Pembuktian Complicated Dikaitakan Dengan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan

BAB II
PEMBUKTIAN DALAM PERKARA KEPAILITAN

A.

Pembuktian

1.

Pengertian
Setiap orang tahu bahwa dalam setiap ilmu pengetahuan dikenal adanya

pembuktian. Di dalam ilmu pasti ada dikenal suatu pembuktian yang seksama, yaitu
pembuktian yang mempunyai nilai mutlak, misalnya pembuktian di dalam ilmu ukur
yang menerima pengakuan tentang suatu aksioma yang mengatakan bahwa di dalam
satu segitiga jumlah sudut dalamnya ada tiga dan seluruhnya berjumlah 180 derajat,
bahwa dari dua kaki segitiga itu tidak akan merupakan garis yang sejajar dan segitiga
itu harus ada tiga garis lurus yang saling berpotongan melalui tiga titik dan
membatasi satu bidang datar, juga bahwa dari dua buah titik hanya dapat ditarik satu
garis saja. Jadi pembuktian dalam ilmu pasti ini logis karena merupakan suatu
pembuktian yang dapat diterima akal sehat dan berlaku secara umum. 47

Lain halnya dengan pembuktian dalam ilmu hukum, pembuktiannya tidak dapat
secara mutlak dan tidak logis, melainkan pembuktiannya bersifat kemasyarakatan
karena sedikit terdapat unsur ketidakpastian. Jadi kebenaran yang dicapai adalah
kebenaran yang relatif. Kita harus memberikan keyakinan terhadap fakta-fakta yang
dikemukakan itu agar masuk akal atau selaras dengan kebenaran.

47

Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, (Bandung : PT. Alumni, 2004),

hal. 10.

31

32

Keyakinan bahwa sesuatu hal memang benar-benar terjadi harus dapat
diciptakan dan dapat diterima oleh pihak lainnya, karena apabila hanya dapat
diciptakan tanpa diikuti (diterima) oleh pihak lain maka akan tidak mempunyai arti. 48
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pembuktian di dalam ilmu

hukum itu hanya ada apabila terjadi bentrokan kepentingan yang diselesaikan melalui
pengadilan dan lazimnya masalah bentrokan tersebut akhirnya disebut dengan
perkara. Bentrokan kepentingan itu dapat diakibatkan karena salah satu pihak
menyangkal tentang sesuatu hak.
Jika si A menyatakan bahwa kendaraan itu miliknya, kemudian pihak lain (si B)
menyangkal bahwa kendaraan itu milik si A, maka si A harus membuktikan
tentang kebenaran yang dikemukakannya. Akan tetapi, sebaliknya apabila si
penjual tidak menyangkal bahwa ia telah menerima sejumlah uang pembayaran
harga barang dari si pembeli, maka pembeli tidak usah membuktikan lagi bahwa
ia sudah melakukan pembayaran kepada penjual. 49
Bentrokan mengenai kepentingan perdata semata-mata penyelesaiannya
merupakan kewenangan pengadilan. Tugas pengadilan adalah menetapkan siapa
pemilik sebenarnya kendaraan yang disengketakan itu merupakan tindakan
menjelaskan tentang kedudukan hukum para pihak yang terlibat dalam persengketaan
tersebut. 50
Dalam proses pemeriksaan pengadilan, sebelum ditarik kesimpulan akhir yang
dituangkan dalam keputusan, dalam tugasnya pengadilan harus berpedoman pada
aturan-aturan pembuktian yang disebut dengan hukum pembuktian. Oleh karena itu,

48


Ibid.
Ibid.,hal. 11
50
Ibid.

49

33

pengadilan (hakim) tidak boleh hanya bersandar pada keyakinannya belaka akan
tetapi harus disandarkan kepada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang
bersengketa yang merupakan alat bukti. 51
Apabila hakim secara mutlak menyandarkan pada keyakinannya saja tanpa alatalat bukti lainnya akan dapat berakibat terjadinya tindakan yang sewenang-wenang,
karena keyakinan hakim itu sangat subjektif sekali. Maka dari itu sewajarnyalah
apabila dari dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa itu menjadi
pula dasar pertimbangan bagi hakim agar dapat dicapai suatu keputusan yang
objektif.
Prof. R. Subekti, SH berpendapat bahwa “membuktikan ialah meyakinkan
hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu

persengketaan”. 52 Dengan kata lain, membuktikan berarti menjelaskan (menyatakan)
kedudukan hukum yang sebenarnya berdasarkan keyakinan hakim kepada dalil-dalil
yang dikemukakan para pihak yang bersengketa. 53
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM
“Membuktikan” mengandung beberapa pengertian : 54
a. Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah

51

Ibid., hal.12
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1983), hal. 7
53
Teguh Samudera, Loc. Cit.
54
Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, (Bandung : Alumni, 1993),
hal. 15
52

34


Membuktikan berarti memberikan kepastian yang bersifat mutlak, karena
berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
b. Membuktikan dalam arti konvensional
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang
mempunyai tingkatan-tingkatan :
-

kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif
(conviction intime)

-

kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)

c. Membuktikan dalam arti yuridis
Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan
mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan
adanya bukti lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang
bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihakpihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan
demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran

mutlak. Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu
tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya
bukti lawan.
Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian “historis” yang
mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkret. Baik pembuktian
yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya

35

berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu
dianggap benar.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar
yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para
pihak di persidangan. 55
Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang
tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan
buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa,
dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya
keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan

berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa
yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara
perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.
2.

Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata
Peradilan memiliki fungsi yang cukup penting di dalam masyarakat. Fungsi

tersebut antara lain dalam rangka membantu menyelesaikan sengketa atau
perselisihan yang timbul akibat benturan kepentingan anggota masyarakat satu sama
lain. Oleh karena itu eksistensi perangkat hukum acara perdata yang memadai sesuai
perkembangan masyarakat dengan segala macam kompleksitasnya sangat diperlukan.

55

hal. 107.

