Dramatisme Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo (Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme)

(1)

DRAMATISME PIDATO KENEGARAAN PERTAMA

PRESIDEN JOKO WIDODO

(Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko

Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme)

SKRIPSI

RIA SITUMORANG

110904054

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

DRAMATISME PIDATO KENEGARAAN PERTAMA

PRESIDEN JOKO WIDODO

(Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko

Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

RIA SITUMORANG

110904054

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

LEMBAR PERSETUJUAN

Nama : Ria Situmorang

NIM : 110904054

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Dramatisme Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo

(Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme)

Medan, 2015

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Drs. Hendra Harahap, M.Si

NIP. 196710021994031002 NIP. 196208281987012001

Dra. Fatma Wardy Lubis, MA

Dekan FISIP USU

NIP. 196805251992031002 Prof. Dr. Badaruddin, M.Si


(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya

bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Ria Situmorang

NIM : 110904054

Tanda Tangan :


(5)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : Ria Situmorang

NIM : 110904054

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : Dramatisme Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo (Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : ……….………(………)

Penguji : ……….(………)

Penguji Utama : ……….(………)

Ditetapkan di : Medan


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena kasih dan berkatnya penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dramatisme Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo (Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko Widodo Pasca Dilantik Dalam Perspektif Dramatisme)”. Adapun skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dari Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Selama proses pengerjaan skripsi ini penulis menyadari banyak pihak yang berperan penting dalam hal membantu menyelesaikan skripsi ini. Penulis dalam kesempatan ini ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Jhonny Situmorang yang telah berakhir masa baktinya di dunia ini namun cinta dan kasih sayangnya tidak pernah berhenti penulis rasakan sampai dengan sekarang. Skripsi ini pun adalah salah satu hadiah untuk cita–cita dan harapan beliau kepada penulis semasa hidupnya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Christina Banjarnahor atas untaian doa setiap harinya dan motivasi tanpa henti serta abang dan kakak ipar penulis yang banyak memberikan nasihat serta dukungan moril juga materil.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan dukungan, bimbingan, motivasi, saran dan kritik membangun dari banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan FISIP Universitas

Sumatera Utara

2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Dayana, M.Si, selaku Sekertaris Departemen Ilmu Komunikasi


(7)

4. Bapak Drs. Hendra Harahap, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah banyak direpotkan penulis dalam usaha menyelesaikan skripsi ini. Merupakan suatu penghargaan bagi penulis dapat dibimbing serta diberikan arahan selama proses pengerjaan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Safrin, M.Si, selaku dosen penasihat akademik penulis selama perkuliahan.

6. Seluruh Staff Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU baik pengajar

maupun pegawai yang ikut membantu melalui dukungan dalam proses administrasi, moril atau sekedar berbagi cerita kepada penulis.

7. Kakak dan abang LDIK terutama Kak Hanim yang selalu dengan tangan

terbuka menerima pertanyaan serta ide sampai kebingungan, kecerobohan dan kejenuhan penulis selama proses pengerjaan skripsi.

8. Semua sahabat-sahabat Ilmu Komunikasi 2011 Neni, Davit, Eva, Grace,

Sondang, Andreas, Tabitha, Susi, Nabila, Putri, Mira, Endo, Ardi dan seluruh teman–teman terbaik penulis yang banyak memberikan semangat, sindiran dan cerita konyol yang banyak mewarnai hari–hari penulis. Terima kasih atas segala cerita kurang penting dan dukungan kurang mendukungnya kepada penulis sehingga penulis tetaplah penulis yang apa adanya dan tidak berubah sedikit pun.

9. Salah satu sahabat terbaik penulis, Ella Puspita Siregar. Sahabat dalam segala petualangan, sahabat dengan prinsip bermental baja dan tahan banting dalam segala cuaca serta selalu mengatasnamakan kepentingan dan keuntungan diatas segalanya.

10.Sahabat–sahabat sepermainan penulis, baik sahabat jarak dekat maupun

jarak jauh para alumni Budi Mulia Pematangsiantar; Camelia, Aurelia, Rouli, Margaretha, Elvan, Clara, Daniel, Dedy, Richard, Irene dan Wilson. Terima kasih atas sesi menghedon, sesi per-bully-an dan sesi berpeluh keringat serta air mata.

11.Adik–adik yang sudah seperti saudara kandung sendiri bagi penulis;

Lidya, Ribka, Sarah, Raymond, dan Bianda yang banyak memberikan bahan tertawaan setiap harinya atau sekedar bertanya “kak, kakak kok ga tamat-tamat?”


(8)

12.Teman–teman relawan tutor dan murid Yayasan Pemimpin Anak Bangsa yang telah mengajarkan penulis cara untuk bersyukur sebanyak– banyaknya meski dalam kondisi seberat-beratnya.

13.Semua pihak–pihak yang banyak membantu selama proses pengerjaan

skripsi ini yang tidak bisa penulis tuliskan satu persatu. Yakinlah bahwa masing–masing dari kalian sudah diberikan bonus poin di surga nantinya.

Penulis juga menghaturkan maaf atas semua kesalahan dan kekurangan yang telah penulis buat selama penulisan skripsi ini, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Akhir kata penulis mengharapkan semoga saja skripsi ini berguna bagi orang yang membacanya.

Medan, 2015

Penulis Ria Situmorang


(9)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ria Situmorang

NIM : 110904054

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas : Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan. Menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Dramatisme Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo (Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme) beserta perangkat yang ada (jika diperlukan) dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif di Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmediakan/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta)

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada Tanggal : 2015

Yang Menyatakan


(10)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Dramatisme Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo (Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme). Penelitian ini memfokuskan pada penelitian analisis wacana dengan memakai teori dramatisme oleh Kenneth Burke dalam keseluruhan analisis sebagai kajian teori komunikasi. Penelitian ini memakai paradigma konstruktivis sebagai pendekatan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui manipulasi bahasa (dramatisme) serta realitas sosial yang ingin dibentuk oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato perdananya pasca dilantik tanggal 20 Oktober 2014. Subjek penelitian ini adalah teks pidato kenegaraan pertamanya yang setelah pelantikan dan objek dari penelitian ini adalah manipulasi bahasa (dramatisme). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses identifikasi bekerja melalui bahasa verbal dan non verbal yang ditampilkan Presiden Joko Widodo. Terdapat berbagai macam persoalan ambiguitas makna dalam berbagai istilah yang diucapkan Joko Widodo dalam pidatonya. Pemilihan kata dan kalimat dikonsep sedemikian rupa dengan banyak pertimbangan mengingat pentingnya mengkonstruksi kehidupan Joko Widodo sebagai sebuah panggung pertunjukkan drama di depan publik.

Kata Kunci:


(11)

ABSTRACT

This research entitled The Dramatism of President Joko Widodo’s First Official Speech (Discourse Analysis of The President of Indonesia Joko Widodo’s First Speech after The Inauguration based on The Perspective of Dramatism). This research focused on the study of discourse analysis using dramatism theory by Kenneth Burke in the entire analysis as the study of communication theory. This research used the constructivist paradigm as an approach. The purposes of this research were to discover the manipulation language (dramatism) and kind of social reality that wanted to be formed by The President, Joko Widodo, in his first speech after the inauguration on October 21st 2014. The subject of this research was the text of his first official speech after the inauguration and the object of this research was the language manipulation (dramatism). The results showed that the identification processes had worked through verbal and non-verbal language showed by The President. There were various ambiguity problems of the meaning in different terms of Joko Widodo’s speech. The selection of words and sentences conceptualized in such a way with a lot of consideration reminded that it such important constructing Joko Widodo’s life as a stage drama performance in public.

Keyword:


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1

1.2 Fokus Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II DRAMATISME DALAM KAJIAN KOMUNIKASI 2.1 Dramatisme ... 11

2.1.1 Sejarah ... 12

2.1.2 Asumsi Dramatisme ... 16

2.1.3 Dramatisme dan Retorika ... 18

2.1.4 Identifikasi dan Subtansi ... 19

2.1.5 Proses Rasa Bersalah dan Penebusan ... 20

2.1.6 Istilah Tuhan dan Iblis ... 21

2.1.7 Heurisme ... 22

2.2 Dramatisme dan Komunikasi Politik ... 23


(13)

2.3.1 Rasio Dramatistik ... 29

2.4 Kritik Dramatisme ... 29

2.4.1 Kegunaan ... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma ... 31

3.2 Metode Penelitian ... 36

3.3 Subjek Penelitian ... 39

3.4 Objek Penelitian ... 39

3.5 Aspek Kajian ... 39

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 41

3.7 Teknik Analisis Data ... 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 42

4.1.1 Latar Belakang Presiden Joko Widodo ... 42

4.1.2 Pendekatan Dramatisme dalam Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo ... 50

4.1.2.1 Ekstra Tekstual ... 50

4.1.2.2 Tekstual Sentrik ... 58

4.1.2.3 Tekstual Seminal ... 92

4.2 Pembahasan ... 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 100


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Ilustrasi Pentad Drama 26

Paragraf 1 58

Paragraf 2 61

Paragraf 3 64

Paragraf 4 66

Paragraf 5 70

Paragraf 6 72

Paragraf 7 74

Paragraf 8 75

Paragraf 9 77

Paragraf 10 80

Paragraf 11 81

Paragraf 12 82

Paragraf 13 85

Paragraf 14 86

Paragraf 15 88


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

1 Teks Pidato

2 Biodata Joko Widodo

3 Foto Joko Widodo saat pembacaan pidato

kenegaraan pertama dan suasana pelantikan

4 Biodata Peneliti


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Konteks Masalah

Salah satu fenomena yang menarik dalam dunia politik Indonesia adalah Joko Widodo. Karier pria yang akrab dipanggil Jokowi ini terbilang luar biasa dari pengusaha meubel ia banting setir ke dunia politik dan terpilih menjadi Wali Kota Solo selama dua periode dengan masa bakti 2005-2010 dan 2010-2015. Belum genap masa kepemimpinannya menjadi Wali Kota Solo di periode keduanya, ia lalu ditunjuk oleh warga ibukota menjadi Gubernur Jakarta pada tahun 2012. Kemenangannya sering kali dinilai memberikan harapan baru bagi pemerintahan yang baru dan bersih.

Semenjak dilantik menjadi Gubernur Jakarta periode 2012-2017 pada 8 Oktober 2012, ia terus menjadi sorotan media. Muncul wacana untuk menjadikannya calon presiden ditambah hasil survey yang menunjukkan keunggulan namanya dibanding calon presiden lain. Pada 14 Maret 2014, Joko Widodo menerima mandat dari Megawati Soekarnoputri ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk maju sebagai calon presiden berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Lima hari setelah deklarasi pencalonan dirinya tepatnya pada tanggal 19 Maret 2014, Joko Widodo digugat oleh Tim Advokasi Jakarta Baru di Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat. Ia dianggap telah melanggar hukum perdata karena meninggalkan jabatannya sebagai Gubernur Jakarta sebelum menepati janji– janjinya menyelesaikan permasalahan Jakarta. Gugatan ini langsung diklarifikasi oleh Menteri Dalam Negeri pada saat itu, Gamawan Fauzi dengan menjelaskan Undang–Undang No. 47 tahun 2008 mengenai Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang intinya bahwa seorang kepala daerah yang hendak ikut serta dalam pemilihan presiden berhak maju setelah mengajukan surat permintaan kepada Presiden dan mendapatkan izin Presiden tanpa harus mengundurkan diri (http://pemilu.sindonews.com/read/871822/113/dari-solo-ke-jakarta-kini-incar-ri-1).


