Analisis Tingkat Kebisingan, Tekanan Darah dan Frekuensi Denyut Nadi Pada Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige Tahun 2016

(1)

KUESIONER

ANALISIS TINGKAT KEBISINGAN, TEKANAN DARAH DAN FREKUENSI DENYUT NADI PADA PEKERJA PERTENUNAN DI

KECAMATAN BALIGE TAHUN 2016

Tanggal Wawancara : 2016 No Responden :

Jam mulai wawancara : Wib

a. Identitas Responden 1. Nama :

2. Usia :

3. Jenis Kelamin: b. Data Khusus I. Tekanan Darah

4. Tekanan darah: i. Sebelum Bekerja

Sistolik: ………. mmHg Diastolik: ... mmHg ii. Sesudah Bekerja

Sistolik: ………. mmHg Diastolik: ... mmHg II. Frekuensi Denyut Nadi

5. Frekuensi Denyut Nadi

a. Sebelum bekerja: .../ menit b. Setelah bekerja: .../ menit


(2)

Data Pekerja Pertenunan Ulos

No Nama Usia

(tahun)

Jenis Kelamin

Tekanan Darah (mmHg)

Denyut Nadi /

menit bising

(dB) Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah

1 Resmiadi 32 Perempuan 90/80 100/70 67 72 94

2 Anne Simamora 25 Perempuan 110/80 120/90 78 84 95 3 Sopita Situmorang 41 Perempuan 100/80 100/90 74 76 93

4 Luni 48 Perempuan 90/80 100/80 76 82 92

5 Herta 39 Perempuan 90/80 100/80 82 90 93

6 Lilis Lingbong 38 Perempuan 110/80 120/80 78 83 94 7 Rita Sinurat 50 Perempuan 110/70 130/100 72 78 93 8 Edita Simamora 36 Perempuan 160/110 160/120 76 84 95 9 Lediana Manalu 29 Perempuan 120/80 130/80 74 83 94 10 Ria Galingging 28 Perempuan 90/80 110/80 64 76 92 11

Lumaida

Simanjuntak 34 Perempuan 90/60 90/60 67 72 93

12 Yanti 32 Perempuan 100/80 120/80 68 82 95

13 Rosita 29 Perempuan 90/80 110/80 72 87 93

14 Riris 24 Perempuan 110/80 120/90 78 83 93

15

Ismawati

Panjaitan 38 Perempuan 100/90 110/100 82 88 94 16

Manna

Situmorang 36 Perempuan 110/80 130/80 83 89 93

17 Rosika 23 Perempuan 120/80 130/90 82 90 94

18 Dorisma 35 Perempuan 110/80 120/80 74 82 95

19 Parulian 32 laki-laki 120/80 120/80 83 86 82

20 Giat 28 laki-laki 110/70 120/80 79 82 82

21 pendi 24 laki-laki 120/80 120/90 76 78 83

22 doni 36 laki-laki 120/80 120/80 82 83 82

23 Jagar 33 laki-laki 110/70 110/80 76 78 75

24 Anto 38 laki-laki 120/70 120/80 78 80 72


(3)

Data Pekerja Pertenunan Sarung

No Nama Usia

(tahun)

Jenis Kelamin

Tekanan Darah (mmHg)

Denyut Nadi /

menit bising

(dB) Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah

1 Ernes 28 Perempuan 100/80 120/80 72 95 93 2 RIta 31 Perempuan 120/80 130/80 79 95 94 3 Hertati 34 Perempuan 110/80 120/90 75 95 92 4 Jenni 38 Perempuan 100/90 110/100 81 93 91 5 Lamria 46 Perempuan 110/80 120/80 78 95 92 6 Duma 26 Perempuan 120/80 120/80 64 94 93

7 Tiur 24 Perempuan 90/80 100/80 74 92 92

8 Esra 36 Perempuan 110/80 120/80 76 94 92 9 Novita 43 Perempuan 100/70 100/80 80 92 93

10 Ria 32 Perempuan 110/80 120/80 64 95 91

11 Marta 37 Perempuan 90/80 110/80 71 93 92 12 Meitisa 38 Perempuan 110/80 110/90 69 94 94 17 Ririn 40 Perempuan 100/90 110/100 82 93 93 14 Surpendi 33 laki-laki 120/80 130/80 79 83 81 15 Batara 25 laki-laki 120/80 120/80 83 83 82 16 Marolop 38 laki-laki 110/80 110/80 82 83 81 17 Sahala 29 laki-laki 120/70 120/80 79 82 76 18 Binsar 36 laki-laki 120/80 120/80 83 78 71 19 Janeman 33 laki-laki 110/70 110/80 84 79 72


(4)

Tingkat Kebisingan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 72 1 2.3 2.3 2.3

73 1 2.3 2.3 4.5

75 1 2.3 2.3 6.8

78 1 2.3 2.3 9.1

79 1 2.3 2.3 11.4

82 4 9.1 9.1 20.5

83 4 9.1 9.1 29.5

92 5 11.4 11.4 40.9

93 6 13.6 13.6 54.5

94 5 11.4 11.4 65.9

95 15 34.1 34.1 100.0

Total 44 100.0 100.0

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Tingkat Kebisingan 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%

Descriptives

Statistic Std. Error

Tingkat Kebisingan Mean 89.80 1.052

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 87.67

Upper Bound

91.92

5% Trimmed Mean 90.43

Median 93.00

Variance 48.678

Std. Deviation 6.977

Minimum 72

Maximum 95

Range 24

Interquartile Range 12

Skewness -1.207 .357


(5)

Statistics Tingkat Kebisingan

N Valid 44

Missing 0

Minimum 1

Maximum 2

Tingkat Kebisingan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid >85 dB (A) 31 70.5 70.5 70.5

<=85 db (A) 13 29.5 29.5 100.0

Total 44 100.0 100.0

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Denyut Nadi

Sebelum Bekerja 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%

Denyut Nadi

Sesudah Bekerja 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%

Descriptives

Statistic Std. Error

Denyut Nadi Sebelum Bekerja

Mean 76.16 .851

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 74.44

Upper Bound

77.88

5% Trimmed Mean 76.43

Median 77.00

Variance 31.858

Std. Deviation 5.644

Minimum 64

Maximum 84

Range 20

Interquartile Range 9

Skewness -.675 .357


(6)

Denyut Nadi Sesudah Bekerja

Mean 82.27 .778

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 80.70

Upper Bound

83.84

5% Trimmed Mean 82.33

Median 82.50

Variance 26.622

Std. Deviation 5.160

Minimum 72

Maximum 92

Range 20

Interquartile Range 8

Skewness -.051 .357

Kurtosis -.673 .702

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Sistolik Sebelum Bekerja .207 44 .000 .836 44 .000

Sistolik Sesudah Bekerja .219 44 .000 .879 44 .000

Diatolik Sebelum Bekerja .372 44 .000 .682 44 .000

Diastolik Sesudah Bekerja

.212 44 .000 .860 44 .000

a Lilliefors Significance Correction

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

tran_TDS1 .232 44 .000 .865 44 .000

tran_TDS2 .230 44 .000 .896 44 .001

tran_TDD1 .374 44 .000 .706 44 .000

tran_TDD2 .218 44 .000 .874 44 .000

a Lilliefors Significance Correction

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

tran_TDS1 .232 44 .000 .865 44 .000

tran_TDS2 .230 44 .000 .896 44 .001

tran_TDD1 .374 44 .000 .706 44 .000

tran_TDD2 .218 44 .000 .874 44 .000


(7)

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

Sistolik Sesudah Bekerja - Sistolik Sebelum Bekerja

Negative Ranks 0(a) .00 .00

Positive Ranks 25(b) 13.00 325.00

Ties 19(c)

Total 44

a Sistolik Sesudah Bekerja < Sistolik Sebelum Bekerja b Sistolik Sesudah Bekerja > Sistolik Sebelum Bekerja c Sistolik Sesudah Bekerja = Sistolik Sebelum Bekerja

Test Statistics(b) Sistolik Sesudah Bekerja - Sistolik Sebelum Bekerja

Z -4.625(a)

Asymp. Sig. (2-tailed) .000 a Based on negative ranks.

b Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

Diastolik Sesudah Bekerja - Diatolik Sebelum Bekerja

Negative Ranks 0(a) .00 .00

Positive Ranks 33(b) 17.00 561.00

Ties 11(c)

Total 44

a Diastolik Sesudah Bekerja < Diatolik Sebelum Bekerja b Diastolik Sesudah Bekerja > Diatolik Sebelum Bekerja c Diastolik Sesudah Bekerja = Diatolik Sebelum Bekerja

Test Statistics(b) Diastolik Sesudah Bekerja - Diatolik Sebelum Bekerja

Z -5.301(a)

Asymp. Sig. (2-tailed) .000 a Based on negative ranks.


(8)

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Tingkat Kebisingan .329 44 .000 .754 44 .000

Sistolik Sesudah Bekerja .219 44 .000 .879 44 .000

a Lilliefors Significance Correction

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Tingkat Kebisingan .329 44 .000 .754 44 .000

Diastolik Sesudah

Bekerja .212 44 .000 .860 44 .000

a Lilliefors Significance Correction

Nonparametric Correlations

Correlations Tingkat Kebisingan Sistolik Sesudah Bekerja Spearman's rho Tingkat Kebisingan Correlation Coefficient 1.000 .417(**)

Sig. (2-tailed) . .005

N 44 44

Sistolik Sesudah Bekerja Correlation Coefficient .417(**) 1.000

Sig. (2-tailed) .005 .

N 44 44

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Correlations Tingkat Kebisingan Diastolik Sesudah Bekerja Spearman's rho Tingkat Kebisingan Correlation Coefficient 1.000 .432(**)

Sig. (2-tailed) . .003

N 44 44

Diastolik Sesudah Bekerja

Correlation Coefficient .432(**) 1.000

Sig. (2-tailed) .003 .

N 44 44


(9)

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig. Denyut Nadi

Sebelum Bekerja .128 44 .069 .926 44 .008

Denyut Nadi

Sesudah Bekerja .114 44 .178 .972 44 .365

a Lilliefors Significance Correction

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

tran_FDN1 .137 44 .038 .913 44 .003

a Lilliefors Significance Correction

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

Denyut Nadi Sesudah Bekerja - Denyut Nadi Sebelum Bekerja

Negative Ranks 0(a) .00 .00

Positive Ranks 44(b) 22.50 990.00

Ties 0(c)

Total 44

a Denyut Nadi Sesudah Bekerja < Denyut Nadi Sebelum Bekerja b Denyut Nadi Sesudah Bekerja > Denyut Nadi Sebelum Bekerja c Denyut Nadi Sesudah Bekerja = Denyut Nadi Sebelum Bekerja

Test Statistics(b) Denyut Nadi Sesudah Bekerja - Denyut Nadi Sebelum Bekerja

Z -5.794(a)

Asymp. Sig. (2-tailed) .000 a Based on negative ranks.


