Pertenunan Boi-Tulus Tekstil Di Kecamatan Balige (1950-1998)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Sejarah adalah segala kejadian yang ada hubungannya dengan kegiatan
manusia sedemikian rupa sehingga mengakibatkan adanya perubahan politik, sosial,
ekonomi, dan kebudayaan pada waktu serta tempat tertentu 1. Indonesia merupakan
bangsa yang besar, yang memiliki keberagaman kehidupan dengan macam banyak
peristiwa sejarah. Salah satunya adalah sejarah industri pertenunan (tekstil). Menenun
adalah proses pembuatan barang-barang tenun (kain) dari persilangan dua set benang
dengan cara memasuk-masukkan benang pakan secara melintang pada benangbenang lungsin (benang lusi). Sebelum menenun dilakukan penghanian, yakni
pemasangan benang-benang lungsin secara sejajar satu sama lainnya di alat tenun
sesuai lebar kain yang diingini 2.
Indonesia adalah salah satu negara penghasil seni tenunan terbesar di dunia
khususnya dalam hal keanekaragaman hiasan. Kreasi para penenun generasi
terdahulu banyak dipengaruhi unsur-unsur budaya asing akibat pengaruh hubungan
perdagangan dengan negara-negara tetangga yang telah berlangsung beratus-ratus

1
2


Sutrasno, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Pradya Paramita,1975, hal. 8
W.J.C. Van Paassen dan J.H. Ruygrok, Barang Tekstil, Jakarta, J.B. Woltres, 1951, hal. 4-5

Universitas Sumatera Utara

tahun yang silam. Kondisi tersebut memberikan sumbangan cukup besar bagi
kekayaan keanekaragaman jenis tenunan bangsa Indonesia. 3
Indonesia merupakan negara yang kaya akan nilai kebudayaan dan kesenian.
Nilai kebudayaan dan kesenian yang tinggi sangat erat hubungannya dengan pola
sosial yang berkembang di masyarakat. Salah satu ciri sosial kemasyarakatan yang
menjunjung tinggi kebudayaan dan keseniannya adalah adanya ritual dan aturan
untuk setiap segi kehidupan bermasyarakat. Upacara ritual kemasyarakatan sarat
dengan simbol yang mengarah kepada kedamaian dalam bermasyarakat. Salah satu
simbol adalah adanya keberagaman pakaian adat atau pakaian khas daerah. Tiap
daerah memiliki kekhasan dalam berbusana.
Perkembangan industri tenun di Indonesia tidak dapat diketahui secara pasti,
namun kemampuan masyarakat Indonesia dalam hal menenun dan merajut
pakaiannya sendiri sudah dimulai sejak adanya kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia.
Dalam bentuk kerajinan, yaitu tenun-menenun dan membatik hanya berkembang
disekitar lingkungan istana begitu pula hasil kerajinan membatik hanya ditujukan

untuk kepentingan seni dan budaya serta dikonsumsi/digunakan sendiri 4.
Sejarah pertekstilan Indonesia dimulai dari industri rumahan sejak tahun 1929
dimulai dari sub-sektor pertenunan dan perajutan dengan menggunakan alat Textile
Inrichting Bandung (TIB) Gethouw atau yang dikenal dengan nama Alat Tenun
Bukan Mesin (ATBM) yang diciptakan oleh Daalennoord pada tahun 1926 dengan
3
4

Dikutip dari: http://kampung-mandar.web.id/artikel/tenunan-mandar.html
Dikutip dari: www.egismy.wordpress.com, diakses pada tanggal 11 Juni 2013.

Universitas Sumatera Utara

produknya berupa tekstil tradisional seperti sarung, kain panjang, lurik, stagen
(sabuk), dan selendang. Penggunaan ATBM mulai tergeser oleh Alat Tenun Mesin
(ATM) yang pertama kali digunakan pada tahun 1939 di Majalaya-Jawa Barat,
dimana di daerah tersebut mendapat pasokan listrik pada tahun 1935 5. Dan sejak itu
industri tenun (tekstil) di Indonesia mulai memasuki era teknologi dengan
menggunakan ATM.
Pada masyarakat Toba khususnya di Balige, kepandaian menenun juga sudah

