”Nangkih” dan Gambaran Pernikahan Dini Pada Masyarakat Etnis Karo di Desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pernikahan dini di Indonesia bukanlah hal yang baru karena telah ada sejak
zaman dahulu, dimana pada saat itu pernikahan dini merupakan suatu hal yang
dianggap lumrah atau biasa oleh masyarakat yang hidup di awal abad 20 atau
sebelumnya. Bahkan pada saat itu, banyak dijumpai orangtua yang berlomba-lomba
menjodohkan anaknya terutama perempuan di usia sangat muda untuk dinikahkan
dengan orang yang menjadi pilihannya. Hal ini terjadi tidak terlepas dari budaya
patrilineal yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang cenderung
mengkelas duakan perempuan, dimana perempuan hanya dianggap sebagai
pelengkap hidup laki-laki. Sehingga pada saat itu jika perempuan tidak segera
menikah atau perempuan itu menikah di usia matang akan mendapat pandangan
buruk dan miring dari masyarakat sekitarnya (Wismono Pandhu, 2012).
Seiring perkembangan zaman, waktu dan pengetahuan yang dipengaruhi oleh
arus globalisasi yang melesat cepat dalam sepuluh tahun belakangan ini telah
mengubah cara pandang sebagian besar masyarakat terutama masyarakat di
perkotaan. Dimana pernikahan dini sudah dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan
mulai banyak mendapatkan pertentangan dari berbagai pihak terutama dari badan
perlindungan anak karena dianggap menghancurkan hak dan masa depan anak.
Seperti kasus Lutfiana Ulfah yang baru berusia 12 tahun yang menikah dengan

Pujiono Cahyo Widianto yang berusia 44 tahun pada tahun 2008 yang mendapatkan
banyak sorotan dan pertentangan dari berbagai pihak (Rifiani Dwi, 2011:125-127).

13
Universitas Sumatera Utara

Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan pada usia yang sangat
muda atau masih di bawah umur. Menurut Kebijakan pemerintah tentang perilaku
reproduksi manusia ditegaskan dalam UU No. 10 Tahun 1992 menyebutkan bahwa
dalam menetapkan kebijakan upaya penyelenggara keluarga berencana, maka
perkawinan yang diizinkan bila perempuan sudah berusia 19 tahun dan laki-laki
berumur 21 tahun. Walaupun begitu, di Indonesia angka statistik pernikahan usia
dini dengan pengantin berumur di bawah umur 16 tahun secara nasional mencapai
seperempat, bahkan di beberapa daerah seperti Jawa Timur ada 39,43%, Kalimantan
Selatan 35,48%, Jambi 30,63%, Jawa Barat 36%, dll (Landung, 2009:89). Hal ini
menunjukkan bahwa fenomena pernikahan dini di Indonesia cukup tinggi. Di
Sumatera Utara pernikahan dini dapat dijumpai di daerah pedesaan dan perkotaan.
Menurut data BPS kota Medan tahun 2009, jumlah penduduk kota Medan pada
pertengahan tahun 2009 adalah 2.121.053 jiwa dan sebesar 30,75 % atau 652.241
jiwa adalah remaja berusia 10-24 tahun dan dari sensus tahun 2010, jumlah

penduduk kota Medan naik hingga 2,5 juta jiwa. Berdasarkan sensus penduduk yang
dilakukan BPS Sumut tahun 2010 juga menyebutkan 10 sampai 11% wanita usia
subur (WUS) menikah di usia 16 tahun pada 2010. Dari Kantor Kementerian Agama
menyebutkan bila di tahun 2006 kasus pernikahan usia dini yang dilaporkan
sebanyak 19 kasus, dan meningkat menjadi 42 kasus di tahun 2007, serta melonjak
lagi menjadi 68 kasus di tahun 2008, hingga desember 2010 diperkirakan maksimal
terjadi 50 kasus perkawinan di usia dini pada remaja.
Padahal usia ideal untuk perempuan menikah adalah 21-25 tahun, sedangkan
laki-laki 25-28 tahun. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut perempuan sudah
berkembang dengan baik dan kuat, secara psikologis sudah matang untuk menjadi
calon orang tua untuk anak-anaknya. Sedangkan mereka yang melahirkan di usia di
14
Universitas Sumatera Utara

bawah 20 tahun akan berdampak pada kesehatan reproduksinya. Dimana perempuan
hamil berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar
dibandingkan perempuan yang berusia diatas 20 tahun dan perempuan hamil yang
berusia 15-19 tahun kemungkinannya dua kali lebih besar dibandingkan perempuan
yang berusia diatas 20 tahun (Rifiani Dwi, 2011:126)
Pernikahan dini lebih banyak terjadi di daerah pedesaan, dimana sebagian

besar dilakukan oleh kaum perempuan, sebagai dampak dari budaya patrilineal
dalam masyarakat desa yang masih kuat. Berdasarkan data SUPAS 2005 (Survei
Penduduk Antar Sensus, yaitu survei yang dilaksanakan BPS pada tahun-tahun yang
berakhiran dengan angka 5), tercatat perkawinan pertama wanita umur 19 tahun ke
bawah di pedesaan di Indonesia adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1 Umur Perkawinan Pertama Wanita Umur 10-19 Tahun di
Pedesaan Menurut SUPAS 2005
Umur Perkawinan
Frekuensi
%
Pertama
< 13 Tahun
1.393.411
5,10
14 Tahun
1.481.929
5,42
15 Tahun
2.522.914
9,23

16 Tahun
3.310.195
12,10
17 Tahun
3.561.335
13,02
18 Tahun
3.292.704
12,04
19 Tahun
2.889.733
10,57
Total
18.452.221
67,48
Sumber: Thirwaty Arsal (2012)
Berdasarkan tabel 1.1 di atas terlihat bahwa usia seseorang menikah dini di
daerah pedesaan masih sangat tinggi yaitu mencapai 67,48%, dimana usia 16-18
tahun merupakan frekuensi terbesar perempuan melakukan pernikahan, dimana usia
ini termasuk ke dalam kategori usia dini karena perempuan secara biologis belum

siap reproduksi dan secara psikologi sosial juga belum memiliki kematangan emosi
(masih labil) dan bila dikaji secara sosiologi yaitu dari aspek peran dan statusnya,
dimana seseorang yang menikah dini biasanya belum siap menghadapi peran dan
15
Universitas Sumatera Utara

status yang mereka terima ketika mereka sudah menikah. Perempuan yang berperan
sebagai istri dan ibu yang mengasuh anak dan peran laki-laki untuk bertanggung
jawab menafkahi keluarga dan membesarkan anak. Dimana keberhasilan mereka
dalam menjalankan perannya sangat berpengaruh terhadap berjalannya fungsi dari
sebuah keluarga, yaitu fungsi afeksi, sosilsasi, reproduksi, perlindungan, dan lainlain. Hal ini juga yang menyebabkan

BKKBN menetapkan bahwa usia ideal

seorang perempuan untuk memasuki usia perkawinan untuk pertama kali adalah 21
tahun sedangkan untuk laki-laki 25 tahun.
Adapun perkawinan atau pernikahan dini yang terjadi di daerah perkotaan
kebanyakan disebabkan oleh adanya pergaulan bebas dan hamil di luar nikah,
sehingga untuk menutupinya dilakukan pernikahan. Sedangkan pada daerah
pedesaan pernikahan dini dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan pendidikan yang

rendah serta perjodohan dari orang tua (Muslihin, 2011). Secara tentatif, pernikahan
dini yang ada pada masyarakat etnis Karo di desa Suka Dame, Kecamatan
Kutalimbaru lebih disebabkan oleh adanya kemauan sendiri dari mereka yang ingin
menikah di usia yang sangat muda, dimana pernikahan usia dini merupakan pilihan
hidup mereka, yang artinya didasarkan oleh keinginan mereka tanpa ada paksaan
dari orang tua.
Dalam budaya karo, pernikahan dianggap sebagai suatu pertanda baik atau
kabar bagus, sehingga sebagian besar orang tua akan memberikan izin ketika
anaknya ingin menikah. Hal ini juga karena dianggap dapat menunjang
perekonomian keluarga karena ikut membantu mengolah ladang atau lahan pertanian
keluarga. Namun tidak semua pernikahan dalam masyarakat karo akan mendapatkan
restu dari orang tua, dimana beberapa dari mereka akan melakukan “nangkih” untuk
mendapatkan restu dari orang tuanya. “Nangkih” merupakan jalan potong kompas
16
Universitas Sumatera Utara

yang dibenarkan oleh adat (Tridah: 1990, 42),

dimana laki-laki membawa


perempuan idamannya ke rumah anak beru untuk segera dinikahkan tanpa ada
pemberitahuan dan meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua, terutama orang
tua dari pihak perempuan. Nangkih dapat dikatakan sebagai suatu norma dalam
masyarakat Karo, dimana mereka yang ingin menikah namun tidak mendapat restu
dari orang tua dapat melakukan “nangkih” sebagai jalan pintasnya. Pernikahan yang
dilakukan secara nangkih biasanya pernikahan yang dianggap menyimpang oleh
masyarakat karena tidak sesuai dengan harapan masyarakat terutama orang tuanya.
Dimana adanya keinginan atau tindakan individual yang dianggap tidak sesuai
dengan harapan kelompok atau masyarakat. Salah satu pernikahan yang dianggap
menyimpang dalam masyarakat karo adalah pernikahan dini yang dilaksanakan di
usia yang sangat muda atau masih di usia sekolah.
Adapun mayoritas masyarakat Karo di desa Suka Dame berkerja dalam sektor
pertanian, dimana sebagian besar masyarakat dalam memenuhi kebutuhan seharihari mengandalkan hasil dari tanaman di ladang. Adapun jenis tanaman yang banyak
ditanam mereka adalah kelapa sawit, cokelat, karet, pinang, kopi, dan kelapa. Selain
itu masyarakat juga menanam tanaman buah seperti langsat, duku, rambutan, durian,
manggis, pepaya dan lain-lain serta beberapa sayuran seperti kacang, jambe, bewan,
dan sebagainya. Sebagian besar masyarakat di desa Suka Dame hidup dengan
sederhana. Hal ini dilihat dari bentuk rumah masyarakat yang masih sederhana dan
aktivitas mandi dan menyuci yang masih dilakukan di sungai.
Sekilas kondisi ekonomi masyarakat desa Suka Dame berada dalam ekonomi

menegah ke bawah, walaupun demikian rata-rata masyarakatnya memiliki
kemampuan untuk menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang SMA (Sekolah
Menengah Atas). Namun masih banyak terdapat anak yang putus sekolah atau hanya
17
Universitas Sumatera Utara

tamatan SD dan SMP. Hal ini disebabkan minat kaum muda untuk sekolah yang
masih sangat rendah, dimana beberapa dari mereka lebih memilih menikah daripada
bersekolah. Sehingga banyak ditemukan dari mereka terutama perempuan yang
menikah di saat usia mereka masih belasan (di bawah umur 20 tahun) dan sudah
mempunyai anak.
Di daerah ini, sebagian besar dari pernikahan yang pasangan perempuannya
masih berada dalam usia sekolah sampai jenjang SMA, yaitu 19 tahun ke bawah.
Hal ini didasari pada keinginan sendiri tanpa paksaan orang tua, yang artinya banyak
dari mereka yang memilih menikah dari pada melanjutkan pendidikannya. Artinya
rendahnya minat pendidikan juga berdampak pada pernikahan dini yang terjadi di
masyarakat karo di desa Suka Dame, kecamatan Kutalimbaru.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah

pada penelitian ini adalah:
1. Apa sajakah faktor-faktor yang mendorong laki-laki dan perempuan di Desa
Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang lebih
memilih melakukan pernikahan dini?
2. Bagaimanakah sistem perkawinan “nangkih” dalam masyarakat etnis karo
khususnya yang terjadi di desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru,
Kabupaten Deli Serdang?
3. Bagaimanakah makna nilai dan status sebuah pernikahan dini yang dilakukan
secara “nangkih” bagi laki-laki dan perempuan etnis Karo di desa Suka
Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang?

18
Universitas Sumatera Utara

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang ada, maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendukung laki-laki dan
perempuan melakukan pernikahan dini di Desa Suka Dame, Kecamatan
Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang.

2. Untuk mengetahui secara mandalam bagaimana sistem perkawinan
“nangkih”

pada masyarakat etnis karo di desa Suka Dame, kecamatan

Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang, karena banyak juga orang karo di
daerah lain terutama di perkotaan yang tidak mengetahui betul dengan apa
yang dimaksud dengan adat nangkih dalam masyarakat Karo.
3. Untuk mengetahui makna pernikahan secara “nangkih” bagi laki-laki dan
perempuan etnis karo yang telah melakukan pernikahan dini dan berkeluarga
di desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang .

1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan memberikan
sumbangan pengetahuan serta informasi yang lebih jelas tentang “nangkih”
dan makna pernikahan dini bagi masyarakat Keluarga etnis karo di desa
Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru ini.
b. Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis
dalam menulis sebuah karya ilmiah. Selain itu, penelitian ini diharapkan
19
Universitas Sumatera Utara

dapat bermanfaat sebagai referensi dan rujukan bagi peneliti lainnya yang
ingin mengangkat topik penelitian yang sama dengan peneliti.

1.5 Defenisi Konsep
1. Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan pada usia yang sangat
muda atau masih di bawah umur. Menurut BKKBN, pernikahan seharusnya
dilakukan di usia yang tepat atau ideal, dimana secara biologis, psikologis
maupun sosial sudah matang, yaitu usia 21 tahun untuk perempuan dan 25
tahun untuk laki-laki. Batas usia pernikahan yang masih dikategorikan
sebagai pernikahan dini di Indonesia dapat dilihat dalam Undang-Undang
No. 10 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa pemerintah menetapkan
kebijakan upaya penyelenggara keluarga berencana, dimana pernikahan
hanya diijinkan jika pihak pria mencapai umur 21 tahun dan pihak
perempuan umur 19 tahun, sehingga pernikahan dini menurut UU No. 10
Tahun 1992 adalah pernikahan yang dilakukan di bawah umur 19 tahun bagi
perempuan dan 21 tahun bagi laki-laki.
Adapun menurut lembaga dunia WHO (2006), pernikahan dini atau kawin
muda adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu
pasangannya masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia di
bawah 19 Tahun. Adapun pernikahan dini memiliki dampak yang sama pada
remaja puteri dan putra, dimana dampak tersebut meliputi fisik, intelektual
dan emosional. Remaja putra yang menikah akan mengalami hambatan
dalam pendidikan mereka, kebebasan pribadi dan gangguan emosional ketika
tidak siap menghadapi dunia pernikahan dengan bertambahnya tanggung
jawab. Sedangkan dampak pernikahan dini bagi remaja putri lebih besar
20
Universitas Sumatera Utara

karena beresiko saat melahirkan ketika keadaan fisik dan mental belum siap
yang dapat berujung pada keguguran dan kematian (kristy, 2007).
Pernikahan dini merupakan fenomena yang juga terkait erat dengan nilai
sosial budaya dan agama yang hidup dalam masyarakat. dalam Agama Islam,
pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum
baligh (mimpi basah) bagi laki-laki atau belum mendapatkan menstruasi
pertama bagi perempuan. artinya agama tidak meihat umur, dimana jika
seseorang sudah baligh, maka ia sudah dapat menikah.
Adapun dalam penelitian ini konsep pernikahan dini yang dipakai adalah
konsep pernikahan yang berlaku secara formal di Indonesia sesuai dengan
UU perkawinan tentang batasan perkawinan 19 tahun untuk perempuan dan
21 tahun untuk laki-laki.
2. Nangkih ada pada masyarakat karo yang artinya laki-laki yang membawa lari
perempuan yang menjadi idaman hati ke rumah keluarganya yaitu anak beru
untuk segera dinikahkan. Nangkih dianggap sebagai sesuatu yang
menyimpang karena dilakukan disebabkan oleh adanya keinginan individual
atau pasangan yang ingin menikah tetapi ditentang oleh kelompok masyarkat
dalam hal ini keluarga karena dianggap tidak sesuai dengan harapan
keluarga. Dimana nangkih dalam masyarakat karo menjadi jalan pintas
mereka agar dapat segera melangsungkan pernikahan.
3. Pemaknaan atau makna adalah arti atau maksud yang tersimpul dari suatu
kata terhadap suatu obyek, baik fisik maupun abstrak. Makna berasal dari
diri seseorang melalui penafsiran yang terbentuk dari adanya interaksi atau
hubungan sosial, dimana makna terhadap suatu obyek tidaklah sama pada
satu masyarakat dengan masyarakat lainnya (tidak bersifat universal).
21
Universitas Sumatera Utara

Makna abstrak adalah makna yang tidak dapat dilihat berupa nilai, norma
dan status. Nilai adalah suatu bagian penting dari kebudayaan. Nilai adalah
sebuah

konsep yang menunjuk kepada sesuatu yang dianggap berharga

dalam kehidupan. Menurut Anthony Giddens (1994) nilai adalah gagasangagasan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok tentang apa yang
dikehendaki, aa yang layak, dan apa yang baik dan buruk. Dimana nilai dapat
berubah seiring dengan adanya waktu, bila dikaji dengan sudut pandang
interaksionisme

simbolik,

perubahan

nilai-nilai

dalam

masyarakat

dimungkinkan karena berlangsungnya proses interaksi dalam masyarakat.
Baik itu, interaksi antar anggota masyarakat atau dengan anggota masyarakat
lainnya. Adapaun nilai yag ingin dilihat dalam penelitian ini adalah nilai
sebuah pernikahan bagi kalangan masyarakat etnis karo baik laki-laki
maupun perempuan yang melakukan pernikahan dini.
Status adalah posisi atau kedudukan seseorang dalam suatu kelompok
masyarakat yang merupakan pencerminan hak dan kewajiban dalam tingkah
laku manusia. Dimana seseorang yang sudah menikah akan mengalami
perpindahan status baik itu untuk perempuan maupun laki-laki. Perpindahan
status perempuan di mulai dari seorang anak yang berubah statusnya menjadi
seorang istri dan bertambah statusnya menjadi seorang ibu ketik sdah
memiliki anak, sedangkan laki-laki perpindahan statusnya dimulai dari
seorang anak yang berubah statusnya menjadi seorang suami dan
bertambahnya statusnya menjadi seorang ayah ketika memiliki anak. Seperti
yang dikatakan sebelumnya perpindahan status ini dibarengi dengan
perpindahan peran mereka sesuai dengan status yang mereka terima. Adapun
peran paling menojol ketika seseorang sudah menikah adalah peran
22
Universitas Sumatera Utara

perempuan sebagai istri dan ibu yang mengurusi urusan rumah tangga dan
mengasuh anak dan perah laki-laki sebagai suami dan ayah yang bertugas
mencari nafkah dan mendidik anak.
4. Keluarga adalah lembaga sosial paling kecil dan primer di dalam masyarakat,
dimana keluarga dibagi atas dua yaitu: keluarga inti dan keluarga luas.
Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang
belum menikah. Sedangkan keluarga luas adalah keluarga yang terdiri dari
beberapa keluarga inti. Seseorang mendapatkan ikatan keluarga melalui dua,
yaitu ikatan darah dan ikatan perkawinan.
Ikatan perkawinan adalah ikatan yang dianggap suci atau sakral dimana
ikatan ini akan membentuk atau membentuk satu keluarga inti baru yang
akan mengikat tali persaudaraan diantara kedua keluarga luas mereka.
Seorang anak akan lepas dari keluarga intinya ketika ia memutuskan untuk
menikah dan membentuk keluarga inti yang baru. Dimana dalam penelitian
ini yang mau diteliti adalah keluarga dan perkawinan pada masyarakat karo.
Arti keluarga dan perkawinan dalam masyarakat karo sama seperti yang
dijelaskan diatas hanya saja perbedaannyanya terletak dari adatnya atau
budayanya dimana dalam masyarakat karo dikenal istilah perkawinan secara
nangkih dan pesta adatnya (erdemu bayu).

1.6 Kerangka Teori
1.6.1 Interaksionisme Simbolik
George Herbert Mead (Ritzer, 2011:51) dalam interaksionisme simbolik
mempelajari tindakan sosial suatu masyarakat dengan mempergunakan tehnik
introspeksi untuk dapat mengetahui barang sesuatu yang melatarbelakangi (makna)
23
Universitas Sumatera Utara

tindakan sosial itu dari sudut aktor. Mead melihat bahwa diri atau self menjalani
internalisasi atau interpretasi subyektif atas realitas (obyektif) struktur yang lebih
luas, dimana orang tak hanya menyadari orang lain tetapi juga mampu menyadari
dirinya sendiri. Dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain,
tetapi secara simbolis dia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri, dimana interaksi
dilakukan dengan bahasa ataupun isyarat.
Dalam interaksionisme simbolik terdapat tiga obyek pemaknaan (Margaret
Poloma, 2000:257), yaitu:
1.

obyek fisik seperti meja, tanaman, atau mobil;

2. obyek sosial seperti ibu, guru, atau teman;
3. dan obyek abstrak seperti nilai-nilai, hak atau peraturan.
Cara aktor atau individu melihat dan memaknai obyek-obyek yang ada
menjadi suatu acuan bagaimana mereka bertindak. Adapun dalam penelitian ini
mengarah pada obyek abstrak yaitu perkawinan atau pernikahan dini, dimana
dengan teori interaksionisme simbolik akan dikaji hal yang

melatar belakangi

tindakan remaja yang memilih melakukan perkawinan atau pernikahan dini di usia
mereka yang masih sangat muda. Pemaknaan ataupun simbol-simbol yang ada tidak
bersifat universal atau sama di setiap masyarakat semua bergantung bagaimana
individu itu memaknai obyek-obyek yang ada melalui interaksi, dimana manusia
sebagai aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan, dan
mentransformir makna dalam hubungannya dengan situasi dimana dia ditempatkan
dan arah tindakannya.
Adapun Blumer melihat bahwa teori interaksionisme simbolik bertumpu pada
tiga premis, yaitu:

24
Universitas Sumatera Utara

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada
pada sesuatu itu bagi mereka.
2. Makna tersebut berasal dari interaksi seseorang dengan orang lain.
3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial
berlangsung.
Blumer menjelaskan bahwa pada dasarnya tindakan manusia terdiri dari
pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian
kelakukan atas dasar bagaimana mereka menafsirkan hal tersebut. Hal-hal yang
dipertimbangkan itu mencakup berbagai masalah seperti keinginan dan kemauan,
tujuan dan sarana tersedia untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari
orang lain dan gambaran tentang diri sendiri. Masyarakat sebagai interaksionisme
simbolik terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian (self) mereka sendiri
(yakni membuat indikasi untuk diri mereka sendiri). Tindakan individu merupakan
suatu konstruksi yang keberadaannya dibangun oleh individu melalui catatan dan
penafsiran situasi dimana dia bertindak, sehingga kelompok atau tindakan kolektif
terdiri dari beberapa susunan ataupun kumpulan tindakan beberapa individu yang
disebabkan oleh penafsiran individu atau pertimbangan individu terhadap tindakan
lainnya.
Artinya Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna
yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di
tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta
menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut
menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136),
Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna,

25
Universitas Sumatera Utara

selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.
Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:
1. Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang
mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus
mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain,
2. Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari
penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme
simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan
tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya, dan
3. Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan,
dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan
tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif
dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses
pengambilan peran di tengah masyarakatnya.

I.6.2 Penyimpangan atau Nonkonfromitas
Penyimpangan mengacu pada perilaku, cara-cara bertindak, sikap, keyakinan,
dan gaya yang melanggar norma-norma, aturan, etika dan harapan masyarakat.
Masyarakat telah berusaha agar setiap anggota masyarakatnya berperilaku sesuai
dengan harapan masyarakat, namun dalam tiap masyarakat ditemukan adanya
anggota masyarakat melakukan penyimpangan atau nonkonformitas.
Menurut para ahli sosiologi, penyimpangan bukan sesuatu yang melekat pada
bentuk perilaku tertentu, melainkan diberi ciri melalui defenisi sosial. Defenisi
tersebut dapat bersumber pada kelompok yang berkuasa dalam masyarakat atau pun
masyarakat umum. Untuk menjelaskan penentuan penyimpangan melalui defenisi
26
Universitas Sumatera Utara

sosial dalam dilihat dari siyuasi-situasinya, dimana tercela tidaknya suatu perbuatan
tidak melekat pada perbuatan itu sendiri, melainkan tergantung pada defenisi sosial.
Contohnya, seseorang laki-laki dianggap melakukan penyimpangan bilamana ia
datang ke pesta ulang tahun dengan memakai baju renang, sedangkan busana
demikian dianggap wajar dipakai di kolam renang tetapi ketia pesta ulang tahunnya
di bertema renang dan diadakan di kolam renang atau tempat yang banyak airnya
maka laki-laki tersebut dianggap tidak menyimpang. Sama hal nya terkait dengan
penelitian yang akan diteliti, yaitu sebuah pernikahan dianggap tidak menyimpang
bila pernikahan ini dilakukan dengan izin dan restu dari orang tua ke dua belah
pihak tetapi pernikahan dianggap menyimpang apabila pernikahan tersebut
dilakukan tanpa mendapat restu dari orang tua, dimana terjadi karena tindakan
individu itu dianggap tidak sesuai dengan harapan dari kelompok atau masyarakat di
sekitarnya.
Merton mengindentifikasi lima tipe cara adaptasi individu terhadap situasi
tertentu, dimana tiga dari lima perilaku peran dalam menghadapi situasi tersebut
merupakan perilaku menyimpang, yaitu:
1. Inovasi atau innovation merupakan cara dimana perilaku mengikuti tujuan
yang ditentukan masyarakat (harapan) tetapi memakai cara yang dilarang
atau tidak dibenarkan oleh masyarakat.
2. Ritualisme merupakan kebalikan dari inovasi dimana perilaku tidak
mengikuti tujuan yang ditentukan oleh masyarakat (harapan) tetapi
memakai cara yang dibenarkan oleh masyarakat secara adat.
3. Retreatisme merupakan perilaku tidak mengikuti tujuan yang ditentukan
oleh masyarakat (harapan) dan juga memakai cara yang dilarang atau tidak
dibenarkan oleh masyarakat.
27
Universitas Sumatera Utara