Pembuktian Complicated Dikaitakan Dengan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Era globalisasi ekonomi di Indonesia pada saat ini sangat berpengaruh bagi

pelaku usaha untuk menjalankan aktivitas bisnisnya, karena para pelaku usaha belum
siap menghadapi proses penyertaan kedalam ruang lingkup aktivitas bisnis tersebut,
apalagi krisis ekonomi yang melanda dunia pada saat ini seperti juga pernah terjadi di
Indonesia sejak tahun 1997, yang menimbulkan kerusakan pada aktivitas bisnis, dan
mengakibatkan potensi kegagalan pembayaran utang, kegagalan pelaksanaan proyek,
pembatalan kesepakatan berinventasi, kegagalan pemenuhan produksi dan distribusi
yang semuanya mengarah pada kewenangan bagi pihak-pihak yang dirugikan untuk
meminta ganti rugi. Dalam kedaan seperti ini, para pelaku usaha berkeinginan untuk
menyelesaikan persoalan-persoalannya tersebut dapat diselesaikan secara serta merta,
dengan waktu yang singkat dan dengan mengeluarkan biaya yang serendah mungkin.
Satu-satunya pintu yang dapat ditempuh atas penyelesaian tersebut adalah melalui
jalur upaya hukum, yaitu dengan mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit ke
Pengadilan Niaga.

Berbicara tentang Pailit, maka tidak terlepas dari peranan Advokat, karena
pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit yang diajukan ke Pengadilan Niaga harus
dilakukan oleh Advokat. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat

1

2

UUK-PKPU) menyebutkan “Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal
161, Pasal 171, Pasal 207 dan Pasal 212 harus diajukan oleh seorang Advokat.” 1
Dalam Pasal 6 ayat (1) UUK-PKPU secara tegas menyebutkan “Permohonan
Pernyataan Pailit diajukan ke Ketua Pengadilan”. 2 Pengadilan yang dimaksudkan
oleh pasal tersebut adalah Pengadilan Niaga yang sebagaimana disebutkan didalam
Pasal 1 ayat (7) UUK-PKPU yang berbunyi “Pengadilan adalah Pengadilan Niaga
dalam lingkungan peradilan umum.” 3
Dalam penanganan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga, tidak terlepas dari
bukti awal yang dimiliki oleh Pemohon Pailit, apakah alat-alat bukti yang dimiliki
oleh Pemohon Pailit tersebut sudah merupakan bukti yang membuktikan berdasarkan

fakta dan keadaan hukum yang bersifat sederhana, sesuai dengan apa yang dimaksud
bunyi Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU yang berbunyi “Permohonan pernyataan pailit
harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana
bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) telah dipenuhi”. Didalam penjelasan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU menyebutkan
bahwa fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua
atau lebih kreditur dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dapat dibayar”. 4

1

Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan & Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor.131.
2
Ibid, Pasal 6 ayat (1).
3
Ibid, Pasal 1 ayat (7) .
4
Penjelasan Undang-undang No.37 Tahun 2004, Pasal 8 ayat (4).

3


Pembuktian secara sederhana adalah yang lazim disebut pembuktian secara
sumir. Secara sumir ialah bila dalam mengambil keputusan itu tidak diperlukan alatalat pembuktian seperti diatur dalam Buku keempat KUHPerdata, cukup bila
peristiwa itu terbukti dengan pembuktian yang sederhana 5. Masalah pembuktian
adalah masalah hukum yang utama di pengadilan khususnya pada Pengadilan Niaga.
Peran pembuktian dalam suatu proses hukum di Pengadilan Niaga sangatlah penting,
karena keputusan-keputusan yang dibuat oleh Hakim Niaga selalu dan terfokus
kepada alat-alat bukti formal yang terungkap dipersidangan, Hal ini disebabkan
hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan perkara-perkara niaga adalah
hukum acara perdata sesuai dengan bunyi Pasal 299 UUK-PKPU, yang menyebutkan
“Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini maka hukum acara yang berlaku
adalah Hukum Acara Perdata”. 6
Sistem pembuktian yang dianut hukum Acara Perdata, tidak bersifat stelsel
negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses
pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran 7. Dalam bidang hukum
perdata, yang dicari oleh hakim hanyalah suatu kebenaran formal, jadi bukan
kebenaran yang sesungguhnya (materil), bahkan suatu kebenaran yang bersifat

5


Sunarmi, Hukum Kepailitan, Edisi 2, (Jakarta : PT Sofmedia, 2010), hal.70.
Pasal 299 Undang-undang No. 37 Tahun 2004.
7
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika Offset), 2005, hal. 498.
6

4

“kemungkinan” (probable) saja sudah mencukupi, maka suatu kebenaran yang
sesungguhnya sulit diwujudkan dalam peraktik. 8
Kenyataannya dalam peraktik di Pengadilan Niaga tidaklah seindah yang
dilukiskan oleh hukum, karena peranan alat bukti adalah salah satu faktor penting
yang dimiliki oleh Pemohon Pailit untuk mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit
di Pengadilan Niaga. Hakim Niaga sangat sensitif dan tajam dalam memberikan
penilaian pada setiap pertimbangan hukum keputusannya. Batasan tentang
pembuktian yang sederhana tidak secara tegas disebutkan didalamUndang-undang
Pailit, sehingga kewenangan Hakim Pengadilan Niaga sangat besar tanpa batasan
yang jelas diberikan oleh Undang-Undang.
Berkaitan dengan pembuktian, didalam UUK-PKPU tidak ada mengaturnya.

