T1__Full text Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Tokoh Adat dalam Penyelesaian Permasalahan Batas Wilayah Darat Indonesia dan TimorLeste: Studi Kasus Batas Desa Naktuka Indonesia dan Distrik Oecusse RDTL T1 Full text

Peran Tokoh Adat dalam Penyelesaian Permasalahan Batas Wilayah Darat
Indonesia Dan Timor-Leste
(Studi Kasus Batas Desa Naktuka Indonesia dan Distrik Oecusse RDTL)
Oleh :

Idalia N.A. De Sousa
372013003

ARTIKEL
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi
Program Studi Hubungan Internaional
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

PRODI HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN KOMUNIKASI
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
SALATIGA
2017


LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi :Peran Tokoh Adat dalam Penyelesaian Permasalahan Batas Wilayah Darat
Indonesia Dan Timor-Leste (Studi Kasus Batas Desa Naktuka Indonesia
danDistrik Oecuse RDTL)
Nama

: Idalia N.A. de Sousa

Nim

: 372013003

Program Studi : Hubungan Internasional
Disetujui oleh,

Dosen Utama

Dosen Pendamping


Dr.Ir. SriSuwartiningsih, M.SI

Christian H.J. de Fretes, S.IP.MA

Diketahui oleh

Disahkan oleh,

Kaprogdi,

Dekan,

Dr.Ir. SriSuwartiningsih, M.SI

Drs. Daru Purnomo, M.SI

Disetujui pada tanggal :

Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi
Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga
2017

Peran Tokoh Adat dalam Penyelesaian Permasalahan Batas Wilayah Darat
Indonesia Dan Timor-Leste
(Studi Kasus Batas Desa Naktuka Indonesia dan Distrik Oecusse RDTL)
Idalia N.A. De Sousa1, Sri Suwartiningsih,2 Christian de Fretes3
ABSTRACT
Indonesian and Timor-Leste are countries that frequently did a various cooperation, but it’s
possible that Indonesian and Timor-Leste face a problem related to Naktuka village and
Oecusse District Bounderies.
The purpose of the study is the author wants to describe the problem among Indonesia and
Timor-Leste bounderies through traditional adres role (Study case of Naktuka village and
Oecusse District bounderies). This research use a qualitative method, the type of research is
interview and observation.
The results of this study is the problem among Naktuka village and Oecusse District
bounderies includes severd things specifically location, form area, forms and arguement
among two countrie. In this case traditional leaders have a very important role to resolve the
problem among Naktuka village (Indonesian) and Oecusse District (Timor-Leste)bounderies.


Keywords : Traditional leader, Naktuka village and Oecusse District bounderies,
Constructivism

1

Sarjana Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, Universitan Kristen Satya
Wacana 2017
2
Staff Pengajar FISKOM UKSW
3
Staff Pengajar FISKOM UKSW

1

1. PENDAHULUAN

Perkembangan dan pertumbuhan penduduk di era moderenisasi ini mengkondisikan
negara untuk melakukan kerjasama dalam memenuhi kepentingannya masing-masing.
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa negara yang melakukan kerjasama akan
mengalami permasalahan terkait masalah wilayah perbatasan negara seperti yang terjadi pada

Indonesia dan Timor-Leste. Dimana kedua negara ini secara langsung mempunyai batas
wilayah yang dekat. Secara sejarahnya Timor-Leste dulu pernah dijajah oleh bangsa Portugis
pada abad ke 16 yang dulu dikenal sebagai Timor Portugis. Setelah terlepasnya Portugis dari
Timor-Leste, Indonesia mengambil bagian dalam hal menjadikan Timor-Leste sebagai salah
satu provinsi ke 27 yang dulunya diberi nama Timor-Timur. Pada tahun 1975-1999 TimorLeste melakukan integrasi sehingga pertengahan tahun 1999 Timor-Leste memutuskan untuk
melepaskan dirinya dari Indonesia, setelah pelepasan Timor-Leste berada dalam pengawasan
PBB selama 13 tahun dari tahun 1999-2012.4
Pasca kemerdekaan Timor-Leste, berupaya menunjukan bahwa mereka mampu
berdiri sendiri sebagai suatu negara dengan kedaulatan tanpa adanya intervensi dari pihak
manapun. Dengan begitu kedua negara ini berupaya untuk menyelesaikan permasalahan batas
wilayahnya. Ada lima titik batas wilayah antara Indonesia dan Timor-Leste, dari kelima titik
tersebut dua titik batas telah terselesaikan namun masih menyisahkan tiga batas yang belum
ada penyelesaian dua diantaranya adalah unresolved segmen dan unsurvey yaitu di Distrik
Oecusse dan Desa Naktuka. Sejauh ini pemerintah dari kedua negara belum melakukan
tindak lanjut dalam permasalahan batas wilayah tersebut. Dengan begitu masyarakat serta
tokoh-tokoh adat di wilayah perbatasan antara Distrik Oecusse dan Desa Naktuka berusaha
untuk meminimalisir permasalahan yang terjadi antar kedua distrik tersebut guna
mendapatkan titik terangnya.
Sejarah perbatasan Timor Barat dan Timor-Leste diawali dari perebutan wilayah
antara Portugis dan Belanda dalam memperebutkan dominasi perdagangan kayu cendana di

Pulau Timor yang berlangsung pada tahun 1701 hingga 1755, yang kemudian melahirkan
4

Setelah terlepasnya Timor-Lese dari Indonesia. Diakses dari http://beritacenter.com/news-54921setelah-timor-leste-naktuka-terancam-lepas-dari-indonesia.html. pada tanggal 20 februari 2017 pukul
12.00

2

kesepakatan “Contract of Paravinici“ pada tahun 1755 dimana Belanda dan Portugis sepakat
membagi Pulau Timor menjadi dua bagian yaitu bagian Barat yang berpusat di Kupang
menjadi milik Belanda dan bagian Timur yang berpusat di Dili menjadi milik Portugis. Pada
1 Oktober 1904 sebuah konvensi bernama “A Convention for The Demarcation of Portuguese
and Dutch Dominions on the Islands of Timor “ ditandatangani oleh kedua belah pihak di Den

Haag, yang kemudian dilanjutkan proses ratifikasi secara serentak oleh pihak Portugis dan
Belanda pada 29 Agustus 1908. Konvensi tahun 1904 inilah yang kemudian dianggap sebagai
perjanjian legal yang telah menyelesaikan berbagai perbedaan di seputar masalah perbatasan
antara Belanda dan Portugis, khususnya di Pulau Timor.5
Menurut kesepakatan tersebut, Portugis secara formal mengakui sebagian besar dari
bagian barat Timor sebagai Timor Belanda. Kendati demikian status Oecusse dipandang

sebagai kekecualian dari pembagian Timur Barat, dikarenakan arti penting historisnya bagi
Portugis, khususnya sebagai situs dari pendaratan dan perkampungan pertama Portugis di
Lifau dan titik kontak pertama Timor dengan agama Katolik. Distrik Oecusse merupakan
wilayah yang luasnya 815 kilometer persegi, yang juga merupakan daerah kantong atau
enclave. Secara geografis terpisah dari dua belas distrik lainnya yang membentuk Timor-

