Haniwa dalam kofun pada zaman Yamato

(1)

Nintoku-ryo Kofun Panjang 486 Meter

Richu-ryo Kofun Panjang 360 Meter


(2)

Hanzei-ryo Kofun Panjang 148 Meter

Nisanzai kofun Panjang 290 Meter


(3)

Gobyoyama Kofun Panjang 186 Meter

Itasuke Kofun


(4)

Replika kofun yang berada di Honshu

Tampilan grafis di museum, menunjukkan besar-Nintoku Tenno ryo Kofun, dan kofun kecil lainya


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta:Medpress Esquire Indonesia, Edisi September 2009

Ihromi T.O, 2006.Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan obor Indonesia

Ishida,Ichiro. 1961. Manusia dan Kebudayaan Jepang.Jakarta: PT Dian Rakyat Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta : Paradigma. Kodansha Ensiklopedia of Japan. 1983. Tokyo: Kodansha

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalited dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia

--- , 1976. Metode-Metode Penelitian Masyarakat.Jakarta : Gramedia ---. 2004. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Radar Jaya Offest. Machali, Roehayah, 2002. Pedoman bagi penerjemah. Jakarta : PT. Grasindo

Matsubara, Saburo, 1987, History of Japanise Art, Jakarta, Kementerian Luar Negeri Jepang

Nasution, M.Arif, 2001. Meode Penelitian. Jakarta: Gramedia

Suharman, Yohanes B jurahman, 2002, Sejarah Jepang Awal Sampai Feodalisme, Salatiga, Widya Sari Press

Surajaya, I Ketut. 2001. Pengantar Sejarah Jepang 1. Jakarta: Universitas Indonesia Suryohadiprojo, Sayidiman,1982. Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam Perjuangan Hidup.Jakarta : UI

Sudjiman, Panuti H.M, danAart vanzoest.1996. Serbaserbin Semiotika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama


(6)

Sumber internet


(7)

BAB III

ANALISA FUNGSI DAN MAKNA HANIWA DALAM KOFUN PADA ZAMAN YAMATO

3.1 Fungsi haniwa

Haniwa merupakan benda peninggalan yang banyak ditemukan pada zaman Yamato. Selain bentuknya yang khas, haniwa ini menarik karena penempatannya yang ditemukan tidak di lingkungan rumah warga melainkan ditemukan di sekeliling kuburan para raja atau bangsawan yang disebut dengan kofun.

Haniwa adalah arca-arca dari tanah liat berbentuk silinder yang berlubang, yang banyak ditemukan di kuburan besar di Jepang. Selama periode kofun ( era makam tua di Jepang ) pada 250-600 M. Haniwa berkembang dalam berbagai bentuk, mereka ditempatkan di pinggir makam dan memiliki fungsi spesifik, dan dijadikan objek ritual. Ada kesepakatan umum bahwa haniwa dimaksudkan untuk dilihat, bahwasannya haniwa tidak dikubur dibawah tanah bersama jasad, melainkan haniwa berada diatas makam dan melingkari makam untuk menandai bahwa makam tersebut merupakan makam kolosal atau makam para orang berpengaruh di zaman tersebut. namun haniwa jarang dilihat warga karena makam tersebut dikelilingi parit dan makam tersebut biasanya keramat dan hanya segelintir orang yang melakukan proses ritual yang bisa menjamah haniwa tersebut.


(8)

Kepercayaan animisme ( dari kepercayaan kepada makhluk halus dan mula-mula muncul di kalanga

Kepercayaan animisme mempercayai bahwa setiap benda di kawasan tertentu, mesti dihormati agar semangat tersebut tidak mengganggu manusia, malah membantu mereka dari semangat dan roh jahat dan juga dalam kehidupan seharian mereka. Bagian dari kepercayaan ini adalah adanya roh-roh orang yang telah meninggal, kepercayaan ini mempercayai jika roh orang yang telah meninggal dapat masuk ke tubuh suatu benda tertentu.

Shinto sebagai agama asli bangsa jepang, agama tersebut memiliki sifat yang cukup unik. Proses terbentuknya upacara keagamaanya maupun ajaran-ajaranya memperlihatkan perkembangan yang sangat ruwet. Pertumbuhan dan perkembangan agama serta kebudayaan jepang memang mmperlihatkan kecendrungan yang asimilatif. Sejarah jepang memeperlihatkan bahwa bangsa jepang telah menerima beberapa pengaruh baik kultural maupun spiritual dari luar. Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli, dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan spiritual bangsa Jepang.

Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi baru yang jenisnya hampir sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang terjadi bukanlah pertentangan atau kekacauan nilai,


(9)

melainkan suatu kelangsungan dan kelanjutan. Dalam bidang spiritual, pertemuan antara tradisi asli jepang dengan pengaruh-pengaruh luar itu telah membawa kelahiran suatu agama Shinto, agama asli jepang.

Haniwa pada awalnya digunakan untuk mendefenisikan perimeter makam suci, memisahkan dan melindungi roh almarhum dari gangguan roh jahat. Dengan perkembangan model Haniwa berbentuk patung manusia, ritual khusus diadakan dan diatur demi menghormati Almarhum. Jenis-jenis Haniwa mewakili dari kehidupan Almarhum sebagai sosok yang dilayani dan dihormati semasa Hidup, dan menunjukkan status tinggi dan kekayaan penghuni makam.

Masyarakat Jepang pada era Yamato beragama shinto menganut kepercayaan animisme, Mereka percaya bahwa penempatan haniwa pada makam yang bersangkutan dapat membantu roh tersebut di alam kematian, dan merupakan media pelindung bagi para arwah agar terhindar dari kejahatan. Masyarakat pada Era Yamato meyakini bahwa haniwa memiliki kekuatan dari para Dewa dan mampu menjaga arwah-arwah yang telah meninggal agar tidak diganggu oleh kejahatan yang muncul di alam arwah. Oleh karena itu banyak haniwa memiliki rupa berbentuk sososk dukun pada zaman Yamato, karena dianggap dukun memiliki kekuatan yang paling tinggi untuk menyampaikan kekuatan para dewa kepada arwah yang wafat tersebut. Haniwa juga dipercaya memiliki kekuatan magis yang dapat mebatasi dunia nyata dan alam kematian. Pada zaman Yamato haniwa-haniwa dibuat oleh masyarakat sebagai bentuk penghormatan kepada bangsawan yang telah meninggal di dalam upacara kematianya.


(10)

Disisi lain, masyarakat era yamato percaya Haniwa berfungsi untuk membuat roh merasa nyaman dengan kehidupannya yang baru sebab haniwa dapat dijadikan teman di alam arwah dan media untuk menjalin kehidupannya yang baru. Berbagai haniwa diletakkan disekeliling kofun dengan maksud para Raja dan bangsawan tidak mengganggu orang-orang yang ditinggalkan, karena acapkali mereka ingin kembali ke dunia manusia karena mereka menikmati kehidupan mereka yang kaya dan berkuasa yang tidak mereka dapatkan di dunia arwah.

Haniwa memiliki jenis dan bentuk yang beragam tapi memiliki fungsi yang sama. Pada intinya, Haniwa-haniwa tersebut awalnya dijadikan sebagai pengganti orang yang dijadikan sebagai tumbal oleh kaisar yang berkuasa. Di seluruh makam para raja atau bangsawan diletakkan haniwa yang dimaksudkan agar yang telah meninggal tersebut dapat tenang dialamnya karena masyarakat pada zaman Yamato percaya bahwa haniwa memiliki kekuatan yang dapat melindungi para arwah dari gangguan roh-roh jahat.


(11)

3.2 Makna Haniwa

3.2.1 Haniwa manusia

Haniwa berbentuk sosok wanita, berusia 6-7 abad, terbuat dari gerabah merah. Potongan tanah liat melekat dan melingkar dileher menunjukan sisa-sisa kalung yang mengindikasikan dia mewakili Miko, gadis yang melayani dalam ritual Shinto.

Ini adalah sosok manusia dengan mata dan mulut terbuka yang berdiri di atas stoples. Dia memakai topi runcing yang menggantung diatas telinga dan bahunya. Dia memakai tunik dan celana panjang yang diikat di bawah lutut. Tanganya yang kecil dibandingkan dengan seluruh tubuhnya. Ada koma berbentuk objek di depan tunik. Dia melambangkan sosok seorang tokoh agama pada zaman Yamato.


(12)

Haniwa yang ditemukan di sekitar kofun, patung-patung ini adalah sosok pria dan wanita, perempuan memiliki gaya potongan rambut dan memakai anting-anting, kedua mata dan mulut yang dibentuk oleh lubang sederhana, hidung dibuat dari bagian atas kepala. Haniwa ini melambangkan sosok pria dan wanita yang merupakan masyarakat pada zaman yamato.

http://asia.haifa.ac.

Figur manusia ini diperkirakan berasal dari abad-3. Haniwa ini melambangkan seorang pemimpin militer yang dianggap sangat penting pada zaman Yamato, yang memimpin para pasukan tentara. Haniwa ini tidak banyak ditemukan disetiap kofun, karena masyarakat yamato percaya bahwa haniwa pemimpin militer hanya boleh terdapat satu pada kofun.


(13)

Haniwa ini adalah seorang prajurit tentara pada zaman yamato yang menggunakan pakaian seragam resmi serta dilengkapi dengan senjata dan penutup kepalanya. Haniwa ini sangat banyak ditemukan disetiap kofun. Tentara atau prajurit merupakan suatu pekerjaan yang dianggap tinggi di zaman Yamato. Haniwa bermakna sebagai lambang perjuangan dan keberanian dari para tentara yang rela berkorban demi masyarakat dan Negara di zaman Yamato.

