Analisis Wacana Kritis Terhadap Pidato Kenegaraan Presiden Soekarno pada Tanggal 17 Agustus 1966

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang Masalah

Bahasa adalah sebuah media komunikasi yang digunakan manusia dalam berinteraksi. Bahasa sebagai lambang bunyi yang arbitrer digunakan oleh masyarakat untuk berhubungan dan bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.1 Bahasa erat kaitannya dengan cara berpikir seseorang. Pola pikir seseorang terlihat dari cara ia membahasakan segala sesuatu hal.

Untuk dapat memahami bahasa, kita dapat melakukannya melalui kajian teks. Menurut Van Dijk2 teks sama dengan discourse, yaitu kesatuan dari beberapa kalimat yang satu dengan yang lain saling terikat erat. Pengertian satu kalimat harus dihubungkan dengan kalimat yang lain dan tidak dapat ditafsirkan satu-satu kalimat. Dengan kata lain, teks adalah satu kesatuan semantik bukan kesatuan gramatikal. Kesatuan yang bukan dikarenakan bentuknya tetapi kesatuan artinya. Teks adalah suatu contoh proses dan hasil dari makna dalam konteks situasi tertentu. Pemahaman terhadap teks tidak terlepas dari konteks yang menyertai teks tersebut. Teks dan konteks merupakan aspek dari proses yang

1

Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia, hal.94.


(2)

sama. Pengertian mengenai konteks tidak hanya meliputi hal-hal tertulis melainkan juga hal-hal yang tanpa kata atau nonverbal.3

Analisis wacana kritis merupakan salah satu metode dalam memahami bahasa tersebut. Menurut pandangan kritis bahasa merupakan representasi subjek tertentu, tema tertentu, dan strategi-strategi tertentu. Selain itu dalam pandangan ini wacana tidak hanya dipahami sebagai studi bahasa, tetapi juga dihubungkan dengan konteks yang berarti bahwa bahasa dipakai untuk tujuan praktik tertentu. Selain itu wacana juga merupakan bentuk dari praktik sosial yang berkaitan dengan situasi, institusi dan struktur sosial yang membentuknya. Analisis wacana kritis ini dapat digunakan untuk membedah teks atau bahasa, baik yang terdapat pada teks media ataupun teks yang berasal dari peristiwa komunikatif seperti pidato atau retorika.

Pidato merupakan hasil proses pemikiran seseorang yang dituangkan dengan berbicara kepada khalayak umum dengan memberikan urutan pemaparan dalam bentuk sistematis yang berupa sebuah topik informasi dengan tujuan khalayak pendengar dapat mengetahui dan mengikuti maksud komunikator tersebut.4 Pidato, retorika, dan propaganda sering kali dipakai sebagai alat komunikasi politik, karena ketiga-tiganya mempunyai bentuk, tujuan dan fungsi yang hampir sama yaitu untuk mempengaruhi orang lain agar dapat mengikuti kemauan dari orang yang melakukan ketiga kegiatan seni berbahasa tersebut.

3

M.A.K. Halliday dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hal. 6.


(3)

Berbicara mengenai komunikasi politik tentulah yang tergambar adalah unsur-unsur politik yang melingkupi dan mendasari kegiatan pidato, retorika dan propaganda.

Sebuah kelaziman bahwa setiap pemimpin, penguasa, elit politik, atau kelas berkuasa senantiasa memanfaatkan kekuatan bahasa untuk memperkuat konsolidasi guna mempertahankan kelangsungan kekuasaannya. Oleh karena itu, komunikasi politik yang dijalankan tidak terlepas dari penggunaan bahasa, istilah, simbol verbal, yang memfokuskan perhatian pada topik dan aspek tertentu. Pemakaian istilah, kata, kalimat dapat mengarahkan khalayak pada pikiran dan perasaan tertentu, bahkan dapat mempengaruhi perilakunya. Leksikon tertentu, misalnya, dipilih pejabat pemerintah untuk menekankan sikap politik dan pendapat, mengumpulkan dukungan, memanipulasi opini publik, mengkonstruksi kesadaran politik publik atau legitimasi kekuatan politik. Untuk itu, seorang komunikator akan menyeleksi topik pembicaraan, memilih latar wacana tertentu, memakai retorika tertentu, menyusun dan mengatur ucapan, memakai interaksi tertentu, dan sebagainya5.