Leste, Oecusse sepenuhnya berada di dalam sebuah daerah yang diapit oleh Timor barat
wilayah Indonesia atau Selat Ombai.
Oecusse atau daerah kantong ini terletak kira-kira delapan puluh kilometer ke arah barat dari
perbatasan internasional utama yang memisahkan Timor-Leste dengan Timor barat wilayah
Indonesia di Batugade. Perpisahan geografis dari Timor-Leste sisanya berasal dari pembagian
kekuasaan pada masa kolonial Belanda dan Portugis dalam kesepakatan final tentang
perbatasan yang dicapai pada tahun 1916. Sedangkan Desa Naktuka merupakan wilayah
demarkasi antara Indonesia dan Timor-Leste, desa yang luasnya sekitar 1.690 hektar ini
tercatat sebagai bagian dari Indonesia. Berdasarkan sejarahnya Desa Naktuka merupakan
bagian dari Indonesia yang disesuaikan dengan perjanjian antara Belanda dan Portugis pada
tahun 1904. Permasalahan yang terjadi antara Distrik Oecusse dan Desa Naktuka disebabkan
dengan adanya perebutan lahan bercocok tanam dan pembuatan rumah oleh warga Oecusse
5


Wilayah perbatasan dan perjanjian portugis dan belanda. Diakses
darixhttp://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/157-juli-2011/1165--wilayah-perbatasanmerupakan-etalase.html ( perjanjian portu & belanda ). Pada tanggal 1 februari 2017 pada pukul
10.00

3

pada lahan yang disengketakan. Sehingga peran tokoh–tokoh adat dari masing – masing
distrik baik itu Distrik Oecusse maupun Desa Naktuka membuat kesepakatan untuk
melakukan musyawarah bersama dalam menyelesaikan konflik batas wilayah tersebut.
Karena menurut para tokoh-tokoh adat dari masing-masing distrik berpendapat bahwa
Oecusse dan Naktuka merupakan tetangga dan juga keluarga yang memiliki kebudayaan atau
adat istiadat yang sama jadi seharusnya tidak ada tindakan anarki yang dilakukan kedua
distrik tersebut melainkan dengan melakukan musyawarah bersama untuk membangun
hubungan yang baik bagi kedua distrik tersebut.
Penelitian ini akan melihat apa penyebab dari permasalahan batas wilayah di Desa
Naktuka Indonesia dan Distrik Oecusse RDTL dan bagaimana cara menyelesaikan
permasalahan batas wilayah di Desa Naktuka Indonesia dan Distrik Oecusse RDTL melalui
peran tokoh-tokoh adat.

4


2. TINJAUAN TEORITIS
Penelitian ini akan memakai teori konstruktivisme dalam mengupas permasalahan
yang terjadi di area perbatasan antara Desa Naktuka Indonesia dan Distrik Oecusse TimorLeste. Konstruktivisme merupakan teori yang muncul pada tahun 1980-an dan sejak itulah
teori ini semakin menonjol dalam kajian ilmu Hubungan Internasional. Konstruktivis
berpendapat bahwa dunia didasari melalui interaksi sosial secara intersubjektif yang mana
saling di bentuknya struktur dan agen serta norma, identitas dan ide-ide secara umum penting
bagi konstitusi dan dinamika politik dunia. Pendekatan konstruktivis juga menekankan bahwa
politik merupakan bentuk tindakan yang terbentuk secara sosial, hukum sebagai pusat
struktur normatif yang menentukan suatu tindakan aktor yang terlegitimasi dan dapat
dibenarkan.6
Terdapat beberapa asumsi dasar dari konstruktivisme. Asumsi dasar konstruktivisme
menurut Steans et al. (2010) adalah: (1) konstruktivisme berusaha untuk memahami apa saja
yang terjadi dalam politik internasional. Hal ini berbeda dengan teori rasionalis, seperti
neorealisme dan neoliberalisme yang berusaha untuk menjelaskan politik internasional (2)
usaha konstruktivisme yang menjembatani antara teori yang berfokus pada agensi dan teori
yang berfokus pada struktur. Dalam hal ini, argumen dari konstruktivisme adalah bahwa
struktur dan agensi saling tergantung satu sama lain (3) pandangan epistemologis realisme
kritis yang menyatakan bahwa suatu struktur dapat dilihat dari dampak yang ditimbulkan.
Pandangan ini dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan struktur yang tidak terlihat

(4) adanya penekanan norma dalam pola perilaku masyarakat (5) adanya penekanan pada
peran institusi, baik institusi formal maupun informal (6) konstruktivisme menganalisis
institusi-institusi dengan tujuan untuk memahami proses institusionalisasi yang dilakukan
institusi

tersebut

(7)

mengingat

posisi

konstruktivisme

sebagai

middle

ground,


konstruktivisme tidak bisa mengacuhkan peran kepentingan meski fokus utamanya tetap pada
norma dan institusi (8) wacana memegang peranan penting dalam konstruktivisme. Bagi para
penganut konstruktivisme, wacana merupakan alat komunikasi yang juga berguna untuk
mencapai pemahaman intersubjektif.

6

Konstruktivisme dan chritical teori dalam keamanan internasional. Diakses dari
http://www.academia.edu/8565158/KONSTRUKTIVISME_DAN_CRITICAL_THEORY_DALAM_
KEAMANAN_INTERNASIONAL_Dosen_Pengampu_Ni_Komang_Desy_Arya_Pinatih_MSi_DAP.
pada tanggal 6 maret 2017 pada pukul 11.00
5

Konstruktivisme juga menekankan bahwa pentingnya pemikiran dan pengetahuan
bersama, yang menjadikannya berbeda dengan pemikiran positivisme (Jackson dan Sorensen,
2009). Hal ini berkaitan dengan pemahaman intersubjektif konstruktivisme dalam memahami
struktur sosial. Struktur sosial sendiri memiliki tiga elemen yaitu: pengetahuan bersama,
sumber daya material, dan praktek (Wendt, 1992 dalam Jackson dan Sorensen, 2009).
Struktur sosial dapat dijelaskan oleh pemahaman atau pengetahuan bersama.
Hal ini yang nantinya dapat menciptakan hubungan antar aktor dalam suatu situasi, yang
mana hubungan tersebut bisa bersifat kooperatif atau konfliktual, sekaligus menegaskan
bahwa anarki bukanlah sesuatu yang given.
Konstruktivisme menganggap bahwa pengetahuan intersubjektif dan ide-ide memiliki
efek konstitutif pada realitas sosial dan evolusinya. Ketika dipahami oleh individu, aturan,
norma dan pemahaman sebab-akibat yang menjadikan obyek-obyek material bermakna
menjadi sumber pemikiran, kepentingan dan tindakan yang disengaja oleh seseorang ketika ia
menjadi sebuah praktik internasional. Oleh karena itu nilai tambah konstruktivisme adalah
bahwa ia membantu menjelaskan mengapa orang menganut norma, identitas dan pemahaman
sebab-akibat tertentu dan karenannya dari mana kepentingan itu berasal (Adler, 1987, 1991;
Finnemore, 1996). Dalam konstruktivisme komunikasi sosial juga merupakan nilai tambah
yang penting karena tidak hanya pemahaman kolektif yang melintasi ruang dan waktu
melalui cara berkomunikasi juga memungkinkan agen untuk memperbaiki makna dari realitas
material (Luhmann, 1989:17).
Teori konstruktivisme memiliki beberapa asumsi dasar yaitu sebagai berikut; (1)
Identitas, Manusia adalah makhluk individual yang dikonstruksikan melalui realitas sosial
yang mana hasil dari pengkonstruksian ini akan melahirkan paham instersubjektivitas. Dalam
melihat hubungan antar sesama individu, nilai-nilai relasi tersebut bukanlah diberikan oleh
salah satu pihak, tetapi kesepakatan untuk berinteraksi itu yang diperlukan sehingga
diciptakan di atas kesepakatan antar kedua belah pihak. Dalam hal ini, faktor identitas
individu sangat penting dalam menjelaskan kepentingannya. Interaksi sosial antar individu
akan menciptakan lingkungan atau realitas sosial yang diinginkan. Identitas juga terletak pada
inti kepentingan nasional dan transnasional sebagai konsekuensinya adalah mendesak
memahami perilaku, praktik, lembaga dan perubahan internasional. Dalam pandangan
konstruktivisme Shared idea yang dapat membentuk identitas. Meskipun pembentukan
identitas sendiri sebagian besar dilakukan oleh sekelompok elit pembuat kebijakan, namun
6