Haniwa yang dianggap memiliki kemampuan spiritual atau yang dikenal dengan sebutan dukun. Seorang dukun dianggap memiliki kekuatan yang melebihi manusia biasa, pada zaman Yamato sosok Haniwa dianggap sebagai perwakilan dewa. Pakaian yang digunakan adalah pakaian yang biasa dipakai pada saat mereka memimpin upacara keagamaan atau upacara spiritual


(14)

Haniwa ini menggambarkan pertunjukan tari, hal ini tampak dari kedua telapak tangan yang saling menyentuh yang merupakan salam penghormatan. Haniwa tarian ini bermakna sebagai lambang kebersamaan dan hiburan kepada orang-orang yang ditinggalkan oleh para raja yang telah meninggal dan sekaligus cara untuk mengusir roh-roh jahat yang akan menggaggu makam para raja tersebut.

3.2.2 Makna Haniwa Bangunan Rumah dan Kapal

Haniwa ini adalah sebuah rumah yang biasanya diletakan di tengah kofun. Haniwa ini adalah konsep awal dari rumah-rumah yang biasa ada pada zaman yamato yang dibuat secara artistik dan indah. Haniwa ini pada zaman tersebut bermakna sebagai tempat tinggal roh para raja atau bangsawan di alam kematian, sehingga roh-roh tersebut dapat hidup di alam arwah dengan tenang.


(15)

Haniwa kapal pada zaman yamato ini sangat penting perananya. Haniwa ini merupakan simbol kendaraan yang dipergunakan para roh raja sebagai media untuk mencapai alam syurga. Masyarakat percaya dengan adanya haniwa kapal ini raja akan tenang di syurga.

3.3.3 Makna Hewan

Kuda merupakan objek yang paling banyak digunakan dalam pembuatan haniwa. Hal tersebut dikarenakan kuda dianggap sebagai hewan yang pemberani dan memiliki jasa besar dalam pertempuran. Haniwa kuda ini berasal dari kepercayaan zaman yamato bahwa kuda sebagai hewan tunggangan para Kami, masyarakat yamato mempersembahkan haniwa kuda sebagai bentuk bagian dari doa.

Haniwa monyet ini tidak diketahui maksudnya, dari satu sudut dia muncul untuk memutar kepalanya seolah-olah ingin berbicara kepada orang-orang yang masih hidup dan dari sisi lain, monyet tersebut kelihatan siaga dan waspada seolah bahaya di dekatnya. (Saburo Matsubara, (1987)


(16)

BAB lV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Pada zaman Yamato masyarakat diperintahkan oleh seorang kaisar, namun yang menjalankan roda pemerintahanya adalah kepala para klan (goozoku) yang merupakan pembantu kaisar. Mata pencaharian masyarakat pada zaman Yamato adalah pembuat barang tembikar, tukang kayu, tukang besi, penggunaan alat pemintal untuk memintal benang menjadi kain, dan pertanian.

2. Kepercayaan masyarakat jepang pada zaman yamato terbentuk dari kepercayaan religius sebagai unsur-unsur agama shinto. Shinto adalah agama asli Jepang yang memiliki simbol, ritus, dan perayaan agama yang sarat dengan mistik yang berpusat pada pemujaan animstik gejala-gejala alam, gunung-gunung, air dan seluruh proses penguburan. Keberadaan agama yang tidak jauh dari hal-hal mistik inilah yang melahirkan kehidupan sosial masyarakat Jepang yang didasari pada Matsurigito yang berarti pemerintahan atau upacara keagamaan.

3. Salah satu wujud kebudayaan Masyarakat pada zaman Yamato adalah Haniwa yaitu arca-arca kecil yang terbuat dari tanah liat yang dibakar dengan udara beroksigen rendah menghasilkan warna kuning mengkilap yang terdapat pada kofun atau kuburan para bangsawan pada zaman yamato. Haniwa mempunyai kekuatan magis yang mampu melindungi arwah yang ada didalam kubur dari segala kejahatan.


(17)

4. Jenis-jenis haniwa adalah berbentuk seperti figur manusia, hewan, mebel atau alat-alat yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat Jepang pada zaman yamato, haniwa memiliki makna dan fungsi yang sangat penting. Haniwa merupakan patung yang di jadikan sebagai pelindung bagi para bangsawan yang telah meninggal, agar selalu terhindar dar segala macam pengaruh jahat dan pengaruh buruk.

5. Haniwa hanya digunakan oleh para kaisar atau raja-raja, satu orang kaisar untuk satu kofun, tidak dipergunakan bagi masyarakat biasa, karena haniwa mempunyai ritual agama dan mempunyai kekuatan magis yang di percayai sebagai penghormatan bagi masyarakat biasa terhadap kaisar atau raja-raja yang telah meninggal.

6. Penempatan haniwa pada kofun di zaman Yamato dimaksudkan untuk memisahkan dunia kehidupan antara yang telah meninggal dan mereka yang masih hidup, juga sebagai media agar para roh mendapat tempat yang nyaman dan tidak diganggu atau bercampur dengan roh-roh jahat di alam kematianya.

7. Beragam jenis haniwa yang memiliki fungsi dan tujuan yang sama yaitu pemisah antara orang yang telah meninggal dan orang yang masih hidup, dimaksudkan sebagai penangkal atau penolak bagi arwah-arwah yang telah meninggal tersebut agar tidak kembali ke dunia nyata dan mengganggu orang yang masih hidup. Untuk itu haniwa diletakkan di sekeliling Kofun agar memagari alam nyata dan alam kematian.


(18)

4.2 Saran

Kebudayaan masyarakat jepang sangat banyak jumlahnya. Setiap kebudayaan yang ada tersebut memilik fungsi dan makna masing-masing. Kita sebagai pelajar Sastra Jepang ada baiknya kita juga mengetahui budaya-budaya yang ada di Jepang. Diharapkan bagi para mahasiswa lainya untuk melanjutkan penelitan dengan fokus masalah yang berbeda terhadap haniwa. Agar pengetahuan kita akan kebudayaan orang Jepang menjadi semakin luas.


(19)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HANIWA DALAM KOFUN PADA ZAMAN YAMATO

2.1 Zaman Yamato

Zaman Yamato dibagi menjadi dua yaitu zaman Kofun (250 M – 550 M) dan zaman Asuka (550 M – 710 M). Pemberian nama Yamato didasarkan atas daerah kekuasaan negeri Yamato. Daerah kekuasaannya meliputi Honshū bagian selatan dan

Kyūshū bagian utara. Saat itu Jepang terdiri dari daerah-daerah yang diperintah oleh

gabungan-gabungan keluarga yang disebut Uji (klan). Kepalanya disebut Uji no kami atau Ujigami. Nantinya akan disebut Tennō. Masyarakat dalam organisasi klan itu adalah golongan bangsawan. Tiap klan mempunyai golongan pekerja dan budak. Bertani padi menjadi dasar perekonomian saat itu.

Setelah mengalami perpecahan zaman dan kekacauan politik selama tiga setengah abad, Cina kembali menjadi negara kesatuan. Keadaan politik di Cina tersebut membuat Jepang meniru sistem politik di Cina mengenai pemusatan kekuasaan. Tahun 593 M terjadi peristiwa penting dalam sejarah politik Jepang. Susunan masyarakat Jepang yang berinti pada Uji harus diubah karena pertambahan penduduk yang tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi dan harus mengalami perubahan. Perubahan susunan masyarakat itu merubah pula susunan politik. Tahun


(20)

593 M, Shotoku Taishi diangkat menjadi Sesshō (penasehat bagi Tennō yang belum dewasa) bagi Tennō puteri Suiko. Dengan demikian Taishi memegang pimpinan negara. Ia mengubah susunan jabatan-jabatan tinggi di istana yang saat itu dijabat oleh kepala-kepala klan turun-temurun, diganti dengan susunan baru. Siapa saja dapat memangku suatu jabatan sesuai dengan kecakapan dan jasanya.

Tahun 604 M disusun 17 aturan. Dalam peraturan itu antara lain disebutkan supaya agama Buddha dihormati, keluhan rakyat harus diperhatikan dan mendapat penyelesaian yang adil, petani-petani harus diperlakukan dengan baik, dan sebagainya. Tetapi apa yang diusahakan Taishi tersebut baru berupa cita-cita yang tidak dapat dengan segera dilaksanakan, yaitu cita-cita membentuk Jepang menjadi negara nasional. Baru pada tahun 645 M konsepsi tersebut terwujud. Pada tahun itu, keluarga dari klan Soga yang punya pengaruh besar dalam pemerintahan Tennō sejak tahun 587 M, dijatuhkan oleh pangeran Naka no Oe dengan bantuan Fujiwara. Setelah itu diadakan pembaharuan-pembaharuan dalam lapangan politik dan sosial yang berlangsung hingga 702 M. Gerakan pembaharuan itu dikenal dengan sebutan Reformasi Taika. Yang jadi tangan kanan Naka no Oe dalam perebutan kekuasaan dengan keluarga Soga ialah Fujiwara (no) Kamatari Dalam tahun 661 M, Naka no Oe naik tahta sebagai Tennō bergelar Tennō Tenji.

Asas-asas pembaharuan itu dijalankan dengan berangsur-angsur selama beberapa puluh tahun dan seringkali peraturan-peraturan pembaharuan tinggal di atas kertas. Seluruh negeri dan rakyat ditaruh langsung di bawah kekuasaan Tennō. Tanah pertanian dibagi antara rakyat atas dasar peraturan yang sama (sistem Kōchikōmin).