Bahasa juga membatasi persepsi dan mengkonstruksi cara berpikir dan berkeyakinan khalayak. Pilihan kata (diksi) dan pemakaian gaya bahasa, kata, kalimat oleh komunikator adalah bagian strategi komunikator yang berkaitan erat dengan politik. Pemakaian kata, kalimat, gaya tertentu, tidak semata-mata

5

Jupriono, D. 2010. Analisis Wacana Kritis Latar Historis Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Parafrase Vol.3 No. 2 (September): 38-49.


(4)

dipandang sebagai cara berkomunikasi, tetapi harus pula dipahami sebagai politik berkomunikasi, sebagai cara untuk mempengaruhi opini publik, menciptakan dukungan, memperoleh legitimasi, dan juga menyingkirkan kelompok lawan.6

Pidato presiden memiliki posisi penting dalam wacana politik. Segala yang dikatakan Presiden lebih mempunyai pengaruh terhadap masyarakat dibandingkan pidato lainnya. Pidato Presiden selalu menunjukkan kebijakan publik, apa yang dikatakan oleh Presiden dianggap sebagai isu yang penting oleh pemerintah. Pidato Presiden juga mempengaruhi bagaimana masyarakat berpikir tentang realitas sosial politik yang ada.7

Sukarno merupakan Persiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945-1966. Sukarno dikenal dunia internsional sebagai pejuang dan konseptor kemerdekaan RI yang handal. Banyak konsepnya sangat dikagumi oleh dunia karena itu ia sering kali diundang oleh banyak negara. Undangan itu ia manfaatkan untuk mengungkapkan konsepnya tentang pembangunan dan perjuangan yang disampaikannya dengan menarik yang membuat orang terkagum padanya. Sukarno dikenal sebagai pejuang dan peletak dasar RI yang punya kemampuan berpidato yang baik yang dapat ditunjukkan di level internasional dan dalam negara Indonesia.

Periode 1965-1967 dapat dilihat sebagai masa peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto. Dalam buku sejarah versi pemerintah, masa ini

6

Jupriono D. Ibid. 7

Eriyanto. 2000. Kekuasaan Otoriter dari Gerakan Penindasan sampai Menuju Politik Hegemoni. Yogyakarta: Insist. Hal.


(5)

dilukiskan sebagai era konsolidasi kekuatan pendukung era orde baru (tentara, mahasiswa, rakyat) untuk membasmi Partai Komunis Indonesia (PKI) sampai ke akar-akarnya.8 Dari segi ekonomi keadaan saat itu juga sangat buruk. Harga membumbung tinggi, inflasi ratusan persen. Bahkan Presiden Sukarno menunjuk seorang Menteri Penurunan Harga yaitu Hadely Hasibuan, yang ternyata kemudian juga tidak berhasil melaksanakan tugasnya.

Buruknya situasi politik dan ekonomi saat itu, dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin memisahkan dan juga menghancurkan barisan pendukung Sukarno. Setelah mendapatkan Supersemar, Soeharto dalam hitungan jam langsung membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai partai terlarang. Para anggota partai ini dan ormasnya tidak boleh pindah atau ditampung oleh partai lain. Pada minggu yang sama Soeharto mengamankan 15 Menteri pendukung Sukarno.

Sukarno berusaha mengendalikan keadaan melalui pidato-pidatonya. Tidak banyak diketahui umum bahwa dalam masa peralihan kekuasaan kepada Soeharto, Presiden Sukarno sempat berpidato sedikitnya 103 kali. Dalam pidato-pidatonya ia mengungkapkan berbagai hal yang ditutupi bahkan diputarbalikkan selama Orde Baru. Dari pidato-pidato tersebut pula tergambar betapa sengitnya peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto.

8

Budi Setiyono & Bonnie Triyana. 2014. Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Sukarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara. Jakarta: Serambi. Hal. 18-19.


(6)

1.2. Perumusan Masalah

Pidato presiden memiliki posisi penting dalam wacana politik. Presiden lebih mempunyai pengaruh terhadap masyarakat dibandingkan pidato lainnya. Apa yang disampaikan oleh Sukarno melalui pidato-pidatonya merupakan bantahan terhadap apa yang ditulis oleh media massa. Tetapi diantara berbagai pidato yang disampaikan, pidato kenegaraan menempati posisi yang sangat penting.