pembentukan identitas tersebut merupakan respon terhadap shared ideas/pemahaman
intersubyektivitas.7 Seperti dianalogikan oleh Wendt (1992:397): “Jika masyarakat lupa apa
yang dinamakan universitas, maka kekuasaan dan kegiatan profesor serta mahasiswa menjadi
tidak lagi eksis demikian juga ketika Amerika Serikat dan Uni Sovyet memutuskan bahwa
mereka tidak lagi musuh, maka Perang Dingin akan usai”. (2) Norma, nilai dan norma sosial
di tingkat individu memiliki kekuatan untuk membentuk identitas dan kepentingan nasional
sebuah negara. Jadi, dapat dikatakan bahwa perilaku negara di tingkat internasional
dipengaruhi oleh nilai dan norma sosial yang berkembang di tingkat individu. Dengan
menggunakan asumsi ini, maka fenomena dimana negara menunjukkan perilaku yang
bertentangan dengan norma internasional yang dapat dijelaskan. Menurut konstruktivis,
norma-norma bersifat otonom dan norma membentuk serta menentukan perilaku negara di
dalam sistem internasional. Norma tidak hanya berfungsi untuk mengatur (regulatory) namun
lebih dari itu dalam membentuk (constitutive) perilaku negara. (3) Sosial konstruktivisme
memberikan perhatiannya pada kepentingan dan identitas

sebagai produk yang dapat

dibentuk dari proses sejarah. Konstruktivisme juga memberikan perhatian pada wacana
umum yang ada ditengah masyarakat karena wacana dengan merefleksikan dan membentuk
keyakinan dan kepentingan, serta mempertahankan norma-norma yang menjadi landasan
terhadap tindakan masyarakat (accepted norms of behavior ), sedangkan konstruktivisme
sosial muncul sebagai sebuah bentuk perlawanan intelektual atas neorealisme dan
liberalisme. Teori ini muncul sebagai jembatan antara perbedaan teori-teori rasionalis seperti
neorealisme dan neoliberal dengan teori-teori reflektifis seperti postmodernisme, feminisme,
critical theory. Konstruktivisme sosial berada pada posisi tengah antara realisme,

neorealisme, dan neoliberalisme di satu sisi dengan kajian critical theory. Dalam penggunaan
teori konstruktivisme berada di tengah-tengah antara teori rational choice dengan
postmodernisme. Konstruktivisme berperan penting dalam menjembatani perbedaan sudut
pandang antar kaum rasionalis dan reflektivis. Konstruktivisme muncul untuk memberikan
suatu pandangan bahwa realitas sosial tidak bisa dilihat sebagai suatu yang secara alamiah
dan dengan sendirinya independen dari interaksi (rasionalis) sebaliknya tidak bisa juga dilihat
sebagai sesuatu yang tidak ada atau semata-mata hanya dilihat sebagai refleksi ide-ide
manusia. Konstruktivis juga melihat relitas dunia ini sebagai sesuatu yang didasarkan oleh
fakta yang secara materil bisa ditangkap ataupun tidak oleh panca indera namun fakta
tersebut tidak menuntun atau tidak menentukan bagaimana kita melihat realitas sosial.
7

Shared idea merupakan pembagian idea atau pembentukan identitas dalam sebuah kelompok Wendt
(1992:397)

7

Sebaliknya realitas sosial menurut konstruktivis adalah hasil konstruksi dari manusia
(konstruksi sosial). Konstruktivisme juga memahami lembaga sebagai seperangkat aturan
konstitutif dan regulatif intersubyektif yang membantu menserasikan dan membentuk
perilaku serta menyalurkan kedalam satu arah bukan ke arah lain yang juga ikut membangun
identitas koletif baru dan kepentingan serta praktek bersama.
Teori konstruktivisme memberikan perhatian pada wacana umum yang ada ditengah
masyarakat, adapun juga komunikasi sosial yang dipaparkan oleh konstruktivisme, sebab
menurut konstruktivisme komunikasi sosial merupakan nilai tambah yang penting, tidak
hanya pemahaman koletif yang menyebar melintasi ruang dan waktu. Dengan begitu peran
tokoh adat melakukan komunikasi sosial dalam bentuk musyawarah bersama. Karena peran
tokoh adat disini merupakan aktor non negara yang berfungsi untuk meminimalisir konflik
yang terjadi antara Distrik Oecusse dan Desa Naktuka. Konstruktivis juga percaya bahwa
dengan adanya peran aktor non negara, identitas, norma serta komunikasi sosial dapat
meredam konflik yang terjadi antara kedua distrik tersebut.
Dalam upaya penyelesaian permasalahan ini, pemerintah belum mampu menemukan
solusi untuk mengupayakan perdamaian, sehingga peran tokoh-tokoh adat menjadi pihak
yang berusaha untuk membangun komunikasi diantara kedua pihak masyarakat. Karena pada
perbatasan tersebut hanya terdapat pos penjagaan lintas batas yang dimiliki kedua negara
dengan tugas untuk menjaga keamanan batas wilayah agar tidak terjadi konflik. Oleh karena
itu para tokoh adatpun menyampaikan kritikan atas respon pemerintah yang tidak sigap
mengatasi permasalahan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Pada intinya hingga saat ini
bukti nyata upaya mendamaikan kedua belah pihak adalah melalui jalur komunikasi yang
terbangun melalui tokoh adat sebagai perwakilan dari masyarakat Oecusse dan Naktuka.
3. METODE PENELITIAN
Pendekatan dan jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dan jenis
penelitian deskriptif. Unit amatan dalam penelitian ini adalah Desa Naktuka Indonesia dan
Distrik Oecusse RDTL. Selanjutnya yang menjadi unit analisis dalam hal ini adalah peran
tokoh adat dalam penyelesaian permasalahan batas wilayah darat Indonesia dan Timor-Leste.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder yang
diperoleh langsung dari sumber asli baik secara individu, kelompok maupun organisasi
didalam hal ini peneliti melakukan penelitian secara langsung di negara Timor-Leste dan juga
8

