Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)
ANALISIS YURIDIS KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA
DALAM PERKARA KEPAILITAN
(STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN NOMOR
65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)
TESIS
Oleh
SATRIA BRAJA HARIANDJA
097005016/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
ANALISIS YURIDIS KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA
DALAM PERKARA KEPAILITAN
(STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN NOMOR
65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
SATRIA BRAJA HARIANDJA
097005016/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM PERKARA KEPAILITAN (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN NOMOR 65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)
Nama Mahasiswa : Satria Braja Hariandja Nomor Pokok : 097005016
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) K e t u a
(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH,M.Hum)
(4)
Telah diuji pada
Tanggal 28 Juni 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
:
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
:
1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
2. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
(5)
JURIDICAL ANALYSIS OF TRADE COURT COMPETENCY IN BANKRUPTCY CASE ( CASE STUDY OF COURT DECISION
NO.65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST).
Satria Braja Hariandja1) Bismar Nasution**)
Sunarmi**) T.Keizerina Devi**)
ABSTRACT
Jakarta Pusat Trade Court does not have ayuthority examining and making decision of the case bankruptcy between PT. BANK CIMB NIAGA (Applicant for Bankruptcy I) and PT. ARITA PRIMA PERKASA (Applicant for Bankruptcy II) againts PT.MESTIKA SAWIT INTIJAYA (Pleaded to be bankrupt) in relation with the relative Competency of Trade Court based on the legal position of the pleaded which has been clearly regulated in law No.37/2004 on Bankruptcy an Delay of Loan Repayment Obligation. Yet, Jakarta Pusat Trade Court has made the decision of the case under the registration No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA. JKt.PST. Based on the acove description, the title of this study is “Juridical Analysis of Trade Court Competency in bankruptcy Case ( Case Study of Court Decision No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST).
The research questions to be answered were to word extent the authority of Trade Court can examine bankruptcy case based on law No.37/2004 on Bankruptcy and Delay of Loan Repayment Obligation, what legal consideration the judge took in court decision No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST., and how the judge’s decisions in this bankruptcy case was implmented.
This study employed the normatve legal research method and statute approach. As an analytical descriptive study, the process of analyzing decision No.65/ Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST., was done by using qualitative analysis to deeply reveal the opinions and concepts needed and will be described cmprehensively to answer the problems found in this thesis. The conclusion was drawn by using deductive-inductive approaches.
The legal concideration taken by the judge in this thesis, which is related to Relative Competency, is not appropriate to the stipulation of bankruptcy application
*) Postgraduate Student of Law Faculty in North Sumatera University. **) Postgraduate Lecture of Law Faculty in North Sumatera University.
(6)
because, in this case, it is the Trade Court within the court of First Instance that has an authority to examine and make decision for the case. The stipulation on this submission of application is clearly regulated in article 3 Paragraph 1-5 of Law No.37/2004.
(7)
ANALISIS YURIDIS KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM PERKARA KEPAILITAN
(Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)
ABSTRAK
Satria Braja Hariandja* Bismar Nasution**)
Sunarmi**) T.Keizerina Devi**)
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidaklah berwenang memeriksa dan memutus perkara Kepailitan antara PT.BANK CIMB NIAGA (Pemohon Pailit I) dan PT.ARIMA PRIMA PERKASA (Pemohon Pailit II) melawan PT. MESTIKA SAWIT INTIJAYA (Termohon Pailit) karena terkait dengan Kompetensi Relatif dari Pengadilan Niaga berdasarkan kedudukan hukum dari si termohon pailit telah jelas diatur oleh ketentuan Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, namun demikian Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah memutus perkara tersebut dengan register nomor. 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST. Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas tulisan yang berjudul : “Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)”.
Permasalahan Penelitian ini adalah Bagaimanakah kewenangan Pengadilan Niaga memeriksa perkara Kepailitan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bagaimana Pertimbangan Hukum hakim dalam Putusan Nomor 65 / Pailit/ 2010/ PN.NIAGA.JKT.PST., serta Bagaimanakah pelaksanaan putusan hakim dalam perkara ini. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan teknik penelitian kepustakaan (library research) dalam menganalisis putusan No. 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST, dan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute Approach). Penelitian bersifat deskriptif analitis, dimana keseluruhan analitis diatas dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif untuk mengungkap secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan akan diurai secara komprehensif untuk menjawab kepada persoalan yang ada dalam tesis ini, serta penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan pendekatan deduktif-induktif.
(8)
Pertimbangan Hukum hakim dalam tesis ini terkait kompetensi relatif, tidaklah sesuai dengan ketentuan dalam hal Pengajuan permohonan Pailit dalam hal ini Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara ini. Ketentuan mengenai Pengajuan Permohonan ini diatur secara tegas dalam Pasal 3 ayat (1) s/d (5) Undang-Undang Nomor.37 Tahun 2004.
(9)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah bapa, Putranya Yesus Kristus dan Roh Kudus, yang melimpahkan kasih karunia dan berkat sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang sangat sederhana ini, dimana penuh kelemahan, baik dalam penulisan hingga pengambilan kesimpulan dan pemberian saran. Tesis ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna mencapai gelar Magister Hukum dalam Program studi Magister Ilmu Hukum, yang berjudul
“Analisis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST.)”.
Permasalahan pnelitian ini adalah Bagaimanakah kewenangan Pengadilan Niaga memeriksa perkara Kepailitan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nmor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bagaimana Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan no.65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST., serta bagaimanakah pelaksanaan putusan ini nantinya.
Pnulis mengucapkan terima kasih setulusnya kepada seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak langsung memberi bantuan dalam penyusunan tesis ini, antara lain :
1. Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu., DTM & H,M.SC (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang dibrikan untuk dapat mengikuti pendidikan program sttudi Magister Ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
2. Prof.Dr.Runtung,SH.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara;
3. Prof.Dr.Suhaidi,SH.,MH. Selaku ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Dr.Mahmul Siregar,SH.,M.Hum, selaku sekretaris Program studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
(10)
5. Prof.Dr.Bismar Nasution, SH., MH., selaku Dosen Pembimbing I yang membimbing dan mengarahkan penulis hingga penulisan tesis selesai;
6. Prof.Dr.Sunarmi,SH.,M.Hum., Selaku Dosen Pembimbing II yang membimbing dan mengarahkan penulis hingga penulisan tesis ini selesai;
7. Dr.T.Keizerina Devi.,SH.,CN.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing III yang membimbing dan mengarahkan penulis hingga penulisan tesis ini selesai.
8. Seluruh Dosen yang memberikan perkuliahan kepada penulis selama menjadi mahasiswa, dan seluruh staf pegawai Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas sumatera Utara;
9. Teristimewa kepada papa tercinta Kol.Purn.M.Hariandja.,S.sos, dan mama R.br.Simatupang, yang tanpa henti memberikan dukungan moril dan materil yang luar biasa.
10. Kel.Laeku Mayor .Inf. H.Sitinjak/ Monaria br. Hariandja beserta bere-bereku yaitu Hotmangaradja, Gerald Alvano. And Lisa Angelina;
11. Kel.Laeku Kapten.Inf. BB.Sitindaon/Joys.br.Hariandja.,M.psi.
12. Kel.laeku AKP.BE.Bandjarnahor/Heny Trisnawati,SH beserta bereku Matthew Batara Sojuaon;
13. Teman-Teman Magister Ilmu Hukum angkatan 2009 seluruhnya, dan Program Pararel B khususnya, sukses trussss buat kita sema;
Akhir kata, kiranya Tuhan yang menjadikan kehendakNya kepada mereka, dan semoga tulisan ini berguna baggi Nusa dan Bangsa.
Medan, 27 Juni 2011
Satria Braja Hariandja
(11)
RIWAYAT HIDUP
Nama : SATRIA BRAJA HARIANDJA
Tempat/Tgl.Lahir : Medan,02 Juni 1987
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan : SD Santa Maria Tarutung (Lulus Tahun 1999)
SLTP Putri Cahaya Medan (Lulus Tahun 2002) SMA Negeri 4 Medan ( Lulus Tahun 2005) S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Lulus Tahun 2008)
S2 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Lulus Tahun 2011)
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR... v
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI... viii
BAB I : PENDAHULUAN... 1
A.Latar Belakang... 1
B. Rumusan Permasalahan... 2
C. Tujuan Penelitian... 2
D.Manfaat Penelitian... 3
E. Keaslian Penelitian ... 3
F. Kerangka Teoritis Dan Konsepsi... 4
1. Kerangka Teori ... 4
2. Kerangka konsep ... 4
G.Metode Penelitian... 6
1.Jenis dan Sifat Penelitian ... 6
2.Sumber Bahan Hukum... 7
3.Tehnik Pengumpulan Data ... 7
4.Analisis Data... 8
BAB II : KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MEMERIKSA PERKARA KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG ... 9
A. Pengadilan Niaga... 9
1.Latar Belakang Lahirnya Pengadilan Niaga ... 9
2.Kedudukan & Pembentukan Pengadilan Niaga... 9
3.Hakim Pengadilan Niaga ... 9
B. Kompetensi Pengadilan Niaga... ... 11
C. Pemeriksaan Perkara Kepailitan 1.Hukum Acara Perdata ... 13
(13)
b. Tuntutan Hak & Gugatan dalam Hukum
Acara Perdata... 14
c. Kompetensi peradilan dalam Hukum acara Perdata ... 14
d. Tempat Pengajuan Gugatan Dalam Hukum Acara Perdata... 15
e. Pelaksanaan Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata... 16
2.Hukum Acara Kepailitan ... 17
a. Pengadilan yang Berwenang... 17
b. Pengajuan Permohonan Kepailitan... 17
c. Pembuktian Dalam Kepailitan... ... 17
d. Upaya Hukum Dalam Kepailitan... 18
BAB III PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 65/Pailit/2010/PN.JKT.PST ... 19
A. Duduk Perkara ... 19
B. Pertimbangan Hukum Hakim ... 19
C. Analisis Putusan Hakim Dengan Nomor 65/Pailit/ 2010/PN.JKT,PST Tentang Kompetensi Relatif – Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Dalam Memeriksa Dan Memutus perkara ... 19
BAB IV : PELAKSANAN KEPUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA NOMOR65/Pailit/2010/PN.JKT.PST A. Akibat Kepailitan ... 21
B. Penunjukan Kurator... ... 21
C. Penunjukan Hakim Pengawas... 21
D. Pelaksanaan Putusan Hakim... ... 21
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 22
A. Kesimpulan ... 22
B. Saran... 24
(14)
JURIDICAL ANALYSIS OF TRADE COURT COMPETENCY IN BANKRUPTCY CASE ( CASE STUDY OF COURT DECISION
NO.65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST).