(10)

LAMPIRAN DOKUMENTASI

Gambar Lampiran 1. Wawancara dengan pekerja pertenunan


(11)

Gambar Lapiran 3. Pengukuran tekanan darah dan frekuensi denyut nadi oleh bidan

Gambar Lampiran 4. Pekerja pertenunan ulos sedang mengoperasikan alat tenun mesin


(12)

Gambar Lampiran 5. Pekerja pertenunan sarung sedang mengoperasikan alat tenun mesin


(13)

Gambar lampiran 7. Lokasi bagian pemintalan benang


(14)

DAFTAR PUSTAKA

Anggara, F. H. D. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tekanan Darah di Puskesmas Telaga Murni, Cikarang Barat Tahun 2012. Jurnal Ilmu Kesehatan.

Anies. 2014. Kedokteran Okupasi Berbagai Penyakit Akibat Kerja dan Upaya Penanggulangan dari Aspek Kedoktera. Ar-Ruzz Media: Yogyakarta. Anizar. 2009. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Graha Ilmu:

Yogyakarta.

Arifiani, N. 2004. Hubungan Kebisingan Terhadap Kesehatan Tenaga Kerja. Jurnal Dunia Kesehatan No. 144, 2004

Bethesda Stroke Center. 2012. Pengetahuan Sekilas tentang Stroke. http://www.strokebethesda.com/index.php?option=com_content&do_pdf &id=103 (Diakses tanggal 20 November 2016)

Buchari. 2007. Kebisingan Industri dan Hearing Conservation Program. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Budiarto, Eko. 2004. Metodologi Penelitian Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Penerbit Buku Kedokteran. ECG: Jakarta.

Depkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan No. 718 tahun 1987 tentang Kebisingan yang Berhubungan dengan Kesehatan.

Depkes RI. 2006. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi : Jakarta.

Dinar.2011. Hubungan Kebisingan dengan Tekanan Darah pada Karyawan Unit

Compressor PT.Indo Acidatama, Tbk.Kemiri, Kebakkramat,

Karanganyar.Skripsi Program Diploma III Hiperkes Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.Diakses Pada Tanggal 19 Maret 2015.

Dwi, A. 2009. Faktor – faktor yang berhubungan dengan Tekanan Darah Penderita Pada Lansia Di Puskesmas Pembina Plaju Palembang Tahun 2009. Karya Tulis. Jurusan Keperawata Poltekkes Depkes Palembang Departemen Kesehatan Republik Indonesia.


(15)

Ditjen Pengembangan Ekspor Nasional KEMENDAG RI. Pesona Tenun

Nusantara. Warta Ekspor DJPEN Edisi Maret 2012.

http://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/admin/docs/publication/934139 0368693.pdf diakses pada tanggal 9 Desember 2015.

Doelle, L. L. 1993. Akustik Lingkungan. Erlangga: Jakarta.

Gabriel, J.F. 1996. Fisika Kedokteran. Cetakan ke VII. EGC : Jakarta.

Ganong WF. 2008. Buku ajar fisiologi kedokteran. Alih bahasa: Brahm U. Pendit. Edisi 22. EGC: Jakarta

Ganong, W.F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, (Editor Edisi bahasa Indonesia: dr. H.M. Djauhari Widjajakusumah), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Gibson J. 2002. Fisiologi dan anatomi modern. Alih bahasa: Bertha Sugiarto. Edisi 2. EGC: Jakarta

Gunawan. 2001. Hipertensi. PT. Gramedia: Jakarta.

Guyton, A.C & Hall.J.E. 1997. Fisiologi Kedokteran. Edisi 7. Penerbit EGC. Jakarta.

Guyton, Arthur C. 2007. Buku ajar fisiologi kedokteran. Alih bahasa: Erawati dkk. Edisi 11. EGC: Jakarta.

Harrianto, Ridwan. 2008. Buku Ajar Kesehatan Kerja. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Kaplan, N, Stamler J. 1996. Pencegahan Penyakit Jantung Koroner,

Penatalaksanaan Praktis Faktor-Faktor Resiko. Penerbit Buku

Kedokteran EGC: Jakarta.

Kempen. 2002. The Association between Noise Exposure and Blood Pressure and Ischemic Heart Disease: A Meta-analysis. Environmental Health Perspectives.

Khasan NA, Rustiadi T, Annas M. 2012. Korelasi denyut nadi istirahat dan kapasitas vital paru terhadap kapasitas aerobik. Jurnal of Physical Education, Sport, Health, and Recreations

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No: Kep-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan.


(16)

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No: KEP–51/MEN/I999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja.

Lane, J. 2002. Caffeine Affects Cardiovascular and Neuroendocrine Activation at Work and Home. Psychosomatic Medicine 64: 595-603.

Moeljosoedarmo, Soeripto. 2008. Higiene Industri. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. Mustar.2008. Pengaruh Kebisingan dan Getaran Terhadap Perubahan Tekanan

Darah Masyarakat yang Tinggal di Pinggiran Rel Kereta Api Lingkungan XIV Kelurahan Tegal Sari Kecamatan Medan Denai. Thesis Universitas Sumatera Utara diakses pada Tanggal 16 Maret 2016.

Nasution, Nurul H. 2013. Hubungan Paparan Kebisingan dan Karakteristik

Pengemudi Becak Vespa Terhadap Tekanan Darah di Kota

Padangsidempuan. Skripsi Universitas Sumatera Utara.

Nazir. Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta

Norman M. Kaplan, M.D ; Jeremiah Stamler, M.D. 1996. Penyakit Pencegahan Jantung Koroner,Penatalaksanaan Praktis Faktor-Faktor Resiko. Alih Bahasa Handali, S. Editor Adrianto P. Penerbit EGC. Jakarta.

Radecki, T. 2000. Hypertension : Salt is a Major Risk Factor.USA : J Cardiovasc. Suardy. 2013. Hubungan Antara Kebisingan di Tempat Kerja dengan Peningkatan Tekanan Darah pada Karyawan PT. IKI Makassar. Skripsi Universitas Hasanuddin diakses pada tanggal 8 Juni 2016.

Sasongko, D.P., dkk. 2000. Kebisingan Lingkungan. Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.

Setiyanto, Tri. 2013. Pengaruh intensitas kebisingan terhadap kenaikan denyut nadi pada pekerja di PT. Pertani (Persero) Cabang Surakarta. Skripsi Universitas Muhammadiah.

Sheldon, G. 2005. Mayo Clinic Hipertensi, Mengatasi Tekanan Darah Tinggi. PT. Intisari Mediatama: Jakarta.

Sibarani, Elisnawati. 2015. Hubungan Paparan Kebisingan dan Karakteristik Operator SPBU Terhadap Tekanan Darah di Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015. Skripsi Universitas Sumatera Utara.

Simanjuntak, Riama. 2012. Hubungan Tingkat Kebisingan Perusahaan Percetakan dengan Tekanan Darah Masyarakat Lingkungan I Pengilar X


(17)

Kelurahan Amplas Kecamatan Medan Amplas. Skripsi Universitas Sumatera Utara.

Siregar, D. M. S. 2012. Hubungan Tingkat Kebisingan Dengan Keluhan Kesehatan Pada Masinis Kereta Api Dipo Lokomotif Medan Tahun 2011. Skripsi Universitas Sumatera Utara diakses pada tanggal 26 Agustus 2016. Slamet, J. 2009. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press:

Yogyakarta.

Sloane E. 2003. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Alih bahasa: James Veldman. EGC: Jakarta

Smeltzer, C. S & Bare, G. B. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Sobel, Bary J. 1995. Hypertension A Clinian’s Guide to Diagnosis and Treatment. Hanley & Belfus, Inc : Philadelphia.

Spreng M. Possible health effects of noise induced cortisol increase. Noise Health. Jurnal. 2000; 2:59-63

Suardy. 2012. Hubungan Intensitas Kebisingan dengan Tekanan Darah pada Karyawan PT. Industri Kapal Indonesia (IKI) Makassar. Skripsi Universitas Hasanudin.

Subaris, Heru dan Haryono. 2007. Hygiene Lingkungan Kerja. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press.

Sugiharto, A. 2007. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Grade II Pada Masyarakat (Studi Kasus di Kabupaten Karanganyar). Undip: Semarang.

Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Sagung Seto: Jakarta.

Takari, Muhammad. 2009. Ulos dan Sejenisnya dalam Budaya Batak di Sumatera Utara: Makna, Fungsi dan Teknologi

http://www.etnomusikologiusu.com/uploads/1/8/0/0/1800340/takariulos.p df diakses pada tanggal 1 Februari 2016.

Tambunan, S. T. B., 2005. Kebisingan di Tempat Kerja. CV Andi Offset. Yogyakarta.

Tarwaka, dkk. 2004. Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Surakarta: UNIBA PRESS.


(18)

Tetehuka, Johan, A. 2014. Hubungan Kebisingan dengan Perubahan Tekanan Darah pada Tenaga Kerja Bagian Produksi di PT. Sermani Steel Makassar. Skripsi Universitas Hasanuddin.

Tim Fakultas Teknik UNNES. 2001. Pengetahuan Tentang Tenunan. http://psbtik.smkn1cms.net/busana/pengetahuan_tentang_tenunan.pdf diakses pada tanggal 2 Februari 2016.

Tomas. 2007. Perbedaan tekanan Darah Rata-Rata Pada Pekerja dengan Intensitas Kebisingan yang Berbeda di Bengkel Utama PT. Tambang BatuBara Bukit Asam. Skripsi Universitas Diponegoro Semarang Diakses pada Tanggal 14 Februari 2015.

Utami, I. W., 2010. Hubungan Tingkat Pemaparan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran pada Pengemudi Becak Mesin Di Kota Pematang Siantar. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan


(19)

3.1Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional di mana seluruh variabel dalam penelitian diukur satu kali pada saat yang sama dengan tujuan untuk menganalisis tingkat kebisingan, tekanan darah dan frekuensi denyut nadi pekerja pertenunan di Kecamatan Balige.

3.2Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di pertenunan ulos dan sarung yang berada di Kecamatan Balige.

Alasan dilakukannya penelitian di lokasi tersebut adalah:

a. Pertenunan tersebut memiliki alat tenun mesin yang menghasilkan suara bising ketika beroperasi.

b. semua pekerja tidak menggunakan alat pelindung telinga saat bekerja. c. Belum pernah dilakukan penelitian tentang kebisingan dan tekanan darah

di lokasi tersebut.

d. Adanya izin untuk melakukan penelitian dari pemilik pertenunan ulos dan sarung.

