”Nangkih” dan Gambaran Pernikahan Dini Pada Masyarakat Etnis Karo di Desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pernikahan Dini dan Penyebabnya
Dalam penelitian pernikahan dini, pelaku yang berperan adalah remaja yang
baru atau telah menikah dan mereka yang sekarang sudah dikategorikan dewasa
tetapi dulunya menikah di usia dini saat masih remaja. Selain itu yang menjadi objek
penelitian adalah orang tua karena peran orang tua penting dalam mencegah dan
mendukung pernikahan dini pada anak. Seperti penelitian Umi Sambulah dan
Faridatul (2012) yang menemukan sebab-sebab pernikahan dini dalam masyarakat,
yaitu: pertama, adanya kekhawatiran orang tua terhadap perilaku anak. Dimana
orang tua akan segera menjodohkan ataupun menikahkan anaknya terutama
perempuan jika sudah menginjak besar (sudah haid). Hal ini dikarenakan adanya
ketakutan orang tua apabila anaknya menjadi perawan tua dan ketakutan apabila
anaknya melakukan hal-hal yang dapat mencemari nama baik keluarga. Kedua,
kesiapan diri. Dimana adanya perasaan mandiri yang ditandai dengan sudah bisa
mencari uang sendiri dan pengaruh dari berbagai film atau media yang lain menjadi
pendorong pasangan melakukan pernikahan dini.
Ketiga, mengurangi beban ekonomi keluarga. Dimana adanya kondisi
ekonomi keluarga kurang mampu menyebabkan orang tua menikahkan anaknya
pada usia muda karena beban keluarga akan berkurang satu, dimana anak yang

sudah menikah akan menjadi tanggung jawab suaminya. Selain itu, anak yang sudah
menikah diharapkan dapat membantu kehidupan orang tuanya. Keempat, rendahnya
kesadaran terhadap pentingnya pendidikan. Dimana orang tua yang berpendidikan
SD tidak mengetahui akibat dari pernikahan muda karena memiliki pola pikir yang
28
Universitas Sumatera Utara

sempit sehingga jika ada yang menyukai anaknya langsung dinikahkan terutama
bagi anak perempuannya.
Hal ini didukung penelitian sebelumnya, Suryaningrum (2009) yang
menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status ekonomi keluarga,
pendidikan orang tua dan perkerjaannya terhadap anak-anak yang dinikahkan lebih
dini. Dimana semakin rendah status ekonomi keluarga, pendidikan orang tua, dan
pekerjaannya maka semakin tinggi tingkat anak-anak yang dinikahkan pada usia
dini. Namun sebaliknya, semakin tinggi tingkat status ekonomi keluarga, pendidikan
orangtua dan pekerjaannya maka semakin rendah tingkat anak-anak yang dinikahkan
pada usia dini. Artinya penyebab utama pernikahan dini dalam masyarakat memiliki
hubungan yang signifikan dengan status ekonomi keluarga, pekerjaan dan
pendidikan orang tua yang rendah.
Adapun penelitian Juspin Landung, dkk (2009) juga menemukan selain

penyebab yang diutarakan peneliti lain, salah satu penyebab pernikahan dini atau
perkawinan di usia muda adalah adanya pola pengasuhan orang tua yang tidak
demokratis kepada anak sehingga anak tidak memiliki keleluasaan untuk dapat
menentukan pilihan terbaik bagi dirinya. Dimana anak saat menginjak usia remaja
melakukan pernikahan dini dengan dorongan untuk melepaskan diri atau terbebas
dari pengaruh orang tua.
Hal ini dari berbagai penelitian menemukan adanya kesalahan atau kekurangan
pahaman orang tua tentang masa remaja dan dewasa, dimana orang tua yang tidak
menganggap penting masalah usia anak yang dinikahkan, yang terpenting sudah aqil
(baliq), yaitu menstruasi bagi perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki. Dimana
kebanyakan masyarakat menganggap aqil (baliq) merupakan tanda seseorang sudah

