Haniwa dalam kofun pada zaman Yamato

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HANIWA DALAM KOFUN PADA ZAMAN
YAMATO

2.1 Zaman Yamato

Zaman Yamato dibagi menjadi dua yaitu zaman Kofun (250 M – 550 M) dan
zaman Asuka (550 M – 710 M). Pemberian nama Yamato didasarkan atas daerah
kekuasaan negeri Yamato. Daerah kekuasaannya meliputi Honshū bagian selatan dan
Kyūshū bagian utara. Saat itu Jepang terdiri dari daerah-daerah yang diperintah oleh
gabungan-gabungan keluarga yang disebut Uji (klan). Kepalanya disebut Uji no kami
atau Ujigami. Nantinya akan disebut Tennō. Masyarakat dalam organisasi klan itu
adalah golongan bangsawan. Tiap klan mempunyai golongan pekerja dan budak.
Bertani padi menjadi dasar perekonomian saat itu.

Setelah mengalami perpecahan zaman dan kekacauan politik selama tiga
setengah abad, Cina kembali menjadi negara kesatuan. Keadaan politik di Cina
tersebut membuat Jepang meniru sistem politik di Cina mengenai pemusatan
kekuasaan. Tahun 593 M terjadi peristiwa penting dalam sejarah politik Jepang.
Susunan masyarakat Jepang yang berinti pada Uji harus diubah karena pertambahan
penduduk yang tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi dan harus mengalami

perubahan. Perubahan susunan masyarakat itu merubah pula susunan politik. Tahun

593 M, Shotoku Taishi diangkat menjadi Sesshō (penasehat bagi Tennō yang belum
dewasa) bagi Tennō puteri Suiko. Dengan demikian Taishi memegang pimpinan
negara. Ia mengubah susunan jabatan-jabatan tinggi di istana yang saat itu dijabat
oleh kepala-kepala klan turun-temurun, diganti dengan susunan baru. Siapa saja dapat
memangku suatu jabatan sesuai dengan kecakapan dan jasanya.

Tahun 604 M disusun 17 aturan. Dalam peraturan itu antara lain
disebutkan supaya agama Buddha dihormati, keluhan rakyat harus diperhatikan dan
mendapat penyelesaian yang adil, petani-petani harus diperlakukan dengan baik, dan
sebagainya. Tetapi apa yang diusahakan Taishi tersebut baru berupa cita-cita yang
tidak dapat dengan segera dilaksanakan, yaitu cita-cita membentuk Jepang menjadi
negara nasional. Baru pada tahun 645 M konsepsi tersebut terwujud. Pada tahun itu,
keluarga dari klan Soga yang punya pengaruh besar dalam pemerintahan Tennō sejak
tahun 587 M, dijatuhkan oleh pangeran Naka no Oe dengan bantuan Fujiwara.
Setelah itu diadakan pembaharuan-pembaharuan dalam lapangan politik dan sosial
yang berlangsung hingga 702 M. Gerakan pembaharuan itu dikenal dengan sebutan
Reformasi Taika. Yang jadi tangan kanan Naka no Oe dalam perebutan kekuasaan
dengan keluarga Soga ialah Fujiwara (no) Kamatari Dalam tahun 661 M, Naka no

Oe naik tahta sebagai Tennō bergelar Tennō Tenji.
Asas-asas pembaharuan itu dijalankan dengan berangsur-angsur selama
beberapa puluh tahun dan seringkali peraturan-peraturan pembaharuan tinggal di atas
kertas. Seluruh negeri dan rakyat ditaruh langsung di bawah kekuasaan Tennō. Tanah
pertanian dibagi antara rakyat atas dasar peraturan yang sama (sistem Kōchikōmin).

Semua penduduk didaftarkan untuk tujuan pembagian tanah dan pemungutan pajak.
Daerah negara dibagi dalam kuni (propinsi) dan kori atau gun (distrik). Pemerintahan
disusun dengan mencontoh kepada Cina, pemerintah pusat mengangkat pegawaipegawai untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan. Dalam rangka
pembaharuan-pembaharuan itu, disusun undang-undang bernama Ritsu-ryō (Ritsu
adalah kitab undang-undang hukum pidana dan Ryō terdiri dari undang-undang
hukum tatanegara dan hukum sipil). Disusun menurut contoh undang-undang dinasti
Tang di Cina. Penyusunan kitab-kitab, undang-undang itu baru selesai pada tahun
701 M dan terkenal dengan sebutan Taihō Ritsu-ryō (pada tahun 718 M sebagian
diubah dan diberi nama baru Yōrō Ritsu-ryō). Undang-undang itu dengan
perubahannya menjadi dasar hukum Jepang hingga sekarang.
Pembaharuan-pembaharuan menghasilkan suatu susunan yang tampak dari luar
sebagai pembentukan pemerintahan pusat, tetapi sebenarnya memupuk susunan
aristokrasi baru. Pembaharuan itu tidak mendapat perlawanan karena tidak
menghapuskan sama sekali hak-hak istimewa yang tertumpuk pada golongan lapisan