Pidato kenegaraan telah berkembang menjadi suatu pola atau bentuk yang teratur, yang memberi landasan berguna untuk membandingkan antara satu pidato dengan pidato lainnya. Pidato kenegaraan itu disampaikan secara luas dan merupakan keterangan resmi presiden yang memuat berbagai tanggapan masalah yang muncul. Dengan demikian, pidato kenegaraan merupakan variasi resmi dari jargon, janiji, sarana untuk menyampaikan masalah atau prestasi yang telah dilakukan. Lebih jauh, pidato itu penting karena ia merupakan media pemerintah untuk mengukuhkan dan mengabsahkan apa yang telah dilakukan.

Pidato Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1966 merupakan satu-satunya pidato kenegaraan yang disampaikan pada rentang masa peralihan kekusaan. Setelah pemberontakan 30 September, pamor dan kejayaan Sukarno sebagai Presiden kian menurun. Untuk itu melalui pidato tersebut, Sukarno membangun kembali citranya dan berusaha menarik simpati rakyat Indonesia.


(7)

Hal menarik dari pidato ini adalah untuk menarik simpati rakyat tersebut dalam memperbaiki citranya, Sukarno membangun sebuah wacana „demokrasi terpimpin adalah demokrasi pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟. Untuk menguatkan wacananya tersebut, Sukarno menyebutkan sebuah istilah yaitu

crucial period. Kata ini ia sebutkan dalam pidato sebanyak 15 kali dengan 3 kali pengulangan.9 Sehingga menarik untuk meneliti pidato kenegaraan Presiden Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1966 dengan menggunakan metode analisis wacana kritis. Dengan begitu, pertanyaan penelitian dalam masalah ini adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan Crucial Period menurut alam pikir Sukarno? 2. Mengapa Sukarno menggunakan istilah crucial period dalam membentuk

wacana „Demokrasi Terpimpin merupakan demokrasi pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟?

3. Bagaimana wacana „demokrasi terpimpimpin merupakan demokrasi pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟ pada pidato kenegaraan ini terbentuk dan menjadi hegemonic discourse?

9

Pidato Presiden Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1966, Isi pidato dikutip dari buku Revolusi Belum Selesai (2014)


(8)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui arti dan makna dari Crucial Period dalam alam pikir Sukarno. Kita dapat melihat bagaimana Sukarno membentuk logikanya dalam membangun wacana di dalam pidato dengan mengetahui makna dari crucial period tersebut.

2. Untuk mengetahui mengapa Sukarno menggunakan istilah crucial period

dalam membentuk wacana „demokrasi terpimpin merupakan demokrasi pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟. Kita dapat memahami bagaimana pola wacana yang dibentuk oleh Sukarno dalam pidato kenegaraan ini dengan mengetahui alasan tersebut.

3. Untuk mengetahui apakah wacana yang dibentuk Sukarno dalam pidatonya menjadi sebuah hegemonic discourse. Sehingga, kita dapat memahami mengapa wacana tersebut menjadi sebuah wacana yang menghegemoni dan menjadi sebuah perdebatan di masa itu.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang dapat memberikan kontribusi mengenai studi analisis wacana, terkhusus pada pemikiran Sukarno melalui pidato kenegaraan yang disampaikannya.


(9)

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tidak hanya bagi peneliti, tetapi juga bagi akademisi lainnya di berbagai tingakatan pendidikan. Pengetahuan ini dapat berupa teori-teori wacana baik dari perspektif van Dijk, Foulcault, ataupun Laclau dan Mouffe. Selain itu, pengetahuan tentang bagaimana pemikiran Sukarno terlihat dan diwacanakan melalui pidatonya tentunya menjadi sesuatu yang bermanfaat.

3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat tentang studi analisis wacana terkhusus dalam meneliti pemikiran Sukarno melalui pidato yang disampaikannya.