Satria Braja Hariandja1) Bismar Nasution**)
Sunarmi**) T.Keizerina Devi**)
ABSTRACT
Jakarta Pusat Trade Court does not have ayuthority examining and making decision of the case bankruptcy between PT. BANK CIMB NIAGA (Applicant for Bankruptcy I) and PT. ARITA PRIMA PERKASA (Applicant for Bankruptcy II) againts PT.MESTIKA SAWIT INTIJAYA (Pleaded to be bankrupt) in relation with the relative Competency of Trade Court based on the legal position of the pleaded which has been clearly regulated in law No.37/2004 on Bankruptcy an Delay of Loan Repayment Obligation. Yet, Jakarta Pusat Trade Court has made the decision of the case under the registration No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA. JKt.PST. Based on the acove description, the title of this study is “Juridical Analysis of Trade Court Competency in bankruptcy Case ( Case Study of Court Decision No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST).
The research questions to be answered were to word extent the authority of Trade Court can examine bankruptcy case based on law No.37/2004 on Bankruptcy and Delay of Loan Repayment Obligation, what legal consideration the judge took in court decision No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST., and how the judge’s decisions in this bankruptcy case was implmented.
This study employed the normatve legal research method and statute approach. As an analytical descriptive study, the process of analyzing decision No.65/ Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST., was done by using qualitative analysis to deeply reveal the opinions and concepts needed and will be described cmprehensively to answer the problems found in this thesis. The conclusion was drawn by using deductive-inductive approaches.
The legal concideration taken by the judge in this thesis, which is related to Relative Competency, is not appropriate to the stipulation of bankruptcy application
*) Postgraduate Student of Law Faculty in North Sumatera University. **) Postgraduate Lecture of Law Faculty in North Sumatera University.
(15)
because, in this case, it is the Trade Court within the court of First Instance that has an authority to examine and make decision for the case. The stipulation on this submission of application is clearly regulated in article 3 Paragraph 1-5 of Law No.37/2004.
(16)
ANALISIS YURIDIS KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM PERKARA KEPAILITAN
(Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)
ABSTRAK
Satria Braja Hariandja* Bismar Nasution**)
Sunarmi**) T.Keizerina Devi**)
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidaklah berwenang memeriksa dan memutus perkara Kepailitan antara PT.BANK CIMB NIAGA (Pemohon Pailit I) dan PT.ARIMA PRIMA PERKASA (Pemohon Pailit II) melawan PT. MESTIKA SAWIT INTIJAYA (Termohon Pailit) karena terkait dengan Kompetensi Relatif dari Pengadilan Niaga berdasarkan kedudukan hukum dari si termohon pailit telah jelas diatur oleh ketentuan Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, namun demikian Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah memutus perkara tersebut dengan register nomor. 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST. Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas tulisan yang berjudul : “Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)”.
Permasalahan Penelitian ini adalah Bagaimanakah kewenangan Pengadilan Niaga memeriksa perkara Kepailitan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bagaimana Pertimbangan Hukum hakim dalam Putusan Nomor 65 / Pailit/ 2010/ PN.NIAGA.JKT.PST., serta Bagaimanakah pelaksanaan putusan hakim dalam perkara ini. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan teknik penelitian kepustakaan (library research) dalam menganalisis putusan No. 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST, dan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute Approach). Penelitian bersifat deskriptif analitis, dimana keseluruhan analitis diatas dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif untuk mengungkap secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan akan diurai secara komprehensif untuk menjawab kepada persoalan yang ada dalam tesis ini, serta penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan pendekatan deduktif-induktif.
(17)
Pertimbangan Hukum hakim dalam tesis ini terkait kompetensi relatif, tidaklah sesuai dengan ketentuan dalam hal Pengajuan permohonan Pailit dalam hal ini Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara ini. Ketentuan mengenai Pengajuan Permohonan ini diatur secara tegas dalam Pasal 3 ayat (1) s/d (5) Undang-Undang Nomor.37 Tahun 2004.
(18)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi yang semakin meningkat dan seiring dengan gejolak moneter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997, telah menimbulkan kesulitan yang berat terhadap kemampuan perekonomian negara terutama di sektor riil.
Kelangsungan ekonomi secara defacto sangat berpengaruh terhadap menurunnya
usaha, sehingga kemampuan setiap perusahaan untuk memenuhi kewajiban terhadap kreditor menjadi sulit dilaksanakan, tertunda bahkan ada yang sama sekali tidak dapat membayar lagi. Keadaan ini akan berdampak terhadap sektor lainnya yang apabila tidak di selesaikan secara tuntas akan menimbulkan dampak yang lebih luas terhadap gejolak sosial, politik di masyarakat luas.
Dalam rangka mengantisipasi kecenderungan tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo, maka sebagai salah satu sarana hukum untuk penyelesaian utang-piutang, pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang
signifikan terhadap Undang-Undang Kepailitan yaitu
Failisements-Verordening,S.1905 Nomor 217 jo S.1906 Nomor 348.
Materi peraturan ini dianggap belum memadai lagi untuk dipakai menangani berbagai kasus-kasus kebangkrutan dan kredit macet yang terjadi di Indonesia, Pada tahun 1998 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(19)
(PERPU) nomor 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Kepailitan (PERPU Kepailitan).2
Dalam bagian konsideran PERPU Kepailitan, disebutkan sebagai berikut : a. Bahwa untuk memberikan kesempatan kepada pihak kreditor dan perusahaan
sebagai debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil, diperlukan sarana hukum yang dapat digunakan secara cepat , terbuka dan efektif.
b. Bahwa salah satu sarana hukum yang menjadi landasan bagi penyelesaian hutang piutang adalah peraturan tentang kepailitan, termasuk peraturan tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
c. Bahwa untuk mengatasi gejolak moneter beserta akibatnya yang berat terhadap perekonomian saat ini, salah satunya yang menjadi persoalan yang mendesak dan memerlukan pemecahan adalah penyelesaian hutang-piutang perusahaan, dan dengan demikian adanya peraturan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yang dapat digunakan oleh para debitor dan kreditor secara adil, cepat dan terbuka dan efektif menjadi sangat perlu untuk segera diwujudkan.
d. Bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka penyelesaian utang piutang tersebut di atas, terwujudnya mekanisme penyelesaian sengketa secara secara adil, cepat, terbuka dan efektif melalui suatu Pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum yang dibentuk dan bertugas menangani, memeriksa
2
Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Benny.K.Harman, Analisa Kritis Putusan-Putusan Pengadilan Niaga. Cet 1, (Jakarta:CINLES-Center For Information & Law-Economic Studies,2000), hlm. 6 dan 7.
(20)
dan memutuskan berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan termasuk di bidang Kepailitan dan penundaan pembayaran utang, juga sangat diperlukan dalam penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya.
Dalam perkembanganya, PERPU Kepailitan ditingkatkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang Kepailitan (UUK). UUK hanya terdiri dari dua pasal, dimana Pasal 1 UUK pada dasarnya menegaskan PERPU Kepailitan ditetapkan menjadi Undang-Undang, dan Pasal 2 UUK menyatakan bahwa UUK mulai berlaku sejak di Undangkan yaitu tanggal 9 september 1998.3
Kemudian UUK ini direvisi kembali menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau disingkat dengan (UUK-PKPU). Beberapa pokok materi baru dalam UUK ini antara lain:
Pertama, agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam UUK-PKPU ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu.
Kedua, mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
3
(21)
Lahirnya UUK-PKPU, tentunya pengaturan dalam hal permohonan Kepailitan telah diatur lebih tegas, seperti mengenai Pengajuan Permohonan dalam hal Pengadilan Niaga Mana yang berwenang untuk memeriksa perkara ini. Setelah kurang lebih 6 tahun UUK-PKPU ini terbit, terdapat permasalahan terkait dalam hal Kompetensi Relatif dalam memeriksa perkara. Satu di antaranya adalah mengenai Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor : 65/Pailit/2010/PN.JKT.PST, antara PT.BANK CIMB NIAGA sebagai Pemohon Pailit I dan PT.ARITA PRIMA PERKASA sebagai Pemohon Pailit II vs PT.MESTIKA SAWIT INTIJAYA sebagai Termohon Pailit.