3.2.2 Waktu Penelitian


(20)

36

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua pekerja di 2 pertenunan yaitu di pertenunan ulos dan pertenunan sarung di Kecamatan Balige yang berjumlah 44 orang.

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah total populasi yaitu sebesar 44 sampel. 3.4 Metode Pengumpulan Data

3.4.1 Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah data hasil pengukuran kebisingan, tekanan darah dan frekuensi denyut nadi..

a. Data hasil pengukuran tingkat kebisingan di lingkungan kerja dengan menggunakan Sound Level Meter oleh peneliti.

b. Data hasil pengukuran tekanan darah dengan menggunakan Tensi Meter air raksa oleh tenaga kesehatan seperti perawat atau bidan.

c. Data hasil pengukuran frekuensi denyut nadi oleh tenaga kesehatan seperti perawat atau bidan.

3.4.2 Data sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh peneliti dari berbagai sumber yang telah ada. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari literatur maupun instansi yang ada hubungannya dengan objek penelitian.


(21)

3.5 Definisi Operasional

a. Tingkat kebisingan adalah kekuatan bunyi yang dihasilkan oleh alat tenun mesin yang diukur dengan alat Sound Level Meter (SLM)

b. Tekanan darah adalah hasil pengukuran peningkatan sistolik dan diastolik pekerja pada saat penelitian.

c. Tekanan darah sistolik adalah jumlah tekanan pada pembuluh arteri ketika jantung berkontraksi ketika pengukuran dilakukan.

d. Tekanan darah diastolik adalah jumlah tekanan pada pembuluh arteri ketika jantung berelaksasi ketika pengukuran dilakukan.

e. Frekuensi denyut nadi adalah jumlah kekerapan detak nadi tiap 1 menit yang dapat dirasakan dengan meraba pergelangan tangan pekerja.

3.6 Aspek Pengukuran a. Kebisingan

Kebisingan yang berasal dari alat tenun mesin diukur dengan menggunakan Sound Level Meter. Pengukuran dilakukan pada setiap titik yang disesuaikan dengan posisi responden bekerja. Setiap responden akan mendapat hasil pengukuran kebisingan yang diterimanya saat bekerja. Setelah dilakukan pengukuran kebisingan kemudian dicatat hasilnya.

b. Tekanan Darah

Pengukuran tekanan darah dilakukan sebelum dan sesudah responden bekerja untuk melihat peningkatan tekanan darah. Pengukuran dapat dilakukan sebanyak 3 kali untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.


(22)

38

c. Denyut Nadi

Pengukuran frekuensi denyut nadi dilakukan sebelum dan sesudah responden bekerja.

3.7 Metode Pengukuran 3.7.1 Pengukuran Kebisingan

Metode pengukuran kebisingan yang digunakan adalah pengambilan objek berupa suara yang diukur dengan alat Sound Level Meter. Prosedur pengukuran kebsisingan yang akan dilakukan mengacu pada SNI 7231:2009 tentang metoda pengukuran intensitas kebisingan di lingkungan kerja.

Prosedur pengukuran:

a. Hidupkan alat ukur intensitas kebisingan.

b. Periksa kondisi baterai, pastikan bahwa keadaan power dalam kondisi baik.

c. Pastikan skala pembobotan.

d. Sesuaikan pembobotan waktu respon alat ukur dengan karakteristik sumber bunyi yang diukur (S untuk sumber bunyi relatif konstan atau F untuk sumber bunyi kejut).

e. Posisikan mikropon alat ukur setinggi posisi telinga manusia yang ada di tempat kerja. Hindari terjadinya refleksi bunyi dari tubuh atau penghalang sumber bunyi.

f. Arahkan mikropon alat ukur dengan sumber bunyi sesuai dengan karakteristik mikropon (mikropon tegak lurus dengan sumber bunyi, 70o – 80o dari sumber bunyi).


(23)

g. Catatlah hasil pengukuran intensitas kebisingan pada lembar data 3.7.2 Pengukuran Tekanan Darah

a. Siapkan lembar data hasil pemeriksaan.

b. Siapkan alat pengukuran tekanan darah yaitu Tensi Meter air raksa.

c. Pasang manset, letakkan manset ± 2,5 cm diatas arteri tersebut dan bagian tengah bladder dipasang diatas arteri tersebut, pasang manset melingkari lengan atas tersebut dan kaitkan ujungnya.

d. Pasang stetoskop dengan meletakkan bel atau diafragma dari stetoskop diatas arteri brachial, untuk mendapatkan suara yang maksimal.

e. Tutup katup dengan mengunci sampai rapat, lalu pompa bola manometer sampai 30 mmHg di atas tekanan sistolik (untuk menyakinkan keakuratan pengukuran tekanan sistolik).

f. Buka manset dari lengan responden. Catat hasil pemeriksaan kepada responden.

3.7.3 Pengukuran Frekuensi Denyut Nadi 1. Siapkan lembar data hasil pemeriksaan 2. Siapkan jam/ stopwatch

3. Sentuh daerah pergelangan tangan responden sebelah luar dengan menggunakan ujung jari telunjuk dan jari tengah.

4. Rasakan denyut yang dihasilkan dan hitung denyutan selama 1 menit. 5. Catat hasil pemeriksaan


(24)

40

3.8 Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini terdiri atas analisis data univariat dan analisis data bivariat. Analisis data dilakukan dengan aplikasi pengolah data SPSS.

3.8.1 Analisis Data Univariat

Analisis univariat merupakan penyajian data secara deskriptif yang hanya mempersoalkan satu variabel. Penyajiannya berbentuk tabel distribusi frekuensi dan analisa presentase. Variabel yang dianalisis adalah tingkat kebisingan, tekanan darah dan frekuensi denyut nadi.

3.8.2 Analisis Data Bivariat

Analisis Bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan faktor risiko yang diteliti dengan tekanan darah pekerja. Uji statistik yang digunakan adalah:

a. Paired sample t-test bila data berdistribusi normal dan Wilcoxon bila data

tidak berdistribusi normal.

b. Uji Korelasi Pearson apabila data berdistribusi normal namun bila data tidak berdistribusi normal digunakan Uji Korelasi Spearman.


(25)

Tabel 3.1 Panduan Interpretasi Hasil Uji Hipotesis Berdasarkan Kekuatan Korelasi, Nilai p dan Arah Korelasi

No. Parameter Nilai Interpretasi

1. Kekuatan Korelasi (r)

0,0 sd <0,2 Sangat lemah 0,2 sd <0,4 Lemah 0,4 sd <0,6 Sedang 0,6 d < 0,8 Kuat

0,8 sd 1 Sangat kuat

2. Nilai p p < 0,05 Terdapat korelasi yang

bermakna antara dua variabel yang diuji P > 0,05 Tidak terdapat korelasi

yang bermakna antara dua variabel yang diuji

3. Arah korelasi + (positif) Searah, semakin besar nilai satu variabel semakin besar pula nilai variabel lainnya

- (negative) Berlawanan arah. Semakin besar nilai satu variabel, semakin kecil nilai variabel lainnya


(26)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Balige merupakan salah satu kecamatan dari 16 kecamatan di Kabupaten Toba Samosir dengan luas wilayah 91,05 Km². Secara geografis batas-batas wilayah Kecamatan Balige adalah sebagai berikut:

1. Utara : Danau Toba

2. Selatan : Kabupaten Tapanuli Utara 3. Timur : Kecamatan Laguboti 4. Barat : Kecamatan Tampahan

Kecamatan Balige terdiri dari 29 desa dan 6 kelurahan dengan ibukota kecamatan yaitu Kelurahan Napitupulu Bagasan.

Penelitian ini dilakukan di 2 pertenunan di Kecamatan Balige yaitu:

1. Pertenunan Ulos yang berada di Kelurahan Pardede Onan dengan sampel sebanyak 25 orang.

a. Jumlah seluruh pekerja 25 orang.

b. Alat tenun mesin berjumlah 18 unit yang dioperasikan oleh semua pekerja wanita.

c. Pekerja laki-laki berada di bagian pencelupan benang (4 orang) dan penjemuran dan pemintalan benang (3 orang).

d. Jam kerja tiap pekerja tidak sama, ada yang 8 jam dan ada yang 9 jam, tergantung kesepakatan dengan pemilik pertenunan. Sistim


(27)

pengupahan tergantung berapa panjang ulos yang dihasilkan masing-masing pekerja tiap hari.

2. Pertenunan Sarung yang berada di Kelurahan Balige III dengan sampel sebanyak 19 orang.

a. Jumlah seluruh pekerja 19 orang.

b. Alat tenun mesin berjumlah 13 unit yang dioperasikan oleh semua pekerja wanita.

c. Pekerja laki-laki berada di bagian pencelupan benang (3 orang) dan penjemuran dan pemintalan benang (3 orang).

d. Jam kerja tiap pekerja tidak sama, ada yang 8 jam dan ada yang 9 jam, tergantung kesepakatan dengan pemilik pertenunan. Sistim pengupahan tergantung berapa panjang sarung yang dihasilkan masing-masing pekerja tiap hari.

4.3 Karakteristik Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige

Karakteristik pekerja pertenunan yang dinilai pada penelitian ini antara lain usia dan jenis kelamin.

Untuk mengetahui karakteristik pekerja pertenunan maka dilakukan pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 4.1 Karakteristik Usia Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige Tahun 2016

Karakteristik

Pekerja Tertinggi Terendah

Rata-rata

Standar

Deviasi Total

Usia 50 23 34 6 44

Pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa usia terendah pekerja adalah 23 tahun dan usia tertinggi adalah 50 tahun. Rata-rata usia pekerja yaitu 34 tahun dengan


(28)

44

standar deviasi 6 tahun serta usia pekerja berkisar antara 28 tahun sampai 40 tahun. Jumlah seluruh pekerja sebanyak 44 pekerja.

Tabel 4.2 Distribusi Responden Menurut Usia pada Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige Tahun 2016

Usia Jumlah (orang) %

21-30 tahun 13 29,5

31-40 tahun 26 59,1

41-50 tahun 5 11,4

Total 44 100

Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa pekerja pertenunan di Kecamatan Balige paling banyak berada pada rentang usia 31-40 tahun, sebanyak 26 orang (59,1%).

Tabel 4.3 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin pada Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige Tahun 2016

Jenis Kelamin Jumlah (Orang) %

Laki-laki Perempuan

13 31

29.5 70.5

Total 44 100

Pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja pertenunan di Kecamatan Balige berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 31 orang (70,5%). 4.4 Tingkat Kebisingan Pertenunan di Kecamatan Balige Tahun 2016

Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan pada setiap titik pengukuran yang telah ditentukan yaitu di setiap posisi pekerja berada agar didapat seberapa besar kebisingan yang diterima oleh tiap pekerja yang berada di pertenunan.