diperoleh dalam bentuk yang sudah disediakan biasanya didapat melalui buku-buku, skripsi,
ensiklopedia maupun situs internet, koran serta majalah.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data observasi dan
wawancara. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dokumen,
data dan observasi. Pengumpulan data melalui teknik ini dimaksudkan untuk melengkapi
hasil data yang diperoleh melalui pengamatan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penelitian akan difokuskan pada peran tokoh adat dalam penyelesaian permasalahan batas
wilayah Desa Naktuka Indonesia dan Distrik Oecusse Timor-Leste.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Wilayah perbatasan memang sangat rentan terhadap permasalahan di beberapa negara,
baik itu perbatasan di darat, laut maupun di udara. Bagi negara wilayah perbatasan
merupakan salah satu faktor penting karena wilayah perbatasan memiliki fungsi yang sangat
strategis seperti fungsi militer, ekonomi perdagangan, kedaulatan negara dan fungsi identitas
nasional. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa negara-negara sering memperdebatkan
permasalahan mengenai perbatasan seperti halnya Indonesia yang mempunyai 3 perbatasan
darat dengan negara tetangganya yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste, serta 11
perbatasan laut dengan negara India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina,
Palau, Federal State of Micronesia , Papua Nugini, Timor Leste dan Australia.
Hingga saat ini penetapan batas dengan negara tetangga masih belum semua dapat
diselesaikan. Permasalahan penetapan perbatasan negara saat ini masih ada yang secara
intensif sedang dirundingkan dan masih ada yang belum dirundingkan. Kondisi demikian
menjadi suatu bentuk ancaman, tantangan, serta hambatan yang dapat mengganggu
kedaulatan suatu negara. Indonesia memiliki wilayah yang berbatasan dengan banyak negara,
salah satunya adalah Indonesia berbatasan dengan Timor-Leste yang hingga saat ini masih
dalam proses untuk menyelesaikan persoalan perbatasan darat antara Naktuka dan Oecusse.
D.1. Gambaran umum mengenai Naktuka
Pada permasalahan perbatasan darat antara Indonesia dan Timor-Leste terdapat lima
titik batas, ada beberapa titik yang belum selesai. Dari kelima titik tersebut baru dua yang
terselesaikan dan menyisihkan tiga titik yang dimana ketiga titik itu dua diantaranya adalah
Naktuka dan Oecusse. Naktuka merupakan suatu wilayah demarkasi antara Indonesia dan
Timor-Leste yang kawasannya seluas 1.690 hektar. Naktuka adalah sebuah dusun kecil
9

yang berada di desa Netemnanu, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang. Naktuka
juga merupakan wilayah yang berstatus zona bebas yang telah disepakati antara kedua
negara agar tidak boleh dimasuki atau adanya aktivitas oleh kedua negara.8
Namun dahulu dalam catatan sejarahnya, Naktuka masuk kedalam bagian Indonesia
yang sesuai dengan perjanjian antara Portugis dan Belanda pada tahun 1904. Naktuka
merupakan daerah perbatasan yang berjarak kurang lebih 200 kilo meter dari Ibu Kota
Kupang, NTT. Naktuka berbatasan langsung dengan Distrik Oecusse atau wilayah kantung
Timor-Leste. Naktuka wilayah yang minim akses sinyal dalam komunikasi, listrik dan air,
untuk mencapai ke wilayah Naktuka diperlukan waktu 10-12 jam perjalanan darat dengan
medan yang cukup berat, rute perjalanan menuju Naktuka juga harus melewati desa-desa
yang terletak di bawah kaki gunung, harus menyeberangi sungai-sungai tanpa jembatan
sehingga tidak semua jenis kendaraan dapat menuju ke Naktuka. Wilayah Naktuka dijaga
oleh kepolisian, TNI, serta pegawai imigrasi yang siap menjaga keamanan daerah
perbatasan Indonesia dan Timor-Leste. Di wilayah Naktuka masih banyak wilayah yang
belum ditempati hal ini dikarenakan sebagian wilayah Naktuka merupakan aliran sungai dan
pegunungan sehingga akses jalan menuju Naktuka susah untuk dijangkau.
D.2. Gambaran umum mengenai Oecusse
Oecusse merupakan distrik yang terdiri atas wilayah seluas 815 kilometer persegi,
secara geografis terpisah dari dua belas distrik lainnya yang membentuk Timor-Leste,
Oecusse sepenuhnya berada dalam sebuah daerah yang di lingkari oleh Timor Barat wilayah
Indonesia atau selat ombai. Tanpa jembatan daratan yang menghubungkan dengan TimorLeste sisanya, daerah kantong atau enclave ini terletak kira-kira 80 kilometer kearah barat
dari perbatasan internasional utama yang memisahkan Timor-Leste dengan Timor Barat
wilayah Indonesia di Batugede. Orang-orang asli Oecusse mengakui diri mereka sebagai
Atoni Pah Meto atau yang dalam artiannya orang-orang daerah kering. Kelompok etno-

linguistik dirujuk secara bergantian sebagai Atoni atau Meto yang mencakup populasi Timor
barat wilayah Indonesia. Bahasa ibu atoni oleh Portugis dirujuk secara bergantian sebagai
baiqueno, uab meto dalam artian harafiahnya ucapan daerah kering atau dalam bahasa lokal

disebut bahasa dawan. Sejarahnya Oecusse dahulu merupakan tempat pendaratan pertama
8

Sengketa lahan naktuka dan oecusse. Diakses dari
http://bali.bisnis.com/read/20160921/10/61734/sengketa-lahan-naktuka-oecusse-sepakatlkewat-jalur-adat-. pada tanggal 10 febuari 2017 pukul 08.00

10

orang Portugal di pulau Timor tepatnya di daerah Lifau, dan Portugal merasa wilayah yang
pertama kali didudukinya harus tetap dikenang dan dipertahankan jangan sampai menjadi
wilayah Belanda. Adapun sebuah perjanjian di kota Den Haag yang berisi mengenai
pembelian wilayah Portugal oleh Belanda seharga 80.000 florin (salah satu mata uang
Balanda) akhirnya pulau Flores, pulau Solor menjadi milik Belanda termasuk pulau Timor
kecuali pulau Timor bagian Timur yang kini dikenal dengan Timor-Leste dan juga enclave
Oecusse-Ambeno beserta pulau Jaco dan pulau Atauru.
Sosial budaya yang terikat pada wilayah Oecusse yaitu hubungan kekerabatan antara
masyarakat Oecusse yang masih sangat erat dengan masyarakat di wilayah seberang yakni
Naktuka Indonesia, mereka sering menyebrangi perbatasan untuk mengikuti acara
pernikahan atau kematian. Sebagian besar masyarakat Oecusse adalah petani lahan kering
yang menerapkan teknik dan sistem tradisional, selain pertanian masyarakat juga menekuni
bidang yang lain seperti peternakan, perikanan serta usaha kecil-kecilan lainnya. Oecusse
adalah daerah yang cukup tertinggal dari wilayah di Timor-Leste lainnya, sehingga sebagian
masyarakat Oecusse masih sangat tergantung pada barang-barang di Indonesia. Infrastruktur
di wilayah Oecusse juga sangat memprihatinkan, akses informasinya juga sangat terbatas
serta layanan dari pemerintah di wilayah Oecusse juga sangat rendah.