29
Universitas Sumatera Utara

dewasa baik bagi perempuan maupun laki-laki. Padahal aqil (baliq) bukanlah tanda
seseorang sudah dewasa tetapi tanda seseorang memasuki masa remaja atau transisi.
Adapun anggapan masyarakat ini muncul dari adanya perspektif agama yang
tidak membatasi usia seseorang untuk menikah, misalnya agama Islam yang dalam
perspektif hukumnya mengatakan bahwa pernikahan yang dilakukan pada usia

remaja atau muda, bukan usia tua hukumnya sunnah atau mandub, karena tidak ada
alasan menunda-nunda pernikahan selama tetap melangkah dengan iringan niat tulus
melaksanakan syariat Islam (Dwi Rifiani, 2011).

2.2 Pernikahan Dini dan Disfungsinya dalam Keluarga
Dalam beberapa penelitian sebelumnya, pernikahan dini dikatakan mampu
membantu ikatan suci dalam membentuk keluarga harmoni, dimana beberapa
peneliti menyakini

bahwa pernikahan dini masih berfungsi dalam membangun

ikatan suci dan harmoni, seperti yang diungkapkan Sawardi (2009) dalam
penelitiannya yang menemukan bahwa pernikahan dini mampu membantu ikatan
suci keluarga karena mampu membangun rasa setia dan keberkahan yang di
pancarkan setelah terjadi jalinan pernikahan. Hal senada juga ditemukan oleh
Rofidah, dkk (2009), yang dalam penelitian mereka mendapati bahwa pernikahan
dini terbukti dapat menciptakan sikap arif terdapat pasangan nikah yang ditunjukkan
sikap menerima keadaan akan tingkat pendidikan, tingkat pekerjaan dan keadaan
ekonomi. Pasangan nikah muda mampu menerima segala kondisi pasangannya
sehingga terbentuk keluarga yang harmonis.

Namun, tidak semua pernikahan dini berjalan dengan harmonis, dimana
banyak

kritikan yang ditempatkan pada mereka yang menikah di usia dini.

Beberapa penelitian menemukan kebalikan dari penemuan pertama, yaitu bahwa
30
Universitas Sumatera Utara

pernikahan dini mampu meruntuhkan ikatan suci berkeluarga. Disfungsi pernikahan
dini telah terbukti dengan ditemukannya keluarga yang berantakan dalam menjalani
tatanan yang harmoni. Keluarga yang tidak harmoni akan merujuk pada keluarga
yang broken home, dimana fungsi dari terbentuknya sebuah keluarga melalui
pernikahan atau perkawinan tidak dapat berjalan sesuai fungsinya. Adapun fungsifungsi dari sebuah keluarga dari pernikahan dini yang tidak terpenuhi hingga sulit
membentuk keluarga harmonis adalah sebagai berikut:
a. Fungsi ekonomi, dimana mereka yang menikah dini cenderung berada
dalam ekonomi menengah ke bawah (miskin) sehingga sangat sulit untuk
memenuhi kebutuhan keluarga secara materi. Seperti yang diungkapkan
Ardhikari (1996) dalam penelitiannya, yang menemukan bahwa pernikahan
dini cenderung melahirkan kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural

adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan seseorang
untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan
struktur

sosial

dalam

menyediakan

kesempatan-kesempatan

yang

memungkinkan seseorang itu dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak
mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang
tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat
yang ada disekitarnya. Hal inilah yang terjadi pada pasangan pernikahan
dini, dimana mereka yang merupakan pasangan nikah dini atau muda
cenderung merupakan orang yang tidak terpelajar dan tidak terlatih,

sehingga tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang layak. Akibatnya
kebanyakan dari mereka berkerja sebagai buruh, pemulung, penggali pasir
dengan pendapatan yang rendah dan hidup dalam keterbatasan ekonomi.

