Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakt. pdf
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
69
OPTIMALISASI PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER DI
SEKOLAH MENENGAH BERBASIS KETERAMPILAN PROSES:
SEBUAH PERSPEKTIF GURU IPA-BIOLOGI
Yanur Setyaningrum1; Husamah2
1
SMP Muhammadiyah 1 Malang, e-mail: [email protected]
2
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang,
e-mail: [email protected]
Abstract:Inappropriate characters affected by moral degradation cannot be seperated from education. Many people argue that those characters are originated from the world education. School as
a formal institution in educational system can be a place where the inappropriate characters come
from. It happens because schools give more attention to on intellectual purpose other than others.
This brings a moral message that the teachers have not only to educate the students by transfering
their knowledge, but also pay attention to their characters development. Character education can
be introduced to the students through any subjects. One of them is Biology. The teaching and
learning Biology is believed to be able to support character education. This article aims at introducing character education through implementing process skill based - Biology teaching and learning. The students in Biology classes will be benefited by this implementation because the students
will involve in teaching and learning process intelectually, manually, and socially. Besides, they
will develop scientific attitudes such as honest, patience, openess, carefulness, independence,
care, and discipline. Those attitudes affected by process skill based - Biology teaching and learning can be the basis to develop student strong characters.
Key words: character education, process approach, biology
Dunia pendidikan dewasa ini dihadapkan
pada tuntutan yang semakin berat, terutama
untuk mempersiapkan peserta didik agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan
yang berkembang dengan sangat cepat
khususnya pergeseran aspek nilai dan moral
dalam kehidupan masyarakat. Dekadensi moral
dan karakter buruk yang ditunjukkan siswa
merupakan contoh bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia pendidikan. Selain
perilaku kekerasan, isu-isu moralitas di
kalangan remaja seperti penggunaan narkotika,
pornoaksi, tawuran pelajar, free sex, aborsi,
perkosaan, perampasan, pencurian, pembunuhan, dan tindakan-tindakan amoral lainnya
sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat
ini belum dapat diatasi secara tuntas.
Beberapa data dapat digunakan untuk
menggambarkan bahwa betapa dekadensi moral
dan karakter buruk yang ditunjukkan siswa
merupakan contoh bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia pendidikan kita saat ini.
Pertama, perilaku free sex remaja. Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) melaporkan bahwa 51%
remaja di Jabodetabek telah melakukan seks
pranikah. Beberapa wilayah lain di Indonesia
melaporkan bahwa seks pranikah juga dilakukan remaja, misalnya saja di Surabaya
tercatat 54%, di Bandung 47%, dan di Medan
52%. Data ini tidak jauh berbeda dengan data
yang dilansir sebelumnya oleh Komnas Pelindungan Anak, PKBI, BKKBN pada tahun 2009
di mana 62,7% remaja mengaku pernah
melakukan hubungan seks pranikah, 21,2%
remaja pernah aborsi, 93,7%, remaja SMPSMA pernah melakukan ciuman serta oral seks,
dan 97,0% remaja SMP-SMA pernah menonton
70
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
film porno (Indarini, 2010). Hasil survei
BKKBN-LDFE Universitas Indonesia memperlihatkan di Indonesia terjadi 2,4 juta kasus
aborsi per tahun dan sekitar 21%-nya dilakukan
oleh remaja. Angka penyakit menular seksual
(PMS) pada remaja mencapai 4,18%, 50% dari
jumlah penderita HIV/AIDS di Jabar berusia
sekisar 15-29 tahun dan pengguna narkoba
mencapai 2.736 orang (Muhtar, 2010).
Kedua, jumlah pemakai narkoba di Indonesia mencapai 3,6 juta orang atau 2% dari
jumlah penduduk (Kompas, 2010). Ironisnya,
78% dari jumlah pengguna narkoba adalah
remaja atau pelajar (Malik, 2007). Ketiga, kasus
korupsi dari pusat sampai daerah. Kasus
korupsi di Indonesia-baik legislatif, eksekutif
maupun yudikatif- tidak jelas kapan akan
selesai. Beberapa kasus yang menarik perhatian
publik adalah BLBI (Rp. 138,4 triliun), HPH
dan Dana Reboisasi (Rp. 15,025 triliun), Bank
Century (Rp. 6,7 triliaun) dan Kasus Mafia
Pajak Gayus Tambunan. Selain itu, total laporan
korupsi seluruh Indonesia mencapai 40 ribu
kasus. Pemerintah pun telah berhasil menertibkan 39.477 rekening keuangan negara
dengan potensi penyelamatan sebesar Rp. 35,92
triliun, US$ 237,94 juta, dan € 2,86 juta (Berita
Indonesia, 2010; Masduki, 2010).
Kasus korupsi semakin menggurita akibat
maraknya mafia kasus, mafia pajak, money
laundering dan upaya kriminalisasi terhadap
Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemeringkatan
yang dilakukan Transparency Internasional
atau PERC, secara konsisten menempatkan
Indonesia ke dalam kelompok negara terkorup,
di mana dalam skala PERC 0 sampai 10 posisi
Indonesia hanya 2,8 (PKS Bojonggede, 2009).
Berbagai permasalahan bangsa sebagaimana disebutkan di atas harus segera diakhiri.
Sejatinya semua pihak perlu introspeksi diri,
segera mencari solusi jitu dan terlibat secara
intensif. Salah satu solusi yang sangat tepat
adalah dengan optimalisasi penerapan pendidikan karakter di sekolah menengah. Pola
pendidikan saat ini hanya menghasilkan siswa
yang kehilangan kepekaan sosial (sence of social crisis) atau kehilangan kasadaran budi
nurani manusia (social consciousness of men).
Siswa hanya memiliki kemampuan teknis (skill)
dan menjadi manusia “siap pakai” layaknya robot (Ghopur, 2010). Akibat yang ditimbulkan
cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap
sebagai suatu persoalan sederhana (Dimyati,
2010).
Banyak orang berpandangan bahwa
kondisi demikian diduga berawal dari apa yang
dihasilkan oleh dunia pendidikan. Dunia
pendidikan, sesungguhnya memberikan kontribusi paling besar terhadap situasi ini. Dalam
konteks pendidikan formal di sekolah, salah satu
penyebabnya karena pendidikan di Indonesia
lebih meninikberatkan pada pengembangan
intelektual semata. Aspek-aspek lain yang ada
dalam diri siswa, yaitu aspek afektif dan
kebajikan moral kurang mendapatkan perhatian
(Koesoema, 2007; Koesoema, 2009).
Kondisi ini menegaskan bahwa para guru
yang mengajar mata pelajaran apa pun harus
memiliki perhatian dan menekankan pentingnya
pendidikan karakter pada para siswa. Salah
satunya melalui pembelajaran biologi yang
dinilai sangat mendukung penguatan karakter
siswa. Menurut Juniarso (2010) pembelajaran
biologi sebagai subsistem pendidikan nasional
memberi kontribusi penting dalam pembentukan karakter siswa. Sedangkan karakter
sebagai hasil dari pendidikan membawa arti
penting dalam kehidupan yang sesungguhnya
di masyarakat. Karena itu penting sekali
memahami nilai karakter yang dilaksanakan
dalam pembelajaran biologi.
Menurut Dwikoranto (2010) pembelajaran biologi yang benar akan mengarahkan
siswa untuk memiliki karakter-karakter
diantaranya berupa kecermatan, disiplin, kejujuran, ketekunan, berpikir kritis, bertanggungjawab, dan saling bekerja sama. Hal ini menjadi
tantangan bagi para guru untuk mengupayakan
bagaimana melakukan pembelajaran yang
menitikberatkan pada proses penyempurnaan
manusia atau memanusiakan manusia (to be a
human) dan mengartikan hidup (enoble life).
Spiritualisme yang dilaksanakan dalam pendidikan berorientasi praktik riil seorang guru
dan siswa untuk menyempurnakan proses
menuju kematangan hidupnya. Pada akhirnya
yang diinginkan adalah dimensi spiritual yang
mapan dalam diri setiap siswa. Siswa tidak
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
hanya mampu menangkap pesan lahiriah dari
apa yang ia pelajari, namun lebih dari itu siswa
juga mampu memproyeksikan pesan esoterik
dari setiap teori yang ia pelajari.
Sehubungan dengan itu, menurut Sudarisman (2010) fenomena merosotnya nilai-nilai
perilaku peserta didik secara khusus dalam
hubungannya dengan pembelajaran biologi
disebabkan karena pemahaman guru yang
kurang benar terhadap biologi itu sendiri.
Biologi sejauh ini belum diajarkan sesuai
hakikat pembelajarannya yang mengacu pada
proses dan produk melainkan hanya sebagai
produk (content). Oleh karena itu, artikel ilmiah
ini akan memfokuskan pembahasan pada
optimalisasi penerapan pendidikan karakter di
sekolah menengah berbasis keterampilan
proses.
PEMBAHASAN
Karakter dan Pendidikan Karakter
Karakter merupakan titian ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan tanpa
landasan kepribadian yang benar akan
menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran
diri akan menghancurkan. Karakter akan
membentuk motivasi, pada saat yang sama
dibentuk dengan metode dan proses yang
bermartabat. Karakter yang baik mencakup
pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, meliputi aspek
kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan
moral (Sirajuddin, 2010).
Koesoema (2007) mengatakan bahwa
karakter yang baik diketahui melalui “respon”
yang benar ketika kita mengalami tekanan,
tantangan dan kesulitan. Karakter berkualitas
adalah sebuah respon yang sudah teruji berkalikali dan telah berbuahkan kemenangan.
Seseorang yang berkali-kali melewati kesulitan
dengan kemenangan akan memiliki kualitas
yang baik. Tidak ada kualitas yang tidak diuji.
Karakter terbentuk dengan dipengaruhi oleh
paling sedikit 5 faktor, yaitu: temperamen dasar,
keyakinan, wawasan, motivasi hidup dan
perjalanan. Karakter yang dapat membawa
keberhasilan yaitu empati, tahan dan beriman.
71
Lahirnya pendidikan karakter merupakan
sebuah usaha untuk menghidupkan kembali
pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang
diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf Prancis Auguste Comte.
Pendidikan karakter akan memberikan bantuan
sosial agar individu dapat tumbuh dalam
menghayati kebebasannya dalam hidup bersama
dengan orang lain di dunia (Koesoema, 2007).
Pendidikan karakter adalah pendidikan
budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling),
dan tindakan (action). Menurut Lickona (2007)
tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan
karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya
pun harus dilakukan secara sistematis dan
berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter,
seorang anak akan menjadi cerdas emosinya.
Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting
dalam mempersiapkan anak menyongsong masa
depan, karena dengannya seseorang akan dapat
berhasil dalam menghadapi segala macam
tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademis.
Williams & Schnaps (1999) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai “Any deliberate approach by which school personnel,
often in conjunction with parents and community members, help children and youth become
caring, principled and responsible”. Maknanya
kurang lebih pendidikan karakter merupakan
berbagai usaha yang dilakukan oleh para
personil sekolah, bahkan yang dilakukan
bersama-sama dengan orang tua dan anggota
masyarakat, untuk membantu anak-anak dan
remaja agar menjadi atau memiliki sifat peduli,
berpendirian, dan bertanggung jawab.
Lebih lanjut Williams (2000) menjelaskan
bahwa makna dari istilah pendidikan karakter
tersebut awalnya digunakan oleh National
Commission on Character Education (di
Amerika) sebagai suatu istilah payung yang
meliputi berbagai pendekatan, filosofi, dan program. Pemecahan masalah, pembuatan keputusan, penyelesaian konflik merupakan aspek
yang penting dari pengembangan karakter
moral. Oleh karena itu, di dalam pendidikan
karakter semestinya memberikan kesempatan
ke pada siswa untuk mengalami sifat-sifat
72
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
tersebut secara langsung. Secara khusus, tujuan
pendidikan moral adalah membantu siswa agar
secara moral lebih bertanggung jawab, menjadi
warga negara yang lebih berdisiplin (McBrien
& Brandt, 1997).
Pendidikan karakter yang menekankan
dimensi etis-religius menjadi relevan untuk
diterapkan di tengah gempa multidimensional
yang mengancam dan bahkan sedikit demi
sedikit menghancurkan sendi-sendi bangsa.