(21)

Semua penduduk didaftarkan untuk tujuan pembagian tanah dan pemungutan pajak. Daerah negara dibagi dalam kuni (propinsi) dan kori atau gun (distrik). Pemerintahan disusun dengan mencontoh kepada Cina, pemerintah pusat mengangkat pegawai-pegawai untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan. Dalam rangka pembaharuan-pembaharuan itu, disusun undang-undang bernama Ritsu-ryō (Ritsu adalah kitab undang-undang hukum pidana dan Ryō terdiri dari undang-undang hukum tatanegara dan hukum sipil). Disusun menurut contoh undang-undang dinasti Tang di Cina. Penyusunan kitab-kitab, undang-undang itu baru selesai pada tahun 701 M dan terkenal dengan sebutan Taihō Ritsu-ryō (pada tahun 718 M sebagian diubah dan diberi nama baru Yōrō Ritsu-ryō). Undang-undang itu dengan perubahannya menjadi dasar hukum Jepang hingga sekarang.

Pembaharuan-pembaharuan menghasilkan suatu susunan yang tampak dari luar sebagai pembentukan pemerintahan pusat, tetapi sebenarnya memupuk susunan aristokrasi baru. Pembaharuan itu tidak mendapat perlawanan karena tidak menghapuskan sama sekali hak-hak istimewa yang tertumpuk pada golongan lapisan atas dari masyarakat. Orang-orang lapisan atas itu masih tetap dalam kedudukan yang menguntungkan, hanya dalam bentuk yang berubah, sedangkan kedudukan rakyat jelata pada umumnya tidak bertambah baik. Dalam pembaharuan susunan pemerintahan itu, keluarga dari klan Fujiwara mencapai kedudukan, yang menggenggam kekuasaan yang sebenarnya di dalam negara. Dasar dari kedudukan itu diletakkan oleh Fujiwara Kamatari, tangan kanan Naka no Oe ketika meruntuhkan kekuasaan kelurga dari klan Soga. Walaupun pembaharuan-pembaharuan dilakukan


(22)

dengan mencontoh Cina, tidak semuanya yang dari Cina ditiru. Anggapan mengenai Tennō sebagai keturunan Dewi Matahari tidak berubah.

Pada zaman Asuka nama negara diganti dari Yamato atau Wa menjadi Nihon atau Nippon. Zaman Asuka (550 M – 710 M) berlangsung ketika pusat pemerintahan berada di Asuka (sekarang Nara).

2.2 Masyarakat Pada Zaman Yamato

Selama empat abad Yamato dapat menaklukkan sebagian besar tanah Jepang bagian utara Honshu dan Kyushu selatan masih belum ditaklukkan. Peperangan-peperangan yang sering dilakuakan itu memberikan watak kemiliteran kepada masyarakat Yamato. Tiap daerah yang ditaklukkan pada umumnya tidak dirampas, kecuali daerah-daerah yang didiami bangsa Ainu. Kepala-kepala daerah itu mengakui Tenno sabagai Suzerein. Sampai tahun 645M belum terbentuk kerajaan Jepang dengan pemerintahan yang dipusatkan. Jepang terdiri dari daerah-daerah yang diperintah oleh gabungan-gabungan keluarga, gabungan keluarga itu disebut klan dan bersifat patriachal. Angggota-anggota tiap klan mengakui mempunyai leluhur yang sama, yang biasanya disebut Ujigami (klan dewa). Kepala klan berfungsi sebagai pendeta tertinggi terhadap dewa klan dan fungsi sakral itu memberikan kekuasaan politik padanya. Kepala klan dan keluarganya yang langsung (menurut garis keturunan yang lurus) biasanya mempunyai gelar-gelar yang turun temurun, yang diatur menurut hierarki.


(23)

Masyarakat yang tersusun dalam organisasi klan itu adalah golongan bangsawan.tiap klan mempunyai tanah sendiri dan rakyat yang diperintah terdiri dari golongan krya (pekerja), dan sejumlah budak- budak. Golongan krya diatur didalam organisasi –organisasi yang disebut be atau tomo. Pekerjaan yang dilakuakan tiap anggota tiap kelompok tetap dan turun temurun. Mereka itu merupakan dasar bagi perekonomian tiap-tiap klan. Klan yang terkemuka ialah klan yang di kepalai oleh Tenno. Walaupun gelar tenno disamakan dengan sebutan kaisar, hal itu tidak boleh diartikan bahwa Tenno-Tenno yang terdahulu sudah memerintah sebagai kaisar atau raja. Ia itu harus dianggap sebagai seorang yang terkemuka diantara sesamanya (yaitu kepala-kepala klan), fungsinya yang terutama bersifat sakral. Baru pada kira-kira tahun 400M kedudukan Tenno benar-benar teguh, yaitu pada masa pemerintahan Tenno Nintoku (menurut sejarah jepang: 310-399 M) Tenno yang ke 16. Walaupun kekuasaan Yamato diperintahkan oleh kaisar, namun yang menjalankan roda pemerintahan adalah kepala para klan (Goozoku), yang merupakan pembantu kaisar. Sistem ini berlangsung sampai abad ke-7 (I Ketut Surajaya, 1993:6).

Struktur Masyarakat pada zaman ini mencerminkan adanya struktur kelas-kelas dalam masyarakat. Keturunan Tenno merupakan kelas-kelas yang tertinggi, sedangkan Goozoku dan masyarakat biasa berada dibawah Tenno, tanah dimiliki oleh Tenno dan Goozoku secara langsung. Para penghuni tanah memiliki kewajiban mengolah tanah dan membuat bermacam-macam perlengkapan yang dibutuhkan oleh pihak istana.


(24)

Kehidupan sosial masyarakat Jepang Matsurigoto yang berarti pemerintahan atau upacara keagamaan. Awal periode zaman Yamato, kepercaan masyarakat sebagian besar bersifat animistik dan pemujaan terhadap alam. Kepercayaan rakyat Jepang pada zaman ini terbentuk dari kepercayaan religius, sebagai unsur-unsur agama Shinto. Agama shinto adalah agama asli Jepang. Agama shinto terpusat pada pemujaan animistik, gejala-gejala alam, gunung, air, dan seluruh proses penguburan dijadikan objek pemujaan. Simbol, ritus, dan perayaan keagamaan didalam kehidupan kuil-kuil sarat dengan mistik. Shinto merupakan jalan kami (dewa) yang menyatu dan menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan orang Jepang. Kata Shinto tersusun dari dua ideograph yaitu (shin) yang disamakan artinya dengan kami diartikan dewa atau kedewaan. Dan ( do atau to) yang disamakan dengan mishi yang berarti jalan. Secara harfiah dapat diartikan sebagai jalan kami. Kami adalah objek sembahyang dalam agama Shinto, dalam agama shinto segala sesuatu dipandang sebagai kami atau paling tidak mempunyai potensi untuk menjadi kami (sutrisno, 1993:119).

2.2.1 Stuktur Masyarakat

Periode sejarah Jepang dimulai sekitar abad ke-4 sampai abad ke-6 masehi. Zaman ini ditandai dukungan terhadap tahta Yamato yang semakin kuat dengan pembangunan Kofun (250 M- 710 M), pemberian nama Yamato didasarkan pada daerah kekuasaan negeri Yamato. Daerah kekuasaannya meliputi Honshu bagian


(25)

selatan dan Kyushu bagian utara. Saat itu Jepang terdiri dari daerah-daerah yang diperintahkan oleh gabungan-gabungan keluarga yang disebut UJi (klan), kepala Uji disebut Uji no Kami atau Ujigami, dan akhirnya disebut Tenno. Masyarakat dalam organisasi klan itu adalah golongan bangsawan seperti klan otomo, klan Mononobe, dan klan Soga. Setiap klan yang berkuasa mempunyai golongan pekerja dan budak. Kekuasaan tertinggi pada zaman Yamato di perintahkan oleh seorang Kaisar, namun walau kaisar adalah pemimpin tertinggi di Negara Jepang yang menjalankan pemerintahan bukan lah kaisar melainkan kepala para klan (Goozoku), yang

merupakan pembantu kaisar. Sistem pemerintahan ini berlangsung sampai pertengahan abad ke-7 (i ketut Surajaya, 1993 :6). Struktur masyarakat pada zaman Yamato terdiri dari susunan kelas-kelas dalam masyarakat. Keturunan Tenno adalah kelas tertinggi dalam suku Yamato, kemudian Goozoku yang berada dibawah Tenno dan sekaligus sebagai pembantu Tenno yang menjalankan pemerintahan, tanah yang berada dalam kekuasaan Yamato dimiliki oleh Tenno dan Goozoku secara langsung. Para penghuni tanah yaitu masyarakat kalangan bawah di Yamato berkewajiban mengolah tanah dan hasil dari pengolahan tanah dan pertanian diserahkan kepada pihak istana. Selain mengolah tanah masyarakat kelas bawah juga di tuntut untuk membuat bermacam-macam kebutuhan istana dan kebutuhan para bangsawan yang berkuasa.

Mata pencaharian masyarakat pada zaman Yamato hampir sama dengan masyarakat zaman Yayoi, diantaranya pembuat barang tembikar, tukang kayu, tukang besi, pembuat atau memintal benang menjadi kain, dan yang paling utama adalah


(26)

pertanian, karena dengan bertani mereka mulai bergerak menuju hidup yang lebih layak dan lebih maju. Dengan kuatnya pengaruh pemerintahan pada zaman itu desa-desa yang penduduknya bertani mulai berubah menjadi Negara-negara kecil, senjata yang dulu hanya digunakan untuk mempermudah pekerjaan, kemudian mulai dikembangkan menjadi alat-alat untuk berperang,dan kemudian mulai dibangunm nya banteng-benteng pertahanan disetiap daerah nya.

Dengan perkembangan peradaban di Yamato maka kehidupan masyarakatpun mulai meningkat, yaitu ditandai dengan dibangun nya rumah-rumah pemukiman, bentuk rumah pada zaman Yamato yaitu bentuk rumah berlantai tinggi yang didirikan pada tiang-tiang yang tinggi, gaya rumah berlantai tinggi ini pada mulanya hanya diperuntukkan bagi kalangan atas dan bangsawan saja, namun kemudian rakyat biasa mulai membangun rumah dengan bentuk yang sama.

