Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit Perusahaan Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Kabupaten Deli Serdang

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai cara dilakukan untuk menciptakan ketenangan bekerja dan berusaha
sehingga tercapai produktivitas yang tinggi dan semakin meningkatnya kesejahteraan
pekerja/buruh. Pengertian ketenangan bekerja dan berusaha atau industrial peace
adalah suatu kondisi yang dinamis didalam hubungan kerja di perusahaan dimana
terdapat 3 unsur penting ialah :1
1. Hak dan kewajiban terjamin dan dilaksanakan.
2. Apabila timbul perselisihan dapat diselesaikan secara internal.
3. Mogok dan penutupan perusahaan (lock-out) tidak perlu digunakan untuk
memaksakan kehendak, karena perselisihan yang terjadi telah dapat diselesaikan
dengan baik.
Peran untuk menciptakan ketenangan bekerja dan berusaha tidak hanya
terletak pada pembinaan dan pengawasan dari pemerintah tetapi juga tidak kalah
pentingnya peran dari pekerja/buruh dan pengusaha. Walaupun pekerja/buruh yang
bekerja di perusahaan mendapat perintah dari pengusaha dalam melakukan pekerjaan
sesuai dengan tugas dan fungsinya bukanlah berarti bahwa pekerja/buruh tidak dapat
mengeluarkan pendapat atau aspirasi. Pekerja/buruh dapat mengeluarkan pendapat
atau aspirasinya seperti membentuk organisasi atau serikat yang dikenal dengan
1


Suwarto, Hubungan Industrial dalam Praktek, ( Jakarta : Asosiasi Hubungan Industrial
Indonesia, 2003), hlm. 14.

Universitas Sumatera Utara

serikat pekerja/serikat buruh. Akan tetapi organisasi atau serikat ini hanya untuk
pekerja/buruh sedangkan pengusaha tidak ikut menjadi anggotanya.
Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan industrial adalah suatu sistem
hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan /atau
jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Pasal tersebut sangat jelas menerangkan bahwa dalam hubungan
industrial ada 3 (tiga) unsur untuk memproses produksi barang dan jasa yaitu unsur
pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah. Ketiga unsur tersebut memiliki hubungan
yang erat dan secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut : hubungan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha disebut hubungan kerja, hubungan antara
pemerintah dengan pekerja/buruh disebut hubungan pembinaan dan perlindungan
sedangkan hubungan antara pemerintah dengan pengusaha disebut dengan hubungan

pembinaan dan pengawasan.
Berbicara tentang hubungan industrial adalah merupakan bagian dari
pembangunan ketenagakerjaan untuk mewujudkan salah satu amanah dari Pasal 28 D
ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bagaimana mewujudkan hak setiap orang
untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan industrial pada dasarnya
adalah pola hubungan interaktif yang terbentuk diantara para pelaku proses produksi
barang dan jasa dalam suatu hubungan kerja.

Universitas Sumatera Utara

Hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha pada dasarnya
memiliki tujuan yang sama yaitu bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan
hidup perusahaan dan peningkatan kesejahteraan namun pada saat tertentu
kepentingan keduanya dapat berbeda terutama dalam hal pelaksanaan syarat-syarat
kerja, yang terjadi karena terhambatnya komunikasi antara pekerja/buruh dengan
pengusaha.
Terhambatnya komunikasi antara pekerja/buruh dengan pengusaha akan
menimbulkan perselisihan hubungan industrial. Dalam pelaksanaan hubungan
industrial yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan dikenal istilah bipartit sebagai lembaga dan bipartit sebagai sistem.
Sebagai lembaga, bipartit adalah institusi yang keanggotaannya terdiri dari unsur
yang mewakili pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha untuk
satu periode tertentu dalam satu perusahaan yang dikenal dengan LKS Bipartit
sedangkan bipartit sebagai sistem adalah mekanisme pertemuan atau mempertemukan
antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh di satu pihak dengan
pengusaha di lain pihak dalam suatu perundingan sebagai upaya mencapai
kesepakatan.2
Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit sebagai forum komunikasi dan forum
konsultasi

tentunya

akan

membuat

komunikasi

antara


pengusaha

dengan

pekerja/buruh tidak akan terhambat. Di dalam Pasal 107 Undang-Undang No. 13

2

ILO, Perundingan Bersama dan Keterampilan Bernegosiasi; Buku Panduan untuk Serikat
Pekerja , (Jakarta : Kantor Perburuhan Internasional, 2003), hlm. 51-52.