Namun, pendidikan karakter hanya akan
menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami
secara lebih utuh, menyeluruh, menyatu dan
melibatkan semua sumberdaya yang terkait (integral-holistik). Bahkan, pendidikan karakter
yang dipahami secara parsial dan tidak tepat
sasaran justru malah bersifat kontraproduktif
bagi pembentukan karakter siswa. Menurut
Abdullah (2010) sifat pendidikan karakter
adalah multidimensi dan multidisiplin, sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif,
utuh, interkonektif antar berbagai disiplin
ilmu, dan tidak sektoral-parsial. Pendidikan
karakter mengasumsikan keterkaitan erat antara
dimensi moral, sosial, ekonomi, politik, hukum,
agama, budaya, dan estetika. Ironisnya, menurut Koesoema (2010a) pendidikan karakter
yang selama ini banyak bicarakan dipahami
secara sempit.
Pendidikan karakter integratif-holistik
menurut hemat penulis haruslah didasarkan
minimal kepada pilar, basis desain, dan kunci
sukses. Pertama, pilar pendidikan karakter.
Menurut Foerster dalam Koesoema (2007) ada
empat pilar yang menjadi ciri dasar pendidikan
karakter. (1) keteraturan interior: setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai
menjadi pedoman normatif setiap tindakan. (2)
koherensi: memberi keberanian, membuat
seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah
terombang-ambing pada situasi baru atau takut
risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. (3) otonomi: seseorang menginternalisasikan aturan
dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi.
Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan
pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak
lain. (4) keteguhan dan kesetiaan: keteguhan
merupakan daya tahan seseorang guna
mengingini apa yang dipandang baik; kesetiaan
merupakan dasar bagi penghormatan atas
komitmen yang dipilih. Kematangan keempat
karakter ini memungkinkan manusia melewati
tahap individualitas menuju personalitas, antara
independensi eksterior dan interior. Karakter
inilah yang menentukan forma seorang pribadi
dalam segala tindakannya.
Kedua, basis desain. Menurut Koesoema
(2010b) pendidikan karakter jika ingin efektif
dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain
dalam pemrogramannya. (1) Desain pendidikan
karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada
relasi guru sebagai guru dan siswa sebagai
pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan
karakter adalah proses relasional komunitas
kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi gurupembelajar bukan monolog, melainkan dialog
dengan banyak arah sebab komunitas kelas
terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama
berinteraksi dengan materi. Memberikan
pemahaman dan pengertian akan keutamaan
yang benar terjadi dalam konteks pengajaran
ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah
noninstruksional, seperti manajemen kelas dan
konsensus kelas yang membantu terciptanya
suasana belajar yang nyaman. (2) Desain
pendidikan karakter berbasis kultur sekolah.
Desain ini mencoba membangun kultur sekolah
yang mampu membentuk karakter siswa dengan
bantuan pranata sosial sekolah agar nilai
tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri
siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak
cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan
moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti
diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran
melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang
tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku
ketidakjujuran. (3) Desain pendidikan karakter
berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian.
Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti
keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga
memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam
konteks kehidupan mereka. Pendidikan
karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain
pendidikan karakter ini dilaksanakan secara
simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan
tidak efektif. Tanpa tiga basis itu, program
pendidikan karakter hanya menjadi wacana
semata.
Ketiga, kunci sukses pendidikan karakter.
Kunci sukses ini terdiri dari dua hal yaitu: (1)
dari knowing menuju doing. Kilpatrick (1992)
menyebutkan salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang berlaku baik meskipun ia
telah memiliki pengetahuan tentang kebaikan
itu (moral knowing) adalah karena ia tidak
terlatih untuk melakukan kebaikan (moral doing). Berangkat dari pemikiran ini maka
kesuksesan pendidikan karakter sangat
bergantung pada ada tidaknya knowing, loving,
dan doing atau acting dalam penyelenggaraan
pendidikan karakter. Moral knowing sebagai
aspek pertama memiliki enam unsur, yaitu
kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral
values), penentuan sudut pandang (perspective
taking), logika moral (moral reasoning),
keberanian mengambil menentukan sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Selanjutnya moral loving atau Moral
Feeling merupakan penguatan aspek emosi
siswa untuk menjadi manusia berkarakter.
Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk
sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu
kesadaran akan jati diri, percaya diri, empati,
cinta kebenaran, pengendalian diri, dan
kerendahan hati. Setelah dua aspek tadi
terwujud, maka moral acting sebagai outcome
akan dengan mudah muncul dari para siswa.
(2) Identifikasi Karakter. Pendidikan karakter
tanpa identifikasi karakter hanya akan menjadi
sebuah perjalanan tanpa akhir, petualangan
tanpa peta. Organisasi manapun di dunia ini
yang menaruh perhatian besar terhadap
pendidikan karakter harus mampu mengidentifikasi karakter-karakter dasar yang akan
menjadi pilar perilaku individu.
Megawangi & Williams (2007) merumuskan delapan karakter dasar yang menjadi tujuan
pendidikan karakter. Delapan karakter tersebut
adalah; (1) cinta kepada Tuhan dan semesta
beserta isinya, (2) tanggung jawab, disiplin dan
mandiri, (3) jujur, (4) hormat dan santun, (5)
kasih sayang, peduli, dan kerja sama, (6)
73
percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang
menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, baik
dan rendah hati, dan (8) toleransi, cinta damai
dan persatuan.
Karakter dalam Biologi
Salah satu tujuan biologi adalah memberikan penguatan atau memberikan bekal
tentang sikap ilmiah kepada siswa. Pembelajaran biologi mengandung empat unsur yaitu
sikap, proses, produk dan aplikasi, sehingga
siswa diharapkan tidak hanya memiliki
pengetahuan namun juga menguasai proses
ilmiah dan dapat mengaplikasikan ilmu yang
diperoleh. Aplikasi itu dilakukan melalui sikap
ilmiah yang jujur, menyadari tentang adanya
keteraturan di jagad raya yang memiliki hukum
alam tak terbantahkan serta menyadari
keterbatasan manusia dan kehebatan Sang
Pencipta (Unijianto, 2009).
Menurut Muslich (2008) sikap ilmiah
merupakan sikap yang harus ada pada diri
seorang ilmuwan dan akademisi termasuk guru
dan siswa ketika menghadapi persoalanpersoalan ilmiah. Sikap ilmiah ini perlu
dibiasakan. Sikap-sikap ilmiah yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
1) Sikap ingin tahu. Sikap ingin tahu ini
terlihat pada kebiasaan bertanya tentang
berbagai hal yang berkaitan dengan bidang
kajiannya. Mengapa demikian? Bagaimana
caranya? Apa saja unsur-unsurnya?
2) Sikap kritis. Sikap kritis ini terlihat pada
kebiasaan mencari informasi sebanyak
mungkin berkaitan dengan bidang kajiannya untuk dibanding-banding kelebihankekurangannya, kecocokan-tidaknya,
kebenaran-tidaknya, dan sebagainya.
3) Sikap terbuka. Sikap terbuka ini terlihat
pada kebiasaan mau mendengarkan
pendapat, argumentasi, kritik, dan keterangan orang lain, walaupun pada akhirnya
pendapat, argumentasi, kritik, dan keterangan orang lain tersebut tidak diterima
karena tidak sepaham atau tidak sesuai.
4) Sikap objektif. Sikap objektif ini terlihat
pada kebiasaan menyatakan apa adanya,
tanpa diikuti perasaan pribadi.
74
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
5) Sikap rela menghargai karya orang lain.
Sikap menghargai karya orang lain ini
terlihat pada kebiasaan menyebutkan
sumber secara jelas sekiranya pernyataan
atau pendapat yang disampaikan memang
berasal dari pernyataan atau pendapat orang lain.
6) Sikap berani mempertahankan kebenaran.
Sikap ini menampak pada ketegaran
membela fakta dan hasil temuan lapangan
atau pengembangan walapun bertentangan
atau tidak sesuai dengan teori atau dalil
yang ada.
7) Sikap menjangkau ke depan. Sikap ini
dibuktikan dengan selalu ingin membuktikan hipotesis yang disusunnya demi
pengembangan bidang ilmunya.
Sikap ilmiah tidak hanya terkait dengan
pola pikir ilmiah, tetapi juga emosi (afektif) dan
sikap perilaku (psikomotor). Sikap ilmiah yang
dimaksud antara lain (Saukah, 2000; Wiyono,
2009):
1) Hasrat ingin tahu dan belajar terus menerus.
Perkembangan ilmu pengetahuan selalu
didorong oleh hasrat ingin tahu (curiosity) yang
merupakan sifat dasar manusia dan sebuah
tindakan (action) berupa belajar terus menerus.
Kedua faktor ini menjadi pembeda antara
akademisi dengan komunitas lain dalam
kehidupan masyarakat.
2) Daya analisis yang tajam.
Setiap permasalahan membutuhkan analisis tajam untuk menentukan ketepatan dan
kebenaran sebuah tindakan dari hasil pemecahan masalah. Analisis yang tajam juga
diperlukan jika menghadapi variasi dan
banyaknya masalah agar solusi yang diberikan
tepat, kreatif dan inovatif.
3) Jujur dan terbuka
Kejujuran dan keterbukaan menjadi kunci
pembuka berkembangnya ilmu pengetahuan
serta ciri pribadi yang sehat dan matang.
Hilangnya kejujuran dan keterbukaan akan
menyebabkan mundurnya ilmu pengetahuna,
berkembangnya perilaku negatif dan terhentinya
pemikiran-pemikiran baru yang kreatif dan
inovatif.
4) Kritis terhadap pendapat berbeda
Perbedaan pendapat merupakan sesuatu
yang wajar dan alamiah karena adanya kemajemukan pola pikir dan kepribadian manusia.
Perbedaan akan meningkatkan daya kritis jika
disikapi dengan sikap positif dan bertanggung
jawab. Kritis terhadap perbedaan akan meningkatkan semangat untuk mencari solusi yang
terbaik dan tujuan yang lebih baik.
5) Tanggung jawab yang tinggi
Setiap guru mempunyai tanggungjawab
sesuai peran dan fungsinya. Pelaksanaan
tanggung jawab ini akan menentukan keberhasilan. Tanggung jawab yang dimiliki tidak
hanya terkait dengan internal tetapi juga
ekternal (lingkungan global).
6) Bebas dari prasangka
Prasangka akan mempengaruhi pelaksanaan tugas dan t anggung jawab yang
diemban. Prasangka memiliki dampak terhadap
kondisi fisik dan psikologis seseorang. Selain
itu, prasangka dapat melemahkan upaya untuk
mencapai tujuan, menyebabkan konflik dengan
diri sendiri dan orang lain (intrapersonal dan
interpersonal).
7) Menghargai nilai, norma, kaidah dan tradisi
keilmuan
Salah satu tradisi keilmuan yang tetap
dikembangkan adalah adanya kebebasan
mimbar akademik, kebebasan berpikir, dan
berpendapat serta nilai keterbukaan dalam
mengembangkan keilmuan. Penghargaan
terhadap nilai, norma, kaidah dan tradisi
keilmuan merupakan ciri kepribadian sehat dan
matang dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Pembelajaran biologi juga perlu
memberikan penguatan pada karakter
sumberdaya manusia (SDM). Ciri-ciri karakter
SDM yang kuat meliputi: (1) religius, yaitu
memiliki sikap hidup dan kepribadian yang taat
beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling
tolong menolong, dan toleran; (2) moderat,
yaitu memiliki sikap hidup yang tidak radikal
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan
antara individu dan sosial, berorientasi materi
dan ruhani serta mampu hidup dan kerjasama
dalam kemajemukan; (3) cerdas, yaitu memiliki
sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta
ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4)
mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan
kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat,
menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras,
dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa
kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan
universal dan hubungan antarperadaban bangsabangsa (PP Muhammadiyah, 2009: 43-44).
Menurut Dedy (2010) biologi merupakan
dorongan pada unsur pola dan cara berpikir
melalui tatanan valid, true, reliable, verify, hypothesis, theory, law, principle, axioma, postulate dan proof. Bahasa dan nalar bekerja
timbal balik saling mendorong mengembangkan
biologi sebagai basis pemikiran untuk membimbing manusia menemukan hal-hal yang asli
(original).
Soelardjo dalam Dedy (2010) mengungkapkan bahwa biologi selalu dikaitkan dengan
fakta nyata yang terjadi dari suatu proses alam
maupun yang secara khusus dirancang. Teori
dari biologi melekat pada rancangan proses,
sedangkan fakta merupakan dasar dari proses
biologi. Biologi harus diuraikan sesuai dengan
hukum-hukum atau pedoman yang berakar
sehingga fakta tersebut harus mengandung
kebenaran, rasional dan logis pada saat
menentukan kebenaran. Unsur-unsur fakta yang
penting dapat dilacak lagi setiap saat sehingga
manusia dapat menemukan fakta-fakta baru
untuk koreksi.
