kostrad setelah diberi tahu tentang hilangnya

para jenderal dan terjadinya penembakan-penembakan di rumah mereka. Nasution

dan Yani menghilang, maka Soeharto mengambil alih komando atas angkatan

bersenjata dengan persetujuan jenderal-jenderal Angkatan Darat, Angkatan

Kepolisian, dan Angkatan Laut yang dapat dihubunginya. Soehato mulai

menyelidiki apa yang sedang terjadi. Angkatan Darat telah merencanakan

bagaimana mengatasi kemungkinan situasi seperti yang terjadi sekarang, jadi

ketika Soeharto dan pendukungnya mulai mengambil kendali dalam kekacauan,

mereka pikir inilah petunjuk bagi mereka. Perencanaan yang rapi ini termasuk


(40)

menjebak

PKI

dengan

cara

tertentu

sebagai

pembenaran

untuk

menghancurkannya.

47

Setelah memegang Supersemar (Surat Perintah 11 Maret), Soeharto sendiri

mulai melakukan pembersihan. Di tubuh militer terjadi pembersiha besar-besaran,

begitu pula pejabat di berbagai departemen dan daearah-daerah. Panglima

Angkatan Udara Sri Mulyono Herlambang digantikan oleh Rusmin Nurjadinm

akhir Maret 1966. Lau, 306 orang perwira ditahan, termasuk Oemar Dhani dan

Herlambang. Pembersihan juga dilakukan di Angkatan Laut dan Kepolisian.

Pengawal Istana, Tjakbirawa, dibekukan. Sedangkan sebanyak 15 menteri

ditangkap.

Dalam bidang politik, Soehato mulai merasuki partai-partai politik,

termasuk PNI yang merupakan partai terbesar. Tapi, ia tidak ingin membubarkan

PNI, karena jika itu dilakukan , Soeharto khawatir PNI akan bersekutu dengan

PKI bawah tanah. Lagi pula, PNI diperlukan sebagai partai pengimbang untuk

mengahadapi

kekuatan

Islam

secara

politis.

Maka,

Soeharto

tetap

mempertahankan PNI, tapi dengan mengganti pimpinan yang bisa diatur olehnya.

Sementara itu Soehato menyadari bahwa Supersemar hanya secarik kertas,

yang sebetulnya tak punya kekuatan apa-apa jika sewaktu-waktu dicabut kembali.

Karena itu perlu dibuatkan Tap MPRS agar punya legitimasi yang kuat. Agar

Supersemar mendapakan dukungan konstitusional, Soeharto mengundang MPRS

bersidang, akhir Juni 1966. Dalam sidang MPRS itu, Soeharto menetapkan RI

47


(41)

kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Ia juga memerintahkan

mencabut ketetapan MPRS tahun 1963 yang mengangkat Sukarno sebagai

Presiden seumur hidup dan menyatakan gelar “Pemimpin Besar Revolusi”

terhadap Sukarno tidak memiliki kekuatan hukum. Selain itu dalam sidang MPRS

ini, Jenderal AH Nasution diangkat menjadi Ketua MPRS, dan pada 5 Juli 1966 ,

MPRS mengeluarkan ketetapan Soehato sebagai Pengemban Supersemar diberi

wewenang membentuk kabinet.

Di bawah UUD 1945, presiden bertanggung jawab kepada MPRS. Kini

jumlah naggota MPRS berkurang akibat penahanan sekitar 180 anggotanya, dan

sentiment anti-Sukarno meningkat di kalangan anggota MPRs yang tersisa. MPRS

meratifikasi Supersemar, melarang PKI, mengharamkan Marxisme sebagai

doktrin politik, mnuntut pemilu diadakan tahun 1968, dan mendesak Sukarno

untuk memberikan penjelasan tentang pelnggaran susila, korupsi, dan

mismanajemen ekonomiyang dilakukan pemerintahan demokrasi terpimpin dan

tentang peran Sukarno dalam usaha kudeta pada tahun 1965. Sukarno juga

dilarang utnuk mengeluarkan kepeutusan presiden.