Berdasarkan yang dipaparkan diatas wilayah Naktuka merupakan wilayah yang
berstatus zona bebas dalam artian tidak boleh ada aktivitas yang dilakukan oleh kedua
masyarakat baik itu dalam membangun rumah, serta bercocok tanam di wilayah tersebut.
Namun masyarakat Oecusse tahu bahwa wilayah Naktuka adalah wilayah yang berstatus
zona bebas akan tetapi masyarakat Oecusse tetap menggunakan wilayah zona bebas untuk
melakukan berbagai kegiatan baik itu membangun rumah, bercocok tanam dan lain
sebagainya. Sehingga menyebabkan kedua distrik memperebutkan batas wilayah tersebut.
Hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Timor-Leste adalah dengan memberikan
arahan serta perhatian kepada masyarakat Oecusse yang sudah melanggar perjanjian
internasional antara kedua negara untuk tidak melanggar peraturan yang sudah di tetapkan.
Dengan demikian pemerintah Timor-Leste harus memberikan peringatan terhadap
masyarakat Oecusse yang telah melanggar dengan memberikan sangsi dan teguran apabila
masyarakat Oecusse masih bersikeras untuk membangun aktivitas di zona bebas maka
pemerintah tidak segan untuk melakukan tindakan kekerasan.

11

D.3. Penyebab Permasalahan
Permasalahan antar wilayah batas di Naktuka dan Oecusse mencakup beberapa hal yaitu
lokasi, lahan perkebunan, ternak dan perbedaan argumen dari kedua negara. Lokasi menurut
pihak Indonesia batas itu hanya mengikuti aliran sungai yang hidup dan Indonesia juga
melihat pada sisi sosial budaya yang ditanamkan masyarakat sekitar di wilayah perbatasan
sedangkan menurut pihak Timor-Leste wilayah batas tidak melalui aliran sungai yang hidup
karena menurut pihak Timor-Leste dalam GPS dan peta menjelaskan tetap mengikuti titik
yang ada. Walaupun ada pergeseran gunung, batu dan aliran sungaipun itu adalah urusan
alam. Timor-Leste menggunakan Hukum Internasional sebagai acuan untuk menyelesaikan
permasalahan batas tersebut. Jadi dari kedua negara tersebut tidak memiliki pendapat yang
sama untuk menyelesaikan permasalahan batas wilayah. Sehingga dari kedua negara, masih
terlibat dalam menangani batas wilayah.
Faktor penyebab konflik lain yang terjadi di Naktuka dan Oecusse adalah ketidakjelasan
penggunaan kartu lalu lintas batas dan penggunaan garis teknikal koordinasi di setiap pintu
keluar masuk perbatasan yang belum ditentukan. Adapun juga penyebab lain yaitu menurut
warga Naktuka, warga Oecusse telah bermukim di wilayah sengketa hingga mencapai 63
kepala keluarga atau sekitar 315 jiwa sehingga membuat warga naktuka geram dengan
tindakan warga Oecusse yang seenaknya menempati zona bebas yang sudah disepakati oleh
kedua negara bahwa tidak boleh ada aktivitas warga di zona bebas tersebut. Namun warga
Oecusse tetap membangun pemukiman di wilayah sengketa. Puncak terjadinya konflik antara
Naktuka dan Oecusse itu pada Oktober tahun 2013 Pemerintah Timor Leste membangun
jalan di dekat perbatasan Indonesia dan Timor-Leste, menurut warga Naktuka (Indonesia),
jalan tersebut telah melintasi wilayah Indonesia sepanjang 500 m dan juga menggunakan
zona bebas sejauh 50 m. Padahal berdasarkan nota kesepahaman antara kedua negara pada
tahun 2005, zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak, baik oleh dari Indonesia
maupun Timor Leste. Menurut Badan Informasi Geospasial Isi dari nota kesepahaman
membahas mengenai tindak lanjut Provosional Agreement tahun 2005 dan renacana terkait
dengan perbatasan kedua negara, setelah penandatanganan Addendum telah ditanda tangani
oleh menteri luar negeri dari kedua negara pada bulan Juni 2013 lalu. Sebagai tindak lanjut
dari Provisonal Agreement tahun 2005 pihak Indonesia dan Timor-Leste telah sepakat untuk
melaksanakan survei demarkasi serta pemetaan batas wilayah bersama (Joint Border
Mapping/ JBM).

12

Selain itu, pembangunan jalan yang dilakukan oleh Timor-Leste tersebut telah merusak
tiang-tiang pilar perbatasan, merusak pintu gudang genset pos penjagaan perbatasan milik
Indonesia, dan juga merusak sembilan kuburan orang-orang tua di Naktuka. Pembangunan
jalan baru tersebut yang menimbulkan terjadinya konflik antara warga Indonesia dengan
warga Timor Leste pada hari Senin, 14 Oktober 2013, mereka saling lempar batu dan kayu
sehingga aksi ini semakin besar dan melibatkan beberapa anggota polisi perbatasan TimorLeste yang turut serta dalam aksi saling lempar batu dan kayu tersebut. Dari konflik tersebut,
enam orang warga dan satu anggota polisi perbatasan Timor-Leste menderita luka parah,
sementara dari sisi Indonesia hanya ada satu warga yang menderita luka ringan, karena
banyak korban yang mengalami luka-luka jadi kedua belah pihak memutuskan untuk
menghentikan konflik tersebut. Akan tetapi warga dari masing-masing perbatasan terus
berjaga-jaga agar tidak ada konflik berlanjut dari kedua masyrakat. Konflik semakin menjadijadi ketika penggiringan 19 ekor sapi milik warga Naktuka yang digiring oleh warga Oecusse
masuk ke wilayah mereka, kemudian 10 warga Naktuka didampingi enam anggota TNI
Satgas-Pamtas masuk ke wilayah Oecusse untuk mencari 19 ekor sapi tersebut agar
dikeluarkan dari wilayah Oecusse akan tetapi menurut warga Oecusse sapi yang sudah
melewati batas tidak bisa keluar batas lagi. Sehingga masyarakat dari Naktuka dan Oecusse
kembali saling menyerang dan menyebabkan konflik terjadi lagi antara warga, tetapi
untungnya tidak memakan korban seperti konflik yang sebelumnya. Pada saat itu tokoh adat
dari masing-masing distrikpun langsung mengambil tindakan dengan melakukan diskusi
bersama antara tokoh adat dari Oecusse maupun dari Naktuka untuk mencairkan suasana
yang sedang memanas pada saat permasalahan tersebut terjadi. 9
D.4. Upaya – upaya yang dilakukan tokoh adat dalam penyelesaian permasalahan batas
Ada beberapa upaya yang dilakukan oleh tokoh adat dari masing-masing distrik baik
itu Naktuka maupun Oecusse yakni sebagai berikut; (1) Tokoh adat dan masyarakat duduk
bersama dalam mencapai kesepakatan bersama (musyawarah) untuk menemukan jalan keluar
dalam menyelesaikan permasalahan antara batas wilayah Naktuka dan Oecusse. (2) Mencoba
berdiskusi bersama pemerintah mengenai permasalahan dan mencoba menemukan cara untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut. (3) Mendengarkan keluhan-keluhan dari masing-