Biologi pada hakekatnya sebagai suatu
disiplin yang sangat berarti dalam pengembangan kemampuan berpikir logis, sistematis
dan kreatif sehingga biologi seringkali mampu
mengantarkan individu pada kesadaran bahwa
kebenaran yang mutlak adalah kebenaran Tuhan
sedangkan kebenaran ilmiah pada hakekatnya
bersifat tentatif. Semakin aktif dan semakin jauh
para ilmuwan melakukan studi maka semakin
terbuka untuk menemukan Tuhan. Oleh karena
itu beruntunglah para ilmuwan di bidang biologi
karena biologi memiliki potensi dan peluang
besar untuk hidup yang dilandasi agama
75
sehingga secara moral kehidupannya tetap
terjaga.
Wasono dalam Dedy (2010) mengemukakan tentang keterkaitan antara biologi dan
pengembangan karakter bangsa. Seseorang
yang belajar mendalami biologi dan melakukan
penelitian akan terdidik untuk mendapatkan
karakter dasar seorang peneliti berupa teliti,
jujur, punya integritas, visioner, terbuka dan
obyektif terhadap kebenaran, kooperatif
terhadap orang lain dan berjiwa pembelajar.
Kenyat aan yang terjadi adalah adanya
kecenderungan masuknya budaya diluar
masyarakat biologi seperti ketidakjujuran,
plagiarisme atau kurangnya integritas meneliti
demi kepentingan sesaat. Oleh karena itu perlu
adanya program pembangunan karakter yang
terdiri dari tujuh budi utama meliputi kejujuran,
tanggungjawab, visioner, disiplin, kerjasama,
adil dan peduli.
Berdasarkan berbagai uraian di atas jelas
sekali bahwa pembelajaran biologi memiliki
nilai-nilai yang sangat dekat dengan pembentukan karakter siswa. Apabila pembelajaran
biologi dengan nilai-nilai seperti disebutkan di
atas dapat dilaksanakan maka mutu pendidikan
biologi akan makin baik dan secara utuh dapat
membentuk lulusan yang baik pula. Namun
demikian, menurut Juniarso (2010) pendidikan
karakter dalam pelajaran biologi, selama ini
sama dengan pelajaran lainnya, jarang atau
bahkan tidak memuat pendidikan karakter
dalam pembelajarannya. Pelajaran biologi
dianggap sebagai pelajaran tentang penggunaan
otak semata. Somant ri (2008) malah
menegaskan pelajaran biologi di sekolah masih
berfokus pada hafalan akibatnya minat belajar
dan pengembangan biologi masih terbatas.
Pendekatan Proses dan Hubungannya
dengan Karakter Siswa
Pembelajaran IPA termasuk biologi
menurut Devi et al. (2010) menekankan pada
pemberian pengalaman belajar secara langsung
melalui penggunaan dan pengembangan
keterampilan proses dan sikap ilmiah. Pengembangan keterampilan proses siswa dapat
dilatihkan melalui suatu kegiatan pembelajaran
76
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
yang menggunakan pendekatan keterampilan
proses. Pendekatan keterampilan proses adalah
proses pembelajaran yang dirancang sedemikian
rupa sehingga siswa dapat menemukan faktafakta, membangun konsep-konsep dan teoriteori dengan keterampilan intelektual dan sikap
ilmiah siswa sendiri. Siswa diberi kesempatan
untuk terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan
ilmiah seperti yang dikerjakan para ilmuwan,
tetapi pendekatan keterampilan proses tidak
bermaksud menjadikan setiap siswa menjadi
ilmuwan. Pembelajaran dengan pendekatan
keterampilan proses dilaksanakan dengan
maksud karena IPA merupakan alat yang
potensial untuk membantu mengembangkan
kepribadian siswa. Kepribadian yang berkembang merupakan prasyarat untuk melangkah ke
profesi apapun yang diminati siswa.
Proses dapat didefinisikan sebagai
perangkat keterampilan kompleks yang digunakan ilmuwan dalam melakukan penelitian
ilmiah. Proses merupakan konsep besar yang
dapat diuraikan menjadi komponen-komponen
yang harus dikuasai seseorang bila akan
melakukan penelitian. Keterampilan berarti
kemampuan menggunakan pikiran, nalar dan
perbuatan secara efisien dan efektif untuk
mencapai suatu hasil tertentu, termasuk
kreativitas. Dengan demikian Pendekatan
Keterampilan Proses adalah perlakuan yang
diterapkan dalam pembelajaran yang menekankan pada pembentukan keterampilan memperoleh pengetahuan kemudian mengkomunikasikan perolehannya. Keterampilan memperoleh pengetahuan dapat dengan menggunakan kemampuan olah pikir (psikis) atau
kemampuan olah perbuatan (fisik).
Pada pendekatan proses, tujuan utama
pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti
mengamati, berhipotesis, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan
pendekatan proses menuntut keterlibatan
langsung siswa dalam kegiat an belajar
(Dirdjosoemarto et al., 2004).
Menurut Rustaman et al. (2000)
keterampilan ilmiah dalam biologi berorientasi
pada pendekatan keterampilan proses dimana
di dalamnya terkandung berbagai keterampilan
yang mencakup setidaknya delapan (8) kegiatan
diantaranya: mengamai (observation), mengelompokkan (classification), menafsirkan
(interpretation), meramalkan (prediction),
mengajukan pertanyaan (question), berhipotesis
(hipothesis), melakukan percobaan (experiment) dan mengkomunikasikan hasil percobaan
(communication).
Penggunaan pembelajaran biologi berbasis keterampilan proses memiliki beberapa
keuntungan diantaranya: (1) pembelajaran
biologi berbasis keterampilan proses memungkinkan peserta didik dapat terlibat aktif secara
intelektual, manual, dan sosial. Pengalaman
beraktivitas secara intelektual, manual dan
sosial dapat mengantarkan peserta didik untuk
beajar biologi secara bermakna yang pada
akhirnya dapat mengoptimalkan hasil belajar
peserta didik. (2) pembelajaran biologi berbasis
keterampilan proses memungkinkan dapat
dikembangkan sikap ilmiah pada peserta didik.
Sikap ilmiah mencakup berbagai sikap seperti:
kejujuran, kesabaran, keterbukaan, ketelitian,
kemandirian, sikap menghargai orang lain,
disiplin dan lain-lain. Sikap ilmiah yang berkembangkan setelah melakukan keterampilan
proses tersebut merupakan sikap dasar dalam
membangun karakter yang kuat pada peserta
didik.
Peran Guru Biologi dalam Pendidikan
Karakter
Berbagai penelitian empirik menunjukkan
bahwa faktor guru memainkan peran yang
sangat besar dalam pembentukan karakter murid. Diperoleh data bahwa ada kecenderungan
makin tinggi level lembaga pendidikan formal
makin rendah peran dan kontribusi guru/guru
dalam kesuksesan murid, misalnya PAUD/TK
sampai >90%, SD/MI sekitar 80-90%, SMP/
MTS sekitar 70-80%, SMA/MA/SMK sekitar
60-70%, Mahasiswa S1 sekitar 40-50%, S2
sekitar 20-30%, dan S3 sekitar 10%, atau
mungkin bisa kurang (Anwar, 2010).
Guru mempunyai peran dan kedudukan
yang sangat strategis dalam pembangunan
nasional khususnya dalam bidang pendidikan.
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen mendefinisikan guru sebagai
pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta
didik. Dengan ditegaskannya guru sebagai
pekerjaan profesional, secara otomotis
menuntut adanya prinsip profesionalitas yang
selayaknya dijunjung tinggi dan dipraktikkan
oleh para guru. Seorang guru hendaknya
memiliki kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi
yang jelas.
Faktor kompetensi sebagai seorang guru
sangatlah penting, terlebih objek yang menjadi
sasaran pekerjaanya adalah peserta didik
(siswa) yang diibaratkan kertas putih, gurulah
yang akan menentukan apa yang hendak
dituangkan dalam kertas tersebut, berkualitas
tidaknya tergantung kepada sejauh mana guru
bisa menempatkan dirinya sebagai guru yang
memiliki kapasitas dan kompetensi profesional
dalam mengarahkan individu-individu menjadi
sosok yang memiliki karakter dan mentalitas
yang dapat diandalkan dalam proses pembangunan bangsa (Sauri, 2010).
Menurut Sauri (2010) dalam tataran
normatif betapa mulia dan strategisnya kedudukan guru. Namun, dalam realitas di
lapangan tidak sedikit guru yang tidak
mencerminkan peran strategisnya sebagai guru,
bahkan ia jauh dari garis jati diri kependidikannya, penyimpangan-penyimpangan
moral, tampilan kepribadian yang tidak
sewajarnya, landasan penguasaan norma-norma
agama yang lemah dan sejumlah patologi sosial
lainya. Banyak faktor tentunya yang mempengaruhi hal tersebut terjadi, yang jelas jika
dibiarkan hal ini dapat memberikan ekses buruk
bagi dunia pendidikan, khususnya terhadap
kualitas lulusan dan output pendidikan serta
karakter masyarakat sebagai objek pendidikan
yang dimotori para guru. Proses pendidikan
akan jauh dari tujuannya, sehingga menjadi
sangat penting untuk melakukan sebuah upaya
strategis dalam mempersiapkan sosok guru
yang mampu menjadi panutan dan melaksanakan profesinya secara profesional sehingga
ia bisa diandalkan.
77
Berangkat dari uraian di atas, maka
jelaslah bahwa guru sebagai entitas strategis
sangat diperlukan paranannya dalam upaya
membentuk karakter bangsa yang memiliki jati
diri dan bermartabat di tengah-tengah bangsa
lainnya. Peran guru sangat penting dalam
membentuk karakter siswa (Suyatno, 2010).
Guru merupakan personalia penting dalam
pendidikan karakter di sekolah karena sebagian
besar interaksi yang terjadi di sekolah, adalah
interaksi siswa dengan guru baik melalui proses
pembelajaran akademik kurikuler, ko-kurikuler,
maupun ekstra-kurikuler (Triatmanto, 2010).
Kondisi ini menegaskan bahwa para guru yang
mengajar mata pelajaran apa pun harus memiliki
perhat ian dan menekankan pent ingnya
pendidikan moral dan karakter pada para siswa.
Terkait dengan pendidikan karakter,
peran guru pada intinya adalah sebagai
masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona
et al. (2007) menguraikan beberapa pemikiran
tentang peran guru, di antaranya:
1. Guru perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif
sebagai upaya membangun pendidikan
karakter.
2. Guru bertanggung jawab untuk menjadi
model yang memiliki nilai-nilai moral dan
memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya guru di
lingkungan sekolah hendaklah mampu
menjadi uswah hasanah yang hidup bagi
setiap peserta didik. Mereka juga harus
terbuka dan siap untuk berdiskusi dengan
peserta didik tentang berbagai nilai-nilai
yang baik tersebut.
3. Guru perlu memberikan pemahaman bahwa
karakter siswa tumbuh melalui kerjasama
dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan.
4. Guru perlu melakukan refleksi atas masalah
moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin
untuk memastikan bahwa siswa-siswanya
mengalami perkembangan karakter.
5. Guru perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara
terus-menerus tentang berbagai nilai baik
dan buruk.
78
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
Hal-hal lain yang dapat guru lakukan
dalam implementasi pendidikan karakter (Djalil
& Megawangi, 2006) adalah: (1) guru perlu
menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif aktif siswa, (2) guru perlu
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif,
(3) guru perlu memberikan pendidikan karakter
secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the
good, loving the good, and acting the good,
dan (4) guru perlu memperhatikan keunikan
siswa masing-masing dalam menggunakan
metode pembelajaran, yaitu menerapkan
kurikulum yang melibatkan sembilan aspek
kecerdasan manusia. Guru perlu melatih dan
membentuk karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya
melakukan shalat secara konsisten.
Suyatno (2010) mencoba mengkategorikan peran guru di setiap jenis lembaga
pendidikan dalam membentuk karakter siswa.
Dalam pendidikan formal dan non formal, guru
(1) harus terlibat dalam proses pembelajaran,
yaitu melakukan interaksi dengan siswa dalam
mendiskusikan materi pembelajaran, (2) harus
menjadi teladan bagi siswanya dalam berperilaku dan bercakap, (3) harus mampu
mendorong siswa aktif dalam pembelajaran
melalui penggunaan metode pembelajaran yang
variatif, (4) harus mampu mendorong dan
membuat perubahan, (5) harus mampu membantu dan mengembangkan emosi dan
kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih
bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang
berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya, dan
(6) harus menunjukkan rasa kecintaan pada
siswa sehingga guru tidak mudah putus asa
dalam membimbing siswa yang sulit memahami.