Sesuai dengan Pasal 299 dipergunakanlah HIR dan RBG, kecuali apabila telah ada
undang-undang yang khusus mengatur hal tersebut. 9 Namun, apabila diperhatikan
Pasal 42 dan Pasal 44 UUK-PKPU, diatur mengenai Asas Beban Pembuktian
Terbalik (Omkering Van Bewijstlast), artinya bahwa yang mendalilkan wajib
membuktikan dalilnya tersebut apabila dalilnya disangkal. 10
Menurut Pasal 1866 KUHPerdata, Pasal 164 HIR yang disebut sebagai bukti,
yaitu : “bukti surat, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah.” 11

8

Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti), 2006, hal.3.
Sunarmi, op.cit, hal.80.
10
Ibid, hal.81.
11
Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 164 H.I.R.
9

5


Kenyataannya dalam peraktik, dalam perkara pailit di Pengadilan Niaga, Hakim
hanya mempertimbangkan bukti formalnya saja yaitu bukti surat, terhadap bukti yang
lainnya jarang sekali Hakim mempertimbangkan dalam pertimbangan hukumnya
dalam hal membuat keputusan.
Berbicara mengenai asas pembuktian sederhana (sumir), erat kaitannya dengan
kewenangan relatif Pengadilan Niaga, khususnya berkenaan dengan perkaraperkara kepailitan. Namun demikian, kewenangan Relatif Pengadilan Niaga
tidak diatur dalam undang-undang tersendiri, tapi diatur dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998, tentang
Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Perpu ini selanjutnya ditetapkan
menjadi undang-undang dengan lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998,
kemudian disempurnakan di dalam UUK-PKPU yakni Undang-undang No. 37
tahun 2004. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus atau diferensiasi
yang berada dalam lingkup Peradilan Umum (Pengadilan Negeri). Berbeda dari
putusan Peradilan Umum, putusan Pengadilan Niaga ini tidak dapat diajukan
banding, Jika ada pihak yang tidak puas dengan putusan Pengadilan Niaga maka
ia dapat langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. 12
Pengadilan

Niaga


di

khususkan

untuk

memeriksa

dan

memutuskan

permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan utang-piutang. Pada awalnya
proses pendirian Pengadilan Niaga tersebut dilakukan secara cepat seiring dengan
langkah reformasi undang-undang. Undang-undang Kepailitan dalam upaya
membangun keprcayaan para investor dipaksakan keberlakuannya melalui Perpu
No.4 Tahun 1998 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun
1998, dimana setelah 6 tahun kemudian disempurnakan kembali menjadi Undangundang No. 37 tahun 2004.
Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU tentang Kepailitan dan PKPU,
Pengadilan Niaga hanya berwenang untuk memutuskan seorang debitur pailit

12

Achmad Fauzan, Perundang-Undangan Lengkap tentang Peradilan Umum, Peradilan
Khusus, dan mahkamah Konstitusi, (Jakarta : Kencana, 2005), hal. 9.

6

dalam hal dibuktikan bahwa debitur tersebut memiliki paling sedikit dua
kriditur dimana minimum satu dari utang tersebut dapat dibuktikan secara
sederhana, telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Undang-undang Kepailitan dan
Pengadilan Niaga ini memberi suatu alternatif yang luas bagi pelaku usaha yang
benar-benar tidak lagi dapat mememnuhi kewajibannya untuk menempuh jalan
kepailitan (Voluntary petition for bankrupt), atau memohonkan PKPU untuk
memperjuangkan kesempatan merestruktur perusahaannya yang sedang tidak
berdaya akan tetapi masih mempunyai pengharapan yang besar untuk kembali
sehat bila diberikan kesempatan tersebut, agar dapat dengan lebih baik
melaksanakan penyelesaian-penyelesaian kewajibannya kedepan jika langkah
penyehatan melalui restrukturisasi tersebut berhasil didapatkan dan
dijalankan 13.
Situasi gagal bayar dan juga kegagalan dalam pelaksanaan prestasi yang

semakin banyak terjadi dikalangan pelaku usaha dan bahkan telah pula
membangkrutkan perusahaaan-perusahaan membuat kehadiran Pengadilan Niaga di
Indonesia menjadi salah satu pertaruhan untuk membangun kenyamanan kepada para
investor dan para pelaku usaha lainnya, bahwa Pengadilan Niaga Indonesia secara
teori memang dipersiapkan untuk menjadi pengadilan yang dapat menyelesaikan
sengketa-sengketa utang piutang secara cepat, efesien, transparan dan berkeadilan.
Analisa keberadaan dan prestasi Pengadilan Niaga Indonesia merupakan suatu
faktor yang sangat penting sebagai penilaian berbisnis di Indonesia, khususnya dalam
penilaian tentang; getting credit, protecting investors, dan enforcing contracts. 14
Walaupun pada awalnya Pengadilan Niaga tersebut secara khusus difungksikan
untuk memeriksa dan memutuskan perkara kepailitan dn PKPU, akan tetapi dalam

13

Ricardo Simanjuntak, Krisis Ekonomi Global,Potensi Commercial Disputes Yang Bagaimana
Mungkin Timbul Diantara Pelaku Usaha Sebagai Efek Dari Krisis Tersebut Dan Bagaimana Hukum
Komersial Serta Institusi Penyelesaian Sengketa Indonesia Menyikapinya, Seminar Sehari DPC
IKADIN Medan, 14 Nopember 2008, hal.19.
14
Ibid. hal. 20.