Universitas Sumatera Utara

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ada mengatur hubungan antar unsur
pemerintah, unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang dikenal dengan Lembaga
Kerjasama Tripartit yang ada di tingkat Kabupaten/Kota, propinsi dan lembaga ini
tidak ada di tingkat perusahaan.
Pasal 107 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa Lembaga Kerjasama (LKS) Tripartit bertujuan untuk

memberikan pertimbangan, saran dan pendapat kepada pemerintah dan pihak yang
terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. Jika
Lembaga Kerjasama Tripartit terdiri dari 3 (tiga) unsur yang melibatkan pemerintah
maka ada lagi lembaga antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang dikenal dengan
Lembaga Kerjasama Bipartit atau LKS Bipartit.
Pasal 1 angka 18 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Lembaga Kerjasama Bipartit adalah forum
komunikasi dan konsultasi mengenai hak-hak yang berkaitan dengan hubungan
industrial di suatu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh. Berdasarkan bunyi pasal tersebut
jelas bahwa Lembaga Kerjasama Bipartit bukanlah untuk menyelesaikan suatu
masalah akan tetapi sebagai forum komunikasi dan konsultasi antara pengusaha
dengan pekerja/buruh yang berkaitan dengan hubungan industrial disuatu perusahaan.
Dengan kata lain bahwa Lembaga Kerjasama Bipartit ini bukanlah untuk

Universitas Sumatera Utara

menyelesaikan masalah yang timbul di dalam hubungan kerja sehingga sering disebut
bipartit sebagai lembaga dan bukan bipartit sebagai sistem penyelesaian perselisihan.

Pasal 102 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
menyebutkan

bahwa

dalam

melaksanakan

hubungan

industrial

pemerintah

mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan
pengawasan, melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundangundangan ketenagakerjaan.
Hubungan industrial sesuai dengan Pasal 103 Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan dilaksanakan melalui sarana :
a.Serikat Pekerja/Serikat Buruh;

b.Organisasi Pengusaha;
c.Lembaga Kerjasama Bipartit;
d.Lembaga Kerjasama Tripartit;
e.Peraturan Perusahaan;
f.Perjanjian Kerja Bersama;
g.Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan;
h.Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Menganalisis Pasal 103 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan tersebut diatas maka mulai butir a sampai g dapat dilihat bahwa
pekerja/buruh telah ikut serta atau terlibat didalam menentukan arah dan
kelangsungan hidup dari perusahaan, berarti sudah terjadi demokratisasi ditingkat
perusahaan. Berdasarkan Pasal 103 tersebut juga menyatakan bahwa salah satu sarana

Universitas Sumatera Utara

hubungan industrial dilaksanakan melalui Lembaga Kerjasama Bipartit yang hanya
terdapat di tingkat perusahaan.
Lembaga Kerjasama Bipartit bertujuan mewujudkan ketenangan bekerja,
disiplin kerja dan ketenangan usaha, peningkatan kesejahteraan pekerja dan
perkembangan serta kelangsungan hidup perusahaan dan mengembangkan motivasi

dan partisipasi pekerja sebagai mitra pengusaha di perusahaan dan juga berfungsi
sebagai forum komunikasi dan musyawarah antara pekerja dan pengusaha pada
tingkat perusahaan atau unit-unit kerja perusahaan untuk meningkatkan produktivitas
tenaga kerja, disiplin kerja, ketenangan kerja, dan ketenangan usaha.3
Begitu pentingnya Lembaga Kerjasama Bipartit, maka didalam Pasal 106
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa
setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau
lebih wajib membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit. Terhadap pengusaha yang
mempekerjakan pekerja/buruh 50 (lima puluh) orang atau lebih tidak mempunyai
Lembaga Kerjasama Bipartit maka berdasarkan Pasal 190 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dapat dikenakan sanksi administratif berupa :
a. Teguran;
b. Peringatan tertulis;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha;

3

Mohd.
Syaufii

Syamsuddin,
Norma
Industrial,(Jakarta:Sarana Bhakti Persada, 2004), hlm. 186.