R.M. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1985),

36


Adalah suatu kenyataan bahwa hukum acara perdata positip yang dinyatakan secara
resmi berlaku berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 19
Tahun 1964 dan Nomor 3 tahun 1965 adalah "het Herziene Indonesisch Reglement
(HIR)" untuk Jawa dan Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura diberlakukan
“Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg)". Kecuali dua ketentuan di atas, Undangundang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, memuat juga
beberapa ketentuan tentang hukum acara perdata. Selebihnya peraturan hukum acara
perdata tersebar pula di laman BW, WvK, dan Peraturan Kepailitan.
Keseluruhan ketentuan hukum acara perdata tersebut merupakan suatu sistem
yang terdiri atas sub-sub sistem. Salah satu dari sub sistem itu adalah sub sistem
pembuktian. Untuk lebih memahami tentang sistem hukum acara perdata tersebut,
terlebih dahulu perlu diketahui tentang apa yang dimaksud dengan sistem itu sendiri.
R. Subekti mengemukakan, bahwa sistem adalah suatu susunan yang teratur
yang merupakan keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian (sub-sub) yang satu
sama lain saling kait-mengkait, dan tidak boleh terjadi suatu tumpang tindih antara
bagian-bagian itu dan tersusun menurut suatu pemikiran tertentu untuk mencapai
tujuan. 56
Hukum sebagai suatu sistem merupakan suatu kesatuan yang bulat, yang di
dalamnya tidak dikehendaki adanya pertentangan. Apabila ternyata terjadi suatu
pertentangan maka akan diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu sendiri. Sebagai


56

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung : Alumni,
1983), hal.15.

37

suatu sistem, hukum juga memiliki sub-sub sistem di dalamnya, masing-masing sub
sistem itu saling membantu untuk menyempurnakan kekurangan yang terdapat di
dalamnya.
Hukum acara perdata sebagai salah satu sistem bertujuan untuk menyelesaikan
pertentangan kepentingan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu maka sub
sistem pembuktian merupakan keseluruhan ketentuan tentang pembuktian yang
tersusun secara teratur yang satu sama lain saling kait mengkait, dan bertujuan untuk
dapat menentukan terbukti tidaknya suatu peristiwa tertentu yang dikemukakan oleh
para pihak di persidangan.
Di dalam hukum acara perdata dikenal beberapa sistem beracara yaitu sebagai
berikut :
a.


Sistem beracara secara langsung dan tidak langsung
Sistem beracara secara langsung artinya para pihak langsung menghadap sendiri

di persidangan tanpa mewakilkan kepada kuasa atau pengacara. Di dalam sistem
semacam ini hakim langsung berhadapan dan mendengar pihak-pihak itu sendiri.
Oleh karena itu hakim akan dapat memperoleh keterangan-keterangan secara
langsung, sebab para pihak menghadap sendiri di persidangan.
Para pihak yang bersengketa secara langsung pula akan membuktikan
kebenaran dalil-dalil yang mereka kemukakan, baik dengan mengajukan surat-surat,
saksi-saksi, pengakuan, maupun sumpah. Jadi hakim dapat melakukan pengawasan
secara langsung kepada para pihak, sehingga kemungkinan para pihak untuk
mengemukakan sesuatu yang tidak benar sedapat mungkin akan diminimalkan. Hal

38

ini disebabkan hakim dapat mengetahui keadaan para pihak yang berperkara atau para
saksi yang memberikan keterangan.
Sedangkan sistem beracara secara tidak langsung adalah suatu sistem yang para
pihak bersengketanya mewakilkan kepada kuasa atau pengacara. Konsekuensi logis

dari sistem ini antara lain para pihak tidak langsung berhadapan dengan hakim yang
memeriksa sengketa mereka. Pemeriksaan perkara dalam sistem ini berlangsung
secara tertulis. Akibatnya di dalam sistem ini hakim mencari kebenaran peristiwa itu
melalui kuasa atau pengacara para pihak. Sistem tidak langsung ini mengandung
cukup risiko, terutama bagi pihak-pihak yang diwakili. Ini disebabkan antara lain
karena pada dasarnya seorang kuasa atau pengacara acapkali kurang mendalami
peristiwa yang menjadi sengketa secara terinci. Oleh karena itu para kuasa atau
pengacara umumnya hanya akan menyampaikan sesuatu berdasarkan pada
keterangan yang mereka peroleh atau ketahui dari para pihak yang bersangkutan.
Dalam kaitan dengan sistem beracara secara tidak langsung di atas, Wirjono
Prodjodikoro, mengemukakan, antara lain sebagai berikut :
"... bahwa dengan adanya wakil dari pihak-pihak yang berperkara, hakim tidak
dapat berhadapan langsung dengan orang-orang yang berkepentingan sendiri.
Ini mungkin mengakibatkan bahwa hakim tidak mendapat kesempatan untuk
merasakan betul kebutuhan orang-orang itu...". 57

57

30.

R.Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung : Sumur, 1978), hal.

39

Akan tetapi sistem beracara secara tidak langsung juga tidak kaku. Oleh karena
berdasarkan pada asas kebebasan hakim, apabila hakim menganggap perlu dapat
memanggil pihak-pihak yang langsung berkepentingan untuk menghadap di depan
sidang guna didengar keterangannya, meskipun yang bersangkutan telah diwakili
oleh seorang pengacara.
Di dalam proses pembuktian, beracara secara tidak langsung ini juga dapat
merugikan. Umpamanya saja jika pembelaan yang dikemukakan oleh kuasa atau
pengacara justru tidak membantu hakim untuk menemukan kebenaran peristiwanya.
Lebih-lebih lagi jika pengacara atau kuasanya itu bukan seorang ahli hukum. Apabila
demikian adanya maka tidak jarang justru yang terjadi adalah kesulitan bagi hakim
untuk menemukan kebenaran peristiwa yang bersangkutan. Padahal tujuan berperkara
dengan menggunakan kuasa atau pengacara sesungguhnya agar hakim dapat dibantu
dalam rangka menemukan hukum yang tepat, sehingga memudahkan hakim untuk
mengambil keputusan yang adil dan benar.
b.

Sistem Pemeriksaan Perkara dalam Ruang Sidang
Dalam hukum acara perdata pada prinsipnya pemeriksaan perkara dilakukan

dalam suatu ruang sidang yang khusus ditentukan untuk itu. Sidang itu pun harus
dinyatakan terbuka untuk umum, kecuali undang-undang melarangnya. Sifat
terbukanya sidang untuk umum ini merupakan syarat mutlak, namun ada

40

pembatasannya yaitu apabila undang-undang menentukan lain atau berdasarkan
alasan penting menurut hakim yang dimuat dalam berita acara atas perintahnya. 58
Jika demikian maka pemeriksaan perkara akan dilakukan dengan pintu tertutup.
Ketentuan terbukanya sidang untuk umum itu antara lain dimaksudkan untuk
menjaga

objektivitas

pemeriksaan

perkara

yang

bersangkutan.