7

jangka panjang berdasarkan pasal 280 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1998
yang terwujud menjadi pasal 300 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 diperluas
kewenangannya untuk mengadili seluruh perkara-perkara yang berhubugan dengan
aktivitas komersial.
Dalam perkembangannya, Pengadilan Niaga telah pula diberi perluasan
kewenangan untuk memeriksa dan memutuskan perkara-perkara yangberhubugan
dengan HAKI seperti perkara penyalahgunaan Merek dan Paten. 15
Hal inilah yang memang harus diwujudkan agar Indonesia mempunyai
pengadilan yang secara khusus difungsikan untuk memeriksa dan memutus perkaraperkara komersial yang terjadi dalam masyarakat, kehadiran Pengadilan Niaga
dengan kewenangan yang luas meliputi kewenangan untuk memeriksa seluruh
perkara-perkara komersial ini akan membangkitkan upaya yang terkonsentrasi untuk
memastikan penanganan yang baik, cepat, transparan dan berkeadilan terhadap
seluruh perkara komersial yang terjadi di Indonesia, karena pembuktian kinerja
Pengadilan Niaga yang baik, akan dengan sangat cepat mengangkat kepercayaan
dunia terhadap kepastian dan keamanan serta perlakuan adil dalam berinvestasi
ataupun melakukan aktivitas perdagangan di dan ataupun dengan Indonesia.
Namun kenyataannya dalam peraktik keputusan-keputusan yang dibuat oleh

Hakim Pengadilan Niaga dalam perkara pailit, sebagian besar pertimbanganpertimbangan hukumnya menyatakan bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh
Pemohon Pailit tidak lagi bersifat sederhana sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 8
15

Ibid.

8

ayat (4) UUK-PKPU melainkan bersifat complicated sehingga lebih tepat apabila
permohonan kepailitan dari Pemohon Pailit diajukan melalui gugatan perdata biasa 16.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebutlah, sehingga keputusan Hakim Pengadilan
Niaga dengan tegas menolak Permohonan Pernyataan Pailit yang diajukan oleh para
Pemohon Pailit. Complicated artinya rumit, sulit, ruwet, menyulitkan, atau
menyukarkan 17, maka yang dimaksud dengan bukti yang Complicated adalah bukti
yang tidak sederhana dan menyulitkan. Sedangkan pengertian dan pembatasan
tentang alat bukti yang sederhana dan bukti yang complicated tidak ada diatur secara
tegas didalam undang-undang.
Dalam Peraktik, jawaban/tanggapan Termohon atau Para Termohon Pailit
dipersidangan Pengadilan Niaga, dapat mempengaruhi pertimbangan Hakim
Pengadilan Niaga dengan menilai bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon Pailit.
Walaupun didalam UU No. 37 Tahun 2004 tidak diatur secara tegas pengaturan
tentang hak Termohon Pailit mengajukan jawaban/tanggapan atas Permohonan
Pemohon Pailit, akan tetapi oleh karena hukum acara dalam perkara pailit adalah
hukum acara perdata, maka Termohon Pailit atau Para Termohon Pailit secara tidak
langsung dibenarkan menjawab atau menanggapi permohonan Pernyataan Pailit yang
diajukan oleh Pemohon Pailit berdasarkan Pasal 144 RBG/120 HIR ayat (2) yang
berbunyi :

16

Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan No.02/Pailit/2009/PN,Niaga/
Medan, tanggal 13 Nopember 2009, hal. 123.
17
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT.Gramedia,
2000), hal.133.

9

“Ketika memanggil tergugat harus diserahkan juga kepadanya sehelai salinan
surat gugatan, dengan memberitahukan kepadanya, bahwa ia kalau mau dapat
menjawab gugatan itu dengan tertulis.” 18
Apabila putusan Hakim Niaga mengabulkan Permohon Pernyataan Pailit dari
Pemohon Pailit, maka putusan tersebut dapat dilaksanakan terlebih dahulu (serta
merta), berdasarkan Pasal 8 ayat (7) UUK-PKPU, yang berbunyi “Putusan atas
permohonan Pernyataan Pailit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang memuat
secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu,
meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum”. Oleh karena itu
penilaian alat bukti menurut undang-undang dan penilaian bukti menurut kewenangan
dan keyakinan Hakim Pengadilan Niaga sangat sulit untuk diukur kebenaran dan
kepastian hukumnya, oleh karena itulah penulis merasa tertarik untuk membahas
tentang hal tersebut sehingga dituangkan kedalam bentuk sebuah tesis dengan judul :
“Pembuktian Complicated Dikaitkan dengan Kompetensi Relatif Pengadilan
Niaga dalam Perkara Kepailitan.”

B.

Permasalahan
Berdasarkan hal hal yang telah diuraikan pada Latar Belakang diatas, maka

terdapat beberapa permasalahan hukum dalam peneltian ini yang dapat dirumuskan
sebagai berikut :
18

hal.19.

K.Wantjik Saleh,SH, Hukum Acara Perdata Rbg/HIR, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1981),

10

1.

Bagaimanakah pembuktian yang bersifat sederhana (sumir) dan yang bersifat
complicated dalam perkara kepailitan ?

2.

Mengapa Undang-Undang Kepailitan mensyaratkan pembuktian sederhana
dalam perkara kepailitan ?

3.

Bagaimanakah Hakim melakukan pembuktian dalam perkara kepailitan yang
mengandung unsur complicated dikaitkan dengan kompetensi relatif
Pengadilan Niaga ?

C.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang Pembuktian Complicated

dikaitkan dengan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam perkara Kepailitan,
maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pembuktian yang bersifat sederhana
(sumir) dan yang bersifat complicated dalam perkara kepailitan.
2.

Untuk mengetahui dan menganalisis alasan-alasan Undang-Undang Kepailitan
mensyaratkan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan.

3.

Untuk mengetahui dan menganalisis cara kerja Hakim melakukan pembuktian
dalam perkara-perkara kepailitan yang diputuskannya yang mengandung
unsur complicated dikaitkan dengan kompetensi relatif Pengadilan Niaga.

D.