Kemudian MPRS meminta pertanggungjawaban Sukarno soal peristiwa

berdarah G30S. Tapi, Sukarno menolak. Sebab berdasarkan UUD 1945, yang

harus dipertanggungjawabkan oleh mandataris MPRS hanya persoalan yang ada

dalam GBHN. Sedangkan peristiwa G30S ada di luar GBHN yang berarti

Presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Karena itu, pidato Sukarno

tidak mengandung penyesalan, yang menimbulkan ketidakpuasan pimpinan AD,


(42)

sehingga MPRS perlu meminta Presiden Sukarno untuk melengkapi pidato

pertanggungjawabannya.

48

Dalam pidato peringatan 17 Agustus 1966, Sukarno ternyata masih

memperlihatkan sikap yang tidak meyerah terhadap desakan orang-orang

Soeharto-Nasution di AD. Bahkan Sukarno terkesan menentang Soeharto untuk

menguji kepopulerannya, dan menganjurkan diadakan pemilihan umum sebagai

satu-satunya cara demokratis untuk mengetahui keinginan rakyat.

Sementara itu, tekanan politik domestik semakin mendekati puncaknya.

Kesaksian dalam beberapa pemeriksaan pengadilan oleh Mahmillub menuduh

Sukarno terlibat dalam usaha kudeta 1965. Subandrio dan Omar Dhani divonis

mati, berturut-turut pada bulan Oktober dan Desember 1966. Pada bulan

Desember 1966, Sudisman ditangkap dan divonis mati pada bulan Juli 1967,

kemudian dieksekusi pada tahun 1968. Pada bulan Januari 1967, perwira militer

tertinggi yang terlibat dalam usaha kudeta, Brigjen Suparjo ditemukan, dan pada

bulan Maret dia divonis mati. Pada bulan itu juga, Sjam diatngkap, dan dengan

demikian, Orde Baru mendapatkan sumber paling penting tentang bagaimana

rencana kudeta disusun. Menurut laporan, Sjam ditahan dan diperiksa secara

regular untuk memperoleh informasi tentang rencana kudeta tersebut, sampai

akhirnya ia dieksekusi pada tahun 1968. Mahasiswa, pengacara, dan hakim mulai

menuntut agar Sukarno juga diseret ke pengadilan.

48


(43)

Soeharto kini melakukan langkah terakhirnya menuju kemenangan politik

dalam negeri dan percaya bahwa inilah saat yang paling memungkinkan untuk

menyingkirkan sang presiden. Ia menunjuk anggota baru parlemen (DPR-GR)

untuk mengganti para anggota yang telah disingkirkan, dan menggelar sidang

MPRS pada bulan Maret 1967. Ditengah-tengah rumor bahwa korps marinir

angkatan laut, polisi, dan Divisi Brawijaya akan tetap mendukung Sukarno, serta

dengan 80.000 pasukan yang menduduki Jakarta, pada 12 Maret MPRS

menanggalkan semua kekuasaan dan gelar Sukarno serta mengangkat Soeharto

sebagai pejabat presiden. Beragam ideologi Sukarno dinyatakan tidak lagi

menjadi ideologi negara, yang direduksi menjadi pancasila saja. Soeharto diberi

kekuasaan untuk menentukan apakah Sukarno harus dibawa ke pengadilan, tetapi

ia tidak pernah menuntut pendahulunya itu karena khawatir tindakan ini akan

memobilisasi sisa-sisa pendukung Sukarno. Presiden pertama Indonesia secara

de

facto

pension dengan status tahanan rumah dan diisolasi di Istana Bogor; ia tetap

berada di sana hingga wafatnya pada bulan Juni 1970. Soeharto menguasai

Indonesia secara penuh.

49

49


(44)

2.3. Isi Pidato Kenegaraan Presiden Sukarno tanggal 17 Agustus 1966

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh! Merdeka!

Saudara-saudara, sekalian,

Hari adalah tanggal 17 Agustus 1966! Hari ulang tahun ke-21 daripada Republik kita. Pada hari ini Republik kita genap berusia dua puluh satu tahun, atau lebih dari 1000 minggu!

Kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa Ia telah melindungi dan menuntun negara dan bangsa kita, hingga kita dengan selamat telah sampai kepada hari yang berbahagia sekarang ini. Dan moga-mogalah lindunganNya dan tuntunanNya itu tetap dikuniakan kepada negara dan bangsa kita dalam memasuki tahun yang ke-22 dari kehidupannya dan selanjutnya. Lindungan dan tuntunan Tuhan itu sangat kita perlukan, dan sangat kita mohonkan. Sebab, tiada sesuatu berjalan selamat tanpa rida-Nya Tuhan Yang Mahakuasa dan masa depan yang akan kita masuki sudahlah menampakkan gejala-gejala yang menunjukkan akan datangnya masa yang lebih berat.