1.5. kerangka Teori

1.5.1. Wacana Menurut Perspektif Michael Foucault

Tokoh analisis wacana kritis yang memberi banyak perhatian secara khas adalah Michael Foucault (1926-1984), seorang filosof kekuasaan berkebangsaan Prancis.10 Salah satu yang menarik dari konsep Foucault adalah tesisnya menegenai hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Foucault mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli lain. Kuasa menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam ruang lingkup dimana banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Menurut Faulcault, strategi kuasa berlangsung dimana-mana. Dimana saja terdapat susunan, aturan-aturan,

10 D. Jupriono, Yudhi Hari Wibowo, & Linusia Marsih. Teks Berita Konflik Pekerja PT Freeport


(10)

sitem regulasi, dimana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan dengan dunia, disitu kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan-aturan dan hubungan-hubungan itu dari dalam.11

Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai yang melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan. Bahasa menjadi alat untuk mengartikulasikan kekuasaan pada saat kekuasaan harus mengambil bentuk pengetahuan karena ilmu-ilmu terumus dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Kekuasaan-pengetahuan terkonsentrasi di dalam kebenaran pernyataan-pernyataan ilmiah. Oleh karena itu semua masyarakat berusaha menyalurkan, mengontrol dan mengatur wacana mereka agar sesuai dengan tuntutan ilmiah. Wacana seperti ini dianggap mempunyai otoritas. Pengetahuan tidak bersumber pada subyek, tetapi dalam hubungan-hubungan kekuasaan. “Kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan saling terkait. tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk sekaligus hubungan kekuasaan”. 12

Menurut Foucault, kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa. Pengetahuan tidak merupakan

11

Eriyanto, Opcit. Hal: 65 12

Haryatmoko. Kekuasaan-Pengetahuan Sebagai Rezim Wacana, Sejarah Sekasualitas: Sejarah Pewacanaan Seks & Kekusaan Menurut Foucault. Makalah Seri Kuliah Umum. Juni 2010. Dapat dilihat di


(11)

pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kekuasaan itu sendiri. Konsep ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengethuan yang melandasi kekuasaan. karena setiap kekuaasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Disini, setiap kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaraan tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.13

Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama normalisasi dan regulasi. Menurut Foucault, kuasa tidak bersifat subjektif. Kuasa tidak bekerja dengan cara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Strategi kuasa tidak bekerja melalui penindasan, melainkan melalui normalisasi dan regulasi, menghukum dan membentuk public yang disiplin. Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur dan disiplinkan lewat wacana. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial, dimana memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagi baik atau buruk, sebagai bentuk pengendalian perilaku. Jadi khalayak ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi dengan wacana dan mekanisme berupa aturan, prosedur, tata cara, dan sebagainya.14

13

Eriyanto, Opcit. Hal:67-68.


(12)

Kemudian, menurut Foucault ciri utama wacana ialah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi untuk membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai macam wacana yang berbeda satu sama lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana-wacana lainnya akan “terpinggirkan” (marginalized) atau “terpendam” (submerged).

Pandangan Foulcault ini dapat menjelaskan bagaimana relasi kekuasaan yang terbentuk ketika Presiden Sukarno membacakan pidato tersebut. Relasi tersebut dapat dilihat bagaimana Sukarno dengan kekuasaannya membentuk sebuah wacana melalui pidatonya. Selain itu, Sukarno juga menggunakan bahasa dalam pidatonya untuk mengartikuasikan kekuasaan. Relasi inilah yang akan dikaji menggunakan wacana dalam perspektif Foucault.

1.5.2. Analisis Wacana Teun Van Dijk

Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Di sini, harus juga dilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa seperti itu.

Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur teks. Van Dijk menggunakan analisis linguistik, yaitu tentang kosakata, kalimat, proposisi dan


(13)

paragraph untuk menjelaskan dan memaknai sebuah teks. Kognisi sosial merupakan dimensi untuk menjelaskan bagaimana suatu teks diproduksi oleh individu/kelompok pembuat teks. Cara memandang atau melihat suatu realiras sosial itu yang melahirkan suatu teks tertentu. Sedangkan analisis sosial melihat bagaimana teks itu dihubungkan lebih jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat atas suatu wacana.

1.5.2.1. Analisis Teks

Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro, yang merupakan makna umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan meihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu teks. Kedua, superstruktur, yang merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks secara utuh. Ketiga, struktur mikro, merupakan makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kalimat, kata , proposisi, anak kalimat, parafase, dan gambar. Berikut adalah uraian satu persatu elemen wacana Van Dijk:

Struktur

Wacana Hal Yang Diamati Unit Analisis

Struktur Makro TEMATIK (Apa Yang Dikatakan?) Elemen:

Topik/Tema Teks

Superstruktur SKEMATIK (Bagaimana pendapat Disusun dan

Dirangkai) Elemen: Skema Teks

Struktur Mikro SEMANTIK (Apa Arti Pendapat yang Ingin Disampaikan) Elemen: Latar, Detail, Ilustrasi, maksud, Pengandaian, Penalaran


(14)

Struktur Mikro SINTAKSIS (bagaimana Pendapat Disampaikan) Elemen: Koherensi, Nominalisasi, abstraksi, bentuk kalimat, kata ganti.