2.2.2 Kepercayaan Masyarakat

Kepercayaan masyarakat pada zaman Yamato adalah terdiri dari unsur-unsur agama Shinto. Agama Shinto percaya kepada banyak dewa, Bagi masyarakat Jepang kuno, tuhan mereka adalah banyak, yang diantaranya memiliki cirri-ciri manusia, seperti halnya dewa-dewa orang yunani kuno. Dewa orang Jepang kuno menghuni setiap tempat alam yang kuat, seperti sungai, angin, api, gunung, dan khususnya matahari sebagai tempat seluruh kehidupan bergantung. Kepercayaan terhadap matahari ini disebut Shinto, yang berarti “jalan dewa”. Shinto dalam


(27)

perkembangannya mengajarkan tidak hanya menyembah kekuatan alam saja, tetapi juga mengajarkan untuk menyembah leluhur mereka. Lebih dari itu, karena Shinto mengajarkan bahwa pada dasarnya setiap manusua itu baik, Shinto juga mengajar manusia untuk mempercayai setiap dorongan yang berasal dari hati mereka. Lama- kelamaan Shinto menggabungkan pemujaan terhadap dewa Matahari dengan tradisi pemujaan bahwa para Kaisar Jepang adalah keturunan dewa Matahari dan menyatakan bahwa kaisar adalah Dewa. Kata Shinto tersusun dari dua kata yaitu (shin) yang disamakan artinya dengan kami diartikan dewa atau kedewaan. Dan (do atau to) yang disamakan artinya dengan mishi yang bearti jalan.jadi dapat diartikan bahwa Shinto merupakan jalan kami.

Awal periode zaman Yamato, kepercayaan masyaraakat sebagian besar bersifat animistik dan pemujaan terhadap alam. Agama Shinto terpusat pada pemujaan animistik, gejala-gejala alam, gunung-gunung, air, dan seluruh proses penguburan dijadikan objek pemujaan. Para leluhur yang tetomistik ( aliran yang percaya bahwa suatu binatang atau benda yang mempunyai hubungan darah dengan suatu keluarga atau kelompok social tertentu dank arena itu memakai lambing), dimasukkan ke dalam Kami atau dewa (Edwin O. Reischaver 1982:286). Dewa-dewa dipuja dengan mengadakan korban, doa, dan pesta yang diadakan di tempat suci. Tempat-tempat suci ini dipersembahkan kepada leluhur kekaisaran. Dalam ajaran Shinto memusatkan diri kepada penghormatan terhadap kaisar. Kaisar tidak hanya sebagai pemimpin Negara tetapi juga sebagai pendeta utama bagi seluruh rakyatnya.


(28)

Pada saat Jepang disatukan oleh kaisar Yamato, hubungan Jepang dengan Negara tetangga nya seperti Korea dan Cina semakin erat. Negara Korea merupakan daerah penting karena merupakan daerah perlintasan kebudayaan agama yang mendapat pengaruh dari cina. Menurut sejarah Jepang dalam Nihon Shiki, Budhisme masuk ke Jepang sekitar abad ke-6 yaitu sekitar 552 M, minat para bangsawan Jepang terhadap agama Budha pertama masuk nya budha ke Jepang ada yang menolak dan ada juga yang menerima. Kaisar menerima agama budha tersebut dan klan Shoga berpendapat bahwa Jepang seharusnya mengikuti contoh Negara lain, yaitu menerima agama Budha dengan tangan terbuka. Namun berbeda dengan klan Monotabe dan klan Nakatomi yang berpendapat bahwa itu adalah penghinaan terhadap Tuhan mereka jika menerima agama Budha. Dengan masuk dan berkembangnya agama Budha di Jepang membuat agama Shinto menjadi kurang kuat, tetapi agama Shinto tidak punah walaupun pengaruh agama Budha semakin meningkat. Tidak satu agama pun dari keduanya memerintahkan seseorang agar keluar dari agamanya sehingga kedua penganut agama itu dapat hidup berdampingan dan bahkan hingga kini.

2.2.3 Kebudayaan Pada Zaman Yamato

Kebudayaan pada zaman Yamato merupakan perkembangan kebudayaan pada zaman sebelumnya dan kebudayaan yang masuk dari Cina dan Korea. Setiap periode kebudayaan memiliki ciri-ciri yang membedakannya, seperti kebudayaan periode Jomon diketahui dari cirri pada bejana tembikar dengan hiasan tali tambang, dan


(29)

kehidupan masyarakat yang masih mengembara, berburu hewan, serta memancing, corak hias tembikar dan hiasan pinggir berbentuk lidah api menunjukkan cita rasa yang halus dan semangat hidup dari masyarakatnya. Daya cipta dan kesederhanaan masyarakat Jomon terungkap jelas pada bejana-bejana tembikar yang dikenal sebagai gerabah Joomon. Kesannya kadang-kadang sederhana, kadang-kadang mencolok juga memperlihatkan vitalitas seakan terlukis debaran jantung orang-orang yang hidup dalam perjuangan tak henti-hentinya melawan alam yang tidak kenal belas kasihan.

Sedangkan periode Yayoi diketahui dari kebudayaan yang erat kaitannya dengan pertanian dan cara menanam padi disawa, dengan berkembangnya budaya bertani di Jepang maka kehidupan masyarakatnya sudah mulai menetap dan produksi pertanian semakin bertambah, kemudian periode Kofun diketahui dari cirri-ciri dengan adanya kuburan besar, kuburan besar itu merupakan makam dari bangsawan Jepang yang mempunyai kekuasaan didaerahnya.

Pada zaman Yamato arsitektur yang paling populer di zaman ini adalah kuburan kuno (kofun). Kofun adalah kuburan kuno untuk mengubur mayat dalam peti mati. Kofun adalah makam kaisar atau bangsawan dengan tanah yang dibuat membukit yang menempati lokasi yang berbentuk perpaduan lingkaran dan persegi empat seperti lubang kunci. Dari kata kofun ini menjadi dasar penamaan pada zaman ini (zaman kofun). Untuk keluarga Tenno dan keluarga bangsawan dibuat bukit-bukit kuburan. Kuburan untuk Tenno disebut Misasagi. Kuburan untuk Nintoku Tenno (meninggal sekitar 400M). Mempunyai ukuran yang sangat besar. Kuburan itu termasuk kuburan terbesar didunia. Panjangnya kira-kira 1700kaki, tingginya lebih


(30)

dari 100 kaki dikelilingi parit dan luasnyya (terhitung paritnya) kira-kira 80 acres (1 acre=4047m2). Di dalamnya terdapat cermin, perunggu,pedang, zirah, helm dan ikat pinggang dari perunggu atau besi, manik-manik kecil berbentuk bulan sabit itu sebesar kuku dan disebut Magatama.

Disekitar kofun biasanya terdapat Haniwa yaitu barang-barang yang terbuat dari tanah liat yang ditempatkan dengan teratur disekeliling makam. Biasanya Haniwa ini berupa orang, binatang piaraan, perabot rumah tangga, perkakas, dan dapat memberikan gambaran tentang kehidupan pada masa ini.

Hasil karya masyarakat pada zaman Yamato yaitu dalam pembuatan kofun menimbulkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan yang dipercaya melindungi masyarakat dari lingkungan alamnya. Periode budaya kofun yang dimulai pada abad ke-3M, merupakan kelanjutan dari akhir zaman Yayoi, kelanjutan ini dipandang dari sudut arkeologi dan benda- benda peninggalan seperti alat pertanian, cermin, dan pedang yang ditemukan di dalam kofun.

Pola-pola dasar kebudayaan kofun sudah diletakkan pada zaman Yayoi, yakni sekitar abad ke-3 SM sampai abad ke-3M. Pembuatan kofun oleh dinasti Yamato merupakan sebuah simbol kekuasaannya. Simbol adalah suatu tanda dimana relasi diantara tanda dengan denotatumnya ditentukan oleh suatu pengaturan yang berlaku umum dan juga ditentukan oleh suatu konveksi atau kesepakatan umum, (Ady Rosa dalam Ikip Padang Press,1996:107).


(31)

Menurut Jurahman (2002:02) pada periode kofun, Jepang telah dipersatukan dibawaah dinasti Yamato, dan kebudayaan ini berhubungan erat dengan masuknya kebudayaan Korea yang merupakan jalur masuknya unsur kebudayaan yang berasal dari Cina.

2.3 Defenisi kofun

Kofun adalah gundukan tanah yang dibuat dengan membentuk sebuah kuburan. Kuburan ini merupakan produk zaman Yamato yang muncul pada abad ke-3 M. periode kofun ini merupakan kelanjutan dari periode akhir Yayoi. Kofun yang ada pada zaman Yamato merupakan makam-makam dari raja dan bangsawan yang berada disekeliling keluarga istana, kofun yang dibuat oleh kaisar Yamato menunjukkan bahwa pada saat itu kaisar telah memulai membentuk suatu sistem sosial politik untuk mengendalikan rakyat dan bangsa lain. (www.wikipedia.com)

2.3.1 Kofun di jepang

Kofun (gundukan kuno) mengacu pada gundukan pemakaman besar pembangun di Yamato setelah pertengahan abad ketiga dan dibedakan dari funkyu-bo (gundukan bukit) dari periode yayoi. Banyak jenis gundukan dibangun tetapi ciri khas dari kofun periode adalah “lubang kunci makam”yang di kenal dengan sebutan zenpo kofun. Gundukan makam awal periode Kofun dibangun di daerah Kinai (


(32)

Kyoto-Nara-Osaka ). Dari sana bangunan makam menyebar ke Kyushu bagian Utara melalui wilayah Laut pedalaman pada awal abad keempat. Makam awal memiliki gundukan baik berbentuk bulat maupun yang berbentuk lubang kunci. Makam lubang kunci pada bagian depan berbentuk persegi panjang sedangkan bagian belakang berbentuk gundukan bulat (前方後円墳). Gundukan depan mungkin awalnya berfungsi sebagai tempat untuk upacara penguburan, pemakaman biasanya berada di gundukan belakang.