sejak lama ada (tidak diketahui secara pasti). Hal ini dapat dilihat dari kepandaian
dalam membuat Ulos. Peralatan yang digunakan masih sangat sederhana sekali yaitu
dibuat dari kayu dan bambu alat tenun ini di Indonesia disebut dengan alat tenun
gedogan. Bagi masyarakat Toba pada zaman dahulu, Ulos tidak saja digunakan untuk
pakaian sehari-hari, tetapi juga untuk upacara adat. Selajan dengan itu tenunan
tradisional khususnya kain Ulos terus diproduksi oleh masyarakat. Kegiatan menenun
menjadi salah satu mata pencarian masyarakat khususnya kaum perempuan di daerahdaerah Toba, dan juga Balige. Bagi masyarakat Balige, disamping kain ulos terdapat
pula sebuah kain yang menarik yaitu kain sarung. Kain ini lazim disebut dan dikenal
dengan nama kain sarung Balige atau dalam bahasa Toba disebut dengan mandar
Balige. Sarung balige ini mulai diproduksi di Balige sejak tahun 1930-an yaitu sejak
berdirinya industri pertenunan modern ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) buatan
Textile Inrichting Bandung (TIB) di Balige. Kain sarung ini merupakan ide dan
kreatifitas dari para pengusaha Balige.
5

Herlison Enie dan Koestini Karmayu, Pengantar Teknologi Tekstil, Jakarta, Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1980, hal: 6-8

Universitas Sumatera Utara


Munculnya industri dan pengusaha tenun di Balige terjadi pada masa kolonial,
yakni di tahun 1930-an. Ini berlangsung berkat diterapkannya kebijaksanaan
pengembangan industri rakyat oleh Pemerintah kolonial. Dapat dikatakan, pada masa
inilah munculnya para pengusaha perintis industri tenun di Balige. Pada tahun 1935
tercatat tiga pengusaha perintis yang cukup besar yaitu Baginda Pipin Siahaan, H.O.
Timbang Siahaan, dan Karl Sianipar. 6 Masing-masing mereka menggunakan alat
tenun gedogan dan alat tenun bukan mesin (ATBM).
Setelah kemerdekaan perkembangan usaha tenun ini mendapat perhatian
pemerintah pada tahun 1960-an. Pemerintah Soekarno kala itu menerapkan kebijakan
penjatahan benang tenun pada paruh pertama tahun 1960-an. Kebijakan ini ditempuh
dengan tujuan mempertahankan kelangsungan ekonomi rakyat sekaligus menjamin
ketersediaan sandang murah. Benang tenun bersubsidi dijatah menurut jumlah
pemilikan alat tenun. Usaha tenun di Balige semakain bertambah akibat kebijakan
tersebut, dan industri yang mulai mengalami perkembangan pada masa itu salah
satunya adalah industri Pertenun Boi-Tulus Tekstil yang menghasilkan produk utama
adalah kain sarung dan ulos dengan merek cap Jempol.

6

Herry Gendut Janarto, Matiur M. Panggabean Bunga Pansur Dari Balige, Jakarta: PT

Gramedia, 2010, hal: 7

Universitas Sumatera Utara

Puncak kejayaan usaha tenun di Balige dimulai pada 1950-an hingga tahun
1970. Pada masa-masa ini lah Balige sering dijuluki sebagai kota pertenunan. 7 Tetapi
kemudian diawal tahun 1970-1998 industri tenun Balige mengalami pasang surut
karena ketidak mampuan pengusaha lokal Balige dalam menghadapi persaingan
pasar, terhentinya pasokan subsidi benang, kemudian dibarengi oleh perkembangan
teknologi tekstil ATM. Sebenarnya memberikan keuntungan sebagian besar pada
pengusaha lokal Balige terutama dalam hal proses produksi, dimana proses produksi
menggunakan ATM lebih cepat dibandingkan dengan ATBM. Akan tetapi,
berkembangnya teknologi ini tidak dibarengi dengan tingkat pendidikan dan
pengetahuan para pengusaha lokal dalam mengembangkan keterampilan. Sebagian
pengusaha tidak menyiapkan generasi penerus secara baik, terbukti hampir tidak ada
generasi penerus di Balige saat itu meneruskan pendidikan kesekolah tinggi teknologi
tekstil. Akibatnya pengolahan usaha oleh generasi penerus tidak lebih baik
dibandingkan oleh pendahulunya, sementara tantangan yang dihadapinya jauh lebih
rumit.
Kemudian semakin dipersulit dengan adanya krisis ekonomi di tahun 1998.