Sehubungan dengan itu, dalam penerapan
pembelajaran biologi berbasis keterampilan
proses, guru menjadi faktor kunci dalam
mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Herlen
dalam Sudarisman (2010) sedikitnya terdapat
lima aspek yang perlu diperhatikan guru biologi
dalam mengembangkan pembelajaran berbasis
keterampilan proses yaitu:
1. Rancangan pembelajaran yang disusun
harus dapat memberikan kesempatan
peserta didik untuk keterampilan proses
melalui pengalaman langsung mengeksplorasi materi dan fenomena alam. Melalui
pengalaman langsung tersebut, mereka
dapat menggunakan alat-alat inderanya
untuk melakukan pengamatan, mengumpulkan informasi atau bukti-bukti untuk
kemudian ditindaklanjuti dengan pengajuan
pertanyaan dan perumusan hipotesis
berdasarkan gagasan mereka.
2. Setting pembelajaran dalam bent uk
kelompok-kelompok kecil yang memungkinkan peserta didik dapat melakukan
diskusi. Tugas-tugas pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga peserta
didik dapat berbagi gagasan (brainstorming) menyimak pendapat teman lain,
menjelaskan dan mempertahankan gagasan,
sehingga diperlukan berpikir reflektif.
3. Mengakomodasikan kegiatan berproses
berdasarkan gagasan peserta didik melalui
penggunaan atau penerapan berbagai
strategi pembelajaran, sehingga peserta
didik dapat menghubungkan antara
pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru yang mereka
peroleh setelah berinteraksi dengan
lingkungan belajarnya.
4. Memberikan kesempatan atau mendorong
peserta didik untuk mengulas at au
mereview secara kritis tentang kegiatan
yang telah mereka lakukan.
5. Memberikan teknik atau strategi sebagai
bekal untuk meningkatkan keterampilan
ilmiah peserta didik, sebab untuk dapat
mengetahui teknik penggunaan alat secara
tepat diperlukan pengetahuan tentang
prosedur penggunaannya seperti teknik
mengukur, mengkomunikasikan data dan
menggunakan alat.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Karakter mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai
etika, meliputi aspek kognitif, emosional,
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
dan perilaku dari kehidupan moral.
Karakter terbentuk dengan dipengaruhi
oleh paling sedikit 5 faktor, yaitu: temperamen dasar, keyakinan, wawasan,
motivasi hidup dan perjalanan. Karakter
yang dapat membawa keberhasilan yaitu
empati, tahan dan beriman.
2. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi
pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Pendidikan
karakter merupakan berbagai usaha yang
dilakukan oleh para personil sekolah,
bahkan yang dilakukan bersama-sama
dengan orang tua dan anggota masyarakat,
untuk membantu siswa agar menjadi atau
memiliki sifat peduli, berpendirian, dan
bertanggung jawab.
3. Biologi memiliki keterkaitan dengan
pengembangan karakter peserta didik.
Seseorang yang belajar mendalami biologi
dan melakukan penelitian akan terdidik
untuk mendapatkan karakter dasar seorang
peneliti berupa teliti, jujur, punya integritas,
visioner, terbuka dan obyektif terhadap
kebenaran, kooperatif terhadap orang lain
dan berjiwa pembelajar. Apabila pembelajaran biologi dengan nilai-nilai seperti
disebut di atas dapat dilaksanakan maka
mutu pendidikan biologi akan makin baik
dan secara utuh dapat membentuk lulusan
yang baik pula.
4. Penggunaan pembelajaran biologi berbasis
keterampilan proses memiliki beberapa
keuntungan terutama terkait dengan
pendidikan karakter diantaranya: (1)
pembelajaran biologi berbasis keterampilan
proses memungkinkan peserta didik dapat
terlibat aktif secara intelektual, manual, dan
sosial. (2) pembelajaran biologi berbasis
keterampilan proses memungkinkan dapat
dikembangkan sikap ilmiah pada peserta
didik seperti: kejujuran, kesabaran, keterbukaan, ketelitian, kemandirian, sikap
menghargai orang lain, disiplin dan lainlain. Sikap ilmiah yang berkembangkan
setelah melakukan keterampilan proses
tersebut merupakan sikap dasar dalam
79
membangun karakter yang kuat pada
peserta didik.
Saran
1. Menerapkan pendidikan karakter di
sekolah bukan hal yang mudah, karena
harus merubah paradigma, butuh waktu
dan tenaga. Namun yang paling penting
adalah semua pihak terutama guru harus
kreatif. Guru Biologi harus selalu berusaha
untuk menggunakan pendekatan yang
komprehensif dan proaktif. Perlu disadari
bahwa penanaman nilai merupakan sebuah
proses, berkelanjutan dan memiliki visi-misi
jauh ke depan yaitu penciptaan generasi
yang ideal, seperti amanah dan cita-cita
pendidikan karakter itu sendiri.
2. Guru disarankan menggunakan pendekatan
proses dalam pembelajaran biologi karena
sangat strategis sebagai wahana pembangunan karakter peserta didik secara utuh.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. 2010. Pendidikan Karakter:
Mengasah Kepekaan Hati Nurani.
Disampaikan pada acara Sarasehan
Nasional Pendidikan Karakter Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan Nasional, Hotel Santika, Yogyakarta, 15 April 2010.
Anwar, Q. 2010. Nilai Agama Sebagai Acuan
Membangun Karakter Bangsa. Makalah
dipresentasikan dalam Sarasehan
Nasional Pendidikan Karakter, Jakarta,
12 April 2010.
Berita Indonesia. 2010. Kaltim Peringkat 10
Kasus Korupsi Tertinggi di Indonesia.
Harian Berita Indonesia Edisi Minggu, 31
Januari 2010.
Dedy. 2010. Peningkatan Keprofesionalan
Peneliti, Guru dan Praktisi MIPA untuk
Mendukung Pembangunan Karakter
Bangsa. Press Release Seminar Nasional
Penelitian, Pendidikan dan Penerapan
MIPA. FMIPA Universitas Negeri
Yogyakarta Sabtu 15 Mei 2010.
80
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
Devi, P. K; Sofireni, R; Rosendi, Y. 2010.
Pendekatan Keterampilan Proses pada
Pembelajaran IPA. Jakarta: Teknodik.
Dimyati. 2010. Peran Guru Sebagai Model
dalam Pembelajaran Karakt er dan
Kebajikan Moral Melalui Pendidikan
Jasmani. Cakrawala Pendidikan, Mei
2010, Th. XXIX.
Dirdjosoemarto, S., Yudianto, S. A., Achmad,
Y., Subekti, R. 2004. Strategi Belajar
Mengajar Biologi. Bandung : FPMIPA
UPI dan JICA IMSTEP.
Djalil, S.A. dan Megawangi, R. 2006. Peningkatan Mutu Pendidikan di Aceh melalui
Implementasi Model Pendidikan Holistik
Berbasis Karakter. Makalah Orasi Ilmiah
pada Rapat Senat Terbuka dalam
Rangka Dies Natalis ke 45 Universitas
Syiah Kuala Banda Aceh, 2 September
2006.
Dwikoranto. 2010. Membangun Karakter
Melalui Pembelajaran Berbasis Nilai di
Fullday School. Proseding Seminar
Nasional Pendidikan IPA Tahun 2010
dengan tema Membangun Prof esionalisme Guru IPA melalui Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Guru (PPG).
FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.
Ghopur, A. 2010. Pendidikan Karakter yang
Terlupakan. (Online). (http://www.detik.
com, diakses 16 Mei 2010).
Juniarso, T. 2010. Pendidikan Karakter di
Sekolah (Character Education In
School) Sebuah Usulan Gagasan:
Pengembangan Model Kontrak Belajar
dengan Pelibatan Masyarakat Untuk
Penguatan Karakter Siswa Dalam
Pembelajaran Sains. Surabaya: Universitas PGRI Adi Buana.
Kilpatrick, W. 1992. Moral Illiteracy. Chapter 6 in Why Johnny Can’t Tell Right from
Wrong and What We Can Do About It.
Edited by J.H. Clarke. New York: A
Touchstone Book.
Koesoema, A. D. 2007. Pendidikan Karakter:
Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
_______. 2009. Guru Karakter di Zaman
Keblinger. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
_______. 2010a. Pendidikan Karakter Integral. Harian Kompas Edisi Kamis, 11
Februari 2010.
_______. 2010b. Pendidikan Karakter.
(Online). (www.kompas.com, diakses 16
Mei 2010).
Kompas. 2010. Pengguna Narkoba Mencapai
3,6 Juta Orang. Edisi Senin, 26 April
2010.
Lickona, T. 2007. Character Matters: How to
Help Our Children Develop Good Judgement, Integrity, and Other Essential Virtues. USA: Simon & Schuster Adult Publishing.
Malik, A. 2007. 45% Remaja Lakukan Free
Sex. Harian Seputar Indonesia Edisi 21
Mei 2007.
Masduki. 2010. Jawa Timur Juara Satu dalam
Jumlah Korupsi. Harian Republika Edisi
Selasa, 27 April 2010.
McBrien, J. L., & Brandt, R. S. 1997. The language of Learning: A Guide to Education Terms. Alexandria, VA: Association
for Supervision and Curriculum Development.
Muhtar. 2010. Revolusi Seks dan AIDS. Harian
Pikiran Rakyat Edisi 31 Mei 2010.
Muslich, M. 2008. Karya Tulis Ilmiah: Ciri dan
Sikap Ilmiah. (Online). (http://
menulisbukuilmiah.blogspot .com/,
Diakses November 2009).
Megawangi, R & Williams, R., T. 2007.
Kecerdasan Plus Karakter. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
PKS Bojonggede. 2009. Kondisi Nasional dan
Akar Permasalahan Bangsa (bagian I).
(Online).
(pksbojonggede.blogspot.com, diakses 16
Mei 2010).
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2009.
Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa.
Yogyakarta: PP Muhammadiyah.
Rustaman, N.; Dirdjosoemarto, S.; Yudianto,
S. A.; Achmad, Y.; Subekt i, R.;
Rochintaniawati, D. & Nurjhani, M.
2004. Strategi Belajar Mengajar
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
Biologi. Bandung: Jurusan Pendidikan
Biologi FMIPA UPI.
Saukah , A., (Ed). 2000. Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah. Malang: Universitas
Negeri Malang.
Sauri, S. 2010. Membangun Karakter Bangsa
Melalui Pembinaan Profesionalisme Guru
Berbasis Pendidikan Nilai. Makalah
Sarasehan Nasional “Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa” oleh Kopertis Wilayah 3 DKI
Jakarta, 12 Januari 2010.
Sirajuddin, N. 2010. Mereorientasi Pendidikan
Karakter Indonesia. Harian Fajar Metro
Edisi Rabu, 05 Mei 2010.
Somantri, R. G. 2008. Pelajaran Sains Masih
Bersifat Hafalan. Harian Kompas. Selasa
4 Nopember 2008 Halaman 12 Kolom
1.
Sudarisman, S. 2010. Membangun Karakter
Peserta Didik melalui Pembelajaran
Biologi Berbasis Keterampilan Proses.
Proceeding Seminar Nasional VII
Pendidikan Biologi FKIP UNS, Surakarta, 31 Juli 2010.
81
Suyatno. 2010. Peran Pendidikan Sebagai
Modal Utama Membangun Karakter
Bangsa. Makalah Sarasehan Nasional
“Pengembangan Pendidikan Budaya
dan Karakter Bangsa” oleh Kopertis
Wilayah 3 DKI Jakarta, 12 Januari 2010.
Triatmanto. 2010. Tantangan Implementasi
Pendidikan Karakter di Sekolah. Cakrawala Pendidikan, Vol. 1 No. 3 2010.
Unijianto, B. 2009. Pembelajaran Sains untuk
Membentuk Karakter Siswa. Cyber News
Edisi 29 Nopember 2009.
Williams, M. 2000. Models of Character Education: Perspectives and Developmental
Issues. Journal of Humanistic Counseling, Education and Development, 39, pp.
32-40.
Williams, M., & Schnaps, E. (Eds.) 1999. Character Education: The foundation for
teacher Education. Washington, DC:
Character Education Partnership.
Wiyono, B. B. 2009. Penelitian Tindakan Kelas
dan Penulisan Karya Ilmiah. Cetakan I.
Malang: Penerbit Universitas Negeri
Malang.