31
Universitas Sumatera Utara

b. Fungsi sosialisasi dan afeksi, dimana keluarga merupakan tempat pertama
anak bersosialisasi dan menerima afeksi atau kasih sayang dari orang
tuanya. Mereka yang menikah di usia muda cenderung susah untuk
menjaga dan memelihara anak-anaknya seperti orang tua yang menikah di
usia dewasa atau matang karena mereka sendiri cenderung berada dalam
posisi yang masih labil secara psikisnya, sehingga dalam adat, banyak
masyarakat yang telah meninggalkan tradisi menikah di usia muda. Seperti
penelitian Pasaribu (2009) yang menyimpulkan terjadi banyak pasangan
nikah yang meninggalkan tradisi pernikahan dini dengan alasan karena
berbuah pada rumitnya menjalin hubungan yang harmoni. Dimana
Pasaribu menemukan bahwa sekarang calon pasangan lebih suka
melestarikan adat perkawinan lain yaitu menikah pada usia diatas batas
yang telah mentradisi. Artinya masyarakat suku Pakpak Kelasen mulai

menyadari bahwa menikah di usia dini memberikan resiko yang lebih besar
tertutama dalam menjaga keharmonisan rumah tangga karena cenderung
mereka yang menikah usia muda berada pada masa yang labil sehingga
mereka mulai meninggalkan tradisi pernikahan dini. Zuklifi (2011) juga
menemukan bahwa masyarakat yang melakukan pernikahan usia dini
setelah menjalani kehidupan rumah tangga sulit untuk memberikan
sosialisasi nilai dan norma keluarga dan masyarkat karena mereka sendiri
menghadapi permasalahan seperti stress dan mudah marah yang sering
memicu terjadinya konflik. Stress di sini terjadi karena emosi mereka yang
masih labil dikarenakan adanya sikap egois yang masih tinggi dan adanya
pemikiran yang belum matang atau dewasa dalam menghadapi segala
permasalahan bahtera rumah tangga terutama dalam permasalahan
32
Universitas Sumatera Utara

penyesuaian karakter masing-masing dan komunikasi, sehingga mereka
terutama perempuan yang menikah dini sering mengalami gangguan pada
kesehatan psikologisnya, dimana mereka yang labil dan menjadi stress.
c. Fungsi reproduksi dan keturunan, dimana sebuah keluarga dibentuk
sebagai tempat melepaskan hawa nafsu dan menghasilkan anak sebagai

penerus keturunan dalam keluarga. Namun pada mereka yang menikah
muda, untuk alat reproduksi dan kehamilan bagi perempuan cenderung
beresiko lebih besar dibandingkan mereka yang menikah di usia yang
sudang matang. pernikahan dini bagi perempuan sangat perlu diperhatikan,
karena perempuan yang masih dalam pertumbuhan biasanya baik secara
fisik maupun biologis belum cukup matang untuk memiliki anak sehingga
rentan menyebabkan kematian anak dan ibu pada saat melahirkan. Selain
itu, perempuan dengan usia kurang dari 20 tahun yang menjalani
kehamilan sering mengalami kekurangan gizi dan anemia. Gejala ini
berkaitan dengan distribusi makanan yang tidak merata, antara janin dan
ibu yang masih dalam tahap proses pertumbuhan (Noveri Aisyaroh, 2010).
Hal ini juga diungkapkan Shawaky dan Milaat (2000) dalam penelitiannya
yang menemukan bahwa pernikahan dini bukan hanya menciptakan status
buruh, tetapi juga keguguran saat kehamilan, hingga kematian janin dan
kematian bayi. Banyak pasangan yang menikah muda terpaksa bekerja
sebagai buruh untuk menghidupi keluarganya baik itu buruh tani atau pun
buruh pabrik. Hal ini disebabkan tingkat pendidikan para pasangan
pernikahan dini rendah sehingga sulit mencari perkerjaan yang lebih baik.
Kehamilan usia muda dan kemiskinan menjadi pemicu tingginya tingkat
keguguran dan kematian bayi dan ibu hamil. Hal ini dikarenakan secara

33
Universitas Sumatera Utara

biologis organ produksi belum siap untuk melahirkan dan secara ekonomi
pasangan pernikahan dini tidak memiliki biaya sehingga sulit untuk
mencukupi gizi anak dan ibu hamil serta sulit untuk membiayai prosesi
kelahiran ibu di rumah sakit.