Permasalahan Kompetensi Relatif ini sangat penting dibahas demi untuk kepastian hukum dan putusan hakim yang berkualitas. Dari segi kepastian hukum yakni, adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Dengan adanya nilai yang berbeda-beda tersebut maka penilaian mengenai keabsahan hukum atau suatu perbuatan hukum, dapat berlain-lainan tergantung nilai mana yang dipergunakan. Tetapi umumnya nilai kepastian hukum yang lebih berjaya, karena diam-diam terkandung pengertian supremasi hukum.4
Dalam hal hukum yang berkualitas, maka menurut Wasis,SP, Hukum berkualitas adalah hukum yang mengandung nilai-nilai keadilan bagi seluruh masyarakat dan sesuai dengan kehendak / aspirasi masyarakat, sebab itu hukum yang
4
Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, Tegakkan hukum Gunakan Hukum, (Jakarta:Buku Kompas,2006), hlm.59-60.
(22)
baik akan menjamin kepastian hak dan kewajiban secara seimbang kepada tiap-tiap orang. Tujuan hukum, di samping menjaga kepastian hukum juga menjaga sendi-sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat.5
Mengenai peranan hakim dalam menegakkan kepastian Hukum, maka tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dengan hakim, Untuk menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Hakim menjadi faktor penting dan menentukan, Pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari menang, melainkan untuk mencari kebenaran dan keadilan.6
Dalam Putusan atas permohonan pernyataan Pailit dalam putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat nomor : 65/Pailit/2010/PN.JKT.PST., permasalahan yang timbul adalah tidak berjalannya ketentuan tentang prosedur permohonan Kepailitan dimana menurut UUK-PKPU dalam Pasal 3 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) Permohonan diatur berdasarkan kedudukan si debitor, di tempat kedudukan terakhir debitor, di tempat kedudukan pesero atau firma tersebut, di kantor pusat tempat si debitor menjalankan profesi, bila badan hukum berdasarkan kedudukan hukum sebgaimana yang diatur dalam anggaran dasar badan hukum tersebut, tetapi kenyataannya dalam perkara ini ternyata Pengadilan yang mengadili yaitu Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berdasarkan Perjanjian Kesepakatan Bersama Mengenai Penyelesaian Pinjaman, dalam Pasal 7 ayat (4) dalam Perjanjian tersebut sepakat memilih Pilihan Hukum yang di antaranya Kompetensi Relatif. Acuan mengenai Pengadilan Niaga yang
5
Wasis ,SP, Pengantar Ilmu Hukum, (Malang:UMM Press,2002), hlm.21.
6
(23)
berwenang untuk memeriksa perkara ini haruslah mengacu kepada UUK-PKPU yakni Pasal 3 ayat 5 UUK-PKPU yang menyatakan : “ Dalam hal debitor merupakan badan hukum tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya ”.
Dalam hal kedudukan hukum si debitor sebagai badan hukum sendiri yaitu PT.Mestika Sawit Intijaya berada di Jalan Tembakau Deli I No.4-1, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara dan berdasarkan Anggaran Dasarnya (AD) berkedudukan hukum di Medan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat 5 UUK-PKPU jo Keppres No 97 tahun 1999 tentang Pembentukan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Negeri Semarang dalam Pasal 2 dinyatakan :
(1) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang meliputi Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya.
(2) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh.7
(3) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi Wilayah Propinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur.
7
(24)
(4) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam perkara ini Kreditor yaitu PT.BANK CIMB NIAGA Tbk.,beralamat di Graha Niaga, Jalan jenderal Sudirman Kaveling 58 Jakarta 12190, yang selanjutnya disebut dengan Pemohon Pailit I dan PT.ARITA PRIMA PERKASA beralamat di kompleks Bilal Harmonis No.05 Kel.P.Brayan Darat I, Kec.Medan timur, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara selanjutnya disebut dengan Pemohon Pailit II, mengajukan gugatan Pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berdasarkan Perjanjian Kesepakatan Bersama Mengenai Penyelesaian Pinjaman yang ditanda tangani para pihak pada tanggal 22 Desember 2009 dalam Pasal 7 ayat (4), sepakat untuk memilih Pilihan Hukum pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima untuk memeriksa perkara ini dan telah diputus pada tanggal 06 Oktober 2010 dengan Majelis Hakim, Tjokorda Rai Suamba, SH. (Hakim Ketua Majelis), H.Syarifuddin, SH, M.Hum, Jupriyadi, SH.,M.Hum (masing sebagai Hakim anggota).
Berdasarkan uraian di atas, agar dapat mengkaji secara yuridis kewenangan Pengadilan Niaga yang berwenang memeriksa perkara Kepailitan ini dengan mengacu pada UUK-PKPU jo Keppres No.97 tahun 1999, karena Pengadilan Niaga
merupakan Pengadilan khusus yang merupakan chamber dari Pengadilan Umum,
seperti halnya dengan Pengadilan anak dan Pengadilan lalu lintas. Kasus yang diajukan ke Pengadilan Niaga akan diperiksa dan diputuskan dalam tingkat pertama oleh suatu Majelis Hakim. Pemeriksaan dan Pemutusan Pengadilan haruslah sesuai
(25)
dengan fakta hukum yang diperoleh di persidangan, sesuai dengan hukum/Undang-Undang yang berlaku dan keyakinan hakim.8
Dalam Putusan hukum oleh Majelis Hakim dalam perkara Kepailitan ini, hakim mengabulkan Permohonon Pemohon Pailit untuk seluruhnya dan menyatakan debitor PT.MESTIKA SAWIT INTIJAYA Pailit dengan segala akibat hukumnya. Dalam kasus ini Menarik untuk diteliti, eksepsi termohon Pailit ditolak seluruhnya, eksepsi terkait kompetensi Relatif dalam hal yurisdiksi Pengadilan Niaga yang berhak untuk memeriksa dan memutus perkara ini sesuai Undang-Undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU).
Berdasarkan Pasal 3 ayat (5) yang menyatakan oleh karena termohon Pailit adalah badan hukum maka permohonan Pailit diajukan di domisili hukum sesuai yang telah dinyatakan dalam anggaran dasar dari badan hukum tersebut yaitu Kota Medan maka seharusnya permohonan Pailit seharusnya diajukan di Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri Medan bukan di Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, oleh karena itu seharusnya Permohonan Pernyataan Pailit Pemohon Pailit I dan II menurut hukum harus dinyatakan tidak dapat diterima (N.O).
9
8
Binsar Gultom, Pandangan Kritis seorang Hakim Dalam Penegakan Hukum di Indonesia,
(Medan:Pustaka Bangsa Press,2008), hlm.114.
9
Tuntutan yang kurang jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak dapat diterimannya tuntutan tersebut, demikian pula gugatan yang bertentangan satu sama lain atau disebut obscuur libel
(gugatan tidak jelas dan tidak dapat dijawab dengan mudah oleh pihak tergugat, sehingga menyebabkan gugatan ditolak yang berakibat tidak diterimannya gugatan tersebut. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah agung RI No.443 K/Sip/1983 Tanggal 30 November 1983.
(26)
Yang menarik dalam putusan ini adalah hakim tetap memeriksa perkara ini dengan hanya berdasarkan pilihan hukum pada kesepakatan bersama mengenai penyelesaian pinjaman. Apabila putusan ini sudah ditetapkan permasalahan yang muncul adalah bagaimana implementasi pelaksanaan putusan tersebut terkait langkah-langkah yang ditempuh oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan mengacu pada kedudukan hukum dari si debitor yang berada di Kab.Deli Serdang dan objek dan jaminan berada di Desa Pematang Seleng, Kecamatan Bilah Hulu, Kabupaten Labuhan Batu Provinsi Sumatera Utara padahal tujuan dasar dari UUK-PKPU bahwa untuk meningkatkan pemerataan dan mempermudah masyarakat baik secara
s Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara
Kepailitan ( Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor : 65/Pailit/2010/
diid
1. a Perkara Kepailitan
ajiban Pembayaran Utang?
perorangan atau badan usaha dalam menyelesaikan sengketa di bidang perniagaan secara adil, cepat, terbuka dan efektif.
Dari uraian diatas tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas tesis yang berjudul “Analisi
PN.JKT.PST )”.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, timbul beberapa permasalahan yang dapat
entifikasikan sebagai berikut :
Bagaimanakah Kewenangan Pengadilan Niaga Memeriks
Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kew
(27)
2. Bagaimana Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.JKT.PST.?
. Bagaimanakah Pelaksanaan Keputusan Hakim dalam perkara Nomor. 65/ Pailit/ ?
C.
1. radilan dalam
daan Kewajiban Pembayaran Utang.
3. lit/2010/PN.JKT.PST.
sesuai dengan ketentuan dari Undang-Undang nomor.37 tahun 2004 tentang daan Kewajiban Pembayaran Utang?
1.
iharapkan dapat menambah dan memberikan
2. 3
2010/ PN. JKT. PST
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaturan terkait Kompetensi Relatif pe
memeriksa perkara Kepailitan menurut Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penun
2. Untuk mengkaji dasar pertimbangan hakim dalam putusan nomor
65/Pailit.2010.PN.JKT.PST.