Ya, lebih berat! Bukan saja oleh gejala-gejala dari luar memang telah menunjukkan akan tambahnya gangguan imperialisme kepada kita sebagai bangsa dan negara, tetapi juga oleh karena dari dalam, dari dalam sebagai terjadi pada tiap-tiap revolusi, berbangkit beberapa hal yang anti. Dan oleh karena tambahnya beratnya barang sesuatu memang sudah kodratnya sekalian hidup. Makin kita bertambah dewasa, makin besar, dan makin beratlah tugas-tugas dan tanggungan-tanggungan yang kita pikul di pundak kita.

Karena itu, maka pagi-pagi kita harus memperbesar dan memperdalam rasa tanggung jawab, baik sebagai manusia maupun sebagai bangsa. Tanggung jawab kepada siapa? Sudah tentu tanggung jawab terhadap bangsa kita sendiri. Tetapi juga tanggung jawab terhadap kepada Allah Robbulalamin.


(1)

kita, berkat perjuangan kita berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan dan Deklarasi Kemerdekaan kita itu.

Saudara-saudara, saya pernah dihadiahi dengan coretan tembok yang berbunyi: “ Mercusuar politik no, mercusuar ekonomi yes”.

Wah, wah, wah, wah, hebat benar ni! Hebat benar! Tapi saya mau tanya:

Siapa bisa dalam abad XX ini memisahkan ekonomi dari politik, memisahkan politik dari ekonomi, baik nasional maupun internasional? Dalam abad XX dua hal ini, ekonomi dan politik, adalah mengait, kait-mengait satu sama lain, rante-rinante satu sama lain, interwoven satu sama lain. apalagi buat kita, ekonomi kita! Sebab ekonomi yang kita kejar ialah ekonomi atas dasar orde baru, ekonomi atas dasar orde sosialis, bukan ekonomi seperti di Amerika atau ekonomi seperti di Jepang, satu ekonomi sosialis tanpa exploitation de l’homme par l’homme. Tetapi saya tanya lagi, ekonomi tanpa exploitation de l’homme par l’homme apakah mungkin tanpa perjuangan, tanpa menghilangkan exploitation de nation par nation? Ekonomi tanpa exploitation de l’homme par l’homme tak dapat kita selenggarakan tanpa hilangnya exploitation nation par nation, yaitu tanpa hilangnya imperialisme! Membangun ekonomi sosialis dengan bersama-sama dengan itu menggempry imperialisme, menggempur imperialisme untuk bersama-sama dengan itu membangun sosialisme, inilah rantai yang saya maksudkan, itu adalah Dwi Tunggal! Dwi Eka! Dwi Simultanisme!

Karena itulah maka Ampera bukan hanya urusan isi perut. Ampera adalah urusan isi perut dan negara merdeka bebas sari imperialisme plus Dunia Baru.

Ampera adalah Dwi Tunggal politik dan ekonomi, Dwi Tunggal ekonomi dan politik. Tidak bisa dipisah satu sama lain. dan tidak ada ke-amberg-parama-arta-an dari yang satu diatas yang lain.

Malahan Ampera adalah Tri Tunggal, yaitu: Negara Merdeka, politik!

Masyarakat adil dan makmur, ekonomi! Dunia Baru, Politik!


(2)

Pun di dalam Tri Tunggal Ampera ini tida ada ke-amberg-parama-arta-an.

Karena itulah maka saya tempo hari berkata bahwa hati saya plong, plong karena MPRS memberi kepada Kabinet Ampera tugas Catur Karya, bukan Eka Karya: satu, ekonomi, dua, gempur imperialisme; tiga, politik bebas aktif; empat, pemilihan umum. Ekonomi dan politik bersama-sama, ekonomi dan politik stimultan, ekonomi dan politik door elkaar en aan elkaar. 61

Bagaimana hal stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik? Bagaimana itu Dwi Dharma yang ditugaskan oleh MPRS? Itupun tidak dapat dipisahkan satu sama lain. itupun interwoven satu dengan yang lain.