(18)

Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 sendiri diikuti oleh dua pasangan calon yaitu Prabowo Subianto, mantan Panglima Kostrad berpasangan dengan mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian 2009-2014, serta Joko Widodo berpasangan dengan Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden RI pada periode 2004-2009. Dua pasang calon kemudian melakukan pengundian nomor urut pada 1 Juni 2014 di kantor KPU pusat Jakarta. Hasil pengambilan nomor urut ini menempatkan pasangan Prabowo-Hatta Radjasa pada nomor urut pertama dan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada nomor urut kedua.

Joko Widodo mempunyai strategi sendiri untuk menggalang dana kampanye. Jika kebanyakan para politisi menggalang dana kampanye dari dompet sendiri atau sumbangan dari beberapa instansi terkait Joko Widodo kali ini menggalang sumbangan dari para relawan pendukungnya. Penggalangan dana kampanye tersebut dilakukan pihak Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan membuka tiga akun rekening di sejumlah bank di Indonesia. Ratusan pendukung pun beramai-ramai menyumbangkan beberapa rupiah ala kadarnya untuk mendukung pasangan calon presiden pilihan mereka tersebut.

Kampanye pemilu presiden dimulai pada 4 Juni hingga 5 Juli 2014 dalam rapat terbuka dan debat calon yang terdiri dari lima sesi yang dilaksanakan pada tanggal 9 Juni, 15 Juni, 22 Juni, 29 Juni dan 5 Juli 2014 yang masing-masing membahas materi masalah umum seperti masalah kepastian hukum, demokrasi, pembangunan ekonomi, politik internal, ketahanan nasional dan sebagainya. Menjelang pemilihan umum presiden, terdapat berbagai macam kampanye hitam yang dialamatkan kepada Joko Widodo, seperti isu capres boneka, keislaman Joko Widodo yang diragukan, tuduhan bahwa Joko Widodo adalah orang Tionghoa yang merupakan putra dari Oei Hong Leong, hingga klaim bahwa ia adalah antek zionis dan antek Amerika.

Tanggal 9 Juli 2014 seluruh warga negara Indonesia diberikan hak untuk memberikan suaranya pada pemilu presiden dan wakil presiden. Di hari yang sama pada sore harinya, Joko Widodo mengklaim kemenangannya berdasarkan hitung cepat suara di beberapa wilayah. Lembaga survey independen mengunggulkan nama Joko Widodo sementara Prabowo juga mengklaim


(19)

kemenangannya sambil mengutip lembaga survey lainnya. Sebelum pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum, Prabowo meminta KPU menunda pengumuman agar partainya dapat memeriksa dugaan kecurangan pada proses pemungutan suara, namun permintaan ini ditolak oleh KPU. Ia menuntut diadakannya pemungutan suara ulang di beberapa daerah yang diduga melakukan manipulasi pada proses pemilihan suara. Pada tanggal 22 Juli 2014, tepat di hari pengumuman hasil resmi oleh KPU yang menyatakan kemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Prabowo menyatakan menarik diri dari proses pemilihan umum dalam pidatonya yang disiarkan langsung berimplikasi bahwa ia akan menggugat KPU ke Mahkamah Konstitusi (http://id.wikipedia.org/wiki/ Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2014 bagian 7 tentang Penghitungan dan Hasil).

Gugatan ke Mahkamah Konstitusi akhirnya dimasukkan pihak Prabowo pada tanggal 25 Juli 2014 dengan klaim kemenangan seharusnya ada di pihak Prabowo dengan membawa bukti–bukti. Inti gugatannya adalah adanya kejanggalan jumlah DPKTb (Daftar Pemilih Khusus Tambahan). Pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif, mempermasalahkan sistem noken di Papua serta kesaksian kubu Prabowo yang mengklaim merasa diancam saat pemilu berlangsung. Pada tanggal 21 Agustus 2014, MK memutuskan menolak secara keseluruhan gugatan tim hukum Prabowo–Hatta (http://id.wikipedia.org/ wiki/Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2014 bagian 8 tentang gugatan pasca pilpres)

Meski kemenangan Joko Widodo sudah resmi dinyatakan secara jelas namun jalannya menuju kursi RI-1 tidak serta merta berjalan mulus. Kontroversi menjelang pelantikannya menguak semenjak terbentuknya koalisi merah putih. koalisi merah putih terbentuk sebelum pemilihan umum presiden yang merupakan himpunan partai pendukung Prabowo Subianto yang pada pemerintahan Joko Widodo disebut partai oposisi. Partai–partai tersebut adalah Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Kesejahteraan (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Dari 560 total jumlah kursi DPR, koalisi merah putih memegang 63,54% atau setara dengan 352


(20)

jumlah kursi DPR sementara partai pendukung Joko Widodo yang terdiri atas Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) hanya memegang 36,46% kursi DPR dengan jumlah 208 kursi parlemen. Partai oposisi terlihat menguasai lebih banyak kursi di lembaga legislatif tersebut jika dibandingkan dengan partai pendukung Joko Widodo sendiri. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Presiden _Indonesia_2014 bagian 1 tentang kandidat)

Menjelang pemerintahan Joko Widodo, koalisi merah putih memegang kendali terhadap parlemen. koalisi merah putih mulai bergerak di parlemen saat pemilihan ketua DPR. koalisi merah putih bersitegang mengenai legalisasi menyangkut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Yang pada intinya, partai pemenang pemilu tidak harus menjadi pimpinan di parlemen. Terpilihnya lima elite dari partai politik koalisi merah putih sebagai pimpinan DPR dan dominannya koalisi pengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di parlemen diduga akan menjadi ganjalan bagi Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam menjalankan program yang juga butuh persetujuan DPR (http://lipsus.kompas.com/topik pilihanlist/3143/1/ pro.kontra.uu.md3).

Hal ini menimbulkan amarah bagi partai pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla yang disebut koalisi indonesia hebat dimana partai–partai tersebut pernah sekali melontarkan wacana untuk membuat parlemen tandingan. Kondisi politik menjelang pelantikan Joko Widodo-Jusuf Kalla kian hari kian bertambah buruk. Diduga, efek dari manuver lawan politik Joko Widodo-Jusuf Kalla ini akan sangat terasa setelah keduanya resmi dilantik. Joko Widodo-Jusuf Kalla membutuhkan persetujuan DPR untuk merevisi anggaran ataupun penerapan kebijakan terkait subsidi. Selain itu, pemerintah juga butuh bekerja sama dengan kepala daerah se-Indonesia, yang sebagian besar berasal dari partai politik koalisi merah putih. Sehingga pada akhirnya, Joko Widodo dan Jusuf Kalla pun ikut campur tangan melobi koalisi merah putih agar partai pendukungnya bisa ajukan pimpinan ke DPR. Tidak tanggung–tanggung, PDI-P siap kurangi jatah menteri


(21)

bagi koalisi merah putih yang akan bergabung pada pemerintahan Joko Widodo. Padahal, pada masa kampanye Joko Widodo pernah mengutarakan bahwa pemerintahan bukan ajang bagi–bagi kekuasaan.

PDI-P sebagai partai pemenang pemilu yang mengusung Joko Widodo mencurigai ada maksud tersembunyi dibalik ngototnya partai politik yang tergabung dalam koalisi merah putih tersebut untuk menguasai jajaran pimpinan DPR dan MPR beserta alat kelengkapannya. PDI-P khawatir koalisi merah putih sedang merancang strategi untuk menghambat pelantikan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 20 September 2014. Koalisi merah putih menyatakan bahwa keinginan partai koalisi merah putih untuk menduduki kursi kepemimpinan semata–mata demi kemaslahatan bangsa dan meningkatkan peran dan fungsinya (DPR dan MPR) dalam pembangunan nasional ke depan bukan untuk mengincar kekuasaan. Wacana penjegalan pelantikan Joko Widodo-Jusuf Kalla terdapat pada pernyataan Wakil Ketua Umum Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo yang juga merupakan adik kandung Prabowo Subianto. Hashim mengaku ia menjadi penyandang dana utama Joko Widodo selama masa kampanye pilkada DKI Jakarta. Ini bukan pertama kalinya Hashim mengungkit soal dana kampanye saat pilkada Jakarta. Di masa kampanye pilpres, Hashim menyebut dirinya dibohongi Joko Widodo. Ia mengaku mengeluarkan Rp. 52.000.000.000 (lima puluh dua miliar) untuk kampanye pilkada Jakarta. (http://www.pemilu.com/jokowi-vs-prabowo-pilpres-2014/)

Hashim mengatakan, ada harga yang harus dibayar Presiden terpilih Joko Widodo atas langkahnya "meninggalkan Jakarta" dan mencalonkan diri dalam pilpres yang lalu. Hashim, dalam artikel yang ditayangkan "The Wall Street Journal" online, menganggap langkapersonal betrayal". Ia menyatakan, koalisi merah putih yang menguasai parlemen akan menjadi oposisi yang aktif dan konstruktif dalam mengawal pemerintahan Joko Widodo. Prabowo kini aktif terlibat dalam membangun dan memimpin koalisi di parlemen. koalisi merah putih, memiliki otoritas yang cukup untuk mengawasi pemerintahan Joko Widodo, termasuk penentuan sejumlah jabatan di pemerintahan dan lembaga seperti kepala polri, panglima TNI, hakim agung dan anggota Mahkamah. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan pun turun tangan menyatakan


(22)

bahwa tidak akan ada yang mengganggu pelantikan Joko Widodo sebagai presiden pada 20 Oktober 2014. Ia membantah isu tentang rencana penjegalan

Konstitusi

(http://nasional.kompas.com/read/2014/10/07/20455591/Hashim.Sebut.Ada.Harg a.yang.Harus.Dibayar.Jokowi.atas.Pencapresannya)

Menjelang pelantikan Joko Widodo–Jusuf Kalla, pesta syukuran rakyat di sebagian jalan protokol Jakarta siap merayakan pelantikan Joko Widodo. Sebelum pelantikannya Joko Widodo tengah bersiap dengan pidato kenegaraan pertamanya. Ia menyampaikan pidato pertamanya sebagai RI-1 usai pembacaan sumpah di Gedung DPR/MPR. Diduga, Tim 11 yang merupakan orang terdekat Joko Widodo yang sudah mendampingi sejak mencalonkan diri sebagai calon gubernur DKI Jakarta memang diminta oleh Joko Widodo untuk mempersiapkan struktur naskah pidato. Namun naskah pidato tetap ditulis dan difinalisasikan sendiri oleh Joko Widodo. Awalnya, MPR memberikan alokasi waktu 45 menit bagi Joko Widodo untuk berpidato. Namun durasi ini dipangkas oleh Joko

Widodo yang hanya memanfaatkan waktu sebanyak 10 menit.

(http://www.jpnn.com/read/2014/10/19/264520/Siapa-Saja-Pembuat-Pidato-Pela ntikan-Jokowi-)

Tanggal 20 Oktober 2014 menjadi sejarah besar bangsa Indonesia. Pelantikan Joko Widodo–Jusuf Kalla berlangsung aman tanpa penjegalan seperti yang dijanjikan Ketua MPR Zulkifli Hasan. Seusai mengucap sumpah jabatan presiden, Joko Widodo menyampaikan pidato yang tidak terlalu panjang. Dalam pidatonya, beberapa hal diuraikan Joko Widodo, sebagaimana janjinya dalam masa kampanye pemilu presiden lalu. Misalnya, mewujudkan Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya. Joko Widodo mengingatkan pentingnya menjadikan sektor maritim sebagai prioritas. Ia juga menyatakan pentingnya persatuan dan kerja keras.