Seperti industri-industri lain di indonesia, industri di Balige pun mengalami dampak
dari krisis ekonomi ini. Krisis ekonomi ini mengakibatkan sebagian pengusaha
mengalami kebangkrutan karena penurunan pesanan dan kenaikan biaya produksi.
Akibatnya banyak industri tenun di Balige yang tutup. Para pengusaha industri tenun

7

Lihat juga di http://mysarimatondang.blogspot.com/2007/11/lain-balige-lain-jepara.html
diakses pada 11 Juni 2013.

Universitas Sumatera Utara

tersebut beralih pada usaha lain yang lebih menjanjikan seperti berdagang, membuka
pertokoan dan bahkan kembali pada sektor pertanian. Berbeda dengan industri tenun
cap jempol ( pertenunan Boi-Tulus Tekstil) yang sampai pada saat ini masih dapat
bertahan dan menjadi salah satu industri tenun terbesar di Balige, walaupun pada
tahun 1998 terkena imbas dari krisis ekonomi. Hal inilah yang menjadi daya tarik
untuk mengkaji sejarah dan peranan industri ini.
Kilang Tenun Boi-Tulus Tekstil ini didirikan oleh Julius Sianipar pada tahun
1950. Pada awal pendiriannya industri ini berada di Lumban Silintong tepatnya di Jln.

Pelabuhan Balige kemudian dipindahkan ke Jalan utama kota yaitu Jalan Tarutung
Balige pada tahun 1980. Pembangunan gedung baru dilakukan di atas areal tanah
seluas 1.200 m2 dengan bangunan semi permanen seluas 1.000 m2 yang terdiri rumah
pemilik, gedung produksi, dapur pencelupan, gudang, asrama karyawan, bengkel,
dapur karyawan, kamar mandi. Serta dilengkapi dengan alat tenun mesin (ATM) dan
alat bantu produksi lainnya (seperti mesin kelos, mesin palet, mesin hank, dan mesin
hanian) dan menetap sampai saat ini. Akibat dari penambahan jumlah mesin-mesin
tenun sehingga tempat awal semakin sempit dan tidak cocok lagi untuk proses
produksi. Selain faktor tersebut, pemindahan ini bertujuan juga untuk mempermudah
proses pemasaran karena jalan ini merupakan jalan utama dan dekat dengan onan
Balige dengan jarak sekitar 0,5 km dan padat penduduk. Boi-Tulus Tekstil
merupakan industri berskala menengah. Industri Skala menengah adalah industri
yang mempekerjakan 20-90 orang dan memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500 Jt

Universitas Sumatera Utara

hingga paling banyak Rp 10 M, atau memiliki hasil penjualan tahunan Rp 2,5 M
sampai paling tinggi Rp 50 M 8.
Industri ini memproduksi dua kain tenunan yaitu mandar (kain sarung katun)
dan ulos. Sasaran dari industri tenun ini adalah seluruh lapisan masyarakat, ini dilihat

dari harga yang terjangkau dan murah. Kain tenun mandar bisa dibentuk,
dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan banyak mempunyai ragam fungsi yaitu
untuk pakaian Sholat, untuk kain lampin atau pembungkus bayi agar tetap hangat,
taplak meja, gorden pintu dan jendela, sarung bantal, seprei tempat tidur, bahkan kain
tenun ini dapat dibentuk menjadi pakaian modern baik untuk pria dan wanita.
Sedangkan kain Ulos memiliki nilai potensi yang cukup besar karena memiliki nilai
sejarah dan ciri khas tersendiri. Kain ulos didominasi oleh masyarakat adat Batak.
Meskipun jumlah tenunan ulos dari tahun ketahun cukup banyak, tetapi permintaan
masyarakat khususnya untuk kegiatan upacara adat Batak masih tetap ada. Ini
disebabkan bahwa dalam adat Batak ulos yang digunakan untuk acara adat tidak
lazim digunakan lebih dari satu kali. Sehingga permintaan akan ulos akan tetap ada.
Industri pertenunan Boi-Tulus Tekstil merupakan salah industri tenun di
Balige yang mampu bertahan sampai sekarang. Indusri mempunyai peranan dalam
meningkatkan ekonomi terutama dalam penyerapan tenaga kerja, penyedia sandang,
serta pengurangan kemiskinan, disamping itu juga merupakan salah satu produk khas
dan dikategorikan sebagai produk andalan dan menjadi ikon kota Balige.
8