Kalimat, proposisi

Struktur Mikro LEKSIKON (Pilihan Kata Apa yang Dipakai)

Elemen: Kata kunci, Pemilihan kata Kata

Struktur Mikro Disampaikan) Elemen: Gaya, Interkasi, Ekspresi, RETORIS (Dengan Cara Apa Pendapat Metafora, Visual Image

Kalimat, proposisi

1.5.2.2. Kognisi Sosial

Dalam pandangan Van Dijk, analisis wacana tidak dibatasi hanya pada struktur teks, karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan atau menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Untuk membongkar bagaimana makna tersembunyi dari teks, kita membutuhkan suatu analisis kognisi dan konteks sosial, pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa, atau lebih tepatnya, proses kesadaran mental dari pemakai bahasa. Oleh karena itu dibutuhkan suatu penelitian atas representasi kognis idalam memproduksi suatu teks. Karena setiap teks pada dasarnya dihasikan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu.

1.5.2.3. Analisis Sosial

Salah satu dimensi dari analisis wacana Van Dijk adalah analisis sosial. Menurut Van Dijk, wacana merupakan bagian dari masyarakat yang berkembang dalam masyarakat, sehingga dengan meneliti teks perlu dilakukan analisis intertekstual dengan meneliti bagaianaman wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat. Titik penting dari analisis ini adalah untuk


(15)

menunjukkan bagaimana makna yang dihayati bersama, kekusaaan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi.

Dalam analisis mengenai masyarakat ini, ada dua poin yang penting yaitu kekusaan (power) dan akses (acces). Van Dijk mendefinisikan kekuasaan tersebut sebagai kepemilikan yang dimiliki suatu kelompok (atau anggotanya), satu kelompok untuk mengontrol kelompok (atau anggota) dari kelompok lain. Selain berupa kontrol yang bersifat langsung dan fisik, kekusaan yang dipahami oleh Van Dijk juga berbentuk persuasif, yaitu tindakan seseorang untuk secara tidak langsung mengontrol dengan jalan memengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan, sikap dan pengetahuan.

Van Dijk juga memberikan perhatian kepada akses, yaitu bagaimana akses diantara kelompok dalam masyarakat. Kelompok elit mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang tidak berkuasa. Oleh karena itu mereka yang berkuasa mempunyai kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi kesadaran khalayak. Akses yang lebih besar bukan hanya memberikan kesemaptan untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar tetapi juga menentukan wacana apa yang dapat disebarkan kepada khalayak.

Seperti yang diuraikan sebelumnya, Van Dijk berpendapat dalam melakukan analisis wacana ada tiga dimensi analisis, yaitu analisis teks, analisis kognisi sosial, dan analisis sosial kutural. Analisis teks dapat menjelaskan bagaimana pemikiran Sukarno serta wacana apa yang ingin dibangun dengan memperhatikan pemilihan kata, pengulangan kata, ataupun gaya bahasanya.


(16)

Seperti yang diuaraikan sebelumnya, bahwasanya dalam pidato kenegaraan ini, Sukarno mengangkat wacana demokrasi terpimpin merupakan demokrasi yang berasal dari pancasila dan demokrasi asli Indonesia. Kata crucial period

merupakan salah satu cara Sukarno membentuk wacana tersebut. Dengan menggunakan metode ini kita dapat mengetahui mengapa ia memilih istilah

crucial period untuk disampaikan di pidatonya, dan mengapa kata tersebut sampai ia sebutkan beberapa kali. Selain itu, metode ini juga digunakan untuk mengetahui teks-teks apa yang sangat erat kaitannya dengan artikulasi kekuasaan yang dilakukan Sukarno.