atas dari masyarakat. Orang-orang lapisan atas itu masih tetap dalam kedudukan yang
menguntungkan, hanya dalam bentuk yang berubah, sedangkan kedudukan rakyat
jelata pada umumnya tidak bertambah baik. Dalam pembaharuan susunan
pemerintahan itu, keluarga dari klan Fujiwara mencapai kedudukan, yang
menggenggam kekuasaan yang sebenarnya di dalam negara. Dasar dari kedudukan itu
diletakkan oleh Fujiwara Kamatari, tangan kanan Naka no Oe ketika meruntuhkan
kekuasaan kelurga dari klan Soga. Walaupun pembaharuan-pembaharuan dilakukan

dengan mencontoh Cina, tidak semuanya yang dari Cina ditiru. Anggapan mengenai
Tennō sebagai keturunan Dewi Matahari tidak berubah.
Pada zaman Asuka nama negara diganti dari Yamato atau Wa menjadi Nihon
atau Nippon. Zaman Asuka (550 M – 710 M) berlangsung ketika pusat pemerintahan
berada di Asuka (sekarang Nara).

2.2 Masyarakat Pada Zaman Yamato

Selama empat abad Yamato dapat menaklukkan sebagian besar tanah Jepang
bagian utara Honshu dan Kyushu selatan masih belum ditaklukkan. Peperanganpeperangan yang sering dilakuakan itu memberikan watak kemiliteran kepada
masyarakat Yamato. Tiap daerah yang ditaklukkan pada umumnya tidak dirampas,
kecuali daerah-daerah yang didiami bangsa Ainu. Kepala-kepala daerah itu mengakui

Tenno sabagai Suzerein. Sampai tahun 645M belum terbentuk kerajaan Jepang
dengan pemerintahan yang dipusatkan. Jepang terdiri dari daerah-daerah yang
diperintah oleh gabungan-gabungan keluarga, gabungan keluarga itu disebut klan dan
bersifat patriachal. Angggota-anggota tiap klan mengakui mempunyai leluhur yang
sama, yang biasanya disebut Ujigami (klan dewa). Kepala klan berfungsi sebagai
pendeta tertinggi terhadap dewa klan dan fungsi sakral itu memberikan kekuasaan
politik padanya. Kepala klan dan keluarganya yang langsung (menurut garis
keturunan yang lurus) biasanya mempunyai gelar-gelar yang turun temurun, yang
diatur menurut hierarki.

Masyarakat yang tersusun dalam organisasi klan itu adalah golongan
bangsawan.tiap klan mempunyai tanah sendiri dan rakyat yang diperintah terdiri dari
golongan krya (pekerja), dan sejumlah budak- budak. Golongan krya diatur didalam
organisasi –organisasi yang disebut be atau tomo. Pekerjaan yang dilakuakan tiap
anggota tiap kelompok tetap dan turun temurun. Mereka itu merupakan dasar bagi
perekonomian tiap-tiap klan. Klan yang terkemuka ialah klan yang di kepalai oleh
Tenno. Walaupun gelar tenno disamakan dengan sebutan kaisar, hal itu tidak boleh
diartikan bahwa Tenno-Tenno yang terdahulu sudah memerintah sebagai kaisar atau
raja. Ia itu harus dianggap sebagai seorang yang terkemuka diantara sesamanya (yaitu
kepala-kepala klan), fungsinya yang terutama bersifat sakral. Baru pada kira-kira

tahun 400M kedudukan Tenno benar-benar teguh, yaitu pada masa pemerintahan
Tenno Nintoku (menurut sejarah jepang: 310-399 M) Tenno yang ke 16. Walaupun
kekuasaan Yamato diperintahkan oleh kaisar, namun yang menjalankan roda
pemerintahan adalah kepala para klan (Goozoku), yang merupakan pembantu kaisar.
Sistem ini berlangsung sampai abad ke-7 (I Ketut Surajaya, 1993:6).
Struktur Masyarakat pada zaman ini mencerminkan adanya struktur kelaskelas dalam masyarakat. Keturunan Tenno merupakan kelas yang tertinggi,
sedangkan Goozoku dan masyarakat biasa berada dibawah Tenno, tanah dimiliki
oleh Tenno dan Goozoku secara langsung. Para penghuni tanah memiliki kewajiban
mengolah tanah dan membuat bermacam-macam perlengkapan yang dibutuhkan oleh
pihak istana.