Tambunan, Tulus T.H, UMKM di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, hal. 16


Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan berbagai masalah dan pemikiran di atas, penulis merasa tertarik
untuk mengkajinya. Maka penelitian ini diberi judul “ Pertenun Boi-Tulus Tekstil
Di Kecamatan Balige (1950-1998) ”. Adapun alasan penulis membatasi penulisan
mulai dari tahun 1950-1998, disebabkan karena pada tahun 1950 kilang tenun ini
didirikan oleh pemiliknya yaitu bapak Julius Sianipar dengan Alat Tenun Bukan
Mesin (ATBM) sebanyak 10 unit. Dengan jumlah tenaga kerja upahan sebanyak 12
orang dan dibantu oleh angota keluarga sendiri. Sedangkan tahun 1998 sebagai akhir
dari penulisan ini disebabkan karena pada tahun tersebut industri tenun Boi-Tulus
memilih

berhenti berproduksi untuk sementara guna untuk mengatasi terjadinya

kerugian yang fatal karena diakibatkan oleh krisis ekonomi.
1.2. Rumusan Masalah
Perlu dibuat suatu rumusan sebagai landasan utama dalam sebuah penelitian
dan substansi dari penelitian. Berdasarkan dari latar belakang yang telah dijelaskan di
atas dan dalam mempermudah penulis dalam penulisan ini maka dibuatlah suatu
rumusan masalah yang berisi batasan-batasan penelitian dan ruang lingkup fokus

permasalahan.
Bertitik tolak dari latar belakang di atas penulis membuat beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang sejarah berdirinya industri pertenunan di Balige?
2. Bagaimana sejarah berdiri dan perkembangan industri tenun Boi-Tulus Tekstil
dari tahun 1950-1998?

Universitas Sumatera Utara

3. Bagaimana keberadaan industri tenun Boi-Tulus Tekstil terhadap kecamatan
Balige 1950-1998?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Hasil sebuah penelitian, pastinya mempunyai tujuan dan manfaat. Penelitian
ini dituliskan untuk memberikan pemahaman yang dapat berguna bagi berbagai
kepentingan-kepentingan baik sebagai ilmu maupun kepentingan lainnya dan dapat
menambah wawasan.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menjelaskan latar belakang sejarah industri pertenun di Balige.
2. Untuk menjelaskan sejarah berdiri dan perkembangan industri tenun BoiTulus Tekstil dari tahun 1950-1998.
3. Untuk menjelaskan keberadaan industri tenun Boi-Tulus Tekstil terhadap

kecamatan Balige 1950-1998.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Memberi informasi bagi peneliti dan para pembaca mengenai latar belakang
perkembangan dan dampak yang dibawa dari berdirinya industri tenun BoiTulus Tekstil
2. Menambah wawasan peneliti dalam penyusunan karya ilmiah.

Universitas Sumatera Utara

3. Dengan adanya penelitian ini juga dapat memberi masukan bagi pemerintah
Kabupaten Toba Samosir dalam rangka mengambil kebijakan untuk
pembangunan sektor perindustrian.
4. Menambah literatur dalam penulisan sejarah perindustrian khususnya industri
pertenunan (tekstil)
1.4. Tinjauan Pustaka
Untuk melakukan kegiatan penelitian dan penulisan, perlu dilakukan tinjauan
pustaka dengan menggunakan buku-buku yang berhubungan dengan judul tulisan ini.
Ada beberapa buku yang digunakan sebagai tinjauan pustaka dalam penelitian ini dan
mampu mencari kerangka teoritis sebagai acuan penelitian.
Dr.Tulus T.H. Tambunan (2009) dalam bukunya “Usaha Mikro, Kecil, Menengah di
Indonesia” menjelaskan bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mempunyai
suatu peranan yang sangat vital didalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di setiap
negara, baik di negara yang sedang berkembang maupun di negara maju. UMKM sangat
penting tidak hanya kerena kelompok usaha ini menyerap paling banyak tenaga kerja tetapi
banyak juga berkonstribusi terhadap pembentukan ataupun pertumbuhan produk domestik
bruto (PDB). Buku ini juga menjelaskan bagaimana proses perkembangan UMKM dan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh kelompok usaha tersebut di Indonesia hingga
saat ini.
Ir. Singgih Wibowo, dkk (2000) dalam bukunya “Pedoman Mengelola Perusahaan
Kecil” menjelaskan bagaimana mendirikan dan pedoman mengelola perusahaan kecil dengan
pendekatan tenknik manajemen sederhana, buku ini menguraikan bagaimana prinsip, cara