Dari pertengahan zaman yayoi hingga ke awal periode yamato, gundukan agak besar ( funkyubo ) biasanya berbentuk bukit atau membentang dari china ke shikoku di bagian barat dataran kanto di timur laut. Biasanya berbentuk persegi dan dikelilingi parit dan selokan, mirip dengan yang ditemukan di China dan Asia utara. Sebelum gundukan berbentuk lubang kunci menjadi standar pemakaman bangsawan era yamato, maka sebelumnya berbagai bentuk gundukan makam ditemukan diseluruh Jepang.

Pada akhir zaman yayoi, beberapa gundukan menjadi lebih besar ( antara panjang 40-80 meter ) dan beberapa dari akhir gundukan pada abad kedua diketahui telah berevolusi bentuk lubang kunci ( misalnya hashihaka dan hokenoyama dan kurozuka ) mirip dengan gundukan khusus zaman yamato. Ditemukan sejumlah gundukan batu makam di prefektur Chiba dan prefektur Nara. Gundukan awal yang dibangun pada puncak bukit yang terdapat di prefektur Chiba dan Nara, biasanya ditempati oleh jasad pemimpin para komunitas pertanian dibawah kendali mereka, tapi belum termasuk makam para kaisar dan keluarga kekaisaran Yamato.


(33)

Gundukan bulat hadir dari periode awal Yamato, ditempati oleh bangsawan biasa, oleh keluarga abad ke 6 awal pemimpin dimakamkan di gundukan dan lubang liangnya berkerumun disekeliling bukit. Gundukan berbentuk standar, Gundukan besar lubang kunci terkenal tidak muncul sampai akhir zaman Yayoi atau awal periode Yamato, awal diantara mereka muncul di sudut barat daya dari perbatasan yamato dekat Gunung Katsuragi dan ditimur laut dari kaki gunung Miwa, akhirnya mereka menyebar disepanjang sungai yamat, dan kemudian jauh ke ujung Jepang seperti Echizen, Izumo. Gundukan Lubang Kunci di Kyushu yang terbesar adalah Mesahozuka dan Osahozuka terletak dalam kawasan Saitobaru ) menurut para Ahli berasal dari abad pertengahan ke 3. Gundukan makam berbentuk lubang kunci dibangun secara berurutan, sering berbaris atau berdasarkan tingkat status, dan menjadi gundukan standar untuk penguasa peringkat tertinggi dan raja serta selir. Biasanya Gundukan makam tersebut dibangun oleh para prajurit dan Abdi kaisar, serta dibantu oleh masyarakat setempat, karena masyarakat menghormati pemimpin mereka.

Selama hampir 400 Tahun antara abad 2 sebelum masehi samapai abad ke 3 masehi, tokoh-tokoh berpengaruh di seluruh kepulauan Jepang memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pembangunan kuburan mereka, yang dikenal sebagai kofun. Bentuknya bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk.


(34)

Zenpō koen fun ( makam depan bulat, belakang persegi berbentuk lubang kunci)前方

子円墳

Zenpō kohō fun ( makam depan persegi belakang persegi berbentuk lubang kunci ) 前 方子方墳

Enpun ( makam lingkaran ) 円墳

Hōfun ( makam persegi ) 方墳

Membandingkan contoh ukuran terbesar setiap jenis, Zenpo-koen-adalah yang terbesar, diikuti oleh zenpō, kohō, enpun dan hōfun.


(35)

Gambar : Kofun Hirarki ( Ilustrasi asli oleh Prof.Tsude Hiroshi ), mengambil pemberitahuan dari perbedaan ukuran antara 4 buah makam dan berpendapat bahwa bentuk gundukan pemakaman mewakili garis keturunan dan status dari orang yang dimakamkan, dengan ukuran yang menunjukkan kekuasaan. Dia berhipotesis bahwa tokoh-tokoh berpengaruh didaerah diseluruh kepulauan Jepang memiliki prinsip-prinsip tertentu dalam membangun makam mereka, dan teori ini disebut “Zenpo-koho-fun “. Penggalian oleh laboraturium sejarah Jepang yang dilakukan oleh Universitas Osaka dan Dewan Pendidikan Kota Fujidera menegaskan bahwa Kofun Nonaka adalah hofun terkecil dengan ukuran 37 meter persegi.

2.3.2 Isi Kofun

Pada tiap kofun banyak ditemukan bermacam-macam benda seperti cermin, pedang zirah, hiasan kepangkatan, dan perhiasan pribadi seperti anting-anting, gelang, mahkota, sepatu dan juga tengkorak kepala manusia. Ada kalanya ditemukan bukti, kuda dikuburkan hidup-hidup bersama tuannya yang sudah meninggal. Yang paling khas dari artifak-artifak yang ditemukan didalam kofun adalah Haniwa.

2.4 Haniwa

Haniwa adalah arca –arca kecil yang terbuat dari tanah liat yang dibakar dengan udara beroksigen yang rendah menghasilkan warna kuning mengkilap. Haniwa berbentuk besar, memiliki rongga, memiliki slinder gerabah yang kebanayakan diposisikan untuk garis tepi gundukan makam, bagian atas mereka


(36)

menonjol di atas tanah untuk menandai makam tersebut. Mereka ada yang berbentuk seperti bangunan, hewan, atau figur manusia yang menjabat sebagai pelindung dan tanda status individu yang terkubur di didalamnya

2.4.1 Sejarah haniwa

Haniwa (hani berarti “tanah liat” dan wa berarti “lingkaran”) muncul pertama kali di kofun di daratan kansai. Khususnya ada sebuah Haniwa berbentuk rumah di atas bekas tempat itu, sementara yang lainya berpencar dengan pola terpusat di tengah makam. Pola penempatan haniwa pada makam biasa dilihat di Gunma. Haniwa rumah terbesar ada di tengah makam, kemudian yang lainnya melingkar dimakam tersebut. Pola penempatan Haniwa ini seragam dengan pola penempatan Haniwa pada kofun-kofun lainya, dimana haniwa terbesar diletakan di tengah, kemudian haniwa lainnya tersebar di sekeliling kofun. Diperkirakan bahwa Haniwa dikembangkan dari kendi berbenuk yang digunakan dalam pemakaman dizaman Yayoi, yang mungkin digunakan untuk menunjang sesajian. Haniwa kuno ini adalah keramik dengan model dari papan atau belitan tanah liat dan dibakar pada temperatur rendah oleh pengrajin yang sama dengan pembuatan peralatan sehari-hari. Kemudian Haniwa berkembang dalam bentuk slinder sederhana dan digunakan untuk peralatan arsitektur dan militer, meliputi perisai dengan dekorasi pola irisan, helm, alat upacara dan ada juga berbentuk patung manusia.


(37)

Fungsi Haniwa masih merupakan sesuatu yang menjadi bahan berdebatan. Penjelasan tentang kegunaanya di abad ke 8 dapat dilakukan dengan menilai wacana di Nihon shoki (sejarah Jepang). Pada sejarah Jepang diceritakan bahwa seorang kaisar, meminta agar seseorang yang diambil dari para warga pengrajin tanah liat menghasilkan tiruan orang dan kuda untuk digunakan ketimbang yang hidup.

Tidak ada bukti untuk mendukung ide tentang kirban tersebut. Namun selama dinasti Shang kuno di Ching (1523-1027 SM ) terdapat sejumlah orang yang terbunuh dikubur bersama dengan para penguasa. Ketika Nihon Shoki ditulis dalam tahun 720, orang Jepang mencoba mendirikan kebudayaan mereka dengan mengikuti kebudayaan Cina yang mungkin ada hubungannya dengan ide untuk Mengganti orang hidup dengan tiruannya. Selain itu, juga dikatakan bahwa Haniwa dimaksudkan untuk menjaga bumi agar mencegah erosi.

Dibandingkan dengan teori-teori yang lain, maka teori yang paling masuk akal adalah Haniwa mempunyai fungsi yaitu untuk memisahkan dunia kematian dengan dunia kehidupan, dan untuk memelihara jenazah dan memberikan roh mereka tempat yang nyaman yang mereka kenal.

Haniwa kuno yang dihasilkan di Kansai sangat terbatas jenisnya. Seolah pengrajin tanah liat harus mengikuti standar yang sempit agar memungkinkan ruang kecil untuk kreatifitas. Namun mereka menghasilkan Karya-karya yang bagus dan dibuat dengan bentuk hebat, dan sebagiannya memiliki penampilan yang mencolok


(38)

Haniwa pada zaman Yamato atau disebut juga dengan era Kofun hanya digunakan para raja-raja dan bagi anggota keluarga kaisar pada waktu itu. Hasil karya masyarakat pada zaman Yamato yaitu dalam pembuatan Haniwa menimbulkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi masyarakat terhadap lingkungan alamnya.Maksud dari teknologi itu adalah jumlah keseluruhan teknik yang dimiliki oleh masyarakat, yaitu keseluruhan cara bertindak dan berbuat dalam hubungan pengumpulan bahan mentah, memproses bahan-bahan itu untuk dibuat menjadi alat-alat kerja yang selanjutnya hal ini dipandang sebagai peninggalan arkelogi dan dapat dinilai dari benda-benda peninggalannya.Unsur-unsur kebudayaan tersebut pada umumnya berasal dari abad ke-4 hingga abad ke-6. Unsur-unsur kebudayaan universal meliputi sistim religi upacara keagamaan, organisasi kemasyarakatan, sistim pencarian hidup dan sistim teknologi dan peralatan (Suharman, 1993:12 ).