Kehidupan sosial masyarakat Jepang Matsurigoto yang berarti pemerintahan
atau upacara keagamaan. Awal periode zaman Yamato, kepercaan masyarakat
sebagian besar bersifat animistik dan pemujaan terhadap alam. Kepercayaan rakyat
Jepang pada zaman ini terbentuk dari kepercayaan religius, sebagai unsur-unsur
agama Shinto. Agama shinto adalah agama asli Jepang. Agama shinto terpusat pada
pemujaan animistik, gejala-gejala alam, gunung, air, dan seluruh proses penguburan
dijadikan objek pemujaan. Simbol, ritus, dan perayaan keagamaan didalam kehidupan
kuil-kuil sarat dengan mistik. Shinto merupakan jalan kami (dewa) yang menyatu dan
menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan orang Jepang. Kata

Shinto tersusun dari dua ideograph yaitu (shin) yang disamakan artinya dengan kami
diartikan dewa atau kedewaan. Dan ( do atau to) yang disamakan dengan mishi yang
berarti jalan. Secara harfiah dapat diartikan sebagai jalan kami. Kami adalah objek
sembahyang dalam agama Shinto, dalam agama shinto segala sesuatu dipandang
sebagai kami atau paling tidak mempunyai potensi untuk menjadi kami (sutrisno,
1993:119).

2.2.1 Stuktur Masyarakat
Periode sejarah Jepang dimulai sekitar abad ke-4 sampai abad ke-6 masehi.
Zaman ini ditandai dukungan terhadap tahta Yamato yang semakin kuat dengan
pembangunan Kofun (250 M- 710 M), pemberian nama Yamato didasarkan pada
daerah kekuasaan negeri Yamato. Daerah kekuasaannya meliputi Honshu bagian

selatan dan Kyushu bagian utara. Saat itu Jepang terdiri dari daerah-daerah yang
diperintahkan oleh gabungan-gabungan keluarga yang disebut UJi (klan), kepala Uji
disebut Uji no Kami atau Ujigami, dan akhirnya disebut Tenno. Masyarakat dalam
organisasi klan itu adalah golongan bangsawan seperti klan otomo, klan Mononobe,
dan klan Soga. Setiap klan yang berkuasa mempunyai golongan pekerja dan budak.
Kekuasaan tertinggi pada zaman Yamato di perintahkan oleh seorang Kaisar, namun
walau kaisar adalah pemimpin tertinggi di Negara Jepang yang menjalankan

pemerintahan bukan lah kaisar melainkan kepala para klan (Goozoku), yang
merupakan pembantu kaisar. Sistem pemerintahan ini berlangsung sampai
pertengahan abad ke-7 (i ketut Surajaya, 1993 :6). Struktur masyarakat pada zaman
Yamato terdiri dari susunan kelas-kelas dalam masyarakat. Keturunan Tenno adalah
kelas tertinggi dalam suku Yamato, kemudian Goozoku yang berada dibawah Tenno
dan sekaligus sebagai pembantu Tenno yang menjalankan pemerintahan, tanah yang
berada dalam kekuasaan Yamato dimiliki oleh Tenno dan Goozoku secara langsung.
Para penghuni tanah yaitu masyarakat kalangan bawah di Yamato berkewajiban
mengolah tanah dan hasil dari pengolahan tanah dan pertanian diserahkan kepada
pihak istana. Selain mengolah tanah masyarakat kelas bawah juga di tuntut untuk
membuat bermacam-macam kebutuhan istana dan kebutuhan para bangsawan yang
berkuasa.
Mata pencaharian masyarakat pada zaman Yamato hampir sama dengan
masyarakat zaman Yayoi, diantaranya pembuat barang tembikar, tukang kayu, tukang
besi, pembuat atau memintal benang menjadi kain, dan yang paling utama adalah