Universitas Sumatera Utara

,dan pedomannya agar perusahaan kecil mampu bertahan hidup sukses dan bahkan hidup
berkembang dan tumbuh besar hingga generasi penerusnya.
Jusuf Irianto (1996) dalam bukunya “Industri Kecil Dalam Prespektif Pembinaan
Dan Pengembangan” menjelaskan bahwa paling tidak ada empat masalah besar yang
dihadapi kalangan dunia usaha skala kecil dan menengah di Indonesia, yaitu: persoalan
manajemen internal, permodalan, teknologi, dan pemasaran. Buku ini juga menjelaskan
tentang upaya pengembangan, pembinaan pengusaha kecil dalam kerangka peningkatan
akses terhadap modal dan perkreditan.

Thee Kian Wie dalam bukunya “ Industrialisasi Di Indonesia, Beberapa
kajian”, menjelaskan bagaimana Indonesia sejak awal dasawarsa 1990-an muncul
sebagai salah satu negara berkembang dengan sektor industri manufaktur terbesar
diantara seratus lebih negara berkembang.

Dalam buku ini disorot tajam dari

berbagai aspek, yaitu kinerja sektor industri manufaktur Indonesia sebagai
keseluruhan sejak pertengahan dasawarsa 1980-an, peranan industri kecil dan
menengah dalam industrialisasi Indonesia, penanaman modal asing dan peranan
teknologi.
Herlison Enie dan Ny. Koestini Karmaya (1980) dalam bukunya “Pengantar
Teknologi Tekstil” menjelaskan bagaimana proses pembuatan kain, yang terdiri dari
proses pembuatan Benang, pembuatan kain dan penyempurnaan kain yang siap untuk
digunakan untuk keperluan sandang.

Universitas Sumatera Utara

1.5. Metode Penelitian
Dalam penelitian sejarah yang ilmiah, pemakaian metode sejarah sangatlah
penting. Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan sebagai bahan penulisan
yang relevan dengan pokok permasalahan maka dilakukanlah pendekatan penelitian
terhadap objek sejarah yang akan dituliskan. Penelitian dilaksanakan dengan
mengumpulkan sumber-sumber dari berbagai pihak yang relevan dengan pokok
kajian diatas. Data-data tersebut dapat diperoleh baik dari lapangan maupun dari
kepustakaan. Untuk lebih jelasnya, penulisan penelitian sejarah ini harus melewati
beberapa tahapan agar diperoleh suatu penilaian atau pemaparan sejarah yang lebih
objektif.
Tahap – tahap yang dilakukan dalam penelitian sejarah, antara lain :
1. Heuristik, yaitu mengumpulkan data atau menemukan sumber sejarah. Pada
tahap awal ini ada dua sumber heuristik yang dapat diperoleh, Studi lapangan
atau observasi (field research) dan studi pustaka ( Library Research ). Data dari
hasil studi lapangan dapat diperoleh melalui wawancara dengan berbagai
informan yang terkait dengan penelitian, seperti wawancara dengan karyawan
dan pemilik pabrik tenun BOI-TULUS, dan juga dinas perindustian dan
perdagangan kabupaten Tobasa. Dari wawancara ini akan diperoleh sumber lisan
yang dapat dijadikan alat untuk melakukan studi perbandingan dengan sumber
tertulis sehingga data yang diperoleh lebih akurat. Sedangkan studi kepustakaan
dapat diperoleh dari berbagai buku, dokumen, arsip, dan lain sebagainya