9

http://www.politik.lipi.go.id/kolom/politik-internasional/899-konflik-komunal-di-perbatasan-

indonesia-timor-leste-dan-upaya-penyelesaiannya.html pada 20 Juni 2017 pada pukul 11.00

13

masing masyarakat dalam mengahadapi persoalan yang terjadi seperti persoalan batas
wilayah antara Naktuka dan Oecusse.
(4) Memberikan solusi kepada masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan batas wilayah
dengan cara yang baik dan tidak boleh ada sikap anarki dari masyarakat. (5) Memberikan
sangsi apa bila masyarakat dari masing-masing distrik melakukan tindakan diluar dari
perjanjian hukum adat yang sudah di tentukan oleh tokoh adat dari masing-masing distrik.
Hasil dari wawancara yang diperoleh peneliti bahwa tokoh adat dari kedua Distrik
baik itu Naktuka maupun Oecusse tidak bisa mengambil keputusan dalam permasalahan
wilayah batas. Sehingga mereka melalukan pertemuan atau diskusi bersama dengan para rajaraja dari kedua distrik untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Namun hasil dari diskusi
yang dilakukan oleh tokoh adat dan raja-raja belum mencapai titik terang dari pihak-pihak
yang membahas mengenai penyelesaian permasalahan wilayah batas. Dengan begitu raja-raja
dan para tokoh adat tidak dapat melakukan tindakan yang lebih selain hanya melakukan
pertemuan dan membahas mengenai wilayah batas. Raja-raja, tokoh adat serta masyarakat
Natuka dan Oecusse mengatakan bahwa peran pemerintah dalam menyelesaikan masalah
batas tersebut sangat lamban, yang akibatnya akan dapat memicu terjadinya perang dari
masing-masing distrik. Pertemuan yang bicarakan tokoh adat dalam diskusi mengenai batas
wilayah Naktuka dan Oecusse sebagai berikut (1) menurut tokoh adat dari masing-masing
Distrik mengatakan bahwa setiap pertemuan yang dilakukan harus menyampaikan sejumlah
fakta terkait dengan perosalan batas wilayah dengan jujur dan harus sesuai fakta. Jika
masing-masing tokoh adat tidak mengatakan dengan jujur maka akan mendapat dampak atau
tulah bagi dirinya. (2) pertemuan tokoh adat dari masing-masing Distrik juga memegang
prinsip bahwa sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat harus disampaikan dengan benar
karena alam akan mendengarnya. “Fatu Helele, Hauk Helele setiap pembicaraan adat akan
didukung dan didengar alam, seperti kayu dan batu pun akan mendukung setiap kata-kata
jujur terkait dengan adat. (3) tokoh adat dari masing-masing Distrik juga menyampaikan
keresahan masyarakatnya kepada pemerintah daerah, akan tetapi belum ada tanggapan serius
dari pemerintah kedua daerah. (4) tokoh adat dari Naktuka menyampaikan protes kepada
masyarakat Oecusse melalui tokoh adat Oecusse untuk tidak melakukan aktivitas di zona
bebas. Jika masyarakat Oecusse tetap melakukan aktivitas dilahan tersebut, maka tokoh adat
dan raja-raja Naktuka siap untuk berperang lagi. (5) tokoh adat dari masing-masing Distrik
juga berkumpul untuk membahas mengenai konflik yang terjadi di Desa Naktuka dan Distik
Oecusse agar menemukan jalan keluar dalam permasalahan tersebut.
14

Adapun pendapat dari para ahli mengenai peran tokoh adat yakni Menurut Surbakti
(1992) mengatakan bahwa tokoh adat adalah seorang yang disegani serta di hormati secara
luas oleh masyarakat dan dapat menjadi faktor yang dapat menyatukan suatu bangsa negara.
Tokoh adat, tentunya merupakan representasi dari adanya sifat-sifat kepemimpinan yang
menjadi acuan bagi masyarakat dalam menwujudkan harapan serta keinginan masyarakat
sehingga tokoh adat, tidak bias dapat dilepaskan dari sifat kepemimpinan yang tercermin di
dalam tokoh adat tersebut. Kepemimpinan tersebut menjadi panutan karena warga
masyarakat mengindentifikasikan diri kepada pemimpin dan ia dianggap sebagai
penyambung lidah masyarakat.
Menurut Soepomo (1979:45), Tokoh Adat merupakan bapak masyarakat, pemimpin
masyarakat sebagai ketua di suatu perkumpulan masyarakat, dan juga pemimpin pergaulan
hidup dalam masyarakat. Fungsi dari tokoh adat yaitu melindungi masyarakat agar hidup
rukun di dalam kelompok, menjaga supaya hukum itu dapat berjalan dengan selayaknya.
Aktivitas tokoh adat sehari-hari adalah meliputi seluruh lapangan masyarakat. Tokoh adat
sering kali ikut campur dalam permasalahan yang terjadi pada masyarakatnya untuk tetap
menjaga ketentaraman, perdamaian serta keseimbangan dalam menegakkan hukum.
Tokoh adat menjadi bagian dari masyarakat yang erat kaitannya dengan
perkembangan masyarakat terutama masyarakat yang masih berada pada lingkungan
pedesaan. Peran ini menjadi faktor yang penting dalam proses dalam mempengaruhi
masyarakat dalam segala bidang, sehingga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat.
Dalam permasalahan batas wilayah antara Naktuka dan Oecusse, tokoh adatpun mempunyai
peran yang cukup dalam permasalahan batas antara kedua negara, karena kedua pemerintahan
antara Indonesia dan Timor-Leste sangat membutuhkan pendapat dari tokoh adat. Namun
tokoh adat antar kedua negara tidak mempunyai hak yang penuh dalam mengambil keputusan
untuk permasalahan tersebut. Sehingga peran tokoh adat disini hanya bisa memberikan
konsultasi dan pendapat terhadap pemerintah mengenai wilayah batas. Karena tokoh adat
yang lebih memahami kondisi yang terjadi di wilayah batas, dengan begitu pemerintah dapat
memperoleh informasi mengenai kondisi yang sedang terjadi di wilayah batas.
Para tokoh adat juga sering melakukan pertemuan bersama dengan raja- raja dari
pulau Timor untuk membicarakan permasalahan yang terjadi antara Naktuka dan Oecusse.
Mereka berpendapat bahwa dengan melakukan diskusi bersama akan dapat menemukan titik
terang dari permasalahan ini. Akan tetapi mereka menyerahkan semuannya pada pemerintah
15