Untuk mengetahui pelaksanaan putusan nomor 65/Pai
Kepailitan dan Penun
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
Manfaat secara teoritis
Secara teoritis, penelitian ini d
manfaat untuk mengembangkan pemikiran di bidang hukum Kepailitan. Manfaat secara praktis
(28)
hal ini hakim dan advokat, agar dapat menegakkan hukum dan keadilan bagi para pihak dalam sengketa Kepailitan, terlebih mengetahui
menjatuhkan putusan Kepailitan dalam rangka penegakan
nya. Namun permasalahan yang terdapat di dalam tesis tersebut tidak sama
n erseroan”
2. mawati, tesis pada tahun 2003 dengan judul “Penyelesaian Utang Piutang
elalui Hukum Kepailitan suatu Antisipasi Terhadap Kredit Bermasalah”. Secara praktis tulisan ini dapat menjadi referensi pemikiran kepada aparat penegak hukum dalam
pola pikir hakim dalam hukum di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan sekolah Pasca sarjana,
maka penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga
Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor
65/Pailit/2010/PN.JKT.PST.)”, belum pernah ada yang melakukan penelitian
sebelum
dengan permasalahan dalam tesis ini sehingga penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Yang menyangkut dengan masalah Kepailitan, yaitu :
1. Halida Rahardini, tesis pada tahun 2002 dengan judul “Analisis Hukum
Terhadap Tanggung Jawab Direktur Dalam Hal Terjadi Kepailita P
At M
(29)
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Hakekat penulisan karya ilmiah sebagai salah satu landasan dalam hal
perkembangan ilmu hukum tidaklah terlepas dari teori sebagai landasannya dan tugas hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum postulat-postulatnya hingga
uphoria reformasi segala bidang. Maka untuk mengantisipasi adanya
penegakan hukum, karena kaedah hukum akan tampak ketika penegakan hukum tersebut terjadi. Fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, Sehingga penelitian ini tidaklah dapat terlepas dari teori-teori hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran ahli hukum sendiri.
Apabila ditinjau secara teoritis, lahirnya Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 adalah sebagai konsekwensi dari keadaan krisis ekonomi dan moneter di Indonesia yang pada akhirnya juga menimbulkan krisis sosial dan politik akibat terjadinya e
kecenderungan dunia usaha yang bangkrut, Pemerintah pun menerbitkan Undang-Undang ini menjadi suatu kaedah hukum positif dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.
(30)
mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame-work) yang ditetapkan oleh suatu Undang-Undang atau hukum.10
Bila hal itu dikaitkan dengan pembangunan hukum, maka pendekatannya tidak sekadar pembaharuan aturan-aturan hukum. Pembangunan hukum bertujuan
membentuk atau mewujudkan sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional (Legal
system). Dalam pembangunan, pembaharuan atau pembinaan sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional harus diikuti oleh pembangunan, pembaharuan atau pembinaan substansi dari sistem hukumnya. Substansi dari sistem hukum itulah yang akan menentukan sejauh mana sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional mencerminkan Indonesia baru dan mampu melayani kebutuhan Indonesia baru. Dengan demikian dalam pembangunan sistem hukum nasional harus mencakup
pembangunan bentuk dan isi dari peraturan perundang-undangan.11 Bagaimana
pembangunan, pembaharuan atau pembinaan bentuk dan isi dari peraturan perundang-undangan inilah yang menjadi substansi dari kebijakan legislatif. Kebijakan Legislatif atau kebijakan perundang-undangan adalah kebijakan politik dalam menyusun dan mewujudkan ide-ide para pembuat Undang-Undang (Legislator) dalam bentuk norma-norma baku yang terumus secara eksplisit dalam
10
Calire Seltz et.,al:1977, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:Universitas Indonesia (UI-Press),1986), hlm.9.
11
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), (Yogyakarta:FH UII Press,2005), hlm.157-158. Lihat juga pendapat Von Savigny yang dikutip Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan sejarah, (Yogyakata:Kansius,1990), hlm.114., yang menyatakan, hukum adalah pernyataan jiwa bangsa-Volgheist-karena pada dasarnya hukum tidak dibuat oleh manusia tetapi tumbuh dalam masyarakat, yang lahir, berkembang, dan lenyap dalam sejarah. Dalam pembentukan hukum perlu pula diperhatikan cita-cita bangsa dan nilai – nilai yang terapat dalam bangsa tersebut.
(31)
bentuk peraturan perundang-undangan nasional, dengan berkekuatan sebagai apa yang dikatakan oleh Austin , “The Command of the Sovereign”.12 Penelitian ini pada dasarnya menggunakan teori hukum Positivis, sebagai landasan dan sebagai pisau analisis guna mengkaji hal-hal yang dianggap sebagai permasalahan mendasar dalam penelitian ini.
Menurut John Austin, tokoh yang menganut Hukum Positif, dengan menganut
sub aliran hukum positif yang analitis dengan teori Analytical Jurisprudence
menganut prinsip sebagai berikut:
Pertama, merupakan perintah dari penguasa (Law is a command of the law giver). Maksudnya, perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. Hukum merupakan perintah yang dibebankan untuk mengatur mahluk berfikir, dan perintah itu diberikan oleh mahluk berfikir yang memegang kekuasaan. Dengan kata lain, hukum berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa, dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya suatu instansi yang berwenang. Hukum dipandang semata-mata dalam formalnya, yang dapat dipisahkan dari bentuk hukum materialnya. Artinya bahwa proses pembentukan hukum tersebut dilakukan melalui cara tertentu, agar hukum tersebut mempunyai dasar validitasnya. Dengan demikian hukum hanya didasarkan pada kekuasaan dari pihak yang berkuasa, tidak didasarkan pada prinsip keadilan, prinsip
12
Oko Setyono dalam Muladi (Edt), Hak Asasi Manusia, Hakekat,Konsep & Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung:PT.Refika Aditama,2005), hlm.123.
(32)
moralitas baik dan buruk.13 Dengan demikian , perbedaan antara Hukum positif dan hukum alam adalah bahwa dalam Hukum positif, hukum dibuat oleh pihak yang berkuasa dan pembuatanya didasarkan pula pada pihak yang berkuasa. Meskipun hukum tersebut dirasakan tidak adil atau tidak bermoral, namun karena pembuatan hukum tersebut didasarkan pada pihak yang berkuasa maka hukum ini tetap sah sebagai hukum. Sedangkan dalam hukum alam, hukum dibuat berdasarkan agama, prinsip keadilan, atau prinsip moralitas yang baik atau buruk. Dalam hal ini, hukum tersebut tetap dibuat oleh pihak yang berkuasa, misalnya oleh lembaga legislatif dan eksekutif, tapi pembuatanya didasarkan pada pertimbangan agama, keadilan dan moral.
Kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (Closed Logical System). Maksudnya adalah, bahwa keputusan-keputusan hukum yang tepat atau benar dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran moral.14 Pandangan ini jelas mendapat pengaruh ketat dari cara
berfikir sainsmodern, Ilmu dianggap sebagai penyelidikan mandiri yang objeknya
harus dipisahkan dari nilai.
Ketiga, hukum positif harus memenuhi beberapa unsur, yaitu unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Apabila tidak memenuhi keempat unsur tersebut, dia
13
W.Friedmann, Legal Theory, (London: Steven & sons Limited, Third Edition, 1953), hlm.151.
14
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum:Apakah hukum Itu?, (Bandung:PT.Remaja Rosdakarya, Cetakan Keenam,1993), hlm.44.
(33)
bukanlah hukum, melainkan moral positif (positive morality). Unsur perintah berarti bahwa satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya. Pihak yang diperintah akan dikenakan sanksi apabila perintah itu tidak ditaati.15 Sebagai contoh, Jika A (warga Negara) melakukan pelanggaran/kejahatan, maka B (aparat hukum)
diberikan wewenang untuk mengenakan Y (sanksi).16 Perintah tersebut merupakan
pembebanan kewajiban bagi yang diperintah, dan kewajiban ini hanya dapat terlaksana jika yang memerintah tersebut adalah pihak yang berdaulat. Dan yang memiliki kedaulatan itu dapat berupa seseorang atau sekelompok orang.17 Sedangkan contoh moral positif misalnya hukum internasional yang tidak mempunyai sanksi.
Sebagai penganut aliran positivisme dengan teori hukum murni, Hans Kelsen
juga menyatakan prinsip dasar dalam aliran positivisme adalah :
Pertama, hukum haruslah dipisahkan dari anasir-anasir non-yuridis seperti anasir etis (moral), sosiologis, politis, dan sebagainya. Karena dipisahkanya hukum dari unsur non-yuridis itulah, sehingga teori yang dikemukakan oleh Hans kelsen disebut teori hukum murni.18 Pada dasarnya Hans kelsen berpendapat:
“it is called a “pure” theory of law, because it only describes the law and attemps to eliminate from the object of this description ever beratything that is not strictly law. Its aim is to free the science of law from alien elements”.19
15
Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat & Teori Hukum, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2004), hlm.59.
16
Ibid, hlm.43.
17
Ibid
18
Pembahasan mengenai konsep pemisahan antara hukum dan moral tampaknya memperoleh perhatian yag cukup besar dari para ahli hukum. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam R.M Dworkin,The Philosophy of Law,(New Jersey:Oxford University Press,1977),hlm.17-37.