Sistem

itu

sesungguhnya dapat mengakibatkan lambatnya proses pemeriksaan perkara di
persidangan. Keterlambatan itu sangat mungkin terjadi disebabkan oleh berbagai
faktor. Dapat terjadi karena adanya oknum hakim atau para pihak sendiri yang karena
sikapnya kemudian berakibat proses pemenyelesaian perkara menjadi lambat. Hal itu
dapat terjadi oleh karena semua kegiatan, seperti: mengajukan gugatan, jawaban,
replik, duplik, pemeriksaan alat-alat bukti, saksi-saksi, dan sebagainya, semuanya
harus dilakukan dan diperiksa di dalam suatu sidang yang khusus diadakan untuk itu.
Kenyataannya hal itu sulit untuk dapat dilaksanakan dalam waktu yang relatif
singkat.
Pada kesempatan sidang pertama, hakim akan menawarkan dan memberikan
kesempatan kepada para pihak untuk berdamai. 59 Apabila usaha perdamaian itu
berhasil, maka hakim akan menjatuhkan putusannya (acte van vergelijk), yang isinya
menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat

58

Pasal 19 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman atau Pasal 29
Reglement op de Rechterlijke Organisatie in het beleid der Justitie in Indonnesie (RO) S. 1847 Nomor
23
59
Pasal 130 HIR, pasal 154 Rbg. Lihat pula pasal 39 UU Nomor 1 tahun 1974. Bandingkan
Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Mandar Maju,
1995), hal. 35-37.

41

antara mereka. Akte tersebut memiliki kekuatan seperti putusan hakim biasa.
Akibatnya maka akte tersebut berlaku sebagai penyelesaian perselisihan.
Sebaliknya jika keadaannya malah berlarut-larut, ditambah lagi kedua belah
pihak menunjukkan kesan seolah-olah tidak beriktikad baik, maka akan
memperlambat proses pemeriksaan sengketa. Akibat dari keadaan tersebut tidak
jarang malahan setelah diupayakan berkali-kali untuk berdamai, ternyata perdamaian
pun tidak berhasil. Apabila pada kesempatan sidang pertama kedua belah pihak tidak
mau berdamai, maka perkaranya akan mulai diperiksa. Pada saat itu juga kepada
penggugat diberikan kesempatan untuk membacakan gugatannya. Setelah itu,
tergugat dapat meminta waktu untuk mempelajari gugatan dan memberikan
jawabannya pada kesempatan sidang berikutnya. Sidang dapat tertunda atau sengaja
diundur jika salah satu dari para pihak atau bahkan hakimnya sendiri berhalangan
hadir pada kesempatan hari sidang yang telah ditentukan.
Perancis adalah salah satu negara yang dikenal memiliki manajemen pengadilan
yang relatif baik, sehingga kelambatan jalannya persidangan pengadilan dapat
dikurangi. Caranya antara lain dengan menunjuk seorang hakim yang sebelum
perkara disidangkan diberi tugas khusus mengumpulkan gugatan-gugatan, jawaban
gugatan, replik, duplik, memeriksa surat-surat bukti, dan saksi-saksi kalau diperlukan,
dan sebagainya. 60

60

Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Perancis Lebih Cepat dari Peradilan Kita,
(Jakarta : Ghalia Indonesia, 1981), hal. 36.

42

Menurut sistem tersebut perkara-perkara perdata tidak langsung disidangkan,
melainkan diproses terlebih dahulu oleh seorang hakim yang ditunjuk untuk itu.
Setelah segala sesuatunya dianggap rampung, maka hakim ini menyatakan bahwa
pemeriksaan telah selesai, lalu mengirimkan berkasnya kepada ketua majelis yang
akan menyidangkannya. Semua pekerjaan itu dilakukan oleh hakim tersebut di dalam
ruang kerjanya dengan dibantu oleh seorang panitera, sudah tentu dengan batas waktu
maksimum yang ditetapkan oleh hakim itu sendiri demi kecepatan persidangan.
Akan tetapi ada kehawatiran jika sistem di Perancis diterapkan pada sistem
peradilan di Indonesia. Menurut Siahaan, kita harus berfikir dua kali, oleh
karena bahayanya dari sistem tersebut adalah bahwa hakimhakim dapat
menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya dengan jalan
memanipulasi perkara-perkara yang bersangkutan. 61
Kebebasan yang diberikan kepada seseorang hakim untuk mengolah perkara
tersebut sebelum sampai ke persidangan, justru dapat menciptakan peluang untuk
mengulur waktu serta mempermainkan para pihak supaya maksudnya tercapai.
Akibat yang akan terjadi malahan sebaliknya, yaitu bukan semakin cepat, melainkan
semakin lambat dan bertele-tele, sehingga kemungkinan akan membosankan dan
menjengkelkan pihak-pihak yang berperkara. Atas dasar pertimbangan baik dan
buruknya sistem yang dianut di Perancis tersebut, maka seyogianya dipertimbangkan
lebih matang lagi untuk meniru system tersebut. Yang paling baik bagi keadaan di
Indonesia adalah menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim untuk menentukan
tentang apa dan bagaimana yang menurut pertimbangannya dapat mempercepat
proses pemeriksaan.
61

Ibid., hal. 37

43

c.

Sistem Peradilan Dua Tingkat
Sistem peradilan dua tingkat adalah sistem yang terdiri atas pengadilan negeri

sebagai pengadilan tingkat pertama (original jurisdiction) dan pengadilan tinggi
sebagai pengadilan tingkat banding (appellate jurisdiction). Pada tingkat pertama,
pengadilan negeri menerima surat gugatan, mendamaikan, menerima jawaban
gugatan, replik, duplik, memeriksa alat-alat bukti, dan menjatuhkan putusan.
Pengadilan tingkat pertama ini disebut juga sebagai pengadilan judex factie karena
berurusan dengan fakta-fakta. Sedangkan pada pengadilan tinggi sebagai pengadilan
tingkat kedua dan terakhir, perkara diperiksa secara keseluruhan, baik dari segi
peristiwanya maupun segi hukumnya. Pemeriksaan ulang tersebut dilakukan apabila
salah satu pihak tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Permohonan
pemeriksaan ulang dapat dimintakan baik oleh pihak yang kalah maupun oleh pihak
yang dimenangkan. Akan tetapi biasanya yang menggunakan upaya hukum banding
sebagai upaya pemeriksaan ulangan adalah pihak yang dikalahkan dipersidangan.
Namun bukan sesuatu yang tidak mungkin bahwa pihak yang dimenangkan pun
masih menggunakan upaya hukum banding. Biasanya pihak yang sudah menang akan
menggunakan upaya hukum banding, manakala tuntutannya tidak dikabulkan semua.
Upaya banding dapat juga dilakukan oleh pihak yang sudah dimenangkan apabila
putusan pengadilan tingkat pertama dirasakan sebagai kurang adil.
Sistem banding ini dalam praktiknya memang tidak digunakan untuk semua
jenis dan nilai gugatan perkara perdata. Hal itu didasarkan pada berbagai
pertimbangan, sebab dapat dibayangkan jika semua jenis perkara dan nilai gugatan