Manfaat Penelitian
Penelitian yang berjudul “Pembuktian

Complicated Dikaitkan dengan

Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan” diharapkan

11

dapat memberikan manfaat baik kegunaan dalam pegembangan ilmu atau manfaat
dibidang teoritis dan manfaat dibidang prakris, antara lain sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan masukan bagi para akademisi maupun sebagai bahan
pertimbangan bagi penelitian selanjutnya.
b. Memperkaya literatur di perpustakaan.
2. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi Debitor, Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia,
Badan Pengawasan pasar Modal, dan Menteri Keuangan Republik Indonesia,
apabila hendak mengajukan permohon Pernyataan Pailit ke Pengadilan Niaga.
b. Sebagai bahan masukan bagi Praktisi atau Advokat-Advokat selaku kuasa
Pemohon Pailit dalam hal mengajukan permohonan Pernyataan Pailit ke
Pengadilan Niaga.

E.

Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui penelusuran studi kepustakaan

pada repository.usu.sc,id., bahwa penelitian dengan judul : “Pembuktian
Complicated Dikaitkan dengan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam
Perkara Kepailitan” dengan rumusan permasalahan sebagaimana disebutkan dalam
perumusan masalah pada point sebelumnya belum didapati judul dan permasalahan
yang sama. Namun mungkin ada kemiripan judulnya dengan yang lain, maka hasil
yang didapat antara lain :

12

1.

Victorianus, dengan judul “Penerapan Asas Pembuktian Sederhana Dalam
Penjatuhan Putusan Pailit”, Tahun 2007.

2.

Belinda, dengan judul “Peranan Pengadilan Niaga Dalam Penyelesaian Sengketa
Kepailitan”, Tahun 2008.
Penulisan tesis ini memiliki rumusan masalah dan tujuan penelitian yang

berbeda, begitu juga dengan kajiannya yaitu: tentang Pembuktian dan Kompetensi
Relatif Pengadilan Niaga dalam Perkara Pailit, terbatas pada peraturan dan
perundang-undangan serta keputusan-keputusan Pengadilan Niaga yang telah diputus
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pertanggungjawaban tersebut
dapat berupa isi dan kasus-kasus yang dipaparkan dalam tesis ini.

F.

Kerangka Teori dan Konsep

1.

Kerangka Teori
Kerangka teori menguraikan dasar-dasar teori dan hasil-hasil penelitian

terdahulu yang memberikan dukungan dalam kegiatan penelitian 19. Dalam rangka
menjawab permasalahan dan mencapai tujuan penelitian, maka digunakan beberapa
teori dan konsep dalam kajian Pembuktian Complicated
Kompetensi Relatif

Dikaitkan dengan

Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan sebagai dasar

analisis.
Teori hukum yang digunakan dalam menjawab penelitian ini adalah teori
Kepastian Hukum, kepastian hukum menginginkan hukum harus dilaksanakan dan
19

Tim Penulis, Tips dan Cara Menyusun Skripsi Tesis Disertasi, (Bandung : Shira Media,
2009), hal.73.

13

ditegakkan secara tegas bagi setiap peristiwa konkret dan tidak boleh ada
penyimpangan (fiat justitia et pereat mundus/hukum harus ditegakkan meskipun
langit akan runtuh). Kepastian Hukum memberikan perlindungan kepada yustisiabel
dari tindakan sewenang-wenang pihak lain, dan hal ini berkaitan dalam usaha
ketertiban dalam masyarakat 20 Sebenarnya persoalan dari tujuan hukum dapat dikaji
melalui 3 (tiga) sudut pandang yaitu :
a. Dari sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis dogmatis, tujuan
hukum dititikbertakan pada segi kepastian hukumnya.
b. Dari sudut pandang filsafat hukum, tujuan hukum dititik-beratkan pada segi
keadilan.
c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum ditik-beratkan pada segi
kemanfaatan 21.
Gustav Radbruch mengemukakan 3 (tiga) nilai dasar hukum, yaitu keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum, sebagai asas prioritas dari ketiga asas
tersebut, dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemafaatan,
dan terakhir kepastian hokum. 22
Dalam

peraktik

peradilan,

sangat

sulit

bagi

seorang

Hakim

untuk

mengakomodir ketiga asas tersebut di dalam satu putusan. Dalam menghadapi
keadaan ini, Hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutus
suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam
satu putusan (asas prioritas yang kasuistis). Jika diibaratkan dalam sebuah garis,
Hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara berada (bergerak) di antara 2
20

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam persfektif Hukum Progresif, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2010), hal.131.
21
Ibid, hal 132.
22
Ibid. hal.132.

14

(dua) titik pembatasan dalam garis tersebut, yaitu apakah berdiri pada titik keadilan
atau titik kepastian hukum, sedangkan titik kemanfaatan sendiri berada diantara
keduanya. Pada saat Hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada asas
kepastian hukum, maka secara otomastis, Hakim akan menjauh dari titik keadilan.
Sebaliknya, kalau Hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada
keadilan, maka secara otomatis pula Hakim akan menjauhi titik kepastian hukum. 23
Kepastian Hukum (rule of law) secara normatif adalah ketika suatu peraturan
dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas
dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian
kepastian hukum menjadi sistem norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari
ketidakpastian aturan dapat berbentuk konstelasi norma, reduksi norma atau distorsi
norma. Menurut David M.Trubek, rule of law merupakan hal penting bagi
pertumbuhan ekonomi dan membawa dampak yang luas bagi reformasi sistem
ekonomi di seluruh dunia yang berdasarkan pada teori apa yang dibutuhkan untuk
pembangunan dan bagaimana peranan hukum dalam perubahan ekonomi. 24
Selanjutnya sebagai pendukung toeri kepastian hukum dalam menjawab
permasalahan yang dicari dalam penelitian ini dikemukan beberapa teori yaitu:
a. Teori Pembuktian Yang Relevan.
Masalah alat-alat bukti yang relevan adalah merupakan persoalan yang sangat
utama harus dipertimbangkan dan diputuskan oleh Hakim dalam proses pembutian

23
24

Ibid, hal. 133.
Ibid.