19
Hans Kelsen, Pure theory of law, diterjemahkan oleh Max Knight dari bahasa Jerman, (Berkeley:University of california Press,1967), hlm.1.
(34)
Dipisahkanya hukum dari unsur etis, mengindikasikan bahwa Hans Kelsen tidak memberikan tempat bagi berlakunya hukum alam. Hal ini karena etika memberikan suatu penilaian tentang baik dan buruk, dan ajaran Kelsen menghindari diri dari soal penilaian ini. Begitu pula pemisahan dari unsur sosiologis, berarti ajaran Hans kelsen tidak memandang penting hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, dan seterusnya.
Kedua, ilmu hukum menurut Hans Kelsen termasuk dalam Sollenkatagori (hukum sebagai keharusan), bukan Seinskatagori (hukum sebagai kenyataan). Artinya, Kelsen hanya memandang hukum sebagai keharusan yang terlepas sama sekali dari hukum sebagai kenyataan. Orang mentaati hukum karena ia merasa wajib untuk mentaatinya sebagai suatu perintah negara. Contohnya: setiap orang yang membeli barang harus membayar (hukum sebagai keharusan), tetapi apabila dalam kenyataanya ada orang yang tidak membayar, maka hal itu bukan menjadi wewenang ilmu hukum, tetapi persoalan nyata dalam masyarakat.20
Ketiga, ajaran tentang “stuffentheorie” yang dikembangkan muridnya Adolf Merkl, yaitu bahwa sistem hukum hakikatnya merupakan sistem hirarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi (grundnorm). Hukum yang lebih rendah harus berdasar,bersumber, dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Sifat yang bertentangan dari hukum yang lebih rendah mengakibatkan batalnya daya laku hukum itu, sebaliknya, hukum yang lebih tinggi merupakan dasar dan sumber dari hukum yang lebih rendah. Semakin tinggi kedudukan hukum dalam
20
(35)
peringkatnya, semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya dan semakin rendah pangkatnya, semakin nyata dan operasional sifat norma yang
dikandungnya.21 Dalam hal penggunaan istilah hukum telah terjadi
pencampuradukkan antara defenisi Pilihan Hukum dan Pilihan Forum sebagaimana diketahui bahwa Pilihan Hukum berkenaan dengan hukum mana yang berlaku untuk suatu perjanjian yang melibatkan dua hukum dua hukum dari dari negara yang berbeda. Sedangkan Pilihan Forum merupakan adalah mengenai badan mana yang berwenang memeriksa atau mengadili perselisihan yang terjadi22, bisa diselesaikan melalui Pengadilan Maupun jalur arbitrase yang dalam perkara No. 65/Pailit/PN.JKT.PST, dimungkinkan melakukan Pilihan forum sebagaimana diatur dalam Pasal 303 UUK-PKPU yang telah bersifat final dan mengikat.
Indonesia sebagai negara hukum dan penganut aliran hukum positif, setiap aspek tindakan pemerintah baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan Legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanpa dasar kewenangan, ketentuan bahwa setiap tindakan pemerintah ini harus didasarkan
pada asas legalitas.23 Demikian juga halnya dengan para subjek hukum lainnya
bertindak dan bertingkah laku dalam aspek kehidupan haruslah berpedoman pada ketentuan yang ada yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku.
21
Hans kelsen, Op.cit, hlm.126-137.
22
Yansen Dermanto Latip, Pilihan Hukum Dan Pilihan Forum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2002), hlm.1.
23
(36)
Bertumpu pada teori di atas maka dapat dikatakan bahwa Pasal 3 ayat (1), (2),(3),(4), dan (5) UUK-PKPU merupakan suatu keharusan yang harus diterapkan oleh hakim sebagai acuan dalam memutus dan memeriksa perkara ini tanpa memperhatikan asal mula dari mana pasal tersebut terbentuk.
2. Kerangka Konsepsi
Defenisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Kompetensi
Kompetensi adalah kewenangan, kekuasaan.24 Dalam hal ini kompetensi
relatif dari Pengadilan Niaga. b. Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga adalah Pengadilan Khusus yang dibentuk dalam Pengadilan
Umum.25 Dalam hal ini pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. c. Kepailitan
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesanya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
24
Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta:PrandjaParamita,1971), hlm.26.
25
(37)
d. Putusan Hakim
Putusan dalam hal ini putusan hakim adalah hasil atau kesimpulan suatu pemeriksaan perkara yang didasarkan pada pertimbangan yang menetapkan
hukuman.26 Dalam hal ini Putusan hakim yang tertuang dalam putusan nomor . 65/
Pailit/ 2010/ PN.JKT.PST. e. Pertimbangan Hakim
Dalam Undang-undang Kehakiman maupun literatur lain tidak ditemukan defenisi secara tegas mengenai apa yang dimaksud dengan pertimbangan hakim, namun beberapa pendapat mengenai gambaran umum tentang yang dimaksud dengan pertimbangan hakim adalah ukuran untuk menyatakan putusan guna memenuhi rasa
keadilan masyarakat .27 Dalam hal ini pertimbangan hakim yang tertuang dalam
putusan nomor. 65/ Pailit/ 2010/PN.JKT.PST. f. Eksekusi
Eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan.28 Dalam hal ini eksekusi
terhadap putusan nomor 65/ Pailit/ 2010/ PN.JKT.PST.
26
Subekti,Op.cit.,hlm.85.
27
Binsar Gultom, Op.cit., hlm.24
28
(38)
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi dan Sifat penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif. Penelitian Hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan,29 yang berkaitan dengan analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan dalam Perkara Kepailitan.
Penelitian hukum Normatif (Legal Research) terdiri dari inventarisasi hukum positif, penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif, serta penemuan hukum in concreto. Penelitian hukum normatif yang dipakai dalam penelitian adalah
penemuan hukum in concreto. Dalam penelitian ini, norma-norma hukum in
abstracto diperlukan mutlak untuk berfungsi sebagai premisa mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara (Legal facts) dipakai sebagai premisa minor.
Melalui proses silogisme akan diperolehlah sebuah konklusi, yaitu hukum in
concreto, yang dimaksud.30 Adapun sifat penulisan ini adalah deskriptif analitis,yaitu untuk mendapatkan deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang diteliti.
29
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo persada,2004), hlm.14.
30
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2006), hlm.91-92.
(39)
2. Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, didasarkan pada
penelitian kepustakaan (Library research), (Library research) yang dilakukan
dengan menghimpun data sekunder, yaitu:
a. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang bersifat autoratif artinya
mempunyai otoritas.31 Bahan hukum primer terdiri dari aturan hukum yang
terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan maupun putusan-putusan pengadilan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa buku, majalah dan jurnal-jurnal ilmiah yang ada relevansinya dengan penelitian ini dan dapat memberi petunjuk dan inspirasi bagi penulis dalam rangka melakukan penelitian.32
c. Bahan hukum Tertier, yakni memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder,33 seperti kamus umum, kamus hukum, dan
bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi hasil penelitian ini.
3. Tehnik dan Alat Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan , dipergunakan tehnik penelitian
kepustakaan (Library research) dalam menganalisa putusan No.
65/2010/Pailit/PN.JKT.PST. dan menggunakan pendekatan perundang-undangan
31
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana,2008), hlm.141.
32
Ibid,hlm.155.
33
(40)
(statute approach). Pendekatan tersebut, melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian.34 Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah studi dokumen.
4. Analisis Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dan diorganisasikan, serta diurutkan dalam suatu pola tertentu sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hal-hal yang sesuai dengan bahasan penelitian. Seluruh data ini dianalisa secara kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan responden, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan35 yang ada dalam tesis ini, serta
penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan pendekatan deduktif-induktif. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.
34
Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang:Bayumedia,2005), hlm.241.
35
Ronny Hamitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1982), hlm.93.
(41)
BAB II
KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA MEMERIKSA PERKARA KEPAILITAN BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG
A. Pengadilan Niaga
1. Latar Belakang Lahirnya Pengadilan Niaga
Yang mendasari dan melatar belakangi lahirnya Pengadilan Niaga adalah Pasal 27 UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berisi :
(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU.No.48 Tahun 2009.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang. Dan Oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dalam Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara).
Beberapa bentuk Pengadilan khusus lainnya, antara lain seperti Pengadilan Hubungan Industrial yang ditetapkan dengan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang berada di bawah lingkungan
(42)
Peradilan umum, Pengadilan Anak yang telah ditetapkan dengan UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang berada di bawah lingkup Peradilan Umum.36
Demikian halnya UU No. 2 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No.8 Tahun 2004 Tentang peradilan Umum, dalam Pasal 8 dinyatakan secara tegas “Di lingkungan Peradilan Peradilan Umum dapat diadakan Pengkhususan yang diatur dengan Undang-Undang”.
Undang-Undang memberikan ruang untuk terbentuknya Pengadilan khusus
yang berada dibawah lingkungan Peradilan Umum dengan syarat bahwa pembentukan pengadilan khusus tersebut ditetapkan melalui UU.