44

dapat diajukan permohonan bandingnya, maka akan terjadi tumpukan perkara perdata
pada pengadilan tinggi. Akibatnya pemeriksaan perkara perdata akan menjadi lambat.
Bahkan tidak mustahil terjadi suatu perkara perdata dengan nilai gugat relatif kecil
akan tetapi memakan waktu bertahun-tahun untuk dapat memperoleh kekuatan
hukum yang pasti, karena perkara tersebut terus dimintakan upaya hukum kasasi
hingga Mahkamah Agung.
Untuk menghindari hal-hal seperti tersebut di atas, tepat kiranya apa yang
dikemukakan oleh Lintong Siahaan, bahwa menggunakan sistem yang memberikan
wewenang kepada pengadilan tingkat pertama untuk memutus dalam tingkat terakhir
atas perkara-perkara perdata yang nilai gugatnya relatif kecil. Hal itu akan sangat
bermanfaat untuk mempercepat jalannya persidangan. Di samping itu, mengingat
upaya hukum banding itu bertujuan untuk memperoleh perbaikan putusan yang lebih
menguntungkan, maka upaya hukum banding tidak selayaknya disediakan bagi pihak
yang dimenangkan. Adalah seyogianya jika banding hanya diperuntukan bagi pihak
yang yang dikalahkan atau merasa dirugikan. 62 Berkaitan dengan hal di atas, terdapat
putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa: "...permohonan banding itu
hanya terbatas pada putusan pengadilan negeri yang merugikan pihak yang naik
banding, jadi tidak ditujukan pada putusan pengadilan negeri yang menguntungkan
baginya...". 63

62

Ibid., hal. 38
Putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Desember 1975 Nomor 281K/Sip/1973; di dalam
Rangkuman Yurisprudensi II, 1977, halaman 250.
63

45

Walaupun terdapat penegasan di dalam putusan Mahkamah Agung tersebut,
akan tetapi kenyataan acapkali berbeda. Tidak jarang justru upaya hukum banding
sengaja dipergunakan oleh pihak-pihak yang dikalahkan, terutama yang beriktikad
buruk, sebagai senjata untuk memperlambat proses kekalahannya. Lebih jauh lagi
sikap semacam itu sengaja diciptakan agar yang bersangkutan (pihak yang telah
dikalahkan pada tingkat pertama), tetap dapat menikmati benda-benda sengketa
hingga memperoleh keputusan Kasasi dari Mahkamah Agung. Tidak memberikan
kesempatan naik banding terhadap perkara-perkara yang nilai gugatnya relatif kecil,
bukan berarti tidak memberikan keadilan kepada pihak yang kecil. Namun didasarkan
pada pertimbangan risiko dan efisiensi. Artinya risiko sebagai akibat kesalahan
putusan yang mungkin timbul dalam perkara yang nilai gugatnya relatif kecil, juga
akan lebih kecil jika dibandingkan dengan risiko penguluran waktu jika yang
bersangkutan melakukan banding. Demikian pula halnya dengan efisiensi atau
penghematan biaya untuk berperkara pada tingkat banding. Boleh jadi malah biaya
perkara untuk mengajukan banding akan lebih besar jika dibandingkan dengan
besarnya nilai gugat. Itu berarti berperkara dengan nilai gugat kecil tetapi
menggunakan upaya hukum banding, dari segi biaya perkara sama sekali tidak
efisien.
Mahkamah Agung, selain sebagai peradilan kasasi, dalam sistem peradilan dua
tingkat MA juga sebagai peradilan tertinggi negara untuk semua jenis peradilan.
Sebagai peradilan kasasi, tugasnya antara lain membina keseragaman dalam
penerapan hukum. Hal itu berarti menjaga agar semua hukum dan perundang-

46

undangan di seluruh wilayah Indonesia diterapkan secara tepat dan adil. Berkenaan
dengan hal ini R. Subekti mengemukakan bahwa "...Sistem kasasi adalah baik untuk
negara kita yang merupakan Negara kesatuan, namun harus kita perhatikan juga
bahwa sistem tersebut memerlukan garis yang panjang untuk mencapai putusan
pengadilan yang pasti (kekuatan hukum yang mutlak...". 64
3.

Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil
Sistem pembuktian yang dianut Hukum Acara Perdata tidak bersifat stelsel

negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses
pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran. Pembuktian dalam proses
pemeriksaan pidana berlaku ketentuan sebagai berikut : 65
-

Harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang mencapai batas minimal
pembuktian, yakni sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam arti
memenuhi syarat formil dan materil;

-

Di atas pembuktian yang mencapai batas minimum tersebut, harus didukung
lagi oleh keyakinan hakim tentang kebenaran keterbuktian kesalahan
terdakwa (beyond a reasonable doubt).
Sistem pembuktian inilah yang dianut Pasal 183 KUHAP. Kebenaran yang

dicari dan diwujudkan, selain alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal
pembuktian, kebenaran tersebut harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang disebut

64

R. Subekti, Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, (Bandung :
Alumni, 1978), hal. 124.
65
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata : Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 498.