Kita bekerja sama untuk stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik, bersama-sama. Tapi stabilisasi adalah satu penegrtian yang relatif. Stabilisasi adalah satu relatief begrip!62 Jangan tajut memasuki z.g. instabilisasi, kalau instabilisasi itu hanya perlu mencapai stabilisasi. Memang revolusi mempunyai antithesa dan synthesa, dengan ia punya dialektika, adalah satu rantai panjang instabilisasi dan stabilisasi.

Dan terutama sekali camkan dalam hatimu dan pikiranmu, camkan secam-camnya bahwa stabilisasi yang kita perlukan sekarang bukan stabilisasinya kaum imperialis, bukan stabilisasinya kaum imperialis, tetapi stabilisasinya perjuangan kita yang revolusioner, sebagai batu loncatan untuk meneruskan revolusi dan memenangkan revolusi itu.

Saudara-saudara, saya bergembira pula bahwa MPRS mengenai PBB berkata, “Harus meningkatkan perjuangan untuk mengadakan perombakan dalam tubuh PBB, baik structural maupun komposisional, untuk disesuaikan dengan perubahan zaman”. MPRS berkata pula, “dengan iktu aktif kembalinya Indonesia di dalam badan internasional itu, perjuangan perombakan akan lebih efektif”.

Apa yang dikatakan MPRS itu benar, sama saja benarnya dengan perkataan, misalnya bahwa “persoalan Malaysia harus diselesaikan dengan

61

Tercampur dan terkait. 62


(3)

jalan damai, dengan perundingan atas dasar Manila Agreement”. Tapi, marilah saya pakai terus contoh perundingan dengan Malaysia itu untuk menjelaskan politik saya terhadap PBB. Perundingan dengan Malaysia memang benar, tapi nah ini, kapan, kapan, kita harus mulai perundingan? Kapan? Itu adalah soal lain. Soal kapan itu adalah soal taktik dan strategi. Soal kapan adalah soal penyelenggaraan bukan soal prinsip lagi. Taktik kita dengan Malaysia ialah, sebagai dikatakan dengan kata-kata lain oleh Jenderal Soeharo kemarin di DPR, taktik dengan Malaysia ialah mengajak mengadakan perundingan itu. Jenderal Soehato berkata, konfrontasi politik untuk membawa atau memaksa Malaysia masuk perundingan. Saya disini dengan perkataan lain berkata, mengajak mengadakan perundingan kalau Malaysia sudah dalam keadaan meminta perundingan itu. Karena itu tiga tahun lamanya kita mengadakan konfrontasi dengan Malysia lebih dahulu, dan sesudah Malaysia meminta perundingan, baru kita memasuki perundingan dengan dia. (Di sini ingatlah kepada tulang punggung yang saya berikan kepada Jenderak Soeharto, sebagai saya ceritakan kepadamu di muka tadi).

Demikian pula dengan PBB! Prinsip masuk kembali dalam PBB untuk melebihefektifkan perjuangan perombakan PBB, memang benar, tapi kapannya, kapan waktunya, itu soal taktik. Taktik tergantung kepada keadaan musuh, keadaan kita sendiri, alat, tempat dan waktu.

Lantas, kapan kita masuk kembali ke dalam PBB? Dengar uraian saya berikut. Saya bergembira bahwa MPRS juga memutuskan “harus meningkatkan perjuangan untuk mengadakan perombakan dalam tubuh PBB”.

Nah, saya mau meningkatkan perjuangan perombakan PBB itu lebih dahulu di luar PBB. Antara lain, antara lain karena ada peningkatan lain juga, saya mau mengadakan Conefo lebih dahulu. Baru nanti setelah peningkatan perjuangan perombakan itu di luar dan di dalam Conefo, baru nanti kita tetapkan kapannya atau waktunya kita kembali ke dalam PBB. Bandingkan taktik ini dengan politik saya terhadap Malaysia; konfrontasi lebih dahulu, baru kemudian perundingan. Dan perhatikan pidato saya “Membangun Dunia


(4)

Kembali” di New York, To Build a The New World. Disitu saya jelaskan bahwa PBB sekarang ini adalah sarang daripada negar-negara besar, didominasi oleh negara-negara imperialis. Sesungguhnya, perjuangan perombakan PBB adalah satu bagian daripada perjuangan antiimperialis.