pertanian, karena dengan bertani mereka mulai bergerak menuju hidup yang lebih
layak dan lebih maju. Dengan kuatnya pengaruh pemerintahan pada zaman itu desadesa yang penduduknya bertani mulai berubah menjadi Negara-negara kecil, senjata
yang dulu hanya digunakan untuk mempermudah pekerjaan, kemudian mulai
dikembangkan menjadi alat-alat untuk berperang,dan kemudian mulai dibangunm nya

banteng-benteng pertahanan disetiap daerah nya.
Dengan perkembangan peradaban di Yamato maka kehidupan masyarakatpun
mulai meningkat, yaitu ditandai dengan dibangun nya rumah-rumah pemukiman,
bentuk rumah pada zaman Yamato yaitu bentuk rumah berlantai tinggi yang didirikan
pada tiang-tiang yang tinggi, gaya rumah berlantai tinggi ini pada mulanya hanya
diperuntukkan bagi kalangan atas dan bangsawan saja, namun kemudian rakyat biasa
mulai membangun rumah dengan bentuk yang sama.

2.2.2 Kepercayaan Masyarakat
Kepercayaan masyarakat pada zaman Yamato adalah terdiri dari unsur-unsur
agama Shinto. Agama Shinto percaya kepada banyak dewa, Bagi masyarakat Jepang
kuno, tuhan mereka adalah banyak, yang diantaranya memiliki cirri-ciri manusia,
seperti halnya dewa-dewa orang yunani kuno. Dewa orang Jepang kuno menghuni
setiap tempat alam yang kuat, seperti sungai, angin, api, gunung, dan khususnya
matahari sebagai tempat seluruh kehidupan bergantung. Kepercayaan terhadap
matahari

ini

disebut


Shinto,

yang

berarti

“jalan

dewa”.

Shinto

dalam

perkembangannya mengajarkan tidak hanya menyembah kekuatan alam saja, tetapi
juga mengajarkan untuk menyembah leluhur mereka. Lebih dari itu, karena Shinto
mengajarkan bahwa pada dasarnya setiap manusua itu baik, Shinto juga mengajar
manusia untuk mempercayai setiap dorongan yang berasal dari hati mereka. Lamakelamaan Shinto menggabungkan pemujaan terhadap dewa Matahari dengan tradisi
pemujaan bahwa para Kaisar Jepang adalah keturunan dewa Matahari dan

menyatakan bahwa kaisar adalah Dewa. Kata Shinto tersusun dari dua kata yaitu
(shin) yang disamakan artinya dengan kami diartikan dewa atau kedewaan. Dan (do
atau to) yang disamakan artinya dengan mishi yang bearti jalan.jadi dapat diartikan
bahwa Shinto merupakan jalan kami.
Awal periode zaman Yamato, kepercayaan masyaraakat sebagian besar
bersifat animistik dan pemujaan terhadap alam. Agama Shinto terpusat pada
pemujaan animistik, gejala-gejala alam, gunung-gunung, air, dan seluruh proses
penguburan dijadikan objek pemujaan. Para leluhur yang tetomistik ( aliran yang
percaya bahwa suatu binatang atau benda yang mempunyai hubungan darah dengan
suatu keluarga atau kelompok social tertentu dank arena itu memakai lambing),
dimasukkan ke dalam Kami atau dewa (Edwin O. Reischaver 1982:286). Dewa-dewa
dipuja dengan mengadakan korban, doa, dan pesta yang diadakan di tempat suci.
Tempat-tempat suci ini dipersembahkan kepada leluhur kekaisaran. Dalam ajaran
Shinto memusatkan diri kepada penghormatan terhadap kaisar. Kaisar tidak hanya
sebagai pemimpin Negara tetapi juga sebagai pendeta utama bagi seluruh rakyatnya.

Pada saat Jepang disatukan oleh kaisar Yamato, hubungan Jepang dengan
Negara tetangga nya seperti Korea dan Cina semakin erat. Negara Korea merupakan
daerah penting karena merupakan daerah perlintasan kebudayaan agama yang
mendapat pengaruh dari cina. Menurut sejarah Jepang dalam Nihon Shiki, Budhisme

masuk ke Jepang sekitar abad ke-6 yaitu sekitar 552 M, minat para bangsawan Jepang
terhadap agama Budha pertama masuk nya budha ke Jepang ada yang menolak dan
ada juga yang menerima. Kaisar menerima agama budha tersebut dan klan Shoga
berpendapat bahwa Jepang seharusnya mengikuti contoh Negara lain, yaitu menerima
agama Budha dengan tangan terbuka. Namun berbeda dengan klan Monotabe dan
klan Nakatomi yang berpendapat bahwa itu adalah penghinaan terhadap Tuhan
mereka jika menerima agama Budha. Dengan masuk dan berkembangnya agama
Budha di Jepang membuat agama Shinto menjadi kurang kuat, tetapi agama Shinto
tidak punah walaupun pengaruh agama Budha semakin meningkat. Tidak satu agama
pun dari keduanya memerintahkan seseorang agar keluar dari agamanya sehingga
kedua penganut agama itu dapat hidup berdampingan dan bahkan hingga kini.