Pada intinya, Haniwa muncul pada zaman Yamato. Haniwa-haniwa tersebut pada awalnya dijadikan sebagai pengganti orang yang dijadikan sebagai tumbal oleh kaisar yang berkuasa. Di seluruh makam para raja atau bangsawan diletakkan haniwa yang dimaksudkan agar yang telah meninggal tersebut dapat tenang dialamnya karena masyarakat pada zaman Yamato percaya bahwa haniwa memiliki kekuatan yang dapat melindungi para arwah dari gangguan roh-roh jahat.


(39)

2.4.2 Jenis-jenis haniwa

Haniwa memiliki beragam jenis dan bentuk, haniwa-haniwa ini ada yang bercorak manusia, hewan, mebel, alat-alat yang dipakai dalam kegiatan sehari-hari, yang paling banyak ditemui pada setiap kofun adalah Haniwa figur berbentuk manusia, Bangunan Rumah, Kapal dan haniwa hewan.


(40)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Keberadaan kekuasaan Yamato di Jepang berkaitan dengan adanya perpindahan dari suku-suku bangsa penunggang kuda di Asia Timur pada abad ke-3 dan ke-4 M. Menurut Ishida (1961:4) dinasti Yamato didirikan oleh salah satu penguasa suku bangsa Tungus dari daratan Asia yang mengembara dengan penunggang kuda. Pada permulaan abad ke-5 M, kelompok penunggang kuda yang dilengkapi dengan alat-alat militer melintasi selat Tsushima untuk menduduki pulau Kyusu di Jepang, di sana mereka telah menaklukkan kelompok-kelompok kepala suku dari suku bangsa Wa dan akhirnya mereka mendirikan negara pusat Yamato di Jepang bagian barat.

Masyarakat pada zaman Yamato diperintahkan oleh seorang kaisar, namun yang menjalankan roda pemerintahannya adalah kepala para klan (goozoku) yang merupakan pembantu kaisar. Sistem pemerintahan seperti ini berlangsung sampai abad pertengahan. Mata pencaharian masyarakat pada zaman Yamato hampir sama dengan masyarakat pada zaman Yayoi, diantaranya adalah pembuat barang tembikar, tukang kayu, tukang besi, penggunaan alat pemintal untuk memintal benang menjadi kain, dan yang paling utama adalah pertanian, karena dengan bertani mereka mulai bergerak menuju ketingkat peradaban yang lebih baik. Struktur masyarakat pada zaman ini menunjukkan adanya kelas-kelas dalam masyarakat. Keturunan Tenno


(41)

merupakan kelas tertinggi, sedangkan goozoku dan masyarakat biasa berada di bawah Tenno, tanah dimiliki oleh Tenno dan Goozoku, rakyat biasa hanyalah penggarap tanah. Para penghuni tanah yaitu rakyat biasa memiliki kewajiban mengolah tanah dan membuat bermacam-macam perlengkapan yang dibutuhkan oleh pihak istana.

Kepercayaan masyarakat Jepang pada zaman Yamato terbentuk dari kepercayaan religius sebagai unsur-unsur agama Shinto. Shinto adalah agama asli Jepang yang memiliki simbol, ritus, dan perayaan keagamaan yang sering dilakukan di dalam kuil-kuil yang sarat dengan mistik. Awal periode zaman Yamato, kepercayaan masyarakat sebagian besar bersifat animistik dan pemujaan terhadap alam. Agama Shinto berpusat pada pemujaan animistik gejala-gejala alam, gunung-gunung, air, dan seluruh proses penguburan dijadikan objek pemujaan yang percaya bahwa suatu binatang atau benda yang mempunyai hubungan darah sebagai keluarga atau suatu kelompok sosial tertentu dan karena itu memakai lambang, dimasukkan kedalam kami atau dewa (O Reischaver 1982:286).

Kekuasaan pemerintahan Yamato yang berkembang pesat di Jepang, menimbulkan keinginan untuk memulai kontak dengan daratan Asia, dengan adanya kontak dengan daratan Asia maka mulai diperkenalkan ide-ide dan teknik-teknik baru di Jepang. Budhisme masuk dari Cina dan India, ilmu organisasi pemerintahan, serta bentuk tulisan Cina namun masing-masing disesuaikan dengan kondisi Jepang. Selama abad ke-4 dan ke-5, terjadi perkembangan peradaban baru di Jepang. Jepang dipimpin oleh sistem kekaisaran yang turun temurun sampai sekarang. Para kaisar awal membangun istana mereka di kota yang dikenal dengan Osaka. Besar dan


(42)

kuatnya pengaruh kaisar pada zaman Yamato sekita abad ke-5 ditunjukkan dengan ditemukannya kuburan besar yang disebut Kofun dari masa kaisar Oojin sampai kaisar Nintoku.

Kofun adalah gundukan tanah yang dibuat dengan membentuk sebuah kuburan. Kuburan ini merupakan produk zaman Yamato yang muncul pada abad ke-3 M. Periode kofun ini merupakan kelanjutan dari periode akhir Yayoi. Kofun yang ada pada zaman Yamato merupakan makam-makam dari raja dan bangsawan yang berada disekeliling keluarga istana, kofun yang dibuat oleh kaisar Yamato menunjukkan bahwa pada saat itu kaisar telah memulai membentuk suatu sistem sosial politik untuk mengendalikan rakyat dan bangsa lain. Periode kofun banyak dipengaruhi dari budaya yang datang dari Cina dan Korea yang membawa penambahan-penambahan budaya baru. Pada zaman Yamato, periode kofun terbagi atas tiga periode yaitu periode awal kofun (abad ke-3), periode pertengahan kofun (abad ke-5), dan periode akhir kofun (abad ke-6). Bentuk kofun pada periode awal dan periode pertengahan dikenal berbentuk seperti lubang kunci / gundukan didepan persegi dan gundukan belakang berbentuk bundar (zenpoo koen fun), tetapi pada periode akhir kofun bentuk kofun mengalami perubahan bentuk menjadi bentuk petak (hoofun), karena pada periode akhir ini ajaran agama budha masuk ke Jepang dan mendapat perhatian khusus oleh pikhak istana. Tiap kofun selalu dikelilingi parit, dan ukurannya luar biasa besar. Setiap kofun memiliki ukuran yang berbeda-beda besar nya.

Pada tiap kofun banyak ditemukan bermacam-macam benda seperti cermin, pedang zirah, hiasan kepangkatan, dan perhiasan pribadi seperti anting-anting, gelang,


(43)

mahkota, sepatu dan juga tengkorak kepala manusia. Ada kalanya ditemukan bukti, kuda dikuburkan hidup-hidup bersama tuannya yang sudah meninggal. Yang paling khas dari artifak-artifak yang ditemukan didalam kofun adalah Haniwa. Haniwa adalah arca-arca kecil yang terbuat dari tanah liat yang dibakar dengan udara beroksigen yang rendah yang menghasilkan warna kuning mengkilap. Haniwa berasal dari kata Hani= tanah liat dan Wa= lingkaran (kodansha 1983:97). Biasanya haniwa tersusun melingkari permukaan kubur (bukit kubur), haniwa-haniwa ini ada yang bercorak manusia, hewan, mebel, alat-alat yang dipakai dalam kegiatan sehari-hari dan lain-lain.

Dari perbedaan besar kecilnya ukuran kofun, haniwa yang diletakkan didalam kofun tersebut berbeda-beda bentuk dan jenisnya, dan haniwa yang diletakkan ditengah-tengah makam adalah haniwa rumah terbesar dan haniwa jenis lainnya diletakkan melingkar disekeliling kofun.

Dalam latar belakang diatas, maka penulis hanya membatasi kajian haniwa dan kofun pada zaman Yamato, untuk itu penulis tertarik membahas nya dalam skripsi dengan mengambil judul

“Haniwa dalam Kofun Pada Zaman Yamato”

1.2 Perumusan Masalah

Awal periode zaman yamato, kepercayaan masyarakat sebagian besar bersifat animistik dan pemujaan terhadap alam. Agama Shinto berpusat pada pemujaan animistis gejala-gejala alam, gunung-gunung, air, dan seluruh proses penguburan


(44)

dijadikan objek pemujaan yang percaya bahwa suatu binatang atau benda yang mempunyai hubungan darah sebagai keluarga suatu kelompok sosial tertentu karena itu memakai lambing, dimasukan ke dalam kami atau dewa (O Reischaver 1982:286).

Haniwa merupakan istilah untuk barang tembikar berbentuk slinder dan dipahat berlubang untuk menghiasi permukaan gundukan kofun. Terdapat keyakinan dalam diri masyarakat pada zaman yamato bahwa haniwa memiliki kekuatan magis yang dapat melindungi roh raja-raja yang telah meninggal. Dengan latar belakang tersebut, dapat dilihat adanya keterikatan antara haniwa dengan kofun sehingga memilik fungsi religi dan makna melalui ajaran kepercayaan pada zaman tersebut.

Berdasarkan pernyataan di atas, apabila dituangkan ke dalam bentuk pertanyaan, maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi, yaitu:

1. Apa saja jenis-jenis haniwa yang terdapat di sekitar kofun?

2. Bagaimana Fungsi dan makna haniwa yang terdapat di sekitar kofun?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan masalah karena dalam setiap penelitian diperlukan adanya pembatasan masalah agar pembahasan tidak terlalu melebar, sehingga penulis dapat lebih fokus terhadap pembahasan dalam masalah tersebut.