69
OPTIMALISASI PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER DI
SEKOLAH MENENGAH BERBASIS KETERAMPILAN PROSES:
SEBUAH PERSPEKTIF GURU IPA-BIOLOGI
Yanur Setyaningrum1; Husamah2
1
SMP Muhammadiyah 1 Malang, e-mail: [email protected]
2
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang,
e-mail: [email protected]
Abstract:Inappropriate characters affected by moral degradation cannot be seperated from education. Many people argue that those characters are originated from the world education. School as
a formal institution in educational system can be a place where the inappropriate characters come
from. It happens because schools give more attention to on intellectual purpose other than others.
This brings a moral message that the teachers have not only to educate the students by transfering
their knowledge, but also pay attention to their characters development. Character education can
be introduced to the students through any subjects. One of them is Biology. The teaching and
learning Biology is believed to be able to support character education. This article aims at introducing character education through implementing process skill based - Biology teaching and learning. The students in Biology classes will be benefited by this implementation because the students
will involve in teaching and learning process intelectually, manually, and socially. Besides, they
will develop scientific attitudes such as honest, patience, openess, carefulness, independence,
care, and discipline. Those attitudes affected by process skill based - Biology teaching and learning can be the basis to develop student strong characters.
Key words: character education, process approach, biology
Dunia pendidikan dewasa ini dihadapkan
pada tuntutan yang semakin berat, terutama
untuk mempersiapkan peserta didik agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan
yang berkembang dengan sangat cepat
khususnya pergeseran aspek nilai dan moral
dalam kehidupan masyarakat. Dekadensi moral
dan karakter buruk yang ditunjukkan siswa
merupakan contoh bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia pendidikan. Selain
perilaku kekerasan, isu-isu moralitas di
kalangan remaja seperti penggunaan narkotika,
pornoaksi, tawuran pelajar, free sex, aborsi,
perkosaan, perampasan, pencurian, pembunuhan, dan tindakan-tindakan amoral lainnya
sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat
ini belum dapat diatasi secara tuntas.
Beberapa data dapat digunakan untuk
menggambarkan bahwa betapa dekadensi moral
dan karakter buruk yang ditunjukkan siswa
merupakan contoh bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia pendidikan kita saat ini.
Pertama, perilaku free sex remaja. Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) melaporkan bahwa 51%
remaja di Jabodetabek telah melakukan seks
pranikah. Beberapa wilayah lain di Indonesia
melaporkan bahwa seks pranikah juga dilakukan remaja, misalnya saja di Surabaya
tercatat 54%, di Bandung 47%, dan di Medan
52%. Data ini tidak jauh berbeda dengan data
yang dilansir sebelumnya oleh Komnas Pelindungan Anak, PKBI, BKKBN pada tahun 2009
di mana 62,7% remaja mengaku pernah
melakukan hubungan seks pranikah, 21,2%
remaja pernah aborsi, 93,7%, remaja SMPSMA pernah melakukan ciuman serta oral seks,
dan 97,0% remaja SMP-SMA pernah menonton
70
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
film porno (Indarini, 2010). Hasil survei
BKKBN-LDFE Universitas Indonesia memperlihatkan di Indonesia terjadi 2,4 juta kasus
aborsi per tahun dan sekitar 21%-nya dilakukan
oleh remaja. Angka penyakit menular seksual
(PMS) pada remaja mencapai 4,18%, 50% dari
jumlah penderita HIV/AIDS di Jabar berusia
sekisar 15-29 tahun dan pengguna narkoba
mencapai 2.736 orang (Muhtar, 2010).
Kedua, jumlah pemakai narkoba di Indonesia mencapai 3,6 juta orang atau 2% dari
jumlah penduduk (Kompas, 2010). Ironisnya,
78% dari jumlah pengguna narkoba adalah
remaja atau pelajar (Malik, 2007). Ketiga, kasus
korupsi dari pusat sampai daerah. Kasus
korupsi di Indonesia-baik legislatif, eksekutif
maupun yudikatif- tidak jelas kapan akan
selesai. Beberapa kasus yang menarik perhatian
publik adalah BLBI (Rp. 138,4 triliun), HPH
dan Dana Reboisasi (Rp. 15,025 triliun), Bank
Century (Rp. 6,7 triliaun) dan Kasus Mafia
Pajak Gayus Tambunan. Selain itu, total laporan
korupsi seluruh Indonesia mencapai 40 ribu
kasus. Pemerintah pun telah berhasil menertibkan 39.477 rekening keuangan negara
dengan potensi penyelamatan sebesar Rp. 35,92
triliun, US$ 237,94 juta, dan € 2,86 juta (Berita
Indonesia, 2010; Masduki, 2010).
Kasus korupsi semakin menggurita akibat
maraknya mafia kasus, mafia pajak, money
laundering dan upaya kriminalisasi terhadap
Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemeringkatan
yang dilakukan Transparency Internasional
atau PERC, secara konsisten menempatkan
Indonesia ke dalam kelompok negara terkorup,
di mana dalam skala PERC 0 sampai 10 posisi
Indonesia hanya 2,8 (PKS Bojonggede, 2009).
Berbagai permasalahan bangsa sebagaimana disebutkan di atas harus segera diakhiri.
Sejatinya semua pihak perlu introspeksi diri,
segera mencari solusi jitu dan terlibat secara
intensif. Salah satu solusi yang sangat tepat
adalah dengan optimalisasi penerapan pendidikan karakter di sekolah menengah. Pola
pendidikan saat ini hanya menghasilkan siswa
yang kehilangan kepekaan sosial (sence of social crisis) atau kehilangan kasadaran budi
nurani manusia (social consciousness of men).
Siswa hanya memiliki kemampuan teknis (skill)
dan menjadi manusia “siap pakai” layaknya robot (Ghopur, 2010). Akibat yang ditimbulkan
cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap
sebagai suatu persoalan sederhana (Dimyati,
2010).
Banyak orang berpandangan bahwa
kondisi demikian diduga berawal dari apa yang
dihasilkan oleh dunia pendidikan. Dunia
pendidikan, sesungguhnya memberikan kontribusi paling besar terhadap situasi ini. Dalam
konteks pendidikan formal di sekolah, salah satu
penyebabnya karena pendidikan di Indonesia
lebih meninikberatkan pada pengembangan
intelektual semata. Aspek-aspek lain yang ada
dalam diri siswa, yaitu aspek afektif dan
kebajikan moral kurang mendapatkan perhatian
(Koesoema, 2007; Koesoema, 2009).
Kondisi ini menegaskan bahwa para guru
yang mengajar mata pelajaran apa pun harus
memiliki perhatian dan menekankan pentingnya
pendidikan karakter pada para siswa. Salah
satunya melalui pembelajaran biologi yang
dinilai sangat mendukung penguatan karakter
siswa. Menurut Juniarso (2010) pembelajaran
biologi sebagai subsistem pendidikan nasional
memberi kontribusi penting dalam pembentukan karakter siswa. Sedangkan karakter
sebagai hasil dari pendidikan membawa arti
penting dalam kehidupan yang sesungguhnya
di masyarakat. Karena itu penting sekali
memahami nilai karakter yang dilaksanakan
dalam pembelajaran biologi.
Menurut Dwikoranto (2010) pembelajaran biologi yang benar akan mengarahkan
siswa untuk memiliki karakter-karakter
diantaranya berupa kecermatan, disiplin, kejujuran, ketekunan, berpikir kritis, bertanggungjawab, dan saling bekerja sama. Hal ini menjadi
tantangan bagi para guru untuk mengupayakan
bagaimana melakukan pembelajaran yang
menitikberatkan pada proses penyempurnaan
manusia atau memanusiakan manusia (to be a
human) dan mengartikan hidup (enoble life).
Spiritualisme yang dilaksanakan dalam pendidikan berorientasi praktik riil seorang guru
dan siswa untuk menyempurnakan proses
menuju kematangan hidupnya. Pada akhirnya
yang diinginkan adalah dimensi spiritual yang
mapan dalam diri setiap siswa. Siswa tidak
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
hanya mampu menangkap pesan lahiriah dari
apa yang ia pelajari, namun lebih dari itu siswa
juga mampu memproyeksikan pesan esoterik
dari setiap teori yang ia pelajari.
Sehubungan dengan itu, menurut Sudarisman (2010) fenomena merosotnya nilai-nilai
perilaku peserta didik secara khusus dalam
hubungannya dengan pembelajaran biologi
disebabkan karena pemahaman guru yang
kurang benar terhadap biologi itu sendiri.
Biologi sejauh ini belum diajarkan sesuai
hakikat pembelajarannya yang mengacu pada
proses dan produk melainkan hanya sebagai
produk (content). Oleh karena itu, artikel ilmiah
ini akan memfokuskan pembahasan pada
optimalisasi penerapan pendidikan karakter di
sekolah menengah berbasis keterampilan
proses.
PEMBAHASAN
Karakter dan Pendidikan Karakter
Karakter merupakan titian ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan tanpa
landasan kepribadian yang benar akan
menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran
diri akan menghancurkan. Karakter akan
membentuk motivasi, pada saat yang sama
dibentuk dengan metode dan proses yang
bermartabat. Karakter yang baik mencakup
pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, meliputi aspek
kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan
moral (Sirajuddin, 2010).
Koesoema (2007) mengatakan bahwa
karakter yang baik diketahui melalui “respon”
yang benar ketika kita mengalami tekanan,
tantangan dan kesulitan. Karakter berkualitas
adalah sebuah respon yang sudah teruji berkalikali dan telah berbuahkan kemenangan.
Seseorang yang berkali-kali melewati kesulitan
dengan kemenangan akan memiliki kualitas
yang baik. Tidak ada kualitas yang tidak diuji.
Karakter terbentuk dengan dipengaruhi oleh
paling sedikit 5 faktor, yaitu: temperamen dasar,
keyakinan, wawasan, motivasi hidup dan
perjalanan. Karakter yang dapat membawa
keberhasilan yaitu empati, tahan dan beriman.
71
Lahirnya pendidikan karakter merupakan
sebuah usaha untuk menghidupkan kembali
pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang
diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf Prancis Auguste Comte.
Pendidikan karakter akan memberikan bantuan
sosial agar individu dapat tumbuh dalam
menghayati kebebasannya dalam hidup bersama
dengan orang lain di dunia (Koesoema, 2007).
Pendidikan karakter adalah pendidikan
budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling),
dan tindakan (action). Menurut Lickona (2007)
tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan
karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya
pun harus dilakukan secara sistematis dan
berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter,
seorang anak akan menjadi cerdas emosinya.
Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting
dalam mempersiapkan anak menyongsong masa
depan, karena dengannya seseorang akan dapat
berhasil dalam menghadapi segala macam
tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademis.
Williams & Schnaps (1999) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai “Any deliberate approach by which school personnel,
often in conjunction with parents and community members, help children and youth become
caring, principled and responsible”. Maknanya
kurang lebih pendidikan karakter merupakan
berbagai usaha yang dilakukan oleh para
personil sekolah, bahkan yang dilakukan
bersama-sama dengan orang tua dan anggota
masyarakat, untuk membantu anak-anak dan
remaja agar menjadi atau memiliki sifat peduli,
berpendirian, dan bertanggung jawab.
Lebih lanjut Williams (2000) menjelaskan
bahwa makna dari istilah pendidikan karakter
tersebut awalnya digunakan oleh National
Commission on Character Education (di
Amerika) sebagai suatu istilah payung yang
meliputi berbagai pendekatan, filosofi, dan program. Pemecahan masalah, pembuatan keputusan, penyelesaian konflik merupakan aspek
yang penting dari pengembangan karakter
moral. Oleh karena itu, di dalam pendidikan
karakter semestinya memberikan kesempatan
ke pada siswa untuk mengalami sifat-sifat
72
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
tersebut secara langsung. Secara khusus, tujuan
pendidikan moral adalah membantu siswa agar
secara moral lebih bertanggung jawab, menjadi
warga negara yang lebih berdisiplin (McBrien
& Brandt, 1997).
Pendidikan karakter yang menekankan
dimensi etis-religius menjadi relevan untuk
diterapkan di tengah gempa multidimensional
yang mengancam dan bahkan sedikit demi
sedikit menghancurkan sendi-sendi bangsa.