Nah, saudara-saudara, demikianlah beberapa ungkapan introspeksi dan mawas diri dari tahun-tahun yang telah lampau. Panjang, ya 21 tahun ini penuh dengan pengalaman-pengalaman pahit dan manis, penuh dengan pengalaman-pengalaman plus dan minus. Kewajiban kita adalah mengoreksi minus-minusnya, menyempurnakan plus-plusnya, sebagai bekal untuk perjalan kita seterusnya, yang masih jauh dan niscaya masih berat itu. Men leert historie om wijs worden van teveron, ini dari seorang pujangga, pelajarilah sejarah untuk tidak tergelincir di hari depan, demikianlah Thomas Carlyle, begitu namanya ahli falsafah ini pernah berkata. Kepadamu saya berkata, pelajarilah sejarah perjuanganmu sendiri yang sudah lampau, agar supaya tidak tergelincir dalam perjuanganmu yang akan datang.

Itulah intisari daripada peringatanku tadi, Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah, never leave history! Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarahmu sendiri, never, never leave your own history.

Telaah kembali, petani kembali.

Kenapa kita di mas lampau jaya? Kenapa kita di masa lampau menderita tampar-tamparan, menderita seatbacks?

Jaya karena kita komapak bersatu anatara seluruh bangsa dan anatara semua golongan revolusioner!

Jaya! Karena kita samenbundelen alle revolutionnaire krachten in de natie.

Jaya, karena semu komapk mengemban Panca Azimat Revolusi. Jaya, karena semua kompak menegmban Pancasila.

Jaya, karena semua kompak mengemban Nasakom, atau Nasasos, atau Nasa apapun juga.

Jaya, karena semua kompak mengemban Manipol-USDEK. Jaya, karena semua kompak mengemban Tri Sakti


(5)

Dan menderita tamparam, menderiat seatbacks, pada waktu kita terpecah belah dan tidak samenbundelen semua revolutionnaire krechten in onze nation!

Inilah sejarah perjuanganmu, inilah sejarah history-mu. Pegang teguh sejarahmu itu, never leave your own history! Pegangah apa yang telah kita miliki sekarang, yang adalah akumulasi daripada hasil semua perjuangan kta di masa lampau, kataku tadi. Dan kataku tadi, jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri diatas vacuum, engkau akan berdiri diatas kekosongan, dan perjuanganmu nanti akan paling-paling bersifat amuk saja, seperti kera di gelap gulita.

Ada orang-orang yang tidak mau mengambil pengajaran dari sejarah itu. Itu tidak bisa. Mereka akan gagal! Sebab, melepaskan sesuatu rakyat atau bangsa dari sejarahnya adalah tidak mungkin. National biologis tidak mungkin, national physiologis tidak mungkin. Dan tidak mungkin pula karena engkau, hai rakyat, hai prajurit-prajurit dari semua angkatan bersenjata, hai pejuang-pejuang progresif revolusioner, engkau tidak mau dipisahkan dari sejarahmu, sejarahmu sendiri, sejarah perjuanganmu sendiri.

Tanpa tedeng aling-aling, inilah ajaran Pimpinan Besar Revolusi (istilah Ketetapan MPRS), ajaran Bung Karno, ajaran Bung Karnomu, hai rakyat jelata, hai prajurit arek-arekku yang memanggul bedil, hai semua pejuang progresif revolusioner, hai semua Laskar Revolusi Indonesia yang benar-benar bertekad mati-matian untuk berjuang membawa Revolusi Indonesia kepada Matahari Kemenangan yang abadi menyinari Indonesia dan seluruh jagad kemanusiaan.

Aku Pemimpin besarmu, demikianlah kata MPRS, aku pemimpinmu, ikutilah pimpinanku, ikutilah semua petunjuk-petunjukk. Aku tidak punya pengongso-ongso, aku tidak punya keinginan keuntungan pribadi, aku tidak mengejar self interest. Aku hanya ingin memimpin engkau, antara lain karena juga ditugaskan MPRS, aku hanya menunjukkan jalan kepada engkau, selalu dengan engkau, tidak pernah tanpa engkau. Dengan engkau aku berdiri, tanpa engkau aku bukan apa-apa. Dengan engkau aku jaya, tanpa engkau aku gagal.


(6)

Jangan ragu-ragu, jangan bimbang! Marilah berjalan terus melanjutkan revolusi, di atas jalan yang aku tunjuk.

Ya Allah ya Rabbi, ridailah Revolusi Indonesia di bawah pimpinanku ini!