(45)

Sebagaimana diketahui bahwa kofun pada zaman Yamato di jepang merupakan gudang berharga dengan kata lain tempat yang memberikan informasi yang berhubungan dengan kebudayaan, adat dan kehidupan kaum elit di jepang pada zaman Yamato. Disekitar kofun banyak ditemukan benda-benda seni yang mengagumkan. Pembuatan kofun yang terjadi pada zaman yamato menunjukan kekuasaan politiknya kepada masyarakat dan bangsa lain dengan membuat kofun, di dalam kofun banyak yang ditemukan benda-benda yang terbuat dari tembikar salah satunya haniwa. Untuk membatasi ruang lingkup dalam pembahasanya, maka dalam penulisan ini hanya akan membahas jenis-jenis haniwa di sekitar kofun dan fungsi serta makna haniwa yang terdapat disekitar kofun.

1. 4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

a. Tinjauan Pustaka

Menganalisa data pada umumnya ataupun isi dari suatu kebudayaan masyarakat tertentu, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu unsur-unsur kebudayaan universal(cultural universal). Kebudayaan universal adalah unsur-unsur yang ada dalam semua kebudayaan di seluruh dunia,baik yang kecil,yang bersahaja,terisolasi maupun yang besar dan kompleks dengan suatu jaringan jaringan hubungan yang luas. Menurut Suryohadiprojo (1982:192), kebudayaan adalah hasil dari budi-daya dan hasil dari pemikiran manusia.


(46)

Menurut Koentjaraningrat (2004:181) kebudayaan dengan kata dasar budaya, berasal dari bahasa sangsekerta: buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Jadi Koentjaningrat, mendefenisikan budaya sebagai daya budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa itu. Koentjaraningrat (2004:5-8) menyatakan bahwa kebudayaan itu mempunyai tiga wujud:

a. Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan- gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

b. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Menurut Yolanda (2007:51) yang sebelumnya meneliti budaya kofun pada zaman Yamato di Jepang, mengatakan bahwa zaman kofun adalah nama masa di Jepang yang lebih dikenal dengan zaman Yamato, karena pada zaman kofun ini orang yang berkuasa memerintah negara Jepang yaitu kaisar Yamato. Zaman kofun ini dimulai dengan ditanadai oleh adanya pembuatan kuburan-kuburan yang sangat besar dan mega. Kofun merupakan gundukan tanah yang dibuat diatas bukit atau gundukan tanah besar yang menyerupai bukit-bukit kecil. Kuburan ini dibuat khusus untuk menyimpan jenazah para penguasa atau bangsawan Jepang. Masyarakat biasa apabila meninggal hanya dikuburkan dalam goa atau yokoana.


(47)

Berdasarkan penelitian terdahulu yang membahas tentang budaya kofun maka penulis lebih memfokuskan pada Haniwa Dalam Kofun Pada Zaman Yamato.

b. Kerangka Teori

Dalam melakukan sebuah penelitian, penulis memerlukan kerangka teori sebagai landasan dalam penulisan skripsi, hal ini bertujuan agar penulis menjadi terarah dalam melakukan penulisan dalam penelitian.Dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan fungsional,pendekatan semiotik makna dan pendekatan history.Untuk mendukung dari penelitian ini penulis juga akan menyinggung segi religi.

Menurut Malinowski dalam Ihromi (2006:59) pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Pendekatan yang fungsional mempunyai suatu nilai praktis yang penting. Pendekatan teori fungsionalisme dapat secara bermanfaat diterapkan dalam analisa mekanisme kebudayaan-kebudayaan secara tersendiri.

Masyarakat zaman yamato memiliki kepercayaan Shinto yang bersifat animstik pemujaan terhadap alam. Kepercaan rakyat Jepang pada zaman ini terbentuk dari kepercayaan religius,sebagai unsur-unsur agama Shinto. Keyakinan itulah yang


(48)

membuat masyarakat pada zaman yamato percaya haniwa memliki kekutan magis dan memiliki fungsi kepercayaan.

Penulis juga menggunakan konsep yang berhubungan dengan religi yang bertujuan untuk menganalisa dengan lebih baik terhadap keterkaitanya dengana keberadaan haniwa di dalam kofun. Konsep religi menurut Koentjaraningrat (1974 : 137), yaitu sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.

Sudjiman dan Aart van zoest (1992 :5 ) mendefenisikan semiotik adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan denganya: cara berfungsinya, hubungan dengan tanda-tanda lain, pengirimanya dan penerimaanya oleh mereka yang mempergunakanya. Tanda bisa terdapat dimana-mana, misalnya: lampu lalu lintas, bendera, karya sastra, bangunan dan lain-lain. Hal ini disebabkan manusia adalah Homo Semiotikus, yaitu manusia mencari arti pada barang-barang dan gejala-gejala yang mengelilinginya.

Teori Semiotik oleh Ferdinand De Satsstre dalam ojmori.cim, dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda ( signified ). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedangkan pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nilai yang terkandung dalam didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan


(49)

konvensi , bisa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan dan konvensi terentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut.

Selain itu, penulis juga akan menyinggung tentang zaman Yamato dan sejarah haniwa sehingga dalam penelitian ini penulis juga akan menggunakan pendekatan historis. Menurut Kaelan (2005 : 61), sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap apa yang terjadi.Sedangkan menurut Nevin dalam Kaelan (2005 : 61), sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan,kejadian-kejadian atau fakta-fakta yang terjadi pada masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah di kemukakan sebelumnya, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui jenis-jenis haniwa yang terdapat di sekitar kofun.

b. Untuk mengetahui bagaimana fungsi dan makna haniwa yang terdapat di sekitar kofun.


(50)

b. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat dan berguna bagi pihak-pihak

tertentu,yaitu:

1.Bagi peneliti sendiri dapat menambah wawasan mengenai haniwa dalam kofun Pada Zaman yamato

2.Memberikan informasi kepada masyarakat luas pada umumnya dan mahasiswa Sastra Jepang pada khususnya mengenai haniwa dalam kofun pada zaman yamato.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menyangkut tentang metode penelitian,sumber data,teknik pengumpulan data,serta metode dan teknik analisa data.Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode deskriptif.

Menurut Koentjaraningrat (1976:30) penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu dalam memecahkan masalah penelitian mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji dan menginterprestasikan data. Menurut Endraswara (2008:5) metode penelitian yang menggunakan metode deskrptif merupakan sebuah penelitian terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan,bukan berbentuk angka.penelitian ini juga mencakup penelitian secara


(51)

kuantitatif. Endraswara (2008:5) kembali menjabarkan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang tidak menggunakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empiris. Dengan metode tersebut diatas, penulis akan menganalisa haniwa dalam kofun pada zaman yamato melalu gambar-gambarnya.Untuk dapat mendeskripsikan suatu masalah dengan tepat dan akurat serta penelitian yang berkesinambungan maka sebagai pendukung digunakan metode kepustakaan.Studi kepustakaan merupakan suatu aktifitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang ditunjukan untuk mewujudkan jalan memecahkan permasalahan penelitian. Beberapa aspek penting perlu dicari dan digali, meliputi:masalah, teori, konsep dan penarikan kesimpulan dan saran (Nasution,2001:14).

Dengan kata lain, studi kepustakaan (library research) adalah pengumpulan data dengan cara membaca buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan materi yang akan dibahas. Data yang diperoleh dari referensi tersebut kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan serta saran.Dalam penelitian ini,peneliti juga menggunakan metode terjemahan (translation method) yaitu metode yang berkenaan dengan rencana pelaksanaan (analisis, pengalihan, penyelesaian) penerjemahan (Machali,2000:48). Karena data dan sumber bacaan yang diperoleh ada sebagian menggunakan teks bahasa inggris.

Dalam metode ini,penulis memanfaatkan sumber-sumber yang didapatkan dari koleksi pribadi dan koleksi buku diperpustakaan USU, perpustakaan pusat dan jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara,perpustakaan konsulat jendral


(52)

jepang di Medan serta jurnal-jurnal ataupun artikel-artikel yang dimuat di majalah maupun internet sebagai sumber data.

Langkah-langkah dalam penulisan skripsi ini adalah:

a.Mengumpulkan data dengan teknik studi pustaka untuk kemudian menentukan masalah .

b.Menggunakan metode penerjemahan semantis untuk menerjemahkan referensi-referensi dari bahasa asing.

c.Merangkum hasil dalam sebuah laporan


(53)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Haniwa dalam kofun pada zaman Yamato. Skripsi ini memiliki tujuan untuk mengetahui apa saja jenis-jenis haniwa dan bagaimana fungsi serta makna haniwa yang terdapat di sekitar kofun yang ada pada zaman Yamato.

Zaman Yamato dibagi menjadi dua yaitu zaman Kofun (250 M - 550 M ) dan zaman Asuka (550 M – 710 M). Pemberian nama Yamato didasarkan atas daerah kekuasaan negeri Yamato.

Masyarakat pada zaman Yamato diperintahkan oleh seorang kaisar, namun yang menjalani roda pemerintahanya adalah kepala klan (goozoku) yang merupakan pembantu kaisar. Struktur masyarakat pada zaman ini menunjukan adanya kelas-kelas dalam masyarakat. Keturunan Tenno merupakan kelas tertinggi, sedangkan goozoku dan masyarakat biasa berada dibawah tenno, tanah dimiliki oleh tenno dan goozoku, rakyat biasa hanyalah penggarap tanah. Para penghuni tanah yaitu rakyat biasa memiliki kewajiban mengolah tanah dan membuat bermacam-macam perlengkapan yang dibutuhkan oleh pihak istana.

Kofun adalah gundukan tanah yang dibuat dengan membentuk sebuah kuburan. Kuburan ini merupakan produk zaman Yamato yan muncul pada abad ke-3 M. Kofun yang ada pada zaman Yamato merupakan makam dari raja-raja dan bangsawan yang telah meninggal.

Banyak jenis gundukan dibangun tetapi ciri khas dari kofun pada zaman Yamato adalah lubang kunci makam yang dikenal dengan sebutan Zenpo Koen Fun.