Perlindungan

dalam

Hubungan

Universitas Sumatera Utara

e. Pembatalan persetujuan;
f. Pembatalan pendaftaran;
g. Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
h. Pencabutan izin.
Berpedoman kepada Pasal 106 dan Pasal 190 tersebut diatas maka adalah kewajiban
pengusaha untuk membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit di perusahaan.
Lembaga Kerjasama Bipartit yang dibentuk harus berlandaskan kepada 2
(dua) asas kerja sama. Pertama adalah asas kekeluargaan dan gotong royong dan

kedua asas musyawarah untuk mufakat, mekanisme dan hubungan kerja dengan
lembaga-lembaga lainnya bersifat koordinatif, konsultatif dan komunikatif dan tidak
boleh mengambil alih hak serikat pekerja maupun hak pimpinan perusahaan, hasilhasil konsultasi dan komunikasi yang dicapai hanya terbatas untuk konsumsi intern
perusahaan dan merupakan saran, rekomendasi, memorandum bagi pimpinan
perusahaan dan pekerja.4
Lembaga Kerjasama Bipartit bukan mengambil alih peran serikat pekerja/
serikat buruh yang ada di perusahaan akan tetapi saran yang disampaikan merupakan
hasil kesepakatan kedua belah pihak pelaksanaan tidak mengikat. Materi yang akan
dan dikomunikasikan meliputi berbagai segi kehidupan di perusahaan khususnya
yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan hubungan industrial dalam rangka proses

4

Mohd. Syaufii Syamssuddin, ibid., hlm.187.

Universitas Sumatera Utara

produksi, kerja sama bipartit ini tidak dapat diartikan sebagai kerja sama secara fisik,
tetapi lebih banyak dalam bidang konsep pemikiran dan penyamaan persepsi.5
Penyamaan persepsi antara pekerja/buruh dengan pengusaha tidaklah mudah

dilakukan karena kedua belah pihak mempunyai kepentingan yang berbeda walaupun
bekerjasama dalam menghasilkan barang dan jasa. Secara yuridis buruh adalah
memang bebas, prinsip negara kita adalah tidak seorang pun boleh diperbudak,
diperulur atau diperhamba; perbudakan, perdagangan budak dan perhambaan dan
segala perbuatan berupa apapun yang bertujuan kepada itu dilarang. Secara sosiologis
buruh adalah tidak bebas sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain
daripada tenaganya itu, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain, maka dengan
demikian buruh secara jasmaniah dan rohaniah tidak bebas.6
Undang-Undang

No.13

Tahun

2003

Tentang

Ketenagakerjaan

ada

mewajibkan pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh 50 orang untuk
membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit7. Namun kenyataannya masih banyak
perusahaan belum mau membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit di perusahaannya,
karena mereka menganggap kurang penting padahal sangat banyak gunanya sebagai
forum komunikasi dan konsultasi antara pekerja dan pengusaha yang selama ini
mungkin membeku yang akhirnya akan menimbulkan perselisihan hubungan
industrial.

5

Suwarto, op.cit., hlm. 24.
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta : Djambatan, 2003), hlm. 8-9.
7
Pasal 106 angka 1 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
6

Universitas Sumatera Utara

Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit sebagai salah satu sarana dalam hubungan
industrial dimaksudkan sebagai sarana komunikasi dalam membahas berbagai
permasalahan hubungan industrial yang timbul di perusahaan, sehingga dapat
dihindarkan berbagai perselisihan yang berakibat kurang harmonisnya hubungan
antara pekerja dan pengusaha.8
Negara Indonesia mengamanatkan pembentukan Lembaga Kerjasama (LKS)
Bipartit di perusahaan dan negara-negara lain juga memiliki lembaga yang sama
walaupun nama dan bentuknya berbeda. Pada hakikatnya lembaga tersebut
mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin menciptakan hubungan industrial yang
bermanfaat bagi pekerja/buruh. Misalnya di Philipina yang dikenal dengan Labour
Management Cooperation (LMC). Labour Management Cooperation atau Lembaga