Pembentukan Pengadilan Niaga ini menunjukkan bahwa perkembangan sejarah peradilan di Indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup berarti. Dari segi struktur organisasi, kedudukan Pengadilan Niaga merupakan bahagian khusus di dalam lingkungan Peradilan Umum.37
Tujuan utama dibentuknya Pengadilan Niaga ini adalah agar dapat menjadi sarana hukum bagi penyelesaian hutang piutang diantara para pihak yaitu Debitor dan kreditor secara cepat, adil, terbuka, dan efektif, sehingga dengan demikian dapat meningkatkan penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya. Selain itu sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing
dalam proses penyelesaian utang-piutang swasta38, hal ini merupakan salah satu
langkah positif dalam hal memperbaiki carut-marutnya UUK terdahulu yang lahir
36
Jono, Hukum Kepailitan, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm 81-82.
37
Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), (Jakarta: sofmedia, 2010),hlm.227.
38
(43)
akibat desakan International Monetery Fund (IMF) karena peraturan kepailitan yang merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda selama ini kurang memadai dan
kurang memenuhi tuntutan zaman.39 guna Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah
memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit, dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima permohonan Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).40 Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan
tidak dapat memeriksa gugatan/ permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak Pengadilan lain.41
2. Kedudukan dan Pembentukan Pengadilan Niaga
Lembaga Kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi penting, sebagai realisasi dari dua pasal penting dalam KUH Perdata yakni Pasal 1131 dan 1132 mengenai tanggung jawab debitur terhadap hutang-hutangnya.42
Menurut Pasal 1131 : segala kebendaan berhutang baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatanya perseorangan.
39
Ahmad yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis : Kepailitan, (Jakarta : Rajawali Pers, 1999),hlm.1-2.
40
Ibid, hlm. 230.
41
Ibid.
42
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: Departemen Pendidikan Nasional, 2002), hlm.10.
(44)
Pasal 1132 menentukan Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya. Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
Kedua pasal tersebut di atas memberikan jaminan kepastian kepada kreditur bahwa kewajiban debitur akan tetap dipenuhi/ lunas dengan jaminan dari kekayaan debitur baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada dikemudian hari Pasal 1131 KUH Perdata dan 1132 KUH Perdata itu merupakan perwujudan adanya asas jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan.43
Adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah bahwa kekayaan debitur merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya secara proporsional, kecuali bagi krediturnya dengan hak mendahului (hak preferensi).
Jadi pada dasarnya, asas yang terkandung di dalam Pasal 1131 KUH perdata dan 1132 KUH perdata ini adalah bahwa UU mengatur tentang hak menagih bagi kreditur atau kreditur-krediturnya terhadap transaksinya dengan debitur.
Bertolak dari asas tersebut di atas sebagai lex generalis, maka ketentuan kepailitan mengaturnya dalam urutan yang lebih rinci dan operasional.
Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu :
43
(45)
(1) Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan bertanggung jawab atas semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur-krediturnya.
(2) Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi
massal oleh kreditur-krediturnya.
Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Sistem pengaturan yang taat asas inilah yang mempunyai nilai utama dalam rangka memberikan kepastian hukum.
Oleh karena itu lembaga kepailitan berfungsi sebagai pengawas implementasi pelaksanaan Peraturan Kepailitan dan mekanisme pembayaran utang terhadap semua kreditur dengan mengacu yang diperintahkan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata yang merupakan dasar hukum dari kepailitan.44
Kedudukan dan Pembentukan Pengadilan Niaga, menurut Sudargo Gautama merupakan pencangkokan institusi baru, Artinya Pencangkokkanya itu diambil dari berbagai lembaga baru dalam sistem hukum dan praktek hukum yang sudah ada
dalam rangka Faillisemen. Dianggap wajar oleh pembuat Undang-Undang, jika
dalam rangka untuk menyediakan sarana hukum sebagai landasan untuk menyelesaikan hutang piutang, dianggap perlu peraturan kepailitan yang dapat
44
Sri Redjeki Hartono, Analisis Terhadap Peraturan Kepailitan Dalam kerangka Pembangunan Hukum, (Semarang: Elips Project, 1997), hlm.5.
(46)
memenuhi kebutuhan dunia usaha yang makin berkembang secara cepat dan bebas.45 PERPU (Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang) No.1 Tahun 1998 dipilih
untuk melakukan penyempurnaan atas peraturan Faillissemen yang sudah ada.
Karena dengan demikian dapat diharapkan bertindak lebih cepat dengan dasar pertimbanganya yaitu :
(1) Adanya kebutuhan yang besar yang sifatnya mendesak untuk secepatnya mewujudkan sarana hukum bagi penyelesaian yang dapat berlangsung secara cepat, adil, terbuka, dan efektif untuk menyelesaikan piutang perusahaan yang besar pengaruhnya terhadap perekonomian nasional.
(2) Dalam rangka penyelesaian akibat-akibat dari gejolak moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997, khususnya berkenaan dengan masalah utang piutang di kalangan dunia usaha nasional, dianggap perlu adanya penyelesaian yang cepat mengenai masalah ini. Untuk itu perlu kesediaan perangkat hukum untuk memenuhi kebutuhan. Penyelesaian masalah utang piutang. Dengan demikian perusahaan-perusahaan dapat segera beroperasi secara normal. Bila kegiatan ekonomi berjalan kembali, akan berarti pengurangan tekanan sosial yang menurut pengamatan pemerintah sudah terasa banyak di lapangan kerja. Maka perlu diwujudkan penyelesaian utang-piutang ini secara cepat dan efektif.46
Dalam Pasal 8 UU No. 3 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Umum disebutkan bahwa : “Yang dimaksud dengan ‘diadakanya pengkhususan’ ialah adanya
45
Sudargo Gautama, Komentar Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, (Bandung:Citra Adytia Bakti, 1998), hlm.9.
46
(47)
diferensiasi / spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum, misalnya Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak dan Pengadilan Ekonomi”. Dengan demikian dalam UU No. 4 Tahun 1998 diatur terbentuknya Pengadilan Niaga yang merupakan Pengadilan Khusus di lingkungan Peradilan Umum.
Ketentuan Pasal 300 UUK-PKPU secara tegas menentukan :
(1) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Undang-Undang.
(2) Pembentukan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden (KEPRES), dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan.
Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit, dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima permohonan Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU).47 Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan tidak dapat memeriksa
gugatan/permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak Pengadilan lain.48
47
Sunarmi, Loc.cit.hlm.229.
48
(48)
Pasal 300 ayat (1) memberikan kekuasaan kepada Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan selain perkara Kepailitan dan PKPU. Namun tidak terdapat penjelasan apa yang dimaksud dengan perkara lain di bidang perniagaan tersebut, hal ini disebabkan Undang-Undang yang mengatur hal tersebut belum ada. Dengan demikian, Undang-Undang yang akan mengatur hal tersebut kelak, hendaknya harus jelas bidang-bidang perniagaan apa saja yang menjadi kewenangan yurisdiksi dalam mengadili antara Pengadilan Niaga dengan Pengadilan Negeri.
Undang-Undang di bidang HAKI49 telah secara tegas menetukan bahwa
perkara-perkara di bidang HAKI harus diproses dan diputus di Pengadilan Niaga. Hal ini berarti, bahwa pada saat ini Pengadilan Niaga selain menyelesaikan sengketa – sengketa di bidang kepailitan dan PKPU, juga menyelesaikan sengketa HAKI.
3. Hakim Pengadilan Niaga
Hakim Pengadilan Niaga diangkat berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung. Syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai hakim sebagaimana dimaksud pada Pasal 302 ayat (2), adalah :
a. Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum;
b. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan;
c. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
49
(49)
d. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada pengadilan.
Dengan tetap memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada Pasal 302 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dapat diangkat seseorang yang ahli, sebagai hakim Ad-hoc, baik pada tingkat pertama, Kasasi, maupun pada Peninjauan Kembali (Pasal 302 UUK-PKPU).
Dalam hal pemeriksaan perkara Kepailitan, ada 2 jenis hakim yang dapat memeriksa perkara Kepailitan yaitu :
1. Hakim Tetap.
2. Hakim Ad-Hoc.50
ad 1. Hakim Tetap
Hakim Tetap, yaitu para hakim yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung untuk menjadi Hakim Pengadilan Niaga. Landasan hukumnya dapat merujuk pada Pasal 302 ayat (1), dan pasal 302 ayat (2) UUK-PKPU.
ad 2. Hakim Ad-hoc
Untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam proses penyelesaian utang-piutang swasta, selain direvisinya Fv, dan dibentuknya Pengadilan Niaga, juga di introdusir hakim Ad-hoc untuk dapat menjadi bagian dari majelis hakim yang memeriksa suatu perkara di Pengadilan Niaga.
50
(50)
Ide awal keterlibatan hakim Ad-hoc di Pengadilan Niaga didasarkan pada penilaian atau asumsi beberapa pihak bahwa pengetahuan “Hakim Karir” cenderung bersifat umum (generalis) sehingga dalam menyelesaikan perkara-perkara pada lingkup Niaga diperlukan hakim dengan keahlian khusus, di luar dari “Hakim Karir” yang juga telah melalui tahapan pendidikan untuk menjadi “Hakim Niaga”.51
Pengangkatan hakim Ad-hoc dalam Kepailitan ditentukan dalam UU No.4 Tahun 1998 yang kemudian dikuatkan kembali dalam UU No. 37 Tahun 2004. Selama berlakunya UU No.4 Tahun 1998 yang kemudian disempurnakan oleh UU No.37 tahun 2004, pengangkatan hakim Ad-hoc di Pengadilan Niaga telah dilakukan 2 (dua) kali, yakni melalui 2 (dua) buah Keppres. Pertama, Keppres No. 71/M/1999 tertanggal 27 Februari 1999 berisi pengangkatan 4 (empat) orang hakim ad-hoc untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. Kedua, Keppres No.108/M/2000, berisikan Pengangkatan 9 (sembilan) hakim Ad-hoc. Penempatan hakim Ad-hoc dalam majelis hakim adalah berdasarkan penunjukan dari hakim Ketua Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Niaga yang bersangkutan, dengan terlebih dahulu adanya permohonan dari salah satu pihak yang berperkara (Pemohon Pailit).