Sebagai sebuah kajian, ilmu komunikasi terus mengalami perkembangan, baik menyangkut teori, metode penelitian, maupun dari aspek praktis. Teori–teori komunikasi juga sering dilihat dari segi topik seperti yang dilakukan Littlejohn dengan menggelompokkan teori komunikasi menjadi sebuah buku yaitu


(23)

Encyclopedia of Communication Theory (2009) yang di dalamnya memuat lengkap berbagai macam teori mulai dari teori sistem, semiotika, wacana (discourse), produksi pesan, proses dan penerimaan pesan, interaksionisme simbolik, dramatisme, naratif, realitas sosial dan budaya, pengalaman dan interpretasi, hingga teori kritis. Adapula yang melihat teori komunikasi dari topik

dan levelnya, sebagaimana dikerjakan Heath dan Bryant dalam bukunya Human

Communication Theory and Research: Concepts, Contexts, and Challenges

(2012) yang mencakup proses komunikasi, bahasa, makna, dan pesan, informasi dan ketidakpastian, persuasi, komunikasi interpersonal, komunikasi organisasi dan komunikasi massa.

Tanpa menghilangkan tradisi kualitatif yang lebih dahulu berkembang, dalam dekade 90-an metode penelitian komunikasi diperkaya dengan analisis wacana (discourse analysis). Analisis wacana berkembang pesat, termasuk di Indonesia. Kehadiran buku–buku yang berkenaan dengan wacana antara lain Fairclough (1995a dan 1995b), Mills (1997), Gee (1999,2005) dan Titscher dkk (2000) serta penerbitan buku dalam negeri seperti Sobur (2001), Eriyanto (2001), dan Hamad (2004), memperkuat metode dan pelaksanaan riset dengan memakai analisis wacana, baik sebagai analisis teks maupun sebagai analisis wacana kritis (critical discourse analysis) di program Strata-1, Strata-2, dan Strata-3 Ilmu Komunikasi, bahkan dalam dunia praktis terutama bidang humas korporasi (Hamad dalam jurnal komunikasi Mediator 2006: 260)

Berkenaan dengan praktek komunikasi, dewasa ini masyarakat, terutama para pelaku komunikasi cenderung menggunakan teknik pengemasan pesan (message packaging) demi memperoleh tujuan–tujuan komunikasinya. Mereka tidak lagi sekedar membuat, menampilkan, dan mengirimkan pesan berdasarkan apa yang diingininya, tetapi merancang pesan dengan dilandasi dan dipengaruhi oleh visi dan misi strategisnya sekaligus mengirimkannya kepada khalayak melalui cara dan taktik yang sangat persuasif. Dalam konteks ini, mereka mengembangkan suatu wacana tertentu jika bermaksud menyampaikan pesan kepada khalayak. Sekarang ini, kesadaran wacana memang cenderung bertambah bukan saja dipihak yang memproduksi pesan tetapi juga dipihak yang menerima pesan (Hamad, 2004: 10)


(24)

Semua perkembangan ini tentu aja mengharuskan kita menata kembali cara pandang kita terhadap pendekatan komunikasi. Bahwasanya dari segi caranya pesan dikelola terdapat satu pendekatan lain dari komunikasi. Itulah yang disebut perspektif komunikasi sebagai wacana. Komunikasi sebagai proses konstruksi realitas dalam pandangan ini dipilih peneliti karena penelitian dilakukan dalam rangka menciptakan “kenyataan lain” atau “kenyataan kedua” melalui pembentukan sebuah wacana (discourse) sebagai “pengganti” dari realitas atau kenyataan pertama. Cara yang ditempuh dalam pembentukan wacana itu adalah suatu proses yang disebut konstruksi realitas atau construction of reality sehingga realitas yang telah diwacanakan itu disebut dengan realitas yang telah dikonstruksikan (constructed of reality) (Hamad, 2004: 234).

Dari uraian di atas, kita dapat menarik implikasi bahwa khasanah teori komunikasi konstruksi realitas (communication as discourse) tidak hanya bersifat mengirimkan pesan, memajang sejumlah pesan untuk menarik perhatian, memanfaatkan simbol untuk menciptakan makna tertentu, atau membangun suasana kebersamaan. Komunikasi juga bersifat mengemas kepentingan dalam bentuk struktur pesan yang bermakna. Kehadiran ragam pendekatan komunikasi ini juga memberikan implikasi pada metode penelitian komunikasi. Pendekatan konstruksi realitas menghidupkan metode analisis wacana untuk membongkar realitas dibalik wacana. Akhirnya, perspektif komunikasi sebagai wacana memberi implikasi sosial. Kita dapat mendayagunakan wacana untuk kebaikan pada level individu, kelompok, organisasi sosial, dan global. Mengurangi dan mencegah konflik individu, sosial dan global melalui wacana yang bersifat meredam kekerasan (Hamad dalam jurnal komunikasi Mediator 2006: 266).

Penggunaan discourse dalam dunia politik ini lebih biasa lagi, bahkan

telah menjadi tradisi. Para aktor politik senantiasa menciptakan discourse

manakala mereka berbicara politik. Hal itu mereka lakukan bukan saja untuk menyampaikan ideologi politik yang diyakininya, melainkan pula untuk menciptakan opini publik demi meraih keuntungan–keuntungan politik yang ingin diperolehnya, entah itu kekuasaan, jabatan, maupun material (Nimmo, 2005: 92).


(25)

Hampir di segala tindakan, komunikasi Presiden dianggap penting sebagai unsur politik Presiden modern. Seiring berjalannya waktu, Presiden lebih banyak mencurahkan perhatian terhadap komunikasinya. Sekarang ini, banyak presiden yang memiliki staff yang dikhususkan untuk kegiatan komunikasi tunggalnya. Komunikasi Presiden menjadi pusat pertumbuhan politik di media massa dalam abad terakhir. Kebanyakan masyarakat sebenarnya hanya berharap pemimpinnya untuk berkomunikasi lebih intens dan panjang lebar tentang masalah publik saat ini, mereka tidak peduli tentang formalitas dalam pemerintahan. (Ryfe, 2005: 3)

Banyak literatur menganalisis tentang kemampuan presiden untuk memimpin opini publik. Penelitian seperti ini biasanya menganalisis kemampuan presiden untuk memanipulasi popularitas mereka seperti drama politik, pembuatan pidato dan kunjungan ke negara lain (MacKuen 1983; Ragsdale 1984, 1987). Dengan mempelajari sebuah pidato sebenarnya tidak berpatokan pada aspek fisilogi dan psikologi dari si pembicara. Namun, mempelajari bahasa yang disampaikan. Esensi dari bahasa terdiri dalam penugasan konvensional, secara sukarela diartikulasikan sesuai dengan unsur pengalaman (Sapir, 1921: 183).

Penelitian tentang pidato dengan menggunakan perspektif dramatisme semacam ini masih jarang dilakukan oleh akademisi di Indonesia, namun penelitian semacam ini sudah mulai marak diberlakukan di wilayah barat. Bahkan saat ini sudah terdapat jurnal online khusus yang membahas analisis teori yang diciptakan oleh Kenneth Burke terkhususnya Dramatisme. Hal ini yang menarik perhatian peneliti untuk mengkaji secara keilmuan pidato presiden Joko Widodo dalam perspektif dramatisme.

1.2Fokus Masalah

Berdasarkan uraian konteks masalah di atas, peneliti merumuskan bahwa fokus yang akan diteliti lebih lanjut adalah: “Bagaimana strategi manipulasi bahasa (dramatisme) yang didesain Presiden Joko Widodo dalam pidatonya dalam upaya pembentukan realitas?”


(26)

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini di lakukan dengan maksud untuk mencapai tujuan berikut:

1. Untuk mengetahui manipulasi bahasa (dramatisme) yang didesain

Presiden Joko Widodo dalam pidatonya.

2. Untuk mengetahui realitas sosial yang ingin dibentuk Presiden Joko

Widodo dalam pidatonya.

1.4Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, penelitian ini dapat memberikan dampak positif dan

menambah pengetahuan dalam khasanah penelitian komunikasi serta dapat dijadikan sebagai sumber bacaan mahasiswa FISIP USU khususnya Departemen Ilmu Komunikasi

2. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi berupa

sumbangan pengetahuan baik kepada mahasiswa Ilmu Komunikasi maupun masyarakat secara umum untuk memperluas wacana pengetahuannya tentang dramatisme melalui pidato pemimpin.

3. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan bermanfaat dan memberikan


(27)

BAB II

DRAMATISME DALAM KAJIAN KOMUNIKASI

2.1 Dramatisme

Dramatisme adalah teori retorika konvensional yang cenderung memusatkan perhatian pada bagaimana wacana memengaruhi cara orang berpikir. Diformulasikan oleh Kenneth Duva Burke, dramatisme menambah kedalaman pada teori retorika. Teori ini menambah pengetahuan tentang bagaimana bahasa dan hubungannya untuk berpikir sebagai hasil dari tindakan dibandingkan cara menyampaikan informasi. Lalu, Burke mencurahkan studi bahasa dan masyarakatnya secara besar-besaran pada analisis aksi simbolis berdasarkan dalilnya bahwa “bahasa adalah aksi spesies secara primer, atau ekspresi dari kebiasaan, daripada sebuah instrumen definisi”. (Heath, 2013: 274).

Dramatisme membandingkan kehidupan dengan sebuah pertunjukan dan menyatakan bahwa, sebagaimana dalam sebuah karya teatrikal, kehidupan membutuhkan adanya seorang aktor, sebuah adegan, beberapa alat untuk terjadi pada adegan itu, dan sebuah tujuan. Teori ini memungkinkan kritikus retoris untuk menganalisis motif pembicara dengan mengidentifikasi dan mempelajari elemen-elemen ini. Tujuan Dramatisme adalah memberikan penjelasan logis untuk memahami motif tindakan manusia, atau kenapa manusia melakukan apa yang mereka lakukan. Selanjutnya Burke percaya, rasa bersalah adalah motif utama bagi pembicara, dan dramatisme menyatakan bahwa seorang pembicara akan menjadi lebih sukses ketika mereka memberikan khalayaknya cara untuk menghapuskan rasa bersalah mereka. (Turner dan West 2007: 26)

Secara sederhana, teori Burke ini melihat bagaimana bahasa dimanipulasi sebagai bagian dari strategi simbolis. Dalam hal ini, komunikator selaku aktor sosial merupakan pihak yang berstrategi dan memainkan peran tertentu sesuai tujuannya. Teori ini melihat bagaimana manusia menggunakan simbol dalam lingkungan sosialnya. Dramatisme melihat dunia manusia sebagai sebuah drama


(28)

simbolis, dimana bahasa merupakan bagian dari sebuah strategi ketika berhadapan dengan situasi tertentu (Littlejohn, 2009: 320).

Dramatisme menyediakan cara yang menarik tentang bagaimana manusia mengorganisir pengalaman mereka ketika harus berhadapan dengan dunia sosial. Fokus utama dari dramatisme terutama pada bagaimana manusia menggunakan teks atau bahasa untuk menggambarkan dunia sosial dalam perspektifnya. Manusia adalah pembuat simbol, manusia juga memberikan respon terhadap simbol, serta memahami situasi di sekitarnya melalui simbol-simbol. Secara lebih luas, Burke melihat kekuatan bahasa sebagai komponen yang dapat menyatukan atau memisahkan kita. Konteks ini merupakan bagian yang penting dalam analisis menggunakan pendekatan dramatisme. (Akmajian, 2001: 418).