Namun, pendidikan karakter hanya akan
menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami
secara lebih utuh, menyeluruh, menyatu dan
melibatkan semua sumberdaya yang terkait (integral-holistik). Bahkan, pendidikan karakter
yang dipahami secara parsial dan tidak tepat
sasaran justru malah bersifat kontraproduktif
bagi pembentukan karakter siswa. Menurut
Abdullah (2010) sifat pendidikan karakter
adalah multidimensi dan multidisiplin, sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif,
utuh, interkonektif antar berbagai disiplin
ilmu, dan tidak sektoral-parsial. Pendidikan
karakter mengasumsikan keterkaitan erat antara
dimensi moral, sosial, ekonomi, politik, hukum,
agama, budaya, dan estetika. Ironisnya, menurut Koesoema (2010a) pendidikan karakter
yang selama ini banyak bicarakan dipahami
secara sempit.
Pendidikan karakter integratif-holistik
menurut hemat penulis haruslah didasarkan
minimal kepada pilar, basis desain, dan kunci
sukses. Pertama, pilar pendidikan karakter.
Menurut Foerster dalam Koesoema (2007) ada
empat pilar yang menjadi ciri dasar pendidikan
karakter. (1) keteraturan interior: setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai
menjadi pedoman normatif setiap tindakan. (2)
koherensi: memberi keberanian, membuat
seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah
terombang-ambing pada situasi baru atau takut
risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. (3) otonomi: seseorang menginternalisasikan aturan
dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi.
Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan
pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak
lain. (4) keteguhan dan kesetiaan: keteguhan
merupakan daya tahan seseorang guna
mengingini apa yang dipandang baik; kesetiaan
merupakan dasar bagi penghormatan atas
komitmen yang dipilih. Kematangan keempat
karakter ini memungkinkan manusia melewati
tahap individualitas menuju personalitas, antara
independensi eksterior dan interior. Karakter
inilah yang menentukan forma seorang pribadi
dalam segala tindakannya.
Kedua, basis desain. Menurut Koesoema
(2010b) pendidikan karakter jika ingin efektif
dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain
dalam pemrogramannya. (1) Desain pendidikan
karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada
relasi guru sebagai guru dan siswa sebagai
pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan
karakter adalah proses relasional komunitas
kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi gurupembelajar bukan monolog, melainkan dialog
dengan banyak arah sebab komunitas kelas
terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama
berinteraksi dengan materi. Memberikan
pemahaman dan pengertian akan keutamaan
yang benar terjadi dalam konteks pengajaran
ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah
noninstruksional, seperti manajemen kelas dan
konsensus kelas yang membantu terciptanya
suasana belajar yang nyaman. (2) Desain
pendidikan karakter berbasis kultur sekolah.
Desain ini mencoba membangun kultur sekolah
yang mampu membentuk karakter siswa dengan
bantuan pranata sosial sekolah agar nilai
tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri
siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak
cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan
moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti
diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran
melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang
tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku
ketidakjujuran. (3) Desain pendidikan karakter
berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian.
Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti
keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga
memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam
konteks kehidupan mereka. Pendidikan
karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain
pendidikan karakter ini dilaksanakan secara
simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan
tidak efektif. Tanpa tiga basis itu, program
pendidikan karakter hanya menjadi wacana
semata.
Ketiga, kunci sukses pendidikan karakter.
Kunci sukses ini terdiri dari dua hal yaitu: (1)
dari knowing menuju doing. Kilpatrick (1992)
menyebutkan salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang berlaku baik meskipun ia
telah memiliki pengetahuan tentang kebaikan
itu (moral knowing) adalah karena ia tidak
terlatih untuk melakukan kebaikan (moral doing). Berangkat dari pemikiran ini maka
kesuksesan pendidikan karakter sangat
bergantung pada ada tidaknya knowing, loving,
dan doing atau acting dalam penyelenggaraan
pendidikan karakter. Moral knowing sebagai
aspek pertama memiliki enam unsur, yaitu
kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral
values), penentuan sudut pandang (perspective
taking), logika moral (moral reasoning),
keberanian mengambil menentukan sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Selanjutnya moral loving atau Moral
Feeling merupakan penguatan aspek emosi
siswa untuk menjadi manusia berkarakter.
Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk
sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu
kesadaran akan jati diri, percaya diri, empati,
cinta kebenaran, pengendalian diri, dan
kerendahan hati. Setelah dua aspek tadi
terwujud, maka moral acting sebagai outcome
akan dengan mudah muncul dari para siswa.
(2) Identifikasi Karakter. Pendidikan karakter
tanpa identifikasi karakter hanya akan menjadi
sebuah perjalanan tanpa akhir, petualangan
tanpa peta. Organisasi manapun di dunia ini
yang menaruh perhatian besar terhadap
pendidikan karakter harus mampu mengidentifikasi karakter-karakter dasar yang akan
menjadi pilar perilaku individu.
Megawangi & Williams (2007) merumuskan delapan karakter dasar yang menjadi tujuan
pendidikan karakter. Delapan karakter tersebut
adalah; (1) cinta kepada Tuhan dan semesta
beserta isinya, (2) tanggung jawab, disiplin dan
mandiri, (3) jujur, (4) hormat dan santun, (5)
kasih sayang, peduli, dan kerja sama, (6)
73
percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang
menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, baik
dan rendah hati, dan (8) toleransi, cinta damai
dan persatuan.
Karakter dalam Biologi
Salah satu tujuan biologi adalah memberikan penguatan atau memberikan bekal
tentang sikap ilmiah kepada siswa. Pembelajaran biologi mengandung empat unsur yaitu
sikap, proses, produk dan aplikasi, sehingga
siswa diharapkan tidak hanya memiliki
pengetahuan namun juga menguasai proses
ilmiah dan dapat mengaplikasikan ilmu yang
diperoleh. Aplikasi itu dilakukan melalui sikap
ilmiah yang jujur, menyadari tentang adanya
keteraturan di jagad raya yang memiliki hukum
alam tak terbantahkan serta menyadari
keterbatasan manusia dan kehebatan Sang
Pencipta (Unijianto, 2009).
Menurut Muslich (2008) sikap ilmiah
merupakan sikap yang harus ada pada diri
seorang ilmuwan dan akademisi termasuk guru
dan siswa ketika menghadapi persoalanpersoalan ilmiah. Sikap ilmiah ini perlu
dibiasakan. Sikap-sikap ilmiah yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
1) Sikap ingin tahu. Sikap ingin tahu ini
terlihat pada kebiasaan bertanya tentang
berbagai hal yang berkaitan dengan bidang
kajiannya. Mengapa demikian? Bagaimana
caranya? Apa saja unsur-unsurnya?
2) Sikap kritis. Sikap kritis ini terlihat pada
kebiasaan mencari informasi sebanyak
mungkin berkaitan dengan bidang kajiannya untuk dibanding-banding kelebihankekurangannya, kecocokan-tidaknya,
kebenaran-tidaknya, dan sebagainya.
3) Sikap terbuka. Sikap terbuka ini terlihat
pada kebiasaan mau mendengarkan
pendapat, argumentasi, kritik, dan keterangan orang lain, walaupun pada akhirnya
pendapat, argumentasi, kritik, dan keterangan orang lain tersebut tidak diterima
karena tidak sepaham atau tidak sesuai.
4) Sikap objektif. Sikap objektif ini terlihat
pada kebiasaan menyatakan apa adanya,
tanpa diikuti perasaan pribadi.
74
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
5) Sikap rela menghargai karya orang lain.
Sikap menghargai karya orang lain ini
terlihat pada kebiasaan menyebutkan
sumber secara jelas sekiranya pernyataan
atau pendapat yang disampaikan memang
berasal dari pernyataan atau pendapat orang lain.
6) Sikap berani mempertahankan kebenaran.
Sikap ini menampak pada ketegaran
membela fakta dan hasil temuan lapangan
atau pengembangan walapun bertentangan
atau tidak sesuai dengan teori atau dalil
yang ada.
7) Sikap menjangkau ke depan. Sikap ini
dibuktikan dengan selalu ingin membuktikan hipotesis yang disusunnya demi
pengembangan bidang ilmunya.
Sikap ilmiah tidak hanya terkait dengan
pola pikir ilmiah, tetapi juga emosi (afektif) dan
sikap perilaku (psikomotor). Sikap ilmiah yang
dimaksud antara lain (Saukah, 2000; Wiyono,
2009):
1) Hasrat ingin tahu dan belajar terus menerus.
Perkembangan ilmu pengetahuan selalu
didorong oleh hasrat ingin tahu (curiosity) yang
merupakan sifat dasar manusia dan sebuah
tindakan (action) berupa belajar terus menerus.
Kedua faktor ini menjadi pembeda antara
akademisi dengan komunitas lain dalam
kehidupan masyarakat.
2) Daya analisis yang tajam.
Setiap permasalahan membutuhkan analisis tajam untuk menentukan ketepatan dan
kebenaran sebuah tindakan dari hasil pemecahan masalah. Analisis yang tajam juga
diperlukan jika menghadapi variasi dan
banyaknya masalah agar solusi yang diberikan
tepat, kreatif dan inovatif.
3) Jujur dan terbuka
Kejujuran dan keterbukaan menjadi kunci
pembuka berkembangnya ilmu pengetahuan
serta ciri pribadi yang sehat dan matang.
Hilangnya kejujuran dan keterbukaan akan
menyebabkan mundurnya ilmu pengetahuna,
berkembangnya perilaku negatif dan terhentinya
pemikiran-pemikiran baru yang kreatif dan
inovatif.
4) Kritis terhadap pendapat berbeda
Perbedaan pendapat merupakan sesuatu
yang wajar dan alamiah karena adanya kemajemukan pola pikir dan kepribadian manusia.
Perbedaan akan meningkatkan daya kritis jika
disikapi dengan sikap positif dan bertanggung
jawab. Kritis terhadap perbedaan akan meningkatkan semangat untuk mencari solusi yang
terbaik dan tujuan yang lebih baik.
5) Tanggung jawab yang tinggi
Setiap guru mempunyai tanggungjawab
sesuai peran dan fungsinya. Pelaksanaan
tanggung jawab ini akan menentukan keberhasilan. Tanggung jawab yang dimiliki tidak
hanya terkait dengan internal tetapi juga
ekternal (lingkungan global).
6) Bebas dari prasangka
Prasangka akan mempengaruhi pelaksanaan tugas dan t anggung jawab yang
diemban. Prasangka memiliki dampak terhadap
kondisi fisik dan psikologis seseorang. Selain
itu, prasangka dapat melemahkan upaya untuk
mencapai tujuan, menyebabkan konflik dengan
diri sendiri dan orang lain (intrapersonal dan
interpersonal).
7) Menghargai nilai, norma, kaidah dan tradisi
keilmuan
Salah satu tradisi keilmuan yang tetap
dikembangkan adalah adanya kebebasan
mimbar akademik, kebebasan berpikir, dan
berpendapat serta nilai keterbukaan dalam
mengembangkan keilmuan. Penghargaan
terhadap nilai, norma, kaidah dan tradisi
keilmuan merupakan ciri kepribadian sehat dan
matang dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Pembelajaran biologi juga perlu
memberikan penguatan pada karakter
sumberdaya manusia (SDM). Ciri-ciri karakter
SDM yang kuat meliputi: (1) religius, yaitu
memiliki sikap hidup dan kepribadian yang taat
beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling
tolong menolong, dan toleran; (2) moderat,
yaitu memiliki sikap hidup yang tidak radikal
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan
antara individu dan sosial, berorientasi materi
dan ruhani serta mampu hidup dan kerjasama
dalam kemajemukan; (3) cerdas, yaitu memiliki
sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta
ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4)
mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan
kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat,
menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras,
dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa
kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan
universal dan hubungan antarperadaban bangsabangsa (PP Muhammadiyah, 2009: 43-44).
Menurut Dedy (2010) biologi merupakan
dorongan pada unsur pola dan cara berpikir
melalui tatanan valid, true, reliable, verify, hypothesis, theory, law, principle, axioma, postulate dan proof. Bahasa dan nalar bekerja
timbal balik saling mendorong mengembangkan
biologi sebagai basis pemikiran untuk membimbing manusia menemukan hal-hal yang asli
(original).
Soelardjo dalam Dedy (2010) mengungkapkan bahwa biologi selalu dikaitkan dengan
fakta nyata yang terjadi dari suatu proses alam
maupun yang secara khusus dirancang. Teori
dari biologi melekat pada rancangan proses,
sedangkan fakta merupakan dasar dari proses
biologi. Biologi harus diuraikan sesuai dengan
hukum-hukum atau pedoman yang berakar
sehingga fakta tersebut harus mengandung
kebenaran, rasional dan logis pada saat
menentukan kebenaran. Unsur-unsur fakta yang
penting dapat dilacak lagi setiap saat sehingga
manusia dapat menemukan fakta-fakta baru
untuk koreksi.