2.2.3 Kebudayaan Pada Zaman Yamato
Kebudayaan pada zaman Yamato merupakan perkembangan kebudayaan pada
zaman sebelumnya dan kebudayaan yang masuk dari Cina dan Korea. Setiap periode
kebudayaan memiliki ciri-ciri yang membedakannya, seperti kebudayaan periode
Jomon diketahui dari cirri pada bejana tembikar dengan hiasan tali tambang, dan

kehidupan masyarakat yang masih mengembara, berburu hewan, serta memancing,
corak hias tembikar dan hiasan pinggir berbentuk lidah api menunjukkan cita rasa
yang halus dan semangat hidup dari masyarakatnya. Daya cipta dan kesederhanaan
masyarakat Jomon terungkap jelas pada bejana-bejana tembikar yang dikenal sebagai
gerabah Joomon. Kesannya kadang-kadang sederhana, kadang-kadang mencolok juga
memperlihatkan vitalitas seakan terlukis debaran jantung orang-orang yang hidup
dalam perjuangan tak henti-hentinya melawan alam yang tidak kenal belas kasihan.
Sedangkan periode Yayoi diketahui dari kebudayaan yang erat kaitannya
dengan pertanian dan cara menanam padi disawa, dengan berkembangnya budaya
bertani di Jepang maka kehidupan masyarakatnya sudah mulai menetap dan produksi
pertanian semakin bertambah, kemudian periode Kofun diketahui dari cirri-ciri
dengan adanya kuburan besar, kuburan besar itu merupakan makam dari bangsawan
Jepang yang mempunyai kekuasaan didaerahnya.
Pada zaman Yamato arsitektur yang paling populer di zaman ini adalah
kuburan kuno (kofun). Kofun adalah kuburan kuno untuk mengubur mayat dalam peti
mati. Kofun adalah makam kaisar atau bangsawan dengan tanah yang dibuat
membukit yang menempati lokasi yang berbentuk perpaduan lingkaran dan persegi
empat seperti lubang kunci. Dari kata kofun ini menjadi dasar penamaan pada zaman
ini (zaman kofun). Untuk keluarga Tenno dan keluarga bangsawan dibuat bukit-bukit
kuburan. Kuburan untuk Tenno disebut Misasagi. Kuburan untuk Nintoku Tenno
(meninggal sekitar 400M). Mempunyai ukuran yang sangat besar. Kuburan itu
termasuk kuburan terbesar didunia. Panjangnya kira-kira 1700kaki, tingginya lebih

dari 100 kaki dikelilingi parit dan luasnyya (terhitung paritnya) kira-kira 80 acres (1
acre=4047m2). Di dalamnya terdapat cermin, perunggu,pedang, zirah, helm dan ikat
pinggang dari perunggu atau besi, manik-manik kecil berbentuk bulan sabit itu
sebesar kuku dan disebut Magatama.
Disekitar kofun biasanya terdapat Haniwa yaitu barang-barang yang terbuat
dari tanah liat yang ditempatkan dengan teratur disekeliling makam. Biasanya
Haniwa ini berupa orang, binatang piaraan, perabot rumah tangga, perkakas, dan
dapat memberikan gambaran tentang kehidupan pada masa ini.
Hasil karya masyarakat pada zaman Yamato yaitu dalam pembuatan kofun
menimbulkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan yang
dipercaya melindungi masyarakat dari lingkungan alamnya. Periode budaya kofun
yang dimulai pada abad ke-3M, merupakan kelanjutan dari akhir zaman Yayoi,
kelanjutan ini dipandang dari sudut arkeologi dan benda- benda peninggalan seperti
alat pertanian, cermin, dan pedang yang ditemukan di dalam kofun.
Pola-pola dasar kebudayaan kofun sudah diletakkan pada zaman Yayoi, yakni
sekitar abad ke-3 SM sampai abad ke-3M. Pembuatan kofun oleh dinasti Yamato
merupakan sebuah simbol kekuasaannya. Simbol adalah suatu tanda dimana relasi
diantara tanda dengan denotatumnya ditentukan oleh suatu pengaturan yang berlaku
umum dan juga ditentukan oleh suatu konveksi atau kesepakatan umum, (Ady Rosa
dalam Ikip Padang Press,1996:107).