2.1.1 Sejarah

Kenneth Duva Burke adalah seorang teoritis retorika amerika ternama di abad dua puluh. Tidak seperti akademisi modern lainnya, Burke bukanlah seorang intelektual eropa atau ekspatriat prancis. Lahir di Pittsburg, Burke banyak menghabiskan masa mudanya di sebuah desa kecil. Burke tidak pernah lulus sarjana. Ia hanya belajar secara otodidak di bidang literatur kritik, filosofi, komunikasi, sosiologi, ekonomi, teologi dan linguistik. Ia mengajar hampir dua puluh tahun di beberapa universitas termasuk Harvard, Princeton, dan Universitas Chicago. (Kuypers, 2009: 143).

Burke memiliki tiga pemikiran besar. Ketiganya memberikan makna dan tujuan bagi hidupnya. Satu dari pemikiran awalnya adalah symbolic action. Ia menjelaskan bahwa manusia tidak langsung terlibat dalam lingkungan. Manusia bertindak karena ada simbol. Pemikiran kedua yang menarik adalah perspektif keganjilan. Ini adalah metode utama Burke dari tahun 1930-an. Burke menggunakan metode ini untuk membawa pandangan baru dan segar untuk analisis masalah konvensional. Ia melakukannya dengan menyandingkan istilah asing atau bahkan menantang, metafora, atau gambar. Image Burke yang radikal seperti "kekerasan untuk mencapai kedamaian" adalah salah satu contoh. Untuk


(29)

Burke, bahasa memiliki kehidupannya sendiri, dan apapun yang kita lihat atau kita rasakan sudah ada dalam bahasa, diberikan kepada kita oleh bahasa, dan bahkan diproduksi sebagai kita oleh bahasa (Kuypers, 2009: 145).

Pemikirannya yang ketiga yang paling berpengaruh dalam kajian retorika adalah dramatisme. Di awal tahun 1920 sampai 1930-an sebagai seorang kritis, Burke mulai menciptakan teori dramatisme untuk membantu menunjukan pandangannya terhadap literasi. Burke memulai karirnya sebagai kritikus literasi namun diperluas dengan ketertarikannya menganalisis dan mengkritik semua wacana, terkhususnya yang mengarah pada kerjasama dan persaingan dalam masyarakat. Evolusi ini melihat bahwa pandangannya berkembang di luar kritik literasi untuk kritik sosial. Pandangannya berpengaruh pada cara pandang akademisi dalam bidang literatur, teori retorika, sosiologi, sejarah, komunikasi, ilmu politik dan lain–lain. Teorinya menawarkan kritik yang luas terhadap bagaimana pasar bebas dapat bekerja untuk meraih keuntungan sementara memberikan kerugian bagi yang lain. Dalam konteks ini, Burke mengungkapkan bagaimana progres berjangka bisa menjadi penerang bagi masyarakat. Tindakan apapun dapat dilakukan atas nama kemajuan. Seperti komitmen, ia beralasan, di titik konflik antara pemimpin bisnis dan kelompok-kelompok lain, seperti buruh dan aktivis lingkungan. Kemajuan satu kelompok mungkin memberikan pengorbanan pada kelompok lain. (Heath, 2013: 274)

Kontribusi inovatif pada kritik literasi dan komentar sosial dimulai karena keingintahuan yang lebih pada cara kerja dan pemikiran dari pembuat puisi, drama dan novel. Burke mencari instrumen kritik yang akan mendekatkannya pada alasan dan motif dibalik setiap literatur. Ia percaya bahwa penting untuk membuka ikatan antara penulis dan pembaca. Dalam literatur yang lebih baik, pembaca dan penulis diharapkan mampu berpartisipasi dan bertindak bersama dalam pengalaman literatur. Literatur bekerja bukan untuk menyampaikan perasaan, harapan dalam pandangan penulis, melainkan membangkitkan perasaan–perasaan tersebut kepada pembaca. (Heath, 2013: 274)

Burke memberikan catatan pada awal penelitian tentang puisi atau karya sastra lainnya tidak hanya berbentuk laporan. Penyair yang merasakan


(30)

kesenangan saat melihat alam, pohon misalnya, menuliskan puisi bukan sekedar memberikan laporan atau menyampaikan pengetahuannya tentang pohon, tetapi membangkitkan pengalaman serupa dari kesenangannya pada karakter simbolis pohon di puisi tersebut. Pandangan itu yang membawa Burke mengkategorikan elemen pada komunikasi dengan menyampaikan pengetahuan (epistimologi) kurang penting dibandingkan dengan penciptaan tindakan (ontologi). Ia berpendapat bahwa pembaca tidak menginterpretasikan dan merespon terhadap puisi sebagai sebuah laporan tapi sebagai pengalaman simbolis sebuah tindakan. Penulis, dengan berbagai alasan, ingin pembacanya berpartisipasi dalam pengalamannya dibanding menerima laporan dari pengalamannya. (Heath, 2013: 275).

Dengan logika ini, Burke menyatakan bahwa penderitaan Hamlet (kisah pangeran legendaris oleh Shakespeare) membandingkan, tidak hanya memberitahukan keadaan dan perasaannya, tetapi karena Shakespeare mampu berbagi tindakan simbolisnya tentang perasaan terkhianati dan balas dendam kepada pembacanya. Sikap adalah tujuan dari literatur, bukan pengetahuan yang didapat dari laporan. Satu dari elemen kunci dramatisme adalah kesadaran bahwa kata adalah dalil. Kata “Guru” memberitahukan tentang seseorang dalam suatu profesi. Namun yang terpenting adalah perintah untuk tindakan tertentu, orang yang berbagi substansi simbolis tentang guru mengharapkan respon melalui tindakan yaitu mengajar. (Heath, 2013: 276)

Sigmund Freud memberikan Burke pandangan terhadap kumpulan kata dan motif yang datang dari kata–kata. Dalam isu sosial, Burke cenderung mempertimbangkan pedoman Karl Max, yang menyarankan cara mengungkapkan perangkap tersembunyi dari tindakan yang terdapat dalam kata- kata. (Heath, 2013: 276)

Burke begitu tertarik pada tindakan. Ia ingin mengetahui bagaimana bahasa bisa menyelesaikan segalanya. Dia tidak memperhatikan kebenaran, akurasi atau kekuatan strategi. Satu dari banyak cara manusia mengartikan dunia adalah melalui bahasa dalam bentuk drama. Ia percaya jika orang melihat tokoh politik, kegiatan dan pernikahannya seperti mereka melihat produksi teatrikal.


(31)

Burke berpendapat jika manusia secara otomatis memproses dunianya melalui kategori drama. Dunia adalah drama. Panggung adalah produk penyulingan kedua dari drama pengalaman hidup; dramatisme adalah cara manusia berinteraksi dengan bahasanya. Burke tidak menganalisis bahasa sebagai penyampai informasi atau kebenaran, tetapi alat bagi setiap tindakan. (Turner dan West, 2007: 28)

Burke melihat drama dimana–mana. Benar adanya jika pemerintahan presiden yang baru sedang mencoba mendapatkan drama yang bagus secepat mungkin, tim sepakbola terkenal karena ada konflik antar pemain, bisnis mengiklankan cerita dan para pemimpin perusahaan sedang mencari naskah yang baik untuk dipertontonkan. Kebanyakan orang melihat “saat yang menentukan” dalam kehidupan mereka seperti mereka tinggal diluar skenario, dan memberitahukan kepada orang sekelilingnya bagaimana jika mereka yang ada di posisi dia dan menemukan peran yang cocok serta suara–suara baru. Kehidupan manusia dikelilingi bahasa drama. (Griffin, 2005: 299)

Gusfield menuliskan ada empat aspek dari pemikiran Burke yang sangat berpengaruh dalam memandang dunia sosial (Miller, 2005: 98):

1. Untuk memahami bahasa sebagai bentuk aksi

2. Untuk memahami aksi/perilaku manusia sebagai sebuah bentuk drama,

karenanya dapat digunakan untuk kerangka analisis yang sama, misalnya karya sastra.

3. Memahami aksi/perilaku manusia sebagai sebuah tindakan retorika, yang

dikembangkan untuk menganalisis situasi yang melibatkan penampil maupun khalayak

4. Program yang pluralistik dan dialektikal untuk menganalisis perilaku

manusia

Teori ini banyak dipengaruhi oleh interaksi simbolik, Teori ini memfokuskan pada diri dalam suatu peristiwa yang ada dengan menggunakan simbol komunikasi. Dramatisme memandang manusia sebagai tokoh yang sedang memainkan peran mereka, dan proses komunikasi atau penggunaan pesan


(32)

dianggap sebagai perilaku yang pada akhirnya membentuk cerita tertentu. (Denzin, 1992: 145)

Drama adalah metafora yang berguna bagi ide–ide Burke untuk tiga alasan (Turner dan West, 2007: 27):

1. Drama mengindikasikan cakupan yang luas, dan Burke tidak membuat

klaim yang terbatas; tujuannya adalah untuk berteori mengenai keseluruhan pengalaman manusia. Metafora dramatis khususnya berguna dalam menggambarkan hubungan manusia karena didasarkan pada interaksi atau dialog. Dalam dialognya, drama menjadi model hubungan dan menjadi penerangan pada hubungan.

2. Drama cenderung mengikuti tipe–tipe atau genre yang mudah dikenali:

komedi, musikal, melodrama, dan lainnya. Burke merasa bahwa cara kita membentuk atau menggunakan bahasa dapat berhubungan dengan cara drama manusia itu dimainkan. Sebagaimana yang diamati oleh Barry Brummett (1993), “Kata–kata akan terangkai menjadi wacana berpola pada tingkat makro dari keseluruhan teks atau wacana. Burke berargumen bahwa pola berulang yang menggarisbawahi suatu teks menjelaskan bagaimana teks tersebut menggerakkan kita.

3. Drama selalu ditujukan kepada khalayak. Dalam hal ini drama bersifat

retoris. Burke memandang sastra sebagai “peralatan untuk hidup”, artinya bahwa literatur atau teks berbicara pada pengalaman hidup orang dan masalah serta memberikan orang reaksi untuk menghadapi pengalaman ini.

Dengan demikian, kajian dramatisme mempelajari cara–cara dimana bahasa dan penggunaanya berhubungan dengan khalayak.