15

suatu fakta di pengadilan. Relevansi alat-alat bukti merupakan salah satu
pertimbangan Hakim disamping berbagai alasan lain untuk menolak diajukannnya
suatu alat bukti dalam suatu perkara. Dengan demikian timbul permasalahan dalam
peraktik, apakah yang dimaksud dengan alat bukti yang relevan itu ? Sebagaimana
Munir Fuady mengatakan :
Yang dimaksud dengan alat bukti yang relevan adalah suatu alat bukti di mana
penggunaan alat bukti tersebut dalam proses pengadilan lebih besar
kemungkinan akan dapat membuat fakta yang dibuktikan tersebut menjadi lebih
jelas daripada jika alat bukti tersebut tidak digunakan. Dengan demikian,
relevansi alat bukti bukan hanya diukur dari ada atau tidaknya hubungannya
dengan fakta yang akan dibuktikan, melainkan dengan hubungan tersebut dapat
membuat fakta yang bersangkutan menjadi lebih jelas. 25
Agar suatu alat bukti dapat diterima di pengadilan, alat bukti tersebut haruslah
relevan dengan apa yang akan dibuktikan, jika alat bukti tersebut tidak relevan,
pengadilan harus tegas untuk menolak bukti-bukti tersebut, karena menerima bukti
yang tidak relevan akan membawa resiko tertentu bagi proses pencarian keadilan
yaitu :
1. Membuang-buang waktu sehingga dapat memperlambat proses peradilan.
2. Dapat menjadi misleading yang menimbulkan praduga-praduga yang tidak
perlu.
3. Penilaian terhadap masalah tersebut menjadi tidak proporsional, dengan
membesar-besarkan yang sebenarnya kecil, atau mengecil-ngecilkan yang
sebenarnya benar. dan
4. Membuat proses peradilan menjadi tidak rasional.
25

Munir Fuady, op.cit, hal. 27

16

Sehubungan dengan hal itu, perlu dibedakan antara masalah relevan alat bukti
dan materialitas dari alat bukti tersebut. Dalam hal ini, relevansi alat bukti diukur dari
apakah alat bukti tersebut relevan dengan fakta yang akan dibuktikan. Dalam peraktik
antara relevansi alat bukti dan materialitas alat bukti sering disatukan dalam satu
istilah “relevansi” alat bukti. 26
Meskipun persyaratan bahwa suatu alat bukti harus relevan berlaku dalam
hukum Indonesia, bahkan berlaku juga dalam hukum di negara manapun di dunia ini,
kapan suatu alat bukti dikatakan relevan dan kapan alat bukti tersebut dianggap tidak
relevan tidak ada ketentuan yang tegas, baik dalam hukum acara perdata Indonesia
maupun dalam hukum acara pidana.
Hal ini tergantung kepada Hakim Pengadilan untuk menimbang-nimbang mana
yang relevan dan mana yang tidak relevan tersebut, dengan memperhatikan
dalil-dalil umum dan prinsip-prinsip yang berkembang dalam hukum
pembuktian dengan memakai logika hukum dan keyakinan Hakim ketika
mengadili suatu perkara. Para Pihak yang berpekara boleh ikut menilai, tetapi
putusan tetap ditangan Hakim yang mengadili perkara tersebut. 27
Dalam persoalan-persoalan tertentu, undang-undang telah dengan tegas
menentukan siapa pemikul beban pembuktian, tetapi bukan dalam arti beban
pembuktian mutlak (strict liability), karena itu unsur “kesalahan” masih
dipersyaratkan contohnya, dalam hal keadaan memaksa, harus dibuktikan oleh
Debitur, yang sebagaimana disebutkan dalam pasal 1244 KUHPerdata, yang berbunyi
sebagai berikut :

26
27

Ibid, hal. 27.
Ibid, hal. 28.

17

“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum menganti biaya, rugi dan
bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu
yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak
terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun
jika iktikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.” 28
Logikanya, debiturlah yang berkepentingan agar suatu keadaan dinyatakan
sebagai keadaan memaksa, seperti untuk menghindari pemberian suatu ganti rugi. 29
Dalam hal perbuatan melawan hukum, pihak yang menuntut ganti rugi tersebut yang
mempunyai kewajiban untuk membuktikan adanya kesalahan dari pelaku yang
melakukan perbuatan mealwan hukum tersebut.
b. Teori Penjatuhan Putusan
Pemahaman dan pengertian atas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak
terlepas dari prinsip pemisahan kekuasaan yang dikemukan oleh Jonh Locke dan
Montesqueiu. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur
atau netral (impartiality).
Apabila kebebasan tidak dimiliki oleh kekuasaan kehakiman, dapat dipastikan
tidak akan bersikap netral, terutama apabila terjadi sengketa antara penguasa
dan rakyat. 30
Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan isi dan kekuatan
kaeda-kaedah hukum positif dalam konkretisasi oleh Hakim melalui putusanputusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang

28

Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Munir Fuady, op cit, hal. 49.
30
Pontang Moerad,B.M, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara
Pidana, (Bandung : Alumni, 2005), hal.21. Sebagaimana dikutip Ahmad Rifai, op cit, hal. 102.
29