Kerjasama Pekerja Pengusaha ini melalui dukungan ILO sejak awal 1980 an telah
berkembang di Philipina. Pada dasarnya lembaga ini ingin mengembangkan programprogram bersama di tempat kerja tanpa mengurangi makna dan fungsi serikat
pekerja/serikat buruh. Program-program yang dikembangkan di Philipina tersebut
dapat dikaitkan dengan usaha-usaha peningkatan pendapatan pekerja/buruh dan
keluarga (income generating project) atau melalui program-program kesejahteraan
lainnya. Dengan kata lain, LMC ingin mewujudkan tempat kerja yang nyaman dan
aman bagi semua pihak.

8

Muzni Tambusai, Hubungan Industrial Era Baru, (Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, 2006), hlm. 41.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan data ketenagakerjaan yang diperoleh dari Kantor Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang tahun 2014 adalah terdapat 669
perusahaan dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 46.224 orang, dan perusahaan yang
mempunyai LKS Bipartit adalah 15 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja 5372
orang, tentang rincian data tersebut dapat dilihat dari tabel dibawah ini :
Tabel 1. Data LKS Bipartit di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014
No

Sektor

Jumlah
Perusahaan

1

2

3

L
10

P
12

2

1

25

1776

449

3

2

4

546

145

4

3

516

24900

11329

5

4

12

642

768

6

5

7

478

186

7

6

42

1972

286

8

7

20

891

582

9

8

19

236

346

10

9

15

142

244

11

0

9

144

100

669

31727

14431

Jumlah

Jumlah
Tenaga Kerja

Perangkat Hubungan
Industrial
LKS Bipartit
15

Sumber : Disnakertrans, Kabupaten Deli Serdang , 2014
Berdasarkan tabel 1 ada 669 sejumlah perusahaan di Kabupaten Deli Serdang dan
hanya 15 perusahaan yang memiliki LKS Bipartit.
Kemudian jumlah kasus perselisihan hubungan industrial di Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang dapat digambarkan melalui tabel dibawah ini :

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2. Jumlah Kasus Perselisihan Hubungan Industrial di Disnakertrans Kabupaten
Deli Serdang Tahun 2014
No
Bulan
Jumlah PHK Hak Kepentingan
Penyelesaian
Kasus
Perundingan Anjuran
Bersama
1
Januari
18
13
5
12
6
2

Februari

16

8

7

1

8

8

3

Maret

10

8

2

-

5

5

4

April

9

8

1

-

5

4

5

Mei

11

9

1

1

6

5

6

Juni

9

7

2

-

4

5

7

Juli

7

5

2

-

4

3

8

Agustus

7

4

2

1

4

3

9

September

16

14

2

-

11

5

10

Oktober

6

5

1

-

6

-

11

Nopember

16

15

1

-

6

10

12

Desember

9

8

-

1

8

1

Jumlah

134

104

26

4

79

55

Sumber : Disnaketrans, Kabupaten Deli Serdang, 2014
Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu kabupaten yang berada di
kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Kabupaten Deli Serdang menempati area
seluas 2.497,72 Km2 yang berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Selat Malaka di
sebelah utara, di sebelah selatan dengan Kabupaten Karo dan Simalungun, di sebelah
barat berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Karo dan di sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai. Administratif pemerintahan
Kabupaten Deli Serdang terdiri dari 22 kecamatan dan 394 Desa/Kelurahan yang