(29)

Tabel 4.4 Hasil Pengukuran Tingkat Kebisingan di Lokasi Pertenunan di Kecamatan Balige

Tingkat Kebisingan (dBA)

Jumlah (titik) %

72 1 2,3

73 1 2,3

75 1 2,3

78 1 2,3

79 1 2,3

82 4 9,1

83 4 9,1

92 5 11,4

93 6 13,6

94 5 11,4

95 15 34,1

Total 44 100

Berdasarkan Tabel 4.4 diketahui bahwa tingkat kebisingan yang paling tinggi adalah 95 dB (A) dengan sebanyak 15 titik (34 %).

Tabel 4.5 Distribusi Tingkat Kebisingan di Lokasi Pertenunan di Kecamatan Balige

Tingkat Kebisingan N (titik) %

> 85 dB (A) 85 dB (A)

31 13

70,5 29,5

Total 44 100

Berdasarkan Tabel 4.5 diketahui bahwa tingkat kebisingan di lokasi pertenunan di Kecamatan Balige paling banyak memiliki tingkat kebisingan > 85 dB (A) sebanyak 31 titik (70,5%).

4.5 Tekanan Darah Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige Tahun 2016 Pengukuran tekanan darah pada 44 orang pekerja pertenunan di Kecamatan Balige dilakukan dengan 2 kali pengukuran yaitu sebelum dan sesudah bekerja.


(30)

46

Tabel 4.6 Tekanan Darah Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige Tekanan Darah Pekerja Tertinggi (mmHg) Terendah (mmHg) Rata-rata (mmHg) Standar Deviasi (mmHg) Sistolik Sebelum

Bekerja 160 90 108,41 13

Sistolik Sesudah

Bekerja 160 90 115,45 12

Diastolik Sebelum

Bekerja 110 60 79,32 7

Diastolik Sesudah

Bekerja 120 70 88,86 9

Berdasarkan Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa nilai tertinggi tekanan darah sistolik pekerja sebelum bekerja sebesar 160 mmHg dan nilai terendah sebesar 90 mmHg dengan rata-rata 108,41 mmHg.

Kemudian pada Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa nilai tertinggi tekanan darah sistolik pekerja sesudah bekerja sebesar 160 mmHg dan nilai terendah sebesar 90 mmHg dengan rata-rata 115,45 mmHg.

Pada Tabel 4.6 juga diketahui bahwa nilai tertinggi tekanan darah diastolik pekerja sebelum bekerja sebesar 110 mmHg dan nilai terendah sebesar 60 mmHg dengan rata-rata 79,32 mmHg.

Dan pada tabel tersebut diketahui bahwa nilai tertinggi tekanan darah diastolik pekerja sesudah bekerja sebesar 120 mmHg dan nilai terendah sebesar 70 mmHg dengan rata-rata 88,86 mmHg.

Tabel 4.7 Tekanan Darah Sesudah Bekerja pada Pekerja Pertenunan

Tekanan Darah Tekanan Darah Sesudah Bekerja Total Tetap (orang) Naik (orang)

Sistolik 19 25 44


(31)

Berdasarkan Tabel 4.7 diketahui bahwa pekerja yang mengalami kenaikan tekanan darah sistolik sebanyak 25 orang dan tekanan darah diastolik sebanyak 33 orang.

Tabel 4.8 Kenaikan Tekanan Darah Pekerja Pertenunan Kenaikan

Tekanan Darah N (orang)

Rata-rata Kenaikan

Tekanan Darah (mmHg) Standar Deviasi

Sistolik 25 12,4 4,4

Diastolik 33 12,7 5,1

Berdasarkan Tabel 4.8 diketahui bahwa rata-rata kenaikan tekanan darah sistolik sebesar 12,4 mmHg dan diastolik sebesar 12,7mmHg.

Tabel 4.9 Distribusi Pekerja Pertenunan Berdasarkan Kategori Tekanan Darah

Tekanan Darah Optimal Normal Tinggi

Sistolik 17 20 7

Diastolik 2 30 12

Berdasarkan Tabel 4.9 diketahui bahwa tekanan darah sistolik dan diastolik pekerja pertenunan paling banyak pada kategori normal.

4.6 Frekuensi Denyut Nadi Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige Tahun 2016

Pengukuran frekuensi denyut nadi pada 44 orang pekerja pertenunan di Kecamatan Balige dilakukan dengan 2 kali pengukuran yaitu sebelum dan sesudah bekerja

Tabel 4.10 Frekuensi Denyut Nadi Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige Frekuensi Denyut Nadi Tertinggi (denyut/menit) Terendah (denyut/menit) Rata-rata (denyut /menit) Standar Deviasi (denyut /menit)

Sebelum Bekerja 84 64 76 6


(32)

48

Tabel 4.10 menunjukkan bahwa nilai tertinggi frekuensi denyut nadi pekerja sebelum bekerja sebanyak 84 denyut/menit dan terendah sebanyak 64 denyut/menit dengan rata-rata 76 denyut/menit. Pada tabel tersebut juga menunjukkan bahwa nilai tertinggi frekuensi denyut nadi pekerja sesudah bekerja sebanyak 92 denyut/menit dan terendah sebanyak 72 denyut/menit dengan rata-rata 82 denyut/menit.

Tabel 4.11 Kenaikan Frekuensi Denyut Nadi Pekerja Pertenunan

N (orang) Rata-rata Frekuensi Denyut Nadi Standar Deviasi

44 9,39 8,179

Berdasarkan Tabel 4.11 diketahui bahwa rata-rata kenaikan frekuensi denyut nadi sebesar 9,39 denyut/menit.

4.7 Perbedaan Tekanan Darah Sistolik Sebelum dan Sesudah Bekerja

Hasil analisis terhadap tekanan darah sistolik pekerja sebelum dan sesudah bekerja dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.12 Hasil Uji Perbedaan Tekanan Darah Sistolik Sebelum dan Sesudah Bekerja pada Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige

Tekanan Darah

Sistolik N

Median

(minimum-maksimum) p

Sebelum Bekerja 44 110 (90-160)

0,001 Sesudah Bekerja 44 120 (90-160)

Berdasarkan Tabel 4.12 diketahui bahwa dari hasil uji Wilcoxon pada tingkat kepercayaan 95 % diperoleh nilai significancy 0,001 ( p < 0,05), yang artinya terdapat perbedaan tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah bekerja pada pekerja pertenunan di Kecamatan Balige.


(33)

4.8 Perbedaan Tekanan Darah Diastolik Sebelum Dan Sesudah Bekerja Hasil analisis terhadap tekanan darah diastolik pekerja sebelum dan sesudah bekerja dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.13 Hasil Uji Perbedaan Tekanan Darah Diastolik Sebelum dan Sesudah Bekerja pada Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige Tekanan Darah

Diastolik N

Median

(minimum-maksimum) p

Sebelum Bekerja 44 80 (60-110)

0,001

Sesudah Bekerja 44 90 (70-120)

Berdasarkan Tabel 4.13 diketahui bahwa hasil uji Wilcoxon pada tingkat kepercayaan 95 % diperoleh nilai significancy 0,001 ( p < 0,05), yang artinya terdapat perbedaan tekanan darah diastolik sebelum dan sesudah bekerja pada pekerja pertenunan di Kecamatan Balige.

4.9 Korelasi Tingkat Kebisingan dengan Tekanan Darah Sistolik (Sesudah Bekerja) Pekerja

Hasil analisis korelasi tingkat kebisingan dengan tekanan darah sistolik (sesudah bekerja) pekerja pertenunan di Kecamatan Balige dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.14 Korelasi Spearman Variabel Tingkat Kebisingan dan Tekanan Darah Sistolik (Sesudah Bekerja) Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige

Variabel Correlation coefficient

(r) p

Tingkat Kebisingan

0,417 0,005

Tekanan Darah Sistolik (Sesudah Bekerja)

Tabel 4.14 menunjukkan bahwa dari hasil uji korelasi Spearman pada tingkat kepercayaan 95 % diperoleh nilai Significancy 0,005 ( p < 0,05), yang


(34)

50

artinya ada korelasi yang signifikan antara tingkat kebisingan dengan tekanan darah sistolik (sesudah bekerja) pekerja pertenunan di Kecamatan Balige.

Nilai kekuatan korelasi Spearman sebesar 0,417 menunjukkan kekuatan korelasi yang sedang dengan arah korelasi positif. Arah korelasi positif artinya besarnya nilai tingkat kebisingan berbanding lurus dengan besarnya tekanan darah.

4.10 Korelasi Tingkat Kebisingan dengan Tekanan Darah Diastolik (Sesudah Bekerja) Pekerja

Hasil analisis korelasi tingkat kebisingan dengan tekanan darah diastolik (sesudah bekerja) pekerja pertenunan di Kecamatan Balige dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.15 Korelasi Spearman Variabel Tingkat Kebisingan dan Tekanan Darah Diastolik (Sesudah Bekerja) Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige

Variabel Correlation coefficient

(r) p

Tingkat Kebisingan

0,432 0,003

Tekanan Darah Diastolik (Sesudah Bekerja)

Tabel 4.15 menunjukkan bahwa dari hasil uji korelasi Spearman pada tingkat kepercayaan 95 % diperoleh nilai Significancy 0,003 ( p < 0,05), yang artinya ada korelasi yang signifikan antara tingkat kebisingan dengan tekanan darah diastolik (sesudah bekerja) pekerja pertenunan di Kecamatan Balige.

Nilai korelasi kekuatan Spearman sebesar 0,432 menunjukkan kekuatan korelasi yang sedang dengan arah korelasi positif.


(35)

4.11 Perbedaan Frekuensi Denyut Nadi Sebelum dan Sesudah Bekerja Hasil analisis terhadap frekuensi denyut nadi pekerja sebelum dan sesudah bekerja dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.22 Hasil Uji Perbedaan Frekuensi Denyut Nadi Sebelum dan Sesudah Bekerja pada Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige Frekuensi Denyut

Nadi N

Median

(minimum-maksimum) P

Sebelum Bekerja 44 77 (64-84)

0,001 Sesudah Bekerja 44 82,5 (72-92)

Berdasarkan Tabel 4.22 diketahui bahwa dari hasil uji Wilcoxon pada tingkat kepercayaan 95 % diperoleh nilai significancy 0,001 ( p < 0,05), yang artinya terdapat perbedaan frekuensi denyut nadi sebelum dan sesudah bekerja pada pekerja pertenunan di Kecamatan Balige.


(36)

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Tingkat Kebisingan

Berdasarkan hasil penelitian, 31 titik (70,5%) di dalam pertenunan tersebut memliki tingkat kebisingan > 85 dB(A) sedangkan 13 titik lainnya (29,5) memiliki tingkat kebisingan 85 dB(A). Hal ini menunjukkan pada umumnya lokasi pertenunan di Kecamatan Balige merupakan tempat yang bising. Hal ini mengacu pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51 Tahun 1999 mengenai Nilai Ambang Faktor Fisika di Lingkungan Kerja yaitu sebesar 85 dB(A).