Biologi pada hakekatnya sebagai suatu
disiplin yang sangat berarti dalam pengembangan kemampuan berpikir logis, sistematis
dan kreatif sehingga biologi seringkali mampu
mengantarkan individu pada kesadaran bahwa
kebenaran yang mutlak adalah kebenaran Tuhan
sedangkan kebenaran ilmiah pada hakekatnya
bersifat tentatif. Semakin aktif dan semakin jauh
para ilmuwan melakukan studi maka semakin
terbuka untuk menemukan Tuhan. Oleh karena
itu beruntunglah para ilmuwan di bidang biologi
karena biologi memiliki potensi dan peluang
besar untuk hidup yang dilandasi agama
75
sehingga secara moral kehidupannya tetap
terjaga.
Wasono dalam Dedy (2010) mengemukakan tentang keterkaitan antara biologi dan
pengembangan karakter bangsa. Seseorang
yang belajar mendalami biologi dan melakukan
penelitian akan terdidik untuk mendapatkan
karakter dasar seorang peneliti berupa teliti,
jujur, punya integritas, visioner, terbuka dan
obyektif terhadap kebenaran, kooperatif
terhadap orang lain dan berjiwa pembelajar.
Kenyat aan yang terjadi adalah adanya
kecenderungan masuknya budaya diluar
masyarakat biologi seperti ketidakjujuran,
plagiarisme atau kurangnya integritas meneliti
demi kepentingan sesaat. Oleh karena itu perlu
adanya program pembangunan karakter yang
terdiri dari tujuh budi utama meliputi kejujuran,
tanggungjawab, visioner, disiplin, kerjasama,
adil dan peduli.
Berdasarkan berbagai uraian di atas jelas
sekali bahwa pembelajaran biologi memiliki
nilai-nilai yang sangat dekat dengan pembentukan karakter siswa. Apabila pembelajaran
biologi dengan nilai-nilai seperti disebutkan di
atas dapat dilaksanakan maka mutu pendidikan
biologi akan makin baik dan secara utuh dapat
membentuk lulusan yang baik pula. Namun
demikian, menurut Juniarso (2010) pendidikan
karakter dalam pelajaran biologi, selama ini
sama dengan pelajaran lainnya, jarang atau
bahkan tidak memuat pendidikan karakter
dalam pembelajarannya. Pelajaran biologi
dianggap sebagai pelajaran tentang penggunaan
otak semata. Somant ri (2008) malah
menegaskan pelajaran biologi di sekolah masih
berfokus pada hafalan akibatnya minat belajar
dan pengembangan biologi masih terbatas.
Pendekatan Proses dan Hubungannya
dengan Karakter Siswa
Pembelajaran IPA termasuk biologi
menurut Devi et al. (2010) menekankan pada
pemberian pengalaman belajar secara langsung
melalui penggunaan dan pengembangan
keterampilan proses dan sikap ilmiah. Pengembangan keterampilan proses siswa dapat
dilatihkan melalui suatu kegiatan pembelajaran
76
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
yang menggunakan pendekatan keterampilan
proses. Pendekatan keterampilan proses adalah
proses pembelajaran yang dirancang sedemikian
rupa sehingga siswa dapat menemukan faktafakta, membangun konsep-konsep dan teoriteori dengan keterampilan intelektual dan sikap
ilmiah siswa sendiri. Siswa diberi kesempatan
untuk terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan
ilmiah seperti yang dikerjakan para ilmuwan,
tetapi pendekatan keterampilan proses tidak
bermaksud menjadikan setiap siswa menjadi
ilmuwan. Pembelajaran dengan pendekatan
keterampilan proses dilaksanakan dengan
maksud karena IPA merupakan alat yang
potensial untuk membantu mengembangkan
kepribadian siswa. Kepribadian yang berkembang merupakan prasyarat untuk melangkah ke
profesi apapun yang diminati siswa.
Proses dapat didefinisikan sebagai
perangkat keterampilan kompleks yang digunakan ilmuwan dalam melakukan penelitian
ilmiah. Proses merupakan konsep besar yang
dapat diuraikan menjadi komponen-komponen
yang harus dikuasai seseorang bila akan
melakukan penelitian. Keterampilan berarti
kemampuan menggunakan pikiran, nalar dan
perbuatan secara efisien dan efektif untuk
mencapai suatu hasil tertentu, termasuk
kreativitas. Dengan demikian Pendekatan
Keterampilan Proses adalah perlakuan yang
diterapkan dalam pembelajaran yang menekankan pada pembentukan keterampilan memperoleh pengetahuan kemudian mengkomunikasikan perolehannya. Keterampilan memperoleh pengetahuan dapat dengan menggunakan kemampuan olah pikir (psikis) atau
kemampuan olah perbuatan (fisik).
Pada pendekatan proses, tujuan utama
pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti
mengamati, berhipotesis, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan
pendekatan proses menuntut keterlibatan
langsung siswa dalam kegiat an belajar
(Dirdjosoemarto et al., 2004).
Menurut Rustaman et al. (2000)
keterampilan ilmiah dalam biologi berorientasi
pada pendekatan keterampilan proses dimana
di dalamnya terkandung berbagai keterampilan
yang mencakup setidaknya delapan (8) kegiatan
diantaranya: mengamai (observation), mengelompokkan (classification), menafsirkan
(interpretation), meramalkan (prediction),
mengajukan pertanyaan (question), berhipotesis
(hipothesis), melakukan percobaan (experiment) dan mengkomunikasikan hasil percobaan
(communication).
Penggunaan pembelajaran biologi berbasis keterampilan proses memiliki beberapa
keuntungan diantaranya: (1) pembelajaran
biologi berbasis keterampilan proses memungkinkan peserta didik dapat terlibat aktif secara
intelektual, manual, dan sosial. Pengalaman
beraktivitas secara intelektual, manual dan
sosial dapat mengantarkan peserta didik untuk
beajar biologi secara bermakna yang pada
akhirnya dapat mengoptimalkan hasil belajar
peserta didik. (2) pembelajaran biologi berbasis
keterampilan proses memungkinkan dapat
dikembangkan sikap ilmiah pada peserta didik.
Sikap ilmiah mencakup berbagai sikap seperti:
kejujuran, kesabaran, keterbukaan, ketelitian,
kemandirian, sikap menghargai orang lain,
disiplin dan lain-lain. Sikap ilmiah yang berkembangkan setelah melakukan keterampilan
proses tersebut merupakan sikap dasar dalam
membangun karakter yang kuat pada peserta
didik.
Peran Guru Biologi dalam Pendidikan
Karakter
Berbagai penelitian empirik menunjukkan
bahwa faktor guru memainkan peran yang
sangat besar dalam pembentukan karakter murid. Diperoleh data bahwa ada kecenderungan
makin tinggi level lembaga pendidikan formal
makin rendah peran dan kontribusi guru/guru
dalam kesuksesan murid, misalnya PAUD/TK
sampai >90%, SD/MI sekitar 80-90%, SMP/
MTS sekitar 70-80%, SMA/MA/SMK sekitar
60-70%, Mahasiswa S1 sekitar 40-50%, S2
sekitar 20-30%, dan S3 sekitar 10%, atau
mungkin bisa kurang (Anwar, 2010).
Guru mempunyai peran dan kedudukan
yang sangat strategis dalam pembangunan
nasional khususnya dalam bidang pendidikan.
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen mendefinisikan guru sebagai
pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta
didik. Dengan ditegaskannya guru sebagai
pekerjaan profesional, secara otomotis
menuntut adanya prinsip profesionalitas yang
selayaknya dijunjung tinggi dan dipraktikkan
oleh para guru. Seorang guru hendaknya
memiliki kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi
yang jelas.
Faktor kompetensi sebagai seorang guru
sangatlah penting, terlebih objek yang menjadi
sasaran pekerjaanya adalah peserta didik
(siswa) yang diibaratkan kertas putih, gurulah
yang akan menentukan apa yang hendak
dituangkan dalam kertas tersebut, berkualitas
tidaknya tergantung kepada sejauh mana guru
bisa menempatkan dirinya sebagai guru yang
memiliki kapasitas dan kompetensi profesional
dalam mengarahkan individu-individu menjadi
sosok yang memiliki karakter dan mentalitas
yang dapat diandalkan dalam proses pembangunan bangsa (Sauri, 2010).
Menurut Sauri (2010) dalam tataran
normatif betapa mulia dan strategisnya kedudukan guru. Namun, dalam realitas di
lapangan tidak sedikit guru yang tidak
mencerminkan peran strategisnya sebagai guru,
bahkan ia jauh dari garis jati diri kependidikannya, penyimpangan-penyimpangan
moral, tampilan kepribadian yang tidak
sewajarnya, landasan penguasaan norma-norma
agama yang lemah dan sejumlah patologi sosial
lainya. Banyak faktor tentunya yang mempengaruhi hal tersebut terjadi, yang jelas jika
dibiarkan hal ini dapat memberikan ekses buruk
bagi dunia pendidikan, khususnya terhadap
kualitas lulusan dan output pendidikan serta
karakter masyarakat sebagai objek pendidikan
yang dimotori para guru. Proses pendidikan
akan jauh dari tujuannya, sehingga menjadi
sangat penting untuk melakukan sebuah upaya
strategis dalam mempersiapkan sosok guru
yang mampu menjadi panutan dan melaksanakan profesinya secara profesional sehingga
ia bisa diandalkan.
77
Berangkat dari uraian di atas, maka
jelaslah bahwa guru sebagai entitas strategis
sangat diperlukan paranannya dalam upaya
membentuk karakter bangsa yang memiliki jati
diri dan bermartabat di tengah-tengah bangsa
lainnya. Peran guru sangat penting dalam
membentuk karakter siswa (Suyatno, 2010).
Guru merupakan personalia penting dalam
pendidikan karakter di sekolah karena sebagian
besar interaksi yang terjadi di sekolah, adalah
interaksi siswa dengan guru baik melalui proses
pembelajaran akademik kurikuler, ko-kurikuler,
maupun ekstra-kurikuler (Triatmanto, 2010).
Kondisi ini menegaskan bahwa para guru yang
mengajar mata pelajaran apa pun harus memiliki
perhat ian dan menekankan pent ingnya
pendidikan moral dan karakter pada para siswa.
Terkait dengan pendidikan karakter,
peran guru pada intinya adalah sebagai
masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona
et al. (2007) menguraikan beberapa pemikiran
tentang peran guru, di antaranya:
1. Guru perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif
sebagai upaya membangun pendidikan
karakter.
2. Guru bertanggung jawab untuk menjadi
model yang memiliki nilai-nilai moral dan
memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya guru di
lingkungan sekolah hendaklah mampu
menjadi uswah hasanah yang hidup bagi
setiap peserta didik. Mereka juga harus
terbuka dan siap untuk berdiskusi dengan
peserta didik tentang berbagai nilai-nilai
yang baik tersebut.
3. Guru perlu memberikan pemahaman bahwa
karakter siswa tumbuh melalui kerjasama
dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan.
4. Guru perlu melakukan refleksi atas masalah
moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin
untuk memastikan bahwa siswa-siswanya
mengalami perkembangan karakter.
5. Guru perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara
terus-menerus tentang berbagai nilai baik
dan buruk.
78
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
Hal-hal lain yang dapat guru lakukan
dalam implementasi pendidikan karakter (Djalil
& Megawangi, 2006) adalah: (1) guru perlu
menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif aktif siswa, (2) guru perlu
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif,
(3) guru perlu memberikan pendidikan karakter
secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the
good, loving the good, and acting the good,
dan (4) guru perlu memperhatikan keunikan
siswa masing-masing dalam menggunakan
metode pembelajaran, yaitu menerapkan
kurikulum yang melibatkan sembilan aspek
kecerdasan manusia. Guru perlu melatih dan
membentuk karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya
melakukan shalat secara konsisten.
Suyatno (2010) mencoba mengkategorikan peran guru di setiap jenis lembaga
pendidikan dalam membentuk karakter siswa.
Dalam pendidikan formal dan non formal, guru
(1) harus terlibat dalam proses pembelajaran,
yaitu melakukan interaksi dengan siswa dalam
mendiskusikan materi pembelajaran, (2) harus
menjadi teladan bagi siswanya dalam berperilaku dan bercakap, (3) harus mampu
mendorong siswa aktif dalam pembelajaran
melalui penggunaan metode pembelajaran yang
variatif, (4) harus mampu mendorong dan
membuat perubahan, (5) harus mampu membantu dan mengembangkan emosi dan
kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih
bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang
berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya, dan
(6) harus menunjukkan rasa kecintaan pada
siswa sehingga guru tidak mudah putus asa
dalam membimbing siswa yang sulit memahami.