(54)

Pada tiap kofun banyak ditemukan bermacam-macam benda, yang paling khas dari benda-benda tersebut adalah Haniwa. Haniwa (hani berarti “tanah liat” dan wa berarti lingkaran”) muncul pertama kali di daratan Kansai.

Haniwa adalah arca-arca yang terbuat dari tanah liat yang menghasilkan warna kuning mengkilap yang terdapat pada kofun. Haniwa memiliki beragam jenis dan bentuk. Ada yang bercorak manusia, hewan , mebel, dan alat-alat yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari, yang paling banyak ditemui pada setiap kofun adalah haniwa manusia, rumah, kapal dan hewan yang memiliki makna masing-masing.

Kepercayaan masyarakyat Jepang pada zaman Yamato terbentuk dari kepercayaan religius, sebagai unsur-unsur agama Shinto yang bersifat animistik pemujaan terhadap alam. Masyarakat percaya haniwa memiliki kekuatan magis.

Haniwa pada awalnya digunakan untuk mendefinisikan parameter makam suci, memisahkan dan melindungi roh orang yang telah mati dari gangguan roh jahat. Ritual khusus diadakan untuk menghormati orang mati. Jenis-jenis haniwa mewakili dari kehidupan almarhum sebagai sosok yang dilayani dan dihormati semasa hidup. Disisi lain, masyarakat Yamato percaya haniwa berfungsi untuk membuat roh merasa nyaman dengan kehidupanya yang baru sebab haniwa dapat dijadikan teman di alam arwah dan media untuk menjalin kehidupanya yang baru.


(55)

Haniwa figur Manusia melambangkan sosok seorang tokoh-tokoh yang ada pada zaman Yamato. Haniwa rumah dan kapal melambangkan sebuah bangunan rumah dan kapal yang dipergunakan di zaman tersebut sebagai tempat tinggal dan kendaraan, sedangkan makna haniwa hewan melambangkan hewan-hewan yang berjasa di dalam kehidupan pada zaman Yamato


(56)

HANIWA DALAM KOFUN PADA ZAMAN YAMATO YAMATO JIDAI NO KOFUN NI ARU HANIWA

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian sarjana dalam bidang llmu Sastra Jepang

Oleh :

ALFREDDIAZ MUHAMMAD 110708011

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016


(57)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Haniwa dalam kofun pada zaman Yamato“ sebagai syarat untuk memenuhi ujian akhir Strata 1 Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa apa yang tertulis dalam tugas skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi materi maupun penulisan. Demi kesempurnaan, Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk ke arah perbaikan.

Dalam skripsi ini telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak yang sangat bernilai harganya. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terimakasih banyak sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs.Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Hamzon Situmorang M.S.Ph.D, selaku Dosen Pembimbing 1 yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing kepada penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.


(58)

4. Bapak Drs. Amin Sihombing, selaku Dosen Pembimbing 2 yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing kepada penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.

5. Seluruh Staf Pengajar pada program studi Sastra Jepang, yang dengan ikhlas memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menjadi mahasiswa. 6. Dari semuanya, yang teristimewa buat orangtua, Ayahanda Zainal Bachri, Husniadi (alm) dan Ibunda Desmawati penulis yang telah memberikan semangat, dukungan, materi, doa, serta kasih sayang yang begitu besar kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan baik. Juga terima kasih buat saudara tercinta Eko Kurniawan, S.E dan Dhani ihsandro yang telah meluangkan waktu memberikan semangat dan motivasi kepada Penulis.

7. Buat para sahabat Aotake 2011, para sahabat Imib Usu semuanya yang selalu memberi semangat, dukungan dan doa serta persahabatan yang tulus kepada penulis. 8. Buat sahabat terbaik saya Krai, Patma, Item, Reren, Katul, Macang, Bobi, Mamak kanciu, Bred terimakasih atas semangat yang kalian berikan selama ini. Arigatou. 9. Seluruh Alumni, Senior dan junior penulis,dan kawan-kawan semuanya yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas bantuannya selama ini.

10. Buat wanita spesial yang mengisi hati Saya selama ini, Deswira terimakasih atas Motivasi yang tiada henti-hentinya.

11. Buat Mas Joko, Admin jurusan yang telah banyak membantu penulis dan teman-teman dalam hal administrasi kampus, terimakasih banyak atas bantuannya selama ini.


(59)

Akhirnya kepada Allah swt diri ini bersujud dan mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga karena atas izin-Nya penulis mampu menyelesaikan Skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati penulis membuat Skripsi ini semoga bermanfaat bagi pembaca dan penulis.

Medan, Januari 2016

Penulis

( ALFREDDIAZ MUHAMMAD ) NIM : 110708011


(60)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 5

1.4 Tinjauan Pusataka dan Kerangka Teori ... 6

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.6 Metode Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HANIWA DALAM KOFUN PADA ZAMAN YAMATO 2.1 Zaman Yamato ... 14

2.2 Masyarakat Pada Zaman Yamato ... 17

2.2.1 Struktur Masyarakat ... 19

2.2.2 Kepercayaan Masyarakat ... 21

2.2.3 Kebudayaan Pada Zaman Yamato ... 23

2.3 Definisi Kofun ... 26

2.3.1 Kofun di Jepang ... 26

2.3.2 Isi Kofun ... 30

2.4 Haniwa ... 30

2.4.1 Sejarah Haniwa ... 31

2.4.2 Jenis-jenis Haniwa ... 34

BAB III ANALISA FUNGSI DAN MAKNA HANIWA DALAM KOFUN PADA ZAMAN YAMATO 3.1 Fungsi Haniwa ... 35


(61)

3.2 Makna Haniwa ... 39

3.2.1 Haniwa Manusia ... 39

3.2.2 Haniwa Bangunan Rumah dan Kapal ... 42

3.2.3 Makna Hewan ... 43

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ... 44

4.2 Saran ... 46 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN ABSTRAK


(1)

HANIWA DALAM KOFUN PADA ZAMAN YAMATO YAMATO JIDAI NO KOFUN NI ARU HANIWA

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian sarjana dalam bidang llmu Sastra Jepang

Oleh :

ALFREDDIAZ MUHAMMAD 110708011

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Haniwa dalam kofun pada zaman Yamato“ sebagai syarat untuk memenuhi ujian akhir Strata 1 Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa apa yang tertulis dalam tugas skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi materi maupun penulisan. Demi kesempurnaan, Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk ke arah perbaikan.

Dalam skripsi ini telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak yang sangat bernilai harganya. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terimakasih banyak sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs.Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Hamzon Situmorang M.S.Ph.D, selaku Dosen Pembimbing 1 yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing kepada penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.


(3)

4. Bapak Drs. Amin Sihombing, selaku Dosen Pembimbing 2 yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing kepada penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.

5. Seluruh Staf Pengajar pada program studi Sastra Jepang, yang dengan ikhlas memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menjadi mahasiswa. 6. Dari semuanya, yang teristimewa buat orangtua, Ayahanda Zainal Bachri, Husniadi (alm) dan Ibunda Desmawati penulis yang telah memberikan semangat, dukungan, materi, doa, serta kasih sayang yang begitu besar kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan baik. Juga terima kasih buat saudara tercinta Eko Kurniawan, S.E dan Dhani ihsandro yang telah meluangkan waktu memberikan semangat dan motivasi kepada Penulis.

7. Buat para sahabat Aotake 2011, para sahabat Imib Usu semuanya yang selalu memberi semangat, dukungan dan doa serta persahabatan yang tulus kepada penulis. 8. Buat sahabat terbaik saya Krai, Patma, Item, Reren, Katul, Macang, Bobi, Mamak kanciu, Bred terimakasih atas semangat yang kalian berikan selama ini. Arigatou. 9. Seluruh Alumni, Senior dan junior penulis,dan kawan-kawan semuanya yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas bantuannya selama ini.

10. Buat wanita spesial yang mengisi hati Saya selama ini, Deswira terimakasih atas Motivasi yang tiada henti-hentinya.

11. Buat Mas Joko, Admin jurusan yang telah banyak membantu penulis dan teman-teman dalam hal administrasi kampus, terimakasih banyak atas bantuannya selama ini.


(4)

Akhirnya kepada Allah swt diri ini bersujud dan mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga karena atas izin-Nya penulis mampu menyelesaikan Skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati penulis membuat Skripsi ini semoga bermanfaat bagi pembaca dan penulis.

Medan, Januari 2016

Penulis

( ALFREDDIAZ MUHAMMAD ) NIM : 110708011


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 5

1.4 Tinjauan Pusataka dan Kerangka Teori ... 6

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.6 Metode Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HANIWA DALAM KOFUN PADA ZAMAN YAMATO 2.1 Zaman Yamato ... 14

2.2 Masyarakat Pada Zaman Yamato ... 17

2.2.1 Struktur Masyarakat ... 19

2.2.2 Kepercayaan Masyarakat ... 21

2.2.3 Kebudayaan Pada Zaman Yamato ... 23

2.3 Definisi Kofun ... 26

2.3.1 Kofun di Jepang ... 26

2.3.2 Isi Kofun ... 30

2.4 Haniwa ... 30

2.4.1 Sejarah Haniwa ... 31

2.4.2 Jenis-jenis Haniwa ... 34

BAB III ANALISA FUNGSI DAN MAKNA HANIWA DALAM KOFUN PADA ZAMAN YAMATO 3.1 Fungsi Haniwa ... 35


(6)

3.2 Makna Haniwa ... 39

3.2.1 Haniwa Manusia ... 39

3.2.2 Haniwa Bangunan Rumah dan Kapal ... 42

3.2.3 Makna Hewan ... 43

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ... 44

4.2 Saran ... 46 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN ABSTRAK