47

beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan
bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai
kebenaran hakiki (materiele waarheid, ultimate truth). 66
Tidak demikian halnya dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari
dan diwujudkan hakim, cukup kebenaran formil (formeel waarheid). Dari diri dan
sanubari hakim tidak dituntut keyakinan. Para pihak yang berperkara dapat
mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun fakta yang
demikian

secara

teoritis

harus

diterima

hakim

untuk

melindungi

atau

mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan.
Dalam kerangka sistem pembuktian yang demikian, sekiranya tergugat
mengakui dalil penggugat, meskipun hal itu bohong dan palsu, hakim harus
menerima kebenaran itu dengan kesimpulan bahwa berdasarkan pengakuan itu,
tergugat dianggap dan dinyatakan melepaskan hak perdatanya atas hal yang
diperkarakan. Meskipun hakim berpendapat kebenaran dalil gugat yang diakui
tergugat itu setengah benar dan setengah palsu, secara teoritis dan yuridis, hakim
tidak boleh melampaui batas-batas kebenaran yang diajukan para pihak
dipersidangan. Sikap yang demikian

ditegaskan dalam Putusan MA No.3136

K/Pdt/1983 67 yang mengatakan bahwa “tidak dilarang pengadilan perdata mencari
dan menemukan kebenaran materil, namun apabila kebenaran materil tidak

66

Ibid.
Tanggal 6-3-1985, jo. PT Semarang No. 100/1981, 30-11-1982, jo. PN Semarang No.
713/1978, 3-9-1982.
67

48

ditemukan dalam peradilan perdata, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan
berdasarkan kebenaran formil. 68
Upaya mencari kebenaran formil, perlu diperhatikan beberapa prinsip sebagai
pegangan bagi hakim maupun para pihak yang berperkara, yaitu : 69
a.

Tugas dan Peran Hakim Bersifat Pasif
Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal

yang diajukan penggugat dan tergugat. Oleh karena itu, fungsi dan peran hakim
dalam proses perkara perdata hanya terbatas mencari dan menemukan kebenaran
formil dan kebenaran itu diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang
diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung.
Sehubungan dengan sifat pasif tersebut, sekiranya hakim yakin bahwa apa yang
digugat dan diminta penggugat adalah benar, tetapi penggugat tidak mampu
mengajukan bukti tentang kebenaran yang diyakininya, maka hakim harus
menyingkirkan keyakinan itu, dengan menolak kebenaran dalil gugatan, karena tidak
didukung dengan bukti dalam persidangan.
Makna pasif yang harus ditegakkan sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan
dalam persidangan, hakim berwenang untuk menilai apakah yang diajukan memenuhi
prinsip pembuktian. Demikian penegasan Putusan MA No. 288K/Sip/1973. 70
Berdasarkan yurisprudensi tentang sistem hukum pembuktian dalam acara perdata,

68

Yahya harahap, Op.Cit., hal. 499
Ibid.
70
Tanggal 16-12-1975, Rangkuman Yurisprudensi MA Indonesia, II, Hukum Perdata dan Acara
Perdata, Proyek Yurisprudensi MA, 1977, hal. 214.
69

49

khususnya tentang pengakuan, hakim berwenang menilai suatu pengakuan sebagai
alat bukti yang tidak mutlak apabila pengakuan itu tidak benar. Sehubungan dengan
itu, apabila pengakuan diajukan dalam persidangan tidak benar, judex facti
berwenang menilainya. Dalam perkara ini PT berpendapat bahwa pengakuan
Tergugat I yang memihak kepada Penggugat, tanpa disertai alasan yang kuat, maka
pengakuan tersebut tidak dapat dipercaya.
Bertitik tolak dari penjelasan di atas, maka pasif bukan hanya sekadar
menerima dan memeriksa apa-apa yang diajukan para pihak, tetapi tetap berperan dan
berwenang menilai kebenaran fakta yang diajukan ke persidangan, dengan ketentuan
sebagai berikut : 71
a. Hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa aktif meminta para pihak
mengajukan atau menambah pembuktian yang diperlukan. Semua itu menjadi
hak dan kewajiban para pihak. Cukup atau tidak alat bukti yang diajukan,
terserah sepenuhnya kepada kehendak para pihak. Hakim tidak dibenarkan
membantu pihak manapun untuk melakukan sesuatu, kecuali sepanjang hal
yang ditentukan dalam undang-undang. Misalnya berdasarkan Pasal 139 HIR,
salah satu pihak dapat meminta bantuan kepada hakim untuk memanggil dan
menghadirkan seorang saksi melalui juru sita, apabila saksi yang
bersangkutan relevan, sedangkan dia tidak dapat menghadirkan sendiri saksi
tersebut secara sukarela.

71

Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 500.

50

b. Menerima setiap pengakuan dan pengingkaran yang diajukan para pihak di
persidangan, untuk selanjutnya dinilai kebenarannya oleh hakim.
c. Pemeriksaan dan putusan hakim, terbatas pada tuntutan yang diajukan
penggugat dalam gugatan.
Sehubungan dengan itu, hakim tidak boleh melanggar asas ultra vires atau
ultra petitum partium yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR. Hakim dilarang
memberi lebih banyak dari yang diminta (dituntut).
b.

Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta
Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Kunci ditolak

atau dikabulkannya gugatan mesti berdasarkan pembuktian yang bersumber dari
fakta-fakta yang diajukan para pihak. Pembuktian hanya ditegakkan berdasarkan
dukungan fakta-fakta dengan ketentuan sebagai berikut : 72
1) Fakta yang dinilai dan diperhitungkan terbatas pada fakta yang diajukan dalam
persidangan
Selama proses berlangsung, terutama pada saat persidangan memasuki tahap
pembuktian, maka para pihak diberi hak dan kesempatan menyampaikan bahan
atau alat bukti, kemudian bahan atau alat bukti itu diserahkan kepada hakim.
Bahan atau alat bukti yang dinilai membuktikan kebenaran yang didalilkan pihak
manapun, hanya fakta langsung dengan perkara yang disengketakan. Kalau
bahan atau alat bukti yang disampaikan dipersidangan tidak mampu

72

Ibid.

51

membenarkan fakta yang berkaitan dengan perkara yang disengketakan, maka
tidak bernilai sebagai alat bukti.
2) Fakta yang terungkap di luar pengadilan
Hakim tidak dibenarkan menilai dan memperhitungkan fakta-fakta yang tidak
diajukan para pihak yang berperkara. Misalnya, fakta yang ditemukan hakim dari
sumber surat kabar atau majalah adalah fakta yang diperoleh hakim dari sumber
luar, bukan dalam persidangan, tidak boleh dijadikan fakta untuk membuktikan
kebenaran yang didalilkan salah satu pihak. Walaupun sedemikian rupa banyak
fakta yang diperoleh dari berbagai sumber, selama hal itu bukan fakta yang
diajukan dan diperoleh dalam persidangan, tidak boleh dinilai dalam mengambil
keputusan. Demikian penegasan Putusan MA No.2775 K/Pdt/1983 (tanggal 9-21985) yang menyatakan judex facti telah salah menerapkan hukum pembuktian,
karena memberi putusan berdasarkan alat bukti yang tidak diajukan dalam berkas
perkara.
3) Hanya fakta berdasarkan kenyataan yang bernilai pembuktian
Selain fakta itu harus diajukan dan ditemukan dalam proses persidangan, fakta
yang bernilai sebagai pembuktian hanya terbatas pada fakta yang konkret dan
relevan (prima facie), yakni jelas dan nyata membuktikan suatu keadaan atau
peristiwa yang berkaitan langsung dengan perkara yang disengketakan. Artinya,
alat bukti yang diajukan benar-benar mengandung fakta konkret dan relevan
yang membuktikan suatu keadaan atau peristiwa yang langsung berkaitan erat
dengan perkara yang sedang diperiksa.