Universitas Sumatera Utara

2. Kritik sumber, merupakan upaya untuk mendapatkan otentisifitas dan kredibilitas
sumber. Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja intelektual dan rasional yang
mengikuti metodologi sejarah guna mendapatkan objektifitas suatu penelitian.
dengan demikian sumber sejarah dapat digunakan dengan aman. Dalam hal ini
yang selalu diingat bahwa sumber itu harus : dapat dipercaya (credible),
penguatan saksi mata (eyewitness), benar (truth), tidak dipalsukan (unfabricated),
dan handal (reliable). Kritik ekstern adalah usaha mendapatkan keaslian sumber
dengan melakukan penelitian fisik terhadap suatu sumber seperti, jenis kertas
yang digunakan, tinta tulisan. Sedangkan kritik intern adalah kritik yang
mengacu pada kebenaran sumber, artinya apakah isi atau fakta dokumen ini
terpercaya, tidak dimanipulasi, dan lain- lain
3. Langkah ketiga yang dilakukan adalah interpretasi. Dalam tahapan ini data yang
diperoleh dianalisis sehingga melahirkan suatu analisis yang sifatnya lebih
objektif dan ilmiah dari objek yang diteliti. Objek kajian masa lampau serta
minimnya data dan fakta yang membuat interpretasi menjadi sangat vital dan
dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam. Interpretasi, merupakan tahap
dimana peneliti berusaha menghubungkan data – data yang didapat di lapangan
dengan fakta yang ada. Sehingga data tersebut menjadi data yang objektif.
4. Histiografi, merupakan tahap akhir dalam metode sejarah atau dapat juga
dikatakan sebagai penulisan terakhir. Histiografi ini merupakan merupakan hasil
dari penelitian yang secara kronologis dan sistematis, mulai dari pengumpulan
sumber, kritik sumber (kritik eksternal dan kritik internal).

Universitas Sumatera Utara

BAB II
SEJARAH INDUSTRI PERTENUNAN DI BALIGE

2.1. Gambaran Umum Kota Balige
2.1.1. Letak Geografis
Balige adalah Ibukota Kabupaten Toba Samosir 9, yang merupakan salah satu
kota tersibuk di sekitar kawasan Danau Toba. Hal itu dikarenakan kota Balige
merupakan jalur lintas Sumatera yang menghubungkan daerah Balige dengan
Tarurung disebelah selatan, dan Pematang Siantar di sebelah utara. Kondisi tersebut
lambat laun membuat kota Balige berkembang dengan merespon kebutuhan para
pendatang maupun yang akan maenyebrang, dengan memberikan jasa maupun usaha
dagang dan membangun kios – kios maupun toko yang pada akhirnya membentuk
suatu area bisnis.
Kecamatan Balige terletak pada ketinggian 905-1.200 meter dari permukaan
laut sehingga suhu udara cukup lembab. Luas wilayah mencapai 91,05 km2 dan
tersebar di 35 desa/kelurahan. Luas lahan di kecamatan Balige seluas 9.105 Ha dan
dimanfaatkan untuk lahan sawah sebanyak 2.926 Ha dan sisanya merupakan lahan
kering. Lokasi bangunan/perumahan dan lainya. Areal lahan sawah terluas ada di

9

Daerah Tingkat II Kabupaten Toba Samosir atau sering di sebut dengan Tobasa adalah
sebuah kabupaten yang ada di Provinsi Sumatra Utara yang Ibu Kotanya sendiri terdapat di kota
Balige. Dan Daerah Balige adalah daerah yang termasuk baik dari segi ekonomi, dilihat dari
perkembangan kotanya selama ini dan juga dari segi pemerintahaanya sehinngga dipilih menjadi ibu
kota dari Kabupaten Toba Samosir. Kabupaten ini dulu adalah bagian dari Daerah Tingkat II
Kabupaten Tapanuli Utara (Taput).

Universitas Sumatera Utara

Desa Baruara seluas 237 Ha dan luas lahan sawah terkecil berada di Desa Siboruan
dan kelurahan Balige I masing-masing dengan luas 20 Ha. 10
Kecamatan Balige terdiri dari 29 Desa dan 6 kelurahan dengan ibukota
kecamatan yaitu kelurahan Napitupulu Bagasan. Untuk lebih jelas Kecamatan Balige
berbatasan dengan:








Sebelah Utara berbatasan dengan Danau Toba.
Sebelah Selatan berbatan dengan Kabupaten Tapanuli Utara.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tampahan.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Laguboti 11
Balige merupakan suatu kota yang berada di sebelah selatan tepi danau toba

kota ini merupakan lahan yang subur dan padat penduduk. Kota ini dibelah dua oleh
lintasan jalan raya trans-sumatera, ibu kota kecamatan ini terletak sekitar 43 km di
sebelah utara kota tarutung (ibu kota kabupaten) dan berada sekitar 230 km di sebelah
selatan kota Medan (ibu kota provinsi). Ciri utama kota ini adalah adanya tegakan
empat bangunan balariung besar beraksitektur rumah adat batak toba di pusat kota
yaitu kompleks onan Balige dan berdiri tegak patung pahlawan revolusi Mayjen
Anumerta D.I Panjaitan disisi selatan jalan utama kota, dan bagunan museum
beraksitektur rumah batak di sebelah utara jalan kota. Di sepanjang sisi kanan dan kiri
jalan utama tadi berdiri bagunan-bangunan rumah-toko, rumah penginapan, rumah
makan dan kedai, dan bank yang menberikan ciri pasar pada kota itu.

10
11

Kantor kecamat Balige
Badan Pusat Statistik Tobasa http://tobasamosirkab.bps.go.id diakses pada 14 agustus 2013

Universitas Sumatera Utara

Sebagai Ibukota Kecamatan, Balige berkembang dengan pesat dan menjadi
pusat aktifitas masyarakat, seperti pusat jalur transportasi, pusat perdagangan
(ekonomi), pusat pendidikan dan juga sebagai pusat pemerintahan. Bukan hanya itu
saja, akan tetapi masih banyak industri – industri kecil dan menengah yang beroperasi
di Balige. Hal ini sangat bermanfaat bagi perkembangan ekonomi masyarakat dan
pendapatan kota Balige. Dimana industri kecil dan menengah ini akan mengurangi
pengangguran yang ada didaerah ini, dan kehidupan masyarakat bisa lebih
berkembang dengan baik.
2.1.2. Keadaan Penduduk
Sebelum tahun 1966, secara resmi Indonesia belum memiliki kebijakan
kependudukan yang komprehensif. Dalam rencana Pembangunan Nasional Semesta
Berencana juga tidak pernah ada kebijakan kependudukan yang ditujukan untuk
menurunkan angka kelahiran dan angka kematian yang akhirnya berpengaruh pada
angka pertumbuhan penduduk 12. Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali sangat
berpengaruh bagi berhasilnya proses pembangunan nasional itu sendiri. Pertumbuhan
jumlah penduduk memang cukup sulit untuk dapat diatasi. Butuh program–program
yang tepat serta terarah agar pertumbuhan penduduk dapat diminimalisir.
Pertumbuhan angka kelahiran penduduk di Balige memang cukup tinggi, hal
ini dapat kita pahami oleh karena mata pencaharian penduduk yang paling dominan
adalah bertani. Mata pencaharian sebagai petani dalam proses produksinya
membutuhkan sumber tenaga. Sumber tenaga yang paling mungkin adalah dengan

12

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dinamika Kebijakan
Dan Kependudukan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. 21–22

Universitas Sumatera Utara

memakai tenaga keluarga petani itu sendiri. Sehingga tidak mengherankan bila
jumlah anak dalam satu keluarga dari kalangan petani bisa mencapai 8 sampai 10
orang anak.
Dari segi etnis, agama, dan okupasi (pendudukan, penggunaan, atau
penempatan) penduduk kota kecil balige dan sekitarnya dapat dibedakan ke dalam
satu kelompok mayoritas dan empat kelompok minoritas. Kelompok mayoritas
adalah etnis Batak Toba (penduduk asli) yang umumnya beragama kristen protestan
dan katolik dengan bidang okupasi utama pertanian pangan, perdagangan/jasa, dan
industri tenun. Sedangkan kelompok minoritas meliputi kaum pendatang, yaitu etnis
Cina yang beragama Budha dengan bidang okupasi utama perdagangan/jasa, etnis
batak mandailing, etnis Minangkabau, dan etnis Jawa yang umumnya beragama
Islam. Tiga kelompok etnis ini umumnya bergerak dibidang usaha dagang/jasa.
Disamping lima kelompok etnis tersebut masih ada penduduk dari etnis lain,
misalnya Nias, Batak Karo, Batak Pakpak, tetapi jumlahnya sangat kecil dan tidak
memiliki okupasi yang spesifik.

Universitas Sumatera Utara