18

diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat
menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila
tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan
yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagai
pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah :
Hakim, yang mempunyai kewenangan dalam memberi isi dan kekuatan kepada
norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. 31
Fungsi utama dari seorang Hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara
yang diajukan kepadanya, putusan Hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada
ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani. Adapun dalam
memeriksa perkara perdata, hakim bersifat pasif, dalam arti kata bahwa ruang lingkup
atau luas pokok sengekata yang diajukan kepada Hakim untuk diperiksa, pada
asasnya ditentukan oleh para pihak yang berpekara dan bukan oleh hakim. Akan
tetapi, Hakim harus aktif membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran dari
peristiwa hukum yang menjadi sengketa di antara para pihak.
Sistem pembuktian positif (positive weterlijke) digunakan Hakim dalam
penyelesaian perkara perdata, dimana apabila ada pihak yang mengaku atau
menyatakan mempunyai sesuatu hak, maka ia harus membuktikan kebenaran
dari pengakuan dan pernyataanya, dengan didasarkan pada bukti-bukti formil,
yaitu alat-alat bukti sebagaimana terdapat dalam hukum acara yang berlaku. 32

31
32

Ibid. hal.102.
Ibid, hal.103.

19

Memeriksa dan memutus suatu perkara bukanlah suatu pekerjaan yang mudah,
dalam era keterbukaan pada saat ini, dunia peradilan mulai digugat untuk membuka
diri, sehingga putusan Hakim tidak lagi semata-mata hanya menjadi bahan
perbincangan secara hukum dan ilmu hukum atau menjadi bahan kajian ilmu hukum
saja, tetapi akan lebih baik jauh menjadi konsumsi publik untuk dibicarakan dan
diperdebatkan, terlebih jika ada putusan Hakim yang dirasakan kurang memuaskan
masyarakat sebagai pencari keadilan. 33
Menurut Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang
terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman
yaitu : 34
1) Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan.
2) Tidak seorang pun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan Hakim, dan
3) Tidak boleh ada konsekuensi terhadap pribadi Hakim dalam menjalankan
tugas dan fungsi yudisialnya.
Kebebasan Hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan
mahkota bagi Hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa
kecuali, sehingga tidak ada satu pun pihak yang dapat mengintervensi hakim dalam
menjalankan tugasnya tersebut. Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus bertanya
kepada diri sendiri, sudah benar dan jujurkah dirinya dalam mengambil suatu
keputusan yang dibuatnya, atau sudah tepatkah putusan yang diambilnya, apakah
keputusanya akan dapat menyelesaikan suatu sengketa, atau adilkah keputusan akan
33

Ibid, hal.104.
Bagir Manan, Hakim dan Pemidanaan, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No. 249 Bulan
Agustus 2006, Ikahi Jakarta, 2006, hal.5, Sebagai dikutip Ahmad Rifai, Ibid, hal. 104.
34

20

dibuatnya atau seberapa jauh manfaat dari putusan yang akan dijatuhkan oleh seorang
Hakim bagi para pihak dalam perkara atau bagi masyarakat yang sedang mencari
keadilan. 35
Pembuktian menurut UUK-PKPU, adalah pembuktian yang bersifat sederhana,
sehubungan dengan pembuktian sederhana atas permohonan pailit oleh kreditor yang
sebagaimana dikemukan oleh undang-undang tersebut tidaklah mungkin, karena
apabila tidak terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana berkaitan
dengan permohonan pernyataan pailit, maka permohonan pailit itu harus ditolak oleh
Hakim Pengadilan Niaga. Berkaitan dengan persoalan tersebut apakah untuk perkara
pembayaran utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, yang fakta dan
keadaannya tidak dapat dibuktikan secara sederhana, tidak dapat diajukan sebagai
perkara kepailitan kepada Pengadilan Niaga. 36
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam pemeriksaan kasasi, putusan
No.32K/N/1999 dalam perkara kepailitan antara PT. Bank Internasional Indonesia
Tbk, melawan (1) Abu Hermanto, (2) Wahyu Budiono, dan (3) PT.Surya Andalas
Corporation, berpendapat bahwa apabila pembuktian tidak sederhana, maka pokok
sengketa masih harus dibuktikan di Pengadilan Negeri. Dalam pertimbangannya,
Majelis Hakim Kasasi mengemukakan bahwa Permohonan Pailit tidak memenuhi
syarat Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998, karena dalam
pembuktian ternyata tidak sederhana. Dalam kasus tersebut, ternyata persoalan yang

35
36

Ibid, hal.105.
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2009, hal. 44

21

disengketakan berkaitan dengan hukum Inggris (sesuai dengan perjanjian antara
pemohon dan termohon kasasi) sehingga tentang pokok sengketa harus dibuktikan di
Pengadilan Negeri (Perdata). 37
Mengacu

kepada

putusan

Mahkamah

Agung

tersebut

diatas,

dapat

menimbulkan kekeliruan dalam ber-agumentasikan hukum, karena Pasal 6 ayat (3)
UU No. 4 Tahun 1998 Joncto Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 sama sekali
tidak boleh ditafsirkan bahwa apabila Permohonan Pernyataan Pailit tidak dapat
dibuktikan secara sederhana, perkara tersebut tidak dapat diperiksa dan diputus oleh
Hakim Pengadilan Niaga. Bila pasal tersebut ditafsirkan seperti itu, maka perkara
utang-piutang yang sangat ruwet (contohnya perkara-perkara perbankan) menjadi
tidak mungkin lagi kreditor untuk mengajukan Permohonan Pailit terhadap Debitur.
Akibatnya, menjadi tidak ada artinya ketentuan pasal 1131 KUHPerdata yang
merupakan

sumber

hukum

kepailitan,

sehingga

penafsiran

tersebut

dapat

mengakibatkan kreditor menjadi terpasung haknya untuk dapat mengajukan
Permohonan Pailit.
Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU hanya bertujuan mewajibkan Hakim untuk tidak
menolak permohonan pernyataan pailit apabila dalam perkara itu dapat dibuktikan
secara sederhana. Namun, bukan berarti jika ternyata dalam perkara yang diajukan
Pailit itu tidak dapat dibuktikan Pemohon secara sederhana atas fakta dan
keadaannya, Majelis Hakim Pengadilan Niaga atau Majelis Hakim Kasasi wajib

37

Ibid, hal. 45.

