”Nangkih” dan Gambaran Pernikahan Dini Pada Masyarakat Etnis Karo di Desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang

(1)

Skripsi

“NANGKIH”DAN GAMBARAN PERNIKAHAN DINI PADA

MASYARAKAT ETNIS KARO DI DESA SUKA DAME, KECAMATAN KUTALIMBARU, KABUPATEN DELI SERDANG

Oleh:

100901057 Febri Valentin Br S

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTA ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Febri Valentin br. Sembiring

NIM : 100901057

Departemen : Sosiologi

Judul : ”Nangkih” dan Gambaran Pernikahan Dini Pada

Masyarakat Etnis Karo di Desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Prof. Rizabuana M.Phil.,Ph.D

NIP.19610929 1986011002 NIP.196603181989032001

Dra. Lina Sudarwati

Dekan FISIP USU

NIP.196805251992031002 Prof. Badaruddin,M.Si


(3)

ABSTRAK

Pernikahan dini di Indonesia bukan merupakan hal yang baru karena memang sudah ada sejak dulu, tetapi untuk di masa sekarang pernikahan di usia dini sudah mendapat pertentangan terutama bagi mereka yang menikah di usia sekolah. Orang tua pada masyarakat karo di desa Suka Dame juga menentang pernikahan dini, namun tetap banyak di jumpai mereka yang menikah dini di desa ini. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam tentang nangkih pada masyarakat Karo, untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung mereka memilih menikah dini dan untuk mengetahui makna pernikahan itu sendiri bagi mereka yang memilih menikah dini. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dan tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan kuesioner, serta studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nangkih memang sudah ada pada masyarakat Karo khususnya di desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang. Nangkih sudah ada dari sejak zaman dahulu kala dan telah diturunkan secara turun temurun. Nangkih merupakan jalan kompas yang dibenarkan oleh adat Karo bagi mereka yang ingin menikah tetapi mendapat hambatan dari luar. Namun nangkih lebih dimaknai negatif, tidak bagus dan menyimpang karena menikah tanpa meminta izin atau restu dari orang tua terlebih dahulu, sehingga nangkih sangat tidak dianjurkan untuk dilakukan. Nangkih dalam masyarakat Karo terbagi atas tiga versi, yaitu: pertama Nangkih yang dilakukan karena tidak direstui orang tua, kedua nangkih karena terhambat oleh faktor biaya ketiga nangkih yang dinangkih-nangkihkan atau disengaja. Pada masa sekarang versi yang paling banyak dijumpai adalah versi yang pertama dan kedua, sedangkan untuk versi ketiga sudah sangat jarang ditemui. Pernikahan dini pada masyarakat Karo di desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang didasari oleh kemauan sendiri dari individu, walaupun mendapatkan pertentangan orang tua, karena orang tua tidak menyetujui anaknya menikah dini. Hal ini terbukti dari penelitian ini, dimana 6 dari 8 orang laki-laki (75%) menikah dini dengan cara nangkih dan 22 dari 32 orang perempuan (68,75%) yang menikah dini dengan cara nangkih. Dimana Sebagian besar dari mereka setuju jika nangkih dikatakan sebagai media penyelamatan untuk dapat menikah. Adapun faktor-faktor mereka memilih nangkih yaitu faktor ingin mandiri, banyak yang putus sekolah, pengaruh teman dan faktor pacaran di usia dini dan relatif singkat. Adapun makna pernikahan yang melatarbelakangi mereka menikah dini adalah pernikahan dimaknai sebagai sesuatu yang membanggakan dan ajang pamer yang menandakan mereka cantik sehingga cepat laku. Namun pernikahan dinilai sebagai suatu yang berharga dan perlu dijaga sehingga mereka tetap berusaha mempertahankan rumah tangganya walaupun mendapat banyak halangan terutama dari segi ekonominya dimana rata-rata dari mereka yang menikah dini berpendapatan sekitar Rp.500ribu sampai dengan Rp.2juta per bulannya. Mereka yang menikah dini merasa menyesal menikah di usia tersebut karena di usia mereka yang muda, mereka masih ingin menikmati masa muda sehingga 81,25% yang menikah dini melarang anaknya untuk menikah dini karena tidak ingin anaknya bernasib sama dengan dirinya dan ingin anaknya melanjutkan sekolahnya tidak seperti mereka yang rata-rata hanya tamatan SMP dan SMA.


(4)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis memanjatkan puji dan syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah “NANGKIH DAN GAMBARAN PERNIKAHAN DINI PADA MASYARAKAT ETNIS KARO DI DESA SUKA DAME, KECAMATAN KUTALIMBARU, KABUPATEN DELI SERDANG”. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar dan keserjanaan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Dalam menyelesaikan skripsi ini banyak pembelajaran hidup yang didapatkan penulis. Dimana penulis belajar mengenai kesabaran, ketekunan, dan kedisplinan. Selain itu kemampuan dalam berpikir, menganalisa dan menulis terasah oleh penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa banyak keterbatasan dan kekurangan yang dimiliki dalam proses menyelesaikan skripsi ini, dimulai dari penulisan proposal, penelitian hingga penulisan hasil penelitian. Dimana sedikit banyak mendapat halangan dan rintangan dalam tahap penyelesaiannya. Namun berkat bantuan dari berbagai pihak, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh sebab itu dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan FISIP USU.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi.

3. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.si selaku Seketaris Departemen Sosiologi.

4. Bapak Prof. Riza Buana, M.Phil, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik

dan Dosen Pembimbing Skripsi penulis, yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing, mengoreksi serta memberikan saran dan nasehat demi perbaikan dan kemajuan skripsi ini.

5. Seluruh Staf dan Dosen pengajar di FISIP USU, terutama Departemen

Sosiologi yang telah banyak memberikan Ilmu Pengetahuan kepada penulis.

6. Bapak Darma Sinulingga selaku kepala Desa Suka Dame berserta ibu yang


(5)

7. Seluruh masyarakat Desa Suka Dame, terutama kepada mereka yang

bersedia menjadi informan dan mengisi kuesioner, penulis mengucapkan terima kasih atas waktu yang telah diluangkan kepada penulis, dan juga kepada bibi dan kila di kampung yang sedikit banyaknya membantu penulis saat melakukan penelitian.

8. Rasa cinta dan hormat kepada kedua orang tua yang paling penulis kasihi di dunia, yang selalu ada untuk penulis dengan segala cinta kasih, doa, semangat dan pengorbanan yang tiada henti yang selalu diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Begitu juga kepada kedua abang, Daniel Juniverson Sembiring dan Nugraha Adam Sembiring, berserta adik Ester Sri Ulina br. Sembiring yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

9. Kepada teman-teman penulis sesama Sosiologi angkatan 2010 yang

seperjuangan, Hesti Ratnasari KK, Rospita Linda H, Anastasia Carolina Gtg, Irma, Julia, Tertangta, Mba Uti, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, dan juga kepada senior angakatan penulis tahun 07,08, dan 09.

10.Kepada teman-teman sepermainan penulis lainnya kak Dewi, kak Berty, kak Desi, kak Dina, Karlita, Yenni, Krisdayanti, Tuti, Kendy, Heri, Esra dan yang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang memberikan semangat dan bantuan, serta doa kepada penulis.

11.Kepada iting (nenek) dan bibi penulis di Padang Bulan yang selalu

memberikan nasehat, doa dan perhatian lebih kepada penulis selama ini dari bimbel, kuliah sampai dengan sekarang, sedikit banyaknya secara tidak langsung memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

12.Kepada berbagai pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang selama ini memberikan kontribusi dan bantuan kepada penulis dalam perkulihaan dan selama pembuatan skripsi.

Penulis menyadari bahwa bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan. Oleh sebab itu, penulis sangat menghargai segala masukan yang berguna dan bermanfaat bagi skripsi ini. Di lain sisi penulis


(6)

juga berharap skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para pembacanya. Akhir kata penulis ingin mengucapkan kembali terima kasih kepada semua pihak terkait bantuan dan kontribusinya akan penyelesaian skripsi ini.

Medan, Juni 2014


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK……….….. i

KATA PENGANTAR……… ii

DAFTAR ISI………... v

DAFTAR TABEL………... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……… 1

1.2 Perumusan Masalah……….………... 6

1.3 Tujuan Penelitian...………. 7

1.4 Manfaat Penelitian……….. 7

1.5 Defenisi Konsep……….. 8

1.6 Kerangka Teori……… 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pernikahan Dini dan Penyebabnya……….………. 16

2.2 Pernikahan Dini dan Disfungsi dalam Keluarga………. 18

2.3 Pernikahan Dini Sebagai Media Peraih Kuasa dan Simbol Kemuliaan ……….……….… 22

2.4 Pernikahan Dini Sebagai Penghambat Pembangunan………..…. 24

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian………. 26

3.2 Lokasi Penelitian………. 26

3.2.1 Gambaran Umum Masyarakat Suka Dame……..……….. 28

3.2.1.1 Sejarah Desa………. 28

3.2.1.2 Demografi………. 30

3.2.1.3 Keadaan Sosial……….. 30

3.2.1.4 Keadaan Ekonomi………. 34


(8)

3.3 Unit Analisis Informan………..……….………... 35

3.3.1 Unit Analisis………..……….…….……… 35

3.3.2 Informan………..……….……….. 35

3.4 Tehnik Pengumpulan Data…………....………. 36

3.4.1 Data Primer……….. 36

3.4.2 Data Sekunder……..………..……….. 38

3.5 Interpretasi Data……….. 38

3.6 Jadwal Kegiataan………. 39

BAB IV MENGENAL KONSEP “NANGKIH” PADA MASYARAKAT KARO 4.1 Sistem Perkawinan dalam Masyarakat Karo………. 40

4.2 Konsep Perkawinan Ideal Pada masyarakat Karo di Desa Suka Dame………... 44

4.3 Adat “Nangkih” Sebagai Jalan Tengah Mengatasi Perkawinan di Desa Suka Dame……….. 46

4.4 Perkawinan Pada Pasangan yang Melakukan Adat “Nangkih” di Desa Suka Dame……….. 60

4.4.1 Upacara atau Kerja Adatnya……….. 60

4.4.2 Pemberkatan Dalam Gereja………...……… 63

BAB V HASIL DAN INTERPRETASI DATA PERNIKAHAN DINI DENGAN NANGKIH DI DESA SUKA DAME 5.1 Gambaran Umum Orang yang Menikah Dini di Desa Suka Dame……….……… 66

5.1.1 Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin………...……… 66

5.1.2 Distribusi Berdasarkan Umur…………....………..……… 67

5.1.3 Distribusi Berdasarkan Pendidikan……….……… 68

5.1.4 Distribusi Berdasarkan Mata Pencaharian……… 69


(9)

5.2.1 Faktor-Faktor Penyebab Orang Memilih Menikah Dini di

Desa Suka Dame .………... 71

5.2.2 Masa Pacaran Mereka yang Menikah Dini di Desa Suka Dame.. 73

5.2.3 Orang yang Menikah Dini dengan Cara Nangkih dan

Tidak Nangkih………...… 75

5.2.3.1 Pendapat Mereka yang Menikah Dini Tentang Nangkih.……... 76

5.2.3.2 Penyebab Orang Menikah Dini Dengan Cara Nangkih di

Desa Suka Dame……….……….. 78

5.2.3.3 Reaksi Orang tua Mengetahui Anaknya Nangkih………. 80

5.2.3.4 Perasaan Pertama Kali Bertemu Orang tua Setelah Nangkih… 81

5.2.3.5 Penyebab Orang tua Tidak Menyetujui Anaknya Menikah

Dini Sehingga Melakukan Nangkih……….…. 82

5.2.4 Kehidupan Ekonomi Orang yang Menikah Dini Berdasarkan

Pendapatan Dalam Sebulan……….. 84

5.2.4.1 Kecukupan Pendapatan Untuk Memenuhi Kebutuhan

Ekonomi Keluarga……….. 85

5.2.5 Kehidupan Pernikahan Orang yang Menikah Dini di Desa

Suka Dame Dilihat dari Frekuensi Berantam..……… 87

5.2.5.1 Hal yang Menjadi Pemicu Terjadinya Pertengkaran di Dalam

RumahTangga……….. 88

5.2.5.2 Langkah yang Diambil Sebagai Solusi Jika Terjadi

Pertengkaran di Dalam Rumah Tangga………..…………... 90

5.2.5.3 Keharmonisan Rumah Tangga Orang yang Menikah Dini.… 91

5.2.5.4 Perasaan Meyesal Orang yang Menikah Dini…..………….... 93

5.2.6 Pandangan Orang yang Menikah Dini Terhadap Usia

Menikah Ideal………. 94

5.2.6.1 Umur Ideal Seseorang Untuk Menikah………..… 97

5.2.7 Makna Pernikahan Bagi Orang yang Menikah Usia Dini


(10)

BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan……… 104 6.2 Saran……….