Pengukuran yang dilakukan di pertenunan ini mendapatkan hasil tingkat kebisingan yang berbeda dengan hasil terendah 72 dB(A) dan tertinggi 95 dB(A). Perbedaan tingkat kebisingan di pertenunan ini disebabkan oleh perbedaan jarak antara titik pengukuran dengan sumber bising. Titik pengukuran kebisingan ditentukan berdasarkan posisi pekerja saat bekerja.

Berdasarkan data hasil pengukuran, tingkat kebisingan pada titik dimana para pekerja wanita yang mengoperasikan alat tenun mesin tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 92 dB(A)-95 dB(A). Hal itu disebabkan oleh semua alat tenun mesin yang dioperasikan berada di dalam satu ruangan. Tingkat kebisingan tertinggi sebesar 95 dB(A) berada pada titik dimana operator mengoperasikan alat tenun mesin. Jarak antara pekerja dengan alat tenun mesin tidak lebih dari 50 meter. Hal tersebut yang mengakibatkan tingkat kebisingan di titik tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan di titik yang lainnya. Sedangkan pekerja yang bekerja di bagian pencelupan, penjemuran dan pemintalan benang berada di tempat yang


(37)

terpisah dengan ruangan alat tenun mesin. Sehingga tingkat kebisingannya lebih rendah yaitu berkisar antara 72 dB(A)-83 dB(A).

Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan pada setiap titik dimana pekerja tersebut bekerja. Titik yang diambil bukan hanya pada pekerja di bagian tenun, tetapi juga pada pekerja di bagian pencelupan, penjemuran dan pemintalan benang. Pengukuran kebisingan ini tidak dilakukan secara terus-menerus, melainkan hanya pengukuran sesaat pada setiap titik.

Alat tenun yang digunakan oleh pertenunan ulos dan sarung adalah alat tenun mesin (ATM) bertenaga listrik. Kebisingan yang dihasilkan oleh alat tenun mesin berasal dari hentakan bagian mesin yang bergerak merajut benang lungsi dan benang pakan. Jika dilihat dari kebisingan yang dihasilkan oleh alat tenun mesin tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa jenis kebisingan yang ada di lokasi pertenunan ulos dan sarung merupakan jenis kebisingan menetap berkelanjutan.

Tingginya tingkat kebisingan yang berasal dari alat tenun mesin hanya bisa dikendalikan dengan pengendalian pada penerima yaitu pekerja pertenunan itu sendiri. Pengendalian ini dapat dilakukan dengan pemakaian alat pelindung telinga. Namun berdasarkan hasil observasi di tempat penelitian, semua pekerja pertenunan di Kecamatan Balige tidak menggunakan alat pelindung telinga. 5.2 Tekanan Darah

Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata tekanan darah sistolik sebelum bekerja 108,41 mmHg, rata-rata tekanan darah diastolik sebelum bekerja 79,32 mmHg, rata-rata tekanan darah sistolik sesudah bekerja 115,45 mmHg, rata-rata


(38)

54

tekanan darah diastolik sesudah bekerja 88,86 mmHg. Rata-rata kenaikan tekanan darah sistolik sebesar 12,4 mmHg dan diastolik sebesar 12,7 mmHg. Pengukuran dilakukan kepada 25 pekerja pertenunan ulos dan 19 pekerja pertenunan sarung. Tekanan darah sebelum bekerja diukur pada pagi hari pukul 07.00 WIB dan 08.00 WIB (jam masuk kerja berbeda, tergantung kesepakatan dengan pemilik pertenunan) dan tekanan darah sesudah bekerja diukur pada sore hari pukul 17.00 WIB.

Berdasarkan penggolongan tekanan darah menurut WHO, kondisi tekanan darah pekerja pertenunan sebagian besar masih dalam kondisi optimal (sistolik <120 mmHg dan diastolik <80 mmHg) dan normal (sistolik 120-129 mmHg dan diastolik 80-84 mmHg). Walaupun secara umum tekanan darah pekerja masih dalam kategori optimal dan normal namun yang perlu diteliti adalah apakah kebisingan di pertenunan tersebut memengaruhi tekanan darah pekerja. Hal tersebut dapat diketahui dengan membandingkan tekanan darah sebelum bekerja dengan tekanan darah sesudah bekerja.

Kempen (2002) menganalisis 43 penelitian epidemiologi yang dipublikasikan antara tahun 1970 sampai 1999 yang berhubungan dengan paparan bising di lingkungan dan industri terhadap tekanan darah dan penyakit jantung iskemik. Hasil meta analisis yang dilakukan adanya konsisten peningkatan tekanan darah walaupun sedikit pada masyarakat yang terpapar kebisingan.

5.3 Frekuensi Denyut Nadi

Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata frekuensi denyut nadi sebelum bekerja adalah 76 denyut per menit, sedangkan rata-rata frekuensi denyut nadi


(39)

sesudah bekerja adalah 82 denyut per menit. Rata-rata kenaikan frekuensi denyut nadi sebesar 9,39 denyut per menit. Pengukuran dilakukan kepada 25 pekerja pertenunan ulos dan 19 pekerja pertenunan sarung. Frekuensi denyut nadi sebelum bekerja diukur pada pagi hari pukul 07.00 WIB dan 08.00 WIB (jam masuk kerja berbeda, tergantung kesepakatan dengan pemilik pertenunan) dan frekuensi denyut nadi sesudah bekerja diukur pada sore hari pukul 17.00 WIB.

Rata-rata frekuensi denyut nadi pekerja pertenunan masih dalam kategori normal. Frekuensi denyut nadi normal menurut Depkes adalah 60-100 denyut per menit. Walaupun secara umum frekuensi denyut nadi pekerja pertenunan masih dalam kondisi normal, tetapi yang perlu diketahui dalam penelitian ini adalah pengaruh kebisingan terhadap peningkatan frekuensi denyut nadi.

5.4 Perbedaan Tekanan Darah Sebelum Bekerja dan Sesudah Bekerja

Berdasarkan hasil penelitian diketahui rata-rata tekanan darah sistolik sebelum bekerja 108,41 mmHg, sesudah bekerja 115,45. Rata-rata tekanan darah diastolik sebelum bekerja 79,32, sesudah bekerja 88,86. Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja pertenunan mengalami kenaikan tekanan darah sesudah bekerja

Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah bekerja (p = 0,001) dan terdapat perbedaan tekanan diastolik sebelum dan sesudah bekerja (p = 0,001). Adanya perbedaan tekanan darah (sistolik dan diastolik) sebelum dan sesudah bekerja menunjukkan adanya pengaruh kebisingan terhadap tekanan darah pekerja pertenunan di Kecamatan Balige.


(40)

56

Kebisingan dapat mempengaruhi kesehatan manusia berupa peningkatan sensitifitas tubuh seperti peningkatan sistem kardiovaskuler dalam bentuk kenaikan tekanan darah dan denyut jantung (Chandra, 2007).

Sobel (1995) dalam bukunya menyatakan suara bising yang didengar oleh telinga akan menimbulkan perangsangan simpatis pada syaraf. Impuls simpatis dikirim ke medula adrenalin bersamaan dengan pengiriman ke semua pembuluh darah, impuls ini menyebabkan medula mensekresikan norepinefrin dan epinefrin ke dalam sirkulasi darah. Kedua hormon ini dibawa di dalam aliran darah ke semua bagian tubuh tempat mereka langsung bekerja pada pembuluh darah yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah.

Perangsangan simpatis juga akan meningkatan aktifitas saraf ginjal sehingga sel jukstaglomerulus mensekresikan renin ke dalam darah. Renin sendiri merupakan suatu enzim yang memecahkan komponen utama salah satu protein plasma yang disebut substrat rennin untuk melepaskan dekapeptida angiotensi I. Dalam beberapa detik setelah pembentukan angiotensin I, 2 asam amino tambahan dipecah darinya membentuk oktapeptida angiotensin II yang dikatalis oleh enzim ‘converting enzyme’. Selama menetap di dalam darah angiotensin II mempunyai efek yang dapat meningkatan tekanan darah. Salah satu efek ini terjadi dengan sangat cepat yaitu vasokontriksi pada arteriol. Kontriksi arteriol meningkatkan tahanan perifer dan dengan demikian meningkatkan tekanan arteri. Efek angiotensin lainnya terutama berhubungan dengan volume cairan tubuh :

1. Angiotensin mempunyai efek langsung terhadap ginjal untuk menyebabkan penurunan ekskresi garam dan air.


(41)

2. Angiotensin merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal dan hormone ini sebaliknya juga bekerja pada ginjal menyebabkan penurunan ekskresi garam dan air.

Kedua efek ini cenderung meningkatkan volume darah yang merupakan factor penting dalam pengaturan tekanan darah jangka panjang.

Oleh karena adanya paparan kebisingan, pusat vasomotor mengirim impuls eksitasi melalui serabut saraf simpatis ke jantung untuk meningkatkan aktivitas jantung (kontraktilitas jantung), meningkatkan frekuensi jantung melalui reseptor beta – 1 sehingga memperbesar curah jantung. Meningkatkan curah jantung dan tahanan perifer total akan meningkatkan kenaikan tekanan darah. 5.5 Hubungan Tingkat Kebisingan dengan Tekanan Darah

Untuk menganalisis hubungan tingkat kebisingan dengan tekanan darah, dilakukan pengambilan data tekanan darah sesudah bekerja dan berapa besar paparan kebisingan yang diterima masing-masing pekerja.

Hasil uji analisis menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat kebisingan dengan tekanan darah sistolik sesudah bekerja (p = 0,005) dan ada hubungan yang signifikan antara tingkat kebisingan dengan tekanan darah diastolik sesudah bekerja (p = 0,003). Hasil uji ini memiliki arti bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat kebisingan dengan tekanan darah pada pekerja pertenunan ulos di Kecamatan Balige.

Nilai kekuatan korelasi (r) tekanan darah sistolik sebesar 0,417 dan diastolik sebesar 0,432. Nilai tersebut menunjukkan kekuatan korelasi yang sedang dengan arah korelasi positif. Arah korelasi positif artinya semakin naik


(42)

58

tingkat kebisingan, tekanan darah (sistolik dan diastolik) sesudah bekerja juga semakin naik.

Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Suardy (2012) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara intensitas kebisingan di tempat kerja dengan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik pada karyawan PT. Industri Kapal Indonesia (IKI) Makassar.