Konsekuensi dari sifat fakultatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 283 ayat (3) UU No. 4 Tahun 1998, maka bila tidak ada permintaan dari pihak tersebut, maka hakim Ad-hoc tersebut tidak bertugas. Kondisi inilah yang antara lain mengakibatkan sistem hakim Ad-hoc tidak bekerja.
51
(51)
Sesuai dengan ketentuan Pasal 303 ayat (3), maka persyaratan pengangkatan seorang sebagai hakim Ad-hoc yang membedakan dengan hakim Pengadilan Niaga lain adalah hakim ad-hoc tersebut haruslah seorang “ahli”.
Jadi berdasarkan usulan dengan “hakim Niaga”dari Ketua Mahkamah Agung melalui Keppres maka di Pengadilan Niaga dapat diangkat seorang yang ahli sebagai hakim Ad-hoc. Tentunya, beberapa persyaratan yang sama dengan “hakim Niaga” atau “hakim karir” seperti mempunyai kemampuan pengetahuan di bidang masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga, dan persyaratan lain, harus tetap dipenuhi.52
Paulus Efendi Lotulung menyebutkan beberapa kemungkinan pengangkatan hakim Ad-hoc (sebagai hakim pengawas atau hakim majelis) adalah:
1. Atas permohonan para pihak, baik langsung maupun dengan penetapan Ketua
Pengadilan Niaga yang selayaknya diberikan jika wajar (should not be
reasonably).
2. Hanya dengan penetapan Ketua Pengadilan Niaga atas kewenanganya
sendiri.53
Tentunya pilihan pertama lebih dapat diterima, karena cukup terdapat check and balance. Biaya atau imbalan bagi hakim Ad-hoc tersebut, jika perlu tambahan dapat diambil dari harta Pailit.
Dalam Pasal 304 UUK-PKPU menentukan bahwa :
52
Ibid, hlm.235-236.
53
(52)
Perkara yang pada waktu UU ini berlaku:
a. Sudah diperiksa dan diputus tetapi belum dilaksanakan atau sudah diperiksa tetapi belum diputus maka diselesaikan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Kepailitan sebelum berlakunya UU ini;
b. Sudah diajukan tetapi belum diperiksa, diselesaikan berdasarkan ketentuan
dalam UU ini;
Pasal 305 UUK-PKPU menentukan bahwa :
“ Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari UU tentang Kepailitan (Faillissements-verordening, Stbld 1905:217 jo Stbld 1906: 348) yang diubah dengan Perpu No.1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU Tentang Kepailitan yang ditetapkan menjadi UU berdasarkan UU No.4 Tahun 1998 pada saat UU diundangkan masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan UU ini.
Berlakunya UUK-PKPU No.37 tahun 2004 mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi ( Faillissements-verordening Staatblad 1905:217 jo Staablad 1906:348 ) dan UU No.4 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU Tentang Kepailitan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 307 UUK-PKPU yang menyatakan :
“ Pada saat UU ini mulai berlaku, UU Tentang Kepailitan (Fv dan UU No.4 Tahun 1998) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Selain Hakim tetap dan Hakim Ad-hoc di atas ada 1 hakim lagi yang berperan
dalam perkara Kepailitan yakni Hakim Pengawas. Hakim pengawas ini berperan
(53)
yang diangkat oleh Pengadilan. Dahulu untuk hakim pengawas tersebut disebut sebagai hakim komisaris, tetapi jika ada keberatan terhadap hakim pengawas dapat ditempuh prosedur keberatan. Dan Pengadilan wajib mendengar pendapat hakim pengawas sebelum mengambil suatu putusan mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit.54
Secara umum, tugas hakim pengawas adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit, seperti yang disebutkan dalam Pasal 65 UUK-PKPU, yang intinya sama dengan ketentuan Pasal 63 Fv yang tidak diubah dan dicabut oleh UU No.4 Tahun 1998.
B. Kompetensi Pengadilan Niaga
Menurut UUK-PKPU, pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara permohonan Kepailitan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah
tempat kedudukan hukum si debitur.55 Dan apabila debitur adalah badan Hukum
maka merujuk pada kedudukan hukum yang terdapat pada anggaran dasarnya (Pasal 3 ayat (5)
Dalam hal Debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan Pailit
54
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan;Perusahaan; dan Asuransi,
(Bandung:Alumni,2007), hlm.56.
55
(54)
adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor.56
Bila dalam hal Debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan.57
Dalam hal Debitur tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat si debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia.58
Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.59
Yang dimaksud pengadilan menurut UUK-PKPU ini adalah Pengadilan Niaga yang merupakan pengkhususan Pengadilan di bidang Perniagaan yang dibentuk dalam lingkup Peradilan Umum.60
Pengadilan Niaga yang pertama kali di dirikan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pembentukan Pengadilan Niaga dilakukan secara bertahap dengan keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang di perlukan. Sebelum Pengadilan Niaga terbentuk, semua perkara yang menjadi lingkup
56
Lihat di Pasal 3 ayat 2 UUK-PKPU
57
Lihat di Pasal 3 ayat 3 UUK-PKPU
58
Lihat di Pasal 3 ayat 4 UUK-PKPU
59
Lihat di Pasal 3 ayat 5 UUK-PKPU
60
(55)
kewenangan Pengadilan Niaga diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Hal ini berdasarkan pasal 281 ayat (1) PERPU No.1 Tahun 1998 jo.UU No.1 tahun 1998 kemudian dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup Pengadilan Niaga sebagaimana dalam bagian ketentuan Penutup Bab VII Pasal 306 UUK-PKPU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Yang bunyinya adalah sebagai berikut :
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Kepailitan sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas Pengadilan Niaga.
Pengadilan Niaga pertama kali dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mana Pengadilan Niaga tersebut berwenang untuk menerima permohonan Kepailitan dan PKPU yang meliputi lingkup di seluruh wilayah Indonesia dan untuk pertama kali Pengadilan Niaga Jakarta Pusat diberikan yurisdiksi terbatas yaitu untuk
memeriksa permohonan Pailit.61 Namun dengan lahirnya UUK-PKPU maka
pengaturan kewenangan Pengadilan Niaga harus mengacu pada UUK-PKPU sebagaimana diatur dalam Pasal 306 UUK-PKPU yaitu :
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat 1 PERPU No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No.4 Tahun 1998, dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas Pengadilan Niaga.
61
(56)
Pada tahap permulaan pembentukan Pengadilan Niaga, kewenangan mengadili (Kompetensi Absolut) hanyalah meliputi pemeriksaan dan pemutusan perkara permohonan Kepailitan dan PKPU saja, dan untuk pertama kali Pengadilan Niaga dibentuk pada tanggal 20 Agustus 1998 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Untuk menjalankan proses pemeriksaan perkara Kepailitan Pasal 301 UUK-PKPU menentukan :
(1) Pengadilan memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama dengan majelis hakim;
(2) Dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 ayat 1, Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal.
(3) Dalam menjalankan tugasnya, hakim Pengadilan dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera pengganti dan juru sita.
Permasalahan lain yang muncul berkaitan dengan penyelesaian perkara Kepailitan adalah tentang kewenangan Pengadilan antara Pengadilan Niaga dan Pengadilan Negeri. Berdasarkan cetak biru Pengadilan Niaga, maka terungkap bahwa sebenarnya proses kepailitan di Pengadilan Niaga tidak efektif. Hal ini terjadi karena sering kali ada perkara-perkara Kepailitan yang ternyata menimbulkan persinggungan antara Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Niaga.62
62
(57)
Persinggungan yang terjadi, misalnya saja ada perusahaan yang sudah dinyatakan Pailit dan seharusnya berdasarkan UUK-PKPU dikelola oleh kurator, ternyata masih bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri. Hal ini dianggap aneh karena seharusnya, perkara tersebut menjadi kompetensi pengadilan Niaga dan bukan Pengadilan Negeri. 63
Untuk mencegah terjadi persinggungan perlu ada mekanismenya. Pasalnya, selama ini bila ada perkara-perkara Kepailitan dan HAKI yang diajukan ke Pengadilan Negeri tidak ada mekanisme pencegahannya, Karena berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman, Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada dasar hukumnya.
Selain menangani perkara kepailitan dan PKPU serta perkara-perkara di bidang perniagaan lainnya, Pengadilan berwenang menangani perkara pernyataan permohonan Pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula Arbitrase. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 303 UUK-PKPU yang menentukan bahwa :
Pengadilan berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan Pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula Arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 UU ini.
Penjelasan Pasal 303 kembali menegaskan tentang kewenangan Pengadilan Niaga terhadap perjanjian yang memuat klausula Arbitrase yaitu bahwa ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa Pengadilan Niaga
63
(58)
tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piutang yang mereka buat memuat klausula Arbitrase.