2.1.2 Asumsi Dramatisme

Brummett menyebutkan asumsi Burke sebagai ontologi simbolis dikarenakan penekanannya pada bahasa. Ia mengingatkan bahwa “Hal terbaik


(33)

yang dapat dilakukan seseorang, dalam mencari inti dari pemikiran Burke adalah menemukan sebagian ontologinya, dasar bagi kebanyakan bagian. Bagi Burke, orang umumnya melakukan apa yang harus mereka lakukan, dan dunia kebanyakan adalah seperti itu adanya, karena sifat dasar dari sistem simbol itu sendiri. Gambaran mengenai tiga asumsi teori dramatisme berikut ini adalah (Griffin, 2005: 303):

1. Manusia adalah hewan yang menggunakan simbol

2. Bahasa dan simbol membentuk sebuah sistem yang sangat penting bagi

manusia

3. Manusia adalah pembuat pilihan

Asumsi pertama berbicara tentang hal yang kita lakukan dimotivasi oleh naluri hewan yang ada dalam diri kita dan beberapa hal lainnya dimotivasi oleh simbol–simbol. Ide bahwa manusia adalah hewan yang menggunakan simbol menggambarkan sebuah ketegangan dalam pemikiran Burke. Seperti yang diamati oleh Brummett, asumsi terombang–ambing antara kesadaran bahwa beberapa dari yang kita lakukan dimotivasi oleh sifat naluriah hewan dan beberapa oleh sifat simbolik. Dari semua simbol yang di gunakan manusia, bahasa adalah yang paling penting bagi Burke (Turner dan West, 2007: 28)

Asumsi kedua (mengenai pentingnya bahasa), posisi Burke cukup mirip dengan prinsip relativitas linguistik yang dikenal sebagai hipotesis Sapir–Whorf. Mereka menyatakan bahwa sangat sulit untuk berpikir mengenai konsep atau objek tanpa adanya kata–kata bagi mereka. Jadi, orang dibatasi (dalam batasan tertentu) dalam apa yang dapat mereka pahami oleh karena batasan bahasa mereka. Bagi Burke, seperti halnya Edward Sapir dan Benjamin Whorf, ketika orang menggunakan bahasa, mereka juga digunakan oleh bahasa tersebut. Selain itu, ketika bahasa dari suatu budaya tidak mempunyai simbol untuk motif tertentu, maka pembicara yang menggunakan bahasa tersebut juga cenderung untuk tidak memiliki motif tersebut. Burke berargumentasi bahwa hal ini adalah hasil langsung dari sistem simbol kita. Respon Burke dalam hal ini adalah bahwa simbol membentuk pendekatan hanya/atau kita terhadap masalah yang kompleks. (Nimmo, 2005: 95)


(34)

Burke menambahkan bahwa kata–kata, pemikiran, dan tindakan memiliki hubungan yang sangat dekat satu dengan lainnya. Penjelasan Burke mengenai hal ini adalah bahwa kata–kata bertindak sebagai layar terministik (terministic screens) menuju pada ketidakmampuan yang terlatih (trained incapacities), yang berarti bahwa orang tidak mampu melihat dibalik hal kemana kata–kata mereka menuntun mereka (Burke, 1965: 86).

Asumsi kedua menyatakan bahwa bahasa memiliki pengaruh deterministik terhadap orang, tetapi asumsi yang terakhir mengatakan bahwa manusia adalah pembuat pilihan. Burke secara gigih mengatakan bahwa ontologi deterministik behaviorisme harus ditolak karena hal itu bertentangan dengan apa yang dia lihat sebagai dasar utama dari dramatisme; pilihan manusia. (Turner dan West, 2007: 29)

Kebanyakan teori banyak berpijak pada konseptualisasi akan agensi (agency), atau kemampuan aktor sosial untuk bertindak sebagai hasil pilihannya. Seperti yang diamati oleh Charles Conrad dan Macom menyatakan lebih lanjut, Burke berkutat dengan konsep agensi sepanjang kariernya, terutama karena sulitnya menegosiasikan ruang di antara kehendak bebas yang sepenuhnya dan determinisme yang sepenuhnya. Pemikiran Burke terus berevolusi pada titik ini, tetapi dia tetap mempertahankan agensi sebagai konsep terdepan dalam teorinya. (Turner dan West, 2007: 29)

2.1.3 Dramatisme dan Retorika

Dalam bukunya A Rhetoric of Motivates (1950, 16), Burke memperhatikan tentang persuasi dan dia banyak berdiskusi mengenai prinsip tradisional retorika yang dikembangkan oleh Aristoteles. Burke menyatakan bahwa definisi retorika intinya adalah persuasi, dan tulisannya mengeksplorasi cara–cara dimana persuasi dapat terjadi. Menanggapi hal ini, Burke mengatakan bahwa sebuah retorika baru berfokus pada beberapa isu penting, dan yang paling penting di antara semuanya adalah identifikasi. Marie Nichols (Griffin, 2005: 300) pada tahun 1952 menjelaskan perbedaan antara Burke dan Aristoteles


(35)

adalah bahwa perbedaan antara retorika lama dan retorika baru mungkin dapat dirangkum dalam cara ini: Kata kunci untuk retorika lama adalah persuasi dan menekankan pada desain yang terencana, dan kata kunci untuk retorika baru adalah identifikasi dan dalam hal ini dapat mencakup faktor–faktor yang secara parsial tidak sadar dalam mengajukan pernyataannya. Tetapi tujuan Burke tidak untuk menggantikan konseptualisasi Aristoteles tetapi lebih kepada memberikan tambahan terhadap pendekatan tradisional.

2.1.4 Identifikasi dan Substansi

Identifikasi adalah kesamaan yang ada antara pembicara dan penonton. Burke menggunakan substansi sebagai istilah umum untuk menggambarkan seseorang mulai dari karakteristik fisik, bakat, pekerjaan, pengalaman, kepribadian, keyakinan, dan sikapnya. Semakin banyak tumpang tindih antara substansi pembicara dan substansi pendengar, semakin baik tingkat

identifikasinya. Kebalikannya juga benar, semakin kecil tingkat

ketumpangtindihan individu, makin besar pemisahan yang ada di antara mereka. Walaupun demikian, pada kenyataannya dua orang tidak dapat sepenuhnya memiliki ketumpangtindihan satu dengan yang lainnya. Burke sadar akan hal ini dan menyatakan bahwa “ambiguitas substansi” menyatakan bahwa identifikasi akan selalu terletak pada kesatuan dan pemisahan. Para individu akan bersatu pada masalah–masalah substansi tertentu tetapi pada saat bersamaan tetap unik, keduanya disatukan dan dipisahkan. Selanjutnya Burke mengindikasikan bahwa retorika dibutuhkan untuk menjembatani pemisahan dan membangun kesatuan. Burke merujuk proses ini sebagai konsubstansiasi atau meningkatkan identifikasi mereka satu sama lain. Konsubstansiasi atau masalah mengenai identifikasi dan substansi berhubungan dengan siklus rasa bersalah/penebusan karena rasa bersalah dapat dihilangkan sebagai hasil identifikasi dan pemisahan. (Turner dan West, 2007: 30)


(36)

2.1.5 Proses Rasa Bersalah dan Penebusan

Burke percaya bahwa drama kehidupan dimotivasi oleh rasa bersalah. Bagi Burke, proses rasa bersalah dan penebusan mengamankan kesuluruhan konsep simbolisasi. Rasa bersalah adalah motif utama untuk semua aktivitas simbolik, dan bagi Burke mendefinisikan rasa bersalah secara luas untuk mencakup berbagai jenis ketegangan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik atau perasaan yang tidak menyenangkan lainnya. Hal yang utama dalam teori Burke adalah bahwa rasa bersalah adalah sifat intrinsik yang ada dalam kondisi manusia. Karena kita terus merasa bersalah, kita juga terus berusaha untuk memurnikan diri kita sendiri dari ketidaknyamanan rasa bersalah. (Griffin, 2005: 303)

Proses merasa bersalah dan berusaha untuk menghilangkannya ada di dalam siklus Burke, yang mengikuti pola yang dapat diprediksi (Turner dan West, 2007: 31); tatanan atau hierarki, negativitas, pengorbanan (pengkambinghitaman dan mortifikasi) dan penebusan.

1. Tatanan atau hierarki merupakan peringkat yang ada dalam masyarakat terutama karena kemampuan kita untuk menggunakan bahasa. Kategori ini membentuk hierarki sosial. Seringkali kita merasa bersalah karena posisi kita di dalam hierarki. Jika kita punya kelebihan, kita mungkin merasa kita memiliki kekuasaan yang lebih dibandingkan mereka yang tidak punya. Perasaan ini akan menimbulkan rasa bersalah.

2. Negativitas merupakan perasaan menolak tempat seseorang dalam tatanan sosial memperlihatkan resistensi. Burke menciptakan frase digrogoti kesempurnaan. Ia mengatakan demikian karena simbol kita memungkinkan diri kita untuk membayangkan kesempurnaan, kita selalu merasa bersalah mengenai perbedaan antara kenyataan yang sesungguhnya dan kesempurnaan yang dapat kita bayangkan.

3. Pengorbanan adalah cara dimana kita berusaha memurnikan diri dari rasa bersalah yang kita rasakan sebagai bagian dari kondisi manusia. Ada dua tipe dasar pengorbanan/memurnikan rasa bersalah kita. Pertama adalah mortifikasi. Mortifikasi adalah salah satu metode untuk


(37)

memurnikan diri dari rasa bersalah dengan menyalahkan diri kita sendiri. Kedua adalah pengkambinghitaman yaitu salah satu metode untuk memurnikan diri dari rasa bersalah, dengan menyalahkan orang lain.

4. Penebusan adalah langkah terahir dalam proses ini yang berarti penolakan sesuatu yang tidak bersih dan kembali pada tatanan baru setelah rasa bersalah diampuni sementara. Kunci tahap penebusan adalah fakta bahwa rasa bersalah hanyalah dihilangkan secara sementara. Saat tatanan dan hierarki di bangun kembali, raSa bersalah kembali menjangkiti kondisi manusia.

2.1.6 Istilah Tuhan dan Iblis

Peneliti perilaku telah menggunakan istilah homofili untuk

menggambarkan kesamaan persepsi antara pembicara dan pendengar, tapi Burke menggunakan pilihan bahasa agama untuk jargon ilmiah (Griffin, 2005: 300). Mengambil deskripsi dari Martin Luther tentang apa yang terjadi di meja perjamuan, Burke menyatakan bahwa identifikasi adalah konsubstansial. Referensi teologis terdapat pada kutipan lama dari Perjanjian Lama di mana Ruth menyampaikan janji solidaritasnya kepada ibu mertuanya, Naomi: "Sebab kemanapun Engkau pergi, aku akan pergi, dan dimana anda menginap aku pun turut menginap; umatmu akan menjadi umatku dan Allahmu adalah Allahku.” Hal ini yang disebut identifikasi yang juga merupakan bagian dari cerita Ruth dan Naomi.