Pada penelitian ini tekanan darah pekerja secara umum masih dalam kondisi yang normal. Tetapi apabila sering terpapar kebisingan dalam waktu yang lama kemungkinan besar akan semakin meningkatkan tekanan darah pekerja pertenunan tersebut. Spreng (2000) menyatakan bahwa pada keadaan di mana paparan kebisingan terjadi berulang-ulang, plastisitas yang tinggi dari traktus talamo-amigdala dan sel saraf di amigdala berperan penting dalam menyebabkan peningkatan tekanan darah secara menetap. Jika stimulus kebisingan dengan intensitas dan frekuensi nada yang serupa diterima secara berulang, akan terjadi potensiasi jangka panjang atau fasilitasi heterosinaptik yang menghasilkan peningkatan efikasi sinaps pada traktus talamo-amigdala dan amigdala. Artinya, paparan kebisingan kedua dalam waktu yang lebih singkat dari paparan kebisingan pertama sudah mampu untuk mengeksitasi amigdala dan mengaktivasi aksis HPA (Hypothalamus-Pituitary-Adrenal) dan SAM (Sympathetic-Adrenal-Medullary). Demikian juga dengan paparan-paparan kebisingan berikutnya akan mempercepat terjadinya aktifasi sistim saraf dan hormon yang berperan meningkatkan tekanan darah. Apabila hal tersebut terjadi dalam jangka waktu


(43)

yang lama maka akan terjadi peningkatan tekanan darah secara menetap dan berakibat pada hipertensi.

5.6 Perbedaan Frekuensi Denyut Nadi Sebelum dan Sesudah Bekerja

Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata frekuensi denyut nadi sebelum bekerja adalah 76 denyut per menit, sedangkan rata-rata frekuensi denyut nadi sesudah bekerja adalah 82 denyut per menit. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja pertenunan mengalami peningkatan frekuensi denyut nadi sesudah bekerja.

Hasil uji Statistik menunjukkan terdapat perbedaan frekuensi denyut nadi sebelum dan sesudah bekerja pada pekerja pertenunan di Kecamatan Balige (p = 0,001). Adanya perbedaan yang bermakna antara frekuensi denyut nadi sebelum dan sesudah bekerja menunjukkan adanya pengaruh kebisingan terhadap kenaikan frekuensi denyut nadi pekerja pertenunan di Kecamatan Balige. Hasil penelitian ini sama seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiyanto (2013) yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara denyut nadi sebelum bekerja dengan sesudah bekerja pada pekerja di PT. Pertani (Persero) Cabang Surakarta, yang artinya ada pengaruh kebisingan terhadap kenaikan denyut nadi pada pekerja di lokasi tersebut.

Sistem pendengaran merupakan indera terbuka yang dapat menerima stimulus suara secara terus menerus, bahkan dalam keadaan tidur. Ketika suara dengan intensitas tinggi ditangkap oleh daun telinga dan diteruskan melalui tulang pendengaran menuju sel rambut dalam di koklea, terjadi eksitasi berlebihan dari ujung nervus akustikus. Eksitasi ini akan diteruskan menuju kolikulus inferior di


(44)

60

batang otak dalam waktu 5 ms hingga 10 ms, berlanjut menuju nukleus genikulatum medialis di talamus, kemudian diteruskan ke korteks pendengaran di lobus temporalis dalam waktu 20 ms hingga 100 ms dan diinterpretasikan sebagai suatu kebisingan.

Adanya jaras (neuron) terpisah kedua dari talamus menuju korteks yang diperantarai oleh amigdala, menjadikan amigdala berperan penting sebagai perantara dalam mekanisme peningkatan tekanan darah akibat stimulus pendengaran. Amigdala yang mengalami eksitasi berlebihan akibat kebisingan akan meneruskan impuls bukan hanya ke korteks, namun juga ke hipotalamus. Di hipotalamus terjadi aktivasi aksis HPA (Hypothalamus-Pituitary-Adrenal) dan aksis SAM (Sympathetic-Adrenal-Medullary).

Aktivasi aksis HPA dimulai dengan penglepasan CRF (Corticotropin Releasing Factor) dari hipotalamus. CRF merangsang hipofisis anterior untuk melepaskan ACTH (Adreno-Cortico-Tropin Hormon) ke dalam plasma. Pada gilirannya, peningkatan ACTH plasma akan merangsang korteks adrenal untuk memproduksi kortisol. Aktivasi aksis SAM dimulai dengan potensiasi sistem saraf simpatis oleh hipotalamus yang menyebabkan peningkatan produksi epinefrin dan norepinefrin oleh medula adrenal. Peningkatan produksi epinefrin dan norepinefrin akan mengakibatkan peningkatan kontraksi otot jantung dan frekuensi denyut jantung (Spreng, 2000).


(45)

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Rata-rata tingkat kebisingan di lokasi pertenunan di Kecamatan Balige sebesar 89,8 dB(A) dengan tingkat kebisingan tertinggi sebesar 95 dB(A). 2. Rata-rata tekanan darah sebelum bekerja yaitu sistolik sebesar 108,41

mmHg dan diastolik 79,32 mmHg sedangkan rata-rata tekanan darah sesudah bekerja yaitu sistolik sebesar 115,45 mmHg dan diastolik sebesar 88,86 mmHg. Rata-rata kenaikan tekanan darah sistolik sebesar 12,4 mmHg dan diastolik sebesar 12,7 mmHg. Berdasarkan WHO sebagian besar tekanan darah pekerja pertenunan di Kecamatan Balige masih dalam kondisi optimal dan normal.

3. Ada perbedaan frekuensi denyut nadi sebelum dan sesudah bekerja yang artinya ada pengaruh kebisingan terhadap frekuensi denyut nadi pada pekerja pertenunan di Kecamatan Balige.

4. Ada perbedaan antara tekanan darah sebelum dan sesudah bekerja yang artinya ada pengaruh kebisingan terhadap peningkatan tekanan darah pada pekerja pertenunan di Kecamatan Balige.

5. Ada hubungan yang signifikan antara tingkat kebisingan dengan tekanan darah pada pekerja pertenunan di Kecamatan Balige.


(46)

62

5.2 Saran

1. Pemilik usaha pertenunan sebaiknya memerhatikan lama kerja pekerjanya agar sesuai dengan aturan yang berlaku.

2. Pekerja pertenunan sebaiknya menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) seperti ear muff dan ear plug untuk mengurangi paparan kebisingan yang diterima oleh telinga.

3. Saran untuk pemerintah/ dinkes agar melakukan penyuluhan dan memberikan informasi mengenai K3 kepada pekerja pertenunan dan pekerja informal lainnya.


(47)

2.1Kebisingan

2.1.1 Definisi Kebisingan

Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari suatu usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (Subaris dan Haryono, 2007). 2.1.2 Sumber Kebisingan

Doelle (1993) membagi sumber bising berdasarkan lokasi dalam 2 kelompok, yaitu:

a. Bising interior/ dalam, berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga, mesin gudang dan aktifitas di dalam ruangan atau gedung.

b. Bising eksterior/ luar, bising yang dikategorikan berasal dari aktifitas diluar ruangan seperti transportasi udara, termasuk bus, mobil, sepeda motor, transportasi air, kereta api dan pesawat terbang dan bising yang berasal dari industri. Untuk bising transportasi yang paling penting diketahui bahwa makin besar kendaraan akan semakin keras suara bising yang dihasilkan.

Berdasarkan aktivitas yang terjadi di dalam pabrik, Tambunan (2005) mengelompokkan sumber kebisingan antara lain:


(48)

7

b. Terlalu sering mengoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja cukup tinggi dalam periode operasi cukup panjang.

c. Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi ala kadarnya, misalnya mesin diperbaiki hanya pada saat mesin mengalami kerusakan parah.

d. Melakukan modifikasi / perubahan / penggantian secara parsial pada komponen-komponen mesin produksi tanpa mengindahkan kaidah-kaidah keteknikan yang benar, termasuk menggunakan komponen-komponen mesin tiruan.

e. Pemasangan dan peletakan komponen-komponen mesin secara tidak tepat (terbalik atau tidak rapat/longgar), terutama pada bagian penghubung antara modul mesin (bad connection).

f. Penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsinya, misalnya penggunaan palu / alat pemukul sebagai alat pembengkok benda-benda metal atau alat bantu pembuka baut.

2.1.3 Jenis Kebisingan

Berdasarkan pengaruh bunyi terhadap manusia, Moeljosoedarmo (2008) membagi jenis kebisingan sebagai berikut:

a. Bising yang mengganggu (iritating noise), intensitasnya tidak keras (misalnya orang mendengkur)

b. Bising yang menutupi (masking noise), merupakan bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas. Secara tidak langsung bunyi ini akan membahayakan kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, karena


(49)

teriakan atau isyarat tanda bahaya tenggelam dalam kebisingan dari sumber lain.

c. Bising yang merusak (damaging/injurious noise), ialah bunyi yang intensitasnya melampaui Nilai Ambang Batas (NAB), bunyi jenis ini akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.

Sedangkan Suma’mur (2009) membagi jenis kebisingan berdasarkan sifat kebisingan tersebut:

a. Kebisingan menetap berkelanjutan tanpa putus-putus dengan spektrum frekuensi lebar (steady state, wide band noise), misalnya bising mesin, kipas angin, dapur pijar, dan lain-lain.

b. Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi tipis (steady state, narrow band noise), misalnya bising gergaji serkuler, katup gas, dan lain-lain.

c. Kebisingan terputus-putus (intermitten noise), misalnya bising lalu-lintas suara kapal terbang di bandara.

d. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti bising pukulan palu, tembakan bedil atau meriam, dan ledakan.

e. Kebisingan impulsif berulang, misalnya bising mesin tempa di perusahaan atau tempaan tiang pancang.

2.1.4 Nilai Ambang Batas Kebisingan

Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan sebagai faktor bahaya di tempat kerja adalah standar sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat menghadapinya tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam


(50)

9

pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 (delapan) jam sehari dari 5 (lima) hari kerja seminggu atau 40 jam seminggu.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 261/MENKES/SK/II/1998 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja tingkat kebisingan ruangan di ruang kerja maksimal 85 dBA dalam rata-rata pengukuran 8 jam. Berikut ini adalah tabel standar tingkat kebisingan maksimal dalam 1 hari pada ruang proses prosuksi:

Tabel 2.1 Tingkat Kebisingan Maksimal Selama 1 Hari pada Ruang Proses Produksi

Tingkat Kebisingan (dB) Pemaparan Harian

85 8 jam

92 6 jam

88 4 jam

87 3 jam

91 2 jam

94 1 jam

97 30 menit

100 15 menit


(51)

Standar kebisingan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51/MEN/1999 adalah sebagai berikut :

Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas Kebisingan

Waktu Paparan Intensitas Kebisingan (dB)

8 Jam 85

4 Jam 88

2 Jam 91

1 Jam 94

30 Menit 97

15 Menit 100

7,5 Menit 103

3,75 Menit 106

1,88 Menit 109

0,94 Menit 112

28,12 Detik 115

14,06 Detik 118

7,03 Detik 121

3,52 Detik 124

1,76 Detik 127

0,88 Detik 130

0,44 Detik 133

0,23 Detik 136

0,11 Detik 139

Sumber : Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51/MEN/1999. Keterangan : Tidak boleh terapajan lebih dari 140 dB, walaupun sesaat. 2.1.5 Pengukuran Kebisingan

Pengukuran kebisingan bertujuan untuk mengetahui tingkat kebisingan di lingkungan kerja. Dengan mengetahui besar kebisngan tersebut maka dapat diketahui apakah pekerja sudah terpajan melampaui NAB atau tidak.