52

Sedangkan fakta yang abstrak dalam hukum pembuktian, dikategorikan sebagai
hal yang khayal atau semu, dan oleh karena itu tidak bernilai sebagai alat bukti
untuk membuktikan sesuatu kebenaran.
c.

Aliran Baru Penentang Peran Hakim Bersifat Pasif-Total
Uraian di atas memperlihatkan kedudukan hakim dalam mencari dan

menemukan kebenaran formil dalam perkara perdata bersifat pasif. Namun pada masa
belakangan ini muncul aliran baru yang menentang ajaran pasif tersebut. Namun pada
masa belakangan ini muncul aliran baru yang menentang ajaran pasif tersebut. Aliran
ini tidak setuju peran dan kedudukan hakim bersifat pasif secara total, tetapi harus
diberi peran aktif-argumentatif. Peran aktif secara argumentatif tersebut didasarkan
pada beberapa alasan berikut ini : 73
1) Hakim bukan aantreanenimes
Hakim tidak boleh dijadikan sebagai makhluk tak berjiwa yang seolah-olah tidak
memiliki hati nurani dan kesadaran moral. Padahal dia adalah makhluk manusia
yang memiliki hati nurani dan moral. Oleh karena itu, tidak layak dalam
masyarakat yang beradab menjadikan hakim sebagai boneka yang diharuskan
menerima dan menelan kebohongan dan kepalsuan bukti atau fakta yang
diajukan para pihak yang berperkara sebagai kebenaran yang mesti dibenarkan,
padahal dia tahu tidak benar. Oleh karena itu, tidak layak (unappropriate) dan
tidak pantas (unreasonable) bagi hakim menerima sesuatu yang disodorkan para
pihak sebagai kebenaran, apabila yang disodorkan itu tidak benar. Juga tidak
73

Ibid., hal. 502-504.

53

layak hakim membiarkan para pihak berlaku sewenang-wenang menyodorkan
dan menyampaikan kebenaran yang berisi kebohongan dan kepalsuan.
2) Tujuan dan fungsi peradilan menegakkan kebenaran dan keadilan
Secara umum tujuan dan fungsi peradilan adalah menegakkan kebenaran dan
keadilan. Tujuan dan fungsi itu bukan hanya dipergunakan hakim dalam perkara
pidana saja, melainkan juga meliputi penyelesaian perkara perdata. Oleh karena
itu, hakim perdata diberi fungsi dan kewenangan menegakkan hukum (law
enforcement) di bidang perdata, dan tentu saja tujuan fungsi dan kewenangan itu
dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and
justice).
Untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, fungsi dan peran hakim harus aktif
mencari dan menilai kebenaran yang diajukan para pihak, dengan cara menyaring
dan menyingkirkan fakta atau bukti yang berisi kebohongan dan kepalsuan, serta
harus menolak alat bukti yang mengandung fakta abstrak sebagai dasar penilaian
dalam mengambil keputusan.

B.

Pembuktian Sederhana
Salah satu hal yang baru dan merupakan “andalan” dari Undang-Undang

Kepailitan adalah diintrodusirnya pengadilan khusus, hakim-hakim khusus untuk
memeriksa dan memutuskan perkara-perkara di bidang perniagaan, tetapi tidak

54

terbatas perkara kepailitan. 74 Pengadilan Niaga yang merupakan bagian dari peradilan
umum, mempunyai kompetensi untuk memeriksa : 75
a. Perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran pembayaran utang.
b. Perkara-perkara lainnya di bidang perniagaan yang ditetapkan dengan
peraturan pemerintah.
Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Niaga adalah hukum acara perdata
yang berlaku secara umum, yaitu hukum acara perdata yang berdasarkan atas
HIR/RBG, kecuali untuk hal yang ditetapkan lain oleh Undang-Undang Kepailitan.
Seseorang atau suatu badan hukum yang hendak mengajukan permohonan
pernyataan pailit harus mengetahui syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Apabila tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan tersebut, maka
permohonan pernyataan pailit tersebut tidak akan dikabulkan oleh Pengadilan Niaga.
Kewenangan pengadilan untuk menjatuhkan putusan kepailitan itu telah
ditentukan secara tegas di dalam Undang-Undang Kepailitan yaitu Pasal 2 ayat (1)
UUK-PKPU yang menyatakan bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih
kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas
permohonan seorang atau lebih kreditornya.

74

Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktik, Cet. II, (Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2002), hal. 18
75
Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan
Harta Pailit, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada), hal. 21.

55

Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, dapat disimpulkan bahwa
permohonan pernyataan pailit terhadap seorang debitor hanya dapat diajukan apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. debitor yang diajukan harus memiliki lebih dari satu kreditor
b. debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang kepada salah satu
kreditornya
c. utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih
(due and payable).
Menurut Adrian Sutedi, syarat-syarat kepailitan sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU adalah sebagai berikut : 76
a. Paling sedikit harus ada 2 (dua) kreditor (concursus creditorum);
b. Harus ada utang;
c. Syarat utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih;
d. Syarat cukup satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih; dan
e. Debitur dalam keadaan insolvent, yaitu tidak membayar lebih dari 50% utangutangnya.
Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, hakim “menyatakan pailit”, bukan
“dapat menyatakan pailit” sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak diberikan
“judgement” yang luas seperti pada kasus-kasus lainnya, sungguhpun limited defence
masih dibenarkan, mengingat yang berlaku adalah prosedur pembuktian sumir (vide
Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU.
76

Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2009), hal. 31-32

56

Pembuktian sederhana (sumir) sebagai syarat ketentuan utama di dalam
pemeriksaan perkara kepailitan diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU yang
menyatakan permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta
atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan
pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.
Secara sederhana artinya apabila telah terbukti secara sederhana bahwa debitor
mempunyai lebih dari satu kreditor dan bahwa salah satu utangnya telah jatuh waktu
dan dapat ditagih tetapi debitor tidak/belum membayar lunas utang-utangnya. Jadi
tidak perlu ditagih terlebih dahulu seperti pada keadaan berhenti membayar yang
lazim diartikan bahwa kreditor harus terlebih dahulu menagih piutang yang sudah
jatuh waktu dan ternyata debitor meskipun sudah ditagih tetap tidak membayar. 77
Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU, dikatakan bahwa
yang dimaksud dengan “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” adalah
adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak
dibayar.
Jika diperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU
tersebut di atas, maka jelas bahwa yang dimaksud dengan pembuktian sederhana
adalah pembuktian sederhana mengenai: 78
a. Eksistensi dari suatu utang debitor yang dimohonkan kepailitan yang telah
jatuh tempo.
77

Imran Nating, Op.Cit., hal. 23
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 141
78

57

b. Eksistensi dari dua atau lebih kreditor dari debitor yang dimohonkan pailit.
Pembuktian yang sederhana atau sumir yang dalam bahasa Belanda Summier
atau Summierlijk merupakan proses peradilan yang diperpendek, tanpa keterangan
tertulis dari kedua belah pihak tanpa pembuktian yang terperinci dan teliti. 79
Pembuktian secara sederhana atau sumir merupakan asas dalam proses kepailitan
untuk mewujudkan penyelesaian utang piutang secara cepat, adil, terbuka dan efektif
sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU dimana diperlukan waktu yang cepat,
tidak berkepanjangan dan berlarut-larut. Yang harus dibuktikan sebelum putusan
hakim adalah fakta atau peristiwanya karena bagi hakim dalam mengadili perkara
yang dipentingkan adalah faktanya bukan hukumnya dan hukumnya tidak perlu
diberitahukan atau dibuktikan sesuai dengan azas ius curia novit karena hakim
dianggap tahu akan hukumnya. Hakim harus mengabulkan permohonan pailit yang
diajukan oleh debitur jika ternyata berdasarkan pembuktian berdasarkan fakta dan
peristiwanya yang diajukan oleh debitur ternyata telah memenuhi Pasal 2 ayat (1)
UUK-PKPU. 80
Ada satu hal yang patut disayangkan dengan eksistensi UUK-PKPU yang tidak
memberikan penjelasan yang rinci tentang bagaimana pembuktian sederhana itu
dilakukan dalam memeriksa permohonan pailit. Tidak ada definisi dan batasan yang
jelas yang dapat dipakai sebagai pegangan mengenai apa yang dimaksud dengan
79

Fochema Andrea 1977 : 553, dalam Nenny Yulianny, “Kajian Penyelesaian Perkara Utang
Piutang Putusan Pengadilan Niaga dalam Hubungannya dengan Pengertian Sumir Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan”, Tesis, Semarang, Program Pascasarjana
Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, 2005, hal. 22
80
Ibid., hal. 23

58

pembuktian sederhana itu, sehingga membuka ruang bagi munculnya perbedaan
pendapat atau penafsiran dikalangan hakim dalam menafsirkan pengertian
pembuktian sederhana dalam penyelesaian perkara kepailitan. 81
Sehubungan dengan pernyataan di atas, Mahkamah Agung (MA) dalam Putusan
No. 32 K/N/1999 dalam perkara kepailitan antara PT. Bank Internasional Indonesia,
Tbk melawan Abu Hermanto, Wahyu Budiono dan PT. Surya Andalas Corporation
berpendapat bahwa apabila pembuktian tidak sederhana maka pokok sengketa harus
dibuktikan di Pengadilan Negeri.
Sutan Remy Sjahdeini tidak sependapat dengan Putusan MA tersebut di atas.
Menurut Remy, Pasal 6 ayat (3) UU Kepailitan Lama 82 sama sekali tidak boleh
ditafsirkan bahwa apabila permohonan pernyataan tidak terdapat fakta atau keadaan
yang terbukti secara sederhana, maka kemudian perkara tersebut tidak dapat diperiksa
dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga. Sesungguhnya pasal tersebut hanya
mewajibkan hakim untuk mengabulkan permohonan kepailitan bila terdapat fakta
atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan
pailit telah terpenuhi, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan
Lama (UU Nomor 4 Tahun 1998) atau Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU.

81

Aria Suyudi, Eryanto Nugroho dan Herni Sri Nurbayanti, Kepailitan di Negeri Pailit, (Jakarta
: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2004), hal. 148.
82
Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 menyebutkan bahwa permohonan
pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana
bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) telah
terpenuhi.

59

Hakim tidak boleh menolak memeriksa setiap permohonan kepailitan yang
diajukan oleh pemohon. Tetapi hakim hanya diwajibkan mengabulkan permohonan
pailit apabila syarat permohonan pailit dipenuhi.
Untuk mengurangi perbedaan pendapat diantara para hakim, maka MA dalam
Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang diadakan pada bulan September 2002
berusaha memberikan batasan pembuktian sederhana ini, yang menghasilkan
kesepakatan bahwa pemeriksaan perkara permohonan kepailitan tidak mengenal
adanya eksepsi, jawaban, replik, duplik dan kesimpulan, seperti halnya dalam
gugatan yang bersifat partai. Oleh karena itu, pembuktian dalam perkara kepailitan
bersifat sepihak dan bukan partai. 83
Kewajiban pemanggilan yang tertuang dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUKPKPU bukan berarti memanggil debitor untuk mengajukan jawaban, replik, duplik
dan kesimpulan. Pemanggilan debitor oleh Majelis Hakim dalam persidangan
dimaksudkan agar debitor mendengar dalil pemohon (kreditor). Sehingga acara
pemeriksaan dengan eksepsi, jawaban, replik, duplik dan kesimpulan seperti pada
proses yang berlangsung di Pengadilan Perdata biasa tidak berlaku dalam proses
pemeriksaan perkara kepailitan (sebagai perkara perdata khusus).
Seperti sudah disinggung di atas, jenis penyelesaian perkara kepailitan pada
dasarnya adalah permohonan dan pemeriksaannya bersifat sepihak. Majelis Hakim
hanya bertugas memeriksa kelengkapan dokumen persyaratan untuk dikabulkannya
suatu permohonan dengan melakukan cross check dengan si pemohon. Sehingga, bila
83

Aria Suyudi, Eryanto Nugroho dan Herni Sri Nurbayanti, Loc.Cit.