Sementara dengan menggunakan analisis kognisi sosial, kita dapat melihat ideologi ataupun pemikiran Sukarno yang ia tanamkan dalam setiap bahasa ataupun teks dalam pidatonya. Karena dengan menggunakan analisis ini, teks pidato yang ia sampaikan sebenarnya tidak bermakna apapun, tetapi ideologi, pemikiran dan kepercayaan Sukarno tentang sesuatu hal-lah yang membuat teks pidato tersebut memiliki makna. Dengan menggunakan analisis kognisi sosial ini, kita dapat melihat makna crucial period dalam alam pikir Sukarno. Dengan begitu, kita dapat melihat relasi antara makna crucial period dengan mengapa Sukarno menggunakan kata-kata tersebut.

Dan dimensi terakhir adalah analisis sosial kultural. Analisis ini menitikberatkan pada bagaimana wacana tentang suatu hal dikonstruksi di masyarakat. Analisis ini hampir mirip dengan pandangan Foulcault, yang menyatakan bahwa kekuasaan dapat menetukan sebuah wacana menjadi sebuah


(17)

wacana dominan, dan wacana lainnya menjadi terpinggirkan. Karena itu, analisis tidak akan peneliti gunakan dalam penelitian ini.

1.5.3. Antagonisme, Sistem Perbedaan & Persamaan dan Hegemoni

Antagonisme memainkan peran penting dalam teori diskursus Laclau dan Mouffe. Menurut Laclau dan Mouffe, antagonisme merupakan “a failure of difference” semenjak adanya keterbatasan-keterbatasan dalam obyektivitas sosial. Antagonisme memainkan peran penting dalam pembentukan identitas dan hegemoni, karena penciptaan suatu antagonisme sosial meliputi penciptaan musuh yang akan menjadi sesuatu yang penting bagi terbentuknya political frontier yang dikotomik. Antagonisme sosial membuat setiap makna sosial berkontestasi dan tidak akan pernah menjadi penuh/tetap (fixed), yang kemudian memunculkan

political frontier. Setiap aktor akan memahami identitas mereka melalui hubungan antagonistik, karena antagonisme mengidentifikasikan musuh mereka. Formasi hegemonik selalu memerlukan yang dibentuk di luar dirinya yang memiliki relasi antagonistik. Antagonisme sosial terjadi jika agen-agen hegemonik tidak mampu menjaga identitas mereka dan mengkonstruksi musuh mereka. Dalam hal ini, antagonisme menguak perbatasan dari batas-batas politik suatu formasi sosial sebagaimana ditunjukkan pada point di mana identitas tidak dapat lagi distabilkan dalam pemaknaan utuh dari suatu system of differences, tetapi dikontestasikan oleh kekuatan yang berdiri pada batasan tatanan tersebut. Menurut Laclau dan Mouffe, dalam hal identitas kolektif, akan selalu menghadapi penciptaan “kita” yang hanya dapat eksis hanya jika ada demarkasi dari “mereka”. Mouffe


(18)

menekankan bahwa relasi ini tidak perlu untuk selalu dilihat sebagai satu dari relasi kawan/lawan, yakni suatu relasi yang antagonistik. Tetapi hal tersebut harus diakui, dalam kondisi-kondisi tertentu selalu dimungkinkan dimana relasi kita/mereka ini dapat menjadi antagonistik, yakni itu dapat berubah menjadi suatu relasi kawan/lawan.15

Selain konsep antagonisme, sistem persamaan dan perbedaan, dalam teori diskursus Laclau juga dikenal dengan adanya konsep hegemoni. Menurut Laclau dan Mouffe, medan bagi munculnya hegemoni ialah medan bagi praktek-paktek artikulatoris, dengan kata lain suatu medan dimana „elemen-elemen‟ tidak terkristalisasi menjadi „momen-momen‟. Dalam suatu identitas relasional yang tertutup, dimana di dalamnya makna dari setiap momen telah fixed secara absolut, tidak ada ruang apapun bagi suatu praktek hegemonik. Namun Laclau dan Mouffe juga menambahkan bahwa agar adanya hegemoni, momen artikulasitoris saja tidaklah cukup. Artikulasi itu harus dijalankan lewat suatu konfrontasi dengan praktek-praktek artikulatoris yang antagonistik, yang dengan kata lain, hegemoni akan terjadi dalam suatu medan yang dipenuhi dengan antagonism-antagonisme dan arena itu mengandaikan adanya fenomena ekuivalensi dan efek-efek garis perbatasan.16

Sistem perbedaan dan persamaan yang diungkapkan oleh Laclau dapat menjelaskan bagaimana di dalam pidato tersebut terdapat terdapat antagonism-antagonisme. Sistem perbedaan ini menjelaskan bagaimana Sukarno yang

15

Ernesto Laclau & Chantak Mouffe. 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialis: Postmarxisme + Gerakan Sosial Baru. Jakarta: Resist Book. Hal: xli.