Menurut Jurahman (2002:02) pada periode kofun, Jepang telah dipersatukan
dibawaah dinasti Yamato, dan kebudayaan ini berhubungan erat dengan masuknya
kebudayaan Korea yang merupakan jalur masuknya unsur kebudayaan yang berasal
dari Cina.

2.3 Defenisi kofun
Kofun adalah gundukan tanah yang dibuat dengan membentuk sebuah
kuburan. Kuburan ini merupakan produk zaman Yamato yang muncul pada abad ke-3
M. periode kofun ini merupakan kelanjutan dari periode akhir Yayoi. Kofun yang ada
pada zaman Yamato merupakan makam-makam dari raja dan bangsawan yang berada
disekeliling keluarga istana, kofun yang dibuat oleh kaisar Yamato menunjukkan
bahwa pada saat itu kaisar telah memulai membentuk suatu sistem sosial politik
untuk mengendalikan rakyat dan bangsa lain. (www.wikipedia.com)

2.3.1 Kofun di jepang
Kofun (gundukan kuno) mengacu pada gundukan pemakaman besar
pembangun di Yamato setelah pertengahan abad ketiga dan dibedakan dari funkyu-bo
(gundukan bukit) dari periode yayoi. Banyak jenis gundukan dibangun tetapi ciri khas
dari kofun periode adalah “lubang kunci makam”yang di kenal dengan sebutan zenpo
kofun. Gundukan makam awal periode Kofun dibangun di daerah Kinai ( Kyoto-

Nara-Osaka ). Dari sana bangunan makam menyebar ke Kyushu bagian Utara melalui
wilayah Laut pedalaman pada awal abad keempat. Makam awal memiliki gundukan
baik berbentuk bulat maupun yang berbentuk lubang kunci. Makam lubang kunci
pada bagian depan berbentuk persegi panjang sedangkan bagian belakang berbentuk
gundukan bulat (前方後円墳). Gundukan depan mungkin awalnya berfungsi sebagai
tempat untuk upacara penguburan, pemakaman biasanya berada di gundukan
belakang.
Dari pertengahan zaman yayoi hingga ke awal periode yamato, gundukan
agak besar ( funkyubo ) biasanya berbentuk bukit atau membentang dari china ke
shikoku di bagian barat dataran kanto di timur laut. Biasanya berbentuk persegi dan
dikelilingi parit dan selokan, mirip dengan yang ditemukan di China dan Asia utara.
Sebelum gundukan berbentuk lubang kunci menjadi standar pemakaman bangsawan
era yamato, maka sebelumnya berbagai bentuk gundukan makam ditemukan
diseluruh Jepang.
Pada akhir zaman yayoi, beberapa gundukan menjadi lebih besar ( antara
panjang 40-80 meter ) dan beberapa dari akhir gundukan pada abad kedua diketahui
telah berevolusi bentuk lubang kunci ( misalnya hashihaka dan hokenoyama dan
kurozuka ) mirip dengan gundukan khusus zaman yamato. Ditemukan sejumlah
gundukan batu makam di prefektur Chiba dan prefektur Nara. Gundukan awal yang
dibangun pada puncak bukit yang terdapat di prefektur Chiba dan Nara, biasanya
ditempati oleh jasad pemimpin para komunitas pertanian dibawah kendali mereka,
tapi belum termasuk makam para kaisar dan keluarga kekaisaran Yamato.