106

DAFTAR PUSTAKA……….. 108 LAMPIRAN 1 Hasil Wawancara Dengan Tokoh Agama, Tokoh Adat,

dan Orang tua……… 111 LAMPIRAN 2 Gambaran Keluarga yang Menikah Dini Dengan Cara

Nangkih………. 134 LAMPIRAN 3 Foto Orang yang Melakukan Nangkih dan Adatnya……..

144 LAMPIRAN 4 Interview Guide……….….

148 LAMPIRAN 5 Kuesioner………....

150 LAMPIRAN 6 Peta Desa Suka Dame dan Perbatasannya……….……...

154


(11)

ABSTRAK

Pernikahan dini di Indonesia bukan merupakan hal yang baru karena memang sudah ada sejak dulu, tetapi untuk di masa sekarang pernikahan di usia dini sudah mendapat pertentangan terutama bagi mereka yang menikah di usia sekolah. Orang tua pada masyarakat karo di desa Suka Dame juga menentang pernikahan dini, namun tetap banyak di jumpai mereka yang menikah dini di desa ini. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam tentang nangkih pada masyarakat Karo, untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung mereka memilih menikah dini dan untuk mengetahui makna pernikahan itu sendiri bagi mereka yang memilih menikah dini. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dan tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan kuesioner, serta studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nangkih memang sudah ada pada masyarakat Karo khususnya di desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang. Nangkih sudah ada dari sejak zaman dahulu kala dan telah diturunkan secara turun temurun. Nangkih merupakan jalan kompas yang dibenarkan oleh adat Karo bagi mereka yang ingin menikah tetapi mendapat hambatan dari luar. Namun nangkih lebih dimaknai negatif, tidak bagus dan menyimpang karena menikah tanpa meminta izin atau restu dari orang tua terlebih dahulu, sehingga nangkih sangat tidak dianjurkan untuk dilakukan. Nangkih dalam masyarakat Karo terbagi atas tiga versi, yaitu: pertama Nangkih yang dilakukan karena tidak direstui orang tua, kedua nangkih karena terhambat oleh faktor biaya ketiga nangkih yang dinangkih-nangkihkan atau disengaja. Pada masa sekarang versi yang paling banyak dijumpai adalah versi yang pertama dan kedua, sedangkan untuk versi ketiga sudah sangat jarang ditemui. Pernikahan dini pada masyarakat Karo di desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang didasari oleh kemauan sendiri dari individu, walaupun mendapatkan pertentangan orang tua, karena orang tua tidak menyetujui anaknya menikah dini. Hal ini terbukti dari penelitian ini, dimana 6 dari 8 orang laki-laki (75%) menikah dini dengan cara nangkih dan 22 dari 32 orang perempuan (68,75%) yang menikah dini dengan cara nangkih. Dimana Sebagian besar dari mereka setuju jika nangkih dikatakan sebagai media penyelamatan untuk dapat menikah. Adapun faktor-faktor mereka memilih nangkih yaitu faktor ingin mandiri, banyak yang putus sekolah, pengaruh teman dan faktor pacaran di usia dini dan relatif singkat. Adapun makna pernikahan yang melatarbelakangi mereka menikah dini adalah pernikahan dimaknai sebagai sesuatu yang membanggakan dan ajang pamer yang menandakan mereka cantik sehingga cepat laku. Namun pernikahan dinilai sebagai suatu yang berharga dan perlu dijaga sehingga mereka tetap berusaha mempertahankan rumah tangganya walaupun mendapat banyak halangan terutama dari segi ekonominya dimana rata-rata dari mereka yang menikah dini berpendapatan sekitar Rp.500ribu sampai dengan Rp.2juta per bulannya. Mereka yang menikah dini merasa menyesal menikah di usia tersebut karena di usia mereka yang muda, mereka masih ingin menikmati masa muda sehingga 81,25% yang menikah dini melarang anaknya untuk menikah dini karena tidak ingin anaknya bernasib sama dengan dirinya dan ingin anaknya melanjutkan sekolahnya tidak seperti mereka yang rata-rata hanya tamatan SMP dan SMA.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pernikahan dini di Indonesia bukanlah hal yang baru karena telah ada sejak zaman dahulu, dimana pada saat itu pernikahan dini merupakan suatu hal yang dianggap lumrah atau biasa oleh masyarakat yang hidup di awal abad 20 atau sebelumnya. Bahkan pada saat itu, banyak dijumpai orangtua yang berlomba-lomba menjodohkan anaknya terutama perempuan di usia sangat muda untuk dinikahkan dengan orang yang menjadi pilihannya. Hal ini terjadi tidak terlepas dari budaya patrilineal yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang cenderung mengkelas duakan perempuan, dimana perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap hidup laki-laki. Sehingga pada saat itu jika perempuan tidak segera menikah atau perempuan itu menikah di usia matang akan mendapat pandangan buruk dan miring dari masyarakat sekitarnya (Wismono Pandhu, 2012).

Seiring perkembangan zaman, waktu dan pengetahuan yang dipengaruhi oleh arus globalisasi yang melesat cepat dalam sepuluh tahun belakangan ini telah mengubah cara pandang sebagian besar masyarakat terutama masyarakat di perkotaan. Dimana pernikahan dini sudah dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan mulai banyak mendapatkan pertentangan dari berbagai pihak terutama dari badan perlindungan anak karena dianggap menghancurkan hak dan masa depan anak. Seperti kasus Lutfiana Ulfah yang baru berusia 12 tahun yang menikah dengan Pujiono Cahyo Widianto yang berusia 44 tahun pada tahun 2008 yang mendapatkan banyak sorotan dan pertentangan dari berbagai pihak (Rifiani Dwi, 2011:125-127).


(13)

Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan pada usia yang sangat muda atau masih di bawah umur. Menurut Kebijakan pemerintah tentang perilaku reproduksi manusia ditegaskan dalam UU No. 10 Tahun 1992 menyebutkan bahwa dalam menetapkan kebijakan upaya penyelenggara keluarga berencana, maka perkawinan yang diizinkan bila perempuan sudah berusia 19 tahun dan laki-laki berumur 21 tahun. Walaupun begitu, di Indonesia angka statistik pernikahan usia dini dengan pengantin berumur di bawah umur 16 tahun secara nasional mencapai seperempat, bahkan di beberapa daerah seperti Jawa Timur ada 39,43%, Kalimantan Selatan 35,48%, Jambi 30,63%, Jawa Barat 36%, dll (Landung, 2009:89). Hal ini menunjukkan bahwa fenomena pernikahan dini di Indonesia cukup tinggi. Di Sumatera Utara pernikahan dini dapat dijumpai di daerah pedesaan dan perkotaan. Menurut data BPS kota Medan tahun 2009, jumlah penduduk kota Medan pada pertengahan tahun 2009 adalah 2.121.053 jiwa dan sebesar 30,75 % atau 652.241 jiwa adalah remaja berusia 10-24 tahun dan dari sensus tahun 2010, jumlah penduduk kota Medan naik hingga 2,5 juta jiwa. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan BPS Sumut tahun 2010 juga menyebutkan 10 sampai 11% wanita usia subur (WUS) menikah di usia 16 tahun pada 2010. Dari Kantor Kementerian Agama menyebutkan bila di tahun 2006 kasus pernikahan usia dini yang dilaporkan sebanyak 19 kasus, dan meningkat menjadi 42 kasus di tahun 2007, serta melonjak lagi menjadi 68 kasus di tahun 2008, hingga desember 2010 diperkirakan maksimal terjadi 50 kasus perkawinan di usia dini pada remaja.

Padahal usia ideal untuk perempuan menikah adalah 21-25 tahun, sedangkan laki-laki 25-28 tahun. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut perempuan sudah berkembang dengan baik dan kuat, secara psikologis sudah matang untuk menjadi calon orang tua untuk anak-anaknya. Sedangkan mereka yang melahirkan di usia di


(14)

bawah 20 tahun akan berdampak pada kesehatan reproduksinya. Dimana perempuan hamil berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar dibandingkan perempuan yang berusia diatas 20 tahun dan perempuan hamil yang berusia 15-19 tahun kemungkinannya dua kali lebih besar dibandingkan perempuan yang berusia diatas 20 tahun (Rifiani Dwi, 2011:126)

Pernikahan dini lebih banyak terjadi di daerah pedesaan, dimana sebagian besar dilakukan oleh kaum perempuan, sebagai dampak dari budaya patrilineal dalam masyarakat desa yang masih kuat. Berdasarkan data SUPAS 2005 (Survei Penduduk Antar Sensus, yaitu survei yang dilaksanakan BPS pada tahun-tahun yang berakhiran dengan angka 5), tercatat perkawinan pertama wanita umur 19 tahun ke bawah di pedesaan di Indonesia adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1 Umur Perkawinan Pertama Wanita Umur 10-19 Tahun di Pedesaan Menurut SUPAS 2005

18 Tahun 3.292.704 12,04

19 Tahun 2.889.733 10,57

Total 18.452.221 67,48

Sumber: Thirwaty Arsal (2012)

Berdasarkan tabel 1.1 di atas terlihat bahwa usia seseorang menikah dini di daerah pedesaan masih sangat tinggi yaitu mencapai 67,48%, dimana usia 16-18 tahun merupakan frekuensi terbesar perempuan melakukan pernikahan, dimana usia ini termasuk ke dalam kategori usia dini karena perempuan secara biologis belum siap reproduksi dan secara psikologi sosial juga belum memiliki kematangan emosi (masih labil) dan bila dikaji secara sosiologi yaitu dari aspek peran dan statusnya, dimana seseorang yang menikah dini biasanya belum siap menghadapi peran dan

Umur Perkawinan Pertama

Frekuensi %

< 13 Tahun 1.393.411 5,10

14 Tahun 1.481.929 5,42

15 Tahun 2.522.914 9,23

16 Tahun 3.310.195 12,10


(15)

status yang mereka terima ketika mereka sudah menikah. Perempuan yang berperan sebagai istri dan ibu yang mengasuh anak dan peran laki-laki untuk bertanggung jawab menafkahi keluarga dan membesarkan anak. Dimana keberhasilan mereka dalam menjalankan perannya sangat berpengaruh terhadap berjalannya fungsi dari sebuah keluarga, yaitu fungsi afeksi, sosilsasi, reproduksi, perlindungan, dan lain-lain. Hal ini juga yang menyebabkan BKKBN menetapkan bahwa usia ideal seorang perempuan untuk memasuki usia perkawinan untuk pertama kali adalah 21 tahun sedangkan untuk laki-laki 25 tahun.