Alat yang digunakan untuk pengukuran itensitas kebisingan adalah Sound Level Meter (SLM) yang mempunyai beberapa jenis antara lain:


(52)

11

a. Precision Sound Level Meter

b. General Purpose Sound Level Meter

c. Survey Sound Level Meter

d. Special Purpose Sound Level Meter

Sound Level Meter berfungsi untuk mengukur kebisingan antara 30- 130 dB dan dari frekuensi 20-20.000 Hz. Sound Level Meter terdiri dari mikrofon, amplifier, dan sirkuit attenuator dan beberapa alat lainnya. Sound Level Meter dilengkapi dengan tombol pengaturan skala pembobotan seperti A, B, C, dan D. Skala A, contohnya adalah rentang skala pembobotan yang melingkupi frekuensi suara rendah dan frekuensi suara tinggi yang masih dapat diterima oleh telinga manusia normal. Sementara itu skala B, C dan D digunakan untuk keperluan-keperluan khusus, misalnya pengukuran kebisingan yang dihasilkan oleh pesawat terbang bermesin jet (Tambunan, 2005).

Sound level meter akan memberikan hasil berupa angka yang dapat dibandingkan dengan aturan batas maksimum dalam satuan desibel. (85 dBA untuk shift selama 8 jam per hari, 40 jam per minggu, batasnya akan lebih rendah untuk waktu kerja yang lebih lama).

Desibel diukur pada skala khusus, yang disebut skala logaritma, dimana setiap penambahan intensitas suara berlipat dua. Berarti peningkatan dari 90 dB ke 93 dB berarti suaranya empat kali lebih keras dari pada 90 dB. Hal ini penting untuk diingat karena peningkatan kecil pada desibel berarti peningkatan kerasnya suara dan makin parah kerusakan yang dapat diakibatkan pada telinga (Anizar, 2009).


(53)

2.1.6 Dampak Kebisingan

Moeljosoedarmo (2008) mengelompokkan dampak kebisingan menjadi dua yaitu dampak pada indera pendengaran (Audiotory Effect) dan dampak kebisingan bukan pada indera pendengaran (Non Audiotory Effect).

2.1.6.1Audiotory Effect

a. Trauma Akustik

Trauma akustik disebabkan oleh karena terpajan kepada suara (bising) impulsif dengan tekanan tinggi, seperti letusan senjata, ledakan dan lain-lain. Diagnosa mudah dibuat, penderita dengan tepat dapat menyatakan kapan terjadinya ketulian. Bagian yang rusak adalah membran timpani, tulang-tulang pendengaran dan cochlea. Tuli terjadi secara akut, tinitus cepat sembuh secara partial atau secara sempurna.

b. Ketulian

Diantara sekian banyak gangguan (pengaruh) yang ditimbulkan oleh kebisingan, maka yang paling serius adalah gangguan terjadinya ketulian. 1. Ketulian sementara

Akibat pemajanan terhadap bising dengan intensitas tinggi, tenaga kerja akan mengalami penurunan daya dengar yang sifatnya sementara. Apabila kepada tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup, daya dengarnya akan pulih kembali kepada ambang dengar yang semula (recovery dapat sempurna). Untuk suara yang intensitasnya lebih besar dari 85 dB akan dibutuhkan waktu istirahat antara 3-7 hari. Namun, apabila waktu istirahat tidak cukup dan tenaga kerja terpajan


(54)

13

kembali kepada bising, dan keadaan ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka ketulian sementara akan bertambah setiap harinya.

2. Ketulian menetap

Ketulian menetap terjadi oleh karena pemajanan terhadap intensitas bising yang tinggi dalam jangka waktu yang lama. Ketulian menetap terjadi sebagai akibat dari proses pemulihan yang tidak sempurna (dari Temporary Threshold Shift yang terjadi belum sempat kembali ke ambang dengar semula), yang kemudian sudah kontak dengan intensitas suara yang tinggi, maka akan terjadi pengaruh kumulatif, yang pada suatu saat tidak terjadi pemulihan sama sekali. Pada saat inilah, maka ketulian disebut sebagai ketulian menetap.

2.1.6.2Non Audiotory Effect

a. Pengaruh Fisiologi

Pada umumnya kebisingan bernada tinggi sangat mengganggu, lebih-lebih yang terputus-putus atau yang datangnya secara tiba-tiba (mendadak) dan tidak terduga dapat menimbulkan reaksi fisiologis seperti: peningkatan tekanan darah (±10 mmHg), peningkatan denyut nadi, basal metabolisme, gangguan tidur, konstriksi pembuluh darah kecil terutama pada kaki dan tangan, dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris, serta gangguan refleks.


(55)

Kebisingan dapat memengaruhi stabilitas mental dan reaksi psikologis, menimbulkan rasa khawatir, marah, jengkel dan lain-lain. Yang dimaksud dengan stabilitas mental adalah kemampuan seseorang untuk berfungsi atau bertindak normal. Kebisingan memang tidak dapat menimbulkan mental illness, namun dapat memperberat problem mental yang sudah ada.

c. Annoyance

Suatu kebisingan dikatakan mengganggu (annoying), bila pemajanan terhadapnya menyebabkan orang tersebut mengurangi, menolak bising tersebut atau meninggalkan tempat yang bising bila mungkin.

d. Gangguan komunikasi

Gangguan jenis ini dapat disebabkan oleh:

1. Masking effect dari kebisingan

2. Gangguan kejelasan suara (intelligibility)

Sebagai pegangan risiko potensial kepada pendengaran, terjadi apabila komunikasi pembicaraan harus dijalankan dengan berteriak. Gangguan komunikasi ini menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan mungkin terjadi kecelakaan, terutama pada peristiwa penggunaan tenaga baru (Moeljosoedarmo, 2008).

e. Pengaruh kebisingan terhadap performance kerja

Tarwaka, dkk (2004) mengelompokkan pengaruh pemaparan kebisingan berdasarkan pada tinggi rendahnya intensitas kebisingan dan lamanya waktu pemaparan. Pertama, pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi (di atas


(56)

15

NAB) dan kedua, adalah pengaruh pemaparan kebisingan intensitas rendah (di bawah NAB).

1. Pengaruh Kebisingan Intensitas Tinggi

a. Pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi (di atas NAB) adalah terjadinya kerusakan pada indera pendengaran yang dapat menyebabkan penurunan daya dengar baik yang bersifat sementara maupun bersifat permanen, biasanya didahului dengan pendengarana yang bersifat sementara yang dapat menganggu kehidupan yang bersangkutan baik di tempat kerja maupun dilingkungna keluarga dan lingkungan sosialnya.

b. Pengaruh kebisingan akan sangat terasa apabila jenis kebisingannya terputus-putus dan sumbernya tidak diketahui.

c. Secara fisiologis, kebisingan dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti, meningkatnya tekanan darah dan denyut jantung, risiko serangan jantung meningkat gangguan pencernaan.

d. Reaksi masyarakat, apabila kebisingan akibat suatu proses produksi demikian hebatnya sehingga masyarakat sekitarnya protes menuntut agar kegiatan tersebut dihentikan, dll.

2. Pengaruh kebisingan intensitas rendah

Tingkat intensitas kebisingan rendah atau di bawah NAB banyak ditemukan dilingkungan kerja seperti perkantoran, ruang administrasi perusahaan dll. Intensitas kebisingan yang masih di bawah NAB tersebut secara fisiologis tidak menyebabkan kerusakan pendengaran. Namun demikian, kehadirannya sering dapat menyebablkan penurunan penurunan performansi kerja, sebagai salah


(57)

satu penyebab stres dan gangguan kesehatan lainnya. Stres yang disebabkan karena yang pemaparan kebisingan dapat menyebabkan terjadinya kelelahan dini, kegelisahan dan depresi.

2.1.7 Pengendalian Kebisingan

Tarwaka, dkk (2004) dalam bukunya menyatakan bahwa sebelum dilakukan langkah pengendalian, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat rencana pengendalian yang didasarkan pada hasil penilaian kebisingan dan dampak yang ditimbulkan. Rencana pengendalian dapat dilakukan dengan pendekatan melalui perspektif manajemen risiko kebisingan. Manajemen risiko yang dimaksud adalah suatu pendekatan yang logik dan sistemik untuk mengendalikan risiko yang mungkin timbul. Langkah manajemen risiko kebisingan tersebut adalah:

a. Mengidentifikasi sumber-sumber kebisingan yang ada ditempat kerja yang berpotensi menimbulkan penyakit atau cidera akibat kerja.

b. Menilai risiko kebisingan yang berakibat serius terhadap penyakit dan cidera akibat kerja

c. Mengambil langkah langkah yang sesuai untuk mengendalikan atau meminimalisasi risiko kebisingan.

Setelah rencana dibuat dengan seksama, langkah selanjutnya adalah melaksanakan langkah pengendalian kebisingan dengan dua arah pendekatan yaitu pendekatan jangka pendek (short-term gain) dan pendekatan jangka panjang (long-term gain) dari hirarki pengendalian.Pada pengendalian kebisingan dengan orientasi jangka panjang, teknik pengendaliannya secara berurutan adalah


(58)

17

eliminasi sumber kebisingan, pengendalian secara teknik pengendalian secara berurutan adalah eliminasi sumber kebisingan, pengendalian secara teknik, pengendalian secara administrative dan terakhir penggunaan penggunaan alat pelindung diri. Orientasi jangka pendek adalah sebaliknya secara berurutan. a. Eliminasi sumber kebisingan

1. Pada teknik eliminasi ini dapat dilakukan dengn penggunaan tempat kerja atau pabrik baru sehingga biaya pengendalian dapat diminimalkan.

2. Pada tahap tender mesin-mesin yang akan dipakai, harus mensyaratkan maksimum intensitas kebisingan yang dikeluarkan dari mesin baru.

3. Pada tahap pembuatan pabrik dan pemasangan mesin, konstuksi bangunan harus dapat meredam kebisingan serendah mungkin dll.

b. Pengendalian kebisingan secara teknik

1. Pengendalian kebisingan pada sumber suara.

Penurunan kebisingan pada sumber suara dapat dilakuakan dengan menutup mesin atau mengisolasi mesin sehingga terpisah dengan pekerja. Teknik ini dapat dilakukan dengan mendesain mesin memakai remote control. Selain itu dapat dilakukan redesain landasan mesin dengan bahan anti getaran. Namun, demikian teknik ini memerlukan biaya yang sangat besar sehingga dalam prakteknya sulit diimplementasikan.