2.3 Pernikahan Dini Sebagai Media Peraih Kuasa dan Simbol Kemuliaan
Suhadi mengatakan beberapa penelitian menemukan bahwa pernikahan dini
adalah media peraih kuasa, dimana pernikahan dini terjadi karena pergulatan akan
kekuasaan dan pengendalian peran. Seperti penelitian Muda (2008) yang
menegaskan bahwa fenomena pernikahan dini bukanlah pilihan pasangan pengantin.
Muda lebih fokus pada kajiannya tentang pergulatan dalam mendapatkan status
sosial di suatu sistem sosial ketika terjadi pernikahan dini. Menurut Muda, anggota
masyarakat yang memiliki akses untuk mendapatkan status sosial, cenderung segera
melakukan pernikahan dini. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki relasi dan
status sosial dalam sistem sosial cenderung menunda dengan berbagai alasan dan
syarat yang rumit, seperti meminta untuk dibawakan barang mahal seperti emas,
perak, perhiasan, ternak dan sebagainya sebagai alat pertukaran anggota mereka

yang akan melangsungkan pernikahan dini (mahar). Dimana keluarga wanita akan
melihat calon besan atau menantunya. jika merupakan orang penting atau terhormat
di dalam masyarakat yang memiliki relasi dan status sosial yang tinggi maka mereka
akan mengizinkan anaknya menikah dini dengan tujuan agar dapat menaikkan
statusnya dalam masyarakat dan meraih kekuasaan dari relasi besannya yang kuat.
Dalam penelitian

Wardhany (2009) juga menemukan bahwa kekuasaan

sebagai kado spesial saat menikahi perempuan di bawah umur, dimana dengan
menikah seseorang akan mendapat peran yang lebih dibanding peranan mereka
34
Universitas Sumatera Utara

sebelum menikah. Adapun Wardhany menemukan bahwa kekuasaan tersebut di
dapat oleh laki-laki dimana tanda-tanda kekuasaan pada saat menikah yaitu:
berprilaku agresif, berkepuasan, bebas meluap rasa jengkel, selalu menang sendiri,
rasa menekan, dan luapan kemarahan. Perempuan sebagai pihak yang tidak
mendapatkan kekuasaan selalu berada di bawah dan di tindas oleh laki-laki sehingga
tidak jarang pernikahan dini menciptakan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)

kepada pihak perempuan dan anak.
Pernikahan dini memiliki relasi dengan kekuasaan juga dapat dilihat dalam
temuan

Suhadi dengan penelitiannya pada masyarakat Baduy (2010) yang

menemukan bahwa masyarakat baduy hanya melakukan pernikahan endogami dan
menghindari pernikahan eksogami. Hal ini dikarenakan mereka yang melakukan
pernikahan eksogami akan kehilangan kekuasaan secara adat, dimana mereka harus
keluar dari mandala atau dilarang memasuki lagi daerah mandala (kawasan yang
dianggap suci) dan kehilangan hak sosial dan budaya istimewa prihal pemilikan
tanah adat, rumah dan upaca ritus hidup yang mampu menumbuhkan emosi, moral,
hingga ilmu kekebalan fisik. Akibatnya tidak diperbolehkan perkawinan eksogami,
banyak penduduk Baduy yang melakukan pernikahan dini untuk menjaga persatuan
dan tali persaudaraan agar tidak dapat diganggu oleh orang dari suku luar dan untuk
meneruskan garis keturunan masyarakat Baduy.
Selain hal yang telah diungkapkan di atas, pernikahan dini juga dianggap
sebagai simbol kemuliaan seperti penelitian Leleury (2010) tentang reproduksi
kemuliaan sebagai defenisi akan ritual perkawinan, dimana Leleury dalam
penelitiannya tentang kewajiban perkawinan levirat menyimpulkan bahwa tujuan
perkawinan adalah menghasilkan keturunan untuk meneruskan nama dari orang

35
Universitas Sumatera Utara

yang telah meninggal sehingga namanya tidak hilang. Pernikahan ini juga berperan
melanjutkan hak waris atau harta milik keluarga yang telah meninggal. Dengan
demikian, pernikahan akan secepatnya dilakukan jika ada keinginan untuk
mendapatkan keberlangsungan status sosial sebagai simbol.