Sehubungan dengan itu, dalam penerapan
pembelajaran biologi berbasis keterampilan
proses, guru menjadi faktor kunci dalam
mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Herlen
dalam Sudarisman (2010) sedikitnya terdapat
lima aspek yang perlu diperhatikan guru biologi
dalam mengembangkan pembelajaran berbasis
keterampilan proses yaitu:
1. Rancangan pembelajaran yang disusun
harus dapat memberikan kesempatan
peserta didik untuk keterampilan proses
melalui pengalaman langsung mengeksplorasi materi dan fenomena alam. Melalui
pengalaman langsung tersebut, mereka
dapat menggunakan alat-alat inderanya
untuk melakukan pengamatan, mengumpulkan informasi atau bukti-bukti untuk
kemudian ditindaklanjuti dengan pengajuan
pertanyaan dan perumusan hipotesis
berdasarkan gagasan mereka.
2. Setting pembelajaran dalam bent uk
kelompok-kelompok kecil yang memungkinkan peserta didik dapat melakukan
diskusi. Tugas-tugas pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga peserta
didik dapat berbagi gagasan (brainstorming) menyimak pendapat teman lain,
menjelaskan dan mempertahankan gagasan,
sehingga diperlukan berpikir reflektif.
3. Mengakomodasikan kegiatan berproses
berdasarkan gagasan peserta didik melalui
penggunaan atau penerapan berbagai
strategi pembelajaran, sehingga peserta
didik dapat menghubungkan antara
pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru yang mereka
peroleh setelah berinteraksi dengan
lingkungan belajarnya.
4. Memberikan kesempatan atau mendorong
peserta didik untuk mengulas at au
mereview secara kritis tentang kegiatan
yang telah mereka lakukan.
5. Memberikan teknik atau strategi sebagai
bekal untuk meningkatkan keterampilan
ilmiah peserta didik, sebab untuk dapat
mengetahui teknik penggunaan alat secara
tepat diperlukan pengetahuan tentang
prosedur penggunaannya seperti teknik
mengukur, mengkomunikasikan data dan
menggunakan alat.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Karakter mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai
etika, meliputi aspek kognitif, emosional,
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
dan perilaku dari kehidupan moral.
Karakter terbentuk dengan dipengaruhi
oleh paling sedikit 5 faktor, yaitu: temperamen dasar, keyakinan, wawasan,
motivasi hidup dan perjalanan. Karakter
yang dapat membawa keberhasilan yaitu
empati, tahan dan beriman.
2. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi
pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Pendidikan
karakter merupakan berbagai usaha yang
dilakukan oleh para personil sekolah,
bahkan yang dilakukan bersama-sama
dengan orang tua dan anggota masyarakat,
untuk membantu siswa agar menjadi atau
memiliki sifat peduli, berpendirian, dan
bertanggung jawab.
3. Biologi memiliki keterkaitan dengan
pengembangan karakter peserta didik.
Seseorang yang belajar mendalami biologi
dan melakukan penelitian akan terdidik
untuk mendapatkan karakter dasar seorang
peneliti berupa teliti, jujur, punya integritas,
visioner, terbuka dan obyektif terhadap
kebenaran, kooperatif terhadap orang lain
dan berjiwa pembelajar. Apabila pembelajaran biologi dengan nilai-nilai seperti
disebut di atas dapat dilaksanakan maka
mutu pendidikan biologi akan makin baik
dan secara utuh dapat membentuk lulusan
yang baik pula.
4. Penggunaan pembelajaran biologi berbasis
keterampilan proses memiliki beberapa
keuntungan terutama terkait dengan
pendidikan karakter diantaranya: (1)
pembelajaran biologi berbasis keterampilan
proses memungkinkan peserta didik dapat
terlibat aktif secara intelektual, manual, dan
sosial. (2) pembelajaran biologi berbasis
keterampilan proses memungkinkan dapat
dikembangkan sikap ilmiah pada peserta
didik seperti: kejujuran, kesabaran, keterbukaan, ketelitian, kemandirian, sikap
menghargai orang lain, disiplin dan lainlain. Sikap ilmiah yang berkembangkan
setelah melakukan keterampilan proses
tersebut merupakan sikap dasar dalam
79
membangun karakter yang kuat pada
peserta didik.
Saran
1. Menerapkan pendidikan karakter di
sekolah bukan hal yang mudah, karena
harus merubah paradigma, butuh waktu
dan tenaga. Namun yang paling penting
adalah semua pihak terutama guru harus
kreatif. Guru Biologi harus selalu berusaha
untuk menggunakan pendekatan yang
komprehensif dan proaktif. Perlu disadari
bahwa penanaman nilai merupakan sebuah
proses, berkelanjutan dan memiliki visi-misi
jauh ke depan yaitu penciptaan generasi
yang ideal, seperti amanah dan cita-cita
pendidikan karakter itu sendiri.
2. Guru disarankan menggunakan pendekatan
proses dalam pembelajaran biologi karena
sangat strategis sebagai wahana pembangunan karakter peserta didik secara utuh.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. 2010. Pendidikan Karakter:
Mengasah Kepekaan Hati Nurani.
Disampaikan pada acara Sarasehan
Nasional Pendidikan Karakter Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan Nasional, Hotel Santika, Yogyakarta, 15 April 2010.
Anwar, Q. 2010. Nilai Agama Sebagai Acuan
Membangun Karakter Bangsa. Makalah
dipresentasikan dalam Sarasehan
Nasional Pendidikan Karakter, Jakarta,
12 April 2010.
Berita Indonesia. 2010. Kaltim Peringkat 10
Kasus Korupsi Tertinggi di Indonesia.
Harian Berita Indonesia Edisi Minggu, 31
Januari 2010.
Dedy. 2010. Peningkatan Keprofesionalan
Peneliti, Guru dan Praktisi MIPA untuk
Mendukung Pembangunan Karakter
Bangsa. Press Release Seminar Nasional
Penelitian, Pendidikan dan Penerapan
MIPA. FMIPA Universitas Negeri
Yogyakarta Sabtu 15 Mei 2010.
80
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
Devi, P. K; Sofireni, R; Rosendi, Y. 2010.
Pendekatan Keterampilan Proses pada
Pembelajaran IPA. Jakarta: Teknodik.
Dimyati. 2010. Peran Guru Sebagai Model
dalam Pembelajaran Karakt er dan
Kebajikan Moral Melalui Pendidikan
Jasmani. Cakrawala Pendidikan, Mei
2010, Th. XXIX.
Dirdjosoemarto, S., Yudianto, S. A., Achmad,
Y., Subekti, R. 2004. Strategi Belajar
Mengajar Biologi. Bandung : FPMIPA
UPI dan JICA IMSTEP.
Djalil, S.A. dan Megawangi, R. 2006. Peningkatan Mutu Pendidikan di Aceh melalui
Implementasi Model Pendidikan Holistik
Berbasis Karakter. Makalah Orasi Ilmiah
pada Rapat Senat Terbuka dalam
Rangka Dies Natalis ke 45 Universitas
Syiah Kuala Banda Aceh, 2 September
2006.
Dwikoranto. 2010. Membangun Karakter
Melalui Pembelajaran Berbasis Nilai di
Fullday School. Proseding Seminar
Nasional Pendidikan IPA Tahun 2010
dengan tema Membangun Prof esionalisme Guru IPA melalui Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Guru (PPG).
FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.
Ghopur, A. 2010. Pendidikan Karakter yang
Terlupakan. (Online). (http://www.detik.
com, diakses 16 Mei 2010).
Juniarso, T. 2010. Pendidikan Karakter di
Sekolah (Character Education In
School) Sebuah Usulan Gagasan:
Pengembangan Model Kontrak Belajar
dengan Pelibatan Masyarakat Untuk
Penguatan Karakter Siswa Dalam
Pembelajaran Sains. Surabaya: Universitas PGRI Adi Buana.
Kilpatrick, W. 1992. Moral Illiteracy. Chapter 6 in Why Johnny Can’t Tell Right from
Wrong and What We Can Do About It.
Edited by J.H. Clarke. New York: A
Touchstone Book.
Koesoema, A. D. 2007. Pendidikan Karakter:
Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
_______. 2009. Guru Karakter di Zaman
Keblinger. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
_______. 2010a. Pendidikan Karakter Integral. Harian Kompas Edisi Kamis, 11
Februari 2010.
_______. 2010b. Pendidikan Karakter.
(Online). (www.kompas.com, diakses 16
Mei 2010).
Kompas. 2010. Pengguna Narkoba Mencapai
3,6 Juta Orang. Edisi Senin, 26 April
2010.
Lickona, T. 2007. Character Matters: How to
Help Our Children Develop Good Judgement, Integrity, and Other Essential Virtues. USA: Simon & Schuster Adult Publishing.
Malik, A. 2007. 45% Remaja Lakukan Free
Sex. Harian Seputar Indonesia Edisi 21
Mei 2007.
Masduki. 2010. Jawa Timur Juara Satu dalam
Jumlah Korupsi. Harian Republika Edisi
Selasa, 27 April 2010.
McBrien, J. L., & Brandt, R. S. 1997. The language of Learning: A Guide to Education Terms. Alexandria, VA: Association
for Supervision and Curriculum Development.
Muhtar. 2010. Revolusi Seks dan AIDS. Harian
Pikiran Rakyat Edisi 31 Mei 2010.
Muslich, M. 2008. Karya Tulis Ilmiah: Ciri dan
Sikap Ilmiah. (Online). (http://
menulisbukuilmiah.blogspot .com/,
Diakses November 2009).
Megawangi, R & Williams, R., T. 2007.
Kecerdasan Plus Karakter. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
PKS Bojonggede. 2009. Kondisi Nasional dan
Akar Permasalahan Bangsa (bagian I).
(Online).
(pksbojonggede.blogspot.com, diakses 16
Mei 2010).
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2009.
Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa.
Yogyakarta: PP Muhammadiyah.
Rustaman, N.; Dirdjosoemarto, S.; Yudianto,
S. A.; Achmad, Y.; Subekt i, R.;
Rochintaniawati, D. & Nurjhani, M.
2004. Strategi Belajar Mengajar
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
Biologi. Bandung: Jurusan Pendidikan
Biologi FMIPA UPI.
Saukah , A., (Ed). 2000. Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah. Malang: Universitas
Negeri Malang.
Sauri, S. 2010. Membangun Karakter Bangsa
Melalui Pembinaan Profesionalisme Guru
Berbasis Pendidikan Nilai. Makalah
Sarasehan Nasional “Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa” oleh Kopertis Wilayah 3 DKI
Jakarta, 12 Januari 2010.
Sirajuddin, N. 2010. Mereorientasi Pendidikan
Karakter Indonesia. Harian Fajar Metro
Edisi Rabu, 05 Mei 2010.
Somantri, R. G. 2008. Pelajaran Sains Masih
Bersifat Hafalan. Harian Kompas. Selasa
4 Nopember 2008 Halaman 12 Kolom
1.
Sudarisman, S. 2010. Membangun Karakter
Peserta Didik melalui Pembelajaran
Biologi Berbasis Keterampilan Proses.
Proceeding Seminar Nasional VII
Pendidikan Biologi FKIP UNS, Surakarta, 31 Juli 2010.
81
Suyatno. 2010. Peran Pendidikan Sebagai
Modal Utama Membangun Karakter
Bangsa. Makalah Sarasehan Nasional
“Pengembangan Pendidikan Budaya
dan Karakter Bangsa” oleh Kopertis
Wilayah 3 DKI Jakarta, 12 Januari 2010.
Triatmanto. 2010. Tantangan Implementasi
Pendidikan Karakter di Sekolah. Cakrawala Pendidikan, Vol. 1 No. 3 2010.
Unijianto, B. 2009. Pembelajaran Sains untuk
Membentuk Karakter Siswa. Cyber News
Edisi 29 Nopember 2009.
Williams, M. 2000. Models of Character Education: Perspectives and Developmental
Issues. Journal of Humanistic Counseling, Education and Development, 39, pp.
32-40.
Williams, M., & Schnaps, E. (Eds.) 1999. Character Education: The foundation for
teacher Education. Washington, DC:
Character Education Partnership.
Wiyono, B. B. 2009. Penelitian Tindakan Kelas
dan Penulisan Karya Ilmiah. Cetakan I.
Malang: Penerbit Universitas Negeri
Malang.