Gundukan bulat hadir dari periode awal Yamato, ditempati oleh bangsawan
biasa, oleh keluarga abad ke 6 awal pemimpin dimakamkan di gundukan dan lubang
liangnya berkerumun disekeliling bukit. Gundukan berbentuk standar, Gundukan
besar lubang kunci terkenal tidak muncul sampai akhir zaman Yayoi atau awal
periode Yamato, awal diantara mereka muncul di sudut barat daya dari perbatasan
yamato dekat Gunung Katsuragi dan ditimur laut dari kaki gunung Miwa, akhirnya
mereka menyebar disepanjang sungai yamat, dan kemudian jauh ke ujung Jepang
seperti Echizen, Izumo. Gundukan Lubang Kunci di Kyushu yang terbesar adalah
Mesahozuka dan Osahozuka terletak dalam kawasan Saitobaru ) menurut para Ahli
berasal dari abad pertengahan ke 3. Gundukan makam berbentuk lubang kunci
dibangun secara berurutan, sering berbaris atau berdasarkan tingkat status, dan
menjadi gundukan standar untuk penguasa peringkat tertinggi dan raja serta selir.
Biasanya Gundukan makam tersebut dibangun oleh para prajurit dan Abdi kaisar,
serta dibantu oleh masyarakat setempat, karena masyarakat menghormati pemimpin
mereka.
Selama hampir 400 Tahun antara abad 2 sebelum masehi samapai abad ke 3
masehi, tokoh-tokoh berpengaruh di seluruh kepulauan Jepang memberikan
kontribusi yang sangat besar dalam pembangunan kuburan mereka, yang dikenal
sebagai kofun. Bentuknya bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk.
Ada empat jenis utama dari kofun :

Zenpō koen fun ( makam depan bulat, belakang persegi berbentuk lubang kunci)前方
子円墳
Zenpō kohō fun ( makam depan persegi belakang persegi berbentuk lubang kunci ) 前
方子方墳

Enpun ( makam lingkaran )

円墳

Hōfun ( makam persegi ) 方墳
Membandingkan contoh ukuran terbesar setiap jenis, Zenpo-koen-adalah yang
terbesar, diikuti oleh zenpō, kohō, enpun dan hōfun.

www.Let.Osaka-u.ac

Gambar : Kofun Hirarki ( Ilustrasi asli oleh Prof.Tsude Hiroshi ), mengambil
pemberitahuan dari perbedaan ukuran antara 4 buah makam dan berpendapat bahwa
bentuk gundukan pemakaman mewakili garis keturunan dan status dari orang yang
dimakamkan, dengan ukuran yang menunjukkan kekuasaan. Dia berhipotesis bahwa
tokoh-tokoh berpengaruh didaerah diseluruh kepulauan Jepang memiliki prinsipprinsip tertentu dalam membangun makam mereka, dan teori ini disebut “Zenpokoho-fun “. Penggalian oleh laboraturium sejarah Jepang yang dilakukan oleh
Universitas Osaka dan Dewan Pendidikan Kota Fujidera menegaskan bahwa Kofun
Nonaka adalah hofun terkecil dengan ukuran 37 meter persegi.
2.3.2 Isi Kofun
Pada tiap kofun banyak ditemukan bermacam-macam benda seperti cermin,
pedang zirah, hiasan kepangkatan, dan perhiasan pribadi seperti anting-anting, gelang,
mahkota, sepatu dan juga tengkorak kepala manusia. Ada kalanya ditemukan bukti,
kuda dikuburkan hidup-hidup bersama tuannya yang sudah meninggal. Yang paling
khas dari artifak-artifak yang ditemukan didalam kofun adalah Haniwa.

2.4 Haniwa
Haniwa adalah arca –arca kecil yang terbuat dari tanah liat yang dibakar
dengan udara beroksigen yang rendah menghasilkan warna kuning mengkilap.
Haniwa berbentuk besar, memiliki rongga, memiliki slinder gerabah yang
kebanayakan diposisikan untuk garis tepi gundukan makam, bagian atas mereka

menonjol di atas tanah untuk menandai makam tersebut. Mereka ada yang berbentuk
seperti bangunan, hewan, atau figur manusia yang menjabat sebagai pelindung dan
tanda status individu yang terkubur di didalamnya. (www.brooklynmuseum.org)

2.4.1 Sejarah haniwa
Haniwa (hani berarti “tanah liat” dan wa berarti “lingkaran”) muncul pertama
kali di kofun di daratan kansai. Khususnya ada sebuah Haniwa berbentuk rumah di
atas bekas tempat itu, sementara yang lainya berpencar dengan pola terpusat di tengah
makam. Pola penempatan haniwa pada makam biasa dilihat di Gunma. Haniwa
rumah terbesar ada di tengah makam, kemudian yang lainnya melingkar dimakam
tersebut. Pola penempatan Haniwa ini seragam dengan pola penempatan Haniwa pada
kofun-kofun lainya, dimana haniwa terbesar diletakan di tengah, kemudian haniwa
lainnya tersebar di sekeliling kofun. Diperkirakan bahwa Haniwa dikembangkan dari
kendi berbenuk yang digunakan dalam pemakaman dizaman Yayoi, yang mungkin
digunakan untuk menunjang sesajian. Haniwa kuno ini adalah keramik dengan model
dari papan atau belitan tanah liat dan dibakar pada temperatur rendah oleh pengrajin
yang sama dengan pembuatan peralatan sehari-hari. Kemudian Haniwa berkembang
dalam bentuk slinder sederhana dan digunakan untuk peralatan arsitektur dan militer,
meliputi perisai dengan dekorasi pola irisan, helm, alat upacara dan ada juga
berbentuk patung manusia.