22

monolak untuk memeriksa perkara itu sebagai perkara kepailitan, karena perkara
yang demikian itu merupakan kewenangan Pengadilan Niaga.
2.

Kerangka Konsep
Dalam memahami penelitian secara lebih lanjut, penulis memaparkan batasan

konsepsional atau definisi operasional dan istilah-istilah yang dipakai dalam
penelitian ini. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan
perbedaan pengertian antara penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu juga
untuk memberikan pedoman pada proses penelitian.
Dalam penelitian ini ada dua variable yang terkait yaitu : Pertama, pembuktian
yang Complicated dan pembuktian yang bersifat Sederhana dalam perkara
Permohonan Pernyataan Pailit. Kedua, Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam
mengadili perkara Kepailitan. Dari uraian kerangka teori diatas, penulis akan
menjelaskan beberapa konsep dasar yang akan digunakan dalam tesis ini antara lain :
1. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan
Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang.
2. Pemohon Pailit adalah pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit
ke Pengadilan Niaga.
3. Termohon Pailit adalah pihak yang tertarik ke dalam perkara pailit atas
pernyataan Permohonan Pailit yang diajukan oleh Pemohon Pailit ke
Pengadilan Niaga.

23

4. Pembuktian adalah suatu proses, baik dalam hukum acara perdata, acara
pidana, maupun acara-acara lainnya. Dimana dengan menggunakan alat-alat
bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosudur khusus, untuk
mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau
pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan
dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan. 38
5. Hukum Pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur
tentang pembuktian.
6. Bukti adalah alat pembenaran suatu peristiwa atau keadaan.
7. Pembuktian Sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih Kreditur dan fakta
utang yang telah jatuh waktu dan tidak dapat dibayar.
8. Pembuktian Yang Complicated adalah pembuktian yang tidak bersifat
sederhana maksudnya alat-alat bukti yang menyulitkan, rumit, menyukarkan,
merumitkan keadaan dan fakta yang sederhana.
9. Kompetensi Relatif adalah Kewenangan Hakim Pengadilan untuk memeriksa
dan mengadili suatu perkara di Pengadilan Negeri terhadap perkara tertentu.
10. Pembuktian yang relevan adalah pembuktian yang bersangkut paut antara
bukti dengan suatu peristiwa hukum.
11. Teori Hukum adalah ilmu yang mempelajari pengertian-pengertian pokok
dan sistem dari hokum. 39

38
39

Munir Fuady, op.cit. hal. 1.
Bahan Kuliah, Teori Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Fakultas Hukum, USU.

24

12. Kepastian Hukum adalah landasan hukum yang kukuh, dimana setiap pihak
secara langsung maupun tidak langsung wajib untuk menghormati dan
menegakkan substansi hukum yang berlaku. 40
13. Pengadilan Niaga adalah Pengadilan dalam lingkup peradilan umum yang
mengeluarkan putusan pailit dan putusan penundaan kewajiban pembayaran
utang.
14. Putusan Serta Merta adalah putusan Pengadilan yang dapat dijalankan
terlebih dahulu, walaupun ada banding, verzet, maupun kasasi.

G.

Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan
untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten.
Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa konstruksi terhadap data yang
telah dikumpulkan dan diolah. 41
Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal issue
yang diteliti sangat tergantung kepada cara pendekatan (approach) yang digunakan.
Jika cara pendekatannya tidak tepat, maka bobot penelitian tidak akurat dan
kebenarannya pun dapat digugurkan. 42
40

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, Edisi Revisi, Cet, 3, (Bandung : Book Terrace
& Library, 2009)
41
Soerjono Soekamto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007),
hal.1.
42
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, (Malang :
Bayumedia Publishing, 2008), hal. 299.

25

Penelitian ini dilakukan secara Juridis Normatif. Cara pendekatan (approach)
yang digunakan dalam suatu penelitian normatif akan memungkinkan seorang
peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu
lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter
ilmu hukum sebagai ilmu normative. 43 Pendekatan ini digunakan untuk mengadakan
pendekatan terhadap permasalahan dengan cara melihat dari segi peraturan
perundang-undangan yang berlaku mengenai hukum pembuktian yaitu tentang
Pembuktian yang bersifat sederhana atau complicated dan melihat serta meneliti
putusan-putusan Pengadilan Niaga yang telah diputus dalam menerapkan hukum
pembuktian, baik sederhana maupun complicated dan dikaitkan dengan kompetensi
Relatif Pengadilan Niaga dalam mengadili perkara Kepailitan, dengan tujuan untuk
mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam
peraktik hukum.
1.

Jenis dan sifat Penelitian
Penelitian hukum dimulai dengan melakukan penelusuran terhadap bahan-

bahan hukum sebagai dasar untuk membuat suatu keputusan hukum (legal decision
making) terhadap kasus-kasus hukum yang konkret. 44 Masalah yang diangkat dalam
penelitian ini haruslah mengandung issu hukum yaitu mengenai pembuktian yang
bersifat sederhana atau complicated yang diterapkan oleh Hakim Pengadilan Niaga
dalam mengadili perkara kepailitan. Jadi, jenis penelitian yang digunakan adalah

43
44

Ibid, hal. 300.
Ibid, hal. 299.