untuk cepat mengambil tindakan dalam menyelesaikan permasalahan ini. Jika pemerintah
tidak melakukan tindakan dengan cepat maka masyarakat dari kedua wilayah akan saling
berperang dan dapat memakan korban lebih dari konflik yang sebelumnya terjadi. Sehingga
peran tokoh adat dapat meredam konflik yang terjadi.
Tokoh adat dari masing-masing distrik berusaha untuk melakukan diskusi bersama
dengan masyarakat untuk menahan diri agar menunggu proses dari pemerintah, karena
masyarakat dari Naktuka maupun Oecusse sudah geram terhadap permasalahan batas wilayah
tersebut. Bahkan masyarakat Naktuka pun bersedia untuk melakukan perang jika masyarakat
Oecusse masih tetap menggunakan lahan tersebut sebagai lahan mereka. Sehingga tokoh
adat selaku pemimpin atau kepala suku memberikan pengarahan atau pengertian kepada
masing-masing distrik untuk tidak main hakim sendiri dalam permasalahan batas wilayah.
Menurut tokoh adat dengan terjadinya perang maka permasalahan batas wilayah antara kedua
negara tidak akan selesai apa lagi kita ini adalah bagian dari keluarga, satu nenek moyang dan
mempunyai budaya yang sama jadi kita harus menjaga dan memahami satu sama lain, dalam
menyelesaikan permasalahan masyarakat dari masing-masing distrik harus mengontrol emosi
dan sikap agar tidak terjadi kesalahpahaman antara masyarakat Naktuka dan juga masyarakat
Oecusse.
Dari point-point yang telah dipaparkan diatas tindakan yang dilakukan oleh tokoh
adat memiliki kaitan dengan teori konstruktivisme yang dimana konstruktivsime
menggunakan komunikasi sosial sebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan persoalan
yang terjadi di Naktuka dan Oecusse. Dengan begitu tokoh adat mempunyai peran yang
penting dalam menyelesaikan permasalahan tersebut yaitu dengan melakukan diskusi atau
musyawarah bersama untuk menyelesaikan permasalahan antara Naktuka dan Oecusse.
Sehingga konstruktivisme percaya bahwa dengan adanya peran dari komunikasi sosial serta
aktor non negara (tokoh adat) dapat membantu menyelesaikan permasalahan di wilayah
Naktuka dan Oecusse.
Dalam permasalahan antara Naktuka dan Oecusse partisipasi masyarakat juga
mempunyai peran penting dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Partisipasi
masyarakat sangat erat kaitannya dengan kekuatan atau hak masyarakat, terutama dalam
tahap identifikasi masalah, mencari pemecahan masalah sampai dengan pelaksanaan
kegiatan. Kegiatan yang dimaksud adalah seperti kunjungan keluarga antara kedua distrik,
proses jual beli di pasar perbatasan. Ada 3 alasan utama mengapa partisipasi masyarakat
16

sangat penting yakni : Pertama partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna
memperoleh informasi mengenai kondisi serta kebutuhan. Kedua, jika tokoh adat melibatkan
partisipasi dari masyarakat maka masyarakat akan lebih mempercayai tokoh adat dalam
menyelesaikan permasalahan batas wilayah. Ketiga, partisipasi masyarakat mempunyai hak
dalam memberikan saran jika dilibatkan dalam menyelesaikan permasalahan batas. Jadi
partisipasi masyarakat memiliki keuntungan politik, planning dan keuntungan lainnya. Dalam
segi politik, partisipasi masyarakat lebih memiliki hak demokrasi dimulai dari setiap individu
sampai kepada kelompok untuk memperoleh pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat
juga akan membantu pemerintah dan tokoh adat untuk mendapatkan gambaran yang lebih
jelas mengenai aspirasi masyarakat dalam permasalahan batas wilayah. Dari segi planning
partisipasi masyarakat menyediakan sebuah forum untuk saling menukar gagasan serta
penilaian akan permasalahan perbatasan. Keuntungan lain dari partisipasi masyarakat adalah
kemungkinan tercapainya hubungan yang lebih dekat antara kedua distrik sehingga tidak
menimbulkan perang antara Naktuka dan Oecusse.
D.5. Prespektif Indonesia
Menurut pandangan Indonesia bahwa permasalahan yang terjadi di batas wilayah
antara Naktuka dan Oecusse itu dipicu oleh aliran sungai hidup. Pihak Indonesia juga
mengatakan bahwa Naktuka adalah wilayah Indonesia dan dinyatakan sebagai zona bebas
dari kedua negara. Namun rakyat Oecusse tetap mengklaim bahwa wilayah itu merupakan
milik Timor-Leste sehingga menurut Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan batas
wilayah tersebut pemerintah harus melibatkan raja-raja di Timor seperti raja Amfoang Timur
Tengah Selatan, raja Atambua dan raja Ambeno.
Karena jika diselesaikan secara administratif pemerintah Indonesia menganggap
bahwa wilayah tersebut akan jatuh ke tangan Timor-Leste. dengan begitu Indonesia
mengatakan bahwa batas kedua negara itu dilihat dari sungai yang dalam, akan tetapi tidak
disepakati oleh masyarakat setempat karena menurut warga setempat aliran sungai bisa saja
selalu berubah sewaktu-waktu kadang aliran sungai bisa masuk lebih jauh ke wilayah
Indonesia kadang juga masuk ke dalam wilayah Timor-Leste. Selain itu ternak milik warga di
perbatasan tersebut meminum air sungai yang berada di tapal batas kedua negara tersebut.
Jika sapi atau binatang ternak melewati batas sungai terdalam itu berarti warga setempat tidak
bisa menghalaunya kembali lagi karena menurut warga itu telah melanggar batas negara.

17

Sehingga dari kedua negara yang bermukim di perbatasan harus rela membagi tanah ulayat
mereka karena menyangkut persoalan batas negara.
D.6. Prespektif Timor-Leste
Menurut pandangan Timor-leste bahwa permasalahan yang terjadi di batas wilayah
antara Naktuka dan Oecusse itu dilihat lagi dari perjanjian antara Belanda dan Portugis pada
tahun 1904. beradasarkan hasil wawancara Naktuka merupakan wilayah milik Timor-Leste
setelah kemederkaan pada tanggal 20 mei 2002. Timor-Leste juga berpendapat bahwa
permasalahan batas wilyah harus berdasarkan pada Hukum Internasional karena menurut
Timor-Leste batas wilayah tidak melalui aliran sungai yang hidup tetapi harus melalui titik
yang ada pada peta dan gps yang di pegang oleh pihak Timor-Leste.
Timor-leste mengatakan bahwa mereka juga mempunyai dokumen yang menyebut
Naktuka sebagai wilayah mereka setelah berakhirnya pemerintahaan kolonial Portugis dan
sebelum okupasi Indonesia ke Timor-Leste akhir dekade 1970. Timor leste masih sangat
mempertahankan hukum yang dibentuk oleh PBB pada referendum tahun 1999.
Berdasarkan
mengambil

Dewan Keamanan PBB, sesuai dengan Bab VII Piagam PBB, telah

keputusan

tentang

pendirian

UNTAET

(United

Nations

Transitional

Administration in East Timor / Pemerintahan Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor-

Timur), yang diberikan pertanggungjawaban penuh atas pemerintahan Timor-Timur, dan
diberikan kuasa penuh untuk melaksanakan semua urusan legislatif dan eksekutif pemerintah,
termasuk urusan administrasi peradilan, sesuai dengan mandat yang diuraikan didalam
resolusi tersebut.
Jadi dapat disimpulkan menurut pihak Timor-Leste, Naktuka merupakan bagian dari
sejarahnya Timor-Leste. dengan begitu PBB mempunyai aturan yang harus diterapkan
Indonesia mengenai penyerahan segala macam administrasi termasuk logistiknya yang
ditinggalkan seperti rumah-rumah, tanah, dan lain-lain kepada PBB, kemudian diserahkan
kepada Timor-Leste untuk membangun negaranya.
Perbedaan pola pikir dari kedua negara juga belum bisa sejalan sehingga perlu adanya
pendekatan terlebih dahulu sebelum membahas mengenai wilayah batas.