Universitas Sumatera Utara

terdiri dari 78 desa swakarya mula, 6 swakarya madya, 285 desa swasembada mula
dan 25 desa swasembada madya yang seluruhnya telah definitif9.
Jumlah penduduk Deli Serdang berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP)
tahun 2010 adalah 1.790.431 jiwa termasuk penduduk yang bertempat tinggal tidak
tetap dan termasuk urutan kedua terbesar se Sumatera Utara setelah Kota
Medan10.Tahun 2014 jumlah penduduk Deli Serdang sebesar 1.984.598 jiwa dengan
kepadatan penduduk sebesar 795 jiwa per Km2 dengan jumlah rumah tangga
sebanyak 465.881 dan setiap rumah tangga dihuni oleh 4-5 jiwa11.
Kabupaten Deli Serdang adalah salah satu kabupaten yang banyak terdapat
perusahaan dan perkebunan di Propinsi Sumatera Utara dengan jumlah perusahaan
yang terdaftar sebanyak 669 dan jumlah tenaga kerja 46.224 orang . Kondisi ini
tentunya akan menimbulkan banyak perselisihan hubungan industrial. Data yang
diperoleh dari kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Deli Serdang, bahwa
jumlah perusahaan adalah sebanyak 669 dengan jumlah tenaga kerja 46.224 dengan
jumlah kasus perselisihan hubungan industrial yang terjadi pada tahun 2014 adalah
134 kasus. Terdiri dari 104 kasus PHK, 26 perselisihan hak serta 4 perselisihan
kepentingan. Kasus yang dapat diselesaikan dalam persetujuan bersama adalah
sebanyak 79 kasus sedangkan kasus yang gagal mediator menerbitkan anjuran

9

Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang, Deli Serdang dalam Angka 2015, Deli
Serdang, 2015, hlm. 17.
10
Ibid., hlm. 35.
11
Ibid

Universitas Sumatera Utara

terhadap 55 kasus yang akan diteruskan oleh para pihak ke pengadilan hubungan
industrial.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk menuangkan penelitian dalam
bentuk tesis dengan judul :“ Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit Perusahaan dalam
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Kabupaten Deli Serdang ”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah di uraikan dalam latar belakang, maka
beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana keberadaan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit perusahaan di
Kabupaten Deli Serdang ?
2. Bagaimana peran dan fungsi Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit dalam
penyelesaian perselisihan hubungan industrial ?
3. Bagaimana sanksi dan pelaksanaan sanksi dalam Pasal 190 Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan terhadap perusahaan yang tidak
membentuk Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka adapun
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian tesis adalah sebagai berikut :
1.

Untuk mengetahui keberadaan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit perusahaan di
Kabupaten Deli Serdang.

Universitas Sumatera Utara

2.

Untuk mengetahui peran dan fungsi Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit dalam
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

3.

Untuk mengetahui sanksi dan pelaksanaan sanksi dalam Pasal 190 UndangUndang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan terhadap perusahaan yang
tidak membentuk Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak baik

secara teoritis maupun secara praktis.
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum pada akademisi dan bagi masyarakat umum
khususnya dalam hukum ketenagakerjaan untuk menciptakan ketenangan bekerja
dan berusaha.
2. Secara Praktis
Dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut
tentang Lembaga Kerjasama Bipartit di Perusahaan, yaitu:
a. Untuk pemerintah
Sebagai masukan dalam menentukan kebijakan yang akan diambil untuk
menangani masalah-masalah hubungan industrial

Universitas Sumatera Utara

b. Untuk pekerja/buruh
Memberikan sumbangan pemikiran kepada pekerja/buruh bagaimana cara
menyampaikan aspirasi kepada pengusaha yang berhubungan dengan syaratsyarat kerja dan norma kerja dengan baik.
c. Untuk pengusaha
Memberikan sumbangan pemikiran kepada pengusaha bahwa menampung
dan mendengar aspirasi pekerja/buruh dalam bentuk forum komunikasi dan
konsultasi akan menciptakan hubungan industrial yang harmonis.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil pemeriksaan dari judul tesis-tesis yang ada di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara khususnya di Program Studi Magister Ilmu Hukum
maupun dilakukan penelusuran di situs-situs resmi perguruan tinggi lainnya,
penelitian tentang “ Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit Perusahaan dalam
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Kabupaten Deli Serdang “
belum ada yang serupa baik dari judulnya maupun dari isinya, oleh karena itu judul
penelitian ini masih asli dan tidak plagiat.
F. Kerangka Teori Dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Untuk mengetahui Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit perusahaan dalam
penyelesaian

perselisihan

hubungan

industrial

maka

perlu

menganalisis

permasalahannya dengan menggunakan suatu teori. Menurut M. Solly Lubis bahwa
teori adalah pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis mengenai suatu kasus atau