Adapun perkawinan atau pernikahan dini yang terjadi di daerah perkotaan kebanyakan disebabkan oleh adanya pergaulan bebas dan hamil di luar nikah, sehingga untuk menutupinya dilakukan pernikahan. Sedangkan pada daerah pedesaan pernikahan dini dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan pendidikan yang rendah serta perjodohan dari orang tua (Muslihin, 2011). Secara tentatif, pernikahan dini yang ada pada masyarakat etnis Karo di desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru lebih disebabkan oleh adanya kemauan sendiri dari mereka yang ingin menikah di usia yang sangat muda, dimana pernikahan usia dini merupakan pilihan hidup mereka, yang artinya didasarkan oleh keinginan mereka tanpa ada paksaan dari orang tua.

Dalam budaya karo, pernikahan dianggap sebagai suatu pertanda baik atau kabar bagus, sehingga sebagian besar orang tua akan memberikan izin ketika anaknya ingin menikah. Hal ini juga karena dianggap dapat menunjang perekonomian keluarga karena ikut membantu mengolah ladang atau lahan pertanian keluarga. Namun tidak semua pernikahan dalam masyarakat karo akan mendapatkan restu dari orang tua, dimana beberapa dari mereka akan melakukan “nangkih” untuk mendapatkan restu dari orang tuanya. “Nangkih” merupakan jalan potong kompas


(16)

yang dibenarkan oleh adat (Tridah: 1990, 42), dimana laki-laki membawa perempuan idamannya ke rumah anak beru untuk segera dinikahkan tanpa ada pemberitahuan dan meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua, terutama orang tua dari pihak perempuan. Nangkih dapat dikatakan sebagai suatu norma dalam masyarakat Karo, dimana mereka yang ingin menikah namun tidak mendapat restu dari orang tua dapat melakukan “nangkih” sebagai jalan pintasnya. Pernikahan yang dilakukan secara nangkih biasanya pernikahan yang dianggap menyimpang oleh masyarakat karena tidak sesuai dengan harapan masyarakat terutama orang tuanya. Dimana adanya keinginan atau tindakan individual yang dianggap tidak sesuai dengan harapan kelompok atau masyarakat. Salah satu pernikahan yang dianggap menyimpang dalam masyarakat karo adalah pernikahan dini yang dilaksanakan di usia yang sangat muda atau masih di usia sekolah.

Adapun mayoritas masyarakat Karo di desa Suka Dame berkerja dalam sektor pertanian, dimana sebagian besar masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mengandalkan hasil dari tanaman di ladang. Adapun jenis tanaman yang banyak ditanam mereka adalah kelapa sawit, cokelat, karet, pinang, kopi, dan kelapa. Selain itu masyarakat juga menanam tanaman buah seperti langsat, duku, rambutan, durian, manggis, pepaya dan lain-lain serta beberapa sayuran seperti kacang, jambe, bewan, dan sebagainya. Sebagian besar masyarakat di desa Suka Dame hidup dengan sederhana. Hal ini dilihat dari bentuk rumah masyarakat yang masih sederhana dan aktivitas mandi dan menyuci yang masih dilakukan di sungai.

Sekilas kondisi ekonomi masyarakat desa Suka Dame berada dalam ekonomi menegah ke bawah, walaupun demikian rata-rata masyarakatnya memiliki kemampuan untuk menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas). Namun masih banyak terdapat anak yang putus sekolah atau hanya


(17)

tamatan SD dan SMP. Hal ini disebabkan minat kaum muda untuk sekolah yang masih sangat rendah, dimana beberapa dari mereka lebih memilih menikah daripada bersekolah. Sehingga banyak ditemukan dari mereka terutama perempuan yang menikah di saat usia mereka masih belasan (di bawah umur 20 tahun) dan sudah mempunyai anak.

Di daerah ini, sebagian besar dari pernikahan yang pasangan perempuannya masih berada dalam usia sekolah sampai jenjang SMA, yaitu 19 tahun ke bawah. Hal ini didasari pada keinginan sendiri tanpa paksaan orang tua, yang artinya banyak dari mereka yang memilih menikah dari pada melanjutkan pendidikannya. Artinya rendahnya minat pendidikan juga berdampak pada pernikahan dini yang terjadi di masyarakat karo di desa Suka Dame, kecamatan Kutalimbaru.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Apa sajakah faktor-faktor yang mendorong laki-laki dan perempuan di Desa

Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang lebih memilih melakukan pernikahan dini?

2. Bagaimanakah sistem perkawinan “nangkih” dalam masyarakat etnis karo

khususnya yang terjadi di desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang?

3. Bagaimanakah makna nilai dan status sebuah pernikahan dini yang dilakukan secara “nangkih” bagi laki-laki dan perempuan etnis Karo di desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang?


(18)

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang ada, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendukung laki-laki dan

perempuan melakukan pernikahan dini di Desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang.

2. Untuk mengetahui secara mandalam bagaimana sistem perkawinan

“nangkih” pada masyarakat etnis karo di desa Suka Dame, kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang, karena banyak juga orang karo di daerah lain terutama di perkotaan yang tidak mengetahui betul dengan apa yang dimaksud dengan adat nangkih dalam masyarakat Karo.

3. Untuk mengetahui makna pernikahan secara “nangkih” bagi laki-laki dan

perempuan etnis karo yang telah melakukan pernikahan dini dan berkeluarga di desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang .

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan memberikan sumbangan pengetahuan serta informasi yang lebih jelas tentang “nangkih” dan makna pernikahan dini bagi masyarakat Keluarga etnis karo di desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru ini.

b. Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam menulis sebuah karya ilmiah. Selain itu, penelitian ini diharapkan


(19)

dapat bermanfaat sebagai referensi dan rujukan bagi peneliti lainnya yang ingin mengangkat topik penelitian yang sama dengan peneliti.

1.5 Defenisi Konsep

1. Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan pada usia yang sangat

muda atau masih di bawah umur. Menurut BKKBN, pernikahan seharusnya dilakukan di usia yang tepat atau ideal, dimana secara biologis, psikologis maupun sosial sudah matang, yaitu usia 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Batas usia pernikahan yang masih dikategorikan sebagai pernikahan dini di Indonesia dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan upaya penyelenggara keluarga berencana, dimana pernikahan hanya diijinkan jika pihak pria mencapai umur 21 tahun dan pihak perempuan umur 19 tahun, sehingga pernikahan dini menurut UU No. 10 Tahun 1992 adalah pernikahan yang dilakukan di bawah umur 19 tahun bagi perempuan dan 21 tahun bagi laki-laki.

Adapun menurut lembaga dunia WHO (2006), pernikahan dini atau kawin muda adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu pasangannya masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia di bawah 19 Tahun. Adapun pernikahan dini memiliki dampak yang sama pada remaja puteri dan putra, dimana dampak tersebut meliputi fisik, intelektual dan emosional. Remaja putra yang menikah akan mengalami hambatan dalam pendidikan mereka, kebebasan pribadi dan gangguan emosional ketika tidak siap menghadapi dunia pernikahan dengan bertambahnya tanggung jawab. Sedangkan dampak pernikahan dini bagi remaja putri lebih besar


(20)

karena beresiko saat melahirkan ketika keadaan fisik dan mental belum siap yang dapat berujung pada keguguran dan kematian (kristy, 2007).

Pernikahan dini merupakan fenomena yang juga terkait erat dengan nilai sosial budaya dan agama yang hidup dalam masyarakat. dalam Agama Islam, pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh (mimpi basah) bagi laki-laki atau belum mendapatkan menstruasi pertama bagi perempuan. artinya agama tidak meihat umur, dimana jika seseorang sudah baligh, maka ia sudah dapat menikah.

Adapun dalam penelitian ini konsep pernikahan dini yang dipakai adalah konsep pernikahan yang berlaku secara formal di Indonesia sesuai dengan UU perkawinan tentang batasan perkawinan 19 tahun untuk perempuan dan 21 tahun untuk laki-laki.

2. Nangkih ada pada masyarakat karo yang artinya laki-laki yang membawa lari perempuan yang menjadi idaman hati ke rumah keluarganya yaitu anak beru untuk segera dinikahkan. Nangkih dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang karena dilakukan disebabkan oleh adanya keinginan individual atau pasangan yang ingin menikah tetapi ditentang oleh kelompok masyarkat dalam hal ini keluarga karena dianggap tidak sesuai dengan harapan keluarga. Dimana nangkih dalam masyarakat karo menjadi jalan pintas mereka agar dapat segera melangsungkan pernikahan.

3. Pemaknaan atau makna adalah arti atau maksud yang tersimpul dari suatu

kata terhadap suatu obyek, baik fisik maupun abstrak. Makna berasal dari diri seseorang melalui penafsiran yang terbentuk dari adanya interaksi atau hubungan sosial, dimana makna terhadap suatu obyek tidaklah sama pada satu masyarakat dengan masyarakat lainnya (tidak bersifat universal).


(21)

Makna abstrak adalah makna yang tidak dapat dilihat berupa nilai, norma dan status. Nilai adalah suatu bagian penting dari kebudayaan. Nilai adalah sebuah konsep yang menunjuk kepada sesuatu yang dianggap berharga dalam kehidupan. Menurut Anthony Giddens (1994) nilai adalah gagasan-gagasan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok tentang apa yang dikehendaki, aa yang layak, dan apa yang baik dan buruk. Dimana nilai dapat berubah seiring dengan adanya waktu, bila dikaji dengan sudut pandang interaksionisme simbolik, perubahan nilai-nilai dalam masyarakat dimungkinkan karena berlangsungnya proses interaksi dalam masyarakat. Baik itu, interaksi antar anggota masyarakat atau dengan anggota masyarakat lainnya. Adapaun nilai yag ingin dilihat dalam penelitian ini adalah nilai sebuah pernikahan bagi kalangan masyarakat etnis karo baik laki-laki maupun perempuan yang melakukan pernikahan dini.

Status adalah posisi atau kedudukan seseorang dalam suatu kelompok masyarakat yang merupakan pencerminan hak dan kewajiban dalam tingkah laku manusia. Dimana seseorang yang sudah menikah akan mengalami perpindahan status baik itu untuk perempuan maupun laki-laki. Perpindahan status perempuan di mulai dari seorang anak yang berubah statusnya menjadi seorang istri dan bertambah statusnya menjadi seorang ibu ketik sdah memiliki anak, sedangkan laki-laki perpindahan statusnya dimulai dari seorang anak yang berubah statusnya menjadi seorang suami dan bertambahnya statusnya menjadi seorang ayah ketika memiliki anak. Seperti yang dikatakan sebelumnya perpindahan status ini dibarengi dengan perpindahan peran mereka sesuai dengan status yang mereka terima. Adapun peran paling menojol ketika seseorang sudah menikah adalah peran


(22)

perempuan sebagai istri dan ibu yang mengurusi urusan rumah tangga dan mengasuh anak dan perah laki-laki sebagai suami dan ayah yang bertugas mencari nafkah dan mendidik anak.

4. Keluarga adalah lembaga sosial paling kecil dan primer di dalam masyarakat, dimana keluarga dibagi atas dua yaitu: keluarga inti dan keluarga luas. Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang belum menikah. Sedangkan keluarga luas adalah keluarga yang terdiri dari beberapa keluarga inti. Seseorang mendapatkan ikatan keluarga melalui dua, yaitu ikatan darah dan ikatan perkawinan.

Ikatan perkawinan adalah ikatan yang dianggap suci atau sakral dimana ikatan ini akan membentuk atau membentuk satu keluarga inti baru yang akan mengikat tali persaudaraan diantara kedua keluarga luas mereka. Seorang anak akan lepas dari keluarga intinya ketika ia memutuskan untuk menikah dan membentuk keluarga inti yang baru. Dimana dalam penelitian ini yang mau diteliti adalah keluarga dan perkawinan pada masyarakat karo. Arti keluarga dan perkawinan dalam masyarakat karo sama seperti yang dijelaskan diatas hanya saja perbedaannyanya terletak dari adatnya atau budayanya dimana dalam masyarakat karo dikenal istilah perkawinan secara nangkih dan pesta adatnya (erdemu bayu).

1.6 Kerangka Teori

1.6.1 Interaksionisme Simbolik

George Herbert Mead (Ritzer, 2011:51) dalam interaksionisme simbolik mempelajari tindakan sosial suatu masyarakat dengan mempergunakan tehnik introspeksi untuk dapat mengetahui barang sesuatu yang melatarbelakangi (makna)


(23)

tindakan sosial itu dari sudut aktor. Mead melihat bahwa diri atau self menjalani internalisasi atau interpretasi subyektif atas realitas (obyektif) struktur yang lebih luas, dimana orang tak hanya menyadari orang lain tetapi juga mampu menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi secara simbolis dia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri, dimana interaksi dilakukan dengan bahasa ataupun isyarat.

Dalam interaksionisme simbolik terdapat tiga obyek pemaknaan (Margaret Poloma, 2000:257), yaitu:

1. obyek fisik seperti meja, tanaman, atau mobil; 2. obyek sosial seperti ibu, guru, atau teman;

3. dan obyek abstrak seperti nilai-nilai, hak atau peraturan.

Cara aktor atau individu melihat dan memaknai obyek-obyek yang ada menjadi suatu acuan bagaimana mereka bertindak. Adapun dalam penelitian ini mengarah pada obyek abstrak yaitu perkawinan atau pernikahan dini, dimana dengan teori interaksionisme simbolik akan dikaji hal yang melatar belakangi tindakan remaja yang memilih melakukan perkawinan atau pernikahan dini di usia mereka yang masih sangat muda. Pemaknaan ataupun simbol-simbol yang ada tidak bersifat universal atau sama di setiap masyarakat semua bergantung bagaimana individu itu memaknai obyek-obyek yang ada melalui interaksi, dimana manusia sebagai aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan, dan mentransformir makna dalam hubungannya dengan situasi dimana dia ditempatkan dan arah tindakannya.

Adapun Blumer melihat bahwa teori interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga premis, yaitu:


(24)

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada

pada sesuatu itu bagi mereka.

2. Makna tersebut berasal dari interaksi seseorang dengan orang lain.

3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial

berlangsung.

Blumer menjelaskan bahwa pada dasarnya tindakan manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian kelakukan atas dasar bagaimana mereka menafsirkan hal tersebut. Hal-hal yang dipertimbangkan itu mencakup berbagai masalah seperti keinginan dan kemauan, tujuan dan sarana tersedia untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari orang lain dan gambaran tentang diri sendiri. Masyarakat sebagai interaksionisme simbolik terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian (self) mereka sendiri (yakni membuat indikasi untuk diri mereka sendiri). Tindakan individu merupakan suatu konstruksi yang keberadaannya dibangun oleh individu melalui catatan dan penafsiran situasi dimana dia bertindak, sehingga kelompok atau tindakan kolektif terdiri dari beberapa susunan ataupun kumpulan tindakan beberapa individu yang disebabkan oleh penafsiran individu atau pertimbangan individu terhadap tindakan lainnya.

Artinya Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna,


(25)

selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi. Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:

1. Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang

mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain, 2. Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari

penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya, dan

3. Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan,

dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.

I.6.2 Penyimpangan atau Nonkonfromitas

Penyimpangan mengacu pada perilaku, cara-cara bertindak, sikap, keyakinan, dan gaya yang melanggar norma-norma, aturan, etika dan harapan masyarakat. Masyarakat telah berusaha agar setiap anggota masyarakatnya berperilaku sesuai dengan harapan masyarakat, namun dalam tiap masyarakat ditemukan adanya anggota masyarakat melakukan penyimpangan atau nonkonformitas.

Menurut para ahli sosiologi, penyimpangan bukan sesuatu yang melekat pada bentuk perilaku tertentu, melainkan diberi ciri melalui defenisi sosial. Defenisi tersebut dapat bersumber pada kelompok yang berkuasa dalam masyarakat atau pun masyarakat umum. Untuk menjelaskan penentuan penyimpangan melalui defenisi


(26)

sosial dalam dilihat dari siyuasi-situasinya, dimana tercela tidaknya suatu perbuatan tidak melekat pada perbuatan itu sendiri, melainkan tergantung pada defenisi sosial. Contohnya, seseorang laki-laki dianggap melakukan penyimpangan bilamana ia datang ke pesta ulang tahun dengan memakai baju renang, sedangkan busana demikian dianggap wajar dipakai di kolam renang tetapi ketia pesta ulang tahunnya di bertema renang dan diadakan di kolam renang atau tempat yang banyak airnya maka laki-laki tersebut dianggap tidak menyimpang. Sama hal nya terkait dengan penelitian yang akan diteliti, yaitu sebuah pernikahan dianggap tidak menyimpang bila pernikahan ini dilakukan dengan izin dan restu dari orang tua ke dua belah pihak tetapi pernikahan dianggap menyimpang apabila pernikahan tersebut dilakukan tanpa mendapat restu dari orang tua, dimana terjadi karena tindakan individu itu dianggap tidak sesuai dengan harapan dari kelompok atau masyarakat di sekitarnya.

Merton mengindentifikasi lima tipe cara adaptasi individu terhadap situasi tertentu, dimana tiga dari lima perilaku peran dalam menghadapi situasi tersebut merupakan perilaku menyimpang, yaitu:

1. Inovasi atau innovation merupakan cara dimana perilaku mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat (harapan) tetapi memakai cara yang dilarang atau tidak dibenarkan oleh masyarakat.

2. Ritualisme merupakan kebalikan dari inovasi dimana perilaku tidak

mengikuti tujuan yang ditentukan oleh masyarakat (harapan) tetapi memakai cara yang dibenarkan oleh masyarakat secara adat.

3. Retreatisme merupakan perilaku tidak mengikuti tujuan yang ditentukan

oleh masyarakat (harapan) dan juga memakai cara yang dilarang atau tidak dibenarkan oleh masyarakat.


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pernikahan Dini dan Penyebabnya

Dalam penelitian pernikahan dini, pelaku yang berperan adalah remaja yang baru atau telah menikah dan mereka yang sekarang sudah dikategorikan dewasa tetapi dulunya menikah di usia dini saat masih remaja. Selain itu yang menjadi objek penelitian adalah orang tua karena peran orang tua penting dalam mencegah dan mendukung pernikahan dini pada anak. Seperti penelitian Umi Sambulah dan Faridatul (2012) yang menemukan sebab-sebab pernikahan dini dalam masyarakat, yaitu: pertama, adanya kekhawatiran orang tua terhadap perilaku anak. Dimana orang tua akan segera menjodohkan ataupun menikahkan anaknya terutama perempuan jika sudah menginjak besar (sudah haid). Hal ini dikarenakan adanya ketakutan orang tua apabila anaknya menjadi perawan tua dan ketakutan apabila anaknya melakukan hal-hal yang dapat mencemari nama baik keluarga. Kedua, kesiapan diri. Dimana adanya perasaan mandiri yang ditandai dengan sudah bisa mencari uang sendiri dan pengaruh dari berbagai film atau media yang lain menjadi pendorong pasangan melakukan pernikahan dini.

Ketiga, mengurangi beban ekonomi keluarga. Dimana adanya kondisi ekonomi keluarga kurang mampu menyebabkan orang tua menikahkan anaknya pada usia muda karena beban keluarga akan berkurang satu, dimana anak yang sudah menikah akan menjadi tanggung jawab suaminya. Selain itu, anak yang sudah menikah diharapkan dapat membantu kehidupan orang tuanya. Keempat, rendahnya kesadaran terhadap pentingnya pendidikan. Dimana orang tua yang berpendidikan SD tidak mengetahui akibat dari pernikahan muda karena memiliki pola pikir yang


(28)

sempit sehingga jika ada yang menyukai anaknya langsung dinikahkan terutama bagi anak perempuannya.

Hal ini didukung penelitian sebelumnya, Suryaningrum (2009) yang menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status ekonomi keluarga, pendidikan orang tua dan perkerjaannya terhadap anak-anak yang dinikahkan lebih dini. Dimana semakin rendah status ekonomi keluarga, pendidikan orang tua, dan pekerjaannya maka semakin tinggi tingkat anak-anak yang dinikahkan pada usia dini. Namun sebaliknya, semakin tinggi tingkat status ekonomi keluarga, pendidikan orangtua dan pekerjaannya maka semakin rendah tingkat anak-anak yang dinikahkan pada usia dini. Artinya penyebab utama pernikahan dini dalam masyarakat memiliki hubungan yang signifikan dengan status ekonomi keluarga, pekerjaan dan pendidikan orang tua yang rendah.

Adapun penelitian Juspin Landung, dkk (2009) juga menemukan selain penyebab yang diutarakan peneliti lain, salah satu penyebab pernikahan dini atau perkawinan di usia muda adalah adanya pola pengasuhan orang tua yang tidak demokratis kepada anak sehingga anak tidak memiliki keleluasaan untuk dapat menentukan pilihan terbaik bagi dirinya. Dimana anak saat menginjak usia remaja melakukan pernikahan dini dengan dorongan untuk melepaskan diri atau terbebas dari pengaruh orang tua.

Hal ini dari berbagai penelitian menemukan adanya kesalahan atau kekurangan pahaman orang tua tentang masa remaja dan dewasa, dimana orang tua yang tidak menganggap penting masalah usia anak yang dinikahkan, yang terpenting sudah aqil (baliq), yaitu menstruasi bagi perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki. Dimana kebanyakan masyarakat menganggap aqil (baliq) merupakan tanda seseorang sudah


(29)

dewasa baik bagi perempuan maupun laki-laki. Padahal aqil (baliq) bukanlah tanda seseorang sudah dewasa tetapi tanda seseorang memasuki masa remaja atau transisi.

Adapun anggapan masyarakat ini muncul dari adanya perspektif agama yang tidak membatasi usia seseorang untuk menikah, misalnya agama Islam yang dalam perspektif hukumnya mengatakan bahwa pernikahan yang dilakukan pada usia remaja atau muda, bukan usia tua hukumnya sunnah atau mandub, karena tidak ada alasan menunda-nunda pernikahan selama tetap melangkah dengan iringan niat tulus melaksanakan syariat Islam (Dwi Rifiani, 2011).

2.2 Pernikahan Dini dan Disfungsinya dalam Keluarga

Dalam beberapa penelitian sebelumnya, pernikahan dini dikatakan mampu membantu ikatan suci dalam membentuk keluarga harmoni, dimana beberapa peneliti menyakini bahwa pernikahan dini masih berfungsi dalam membangun ikatan suci dan harmoni, seperti yang diungkapkan Sawardi (2009) dalam penelitiannya yang menemukan bahwa pernikahan dini mampu membantu ikatan suci keluarga karena mampu membangun rasa setia dan keberkahan yang di pancarkan setelah terjadi jalinan pernikahan. Hal senada juga ditemukan oleh Rofidah, dkk (2009), yang dalam penelitian mereka mendapati bahwa pernikahan dini terbukti dapat menciptakan sikap arif terdapat pasangan nikah yang ditunjukkan sikap menerima keadaan akan tingkat pendidikan, tingkat pekerjaan dan keadaan ekonomi. Pasangan nikah muda mampu menerima segala kondisi pasangannya sehingga terbentuk keluarga yang harmonis.

Namun, tidak semua pernikahan dini berjalan dengan harmonis, dimana banyak kritikan yang ditempatkan pada mereka yang menikah di usia dini. Beberapa penelitian menemukan kebalikan dari penemuan pertama, yaitu bahwa


(30)

pernikahan dini mampu meruntuhkan ikatan suci berkeluarga. Disfungsi pernikahan dini telah terbukti dengan ditemukannya keluarga yang berantakan dalam menjalani tatanan yang harmoni. Keluarga yang tidak harmoni akan merujuk pada keluarga yang broken home, dimana fungsi dari terbentuknya sebuah keluarga melalui pernikahan atau perkawinan tidak dapat berjalan sesuai fungsinya. Adapun fungsi-fungsi dari sebuah keluarga dari pernikahan dini yang tidak terpenuhi hingga sulit membentuk keluarga harmonis adalah sebagai berikut:

a. Fungsi ekonomi, dimana mereka yang menikah dini cenderung berada

dalam ekonomi menengah ke bawah (miskin) sehingga sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara materi. Seperti yang diungkapkan Ardhikari (1996) dalam penelitiannya, yang menemukan bahwa pernikahan dini cenderung melahirkan kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan seseorang untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan seseorang itu dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Hal inilah yang terjadi pada pasangan pernikahan dini, dimana mereka yang merupakan pasangan nikah dini atau muda cenderung merupakan orang yang tidak terpelajar dan tidak terlatih, sehingga tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang layak. Akibatnya kebanyakan dari mereka berkerja sebagai buruh, pemulung, penggali pasir dengan pendapatan yang rendah dan hidup dalam keterbatasan ekonomi.


(31)

b. Fungsi sosialisasi dan afeksi, dimana keluarga merupakan tempat pertama anak bersosialisasi dan menerima afeksi atau kasih sayang dari orang tuanya. Mereka yang menikah di usia muda cenderung susah untuk menjaga dan memelihara anak-anaknya seperti orang tua yang menikah di usia dewasa atau matang karena mereka sendiri cenderung berada dalam posisi yang masih labil secara psikisnya, sehingga dalam adat, banyak masyarakat yang telah meninggalkan tradisi menikah di usia muda. Seperti penelitian Pasaribu (2009) yang menyimpulkan terjadi banyak pasangan nikah yang meninggalkan tradisi pernikahan dini dengan alasan karena berbuah pada rumitnya menjalin hubungan yang harmoni. Dimana Pasaribu menemukan bahwa sekarang calon pasangan lebih suka melestarikan adat perkawinan lain yaitu menikah pada usia diatas batas yang telah mentradisi. Artinya masyarakat suku Pakpak Kelasen mulai menyadari bahwa menikah di usia dini memberikan resiko yang lebih besar tertutama dalam menjaga keharmonisan rumah tangga karena cenderung mereka yang menikah usia muda berada pada masa yang labil sehingga mereka mulai meninggalkan tradisi pernikahan dini. Zuklifi (2011) juga menemukan bahwa masyarakat yang melakukan pernikahan usia dini setelah menjalani kehidupan rumah tangga sulit untuk memberikan sosialisasi nilai dan norma keluarga dan masyarkat karena mereka sendiri menghadapi permasalahan seperti stress dan mudah marah yang sering memicu terjadinya konflik. Stress di sini terjadi karena emosi mereka yang masih labil dikarenakan adanya sikap egois yang masih tinggi dan adanya pemikiran yang belum matang atau dewasa dalam menghadapi segala permasalahan bahtera rumah tangga terutama dalam permasalahan


(32)

penyesuaian karakter masing-masing dan komunikasi, sehingga mereka terutama perempuan yang menikah dini sering mengalami gangguan pada kesehatan psikologisnya, dimana mereka yang labil dan menjadi stress.

c. Fungsi reproduksi dan keturunan, dimana sebuah keluarga dibentuk

sebagai tempat melepaskan hawa nafsu dan menghasilkan anak sebagai penerus keturunan dalam keluarga. Namun pada mereka yang menikah muda, untuk alat reproduksi dan kehamilan bagi perempuan cenderung beresiko lebih besar dibandingkan mereka yang menikah di usia yang sudang matang. pernikahan dini bagi perempuan sangat perlu diperhatikan, karena perempuan yang masih dalam pertumbuhan biasanya baik secara fisik maupun biologis belum cukup matang untuk memiliki anak sehingga rentan menyebabkan kematian anak dan ibu pada saat melahirkan. Selain itu, perempuan dengan usia kurang dari 20 tahun yang menjalani kehamilan sering mengalami kekurangan gizi dan anemia. Gejala ini berkaitan dengan distribusi makanan yang tidak merata, antara janin dan ibu yang masih dalam tahap proses pertumbuhan (Noveri Aisyaroh, 2010). Hal ini juga diungkapkan Shawaky dan Milaat (2000) dalam penelitiannya yang menemukan bahwa pernikahan dini bukan hanya menciptakan status buruh, tetapi juga keguguran saat kehamilan, hingga kematian janin dan kematian bayi. Banyak pasangan yang menikah muda terpaksa bekerja sebagai buruh untuk menghidupi keluarganya baik itu buruh tani atau pun buruh pabrik. Hal ini disebabkan tingkat pendidikan para pasangan pernikahan dini rendah sehingga sulit mencari perkerjaan yang lebih baik. Kehamilan usia muda dan kemiskinan menjadi pemicu tingginya tingkat keguguran dan kematian bayi dan ibu hamil. Hal ini dikarenakan secara


(33)

biologis organ produksi belum siap untuk melahirkan dan secara ekonomi pasangan pernikahan dini tidak memiliki biaya sehingga sulit untuk mencukupi gizi anak dan ibu hamil serta sulit untuk membiayai prosesi kelahiran ibu di rumah sakit.

2.3 Pernikahan Dini Sebagai Media Peraih Kuasa dan Simbol Kemuliaan

Suhadi mengatakan beberapa penelitian menemukan bahwa pernikahan dini adalah media peraih kuasa, dimana pernikahan dini terjadi karena pergulatan akan kekuasaan dan pengendalian peran. Seperti penelitian Muda (2008) yang menegaskan bahwa fenomena pernikahan dini bukanlah pilihan pasangan pengantin. Muda lebih fokus pada kajiannya tentang pergulatan dalam mendapatkan status sosial di suatu sistem sosial ketika terjadi pernikahan dini. Menurut Muda, anggota masyarakat yang memiliki akses untuk mendapatkan status sosial, cenderung segera melakukan pernikahan dini. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki relasi dan status sosial dalam sistem sosial cenderung menunda dengan berbagai alasan dan syarat yang rumit, seperti meminta untuk dibawakan barang mahal seperti emas, perak, perhiasan, ternak dan sebagainya sebagai alat pertukaran anggota mereka yang akan melangsungkan pernikahan dini (mahar). Dimana keluarga wanita akan melihat calon besan atau menantunya. jika merupakan orang penting atau terhormat di dalam masyarakat yang memiliki relasi dan status sosial yang tinggi maka mereka akan mengizinkan anaknya menikah dini dengan tujuan agar dapat menaikkan statusnya dalam masyarakat dan meraih kekuasaan dari relasi besannya yang kuat.

Dalam penelitian Wardhany (2009) juga menemukan bahwa kekuasaan sebagai kado spesial saat menikahi perempuan di bawah umur, dimana dengan menikah seseorang akan mendapat peran yang lebih dibanding peranan mereka


(34)

sebelum menikah. Adapun Wardhany menemukan bahwa kekuasaan tersebut di dapat oleh laki-laki dimana tanda-tanda kekuasaan pada saat menikah yaitu: berprilaku agresif, berkepuasan, bebas meluap rasa jengkel, selalu menang sendiri, rasa menekan, dan luapan kemarahan. Perempuan sebagai pihak yang tidak mendapatkan kekuasaan selalu berada di bawah dan di tindas oleh laki-laki sehingga tidak jarang pernikahan dini menciptakan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) kepada pihak perempuan dan anak.

Pernikahan dini memiliki relasi dengan kekuasaan juga dapat dilihat dalam temuan Suhadi dengan penelitiannya pada masyarakat Baduy (2010) yang menemukan bahwa masyarakat baduy hanya melakukan pernikahan endogami dan menghindari pernikahan eksogami. Hal ini dikarenakan mereka yang melakukan pernikahan eksogami akan kehilangan kekuasaan secara adat, dimana mereka harus keluar dari mandala atau dilarang memasuki lagi daerah mandala (kawasan yang dianggap suci) dan kehilangan hak sosial dan budaya istimewa prihal pemilikan tanah adat, rumah dan upaca ritus hidup yang mampu menumbuhkan emosi, moral, hingga ilmu kekebalan fisik. Akibatnya tidak diperbolehkan perkawinan eksogami, banyak penduduk Baduy yang melakukan pernikahan dini untuk menjaga persatuan dan tali persaudaraan agar tidak dapat diganggu oleh orang dari suku luar dan untuk meneruskan garis keturunan masyarakat Baduy.

Selain hal yang telah diungkapkan di atas, pernikahan dini juga dianggap sebagai simbol kemuliaan seperti penelitian Leleury (2010) tentang reproduksi kemuliaan sebagai defenisi akan ritual perkawinan, dimana Leleury dalam penelitiannya tentang kewajiban perkawinan levirat menyimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah menghasilkan keturunan untuk meneruskan nama dari orang


(35)

yang telah meninggal sehingga namanya tidak hilang. Pernikahan ini juga berperan melanjutkan hak waris atau harta milik keluarga yang telah meninggal. Dengan demikian, pernikahan akan secepatnya dilakukan jika ada keinginan untuk mendapatkan keberlangsungan status sosial sebagai simbol.

2.4 Pernikahan Dini Sebagai Penghambat Pembangunan

Pertumbuhan penduduk yang tinggi mempersulit usaha dan pemerataan kesejahteraan rakyat di bidang pangan, lapangan perkerjaan, pendidikan, kesehatan, dan perumahan, karena semakin tinggi pertumbuhan penduduk semakin besar usaha yang dibutuhkan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan rakyat. Selain itu, suatu negara dapat dikatakan sebagai negara maju dengan pembangunan yang baik dapat dilihat dari tingkat angka harapan hidupnya ysng tinggi. Angka harapan hidup dapat dilihat dari tingkat kematian bayi yang rendah. Kartomo (1986) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara pendidikan dan fertilitas perempuan menemukan bahwa semakin tinggi pendidikan seorang perempuan maka semakin sedikitlah mereka melahirkan anak. Dimana keranga analisa dari kartomo adalah sebagai berikut:

Pendidikan wanita Peubah antara lainnya Fertilitas

Umur perkawinan

Kota/pedesaan Kohor Umur

Wanita (diagram A)

Dalam diagram ini Kartomo menggambarkan bahwa pendidikan mempengaruhi fertilitas melalui umur perkawinan dan peubah antara lainnya.


(36)

Pendidikan, umur perkawinan dan peubah-peubah antara fertilitas dan pola perkawinan antara peubah-ubah ini dipengaruhi oleh kohor umur wanita dan juga daerah tempat tinggalnya, kota atau pedesaan. Adapun kohor umur wanita berkaitan dengan norma dalam masyarakat mengenai umur sewajarnya seorang wanita menikah dan memperoleh pendidikan Dimana menurut Kartomo adanya pengaruh signifikan antara pendidikan wanita dengan umur perkawinan dan jumlah kelahiran anaknya. Perempuan yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA akan memiliki anak yang lebih sedikit dibandingkan mereka yang menikah di usia SD, dan mereka yang menikah setelah tamat SMA cenderung menikah di usia matang dan mencicipi dunia perkerjaan terlebih dahulu. Sedangkan mereka yang menikah di usia dini merupakan mereka yang cenderung hanya tamatan SD dan SMP. Dimana usia perkawinan pertama merupakan faktor penting yang mempengaruhi fertilitas atau kelahiran.

Adapun pernikahan dini dikatakan sebagai pengambat dari suatu pembangunan karena pembangunan akan sulit berkembang jika pertumbuhan penduduknya tidak dibarengi dengan pertumbuhan ekonominya, dimana pertumbuhan penduduknya yang tinggi namun pertumbuhan ekonominya masih rendah. Salah satu faktor pendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah dengan pendidikan. Pendidikan mampu membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan bersaing cepat dalam usia kerja. Namun seperti temuan Kartomo (1986) dan Umi Sambullah (2011) bahwa mereka yang menikah di usia dini terutama perempuan adalah mereka yang berpendidikan rendah sehingga pertubuhan ekonomi masyarakatnya juga rendah, sedangkan tingkat pertumbuhannya tinggi dimana perempuan menikah di usia subur sehingga kemungkinan hamil dan melahirkan anak lebih banya dari mereka yang menikah di usia dewasa.


(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode yang dimaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain sebagainya secara holistik dan dengan menggunakan pendekatan deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Maleong, 2006:6). Adapun pendekatan kualitatif yang akan dilakukan, digunakan untuk menggambarkan bagaimana makna pernikahan usia dini bagi masyarakat terutama bagi mereka yang melakukan pernikahan tersebut dan makna nangkih bagi masyarakat etnis karo di kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang.

3.2 Lokasi Penelitian

Kecamatan Kutalimbaru merupakan wilayah yang termasuk bagian dari Kabupaten Deli Serdang yang terdiri dari empat belas desa, yaitu desa Kuala Laubicik, desa kutalimbaru, desa lau bakeri, desa Namo mirik, desa Namo Rambe Julu, desa Pasar X, desa Perpanden, desa Sampe Cita, desa Sawit Rejo, desa Sei Mericim, desa Silebo-lebo, desa Suka Dame, desa Suka Makmur dan desa Suka Rende. Dimana beberapa desa ini, desa yang dipilih menjadi tempat lokasi penelitian adalah desa Suka Dame, sama dengan desa lainnya, desa Suka Dame terdiri dari


(38)

beberapa dusun atau kampung yang dipimpin oleh satu kepala dusun di setiap dusunnya dan satu kepala desa di setiap desa.

Jumlah penduduknya di Kecamatan Kutalimbaru adalah 35.807 jiwa dengan luas wilayah kurang lebih 33.138 ha yang dimana 70% berupa daratan yang bertopografi berupa bukit-bukit yang banyak dijadikan masyarakat sebagai lahan untuk berladang, bersawah dan berkebun. Sehingga mayoritas masyarakatnya berkerja sebagai petani, dimana tanaman yang ditanam masyarakat berupa kelapa sawit, cokelat, kopi, kelapa, durian, langsat, rambutan, papaya, manggis, dan beberapa jenis sayuran serta padi dan jagung. Adapun jumlah penduduk desa Suka Dame adalah 2.360, dengan laki-laki 1.204 orang dan perempuan 1.156 orang dan luas wilayah adalah 2.367 ha. Dimana sebagian besar dari mereka bekerja di sektor non formal seperti buruh bangunan, buruh tani, petani sawah dan sebagainya sehingga secara profesinya masyarkat dikategorikan masyarakat yang berada pada kelas ekonomi menengah ke bawah.

Adapun masyarakat di Suka Dame adalah masyarakat yang heterogen dan berasal dari berbagai daerah yang berbeda-beda, dimana mayoritas penduduknya berasal dari provinsi Sumatera Utara sehingga tradisi-tradisi musyawarah untuk mufakat, gotong royong dan kearifan lokal yang lain sudah dilakukan masyarakat dan hal tersebut secara efektif dapat menghindarkan adanya benturan-benturan antar kelompok masyarakat. Mayoritas masyarakatnya yang berasal dari provinsi Sumatera Utara adalah masyarakat etnis Karo. Dimana etnis Karo termasuk ke dalam lima sub Batak, dimana sama dengan suku Batak lainnya, masyarakat Karo menganut sistem patrilineal sehingga garis keturunan diambil dari Laki-laki (ayah). Merga menjadi satu identitas masyarakat Karo yang unik dan merupakan hal yang


(39)

utama. Dalam setiap perkenalan dalam masyarakat Karo terlebih dulu di menanyakan Merga atau beru nya yang dilanjutkan dengan namanya.

Dari penjelasan singkat di atas adapun alasan pemilihan lokasi penelitian di desa ini, yaitu:

1. Karena mayoritas masyarakatnya yang bersuku Karo sehingga dapat dikaji

pernikahan secara nangkih, karena nangkih merupakan bagian dari adat perkawinan yang hanya terdapat di suku Karo.

2. Karena di tempat ini banyak ditemukan masyarakatnya yang menikah di usia

muda di bawah umur ideal menurut BKKBN yaitu 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki bahkan beberapa diantara masyarakatnya masih dapat ditemukan mereka yang menikah di usia dini yaitu 19 tahun ke bawah untuk perempuan dan 21 tahun kebawah untuk laki-laki.

3.2.1Gambaran Umum Masyarakat dan Desa Suka Dame

3.2.1.1 Sejarah Desa

Desa Suka Dame adalah nama satu wilayah di Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang ini yang menurut beberapa tokoh masyarakat suka Dame, dikenal karena Desa Suka Dame mempunyai wilayah yang luas dan dulunya merupakan tempat perlindungan laskar melawan penjajahan Belanda.

Desa Suka Dame dulunya di kenal dengan nama Luning yang pada saat itu dipimpin oleh seorang kepala Kampong (simanteki kuta) Ngejin Gurusinga (1944-1951). Pada saat kepemimpinan Ngejin Gurusinga penduduk di kampung Luning berkisar 35 Rumah Tangga, yang konon katanya lebih banyak mengungsi daripada bercocok tanam, akibat karena masih ada penjajahan di seputar kampong Luning.


(40)

Pada tahun 1951 Kepala Kampung Ngejin Gurusinga wafat dan kampung Luning pada saat itu digantikan oleh Tahan Keliat, sewaktu kepemimpinan kepala kampung Tahan Keliat kampung Luning berpindah tempat dan berubah nama dari Kampung Luning menjadi Desa Suka Dame. Dua tahun kepemimpinan marga Keliat di Desa Suka Dame masyarakat itu kebanyakan berpenghasilan pertanian dan membuat Gula Merahdari pohon Aren.

Pada tahun 1954 terjadi pemindahan kepala kampung dari marga keliat ke Bapak Ngikut Sinulingga. Oleh karena marga perangin-angin lanjut usia. Pada saat kepemimpinan Bapak Ngikut Sinulingga, masyarakat di Desa Suka Dame tidak memiliki percobaan cara pertanian. Setelah itu digantikan oleh bapak Alam Tarigan Sibero pada tahun 1966. Setelah itu digantikan oleh Bapak Meja Ginting selama menjabat maka digantikan oleh Bapak Layasi atau Mesti Sinulingga pada tahun 1985, dan tahun 2003 digantikan oleh Bapak Doanta Sinulingga sampai sekarang.

Tabel 3.1

Sejarah Perkembangan desa

Tahun Kejadian Yang Baik Kejadian Yang Buruk

1944 Simantek Kuta (pendiri desa)

yang bernama Ngejin Gurusinga menjadi kepala Desa pertama

Penjajahan Jepang

1946-1951 Dibentuk tempat pelatihan

masyarakat samacam sekolah SD (3lokal) yang pembinaannya dari transmigrasi sendiri. Yang berlanjut pada Pembangunan Rumah sekolah SD

Kurangnya tenaga

pengajar dan fasilitas

sekolah

1952-1984 Pembangunan Jambur (tempat

diadakan acara adat dan musyawarah masyarakat)

Salah pembangunan ada jambur yang terlalu tinggi dan ada jambur yang terlalu rendah

1985 Pembangunan PUSKESDES

(puskesmas Kesehatan Desa)

Kurangnya Tenaga Medis yang Profesional

1987 Pembanguna Kantor Desa


(41)

3.2.1.2Demografi

Desa Suka Dame terletak di dalam wilayah Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara yang berbatasan dengan:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kwala Lau Bicik Kecamatan

Kutalimbaru dan Desa Salam Tani Kecamatan Pancur Batu

- Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Tanjung Beringin Kecamatan

Sibolangit

- Sebelah Timur berbatasan dengan kelurahan/desa Namo Riam, Desa

Sugau, Bintang meriah, Kecamatan Pancur batu dan Desa bingkawan/Buah Nabar Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desan Pasar X dan Desa Namo Mirik

Kecamatan Kutalimbaru Kabupatewn Deli Serdang

Luas wilayah Desa Suka Dame adalah 2.367 ha dimana 70% berupa daratan yang bertopografi berbukit-bukit, iklim Desa Suka Dame sebagaimana desa-desa lain di wilayah Indonesia mempunyai iklim kemarau dan penghujan, hal tersebut mempunyai pengaruh langsung terhadap pola tanam pada lahan pertanian yang ada di desa Suka Dame kecamatan Kutalimbaru.

3.2.1.3 Keadaan Sosial

Penduduk desa Suka dame berasal dari berbagai daerah yang berbeda-beda, dimana mayoritas penduduknya berasal dari provinsi Sumatera Utara sehingga tradisi-tradisi musyawarah untuk mufakat, gotong royong dan kearifan lokal yang lain sudah dilakukan masyarakat sejak adanya Desa Suka Dame dan hal tersebut


(42)

secara efektif dapat menghindarkan adanya benturan-benturan antar kelompok masyarakat. Desa Suka Dame mempunyai jumlah penduduk sebanyak 2.360 jiwa, yang terdiri dari laki-laki: 1.204 jiwa, perempuan: 1.156 jiwa dan terdapat dalam 662 KK yang terbagi dalam Sembilan wilayah dusun dengan perincian sebagai berikut

Tabel 3.2

Jumlah Penduduk Desa Suka Dame Dusun I Dusun II Dusun III Dusun IV Dusun V Dusun VI Dusu n VII Dusun VIII Dusun IX 837 orang 360 orang 115 orang 98 orang 256 orang 91 orang 272 orang 152 orang 179 orang

Tingkat pendidikan Masyarakat Desa Suka Dame dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 3.3

Pendidikan Di Desa Suka Dame Pra

Sekolah

SD SMP/SLTP SMA/SLTA Sarjana Pasca

Sarjana

70 orang 340 orang 450 orang 250 orang 20 orang 0 orang

Karena Desa Suka Dame merupakan desa pertanian maka sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, data selengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.


(43)

Tabel 3.4

Profesi/ Pekerjaan Masyarakat Suka Dame

Petani Pedagang PNS Buruh TNI Pegawai

Swasta

Tukang

425 KK 80 KK 107 KK 120 KK 5 KK 90 KK 2 KK

Penggunaan tanah di Desa Suka Dame sebagian besar di peruntukkan untuk tanah pertanian, sawah dan perkebunan. Sisanya untuk (tanah kering/ lahan tidur) yang merupakan bangunan dan fasilitas-fasilitas lainnya. Selain itu juga ada yang menggunakan lahan untuk tempat berternak, dimana hewan yang diternakkan adalah ayam, itik, kambing, sapi, kerbau, dan ikan.

Adapun jumlah kepemilikan hewan ternak oleh penduduk Desa Suka Dame kecamatan Kutalimbaru adalah sebagai berikut:

Tabel 3.5

Keluarga yang memiliki Ternak

Ayam/itik Kambing Sapi Kerbau Ikan

1 KK 4 KK 30 KK 20 KK 2 KK

Kondisi sarana dan prasarana umum desa Suka Dame secara garis besar jumlah sarana dan prasara yang ada sangat minim dan belum memadai untuk menunjang perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya. Dimana sarana untuk mendapatkan pendidikan sangat minim, dimana hanya tersedia dua sekolah Dasar (SD) dan tidak ada sekolah untuk Menengah Pertama (SMP) dan Menengah Atas (SMA).

Desa Suka Dame memiliki Sembilan balai desa dan satu kantor desa, dimana tempat ini menjadi tempat dimana roda pemerintahan dijalankan oleh kepala desa


(44)

beserta dengan Sembilan kepala dusunnya serta ada sembilan pos kamling untuk menjaga keamanan masyarakat yang di lakukan penjagaan secara bergantian. Selain itu, di desa ini juga ada satupuskesmas pembantu untuk pelayanan masyarakat desa akan kesehatan. Namun hal ini masih dianggap sangat kurang hanya terdapat di dusun satu yang sangat jauh jangkauanya untuk masyarakat dusun lain seperti dusun IX.

Adapun desa ini di aliiri oleh sungai, dimana masyarakatnya melakukan aktivitas seperti mandi, menyuci, dan lain-lain di sungai. Adapun sebagian besar masyarakat tidak memiliki kamar mandi dan MKS dimana mereka semua mengandalkan air sungai untuk aktivitas sehari-harinya. Selain itu masyarakat juga menggunakan air sungai untuk membuat kincir air sebagai pembangkit listrik, dimana di beberapa kampong mereka tidak memakai sumber listrik PLN tetapi memakai listrik dari kincir air pembangkit listrik untuk listrik rumah mereka. Adapun setiap penduduk dikenakan biaya Rp. 25.000,00 per bulannya di setiap rumah.

Secara tripologi pemukiman masyarakat di desa Suka Dame terbagi atas dua yaitu yang pertama masyarakat desa membuat permukiman di pinggir jalan, yang artinya mengikuti jalan desa dimana masyarakatnya membagun desa tepat di pinggir jalan dan rumahnya berhadapan, dimana sama-sama menghadap jalan seperti yang ada di dusun I, II, III, dan V dimana semua rumah berada di pinggir jalan. Adapun jalan di desa ini terbagi dua dimana ada jalan Koral (sudah diaspal) sebanyak tiga buah dan jalan yang masih berbentuk tanah sebanyak lima buah. Beberapa masyarakat lainnya seperti dusun IV, VIII, dan IX di desa Suka Dame ini tinggal dengan tripologi permukiman bersama yang dimana masyarakatnya


(45)

berkumpul dan membentuk sebuah permukiman bersama yang ditengah-tengahnya dibangun sebuah los atau jambur untuk masyarakat jika melakukan kegiatan adat atau lainnya yang disebut juga dengan balai desa.

3.2.1.4Keadaan Ekonomi

Kondisi ekonomi masyarakat desa Suka dame secara kasat mata terlihat jelas perbedaannya antara Rumah Tangga yang berkategori miskin, sangat miskin, sedang dan kaya. Hal ini disebabkan karena mata pencahariannya di sektor usaha yang berbeda-beda. Dimana sebagian besar berada pada sector non formal seperti buruh bangunan, buruh tani, petani sawah dan sebagainya. Sedangkan sebagian kecilnya berada di sector formal seperti PNS, guru, Tenaga Medis, TNI/POLRI dan sebagainya.

3.2.1.5 Kondisi Pemerintahan Desa

Seperti yang dituliskan sebelumnya pembagian wilayah desa Sukadame ada Sembilan dusun, dimana masing-masing dusun tidak ada pembagian wilayah secara Khusus. Jadi setiap dusun mempunyai wilayah pertanian dan perkebunan. Adapun dari semua dusun yang menjadi pusat desa adalah dusun I (satu) dengan alasan Dusun ini lebih dekat dengan kota sehingga lebih padat penduduknya dibandingkan dengan dusum lainnya. Setiap dusun yang ada dipimpin oleh kepala dusun.Adapun desa Suka Dame dipimpin oleh 1 (satu) orang Kepala Desa yang dimana dalam menjalankan tugas, peranan dan kewajibannya, beliau di bantu oleh 1 (satu) orang

(1)

sumber data dan tabel berasal dari RPJM Desa Suka Dame kec. Kutamlimbaru, Kabupaten Deli Serdang tahun 2012-2013


(46)

seketaris desa, 1 (satu) orang bendahara desa, 3 (tiga) orang kepala seksi dan 9 (sembilan) orang kepala dusun. Dimana desa juga memiliki badan Pemusyawaratan Desa (BPD)yang diketuai oleh Bapak Darma.(1)

3.3 Unit analisis dan Informan 3.3.1. Unit Analisis

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 1999:22). Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah mereka yang melakukan pernikahan dini di desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang dan mereka yang mengerti dan mengetahui betul adat perkawinan “nangkih” dalam masyarakat Karo.

3.3.2 Informan

Informan adalah orang yang diwawancarai, dimana informan merupakan orang yang dianggap menguasai, dan memahami data, informasi, ataupun fakta-fakta dari suatu objek penelitian. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah:

1. Orang-orang yang menikah di usia dini yaitu di bawah batas usia 19 tahun untuk perempuan dan 21 tahun untuk laki-laki, dimana mereka yang menjadi informan maksimal usia pernikahannya adalah sepuluh tahun dan melakukan nangkih.

2. Orang-orang yang mengerti dan memahami betul tentang nangkih dalam


(47)

3.4 Tehnik Pengumpulan Data

Dalam proses pengumpulan data, peneliti akan menggunakan beberapa tehnik pengumpulan data agar mendapatkan kesesuaian penelitian dengan fokus dan kebutuhan peneliti dalam mengolah data dan informasi yang diperoleh nantinya.

Adapun tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yaitu data primer dan data sekunder.

3.4.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian di lapangan, dimana untuk mendapatkan data primer dilakukan melalui tiga cara atau metode, yaitu:

1. Observasi

Observasi adalah pengamatan secara langsung terhadap objek yang diteliti untuk mendapatkan gambaran yang tepat mengenai objek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti langsung mengamati langsung ke lapangan di Desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli serdang. Data yang diperoleh melalui observasi ini terdiri dari rincian tentang kegiatan, perilaku, tindakan orang secara keseluruhan interaksi personal dan proses penataan yang merupakan bagian dari pengalaman manusia yang dapat diamati.

Adapun dalam penelitian ini yang akan diobservasi adalah kegitan sehari-hari masyarakat karo di desa Suka Dame, kecamatan Kutalimbaru, tindakan beberapa orang anggota dari masyarakat yang menikah dini secara “nangkih”, keadaan atau lingkungan yang dapat mempengaruhi


(48)

mereka yang memilih menikah di usia muda atau dini, dimana hasil dari observasi ini kemudian akan dituangkan dalam catatan lapangan.

2. Wawancara mendalam

Wawancara merupakan salah satu elemen penting dalam proses penelititian, yaitu mengadakan tanya jawab langsung dengan informan di lokasi penelitian. Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan informasi (data), memperoleh keterangan, pendapat secara lisan dari informan dengan berbicara dengan orang tersebut. Dimana wawancara akan dilakukan secara mendalam agar mendapatkan informasi yang lebih rinci dan jelas terkait dengan apa yang akan diteliti, dimana hasil dari wawancara akan dituang ke dalam catatan lapangan dan laporan penelitian yang kemudian akan diinterpretasikan. Agar wawancara mendalam dapat dilakukan dengan baik dan lebih terarah maka dilakukan instrument berupa pedoman wawancara (interview Guide) yakni urutan-urutan daftar pertanyaan sebagai acuan bagi peneliti untuk memperoleh data yang diperlukan.

3. Kuesioner

Kuesioner merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan secara tidak langsung, dimana memakai instrumen atau alat pengumpulan datanya berupa selembaran angket yang berisikan beberapa pertanyaan yang akan diisikan oleh responden atau informan. Kartono (1996) dalam buku Arif, dkk (2008: 116) mengatakan bahwa kuesioner adalah batasan penyelidikan mengenai suatu masalah yang umumnya banyak menyangkut kepentingan umum, dilakukan dengan cara mengedarkan daftar pertanyaan berupa


(49)

formulir-formulir, diajukan tertulis kepada subjek untuk mendapatkan jawaban dan tanggapan tertulis seperlunya.

Adapun daftar kuesioner yang akan dibuat berisi tentang usia perkawinan, faktor-faktor pendukung terjadi perkawinan dini, alasan memilih menikah dengan cara nangkih, pendapatan, kesulitan yang dihadapi dan lain-lain. Hasil pertanyaan kuesioner tersebut nantinya akan ditabulasi ke dalam bentuk tabel sebagai data penunjang dalam penelitian ini.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari beberapa literatur diantaranya adalah buku-buku referensi, dokumen, majalah, jurnal, serta internet yang dianggap relevan dengan masalah yang ingin diteliti sehingga memudahkan bagi peneliti dalam menulis laporan penelitian.

3.5 Interpretasi Data

Pengolahan data dalam penelitian ini dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara, pengamatan (observasi) yang sudah dituliskan dalam cacatan lapangan, dokumen resmi, foto dan sebagainya. Setelah data tersebut dibaca, dipelajari, dan ditelaah maka langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi data dengan cara abstraksi. Abstraksi merupakan rangkuman yang terperinci dan merujuk ke inti temuan data dengan cara menelaah pernyataaan-pernyataan yang diperlukan sehingga tetap berada dalam fokus penelitian. Setelah itu, data tersebut disusun dan dikategorikan serta


(50)

diinterpretasikan secara kualitatif sesuai dengan metode penelitian yang telah ditetapkan.

3.6 Jadwal Kegiatan

No Kegiatan

Bulan Ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Observasi √

2 Acc Judul Penelitian √

3 Penyusunan Proposal Penelitian √ √ √ √

4 Seminar Desain Penelitian √

5 Revisi Proposal Penelitian √

6 Penelitian Lapangan √ √ √

7 Pengumpulan Data dan Interpretasi

Lapangan

√ √ √ √

8 Bimbingan √ √ √ √

9 Penulisan Laporan Akhir √ √ √


(51)

BAB IV

MENGENAL KONSEP “NANGKIH” PADA MASYARAKAT KARO

4.1Sistem Perkawinan dalam Masyarakat Karo

Masyarakat karo mengenal lima marga besar (merga silima) yaitu Sembiring, Tarigan, Ginting, Karo-Karo dan Perangin-angin, dimana dalam perkawinan tidak diperbolehkan orang Karo menikah dengan sesama marganya (dalam karo: turangnya) karena dianggap saudara sedarah sehingga dianggap tabu. Namun terkhusus marga Sembiring, sebagian dari mereka diperbolehkan menikah sesama marga sembiring, walaupun mendapat cibiran atau sindiran dari sebagian masyarakat karo.

Dalam buku Darwan Prinst (2004 : 75) lebih dijelaskan dua sistem perkawinan pada masyarakat Karo berdasarkan marga (merga), yaitu :

1) Sistem perkawinan pada merga Ginting, Karo-Karo, dan Tarigan.

Pada merga-merga ini berlaku sistem perkawinan eksogami murni, yaitu mereka yang berasal dari sub-merga Ginting, Karo-Karo, dan Tarigan dilarang menikah di dalam merga-nya sendiri, tetapi mereka diharuskan menikah dengan orang dari luar merga-nya. Misalnya antara Ginting dengan Karo-Karo, atau Ginting dengan Sembiring.

2) Sistem perkawinan pada merga Perangin-angin dan Sembiring

Sistem yang berlaku pada kedua merga ini adalah eleutherogami terbatas. Letak keterbatasannya adalah seorang dari merga tertentu Perangin-angin atau Sembiring diperbolehkan menikah dengan orang tertentu dari merga yang sama asal submarganya (lineagea) berbeda. Misalnya dalam merga Peranginangin, antara Bangun dan Sebayang atau Kuta Buluh dan


(1)

LAMPIRAN 4.

Interview Guide (Pedoman Wawancara)

a. Tokoh Agama, Tokoh Budaya dan Orang Tua

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Pendidikan :

Pekerjaan :

1. Sejak kapankah nangkih dalam masyarakat karo ada (sejarahnya)? 2. Pada umumnya mengapa seseorang melakukan nangkih?

3. Bagaimanakah praktek nangkih dalam masyarakat karo dari dulu sampai dengan sekarang?

4. Apakah setiap orang yang nangkih harus dilanjutkan ke pernikahan? Mengapa?

5. Bagaimana pandangan masayarakat karo terutama Anda tentang mereka yang melakukan nangkih?

6. Apa alasan kaum muda melakukan nangkih? Dan Apa alasan kaum tua menyetujui nangkih dalam masyarkat karo di desa ini?

7. Apakah orang yang melakukan nangkih dianggap sebagai perilaku yang menyimpang karena menikah tanpa meminta izin orang tua? Jika ia bagaimana yang seharusnya?

8. Apakah ada sanksi atau hukuman yang diberikan kepada orang yang melakukan nangkih dari orang tua atau keluarganya?

9. Beberapa temuan, di desa ini orang yang melakukan nangkih adalah orang yang melakukan pernikahan dini, apakah pernikahan dini (usia sekolah) pada orang Karo termasuk tabu? Alasannya?

10.Apakah faktor-faktor yang paling mendorong seseorang melakukan pernikahan dini di desa ini?

11.Apakah benar seseorang yang melakukan nangkih akan tetap diberkati di gereja dan di pesta adatkan? Mengapa?

12.Bagaimana proses yang dilakukan dari nangkih, diberkati sampai dipesta adatkannya?


(2)

13.Mayoritas masyarakat desa ini adalah orang Kristen, apakah dalam Kristen pernikahan dini itu juga disahkan (dilegalkan)? Mengapa?

b. Orang yang Menikah Dini dengan Cara Nangkih

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Pendidikan :

Pekerjaan :

1. Ketika saat itu Anda akan menikah, Bagaimana perasaan anda?

2. Apakah pada saat itu Anda sudah merasa siap untuk menempuh hidup baru dalam berumah tangga?

3. Menikah dengan cara nangkih apakah menjadi pilihan Anda?

4. Bagaimanakah peranan nangkih terhadap keberhasilan Anda untuk bersatu dan dapat menikah?

5. Anda yang menikah dengan cara nangkih terlebih dahulu, apakah Anda diberkati atau dipasu-pasu dalam gereja?

6. Anda yang menikah dengan cara nangkih, apakah ada keulitan yang anda rasakan dari pihak orang tua atau masyrakat sekitar Anda setelah Anda menikah?

7. Dalam kesioner sebelumnya, Anda menuliskan bahwa makna pernikahan bagi Anda adalah …….. , Apakah hal tersebut melatarbelakangi anda menikah dini atau ada faktor lain?

8. Apakah Anda puas terhadap pernikahan Anda setelah Anda menjalaninya sampai dengan sekarang?


(3)

LAMPIRAN 5.

Kuesioner

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Pendidikan :

pekerjaan :

Di bawah ini berisi beberapa pertanyaan yang dapat Anda jawab dengan memberikan tanda silang (><) sesuai dengan kebenarannya dan jika pilihan jawaban yang ada tidak sesuai dengan jawaban Anda, Anda dapat memilih lain-lain dan menuliskan jawaban Anda sendiri serta membuat alasannya. Adapun pertayaan ini bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk mengumpulkan informasi untuk penelitian skripsi saya. Sebelumnya atas kesediaan saudara/i Saya ucapkan terima kasih.

1. Pada umur berapakah Anda menikah dengan pasangan Anda?

a. 10-14 Tahun c. 20-24 Tahun e. diatas 30

Tahun

b. 15-19 Tahun d. 25-29 Tahun

2. Mengapa Anda memilih menikah di usia tersebut?

a. Karena sudah tidak sekolah d. kecelakaan (sudah berisi) b. Ingin atau sudah mandiri e. lain-lain: ………. c. Pengaruh teman

3. Berapa lamakah masa pengenalan atau pacaran yang Anda lalui sampai Anda memutuskan menikah dengan pasangan Anda?

a. Beberapa hari c. beberapa bulan e.

beberapa tahun


(4)

4. Apakah Anda melakukan nangkih untuk dapat menikah?

a. Ya b. Tidak

5. Apakah yang menjadi alasan anda melakukan nangkih? a. Karena sudah menemukan pria atau perempuan idaman b. Karena tidak direstui orang tua

c. Karena kecelakaan (sudah berisi) d. Karena ingin menikah muda

e. Lain-lain:………

6. Ketika orang tua Anda tahu bahwa Anda melakukan nangkih bagaimanakah reaksi mereka?

a. Terkejut c. Kecewa e. menangis

b. Marah d. Biasa saja

7. Bagaimana perasaan Anda saat bertemu pertama kali dengan orang tua setelah anda melakukan nangkih?

a. Takut c. sedih e. merasa menang

b. Merasa bersalah d. biasa saja Alasannya:…………

8. Biasanya seseorang yang melakukan nangkih karena tidak mendapat restu orang tua, apakah yang menjadi sebab orang tua Anda tidak setuju sehingga Anda melakukan nangkih?

a. Adanya perbedaan ekonomi keluarga b. Adanya perbedaan status dalam masyarakat

c. Karena masih sekolah dan terlalu muda untuk menikah d. Adanya perbedaan agama

e. Lain-lain:……….


(5)

a. Setuju c. kurang setuju e. Setuju sekali

b. Sangat setuju d. tidak setuju

Alasannya:…………..

10.Berapakah kira-kira pendapatan Anda dalam sebulan?

a. < Rp. 500ribu c. Rp. 1juta- Rp. 2juta e. > Rp. 3juta b. Rp. 500ribu- Rp. 1juta d. RP. 2juta- Rp. 3juta

11.Apakah pendapatan Anda cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga?

a. Cukup c. tidak cukup e. berlebih/ lebih dari cukup

b. Pas-pasan d. sangat tidak cukup

12.Apakah Anda Sering berantam dengan pasangan Anda, (jika difrekuensikan dalam sebulan berapa kali Anda berantam dengan pasangan Anda)?

a. Tidak pernah (0x /bulan) d. sangat sering (11-20x /bulan) b. Jarang (1-3x /bulan) e. hampir setiap hari (20-30x /bulan) c. Sering (4-10x /bulan)

13.Apa permasalahan yang paling sering membuat Anda berantam dengan pasangan Anda?

a. Kebutuhan ekonomi d. adanya campur tangan orang tua

b. Komunikasi antar pasangan e. lain-lain: ………

c. Mengasuh anak

14.Ketika terjadi permasalahan hingga berujung ke percecokan dengan pasangan Anda, apa yang akan Anda lakukan (solusi)?

a. Mengalah kepada pasangan d. minggat dari rumah

b. Mencoba menyelesaikannya bersama e. lain-lain:……… c. Mengadu kepada teman atau saudara


(6)

15.Setelah Anda menjalani pernikahan, apakah rumah tangga Anda termasuk harmonis atau tidak?

a. Sangat harmonis c. kurang harmonis e. sangat tidak harmonis

b. Harmonis d. tidak harmonis

Alasannya: ………..

16.Apakah ketika Anda menikah adakah ada perasaan menyesal dalam diri Anda karena memilih menikah muda?

a. Sering b. tidak pernah c. kadang-kadang

Alasannya:……….

17.Ketika anak Anda memilih menikah muda seperti anda apakah yang Anda lakukan?

a. Mendukung sepenuh hati c. biasa saja

b. melarang d. lain-lain:……….

Alasannya:………

18.Menurut Anda umur berapa seseorang baru dikatakan ideal untuk menikah?

a. 10-14 tahun c. 20-24 tahun e. > 30 tahun

b. 15-19 tahun d. 25-29 tahun

Alasannya:……….

19.Menurut Anda, apakah makna nilai sebuah pernikahan itu sendiri bagi Anda? Jawab:……….

20.Setelah anda menikah, anda akan mengalami perpindahan status dari lajang menjadi orang yang sudah menikah, bagaimana anda memaknai hal tersebut dan bagaimana anda mejalani peran sebagai orang yang sudah menikah atau mempunyai anak?