Khalayak merasa bergabung dengan ketertarikannya melalui gaya maupun konten. Burke menyatakan komunikator yang baik dapat menunjukkan secara konsubstansial dengan memberikan tanda dalam bahasa dan menyampaikannya dengan caranya sendiri–sendiri. Gaya penginjil yang banyak tinggal di perkemahan mungkin akan banyak ditolak oleh para kosmopolitan New York. Namun suasana hati dan gaya khotbah memegang peranan penting dalam kedalaman konten pesan antara penginjil dan pendengar baru sampai– sampai penginjil mengubah strategi linguistiknya dan menyelaraskannya dengan


(38)

gaya bicara pendengarnya. Lalu pendengar akan berpikir hal itu masuk akal. Burke mengatakan bahwa identifikasi bekerja dua arah. Pendengar beradaptasi tidak hanya memberikan penginjil kesempatan untuk memengaruhi penonton, tetapi juga membantu pendeta masuk ke dalam arus budaya mereka (Griffin, 2005: 301)

Istilah Tuhan dan Iblis tersebut tidak untuk dideskripsikan. Burke menggunakan konsubstansi kiasan agama untuk identifikasi. Istilah tersebut mencakup istilah baik atau buruk yang digunakan untuk memotivasi khalayak pendengar. Pengelompokan kata mengungkapkan sikap jika Tuhan adalah kebaikan dan iblis berarti keburukan. Namun Burke berpendapat bahwa seorang retoris tidak seharusnya terbatas hanya pada istilah. (Bygrave, 1993: 35)

2.1.7 Heurisme

Sehubungan dengan heurisme, kebanyakan kritikus sepakat bahwa teori dramatisme sangat sukses. Misalnya saja, dramatisme pada mulanya digunakan dalam analisis retoris dari pidato–pidato, tetapi sekarang fokusnya telah melebar ke wacana–wacana yang lainnya di dalam ruang publik seperti editorial, pamphlet, monograf, buku, dll. Selain itu Catherine Fox (2002) melihat dramatisme sebagai kerangka yang berguna untuk diterapkan dalam profesi komunikasi, terutama penulisan teknis dalam organisasi transportasi. Peter Smudde (2004) juga menyerukan penggunaan dramatisme pada praktik hubungan masyarakat (Turner dan West, 2007: 38)

Kesepakatan umum bahwa teori Burke memberikan kita pemikiran baru yang imajinatif dan inovatif mengenai motif dan interaksi manusia. Dramatisme memberikan kita sebuah teori yang memberikan gambaran besar. Teori ini memunginkan sebuah analisis dan motivasi dan perilaku manusia, dan fokusnya pada bahasa sebagai sistem simbol yang penting membuat teori ini sangat menarik bagi para peneliti komunikasi (Turner dan West, 2007: 38)


(39)

2.2 Dramatisme dan Komunikasi Politik

Dramatisme merupakan pendekatan yang berpikir tentang perilaku politik yang menggunakan metafora “hidup adalah panggung sandiwara”. Pelaku drama tidak menganggap modus pemahaman mereka menjadi metafora; mereka percaya bahwa kerangka secara akurat menggambarkan perilaku politik (Kaid dan Bacha, 2008: 193) Pelaku drama menggunakan bahasa dalam dialog untuk menciptakan dunia dimana tokoh-tokohnya bertindak, seperti pelaku drama, politisi dan warga negara menggunakan bahasa untuk mengatur dunia yang mereka hadapi dan bagaimana mereka bertindak. Dengan bahasa ini, aktor politik memilah kejadian nyata di dalam dunia membentuk pemahaman tentang hal tersebut. Konflik politik timbul dari perbedaan interpretasi dan tanggapan.

Dramatisme adalah salah satu bagian kontekstualisme dari gerakan intelektual yang berpengaruh pada abad 20. Para kontekstualis percaya bahwa hal yang mendasar pada kegiatan manusia adalah terletak pada kekuatan interaksi berbasis bahasa yang berorientasi pada orang ke peristiwa lalu membentuk respon. Mereka mempelajari strategi lewat interaksi yang membentuk respon ke peristiwa dan membentuk struktur yang stabil dari hubungan manusia. Meskipun filsuf kontektualisme ternama Wittgenstein, dan penulis paling berpengaruh adalah Kenneth Burke. Burke mengembangkan teori umum dari peran bahasa

dalam kegiatan manusia. Bukunya Permanence and Change, Attitudes Toward

History, Grammar of Motives, dan Rhetoric of Motives adalah buku yang paling berpengaruh dalam pendekatan dramatisme dalam komunikasi politik. “The Rhetoric of Hitler’s Battle” adalah contoh kuat dari penjelasan dan kekuatan yang telah diprediksi dari penelitian dramatisme ke dalam wacana politik. Teori penting lain dari aktivitas manusia termasuk di dalamnya Analisis Tema Fantasi-Ernest Bormann (sebelumnya Teori Konvergensi Simbolis), Analisis Naratif-Walter Fisher, Dramaturgi-Erving Goffman adalah contoh dari kontekstualis dan teori dramatisme yang masing–masing mempunyai tingkatan berbeda dalam pencaplokan teori Burke. Pengadopsi awal dramatisme dalam komunikasi politik adalah Murray Edelman, Bernard L. Brock, James E. Combs, Michael Calvin McGee, dan Dan Nimmo. (Kaid, 2004: 74)


(40)

Akademisi yang belajar tentang komunikasi politik dengan pendekatan dramatisme membingkainya dalam dua aktivitas. Teori menyaring kosa kata umum dan munggunakan kosa kata untuk menjelaskan bagaimana aktor politik menampilkan politik melalui pilihan strategis dari bahasa (dan simbol terkait lainnya) dan bagaimana masyarakat mengorganisir aktivitas–aktivitas tersebut secara politik melalui kesamaan dan kemampuan beradaptasi dari sistem simbolik bersama. Kritikus yang berkonsentrasi pada penampilan politik, menyinggung tentang arti dari pembatas dan pilihan bahasa dari aktivitas politik per harinya. Banyak akademisi yang mencampuradukkan tentang aktivitas tersebut, mengetahui lebih dalam proses politik bahkan mereka berkontribusi dalam dialog langsung tentang kegiatan politik kontemporer. (Kaid dan Bacha, 2008: 193)

Tiga contoh berikut mengilustrasikan bagaimana pelaku dramatisme mengerti tentang komunikasi politik. Murray Edelman meletakkan dasar dari pengertian yang luas tentang simbol dan politik. Dia mempelajari cara bagaimana pemimpin menguasai simbol dan cara berbicara yang umum untuk menumbuhkan kekuatan legitimasinya. Seperti kebanyakan para kontekstualis, bagaimanapun ia tidak bisa fokus pada satu sudut pandang politik saja. Ia juga mengeksplorasi bagaimana bahasa menghasilkan isu kebijakan membentuk pelaksanaan dari kebijakan tersebut di dalam birokrasi yang didorong kebijakan dan mengubah tindakan politik kepada respon kepuasan untuk merasakan kebutuhan. Akhirnya ia menyajikan pandangan tentang bagaimana tindakan politik tidak hanya berbentuk ekspresi kepercayaan tetapi kekuatan yang berarti masyarakat mengorganisir setiap hari untuk merespon keadaan yang terbentuk sebagai masalah publik. (Kaid, 2004: 414)

Bernard Brock berfokus pada aktor politik sebagai seorang penyebar strategi yang berorientasi pada tujuan dengan menggunakan simbol untuk mencapai tujuannya. Brock melihat pidato politik dalam sebuah bingkai kerja dari pilihan bahasa si pembicara dari antara kemungkinan dari situasi pidato yang berlangsung. Brock menangkap drama konflik politik dengan cara yang berbeda dan dalam orientasi yang berbeda untuk mencapai politik. (Kaid dan Bacha, 2008: 193)


(41)

Robert Ivie berfokus pada kelanjutan bagaimana kita berbicara tentang politik dalam suatu waktu. Artikelnya “Presidential Motives of War” menjejaki keberlanjutan melewati 2 abad dalam pembenaran bahasa ketika pemimpin amerika mengadakan perang. Kritik Ivie mengilustrasikan cara dramatisme melihat komunikasi politik yaitu pemilihan bahasa bukan karena dibatasi oleh keadaan tetapi karena bentuk panggilan yang stabil dan tidak dikembangkan. Bentukan ini adalah bahasa politik yang sebenarnya, diperkuat dan disusun atas hal itu, dan disebut dari konteks retorika ketika aktor politik mencari pembenaran atas tindakan. (Kaid dan Bacha, 2008: 193)

Tidak ada dari kedua konsep yang secara baik mengilustrasikan tentang perbedaan antara dramatisme dan pendekatan lain untuk memahami politik daripada ideologi dan motivasi. Dalam pemahaman yunani, “ide-ology” adalah pembelajaran tentang ide, dan banyak yang memandang bahwa ideologi dilakukan dengan mengkonseptualisasi cara orang berpikir. Ketika kita melihat ideologi sebagai bahasa, kita melihat melalui bahasa kepada ide untuk mengekspresikannya. Pelaku dramatisme tidak melihat hubungan bahasa kepada ide dengan cara yang begitu jelas. Faktanya, mereka percaya bahwa ide adalah milik bahasa. Ide yang besar adalah produk sosial. Mereka mencapai kekuatan mereka melalui pernyataan dalam konteks dimana mereka berhasil mengarahkan penampilan sistem politik. (Kaid dan Bacha, 2008: 193)

Bagi pelaku dramatisme, kunci untuk memahami motivasi adalah pola kosa kata dan bahasa yang digunakan untuk menggerakkan masyarakat melalui respon kepada lingkungan. Motivasi bukanlah sesuatu yang ada di dalam aktor politik dan dijadikan perilaku baik verbal maupun sebaliknya. Namun, motivasi adalah objek bahasa yang dibuat oleh manusia yang membentuk perilaku sosial, terbangun melalui penggunaannya dalam kegiatan sehari–hari, membawa pemahaman tentang masyarakat, lalu bersedia mengatur respon terhadap kejadian yang tengah berlangsung. Para pelaku dramatisme, seperti Ivie, menemukan pola–pola motivasi ini benar ada dalam teks yang dihasilkan oleh kultur politik dan disebut sebagai momen penting bagi pembentuk tindakan politik. (Kaid dan Bacha, 2008: 193)


(42)

Pendekatan dramatisme mengangkat komunikasi politik sebagai peran utama dalam pemahaman tentang politik. Dalam bidang tindakan manusia kita menyebutnya “politik” mengatur orang untuk menghadapi dunia dengan bingkai kekuatan dan kepemimpinan dari hari ke hari, dengan interaksi politik dibangun melalui penyebaran dari pemilihan oleh pemimpin dan masyakatnya dari sumber simbolis budaya mereka bersama. (Kaid dan Bacha, 2008: 193)

2.3 Pentad Drama

Pentad drama adalah metode utama yang digunakan oleh para kritikus menganalisis penggunaan simbol pada komunikasi. Burke menyebut metodenya pentad karena metode ini terdiri atas lima poin untuk menganalisis teks simbolik. Pentad dapat membantu menentukan mengapa seorang pembicara memilih sebuah retorika tertentu untuk mengidentifikasi dirinya dengan khalayak. Metode ini menentukan elemen yang memberikan petunjuk terbaik untuk motivasi pembicara. Pentad ini menawarkan cara untuk mengetahui mengapa pembicara yang dipilih memberikan strategi retorika untuk mengidentifikasi penonton (Turner dan West, 2007: 33)

Pentad drama sebenarnya sama dengan standar praktik jurnalistik yang menjawab siapa, apa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana di awal cerita. Karena Burke menganggap dirinya sebagai interpreter dan bukan wartawan, ia tidak puas hanya untuk label lima kategori (Griffin, 2005: 302)

Tabel 2.1

Ilustrasi pentad dramatisme

Tindakan Adegan Agen Agensi Tujuan Respon Situasi Subjek Stimulus Target

(Griffin, 2005: 302)

Gambaran pentad di atas menggambarkan perilaku atau tindakan yang di desain sedemikian mungkin sementara di bagian bawah menunjukkan aksi yang


(43)

di lakukan tanpa tujuan tertentu. Dramatisme memfokuskan pada bagian di atas yang merupakan aksi yang sengaja dengan tujuan persuasi.

Terdapat lima elemen poin utama dari pentad dramatisme, yaitu (Burke, 1965: 5):

1. Tindakan (act)

Burke menganggap tindakan sebagai apa yang dilakukan oleh seseorang. Tindakan merupakan aksi yang mengambil peran dalam kisah atau pernyataan yang diberikan oleh pembicara untuk menunjukkan apa yang disampaikan pembicara kepada khalayaknya. Tindakan memainkan peranan yang sangat penting dalam pentad dramatisme ini. Dalam pidato hal ini menunjukkan komitmen realisme.