(19)

dahulunya menjalankan pemerintahan dengan demokrasi liberal, namun karena berbagai masalah yang terjadi dan ditambah dengan imajinasi Sukarno tentang dirinya dan pemikirannya (myth), kemudian Sukarno menciptakan sebuah musuh baru yaitu demokrasi liberal. Hal ini dilakukan guna menemukan dan mentransformasikan sebuah wacana baru yaitu wacana „demokrasi terpimpin merupakan demokrasi pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟. Sehingga pada akhirnya kita dapat melihat apakah wacana yang dikembangkan oleh Sukarno dalam pidatonya tersebut dapat menjadi sebuah hegemonic discourse.

1.6. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang yang dianggap berasal dari masalah sosial kemanusiaan. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema yang umum dan menfsirkan makna dan data.17


(20)

1.6.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif. Jenis penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan ihwal masalah masalah atau objek tertentu secara rinci. Penelitian deskriptif dilakukan untuk menjawab sebuah atau beberapa pertanyaan mengenai keadaan objek atau subjek amatan secara rinci.18

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam menyusun sebuah penelitian akan menjadi penting memilih sebuah teknik pengumpulan data yang tepat, yang akan sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian. Teknik pengumpulan data akan memungkinkan dicapainya pemecahan masalah secara valid dan reliabel, yang pada gilirannya akan memungkinkannya dirumuskannya generalisasi yang objektif.19

Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam melakukan penelitian ini adalah dengan melakukan pengumpulan data kepustakaan (library research). Bahan-bahan yang diambil sebagai data-data untuk penulisan tulisan ilmiah berasal dari tulisan-tulisan, maupun artikel yang terdapat dalam buku- buku, jurnal, makalah, media cetak, internet dan sejenisnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

18

Bagong Suyanto dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hlm 17-18.


(21)

1.6.3. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunaka analisa data kualitatif, yaitu dengan menekankan analisanya apada sebuah proses pengambilan kesimpulan secara induktif serta analisa pada fenomena yang sedang diamati dengan menggunaka metode ilmiah.20


(22)

1.7. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi tentang latar belakang permasalahan, perumusan maslah, pembatasan masalah, pertanyaan penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, kerangka teori serta metode penelitian.

BAB II : SUKARNO, MASA PEMERINTAHAN, DAN ISI PIDATO

KENEGARAAN 17 AGUSTUS 1966

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang biografi Sukarno, Masa pemerintahannya, serta isi Pidato Kenegaraan Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1966.

BAB III : WACANA DALAM PIDATO KENEGARAAN 17 AGUSTUS

1966

Dalam bab ini akan berisi tentang analisis data. Di bab ini penulis akan menguraikan apa yang dimaksud dengan crucial period dan mengapa Sukarno menggunakan istilah tersebut dalam membangun wacana. Setelah itu, peneliti akan menguraikan bagaimana wacana ini terbentuk dan menjadi sebuah hegemonic


(23)

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisi data dan memberikan saran atas hasil penelitian yang telah diperoleh.


(24)

Teks Pidato Kenegaraan Analisis Van Dijk Analisis Foulcault Analisis Laclau Analisis Teks untuk mengkaji pemilihan kata dan gaya bahasa.

Kognisi Sosial untuk mengkaji bagaimana bahasa

diberikan makna oleh si pemakai

bahasa Relasi Kekuasaan untuk mengkaji bagaimana bahasa dapat mengartkulasik an kekuasaan Sistem persamaan , sistem perbedaan dan Hegemoni Untuk memahami alampikir Sukarno mengenai crucial period, dan mengkaji bahasa yang dipakainya.

Untuk melihat kata-kata yang dapat mengartkulasikan kekuasaan serta efek

dari kata tersebut. untuk itu, kajian van

Dijk berhubungan erat dengan kajian

foulcault ini.

Untuk memahami bagaimana Sukarno

merekonstruksikan Demokrasi Liberal adalah musuh bangsa

Indonesia, sehingga

Menjawab pertanyaan: Apakah yang dimaksud crucial period?

Mengapa menggunakan istilah crucial period dalam membentuk

wacana „demokrasi terpimpin‟?