26

menggunakan pendekatan Content Analysis (analisis isi), yang bertujuan untuk
mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan
perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam
praktik dan putusan-putusan hukum 45 dan pendekatan kasus (case approach) yang
bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang
dilakukan dalam peraktik hukum, terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus
sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang
menjadi fokus dalam penelitian ini. 46 Selanjutnya dengan memperoleh makna baru
yang terkandung dalam aturan hukum yang bersangkutan dan menguji istilah-istilah
hukum tersebut dalam praktik melalui analisis terhadap putusan-putusan hukum.
Sedangkan sifat penelitian dari penulisan tesis ini adalah deskriptif Analitis
yang ditujukan untuk mengambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis tentang
penerapan hukum pembuktian bagi pengajuan permohonan Pernyataan Pailit yang
berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum yang dibuat oleh Hakim
Pengadilan Niaga dalam mengadili perkara kepailitan.
2.

Sumber Bahan Penelitian
Sumber bahan penelitian yang dibutuhkan dalam hal ini adalah wujud sumber

bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder, dan sumber bahan hukum
tertier. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat. Ketiga

45
46

Ibid. hal. 310.
Ibid, hal. 321.

27

jenis data tersebut diperlukan untuk menjawab permasalahan yang menjadi fokus
penelitian ini, yakni :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan
merupakan landasan utama untuk dipakai dalam rangka penelitian ini yang
terdiri dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU), Undang-Undang
No. 4 Tahun 1998

tentang Kepailitan, Hukum Acara Perdata Indonesia

(HIR/Rbg), dan Putusan-Putusan Pengadilan Niaga dalam perkara Kepailitan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer yang terutama adalah buku teks (text book)
karena berisi mengenai prinsip-prinsip dasar Ilmu Hukum dan pandanganpandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi. Disamping
buku teks, bahan hukum sekunder berupa tulisan-tulisan tentang hukum baik
dalam bentuk buku ataupun jurnal-jurnal yang relevan dengan topik
penelitian. Tulisan-tulisan hukum tersebut berisi tentang perkembangan atau
isu-isu yang aktual di bidang Hukum Kepailitan. Dengan terlebih dahulu
merujuk kepada bahan-bahan tersebut, peneliti dapat mengetahui tentang
perkembangan terbaru dari sasaran yang akan diteliti.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan-bahan tersebut
merupakan bahan non hukum berupa kamus hukum dan non hukum,
ensiklopedia, buku-buku mengenai ekonomi, filsafat, ataupun laporan-laporan

28

penelitian non-hukum dan jurnal-jurnal non-hukum tersebut dimaksudkan
untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneltian.
3.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan

penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau
doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang
berhubungan dengan objek penelitian berupa keputusan-keputusan pengadilan dan
peraturan perundangan-undangan, buku-buku dan makalah-makalah ilmiah lainnya.
4.

Analisis Data
Analisis

data

dalam

penelitian

ini

mempelajari,

menganalisis,

dan

memperhatikan kualitas serta kedalam data, sehingga diperoleh data yang dapat
menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
Setelah semua data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library
research) dan data pendukung yang diperoleh dari penelitian lapangan (field
research),

maka

dilakukan

pemeriksaan

dan

evaluasi

untuk

mengetahui

keabsahannya dan validasinya, selanjutnya data diseleksi, lalu diolah dan
dikelompokkan atas data-data yang sejenis, dianalisis sesua dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk melihat kecendrungan yang ada. Terhadap
data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara yuridis, logis, sistematis dengan
menggunakan metode induktif dan deduktif. Metode deduktif melihat suatu
peraturan-peraturan yang berlaku secara umum yang dikaitkan dengan putusanputusan Hakim-Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri, walaupun tidak

29

pasti mutlak, namun dijadikan dasar hukum untuk mengkaji alat bukti Pemohon Pailit
dan penerapan hukum pembuktian pada pertimbangan-pertimbangan hukum pada
putusan Hakim Pengadilan Niaga dalam mengadili perkara kepailitan.
Dengan mengunakan metode deduktif ini, maka akan diperoleh tentang
bagaimana tepatnya alat-alat bukti yang dipergunakan Pemohon Pailit ketika
mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit ke Pengadilan Niaga. Dan bagaimana
sebenarnya penerapan hukum pembuktian yang diterapkan oleh Hakim Pengadilan
Niaga dalam mengadili perkara kepailitan. Serta apakah Pemohon Pailit dapat
menggugat secara perkara perdata biasa, jika Permohonan Pailitnya ditolak
disebabkan bukti Pemohon Pailit bukti yang Complicated.
Dari hasil pembahasan analisis ini diharapkan akan diperoleh kesimpulan yang
memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti tersebut.

H.

Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab. Bab pertama, yang merupakan bab

pendahuluan yang membahas tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, kerangka teori dan konsep, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Pada bab kedua dibahas mengenai Pembuktian dalam Perkara Kepailitan, yang
terdiri dari pembuktian, pembuktian sederhana, pembuktian complicated, dan
pembuktian dalam perkara kepailitan.

30

Pada bab ketiga dibahas mengenai Alasan Pembuktian Sederhana dalam
Perkara Kepailitan, yang meliputi alasan-alasan pentingnya pembuktian sederhana,
dan putusan pengadilan niaga dalam perkara kepailitan yang mengandung unsur
pembuktian yang bersifat sederhana.
Pada bab keempat dibahas pembuktian (yang dilakukan hakim dalam perkara
kepailitan) yang mengandung unsur complicated dan kaitannya dengan kompetensi
relatif pengadilan niaga. Bab keempat ini terdiri dari putusan pengadilan niaga dalam
perkara kepailitan yang mengadung unsur pembuktian bersifat complicated, cara
kerja hakim dalam melakukan pembuktian yang bersifat complicated, dan kompetensi
relatif pengadilan niaga.
Penulisan Tesis ini akan diakhiri dengan sebuah bab penutup yang merupakan
Bab kelima berisi kesimpulan dan saran.