Universitas Sumatera Utara

permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis, hal
mana dapat menjadi pegangan bagi penulis.12 Menurut Radbruch bahwa tugas teori
hukum adalah membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulat hingga dasardasar filsafatnya yang paling dalam.13
Terbentuknya Lembaga Kerjasama Bipartit di perusahaan adalah hasil
kesepakatan dari pekerja/buruh dengan pengusaha, maka kerangka teori yang
dipergunakan dalam menganalisis terhadap Lembaga Kerjasama Bipartit adalah teori
collective bargaining menurut Neil W. Chamberlain dan James W. Kuhn bahwa

tujuan collective bargaining awalnya adalah hanya untuk proteksi (perlindungan)
yang kemudian diperluas dengan satu tujuan yaitu partisipasi14.
Prinsip collective

bargaining merupakan hak untuk berunding dan

bermusyawarah melalui masing-masing wakil pekerja/buruh dan pengusaha. Istilah
perundingan bersama digunakan untuk menggambarkan proses negosiasi antara
pekerja/buruh dan pengusaha serta perwakilan mereka sehubungan dengan setiap isu
yang terkait dengan syarat-syarat kerja atau hal lain yang merupakan kepentingan
bersama pekerja/buruh15.
Kerjasama antara pekerja/buruh dengan pengusaha dapat tercipta apabila
dipersyaratkan adanya suatu proses. Proses kerjasama tersebut harus memiliki muatan

12

M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 80.
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993),hlm. 2.
14
Neil W. Chamberlain, James W. Kuhn, Collective Bargaining, (USA : McGraw-Hill,
1965), hlm. 111.
15
Kesetaraan Gender Melalui Perundingan Bersama , (Jakarta : ILO/USA Declaration
Project Indonesia, 2003), hlm. 5.
13

Universitas Sumatera Utara

komunikasi, konsultasi dan musyawarah mengenai hal-hal yang terkait dengan
berbagai aspek dalam proses produksi barang dan jasa. Kerjasama di tempat kerja
baik sebagai lembaga maupun sebagai sistem dapat menjembatani terwujudnya
kemitraan sosial yang mampu menghasilkan komitmen bersama di dalam mengatasi
persoalan yang timbul dalam suatu perusahaan.
Pondasi yang paling hakiki dalam kerjasama ini adalah komunikasi dan
partisipasi. Kerjasama bipartit antara pekerja dan pengusaha adalah suatu forum
dimana pekerja/buruh dan pengusaha satu sama lain dapat menyampaikan masalah
atau persoalan bersama akan kebutuhan yang dirasa perlu. Kedua belah pihak juga
dapat saling memberi informasi tentang masalah yang sedang dihadapi dan bertukar
pendapat secara teratur yang dapat menghasilkan saling pengertian, konsensus dan
penyelesaian masalah untuk kepentingan bersama16. Kerjasama bipartit dapat
berfungsi sebagai bentuk partisipasi organisasi untuk menciptakan hubungan kerja
yang sehat, produktif dan kompetitif.
Lembaga Kerjasama Bipartit dalam hubungan industrial adalah bagian dari
hukum ketenagakerjaan dan merupakan salah satu sarana dalam hubungan industrial.
Jika dilihat dari fungsi dan tujuannya tidak terlepas dari tujuan hukum pada umumnya
yaitu pertama, memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, kedua menjaga
hak-hak manusia, ketiga mewujudkan keadilan dalam hidup bersama.17

16

Pedoman LKS Bipartit, (Jakarta : Direktorat Kelembagaan dan Pemasyarakatan Hubungan
Industrial Ditjen PHIJSK, 2006), hlm.1.
17
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Kanisius, 1982),
hlm. 289.