2. Adegan (scene)

Adegan merupakan konteks yang melingkupi tindakan. Adegan juga merupakan setting atau latar belakang dari tindakan yang dilakukan dan bagaimana setting memberikan efek terhadap pesan termasuk dalam adegan ini adalah konteks yang immediate (segera) dan konteks sejarah dan situasi sosial dimana tindakan tersebut terjadi. Berbicara di depan umum menekankan pengaturan dan keadaan, merendahkan kehendak bebas dan refleksi sikap determinisme situasional.

3. Agen (agent)

Agen merupakan seseorang atau orang–orang yang melakukan tindakan. Beberapa pesan dipenuhi dengan referensi diri, pikiran, jiwa, dan tanggung jawab pribadi. Fokus terdapat pada karakter dan agen sebagai instigator yang konsisten dengan filosofi idealisme.

4. Agensi (agency)

Agensi merujuk pada cara–cara yang di gunakan oleh agen untuk menyelesaikan tindakan. Bentuk–bentuk agensi yang mungkin mencakup strategi pesan, penceritaan kisah, permintaan maaf, pembuatan pidato, dan seterusnya. Penjelasan panjang tentang metode atau teknik mencerminkan pendekatan "get-the-job-done" yang bersumber dari pola pikir pembicara yang pragmatisme.


(44)

5. Tujuan (purpose)

Tujuan merujuk pada hasil akhir yang ada di dalam benak agen untuk tindakan yaitu, mengapa tindakan dilakukan. tujuan dari lakon baik tujuan yang eksplisit maupun implisit. Tujuan merupakan alasan dibalik aksi yang dilakukan oleh aktor komunikasi. Tujuan dalam pesan menunjukkan keinginan yang kuat dari pihak pembicara kesatuan atau makna utama dalam kehidupan, yang umumnya disebut kepentingan mistisisme.

Gambar 2.1 Pentad Drama

(Turner dan West, 2007: 34)

Ketika menggunakan pentad untuk menganalisis sebuah interaksi simbolik, penganalisis pertama–tama menentukan semua elemen dari pentad dan mengidentifikasi apa yang terjadi dalam suatu tindakan tertentu. Setelah memberikan lebel pada poin–poin dari pentad dan menjelaskan semuanya secara menyeluruh, analis kemudian mempelajari rasio dramatistik.


(45)

2.3.1 Rasio Dramatistik

Rasio dramatistik atau proporsi dari satu elemen bila dibandingkan dengan yang lainnya memisahan dua bagian mana saja dari pentad dan mempelajari hubungan mereka satu sama lain, kita menentukan sebuah rasio. Dalam menganalisis rasio dengan cara ini, peneliti mampu untuk menemukan elemen yang dominan. Sebuah kajian dari rasio dramatistik menunjukan sesuatu mengenai sudut pandang dan strategi retoris. Steven Hunt (2003) menyebut rasio dramatis sebagai dampak interaksi dari dua elemen atau lebih dan berargumen bahwa mengamati interaksi–interaksi ini adalah salah satu kriteria yang dapat di gunakan untuk menilai harga dari sebuah kritik retoris (Griffin, 2005: 302)

Pada umumnya rasio yang digunakan Burke adalah rasio adegan-tindakan dan adegan-agen, ketika terlibat dalam studi dramatisme ia menyatakan dasar dari setiap tindakan dipengaruhi oleh kesadaran tubuh manusia dan gerakan purposif. Dengan kata lain agen sedang memainkan peran dalam suatu situasi. Rasio adegan-tindakan, misalnya, dominan pada beberapa tindakan berkolerasi dengan beberapa adegan dan penjelasan konsisten antara tindakan dan adegan. Rasio adegan-agen menjelaskan bahwa tindakan sebagai hasil korelasi antara agen dan adegan. Prinsip drama adalah tindakan dan agen harus konsisten dengan adegan. Bagaimanapun sejelas apapun konsistensi yang rasio miliki, formulanya akan berubah menjadi koresponden. Seperti pada rasio adegan-tindakan bahwa meskipun agen dan tindakan berbeda dari atribut yang ditampilkan, elemen yang paling penting adalah apa yang disampaikan kepada orang lain. (Turner dan West, 2007: 34)

2.4 Kritik Dramatisme

Beberapa kritikus mengeluh bahwa teori Burke tidak terlalu jelas dan tidak terlalu spesifik. Dramatisme dipandang oleh sebagian orang terlalu rumit dan membingungkan (Foss, Foss, & Trapp, 1991). Bahkan pendukung Burke mengakui bahwa bukunya sulit untuk dibaca. Marie Hochmuth Nichols (1952) menyimpulkan (Turner dan West 2007: 36)


(46)

Teori Burke sulit dan kadang membingungkan. Pemikirannya tidak bisa dipahami dengan membaca sekilas berbagai volume bukunya. Kesulitan muncul dari berbagai kosa kata yang ia pakai. Kata-katanya dalam konteks tertutup biasanya cukup sederhana, namun ia sering menggunakannya dalam konteks yang baru. Dengan membaca salah satu dari bukunya, tanpa memperhatikan kronologi publikasi, membuat masalah pemahaman lebih sulit karena terdapat makna khusus yang melekat pada berbagai kata dan frase.

Tambahan bagi kritik di atas adalah bahwa ruang lingkup dramatisme terlalu luas. Tujuan Burke lebih kurang adalah menjelaskan seluruh pengalaman manusia dengan interaksi simbolik. Tujuan tersebutlah yang sangat luas dan ambisius, dan beberapa kritikus percaya bahwa ini yang menyebabkan teori ini menjadi terlalu luas untuk dapat bermakna. Bila dibandingkan teori dramatisme dengan teori seperti teori pengurangan ketidakpastian, kita bisa melihat dua lingkup teoritis ekstrim. Teori pengurangan ketidakpastian berusaha untuk menjelaskan beberapa menit pertama dari pertemuan awal antara orang asing. Sementara dramatisme mencakup semua interaksi simbolik manusia. Beberapa kritikus akan menyatakan bahwa ketika sebuah teori berusaha mencapai tujuan yang demikian luasnya, teori ini dapat dipastikan terlalu rumit dan tidak mudah di pahami. Namun Burke dan banyak pengikutnya menyatakan luasnya cakupan dramatisme merupakan bagian dari daya tariknya. (Denzin, 1992: 95)

2.4.1 Kegunaan

Beberapa peneliti mengamati bahwa dramatisme kurang dapat memenuhi kriteria kegunaan. Secara garis besar kritik yang disampaikan oleh Condit (Condit, 1992; Murray 2003) tidak menyangkal adanya kontribusi besar yang diberikan oleh teori Burke. Sebaliknya, ia hanya menyarankan beberapa perluasan dan modifikasi untuk memperbaiki teori ini. Walaupun teori Burke terus untuk digunakan secara luas, sangat perlu untuk memperluasnya untuk mencakup suara–suara kaum marginal (Griffin, 2005: 305)


(47)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Paradigma

Paradigma menjadi landasan dasar yang menjadi pijakan membangun teori. Paradigma memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan arah

pengembangan suatu ilmu pengetahuan, termasuk ilmu komunikasi. Pemahaman

atas komunikasi manusia, merupakan masalah paradigma yang dipakai untuk memahaminya (Fisher, 1990: 86). Paradigma adalah sudut pandang dan cara pandang kita terhadap sesuatu. Cara kita memandang atau pendekatan yang kita gunakan dalam mengamati kenyataan untuk menentukan pengetahuan yang kita peroleh.

Nilai paradigma tidak terletak dalam nilai kebenarannya atau seberapa baik ia mencerminkan realitas yang ada. Semua paradigma yang dapat diperoleh adalah benar dan mencerminkan realitas, walaupun setiap paradigma pada tahap tertentu kurang lengkap serta didistorsi. Jadi yang menjadi inti adalah upaya mencari paradigma yang dapat memberikan kepada kita konseptualisasi realitas yang paling bermanfaat bagi pencapaian tujuan kita.

Konsekuensi dari penggunaan paradigma adalah kearifan untuk menyatakan bahwa apa yang kita ketahui sekarang bukanlah kebenaran mutlak, melainkan hanya pemahaman yang diciptakan manusia. Dan karena pemahaman kita adalah produk kemanusiaan, maka ia tunduk terhadap perubahan konseptual sebagaimana secara historis kita telah mengubah konsep dan paradigma untuk menciptakan pemahaman. Konsekuensi lain adalah bahwa kita sebenarnya tidak menemukan realitas, melainkan menciptakan realitas.

Memilih suatu paradigma sama artinya dengan memilih mengerjakan hal– hal menurut suatu cara pandang tertentu, tidak menurut suatu cara lain, yang tidak serta merta berlaku universal. Pada paradigma yang dipilih terkandung semua keuntungan dan keterbatasan, akan tetapi kita tidak memiliki hak untuk


(48)

mengingkari nilai dan untuk mempermasalahkan validitas paradigma lain. (Ardianto, 2007:78)

Ilmu komunikasi bisa diberi paradigma apa saja. Tapi umumnya kajian fenomena komunikasi didominasi oleh analisis sosial dan kultural. Analisis sosial terhadap fenomena komunikasi termasuk juga analisis politik. Pemilihan paradigma politik memiliki kaitan dengan kekuatan (power) dalam arti luas. Ilmu komunikasi tidak menolak teori yang berasal dari ilmu lain dengan mengedepankan alasan, ia berguna untuk memperoleh kebenaran yang lebih menyeluruh. Teori yang bisa menjelaskan fenomena komunikasi secara jitu dianggap bisa dipinjam dari paradigma. Apalagi data komunikasi, yang nota bene nya adalah data sosial memerlukan analisis yang komprehensif demi tercapainya kebenaran. Begitu seringnya ilmu komunikasi meminjam teori yang berasal dari ilmu lain sebagai paradigma sehingga teori itu seakan–akan menjadi bagian dari ilmu komunikasi sendiri. (Prajarto 2004: 34).

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme. Konstruktivisme merupakan pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan–rekan sejawatnya. Konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas tersebut (Morissan, 2009:107)

Prinsip dasar konstruktivisme mengungkapkan bahwa bahasa bukan cerminan semesta akan tetapi sebaliknya bahasa berperan membentuk semesta. Setiap bahasa mengonstruksi aspek–aspek spesifik dari semesta dengan caranya sendiri. Bahasa merupakan hasil kesepakatan sosial serta memiliki sifat yang tidak permanen, sehingga terbuka dan mengalami proses evolusi.

Dalam pandangan ini, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan–hubungan sosialnya. Subjek memiliki


(49)

kemampuan untuk mengontrol maksud tertentu dalam setiap wacana. Komunikasi dipahami, diatur dan dihidupkan oleh pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Oleh karena itu analisis dapat dilakukan demi membongkar maksud dan makna–makna tertentu dari komunikasi.

Bila dirunut ke belakang, konstruktivisme meyakini makna atau realitas bergantung pada konstruksi pikiran. Jika positivisme meyakini bahwa pengetahuan harus merupakan representasi (gambaran atau ungkapan) dari kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat (objektivitivisme). Maka pengetahuan bagi kaum positivisme dianggap sebagai kumpulan fakta sedangkan konstruktivisme menolak kayakinan itu. Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Subjek pengamat tidaklah kosong dan tidak mungkin tidak terlibat dalam tindak pengamatan. Kemudian keberadaan realitas tidak hadir begitu saja pada benak subjek pengamat, realitas ada karena pada diri manusia terdapat skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang berkaitan dengan objek yang diamati. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Ardianto, 2007: 154)

Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke otak orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan dengan pengalaman mereka.