Bagaimana wacana tersebut dapat menjadi sebuah hegemonic discourse?


(1)

dahulunya menjalankan pemerintahan dengan demokrasi liberal, namun karena berbagai masalah yang terjadi dan ditambah dengan imajinasi Sukarno tentang dirinya dan pemikirannya (myth), kemudian Sukarno menciptakan sebuah musuh baru yaitu demokrasi liberal. Hal ini dilakukan guna menemukan dan

mentransformasikan sebuah wacana baru yaitu wacana „demokrasi terpimpin

merupakan demokrasi pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟. Sehingga pada akhirnya kita dapat melihat apakah wacana yang dikembangkan oleh Sukarno dalam pidatonya tersebut dapat menjadi sebuah hegemonic discourse.

1.6. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang yang dianggap berasal dari masalah sosial kemanusiaan. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema yang umum dan menfsirkan makna dan data.17


(2)

1.6.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif. Jenis penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan ihwal masalah masalah atau objek tertentu secara rinci. Penelitian deskriptif dilakukan untuk menjawab sebuah atau beberapa pertanyaan mengenai keadaan objek atau subjek amatan secara rinci.18

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam menyusun sebuah penelitian akan menjadi penting memilih sebuah teknik pengumpulan data yang tepat, yang akan sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian. Teknik pengumpulan data akan memungkinkan dicapainya pemecahan masalah secara valid dan reliabel, yang pada gilirannya akan memungkinkannya dirumuskannya generalisasi yang objektif.19

Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam melakukan penelitian ini adalah dengan melakukan pengumpulan data kepustakaan (library research). Bahan-bahan yang diambil sebagai data-data untuk penulisan tulisan ilmiah berasal dari tulisan-tulisan, maupun artikel yang terdapat dalam buku- buku, jurnal, makalah, media cetak, internet dan sejenisnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

18

Bagong Suyanto dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hlm 17-18.


(3)

1.6.3. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunaka analisa data kualitatif, yaitu dengan menekankan analisanya apada sebuah proses pengambilan kesimpulan secara induktif serta analisa pada fenomena yang sedang diamati dengan menggunaka metode ilmiah.20


(4)

1.7. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi tentang latar belakang permasalahan, perumusan maslah, pembatasan masalah, pertanyaan penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, kerangka teori serta metode penelitian.

BAB II : SUKARNO, MASA PEMERINTAHAN, DAN ISI PIDATO KENEGARAAN 17 AGUSTUS 1966

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang biografi Sukarno, Masa pemerintahannya, serta isi Pidato Kenegaraan Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1966.

BAB III : WACANA DALAM PIDATO KENEGARAAN 17 AGUSTUS 1966

Dalam bab ini akan berisi tentang analisis data. Di bab ini penulis akan menguraikan apa yang dimaksud dengan crucial period dan mengapa Sukarno menggunakan istilah tersebut dalam membangun wacana. Setelah itu, peneliti akan menguraikan bagaimana wacana ini terbentuk dan menjadi sebuah hegemonic


(5)

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisi data dan memberikan saran atas hasil penelitian yang telah diperoleh.


(6)

Teks Pidato Kenegaraan Analisis Van Dijk Analisis Foulcault Analisis Laclau Analisis Teks untuk mengkaji pemilihan kata dan gaya bahasa.

Kognisi Sosial untuk mengkaji bagaimana bahasa

diberikan makna oleh si pemakai

bahasa Relasi Kekuasaan untuk mengkaji bagaimana bahasa dapat mengartkulasik an kekuasaan Sistem persamaan , sistem perbedaan dan Hegemoni Untuk memahami alampikir Sukarno mengenai crucial period, dan mengkaji bahasa yang dipakainya.

Untuk melihat kata-kata yang dapat mengartkulasikan kekuasaan serta efek

dari kata tersebut. untuk itu, kajian van

Dijk berhubungan erat dengan kajian

foulcault ini.

Untuk memahami bagaimana Sukarno

merekonstruksikan Demokrasi Liberal adalah musuh bangsa

Indonesia, sehingga

Menjawab pertanyaan: Apakah yang dimaksud crucial period?

Mengapa menggunakan istilah crucial period dalam membentuk

wacana „demokrasi terpimpin‟?

Bagaimana wacana tersebut dapat menjadi sebuah hegemonic discourse?