60

alat buktinya cukup untuk membuktikan prasyarat pailit, maka permohonan
pernyataan pailit dikabulkan. 84
Dalam kaitannya dengan pembuktian, Majelis Hakim hendaknya memfokuskan
pemeriksaan permohonan kepailitan pada dua hal di bawah ini : 85
a. Apakah ada hubungan perutangan antara kreditor dan debitor, dimana utang
tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih; dan
b. Apakah ada hubungan perutangan antara debitor dengan kreditor lainnya.
Alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan dalil pemohon pada proses
pemeriksaan kepailitan adalah alat-alat bukti sebagaimana yang disebutkan dalam
Pasal 164 HIR, yaitu bukti surat, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah,
atau dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Titel IX, Bagian Kedua,
Buku IV, khususnya Pasal 1866 s/d Pasal 1945 KUHPerdata,
Pada pokoknya, hal-hal yang harus dibuktikan secara sederhana oleh hakim
Pengadilan Niaga atas permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon adalah semua
persyaratan yang ditentukan di dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU yang substansinya
tidak bisa dilepaskan dengan ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU, yaitu :
1.

Memiliki Dua Kreditor
Menurut Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, salah satu syarat yang harus dipenuhi

adalah debitor harus memiliki dua kreditor atau lebih. Dengan demikian, UndangUndang ini hanya memungkinkan seorang debitor dinyatakan pailit apabila debitor

84
85

Ibid.
Ibid., hal 149

61

memiliki paling sedikit dua kreditor. Syarat mengenai adanya minimal dua atau lebih
kreditor dikenal sebagai concursus creditorum. Keharusan adanya dua kreditor yang
disyaratkan

dalam

Undang-Undang

Kepailitan

dan

Penundaan

Kewajiban

Pembayaran Utang selaras dengan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata. 86
Pasal 1132 KUH Perdata yang menentukan pembagian secara teratur semua
harta pailit kepada para kreditornya, yang dilakukan berdasarkan prinsip pari passu
pro rata parte yang mengandung arti bahwa harta kekayaan debitor merupakan
jaminan bersama untuk pra kreditor dan hasil-hasilnya harus dibagikan secara
proporsional diantara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang menurut
undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya. 87Dalam
hal ini yang dipersyaratkan bukan berapa besar piutang yang harus ditagih oleh
seorang kreditor dari debitor yang bersangkutan, melainkan berapa banyak orang
yang menjadi kreditor dari debitor yang bersangkutan. 88
Apabila seorang debitor hanya memiliki satu orang kreditor, maka eksistensi
dari UUK-PKPU kehilangan raison d’être-nya. Apabila debitor yang hanya memiliki
seorang kreditor diperbolehkan pengajuan pernyataan pailit terhadapnya, maka harta
kekayaan debitor yang menurut ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan
jaminan utangnya tidak perlu diatur mengenai pembagian hasil penjualan harta
kekayaannya karena seluruh hasil penjualan harta kekayaan tersebut merupakan
86

Ibid., hal. 107.
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta :
Prenada Media Group, 2009), hal. 29.
88
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2004), hal. 15.
87

62

sumber pelunasan bagi kreditor satu-satunya itu. Tidak akan ada ketakutan terjadi
perlombaan dan perebutan terhadap harta kekayaan debitor karena hanya ada satu
orang kreditor. 89
Berdasarkan dengan ketentuan Pasal 2 yang mensyaratkan debitor harus
mempunyai dua atau lebih kreditor dan berkenaan dengan Pasal 1131 KUH Perdata
sebagaimana

diuraikan

diatas,

Penjelasan

Pasal

2

ayat

(1)

UUK-PKPU

mengemukakan yang dimaksud dengan kreditor adalah baik kreditor konkuren,
kreditor separatis dan kreditor preferen.
2.

Harus Ada Utang
Syarat lain yang harus dipenuhi bagi seorang pemohon pernyataan pailit adalah

keadaan dimana seorang debitor berhenti membayar atau tidak dapat membayar
utang. Pada Pasal 1 ayat (6) UUK-PKPU menerangkan bahwa “utang adalah
kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam
mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang
akan timbul di kemudian hari atau kontingen, yang timbul karena perjanjian atau
undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi
memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan
debitor.”

89

Setiawan, “Ordonansi Kepailitan Serta Aplikasi Kini”. dalam Lontoh, Rudy A., dkk,
Penyelesaian Utang – Piutang : Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
(Bandung : Penerbit Alumni, 2001), hal. 122.

63

Menurut Pasal 1233 KUH Perdata, kewajiban atau utang dapat timbul dari
perjanjian atau dari undang-undang. Ada kewajiban untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.
Beberapa contoh kewajiban yang timbul dari Perjanjian adalah: 90
a. Kewajiban debitor untuk membayar bunga dan utang pokok kepada pihak
yang meminjamkan;
b. Kewajiban penjual untuk menyerahkan mobil kepada pembeli mobil tersebut;
c. Kewajiban pembangun untuk membuat rumah dan menyerahkannya kepada
pembeli rumah;
d. Kewajiban penjamin (guarantor) untuk menjamin pembayaran kembali
pinjaman debitor kepada kreditor.
Bagi debitor, kewajiban tersebut adalah utang yang memberikan hak menagih
kepada kreditor (tagihan/piutang). Kegagalan debitor (yaitu peminjam, penjual,
penanggung dan penjamin) untuk memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya dapat
menjadi dasar Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Oleh sebab itu
dapat diartikan sebagai keadaan di mana debitor tidak berprestasi lagi pada saat
permohonan pailit diajukan ke pengadilan. Artinya, kalau debitor masih dapat
berprestasi walaupun permohonan pailit diajukan ke pengadilan, debitor yang
bersangkutan belum berada dalam keadaan berhenti membayar. Sidang pengadilan
harus dapat membuktikan berdasarkan fakta atau keadaan bahwa debitor tidak
90

Kartini Muljadi, “Pengertian dan Prinsip – Prinsip Umum Hukum Kepailitan” dalam Rudhi
A. Lontoh (ed.), Penyelesaian Utang – Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, (Bandung : Alumni, 2001), hal. 79.

64

berprestasi lagi, sehingga dirinya dikatakan berada dalam keadaan tidak dapat