2. Pengendalian kebisingan pada bagian transmisi kebisingan.

Apabila teknik pengendalian pada sumber suara sulit dilakukan, maka teknik berikutnya adalah dengan memberi pembatas atau sekat antara mesin dan pekerja. Cara lain adalah dengan menambah atau melapisi


(59)

dinding, plafon dan lantai dengan bahan penyerap suara. Menurut Sanders dan McCormik dalam Tarwaka, dkk (2004) cara tersebut dapat mengurangi kebisingan antara 3-7 dB.

4. Pengendalian kebisingan secara administratif

Apabila teknik pengendalian secara teknik belum memungkinkan untuk dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah merencanakan teknik pengendalian secara administratif. Teknik pengendalian ini lebih difokuskan pada manajemen pemaparan. Langkah yang dapat ditempuh adalah dengan mengatur rotasi kerja antara tempat yang bising dengan tempat yang lebih nyaman yang didasarkan pada intensitas kebisingan yang diterima.

c. Pengendalian kebisingan pada penerima atau pekerja

Teknik ini merupakan langkah terakhir apabila seluruh teknik pengendalian diatas (eliminasi, pengendalian teknik, dan administratif) belum memungkinkan untuk dilaksanakan. Jenis pengendalian ini dapat dilakukan dengan pemakaian alat pelindung telinga (tutup atau sumbat telinga). Pengendalian kebisingan pada penerima ini telah banyak ditemukan di perusahaan-perusahaan, karena secara sekilas biayanya relatf lebih murah. Namun demikian banyak ditemukan kendala dalam pemakaian tutup atau sumbat telinga seperti, tingkat kedisiplinan pekerja, mengurangi kenyamanan kerja, mengganggu pembicaraan dan lain-lain. Berikut adalah jenis alat pelindung telinga:


(60)

19

a. Sumbat telinga (Ear plug)

Ukuran dan bentuk saluran telinga tiap-tiap individu dan bahkan untuk kedua telinga dari orang yang sama adalah berbeda. Untuk itu ear plugharus dipilih sedemikian rupa sehingga sesuai dengan ukuran dan bentuk saluran telinga pemakainya. Pada umumnya diameter saluran telinga antara 5-11 mm dan liang telinga pada umumnya berbentuk lonjong dan tidak lurus. Ear plug dapat terbuat dari kapas, plastic dan karet, spon dan malam (wax) hanya dapat digunakan untuk sekali pakai (Disposable). Sedangkan yang terbuat dari bahan karet dan plastic yang dicetak (Molded rubber/plastic) dapat digunakan berulang kali (Non Disposable).Alat ini dapat mengurangi suara sampai 20 dB (A).

b. Tutup telinga (Ear muff)

Alat pelindung telinga jenis ini terdiri dari 2 (dua) buah tutup telinga dan sebuah headband. Isi dari tutup telinga dapat berupa cairan atau busa yang berfungsi untuk menyerap suara frekuensi tinggi.Pada pemakaian yang cukup lama, efektivitas ear muff dapat menurunkan karena bantalannya menjadi mengeras dan mengerut sebagai akibat reaksi dari bantalan dengan minyak dan keringat pada permukaan kulit.Alat ini dapat mengurangi intensitas suara sampai 30 dB (A) dan juga dapat melindungi bagian luar telinga luar dari benturan benda keras atau percikan bahan kimia.

Menurut Tarwaka (2004) perlu di perhatikan beberapa criteria di dalam pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri sebagai berikut:


(1)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN... ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI... iv

ABSTRAK... ... v

ABSTRACT... ... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI... ... x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... xv

BAB I PENDAHULUAN... ... 1

1.1 Latar Belakang... ...1

1.2 Rumusan Masalah... 3

1.3 Tujuan Penelitian... 4

1.3.1 Tujuan Umum... 4

1.3.2 Tujuan Khusus... 4

1.4 Hipotesis Penelitian... 4

1.5 Manfaat Penelitian... ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1 Kebisingan... 6

2.1.1 Definisi Kebisingan... 6

2.1.2 Sumber Kebisingan... 6

2.1.3 Jenis Kebisingan... 7

2.1.4 Nilai Ambang Batas Kebisingan... 8

2.1.5 Pengukuran Kebisingan... 10

2.1.6 Dampak Kebisingan... ... 12

2.1.6.1 Audiotory Effect... 12

2.1.6.2 Non Audiotory Effect...13

2.1.7 Pengendalian Kebisingan... 16

2.2 Tekanan Darah... 21

2.2.1 Pengertian Tekanan Darah... 21

2.2.2 Penggolongan Tekanan Darah... 21

2.2.3 Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Tekanan Darah... 22

2.3 Patogenesis Terjadinya Hipertensi Akibat Kebisingan... 27

2.4 Denyut Nadi... 28

2.4.1 Cara Pengukuran Denyut Nadi... 30

2.5 Alat Tenun Mesin... 30


(2)

xi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 35

3.1 Jenis Penelitian...35

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 35

3.2.1 Lokasi Penelitian... 35

3.2.2 Waktu Penelitian... 35

3.3 Populasi dan Sampel... 36

3.3.1 Populasi... 36

3.3.2 Sampel...36

3.4 Metode Pengumpulan Data... 36

3.4.1 Data Primer... 36

3.4.2 Data Sekunder... 36

3.5 Definisi Operasional... 36

3.6 Aspek Pengukuran... 37

3.7 Metode Pengukuran... 38

3.7.1 Pengukuran Kebisingan... 38

3.7.2 Pengukuran Tekanan Darah... 39

3.7.3 Pengukuran Frekuensi Denyut Nadi... 39

3.8 Metode Analisis Data... 40

3.8.1 Analisis Data Univariat... 40

3.8.2 Analisis Data Bivariat... 40

BAB IV HASIL PENELITIAN... 42

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 42

4.2 Karakteristik Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige...43

4.3 Tingkat Kebisingan Pertenunan di Kecamatan Balige Tahun 2016... 44

4.4 Tekanan Darah Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige Tahun 2016... 45

4.5 Frekuensi Denyut Nadi Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige Tahun 2016... 47

4.6 Perbedaan Tekanan Darah Sistolik Sebelum dan Sesudah Bekerja... 48

4.7 Perbedaan Tekanan Darah Diastolik Sebelum dan Sesudah Bekerja... 49

4.8 Hubungan Tingkat Kebisingan dengan Tekanan Darah Sistolik (Sesudah Bekerja) Pekerja... 49

4.9 Hubungan Tingkat Kebisingan dengan Tekanan Darah Diastolik (Sesudah Bekerja) Pekerja... 50

4.10 Perbedaan Frekuensi Denyut Nadi Sebelum dan Sesudah Bekerja... 50

BAB V PEMBAHASAN... 52

5.1 Tingkat Kebisingan... 52

5.2 Tekanan Darah... 53

5.3 Frekuensi Denyut Nadi... 54

5.4 Perbedaan Tekanan Darah Sebelum Bekerja dan Sesudah Bekerja... 55


(3)

5.5 Hubungan Tingkat Kebisingan dengan Tekanan Darah... 57

5.6 Perbedaan Frekuensi Denyut Nadi Sebelum dan Sesudah Bekerja... 59

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 61

6.1 Kesimpulan... 61

6.2 Saran... 62

DAFTAR PUSTAKA... 62 DAFTAR LAMPIRAN


(4)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Tingkat Kebisingan Maksimal Selama 1 Hari Pada Ruang

Proses Produksi ... 9

Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas Kebisingan...10

Tabel 3.1 Panduan Interpretasi Hasil Uji Hipotesis Berdasarkan Kekuatan Korelasi, Nilai p dan Arah Korelasi... 41

Tabel 4.1 Karakteristik Usia Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige Tahun 2016...43

Tabel 4.2 Distribusi Responden Menurut Usia pada Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige Tahun 2016...44

Tabel 4.3 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin pada Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige Tahun 2016...44

Tabel 4.4 Hasil Pengukuran Tingkat Kebisingan di Lokasi Pertenunan di Kecamatan Balige... 45

Tabel 4.5 Distribusi Tingkat Kebisingan di Lokasi Pertenunan di Kecamatan Balige... 45

Tabel 4.6 Tekanan Darah Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige... 46

Tabel 4.7 Tekanan Darah Sesudah Bekerja Pada Pekerja Pertenunan... 46

Tabel 4.8 Kenaikan Tekanan Darah Pekerja Pertenunan... 47

Tabel 4.9 Distribusi Pekerja Pertenunan Berdasarkan Kategori Tekanan Darah... 47

Tabel 4.9 Frekuensi Denyut Nadi Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige... 47

Tabel 4.17 Kenaikan Frekuensi Denyut Nadi Pekerja Pertenunan...48

Tabel 4.10 Hasil Uji Perbedaan Tekanan Darah Sistolik Sebelum dan Sesudah Bekerja Pada Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige. 48 Tabel 4.11 Hasil Uji Perbedaan Tekanan Darah Diastolik Sebelum dan Sesudah Bekerja Pada Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige. 49 Tabel 4.12 Korelasi Spearman Variabel Tingkat Kebisingan dan Tekanan Darah Sistolik (Sesudah Bekerja) Pekerja Pertenunan Di Kecamatan Balige... 49

Tabel 4.13 Korelasi Spearman Variabel Tingkat Kebisingan dan Tekanan Darah Diastolik (Sesudah Bekerja) Pekerja Pertenunan Di Kecamatan Balige... 50

Tabel 4.14 Hasil Uji Perbedaaan Frekuensi Denyut Sebelum dan Sesudah Bekerja Pada Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige... 51


(5)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Rangka Utama Pergerakan Mesin... 33


(6)

xv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Chandra Tua Raja Saragih

Tempat Lahir : Balige

Tanggal Lahir : 21 Desember 1991

Suku Bangsa : Batak Toba

Agama : Katolik

Nama Ayah : Jan Sudin Saragih

Suku Bangsa Ayah : Batak Toba

Nama Ibu : Erni Sinaga

Suku Bangsa Ibu : Batak Toba

Riwayat Pendidikan:

1. Tahun 1998 – 2004 SD SW Katolik San Francesco Balige

2. Tahun 2004 – 2007 SMP SW Katolik Budi Dharma Balige

3. Tahun 2007 – 2010 SMA Negeri 2 Balige

4. Tahun 2010 – 2011 Etnomusikologi FIB Universitas Sumatera Utara

5. Tahun 2011 – 2012 Pend. Matematika Unimed

6. Tahun 2012 – 2017 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara