Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit Perusahaan Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Kabupaten Deli Serdang

BAB II
KEBERADAAN LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT
PERUSAHAAN DI KABUPATEN DELI SERDANG
A. Perkembangan LKS Bipartit di Indonesia Pasca Indonesia Merdeka Sampai
Sekarang
Diawal pemerintahan Republik Indonesia, pada waktu Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia tanggal 19 Agustutus 1945 menetapkan jumlah kementerian
sebanyak 12 kementerian, belum ada kementerian perburuhan . Tugas dan fungsi
yang menangani masalah perburuhan diletakkan pada kementerian sosial. Demikian
juga dalam pelaksanaan, dibentuknya kabinet presidensil Soekarna Hatta yang
dilantik tanggal 5 September 1945 dari sebanyak 12 kementerian dan 4 menteri
negara, kementerian perburuhan tetap belum dibentuk dan hanya merupakan bagian
dari kementerian sosial yaitu bagian perburuhan.26
Dalam Maklumat Presiden Nomor 7 Tahun 1947 yang diumumkan pada
tanggal 3 Juli 1947 tentang susunan kabinet ditetapkan S.K. Trimurti sebagai menteri
perburuhan dan Mr. Wilopo sebagai menteri muda perburuhan. Namun demikian
Menteri perbururuhan belum langsung dapat melaksanakan tugas dan fungsinya
karena belum ditetapkan tugas pokok yang harus dilaksanakan oleh kementerian
perburuhan itu. Agar kementerian perburuhan yang baru, dapat segera melaksanakan
tugasnya, maka pada tanggal 25 Juni 1947 dikeluarkanlah Penetapan Pemerintah


26

Sejarah Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia, (Jakarta : Departemen Tenaga
Kerja, 1993), hlm. 8.

Universitas Sumatera Utara

Nomor 3 tentang Tugas Pokok yang harus dilaksanakan oleh kementerian
perburuhan.
Berdasarkan Penetapan Pemerintah tersebut, tugas pokok kementerian
perburuhan adalah menyelenggarakan urusan-urusan mengenai :
a. Perlindungan;
b. Jaminan sosial;
c. Perselisihan perburuhan;
d. Organisasi perburuhan;
e.

Perwakilan perburuhan;

f. Kerja antara;

g. Pemberian pekerjaan dan sokongan pengangguran;
h. Kewajiban kerja dan pengerahan tenaga;
i. Pendidikan tenaga;
j. Transmigrasi dan
k. Urusan-urusan lainnya mengenai hubungan kerja dan penempatan
tenaga.27
Sejak periode awal kemerdekaan, seluruh tenaga dan pikiran rakyat Indonesia
dicurahkan untuk mempertahankan kemerdekaan maka hubungan industrial diwarnai
oleh orientasi politik sampai pada masa demokrasi terpimpin. Tidak berapa lama
setelah lahir pemerintahan orde baru maka lahirlah Undang-Undang No.14 Tahun
1969 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja.
27

Ibid. hlm. 11-12.

Universitas Sumatera Utara

Dalam Bab V undang-undang ini diatur tentang hubungan ketenagakerjaan
yang terdiri dari 5 (lima) pasal yaitu:
a. Pasal 11 :

(a) Tiap tenaga kerja berhak mendirikan dan menjadi anggota perserikatan tenaga
kerja.
(b) Pembentukan perserikatan tenaga kerja dilakukan secara demokratis.
b. Pasal 12 : Perserikatan tenaga kerja berhak mengadakan perjanjian perburuhan
dengan pemberi kerja.
c. Pasal 13 : Penggunaan hak mogok, demonstrasi dan lock out diatur dengan
peraturan perundang-undangan.
d. Pasal 14 : Norma peraturan hubungan kerja dan penyelesaian perselisihan
perburuhan diatur dengan peraturan perundangan.
e. Pasal 15 : pemerintah mengatur penyelenggaraan jaminan sosial dan bantuan
sosial bagi tenaga kerja dan keluarganya
Undang-undang ini tidak menggunakan istilah buruh tetapi menggunakan
istilah tenaga kerja. Hal ini dikarenakan pada saat itu sistem hubungan yang berlaku
di Indonesia didasarkan pada paham liberalisme dan tidak dapat menciptakan
ketenangan bekerja dan berusaha. Berdasarkan kondisi pada saat itu, maka
Departemen Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi bekerja sama dengan Yayasan
Tenaga Kerja Indonesia dan Frederick Ebert Stiftung menyelenggarakan seminar
nasional tentang hubungan perburuhan Pancasila sebagai wahana menuju ketenangan
kerja dan stabilitas sosial ekonomi untuk pembangunan nasional di Jakarta pada


Universitas Sumatera Utara

tanggal 4-7 Desember 1974. Seminar ini diikuti oleh 137 peserta yang terdiri dari
unsur-unsur pengusaha, buruh, pemerintah dan universitas/cendekiawan dari pusat
dan daerah-daerah wilayah Indonesia. Pembahasan secara intensif dalam sidang pleno
maupun sidang kelompok tersebut, mengambil keputusan antara lain :28
Bab II sarana-sarana daripada pelaksanaan hubungan perburuhan Pancasila
a. Lembaga kerjasama tripartit dan bipartit;
b. Perjanjian perburuhan (collective labour agreement);
c. Lembaga peradilan perburuhan;
d. Peraturan perundangan perburuhan;
e. Pendidikan perburuhan;
f. Beberapa masalah khusus.
Hasil dari seminar pada tanggal 4-7 Desember 1974 membuahkan suatu
konsensus nasional untuk mengembangkan suatu sistem hubungan perburuhan yang
berdasarkan kepada falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila yang disebut hubungan
perburuhan Pancasila dan kemudian diganti menjadi hubungan industrial Pancasila
(HIP) dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep 645/M/1985.
Hubungan industrial dalam prosesnya memerlukan terjalinnya komunikasi,
konsultasi dan musyawarah mengenai hal-hal yang terkait dengan berbagai aspek

dalam proses produksi barang dan/atau jasa. Keberadaannya memang sangat penting
mengingat secara langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap sendi-sendi

28

H. Soetrisno, Perkembangan Hubungan Industrial di Indonesia, (Jakarta : Ikatan Perantara
Hubungan Industrial Indonesia ( IPHII ), 2007), hlm. 27.

Universitas Sumatera Utara

kehidupan, baik secara sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya dan psikologi bahkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah mengatur
prinsip-prinsip dasar yang perlu dikembangkan dalam hubungan industrial. Arahnya
adalah untuk menciptakan sistem dan kelembagaan hubungan industrial yang sehat,
produktif dan kompetitif. Dengan demikian, Lembaga Kerjasama Bipartit tersebut
merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan hubungan industrial disamping
sarana lain seperti peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama.29
Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit adalah
forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan

industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja atau/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh. Pada Pasal 103 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah disebutkan bahwa salah satu
sarana hubungan industrial adalah Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit dan kemudian
di Pasal 106 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
dipertegas lagi bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang
pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit.
Hubungan antara pekerja dan pengusaha yang tidak seimbang dapat
menimbulkan pertentangan dan perselisihan yang dapat menimbulkan kerugian di

29

Pedoman LKS Bipartit, Op. Cit., hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara

pihak pekerja dan pengusaha. Perntentangan dan perselisihan hubungan individual
antara pekerja dan pengusaha di perusahaan juga dapat terjadi karena masalahmasalah hak pekerja tidak dipenuhi pengusaha sehingga merugikan pekerja dan
keluarganya. Agar pertentangan kolektif dan individual antara pekerja dan pengusaha

tidak berkepanjangan, timbul gagasan untuk membentuk wadah yang dapat meredam
dan menyelesaikan pertentangan tersebut yaitu dengan membentuk wadah atau
lembaga kerjasama. Wadah kerjasama antara pekerja dengan pengusaha berfungsi
sebagai sarana 30 :
a. Pelaksanaan demokrasi industrial dalam hubungan kerja.
b. Partisipasi pekerja dalam kebijaksanaan perusahaan.
c. Pendistribusian kekuasaan didalam perusahaan.
Sebagai pelaksanaan Pasal 106 ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, maka keluarlah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP-255/MEN/2003 tentang tata cara pembentukan dan
susunan keanggotaan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit. Seiring dengan
perkembangan kondisi ketenagakerjaan saat ini, maka menteri tenaga kerja dan
transmigrasi Republik Indonesia menyempurnakannnya lagi dengan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia dengan Nomor
PER.32/MEN/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008.

30

Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hubungan Pekerja dan Pengusaha, (Medan : Kelompok Studi
Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 2007), hlm. 79.


Universitas Sumatera Utara

Kerjasama yang efektif di tempat kerja dapat dicapai melalui pendekatan
antara pekerja/buruh dengan manajemen/pengusaha, yaitu bipartit. Bipartit ini dipakai
untuk konsep yang menunjukkan adanya kerjasama di tempat kerja yang secara
operasional diwujudkan dalam bentuk lembaga kerjasama.
Dari jaman orde lama sampai dengan jaman orde baru, Lembaga Kerjasama
Bipartit hanya sebagai anjuran artinya apabila tidak dilaksanakan oleh

pengusaha

tidak ada sanksi administratifnya. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, terhadap perusahaan yang mempekerjakan 50
(lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk Lembaga Kerjasama
(LKS) Bipartit. Bagi perusahaan yang tidak mematuhi Pasal 106 tersebut diberikan
sanksi administratif pada Pasal 190 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan berupa :
a. Teguran;
b. Peringatan tertulis;

c. Pembatasan kegiatan;
d. Pembekuan kegiatan usaha;
e. Pembatalan persetujuan;
f. Pembatalan pendaftaran;
g. Penghentian sementara sebahagian atau seluruh alat produksi;
h. Pencabutan izin.
Data dari Kementerian Tenaga Kerja RI tahun 2014 bahwa jumlah
perusahaan yang terdaftar di Kementerian Tenaga kerja adalah sebanyak 274.791

Universitas Sumatera Utara

perusahaan dengan jumlah pekerja/buruhsebanyak 13.638.984 orang, sedangkan
perusahaan yang memiliki LKS Bipartit adalah 16.168 perusahaan. Berdasarkan dari
data tersebut sangatlah sedikit perusahaan yang mempunyai LKS Bipartit, padahal
LKS Bipartit itu sangat perlu sebagai salah satu sarana komunikasi antara
pekerja/buruh dengan pengusaha.
B. Pembentukan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit yang Dikembangkan oleh
International Labour Organisation (ILO)
1. Kebijakan ILO Terkait LKS Bipartit
Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labour Organisation

(ILO) berdiri pada akhir Perang Dunia I yaitu pada tanggal 11 April 1919
berdasarkan Bab XIII “Perjanjian Versailles” bersamaaan dengan berlangsungnya
Konferensi Liga Bangsa-Bangsa (League of Nation). Dalam perkembangannya, yaitu
pada waktu Perang Dunia II mendekati masa akhir di tahun 1946, ILO menjadi badan
khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
ILO pada dasarnya dibentuk dengan tujuan untuk mewujudkan prinsip-prinsip
“keadilan sosial” bagi masyarakat di seluruh dunia khususnya kaum pekerja
sebagaimana dinyatakan dalam Mukadimah Konstitusi ILO. Didalam Mukadimah
tersebut juga terkandung isi dari Deklarasi Philadelphia yaitu :
a. Bahwa pekerja bukan barang dagangan;
b. Bahwa

kebebasan

untuk

mengeluarkan

pendapat


dan

berserikat

mengandung makna untuk mencapai kemajuan;

Universitas Sumatera Utara

c. Bahwa semua manusia tanpa memandang ras, kepercayaan dan jenis
kelamin berhak mencapai kehidupan yang layak baik secara materil
maupun spiritual dalam suasana kebebasan dan pengakuan akan harga diri
masing-masing, ketentraman ekonomi, dan kesamaan dalam memperoleh
kesempatan;
d. Bahwa memerangi kemiskinan memerlukan keberanian yang gigih bagi
suatu bangsa melalui upaya internasional dimana wakil-wakil pekerja,
pengusaha dan pemerintah memiliki status yang sama guna mengambil
keputusan untuk meningkatkan kemakmuran/kesejahteraan; dan
e. Bahwa

kemiskinan

dimanapun

berada,

merupakan

bahaya

bagi

kemakmuran/kesejahteraan.
Para pendiri ILO meyakini bahwa perdamaian abadi hanya mungkin tercipta
bila didasarkan pada keadilan sosial. Menurut pandangan ILO, bilamana syarat-syarat
kerja masih mencerminkan ketidakadilan, maka berbagai kegoncangan yang
mengancam keserasian dan ketenteraman hidup akan terus terjadi. Oleh karena itu
perlu adanya perbaikan syarat-syarat dan norma kerja termasuk upaya mengatasi
masalah pengangguran. Untuk melaksanakan gagasan tersebut, maka tugas utama
ILO adalah merumuskan kebijaksanaan dan program internasional untuk menjamin
terciptanya perlindungan hak-hak pekerja, memperluas lapangan pekerjaan, dan
meningkatakan taraf hidup para pekerja dengan cara menyusun dan membuat standar
ketenagakerjaan internasional (International Labour Standards) agar dapat dijadikan
pedoman bagi negara anggota dalam membuat dan melaksanakan kebijakan

Universitas Sumatera Utara

ketenagakerjaan, khusunya dalam membuat peraturan perundangan nasional di
bidang ketenagakerjaan.31
ILO dalam melaksanakan kegiatannya melakukan konvensi dan rekomendasi
yang memuat berbagai bentuk ketentuan mengenai ketenagakerjaan yang diharapkan
secara utuh diratifikasi oleh negara-negara anggota ILO sehingga menjadi hukum
positif yang berlaku di negara yang bersangkutan. Konvensi ILO yang berkaitan
dengan LKS Bipartit adalah konvensi ILO No. 98 tahun 1949 mengenai hak
berorganisasi dan berunding bersama dan konvensi ini telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956. Selain itu adalah konvensi
ILO No. 87 tahun 1948 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak
berorganisasi dan konvensi ini juga telah diratifikasi Indonesia dengan Keputusan
Presiden RI No. 83 tahun 1988. Adanya 2 konvensi ILO yang berkaitan dengan LKS
Bipartit dan bagi setiap negara yang menjadi anggota ILO dan telah meratifikasi
konvensi itu wajib melaporkan kepada Dirjen ILO sesuai ketentuan Pasal 22
konstitusi ILO tahun 1919.
ILO sejak pendiriannya, selalu berusaha untuk melaksanakan bentuk-bentuk
kerjasama di tempat kerja melalui dialog sosial, yang ditetapkan untuk mencakupkan
semua jenis negosiasi, konsultasi atau sekedar bertukar informasi antara, atau di
antara para wakil pemerintah, pengusaha, dan pekerja tentang masalah-masalah
kepentingan bersama yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi dan sosial.

31

Menumbuhkembangkan Kesadaran Melaksanakan Konvensi ILO yang Telah Diratifikasi,
(Biro Humas dan KLN Departemen Tenaga Kerja, 2000), hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara

Berbagai konvensi dan rekomendasi ILO memuat standar-standar terkait
dengan kerjasama bipartit tempat kerja adalah :32
a. Konvensi kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berserikat, 1948
(No.87);
b. Konvensi untuk berserikat dan perundingan bersama, 1949 (No.98);
c. Rekomendasi di tingkat perusahaan, 152 (No.94);
d. Rekomendasi konsultasi (industri dan tingkat nasional), 1960 (No.113);
e. Rekomendasi komunikasi pada perusahaan, 1967 (No. 129);
f. Rekomendasi pengujian keluhan, 1967 (No. 130).
Perundingan bersama adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
proses negosiasi antara pekerja dan pengusaha serta perwakilan mereka sehubungan
dengan setiap isu yang terkait dengan syarat-syarat kerja atau hal lain yang
merupakan kepentingan bersama pekerja dan pengusaha. Pengaturan tentang pokokpokok yang tercakup dalam perundingan bersama, boleh saja diatur perundangundangan

nasional. Bahkan bila pengaturan yang sempit dicantumkan dalam

peraturan perundangan biasanya hal ini tidak membatasi pihak-pihak untuk
menyetujui atau merundingkan cakupan isu yang lebih luas.33
Di dalam instrumen ILO, perundingan bersama dianggap sebagai kegiatan
atau proses mengarah pada dibuatnya suatu perjanjian bersama. Di dalam

32

Buku Panduan Kerjasama Pekerja-Manajemen 2 Manual Pelatihan, Proyek
ILO/APINDO Mengenai Pembangunan Kapasitas dan Mempromosikan Hubungan Industrial yang
Baik di Tingkat Perusahaan di Indonesia, (Jakarta : ILO, 2009), hlm. 13.
33
Kesetaraan Gender Melalui Perundingan Bersama, Op. Cit., hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara

Rekomendasi No. 91 tahun 1952, perjanjian bersama didefenisikan sebagai semua
perjanjian tertulis tentang kondisi kerja dan syarat-syarat hubungan kerja yang dibuat
antara seorang pengusaha, suatu kelompok pengusaha atau satu atau lebih organisasi
pengusaha di satu pihak, dan di pihak lain satu atau lebih organisasi wakil pekerja,
atau bilamana organisasi tersebut tidak ada, para wakil pekerja yang dipilih
sebagaimana mestinya dan diberi wewenang oleh mereka sesuai dengan undangundang peraturan nasional, dengan pengertian bahwa perjanjian bersama harus
mengikat para penandatangan perjanjian tersebut.34
Terjadi suatu perundingan bersama antara pekerja dengan pengusaha sudah
merupakan adanya komunikasi yang lancar antara pekerja dengan pengusaha
sehingga hal-hal berhubungan dengan syarat-syarat kerja, kondisi kerja dan norma
kerja dapat dipahami kedua belah pihak. Perbedaan paham antara pekerja dan
pengusaha tentang syarat-syarat kerja, kondisi kerja dan norma kerja yang menjadi
pemicu perselisihan hubungan industrial.
Kerjasama antara pengusaha dengan pekerja tidak hanya dalam menciptakan
barang dan atau jasa akan tetapi harus juga menerima masukan-masukan dari pekerja
untuk kemajuan perusahaan. Kerjasama pekerja manajemen, seperti halnya
perundingan bersama, merupakan bagian dari yang biasa disebut sebagai demokrasi
industrial atau partispasi pekerja dalam manajemen. Istilah “demokrasi industrial”
atau “partisipasi pekerja” dalam manajemen berarti mendemokrasikan tempat kerja

34

Bernard Gernigon, Alberto Odero, Horacio Guido, Perundingan Bersama Standar ILO dan
Prinsip-Prinsip Badan Pengawas, (Jakarta : Kantor Perburuhan Internasional, 2004), hlm. 9.

Universitas Sumatera Utara

melalui pemberdayaan pekerja melalui partisipasi dalam proses pengambilan
keputusan organisasi dalam suatu organisasi atas hal-hal yang disepakati oleh para
pihak yang menguntungkan kedua belah pihak. Kerjasama pekerja-manajemen tidak
bermaksud untuk menggantikan tapi melengkapi perundingan bersama.
Kerjasama pekerja-manajemen didefenisikan sebagai suatu keadaan dari
hubungan pekerja dan manajemen yang bekerja bahu membahu untuk mencapai
tujuan tertentu dengan menggunakan cara yang bisa diterima oleh kedua belah pihak
seperti melalui :
a. Berbagi informasi;
b. Diskusi;
c. Konsultasi;
d. Negoisasi;
e. Bentuk dan prosedur lain yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Kerjasama pekerja-manajemen biasanya dioperasikan melalui pembentukan
lembaga bersama seperti Lembaga Pekerja Manajemen (Komite), Dewan Pekerja
Manajemen (Komite), atau Forum Pekerja Manajemen.35
Perundingan bersama adalah perumusan bersama yang demokratis di
perusahaan antara pekerja dengan perusahaan yang selalu dianjurkan oleh ILO. Pada
tahun 1946, ILO menjadi lembaga spesialis pertama di bawah PBB yang baru saja
terbentuk. Saat peringatan hari jadinya yang ke 50 di tahun 1969, ILO menerima
nobel perdamaian. Besarnya peningkatan jumlah negara yang bergabung dengan ILO
35

Buku Panduan Kerjasama Pekerja- Manajemen Manual Pelatihan, op.cit., hlm. 11.

Universitas Sumatera Utara

selama beberapa dasawarsa setelah masa perang dunia ke II telah membawa banyak
perubahan. Organisasi ini meluncurkan program-program bantuan teknis untuk
meningkatkan keahlian dan memberikan bantuan kepada pemerintah, pekerja dan
pengusaha di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Di
negara-negara seperti Polandia, Cile, dan Afrika Selatan, bantuan ILO mengenai hakhak serikat pekerja berhasil membantu perjuangan mereka dalam memperoleh
demokrasi dan kebebasan.
Tahun penting lainnya untuk ILO adalah tahun 1998, dimana para delegasi
yang menghadiri Konferensi Perburuhan Internasional (International Labour
Conference) mengadopsi Deklarasi ILO tentang Prinsip-prinsip dan Hak-hak
Mendasar di Tempat Kerja. Prinsip dan hak ini adalah hak atas kebebasan berserikat
dan perundingan bersama serta penghapusan pekerjaan untuk anak, kerja paksa dan
diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan. Jaminan atas prinsip-prinsip dan hak-hak
mendasar di tempat kerja, berdasarkan deklarasi ini, merupakan hal penting karena
jaminan ini memungkinkan masyarakat untuk menuntut secara bebas dan atas dasar
kesetaraan peluang, bagian mereka yang adil atas kekayaan yang ikut mereka
hasilkan dan untuk menggali potensi mereka sepenuhnya sebagai manusia.36
“ILO sangat memperhatikan hak-hak sipil dan politik karena tanpa ini, tidak
mungkin ada pelaksanaan normal atas hak-hak serikat pekerja dan perlindungan
terhadap pekerja”. Pernyataan ini yang baru saja diingatkan kembali oleh Direktur
Jenderal ILO dalam laporannya tahun 1992 kepada Konferensi Perburuhan
36

Sekilas Tentang ILO, (Jakarta : Kantor ILO, 2007), hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara

Internasional adalah ilustrasi dari kenyataan bahwa hampir seperdua dari semua
keluhan yang disampaikan pada Komite Kebebasan Berserikat sejak berdirinya
berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Demikian pula,
resolusi tentang hak-hak serikat pekerja dan hubungannya dengan kemerdekaan sipil
yang disebut sebelumnya dan disajikan dalam lampiran V menekankan kenyataan
bahwa hak-hak yang diberikan kepada organisasi pekerja dan organisasi pengusaha
harus didasarkan pada pematuhan pada kemerdekaan sipil dan bahwa tanpa adanya
kemerdekaan sipil ini akan menghapus semua arti konsep serikat pekerja . Konferensi
Perburuhan Internasional secara eksplisit menyusun hak-hak mendasar yang
diperlukan untuk melaksanakan kebebasan berserikat :37
a. Hak atas kebebasan dan keamanan orang dan kebebasan dari penangkapan
dan penahanan secara semena-mena.
b. Kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat dan terutama kebebasan
mempunyai pendapat dan tanpa campur tangan serta mencari, menerima dan
membagikan informasi serta buah pikiran melalui media dan tanpa mengenal
batas negara.
c. Kebebasan berkumpul.
d. Hak mendapatkan peradilan yang adil oleh pengadilan yang mandiri dan tidak
memihak.
e. Hak mendapatkan perlindungan atas kekayaan organisasi serikat pekerja.
37

Buku Petunjuk Pendidikan Pekerja,Kebebasan Berserikat dan Perlindungan TerhadapHak
Berorganisasi dan Hak untuk Berunding Bersama (Jakarta : Organisasi Perburuhan Internasional,
1998), hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara

Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 mengatur kebebasan

berserikat dan

berorganisasi harus tunduk kepada hukum nasional negara anggota ILO tersebut
sepanjang hukum nasional tersebut tidak melemahkan ketentuan-ketentuan yang
dijamin oleh ILO sebagaimana pada pasal 8 Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 yang
berbunyi sebagai berikut :
1. Dalam melaksanakan hak-haknya berdasarkan Konvensi ini para pekerja dan
pengusaha serta organisasi mereka, sebagaimana halnya perseorangan atau
organisasi perkumpulan lainnya, harus tunduk pada hukum nasional yang
berlaku.
2. Hukum nasional yang berlaku tidak boleh memperlemah atau diterapkan
untuk memperlemah ketentuan-ketentuan yang dijamin dalam konvensi.
Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 ini kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan
Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1988.
2. Kebijakan ILO yang Telah dan Belum Diratifikasi Indonesia
Disadari bahwa manusia sebagai makhluk individu tidak dapat berdiri sendiri
dan ada saling ketergantungan dengan manusia lainnya. Demikian pula halnya
dengan suatu negara. Negara manapun di dunia tidak akan bisa melepaskan diri dari
saling ketergantungan dengan negara lainnya.
Indonesia sebagai negara berdaulat dalam hal ini menyadari bahwa untuk
meningkatkan

pembangunan

nasional,

khususnya

pembangunan

bidang

ketenagakerjaan, Indonesia merasa perlu untuk turut serta berperan secara aktif
meningkatkan hubungan dan kerjasama dengan negara-negara lain. Dalam hal ini

Universitas Sumatera Utara

ILO dianggap forum yang paling tepat bagi Indonesia untuk mewujudkan peran
aktifnya di dunia internasional terutama dalam rangka turut serta meningkatkan
perlindungan hak-hak pekerja. Maka pada tanggal 5 Mei 1950, DR. Mohamad Hatta,
Menteri Luar Negeri Indonesia pada saat itu, menyampaikan surat resmi pemerintah
Indonesia kepada Direktur Jenderal ILO yang isinya menyatakan keinginan Indonesia
untuk menjadi anggota ILO yang kemudian pada tanggal 12 Juni 1950 Indonesia
secara resmi didaftar menjadi anggota ILO.38
Ratifikasi suatu konvensi mengandung makna bahwa hukum internasional
diberlakukan menjadi hukum nasional (hukum positif) di negara yang bersangkutan.
Setiap negara mempunyai kewajiban moral untuk meratifikasi konvensi dan
menerapkan prinsip-prinsip rekomendasi dalam hukum positif di negara yang
bersangkutan. Setiap negara anggota yang sudah meratifikasi konvensi harus
mempersiapkan perangkat/sarana hukum berupa peraturan perundangan nasional
yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi.
Dalam praktek pelaksanaannya, institusi yang berwenang di negara anggota
yang bersangkutan harus melaksanakan kebijaksanaan atau kewajiban sebagaimana
yang diamanatkan oleh konvensi. Meratifikasi suatu konvensi dapat dilaksanakan
dalam bentuk ratifikasi dengan undang-undang dan atau keputusan presiden atau

38

Jaminuddin Marbun, Manfaat Perjanjian Kerja Bersama dalam Hubungan Industrial
bagi Pengusaha dan Pekerja, (Medan : USU Press, 2013), hlm. 7.

Universitas Sumatera Utara

dengan perangkat hukum positif lain yang berlaku secara nasional di negara yang
bersangkutan. Sebelum meratifikasi konvensi setiap negara perlu :39
a. Mengidentifikasi peraturan perundangan yang berkaitan dengan konvensi
serta melihat kesesuaian dan ketidaksesuaian antara konvensi dan peraturan
perundangan yang berlaku;
b. Mengadakan konsultasi tripartit dan instansi terkait dengan pengharapan
tercapainya suatu konsensus untuk menyempurnakan peraturan perundangan
yang tidak sesuai dengan konvensi;
c. Mempersiapkan mekanisme pelaporan sesuai komitmen dengan pihak-pihak
terkait baik insitusi pemerintah maupun swasta yang terkait.
Suatu negara yang meratifikasi konvensi internasional, maka negara tersebut
dengan sukarela mengikatkan diri pada ketentuan-ketentuan konvensi. Negara
tersebut secara sadar telah memberikan sebagian kedaulatannya kepada masyarakat
internasional. Negara tersebut telah “commited” untuk melaksanakan ketentuanketentuan konvensi. Negara yang meratifikasi suatu konvensi juga mempunyai
kewajiban untuk :
a. Mempersiapkan peraturan perundang-undangan dan sarana yang menjamin
pelaksanaan konvensi yang diratifikasi;
b. Menyempurnakan peraturan perundangan yang ada yang dianggap belum
sejalan atau bertentangan dengan konvensi;

39

Menumbuhkembangkan Kesadaran Melaksanakan Konvensi ILO yang Telah Diratifikasi,
op.cit., hlm. 11.

Universitas Sumatera Utara

c. Memberikan sanksi atas pelanggaran konvensi;
d. Menyampaikan penjelasan atas tuduhan (complaints) pihak lain baik dari
dalam maupun dari luar negeri mengenai adanya penyimpangan pelaksanaan
konvensi.
Konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sampai 31
Agustus

2015 adalah sebanyak 19 konvensi. Diantara konvensi yang telah

diratifikasi Indonesia tersebut yang menyangkut hak asasi manusia adalah antara
lain:40
a. Konvensi ILO No. 29 tentang Kerja Paksa atau Kerja Wajib (diratifikasi
Pemerintah Hindia Belanda tahun 1933 dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia
dengan Staatsblaad 261, 1933);
b. Konvensi ILO No. 98 mengenai Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama
(diratifikasi dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 1956);
c. Konvensi ILO No. 100 mengenai Pengupahan yang Sama Bagi Pekerja Lakilaki dan Wanita Untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (diratifikasi dengan
Undang-Undang No.50 Tahun 1957);
d. Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
Untuk Berorganisasi (diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI Nomor 83
Tahun 1998);
e. Konvensi ILO No. 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa (diratifikasi
dengan Undang-Undang No.19 Tahun 1999);
40

http://www.ilo.org/dyn/normlex/en diakses pada tanggal 6 September 2015 14.20

Universitas Sumatera Utara

f. Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan
Bekerja (diratifikasi dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 1999);
g. Konvensi ILO No. 111 mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan
(diratifikasi dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 1999).
Sedangkan untuk konvensi umum yang telah diratifikasi Indonesia antara lain :
a. Konvensi ILO No.19 tentang Perlakuan yang Sama Bagi Pekerja Nasional dan
Asing dalam Hal Tunjangan Kecelakaan Kerja (diratifikasi Pemerintah
Belanda tahun 1927 dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan
Staatblaads 53, 1929);
b. Konvensi ILO No. 27 tentang Pemberian Tanda Berat Pada Pengepakan
Barang-Barang Besar yang Diangkut dengan Kapal (diratifikasi Pemerintah
Belanda tahun 1933 dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan
Staatblaads 117, 1933);
c. Konvensi ILO No. 45 tentang Kerja Wanita Pada Segala Macam Tambang di
Bawah Tanah.(diratifikasi Pemerintah Belanda tahun 1937 dan dinyatakan
berlaku bagi Indonesia dengan Staatblaads 219 ,1937);
d. Konvensi ILO No. 106 tentang Istirahat Mingguan Dalam Perdagangan dan
Kantor-Kantor (diratifikasi dengan Undang-Undang RI No.3 Tahun 1961);
e. Konvensi ILO No. 120 tentang Ijin Higyene dalam Perniagaan dan KantorKantor (diratifikasi dengan Undang-Undang RI No.3 Tahun 1999);

Universitas Sumatera Utara

f. Konvensi ILO No. 144 tentang Konsultasi Tripartit untuk Meningkatkan
Pelaksanaan Standar Perburuhan Internasional (diratifikasi dengan Keputusan
Presiden RI No. 26 Tahun 1990);
g. Konvensi ILO No. 69 tentang Sertifikasi bagi Juru Masak di Kapal
(diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI No. 4 Tahun 1992).
Setiap negara yang meratifikasi suatu konvensi harus menyelaraskan hukum
nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan konvensi. Seluruh masyarakat di negara
yang bersangkutan harus turut bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Dengan
demikian, bilamana ketentuan-ketentuan konvensi ditingkat nasional dilaksankan
dengan baik dan konsekuen maka hal ini akan membawa dampak yang positif dan
manfaat yang besar bagi kepentingan pekerja dan dunia usaha yang pada akhirnya
diyakini akan membawa hasil bagi kemakmuran bangsa dan negara. Sejak berdirinya
ILO sampai sekarang telah mengeluarkan konvensi sebanyak 195 konvensi.41
Negara anggota ILO juga diwajibkan mengirim laporan konvensi yang belum
diratifikasi. Bilamana negara anggota tidak mendapatkan persetujuan untuk
meratifikasi dari penguasa yang berwenang, maka negara anggota yang bersangkutan
tidak berkewajiban untuk memaksakan ratifikasi. Namum demikian, hal ini wajib
dilaporkan kepada Dirjen ILO dalam jangka tertentu sesuai prosedur dan mekanisme
jadwal pelaporan yang disusun ILO. Laporan negara anggota hendaknya menjelaskan
keadaan hukum dan praktek perundang-undangan yang ada kaitannya dengan
konvensi, antara lain sampai sejauh mana hukum dan praktek nasional tersebut
41

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

memberikan pengaruh terhadap ketentuan-ketentuan konvensi termasuk tindakantindakan administratif atau praktek-praktek lainnya serta kesukaran-kesukaran yang
menghambat ratifikasi konvensi dimaksud.42
Negara anggota ILO wajib membuat laporan tahunan konvensi yang sudah
diratifikasi dan laporan harus memuat langkah-langkah yang telah diambil sesuai
dengan ketentuan-ketentuan konvensi dan laporan dibuat dalam format khusus sesuai
ketentuan ILO.43 Salinan seluruh mengenai pelaksanaan konvensi ini yang sudah
diratifikasi harus disampaikan kepada perwakilan pengusaha dan pekerja.44
C. Penerapan LKS Bipartit di Perusahaan (PTPN III Kebun Sei Putih)
Setiap pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh selalu ingin berusaha
meningkatkan kesejahteraan melalui perbaikan upah dan jaminan sosial. Namun
harus disadari penyampaian aspirasi untuk diadakan perbaikan upah dan jaminan
sosial tidaklah mudah, karena apabila salah menyampaikan aspirasi kepada
pengusaha dapat menimbulkan hubungan yang tidak harmonis antara pekerja/buruh
dengan pengusaha. Melihat perlunya kerjasama antara pekerja/buruh dengan
pengusaha dalam menciptakan hubungan industrial yang harmonis serta produktivitas
yang tinggi maka pemerintah pun selalu berusaha mengadakan pembinaan dan
penyuluhan kepada pekerja/buruh dan pengusaha.
Pemerintah berfungsi mengatur dan memberikan kemudahan supaya setiap
kegiatan yang dilakukan oleh anggota mayarakat dapat berkembang maju dalam tata
42

Pasal 19 ayat 5e Konstitusi ILO Tahun 1919
Pasal 22 Konstitusi ILO
44
Pasal 23 ayat 2 Konstitusi ILO
43

Universitas Sumatera Utara

hubungan yang tidak saling berbenturan antara satu kegiatan dengan kegiatan yang
lain. Demikian juga pemerintah selalu berusaha dan mengusahakan supaya setiap
usaha-usaha ekonomis yang dilakukan masyarakat baik usaha kecil, menengah dan
besar maupun usaha di sektor formal dan informal, dapat berkembang dan berhasil
dengan baik. Bagi pemerintah, perusahaan dan usaha-usaha yang dilakukan oleh
masyarakat sangat penting karena beberapa alasan :45
1. Perusahaan merupakan sumber kesempatan kerja. Lapangan dan kesempatan kerja
merupakan kebutuhan masyarakat. Tingkat pengangguran yang tinggi akan dapat
menimbulkan keresahan sosial dan mengganggu pertumbuhan ekonomi.
Kredibilitas suatu pemerintahan dapat juga diukur dari kemampuannya
memperkecil tingkat pengangguran.
2. Perusahaan merupakan sumber penghasilan bagi banyak orang. Dengan adanya
sejumlah perusahaan yang berhasil baik, maka semakin banyak pekerja yang
memperoleh penghasilan sehingga pendapatan nasional akan meningkat pula.
3. Perusahaan merupakan sumber pertumbuhan ekonomi, kemakmuran bangsa serta
ketahanan nasional. Pendapatan nasional adalah akumulasi nilai tambah yang
dihasilkan oleh seluruh perusahaan.
4. Perusahaan merupakan sumber devisa. Dalam globalisasi ekonomi, devisa
merupakan suatu kebutuhan negara yang sangat penting. Hasil-hasil perusahaan
yang digunakan di dalam negeri akan mengurangi jumlah impor serta menghemat

45

Payaman J. Simanjuntak, Masalah Hubungan Industrial di Indonesia, (Jakarta : Himpunan
Pembina Sumber Daya Manusia Indonesia, 1992), hlm. 1-2.

Universitas Sumatera Utara

penggunaan devisa. Apalagi bila hasil-hasil perusahaan diekspor, devisa akan
bertambah.
5. Keuntungan perusahaan dan pendapatan karyawannya merupakan sumber utama
pendapatan negara melalui sistem pajak. Semakin besar sisa hasil usaha atau
keuntungan perusahaan, semakin besar potensi pembayar pajak perusahaan.
Semakin besar pendapatan pekerja, semakin besar pula potensi pembayar pajak
penghasilan.
Untuk menunjang dan mendorong keberhasilan hubungan industrial yang
harmonis dan sebagai salah satu sarana hubungan industrial sebagaimana disebutkan
pada Pasal 103 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
adalah Lembaga Kerjasama Bipartit.
Hasil penelitian di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Deli Serdang tahun 2014 terdapat 669 perusahaan yang terdaftar dan hanya 15
perusahaan yang memiliki Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit sebagaimana dilihat
dalam tabel 1.
Berdasarkan hasil wawancara dari Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang mengatakan bahwa selama 3
tahun terakhir ini berdasarkan pengamatan dan pengawasan belum ditemukan
keresahan di perusahaan yang mempunyai LKS Bipartit seperti pemogokan,

Universitas Sumatera Utara

pemutusan hubungan kerja, yang artinya tidak ada satu pun pengaduan yang masuk
ke kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang46.
Hasil wawancara dengan pimpinan LKS Bipartit perusahaan PTPN III Kebun
Sei Putih, ditemukan jawaban bahwa antara pengusaha dengan pekerja/buruh selalu
ada komunikasi yang baik dan pertemuan diadakan 1 kali dalam 3 bulan sehingga
pengusaha mendapat masukan-masukan dari pihak pekerja/buruh terhadap masalah
hubungan kerja dan syarat-syarat kerja. Apabila ada keluhan-keluhan dari
pekerja/buruh selalu dibicarakan dalam rapat LKS Bipartit. Dalam rapat LKS Bipartit
ini tidak hanya dibicarakan masalah hubungan industrial tetapi juga masalah
perkembangan perusahaan kedepan seperti memperluas jaringan perusahaan dan
termasuk penambahan tenaga kerja.Perselisihan hubungan industrial di PTPN III
jarang terjadi karena komunikasi antara pengusaha dengan pekerja/buruh lancar dan
tidak terhambat akibat adanya LKS Bipartit yang setiap bulannya mengadakan
pertemuan47.
Lembaga Kerjasama Bipartit di dalam keseluruhan kegiatan mempunyai
wewenang memberikan :48

46

Bapak Mustamar, SH, MH, Kepala Bidang Perselisihan Hubungan Industrial pada tanggal
2 Juli 2015 pukul 11.30 wib. di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang
47
Bapak Simon Lumban Tobing, Pengurus LKS Bipartit PTPN III pada tanggal 15 September
2015 di Kantor PTPN III Kebun di Putih, Galang.
48
Buku Pedoman Pegawai Teknis Ditjen Binawas dalam Penyuluhan Hubungan Industrial
Pancasila, (Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
Ketenagakerjaan, 1992)

Universitas Sumatera Utara

1. Saran
Saran disampaikan kepada masing-masing pihak (pengusaha dan pekerja) sebagai
hasil yang dicapai oleh pengurus Lembaga Kerjasama Bipartit dalam sarasehan
dimana saran tersebut tidak mengikat.
Contoh : menyarankan kepada pengusaha untuk mendirikan :
a. tempat ibadah;
b. pakaian seragam;
c. ruang makan;
d. olah raga;
e. perumahan pekerja dan lain sebagainya.
Di samping itu kesepakatan dari pengurus Lembaga Kerjasama Bipartit yang
mempunyai bobot urgensi untuk diperhatikan dapat disampaikan kepada pihak
manajemen sebagai bahan pertimbangan dalam rangka pemantapan pelaksanaannya.
Contoh : meminta kepada direksi untuk melaksanakan program keselamatan kerja
secara ketat.
2. Memorandum
Hasil kesepakatan yang sudah pernah diajukan kepada kedua belah pihak dan atau
ketentuan-ketentuan lain yang sudah disepakati masing-masing pihak tetapi belum
dilaksanakan dapat disampaikan kembali kepada pihak-pihak yang bersangkutan.

Universitas Sumatera Utara

Dalam melakukan pemecahan masalah, Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit memiliki
cara-cara sebagai berikut :49
1. Lembaga Kerjasama Bipartit sebagai wadah komunikasi dan konsultasi antara
unsur pekerja dan unsur pengusaha dalam perusahaan, perlu diberi kedudukan
sebagai peran koordinasi bagi lembaga-lembaga lainnya dalam perusahaan seperti
P3K3 (Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja), Unit Pengelola
Keluarga Berencana Kesejahteraan Pekerja (KB Kesja), Koperasi Karyawan,
Gugus Kendali Mutu dan sebagainya.
2. Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit perlu didukung oleh unsur pekerja yang
berkualitas untuk melakukan tugas dan oleh sikap keterbukaan informasi dari
unsur pengusaha mengenai kondisi perusahaannya.
3. Dalam hal di perusahaan belum ada serikat pekerja, Lembaga Kerjasama Bipartit
perlu dilibatkan dalam penyusunan dan pembaharuan peraturan perusahaan.
4. Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit dari unsur pekerja harus riil dari pekerja
yang terpilih dan mampu melaksanakan tugasnya.
5. Dari pihak pengusaha perlu ada keterbukaan informasi mengenai hal-hal yangdapat
mempengaruhi pekerja untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian, misalnya :
a. prosedur kerja
b. perubahan jadwal
c. perubahan waktu (jam) kerja
d. perubahan cara kerja
49

Ibid., hlm. 21-22.

Universitas Sumatera Utara

e. kinerja
f. perubahan kelompok kerja
g. dan sebagainya.
6. Anggota Lembaga Kerjasama Bipartit harus benar-benar mengetahui kondisi
perusahaan. Lembaga Kerjasama Bipartit tidak boleh menangani hal-hal yang
menjadi kompetensi serikat pekerja, misalnya :
a. mengurus syarat-syarat kerja dan perubahannya
b. pembuatan/perundingan PKB dan pemantauan pelaksanaannya
c. penanganan perselisihan hubungan industrial, dan sebagainya.
Dalam jangka panjang perlu adanya upaya memantapkan komunikasi yang
lebih baik antara pekerja dan pengusaha, dan sekaligus diarahkan agar dapat
mengantisipasi hal-hal di masa mendatang. Disamping itu Lembaga Kerjasama
Bipartit juga perlu dimantapkan sebagai forum koordinasi yaitu mengkoordinasikan
lembaga-lembaga ketenagakerjaan yang ada dalam perusahaan agar terjalin hubungan
antara lembaga yang satu dengan lembaga lainnya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan fasilitas kesejahteraan, maka
Lembaga Kerjasama Bipartit, khususnya dalam hubungannya dengan upaya
menciptakan iklim kondusif ke arah terwujudnya penerapan prinsip-prinsip dasar
paham Pancasila dalam hubungan industrial Pancasila (HIP), adalah mempunyai
kedudukan yang sangat penting dan mendasar dalam implementasi HIP karena secara
langsung dapat menyentuh kehidupan para pekerja di perusahaan. Untuk itu
seyogianya

penyelenggaraan

fasilitas

kesejahteraan

pekerja

ini

perlu

Universitas Sumatera Utara

ditumbuhkembangkan keberadaannya dibawah koordinasi Lembaga Kerjasama
(LKS) Bipartit sebagai suatu lembaga khusus yang minimal sejajar dengan
keberadaan lembaga lain yang ada di perusahaan.
Perusahaan dengan jumlah pekerja kurang dari 50 (lima puluh) orang,
komunikasi dan konsultasi masih dapat dilakukan secara perorangan dengan baik dan
efektif. Pada perusahaan dengan jumlah pekerja 50 (lima puluh) orang atau lebih,
komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan melalui sistem perwakilan. Oleh karena
itu setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja atau lebih
wajib membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit (LKS Bipartit).
LKS Bipartit adalah suatu badan pada tingkat perusahaan atau unit produksi
yang dibentuk oleh pekerja bersama-sama dengan pengusaha. Anggota LKS Bipartit
ditunjuk berdasarkan kesepakatan dan keahlian. LKS Bipartit berfungsi sebagai
forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah mengenai hal ketenagakerjaan di
perusahaan. Tugas utamanya sebagai media penyerapan hubungan industrial dalam
praktek kehidupan kerja untuk menciptakan ketenangan kerja dan usaha dan
peningkatan partisipasi pekerja dalam penetapan tata kerja.
Dengan tugas-tugas tersebut, jelas bahwa posisi LKS Bipartit tidak
mengambil alih peran dan kedudukan lembaga lainnya, seperti peran Serikat Pekerja
maupun peran pengusaha dalam pengelolaan badan usahanya. Hasil kerja LKS

Universitas Sumatera Utara

Bipartit menjadi masukan bagi semua pihak dalam usaha untuk menciptakan
ketenangan kerja dan usaha, peningkatan produktifitas dan kesejahteraan.50
Kewajiban lain yang tak kalah pentingnya dari seorang pengusaha, adalah
bertindak sebagai seorang pengusaha yang baik. Pengusaha yang baik wajib
melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu yang dalam keadaan yang sama
seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan dalam lingkungan perusahaannya51.
Ketentuan di atas mengandung pengertian yang sangat luas. Dalam hal melakukan
atau tidak melakukan segala sesuatu yang dalam keadaan yang sama seharusnya
dilakukan atau tidak dilakukan ini, berarti bahwa pengusaha harus berbuat dan
bertindak sebijaksana mungkin. Apa yang harusnya berdasarkan ketentuan hukum
harus dilakukan, dipenuhi dengan sebaik-baiknya dengan penuh ketaatan. Apa yang
sepatutnya harus dicegah dan dihindari, dan tidak dilakukan.
Kewajiban ini kemudian menjadi dasar bagi pengusaha untuk mengatur
berbagai kebijakan dalam memotivasi pekerjanya, antara lain dilakukan dengan
mengatur sistem pengupahan dan jenjang karir yang terencana guna mendorong
produktivitas pekerja, mengadakan pendidikan dan latihan guna peningkatan
wawasan, keahlian dan keterampilan pekerja untuk kemajuan perusahaan dan
kesejahteraan pekerja beserta keluarganya. Ketentuan ini membuka peluang pula bagi
semua praktek hubungan kerja yang tidak diatur dalam peraturan perundang-

50

Mohd. Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, (Jakarta :
Sarana Bhakti Persada, 2005), hlm. 67-68.
51
Pasal 1602 Y KUHPerdata

Universitas Sumatera Utara

undangan ketenagakerjaan diatur melalui perjanjian kerja, peraturan perusahaan (PP)
atau perjanjian kerja bersama (PKB).52
Hubungan Industrial Pancasila dalam praktek sehari-hari diwujudkan melalui
penerapan berbagai pengaturan dan kelembagaan seperti bipartit, tripartit,
kesepakatan kerja bersama, penyelesaiaan perselisihan, dan peraturan perundangan di
bidang ketenagakerjaan. Pengembangan lembaga bipartit sangat penting untuk
menciptakan kesempatan berkomunikasi langsung antara pengusaha dan pekerja atau
wakil pekerja. Dengan cara ini dapat dihindari adanya salah paham antara kedua
belah pihak dan dapat ditingkatkan rasa saling menghormati. Melalui lembaga atau
forum

bipartit,

pekerja

atau

wakilnya

dapat

diikutsertakan

merumuskan

kebijaksanaan dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam perusahaan.
Masalah perusahaan tidak hanya mencakup kepentingan pengusaha dan
pekerja saja, tetapi juga merupakan masalah pemerintah sebagai pihak yang mewakili
kepentingan umum. Oleh sebab itu telah dikembangkan pembentukan badan atau
lembaga kerjasama tripartit sebagai forum bagi para pengusaha, wakil pekerja dan
pemerintah yang mewakili kepentingan masyarakat, untuk membicarakan masalahmasalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, pengembangan sumber daya
manusia, pengembangan industri, peraturan perundangan, hubungan industrial,
kondisi dan lingkungan kerja dan lain-lain.
Hubungan industrial yang sehat harus terpelihara di dalam perusahaan melalui
peraturan perusahaan atau penandatanganan kesepakatan kerja bersama antara serikat
52

Ibid., hlm. 69-70

Universitas Sumatera Utara

pekerja yang mewakili pekerja dan manajemen yang mewakili pengusaha. Peraturan
perusahaan bagi perusahaan dimana belum ada unit SPSI, dan kesepakatan kerja
bersama di perusahaan yang telah ada unit SPSI. Peraturan perusahaan ataupun PKB
yang baik dan mencerminkan hubungan industrial Pancasila seharusnya terbentuk
bukan dari persetujuan yang terpaksa antara pihak-pihak yang ingin mencapai tujuan
yang berbeda tapi merupakan persetujuan yang menyatakan kehendak pengusaha dan
pekerja untuk meningkatkan produktivitas dan kondisi kerja dalam perusahaan yang
berarti akan meningkatkan kesejahteraan pengusaha dan pekerja.
PKB atau peraturan perusahaan pada dasarnya mengatur hak dan kewajiban
pengusaha serta hak dan kewajiban pekerja. PKB atau peraturan perusahaan juga
memuat ketentuan pokok mengenai pendayagunaan pekerja, tindakan disiplin serta
petunjuk penyelesaian perselisihan bila terjadi perbedaan pendapat antara pengusaha
dan karyawan. Dengan prinsip-prinsip hubungan pengusaha dan karyawan seperti itu
maka akan dapat tercapai iklim dan suasana kerja yang stabil, damai dan tentram. Di
samping itu, pengusaha juga berkewajiban meningkatkan kesejahteraan karyawannya
dengan memberikan jaminan pekerjaan, serta peningkatan penghasilan dan
penghidupan yang layak bagi karyawan yang bersangkutan, paling sedikit cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum.53

53

Payaman J. Simanjuntak, op.cit., hlm. 18-19.

Universitas Sumatera Utara

D. Penerapan LKS Bipartit di Filipina
Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit di Filipina telah berkembang sejak tahun
1980 an melalui dukungan ILO yang dikenal dengan nama Labour Management
Cooperation (LMC). Pengaturan Labour Management Cooperation (LMC) di
Filipina adalah merupakan amanat dari Labor Code of the Philippines melalui
Putusan Presiden No. 44254 yang termuat dalam Book Five Labor Relation Title VII ,
Collective Bargaining and Administration of Agreement, Art. 255 Exclusive
bargaining representation and worker’s participation in policy and decision making.
Article 255 undang-undang tersebut menyatakan 55:
Any provision of law to the contrary notwithstanding, workers shall have the right,
subject to such rules and regulations as the Secretary of Labor and Employment
may promulgate, to participate in policy and decision-making processes of the
establishment where they are employed insofar as said processes will directly
affect their rights, benefits and welfare. For this purpose, workers and employers
may form labor-management councils: Provided, That the representatives of the
workers in such labor-management councils shall be elected by at least the
majority of all employees in said establishment. (As amended by Section 22,
Republic Act No. 6715, March 21, 1989).

Dapat diartikan bahwa dalam hal partisipasi dalam kebijakan dan dalam
proses pengambilan keputusan di perusahaan yang secara langsung mempengaruhi
hak-hak pekerja, mendatangkan keuntungan dan kesejahteraannya maka pekerja dan
pengusaha dapat membentuk dewan buruh manajemen. Asalkan, Bahwa perwakilan
dari pekerja di dewan buruh-manajemen tersebut akan dipilih oleh setidaknya
sebagian dari seluruh karyawan dalam pembentukannya.
54
55

http://www.dole.gov.ph/news/view/80 diakses pada tanggal 3 Nopember pukul 08.33 wib
Art.255 Labor Code of the Philippines

Universitas Sumatera Utara

Artikel 255 dalam Labor Code of Phlippines ini diamandemen dengan
ditambahnya pengaturan mengenai dewan buruh manjemen yang terdapat dalam
Republict Act 6715 Rule XII, Labour Management Council section 38, section 39
sebagai berikut :
Section 38
1. Creation of labor-management council. — The department shall promote the
formation of a labor-management council in organized establishments to
enable the workers to participate in policy and decision-making processes in
the establishment insofar as said processes will directly affect their rights,
benefits and welfare, except those which are covered by collective bargaining
agreements or are traditional areas of bargaining. The Department shall
render, among others, the following services:
1. Conduct awareness campaigns on the need to establish labor-management
councils;
2. Assist the parties, through the Department’s field workers, in setting up
labor-management structures, functions and procedures;
3. Provide process facilitators in labor-management council meetings upon
request of the parties; and
4. Monitor the activities of labor-management councils as may be necessary.
5. In establishment where no legitimate labor organization exists, labormanagement committees may be formed voluntarily by workers and
employers for the purpose of promoting industrial peace. The Department
shall endeavor to enlighten and educate the workers and employers on their
rights and responsibilities through labor education with emphasis on the
policy thrusts of this Code.
Section 39.
Assistance by the Department. — The Department, upon its own initiative or upon
the request of both parties, may assist in the formulation and development of
labor-management cooperation, programs and projects on productivity,
occupational safety and health, improvement ofquality of work life, product quality
improvement, a