Kebenaran menurut konstruktivisme bukan pada kecocokan dengan realitas ontologis melainkan pada validitas, yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam operasi. Artinya, pengetahuan yang kita konstruksikan itu dapat digunakan dalam menghadapi macam–macam fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.


(50)

Pembatasan pengetahuan pada paradigma konstruktivisme bukanlah terletak pada pengetahuan manusia yang terhubung dengan kenyataan karena kenyataan bukan lagi rujukan bagi kebenaran untuk kaum konstruktivisme. Beberapa hal yang membatasi proses konstruksi pengetahuan manusia antara lain adalah (Ardianto, 2007: 160):

1. Konstruksi kita yang lama

2. Domain pengalaman kita

3. Jaringan struktur kognitif kita

Tanpa konstruksi pengalaman lama, pengetahuan tidak akan bertambah; dengan kata lain pengetahuan akan dibatasi oleh ada tidaknya pengetahuan lampau. Konstruktivisme memang merujukkan pengetahuan pada konstruksi yang sudah ada di benak subjek. Namun konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi, melainkan proses panjang sejumlah pengalaman.

Para ilmuwan konstruktivis mengembangkan model komunikasinya yang disebut sebagai komunikasi berbasis diri. Komunikasi berbasis diri adalah model komunikasi yang memeriksa proses lahirnya pesan berdasarkan orientasi diri. Pesan–pesan berbasis diri merupakan suatu gagasan yang menyokong kebutuhan pendengarnya, perhatian atas situasi yang mungkin mengarah pada tujuan yang beragam.

Prinsip dasar konstruktivisme adalah bahwa tindakan ditentukan oleh konstruk diri sekaligus juga konstruk luar diri. Komunikasi pun dirumuskan demikian, ditentukan oleh diri di tengah pengaruh lingkungan luar. Perbedaan ini dapat dilihat antara person dan self. Person merupakan diri yang terlibat dalam lingkungan publik, pada dirinya terdapat atribut sosial budaya masyarakatnya. Self adalah diri yang ditentukan oleh pemikiran khasnya di tengah sejumlah pengaruh sosial budaya masyarakatnya. (Ardianto 2007: 161)

Menurut kalangan konstruktivis, satu hubungan yang bersifat individual akan menghasilkan pesan yang berbasis diri. Kemudian Burleson (1987) menyatakan bahwa pengeluaran berbasis diri bergantung pada kecakapan dalam


(51)

menggambarkan dan mengambil kesimpulan karakteristik psikologis para pendengarnya secara internal. Faktor lain yang mempengaruhi adalah konsep

tentang tujuan. Tujuan bisa bersifat instrumental (mengajak atau

memberitahukan) dan relasional (mendukung penampilan seseorang, menunjukkan pesona diri). B.J. O’Keefe dan Delia menyatakan pesan berbasis diri lebih kompleks dalam tindakannya karena tujuannya yang beragam. Produksi pesan yang kompleks ini dikaitkan dengan kompleksitas kognitif. Individu dengan konstruk sistem yang berbeda akan membuat definisi yang kompleks tentang situasi antarpersona dan akan, sebagai hasil, memproduksi pesan yang lebih bersifat kompleks serta lebih terpusat pada diri (Ardianto, 2007 : 164)

Konsep tentang tujuan konstruktivisme adalah adanya desain pesan dalam peristiwa komunikasi berbasis diri. Desain pesan didasarkan pada kecenderungan seseorang dalam memanajemen tujuannya untuk kepentingan sampainya tujuan melalui pesan yang dipilihnya. Logika desain pesan ini menyatakan bahwa setiap orang mempunyai alur pikiran berbeda yang digunakan dalam mengurus tujuan– tujuan yang saling bertentangan. Logika yang bertentangan ini digambarkan sebagai, (a) seleksi, saat ketika seseorang memilih di antara tujuan–tujuan bersaing; (b) pemisahan, saat ketika tujuan yang bersaing di bagi dalam bagian– bagian yang berbeda dari pesan–pesan partiular; dan (c) integrasi, saat ketika seseorang berusaha untuk mendamaikan tujuan–tujuan yang bersaing itu melewati rintangan dalam pesan. (MiIler, 2005: 107)

Barbara O’Keefe menunjukkan tiga logika dasar desain pesan yaitu ekspresif, konvensional, dan retoris. Logika ekspresif memperlakukan komunikasi sebagai suatu model ekspresi diri, sifat pesannya terbuka dan reaktif secara alami, sedikit memperhatikan keinginan orang lain. Logika ekspresif misalnya bisa ditemukan pada saat kita sedang marah. Logika konvensional memandang komunikasi sebagai permainan yang dilakukan secara teratur. Komunikasi dilakukan sebagai proses ekspresi berdasarkan aturan dan norma yang diterima bersama, maka komunikasi berlangsung sopan dan tertib. Logika retoris memandang komunikasi sebagai suatu cara mengubah aturan melalui


(52)

negosiasi. Pesan dirancang cenderung fleksibel, penuh wawasan, dan berpusat pada orang (Ardianto, 2007 : 164)

Berdasarkan logika pesan tersebut konstruktivisme ditinjau dari manajemen pemaknaan yang terkordinasi. Individu membuat interpretasi berdasarkan aturan–aturan sosialnya. Individu dalam situasi sosial pertama–tama didorong oleh keinginan untuk memahami apa yang sedang terjadi dan menerapkan aturan–aturan untuk mengetahui segala sesuatu. Pada tahap lanjutan individu bertindak atas dasar pemahaman mereka, dengan menggunakan aturan-aturan untuk memutuskan jenis tindakan yang sesuai. Pada titik inilah desain pesan dioperasikan oleh individu dalam tindak komunikasinya, desain pesan dilakukan agar tindakan dan pernyataan dapat menciptakan komunikasi yang interaktif.

3.2Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara kerja yang sistematis yang dipakai untuk memahami sesuatu subjek dan objek penelitian, sehingga hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.

Metode penelitian dalam penelitian ini adalah menggunakan metode kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam– dalamnya. Penelitian kualitatif melibatkan banyak metode dalam menelaah masalah penelitiannya. Penggunaan metode menurut Mulyana (2004: 5) ini di maksudkan agar peneliti memperoleh pemahaman yang komprehensif (holistik) mengenai fenomena yang diteliti, sehingga dapat menjelaskan fenomena yang sedalam–dalamnya. Dengan demikian, penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dapat memandang sesuatu baik hidup maupun benda atau lembaga yang sifat dan keadaannya akan diteliti.


(1)

BIODATA JOKO WIDODO

DATA DIRI

Nama Lengkap : Ir. H. Joko Widodo Nama Panggilan : Jokowi

Agama : Islam

Tempat Lahir : Surakarta, Jawa Tengah Tanggal Lahir : Rabu, 21 Juni 1961

Istri : Ny. Hj. Iriana Joko Widodo

Anak : Gibran Rakabuming Raka - Kahiyang Ayu - Kaesang Pangarep

PENDIDIKAN

SD Negeri 111 Tirtoyoso Surakarta SMP Negeri 1 Surakarta

SMA Negeri 6 Surakarta

Universitas Gajah Mada (UGM) Fakultas Kehutanan Jurusan Teknologi Kayu

KARIER

Ketua Asmindo Komda Solo Raya (2002-2004) Walikota Surakarta (2005-2012)

Gubernur Jakarta (2012-2014)

Presiden Republik Indonesia (2014-Sekarang)

PENGHARGAAN


(2)

Piala Citra Bhakti Abdi Negara (2008-2009-2010) - Presiden Republik Indonesia Agent of change Kemandirian - Dompet Dhuafa

Democracy Award: Manusia Bintang - RMOL Decade Award: Rising Leader - Men's Obsession E-government - Kemkominfo

Adiupaya Puritama - Kemenpera Best City Award - Delgosea Pengendali inflasi - Bank Indonesia

Tata ruang kedua terbaik se-Indonesia - Kementrian PU Top 50 Leaders dari Fortune

Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan - Kemennaker Bung Hatta Anti Corruption Award - Meutia Hatta Anti Gratifikasi - KPK

Program Perlindungan Anak - UNICEF Tahun 2006

Walikota No.3 Terbaik Dunia - The City Mayors Foundation

Social Media Award - Majalah Marketing & Frontier Consulting Group 10 Tokoh Pilihan Tahun 2008 - Tempo

Tokoh Pluralis Tahun 2013 - dari Lembaga Pemilih Indonesia Tokoh Seputar Indonesia Tahun 2013 - Anugerah Seputar Indonesia Good Governance Award (20 September 2012) - Soegeng Soerjadi Pencapaian target MDGs Untuk program KJP dan KJS - Bappenas Pangripta Nusantara Utama - Bappenas


(3)

FOTO JOKO WIDODO SAAT PEMBACAAN PIDATO KENEGARAAN

PERTAMA DAN SUASANA PELANTIKAN

(sumber: http://www.voaindonesia.com/content/presidenjokowi-ajak-semua-kalangan-bekerja-keras-membangun-indonesia/2489409.html)

(sumber: http://www.tribunnews.com/images/editorial/view/1380221/pelantikan-jokowi-jk-sebagai-presiden-wakil-presiden)


(4)

BIODATA PENELITI

I. Data Pribadi

Nama : Ria Theresia Situmorang Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 22 September 1993 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Katolik Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Jalan Sidodadi, Perumahan Villa Mutiara Johor II blok C No. 10, Medan

Email : ridiria@gmail.com

II. Pendidikan

1999 – 2005 : SD ST. Ignatius Medan

2005 – 2008 : SMP Methodist Pematangsiantar 2008 – 2011 : SMA RK Budi Mulia Pematangsiantar

2011 - Sekarang : Universitas Sumatera Utara Jurusan Ilmu Komunikasi

III.Organisasi

2013 - 2014 : Tutor Relawan Yayasan Pemimpin Anak Bangsa Cabang Medan

IV.Pengalaman Kerja

• Peserta Magang PT. Perkebunan Nusantara IV, Medan. Membidangi urusan Sekertariat Perusahaan selama bulan Agustus 2014.

• Peserta Praktek Kerja Lapangan Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Thailand di Bangkok. Membidangi urusan Protokol dan


(5)

Konsuler, Pendidikan dan Kebudayaan, Penerangan dan sosial budaya dan Politik selama bulan Juni sampai dengan Juli 2014.

V. Prestasi

• Peserta Seleksi Pertukaran Pemuda Antar Negara untuk Ship of Southeast Asia Youth Programme (SSEAYP) Wilayah Sumatera Utara Tahun 2013 • Peserta Seleksi XL Future Leader II Wilayah Sumut Tahun 2013

• Penerima Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara tahun 2013


(6)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jl. Dr. A. Sofyan No. 1 Telp. (061) 8217168

NAMA : Ria Situmorang

LEMBAR CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI

NIM : 110904054

Pembimbing : Drs. Hendra Harahap, M.Si

NO. TANGGAL

PERTEMUAN PEMBAHASAN

PARAF PEMBIMBING 1. 22 November 2014 ACC Seminar Proposal

2. 27 November 2014 Seminar Proposal 3. 12 Desember 2014 Diskusi Bab I, II, III 4. 22 Desember 2014 Penyerahan Bab I, II, III 5. 6 Januari 2015 Diskusi Bab IV

6. 20 Februari 2015 Penyerahan Bab IV 7. 2 Maret 2015 Revisi Pembahasan 8. 11 Maret 2015 Revisi Bab I, II, III, IV, V 9. 19 Maret 2015 ACC Meja Hijau

Catatan

Minimal pertemuan 6 (enam) kali untuk setiap pembimbing :