Universitas Sumatera Utara

Hubungan industrial sangat perlu dilakukan ditingkat perusahaan dan disinilah
ditentukan berhasil atau tidaknya hubungan industrial. Secara umum faktor-faktor
penyebab tidak berhasilnya pelaksanaan hubungan industrial adalah apabila
komunikasi antar pekerja/buruh dengan pengusaha tidak lancar. Keberhasilan
pembangunan ekonomi nasional juga ditentukan oleh maju mundurnya dunia usaha
dimana hubungan industrial merupakan salah satu faktor penentu. Oleh karena itu
perlu upaya agar hubungan industrial dilaksanakan dengan baik disetiap perusahaan.
Mengingat salah satu penyebab terjadinya perselisihan hubungan industrial antara
pekerja/buruh dengan pengusaha adalah karena tersumbatnya komunikasi antara
pekerja/buruh dengan pengusaha, maka perlu dan penting agar setiap perusahaan
membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit.
2. Landasan Konsepsional
Landasan Konsepsional dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh
dasar konseptual, bertujuan untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang
berbeda serta memberikan pedoman dan arahan yang sama, antara lain :
a. Lembaga kerjasama (LKS) bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu
perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat
buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.18

18

Pasal 1 angka 18 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Universitas Sumatera Utara

b. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.19
c. Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para
pelaku dalam proses produksi barang dan /atau jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945.20
d. Perselisihan

hubungan

industrial

adalah

perbedaan

pendapat

yang

mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan.21
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian
yuridis normatif yaitu merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan

19

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.
20
Pasal 1angka 16 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
21
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial

Universitas Sumatera Utara

kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.22 Penelitian
normatif mencakup kepada penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap
sistemik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal,
perbandingan hukum dan sejarah hukum.23 Selain itu penelitian normatif juga
mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan.24 Untuk mengkaji Lembaga Kerjasama
(LKS) Bipartit yang merupakan salah satu sarana hubungan industrial dan bagian dari
hukum ketenagakerjaan akan digunakan tipe penelitian deskriptif analitis. M. Solly
Lubis mengatakan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud
untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situas-situasi atau kejadian.25 Sifat
analitis adalah salah satu parameter dalam penelitian deskriptif, hal ini disebabkan
penelitian akan lebih berfokus kepada Lembaga Kerjasama Bipartit berkaitan kepada
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

22

Jhonny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayumedia
Publishing, 2005), hlm. 47.
23
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada 1995), hlm. 14.
24
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum Pada
Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum
Pada Majalah Akreditasi, (Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003), hlm. 1.
25
M. Solly Lubis, “Metodologi Penelitian”, Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan
Tinggi, 1982/1983 Medan PPS S3 Hukum, Depdikbud Ditjen Dikti, 2002.

Universitas Sumatera Utara

2. Sumber Data
Data dalam penelitian ini dapat diperoleh dari:
a) Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaedah dasar, bahan hukum yang
mengikat seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
dan peraturan-peraturan lainnya.
b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan ulasan
terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari : buku-buku, makalah, jurnal ilmiah,
dan pendapat dari para pakar hukum yang relevan dengan objek penelitian ini.
c) Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kamus Inggris-Indonesia, kamus hukum, majalah, surat kabar, internet,
dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara studi
pustaka (Library research) di perpustakaan akademisi dan studi dokumen pada Dinas
Tenaga Kerja dan juga bahan-bahan hukum tertulis yang relevan dengan objek
penelitian serta akan dilakukan wawancara dengan pihak pemerintah dalam hal ini
Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Deli Serdang, perusahaan dan juga pekerja.
4. Analisis Data
Penelitian ini dimulai dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap data yang
terkumpul yaitu data primer (undang-undang) dan sekunder (buku-buku ilmiah),
untuk dianalisis dengan metode kualitatif sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan

Universitas Sumatera Utara

dengan cara deduktif induktif dan diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam
penelitian ini
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber, setelah dibaca, dipelajari, ditelaah, maka langkah berikutnya adalah
mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi. Kemudian
analisis data dihubungkan dengan kerangka teori yang digunakan dengan cara
menghubungkan kerangka teori tersebut dengan permasalahan yang diteliti melalui
suatu analisis yang tajam dan mendalam. Selanjutnya data yang dianalisis
diungkapkan secara deduktif (penalaran logika dari umum ke khusus) dalam bentuk
uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar berbagai jenis data
sehingga permasalahan akan dapat terjawab dengan baik

Universitas Sumatera Utara