Fungsi Haniwa masih merupakan sesuatu yang menjadi bahan berdebatan.
Penjelasan tentang kegunaanya di abad ke 8 dapat dilakukan dengan menilai wacana
di Nihon shoki (sejarah Jepang). Pada sejarah Jepang diceritakan bahwa seorang
kaisar, meminta agar seseorang yang diambil dari para warga pengrajin tanah liat
menghasilkan tiruan orang dan kuda untuk digunakan ketimbang yang hidup.
Tidak ada bukti untuk mendukung ide tentang kirban tersebut. Namun selama
dinasti Shang kuno di Ching (1523-1027 SM ) terdapat sejumlah orang yang terbunuh
dikubur bersama dengan para penguasa. Ketika Nihon Shoki ditulis dalam tahun 720,
orang Jepang mencoba mendirikan kebudayaan mereka dengan mengikuti
kebudayaan Cina yang mungkin ada hubungannya dengan ide untuk Mengganti orang
hidup dengan tiruannya. Selain itu, juga dikatakan bahwa Haniwa dimaksudkan untuk
menjaga bumi agar mencegah erosi.
Dibandingkan dengan teori-teori yang lain, maka teori yang paling masuk akal
adalah Haniwa mempunyai fungsi yaitu untuk memisahkan dunia kematian dengan
dunia kehidupan, dan untuk memelihara jenazah dan memberikan roh mereka tempat
yang nyaman yang mereka kenal.
Haniwa kuno yang dihasilkan di Kansai sangat terbatas jenisnya. Seolah
pengrajin tanah liat harus mengikuti standar yang sempit agar memungkinkan ruang
kecil untuk kreatifitas. Namun mereka menghasilkan Karya-karya yang bagus dan
dibuat dengan bentuk hebat, dan sebagiannya memiliki penampilan yang mencolok

Haniwa pada zaman Yamato atau disebut juga dengan era Kofun hanya
digunakan para raja-raja dan bagi anggota keluarga kaisar pada waktu itu. Hasil karya
masyarakat pada zaman Yamato yaitu dalam pembuatan Haniwa menimbulkan
teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama dalam
melindungi masyarakat terhadap lingkungan alamnya.Maksud dari teknologi itu
adalah jumlah keseluruhan teknik yang dimiliki oleh masyarakat, yaitu keseluruhan
cara bertindak dan berbuat dalam hubungan pengumpulan bahan mentah, memproses
bahan-bahan itu untuk dibuat menjadi alat-alat kerja yang selanjutnya hal ini
dipandang sebagai peninggalan arkelogi dan dapat dinilai dari benda-benda
peninggalannya.Unsur-unsur kebudayaan tersebut pada umumnya berasal dari abad
ke-4 hingga abad ke-6. Unsur-unsur kebudayaan universal meliputi sistim religi
upacara keagamaan, organisasi kemasyarakatan, sistim pencarian hidup dan sistim
teknologi dan peralatan (Suharman, 1993:12 ).
Pada intinya, Haniwa muncul pada zaman Yamato. Haniwa-haniwa tersebut
pada awalnya dijadikan sebagai pengganti orang yang dijadikan sebagai tumbal oleh
kaisar yang berkuasa. Di seluruh makam para raja atau bangsawan diletakkan haniwa
yang dimaksudkan agar yang telah meninggal tersebut dapat tenang dialamnya karena
masyarakat pada zaman Yamato percaya bahwa haniwa memiliki kekuatan yang
dapat melindungi para arwah dari gangguan roh-roh jahat.

2.4.2 Jenis-jenis haniwa
Haniwa memiliki beragam jenis dan bentuk, haniwa-haniwa ini ada
yang bercorak manusia, hewan, mebel, alat-alat yang dipakai dalam kegiatan seharihari, yang paling banyak ditemui pada setiap kofun adalah Haniwa figur berbentuk
manusia, Bangunan Rumah, Kapal dan haniwa hewan.