Pada tanggal 18 Agustus 1999, keluarlah Keppres No.97 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri semarang.
Keppres No.97 Tahun 1999 dibuat bertujuan untuk :
a. Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 281 ayat (2) Undang-undang tentang Kepailitan (Staatsblad Tahun 1905 No. 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 No. 348), yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998, sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang no. 4 Tahun 1998;
b. Untuk meningkatkan pemerataan dan mempermudah masyarakat baik secara perorangan atau badan usaha dalam menyelesaikan sengketa di bidang perniagaan secara adil, cepat, terbuka dan efektif, dipandang perlu membentuk Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri di kota-kota besar pusat perdagangan;64
Dengan didasari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Presiden RI tentang Pembentukan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang;
64
(59)
Dalam Pasal 2 Keppres No.97 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang menentukan tentang wilayah hukum Pengadilan Niaga yang meliputi :
(1) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang meliputi Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya.
(2) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh.65
(3) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi Wilayah Propinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur.
(4) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selanjutnya dalam Pasal 4 menentukan tentang sengketa yang menjadi
kewenangan Pengadilan Niaga meliputi :
(1) Sengketa di bidang Perniagaan yang termasuk lingkup kewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan-Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan Presiden ini ditetapkan telah diperiksa tetapi belum diputus
65
(60)
oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
(2) Sengketa di bidang perniagaan yang termasuk lingkup kewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan Presiden ini ditetapkan telah diajukan tetapi belum diperiksa oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dilimpahkan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang sesuai dengan daerah hukum masing-masing Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Khusus untuk Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Pasal 5 menentukan tentang daerah hukumnya , yakni pada saat berlakunya Keputusan Presiden ini, maka daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung dan Kalimantan Barat.
Menurut Sutan Remy, pembentukan Pengadilan Niaga dalam mengadili perkara-perkara Perniagaan, didasarkan pada pertimbangan kecepatan dan efektifitas, perkara-perkara Kepailitan. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan adalah langsung Kasasi ke Mahkamah Agung tanpa upaya banding melalui Pengadilan
(1)
(wanprestasi) atau adanya perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian maka ketentuan dari Pasal 7 ayat (4) tersebut dapat berlaku.
3. Pelaksanaan keputusan hakim dalam perkara No. 65/ Pailit/ 2010 / PN. NIAGA.JKT.PST. sulit dilaksanakan karena keberadaaan jaminan seluruhnya berada di Desa Pematang Seleng, Kecamatan Bilah Hulu, Kabupaten Labuhan Batu, Provinsi Sumatera Utara Dalam hal eksekusi putusan, putusan telah bertentangan dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, karena eksekusi menurut Pasal 206 Rbg/195 HIR, haruslah meminta bantuan kepada pihak Ketua Pengadilan Negeri Rantau Parapat sehingga akan memakan waktu, serta permohonan birokrasi yang semakin panjang dan bertambahnya biaya yang dikeluarkan.
Dalam hal melakukan penjualan harta Pailit maka ketentuannya mengacu pada Pasal 200 ayat (1) dan (2) HIR, dan Pasal 215 ayat (1) dan (2) Rbg.
B. Saran
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di bab-bab sebelumnya akhirnya di
sarankan :
1. Hendaknya majelis Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan selalu mempertimbangkan asas dan ketentuan peraturan yang berlaku untuk tercapainya kepastian hukum ditengah masyarakat. Dalam memutuskan suatu perkara haruslah menguasai perkara seutuhnya dengan selalu
(2)
mempertimbangkan dan memperhatikan persesuaian antara :alat bukti yang digunakan dengan ketentuan asas serta peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya gugatan tersebut diterima atau tidak.
2. Hendaknya dalam hal terhadap Undang-Undang baru, Pemerintah harus mempersiapkan secara matang perangkat hukum yang ada dalam hal ini aparat hukumnya, sehingga ketika dalam implementasi peraturan tersebut para aparat hukumnya dapat menguasai peraturan tersebut dengan baik niscaya produk hukum yang dihasilkan pun akan berkualitas.
3. Untuk meningkatkan Pemahaman akan ketentuan Undang-Undang Hukum Kepailitan terhadap Hakim dan Advokat, hendaknya Mahkamah Agung sebagai induk dari institusi Kehakiman serta Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) perlu kembali melakukan seminar penyegran terhadap hakim untuk menghasilkan putusan yang optimal dan berkualitas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
DAFTAR PUSTAKA A.BUKU
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum,Jakarta:Sinar Grafika, 2009.
Black,Henry Campbell, Black Laaw Dictionary,Minesota:West-Publishing,1998. Dworkin,R.M, The Philosophy of Law,New Jersey:Oxford University Press, 1977. Friedmann,W, Legal Theory,London:Steven & Sons Limited,Third Edition, 1953. Gautama, Sudargo, Komentar Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia,Bandung :
Citra Adytia Bakti, 1998.
Gultom,Binsar, Pandangan kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Medan:Pustaka. 2008.Semarang: Elips Project,1997.
Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan , Malang : Departemen Pendidikan Nasional, 2002.
Hartini, Rahayu, Penyelesaian sengekta Kepailitan di Indonesia , Jakarta : Prenada Media Group,2009
Hartono, Sri Redzeki, Analisis Terhdap Peaturan Kepailitan Dalam Rangka Pembangunan Nasional,Semarang : Elips Project,1997.
Hasibuan, Fauzie Yusuf, seri Pendidikan Advokat :Praktek Hukum acara perdata, Jakarta : Fauzie & Partners, 2007.
Ibrahim,Johny, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang:Bayumedia, 2005.
Irawan, Bagus, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan, Perusahaan, Dan Asuransi, Bandung: Alumni, 2007.
Jono, Hukum Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika,2008.
Kelsen, Hans, Pure theory of law,diterjemahkan oleh Max Knight dari bahasa Jerman, Berkeley:University of california Press, 1967.
Latip, Yansen Dermanto, Pilihan Hukum Dan Pilihan Forum Dalam Kontrak Internasional, Jakarta: UI, 2002.
(4)
Manan,Bagir, Sistem Peradilan Berwibawa (suatu Pencarian),Yogyakarta:FH UII Press, 2005.
Marzuki,Peter Mahmod, Penelitian Hukum,Jakarta:Kencana, 2008.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum & Peradilan, Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, 1968.
Nasir, Muhammad, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Djambatan,2002.
Nitibaskara,Tb.Ronny.Rahman,Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta:Buku Kompas, 2006.
Nusantara,Abdul Hakim Garuda & Benny.K.Harman, Analisa Kritis Putusan-Putusan Pengadilan Niaga,Jakarta:CINLES, 2000.
Prajudi, Hukum Administrasi Negara,Jakarta:Ghalia Indonesia, 1981.
Prinst, Darwan, Strategi Menuyusun dan Menangani Gugatan perdata , Bandnung : Citra Adytia Bakti,1992.
Parthiana,Wayan, Pengantar Hukum Indonesia,Bandung:Mandar Maju, 1990. Rahardjo,Satjipto, Membedah Hukum Progresif, Jakarta:Buku Kompas, 2007. Rasjidi Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung:Penerbit alumni, 1982.
---, Filsafat Hukum:Apakah hukum Itu?,Bandung:PT.Remaja Rosdakarya, 1993.
Rasjidi, Lili & Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat & Teori Hukum, Bandung: Citra Adytia Bakti, 2004.
S,elijana, Penyelesaian Utang Pitang Melalui Pailit atau Penundaan kewajiban Pembayaran utang, Bandung:Penerbit Alumni, 2001.
Saleh, K.Wantjik, Hukum Acara Perdata,Jakarta: Ghalia Indonesia,1981. Seltz,Calire, Pengantar Peneltian Hukum,Jakarta:UI Press, 1986.
Setyono,Oko, Dalam Muladi (Edt), Hak Asasi Manusia,Hakekat,Konsep & Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung:PT.Refika Aditama,2005.
(5)
Simanjuntak, P.N.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta : Djambatan,1999.
Soekanto,Soerjono & Sri Mamudji, Penelitian hukum Normatif,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. No.4 Tahun 1998,
Soemitro,Ronny Hamitjo, Metode penelitian Hukum,Jakarta:Ghalia Indonesia, 1982. Sp,Wasis, Pengantar Ilmu Hukum,Malang:UMM Press, 2002.
Subekti, Kamus Hukum, Jakarta:PradnjaParamita, 1971.
---, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1992. Sunarmi, Hukum Kepailitan (Edisi 2 ),Jakarta: Sofmedia, 2010.
Sunggono,Bambang, Metodologi Penelitian Hukum,Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006.
Syahdeni, Sutan Remy, Hukum Kepailitan, Memahami Faillisementverordening Juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998, Jakarta: sinar Grafika, 2002. ---, Hukum kepailitan,Memahami Undang-Undang No.37 Tahun
2004,Jakarta:Grafiti,2010.
Wibowo, Poltak.I., Tips Bagi Pengacara Publik: Sebuah Pengalaman Pendampingan Kasus Lingkungan , Jakarta: Elaw Indonesia, 2003.
Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Jakarta: Rajawali Pers,1999.
B.PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Herziene Indonesische Reglemen (H.I.R)
Rechtsreglement voor de Buitengewesten ( R.bg ) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung
(6)
147
Undang-Undang Nomor.37 Tahun 2004 Tentang kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua Tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Rancangan Undang-Undang Tentang Pengadilan Niaga