18

5. KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan yang dilakukan oleh peneliti pada bab-bab sebelumnya maka
peneliti memperoleh hasil yang mendukung kerangka pikir dari penelitian ini bahwa
penyebab permasalahan antar wilayah batas di Naktuka dan Oecusse mencakup beberapa hal
yaitu lokasi, lahan perkebunan, binatang ternak dan perbedaan pendapat dari kedua negara.
Lokasi menurut pihak Indonesia batas itu hanya mengikuti aliran sungai yang hidup dan
Indonesia juga melihat pada sisi sosial budaya yang melibatkan adat-istiadat yang
berkembang. Menurut pihak Timor-Leste sosial budaya tidak diperhitungkan dalam dinamika
adat-istiadat yang diutarakan dari pihak Indonesia. Pihak Timor-Leste menekankan bahwa
penyelesaian perbatasan hanya mengacu pada sejarah belanda-Portugis pada tahun 1904.
Timor-Leste menggunakan Hukum Internasional sebagai acuan untuk menyelesaikan
permasalahan batas tersebut. Sehingga Timor-Leste melihat wilayah batas tidak melalui
aliran sungai yang hidup karena menurut pihak Timor-Leste dalam GPS dan Peta
menjelasakan tetap mengikuti titik yang ada. Walaupun ada pergeseran gunung, batu dan
aliran sungaipun itu adalah urusan alam. Jadi dari kedua negara tersebut tidak memiliki
pendapat yang sama untuk menyelesaikan permasalahan batas wilayah.
Pada permasalahan batas wilayah peran tokoh adat mempunyai peran yang cukup
penting antara kedua negara, karena kedua pemerintahan antara Indonesia dan Timor-Leste
sangat membutuhkan pendapat dari tokoh adat. Namun peran tokoh adat antar kedua negara
tidak mempunyai hak penuh dalam mengambil keputusan untuk permasalahan tersebut.
Sehingga peran tokoh adat disini hanya bisa memberikan konsultasi terhadap pemerintah
mengenai wilayah batas. Walaupun hanya memberikan konsultasi terhadap kedua pemerintah
tokoh adat juga dapat meredam konflik yang bisa saja terjadi antara Naktuka dan Oecusse.
Tokoh adat dan masyarakat berusaha dan sangat berharap semoga permasalahan ini dapat
selesai dengan cepat agar tidak memakan korban lagi, karena tokoh adat menganggap bahwa
Naktuka dan Oecusse merupakan saudara yang nenek moyangnya satu jadi tidak boleh terlalu
terlarut dalam permasalahan ini.

19

Upaya penyelesaian permasalahan batas antara Naktuka dan Oecusse
Upaya yang dilakukan Indonesia dan Timor-Leste masih melalui negosiasi yang di
kawal oleh Kementerian Luar Negeri dari kedua negara. Namun demikian hal yang perlu
dilakukan adalah dengan adanya unsur masyarakat dalam upaya penyelesaian permasalahan
tersebut. Unsur masyarakat sangat penting karena penguasaan tanah / lahan di wilayah terkait
dengan adat istiadat yang berlaku di wilayah perbatasan. Di sisi lain pemerintah melakukan
perundingan di tingkat pemerintah, di sisi lain juga masyarakat adat membuat kesepakatankesepakatan terkait dengan lahan serta aturan pengelolaan lahan di wilayah perbatasan yang
mungkin hasilnya bertentangan dengan hasil yang disepakati oleh pemerintah.
Penyelesian yang di selesaikan oleh kedua negara berupa negosiasi, yang berpusat
pada diskusi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait. Permasalahan wilayah batas itu
terjadi karena adanya perbedaan pendapat yang dimiliki kedua negara. Sehingga kedua
negara berupaya untuk menemukan jalan keluar untuk memecahkan persoalan wilayah batas
tersebut.
Upaya dalam menemukan jalan keluar dalam permasalahan batas wilayah adalah
tahap perundingan yang dilakukan oleh kedua negara baik itu dari Indonesia maupun TimorLeste. Indonesia dan Timor-Leste berharap ada titik terang dalam negosiasi yang dilakukan
Kementrian Luar Negeri dari kedua negara.

20

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Risse, T. Carlsnaes, Simons. 2013. Handbook Hubungan Internasional. Bandung: Nusa
Media.
Parekh, Bikhu. 2001. Multiculturalism Cultural Diversity and Political Theory. London:
Palgrave Macmillan.
Robert Jackson, Georg Serensen.2014. Pengantar Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Evi Fitriani. 2012. Hubungan Indonesia-Malaysia dalam prespektif sosial,budaya,negara dan
media.Jakarta: Universitas Indonesia.
Nita Andrianti. 2015. Komunikasi Internasional & Politik Media.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ian Hurd. 2008. Chapter 17 Construtivism.

Behravesh Maysam. 2011. ConstructivismAn Introduction: Land University.

Jeffrey T. Checkel. 2010. The Constructivist Turn In International Relations Theory:
Cambridge University Press
Ganjar Nugroho. 2008. Constructivism and International Relations Theories. Japan : Waseda
University
Rozi S, Mashad D. dkk. 2006. Kekerasan Komunal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Galtung, Johan. 1996. Studi perdamaian:perdamaian dan konflik,pembangunan dan
peradaban. Surabaya : Pustaka Eurika
Sutopo, Hadi Ariesto dan Adrianus Arief. 2010. Terampil Mengolah Data Kualitatif dengan
NVIVO. Prenada Media Grup, Jakarta.
Shodiq, Muhammad & Imam Muttaqien. 2013. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif,
Tatalangkah Dan Teknik-Teknik Teorisasi Data. PUSTAKA PELAJAR, Yogyakarta

21

Internet
Constructivism Christian Reus-Smith and The Moral Purpose of the State. Diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/276044449_Constructivism_Christian_ReusSmit_and_The_Moral_Purpose_of_the_State. pada tanggal 28 januari 2017 pukul
09.30
Wilayah perbatasan dan perjanjian portugis dan belanda. Diakses
darixhttp://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/157-juli-2011/1165--wilayahperbatasan-merupakan-etalase.html ( perjanjian portu & belanda ). Pada tanggal 1
februari 2017 pada pukul 10.00
Lahan di desa Naktuka yang diserobot Ti

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25