2.4 Pernikahan Dini Sebagai Penghambat Pembangunan
Pertumbuhan penduduk yang tinggi mempersulit usaha dan pemerataan
kesejahteraan rakyat di bidang pangan, lapangan perkerjaan, pendidikan, kesehatan,
dan perumahan, karena semakin tinggi pertumbuhan penduduk semakin besar usaha
yang dibutuhkan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan rakyat. Selain itu,
suatu negara dapat dikatakan sebagai negara maju dengan pembangunan yang baik
dapat dilihat dari tingkat angka harapan hidupnya ysng tinggi. Angka harapan hidup
dapat dilihat dari tingkat kematian bayi yang rendah. Kartomo (1986) dalam
penelitiannya mengenai hubungan antara pendidikan dan fertilitas perempuan
menemukan bahwa semakin tinggi pendidikan seorang perempuan maka semakin
sedikitlah mereka melahirkan anak. Dimana keranga analisa dari kartomo adalah
sebagai berikut:
Pendidikan wanita

Peubah antara lainnya

Fertilitas

Umur perkawinan

Kota/pedesaan

Kohor Umur
Wanita

Dalam

diagram

ini

(diagram A)

Kartomo

menggambarkan

bahwa

pendidikan

mempengaruhi fertilitas melalui umur perkawinan dan peubah antara lainnya.
36
Universitas Sumatera Utara

Pendidikan, umur perkawinan dan peubah-peubah antara fertilitas dan pola
perkawinan antara peubah-ubah ini dipengaruhi oleh kohor umur wanita dan juga
daerah tempat tinggalnya, kota atau pedesaan. Adapun kohor umur wanita berkaitan
dengan norma dalam masyarakat mengenai umur sewajarnya seorang wanita
menikah dan memperoleh pendidikan Dimana menurut Kartomo adanya pengaruh
signifikan antara pendidikan wanita dengan umur perkawinan dan jumlah kelahiran
anaknya. Perempuan yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA akan memiliki
anak yang lebih sedikit dibandingkan mereka yang menikah di usia SD, dan mereka
yang menikah setelah tamat SMA cenderung menikah di usia matang dan mencicipi
dunia perkerjaan terlebih dahulu. Sedangkan mereka yang menikah di usia dini
merupakan mereka yang cenderung hanya tamatan SD dan SMP. Dimana usia
perkawinan pertama merupakan faktor penting yang mempengaruhi fertilitas atau
kelahiran.
Adapun

pernikahan

dini

dikatakan

sebagai

pengambat

dari

suatu

pembangunan karena pembangunan akan sulit berkembang jika pertumbuhan
penduduknya

tidak

dibarengi

dengan

pertumbuhan

ekonominya,

dimana

pertumbuhan penduduknya yang tinggi namun pertumbuhan ekonominya masih
rendah. Salah satu faktor pendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah
dengan pendidikan. Pendidikan mampu membentuk sumber daya manusia yang
berkualitas dan bersaing cepat dalam usia kerja. Namun seperti temuan Kartomo
(1986) dan Umi Sambullah (2011) bahwa mereka yang menikah di usia dini
terutama perempuan adalah mereka yang berpendidikan rendah sehingga pertubuhan
ekonomi masyarakatnya juga rendah, sedangkan tingkat pertumbuhannya tinggi
dimana perempuan menikah di usia subur sehingga kemungkinan hamil dan
melahirkan anak lebih banya dari mereka yang menikah di usia dewasa.
37
Universitas Sumatera Utara