PENGEMBANGAN SUB TERMINAL AGRIBISNIS STA

PENGEMBANGAN SUB TERMINAL AGRIBISNIS (STA) DAN PASAR LELANG
KOMODITAS PERTANIAN DAN PERMASALAHANNYA
Iwan Setiajie Anugrah
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Jl. A. Yani 70 Bogor
ABSTRACT
Agribusiness development always deals with handling various types of agricultural commodities along
with welfare improvement of all parties involved. Concept of Agribusiness Sub-Terminal (STA) and auction
system aims at managing the agricultural commodities based on an agribusiness arrangement beneficial to the
farmers and all parties engaged. The main constraint of this concept is rivalry with the traders outside the STA
and auction market through competitive price they offer. The other barrier is long-established marketing system at
farmers’ level.
Key words: agribusiness, auction market, agricultural commodities marketing
ABSTRAK
Permasalahan yang selalu akan dihadapi adalah bagaimana menciptakan sistem penanganan
komoditas pertanian, sejalan dengan perbaikan kesejahteraan pelaku di dalamnya, terutama yang berkaitan
dengan aspek-aspek perdagangan hasil pertanian. Konsep STA dan sistem pasar lelang, dimaksudkan agar
sistem penanganan komoditas dapat dilakukan dalam satu tatanan agribisnis, sekaligus memberikan dampak
bagi petani dan pelaku kegiatan lain dalam menciptakan kesejahteraan bersama dalam satu model pemasaran
komoditas hasil pertanian yang menguntungkan seluruh pihak. Kendala untuk mewujudkan semuanya itu, di
antaranya adalah persaingan dengan pelaku agribisnis lainnya terutama dalam pembelian komoditas pertanian

dengan harga yang lebih kompetitif. Selain itu sistem pemasaran yang sudah lama terbentuk di tingkat petani,
menyulitkan akses keberadaan STA dan sistem pasar lelang.
Kata kunci: agribisnis, pasar lelang dan perdagangan komoditas pertanian

PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian melalui kegiatan agribisnis, terutama dalam kaitannya
dengan perbaikan struktur ekonomi masyarakat pasca krisis ekonomi sudah saatnya diimplementasikan dalam kegiatan riil di tingkat
petani maupun para pelaku agribisnis lainnya
secara komprehensif. Hal ini cukup beralasan
mengingat bahwa selama krisis ekonomi beberapa waktu lalu, sektor pertanian khususnya
kegiatan agribisnis telah mampu bertahan
dengan pertumbuhan yang positif. Namun
demikian kondisi pertumbuhan yang positif
tersebut secara faktual belum diikuti oleh
perbaikan ekonomi bagi pelaku agribisnis di
dalamnya maupun pelaku kegiatan pertanian
secara keseluruhan. Nilai tukar petani yang
terkait dengan beberapa komoditas yang
dihasilkan tetap berada pada tingkat harga
yang rendah (Saragih, 1995; Sapuan, 1996).


Pembuat kebijakan di tingkat makro
belum sepenuhnya menjabarkan arti dari
pertumbuhan ekonomi sektor pertanian yang
positif tersebut dalam bentuk tindakan riil yang
memberikan perubahan positif bagi para
pelaku kegiatan usaha pertanian di tingkat
produsen. Pertumbuhan positif sektor pertanian yang cukup dibanggakan oleh para petinggi
di sektor pertanian belum menjadi kebanggaan
nyata di tingkat petani. Tingkat kesejahteraan
petani terus menurun sejalan dengan persoalan-persoalan klasik di dalamnya, sekaligus
menjadi bagian dan dilema dari sebuah kegiatan agribisnis di tingkat produsen pertanian.
Tingkat keuntungan kegiatan agribisnis selama
ini lebih banyak dinikmati oleh para pedagang
dan pelaku agribisnis lainnya di hilir (Arifin,
2001; Sumodiningrat, 2000).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk
menjembatani persoalan di atas, baik melalui
program internal sektoral maupun dalam


FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 102 - 112

102

kegiatan pemberdayaan ekonomi lokal secara
otonom dengan kebijakan-kebijakan daerah.
Salah satu upaya yang telah dikembangkan
dalam rangkaian kegiatan agribisnis ditingkat
produsen, adalah melalui pemasaran komoditas pertanian dengan pendekatan kelembagaan pasar lelang, Sub Terminal Agribisnis (STA)
maupun Terminal Agribisnis (TA). Sejak disosialisasikan konsep tersebut beberapa waktu yang lalu, telah dibangun tidak kurang dari
25 TA/STA, baik melalui dana APBD serta dengan bantuan APBN sektor pertanian, walaupun belum sepenuhnya berfungsi seperti yang
diharapkan (Musanif, 2004). Selain itu juga
difungsikan suatu institusi baru di bidang
industri dan perdagangan komoditas pertanian
(INDAG-AGRO) khususnya di Jawa Barat
beberapa waktu lalu dibawah binaan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat.
Tujuan kajian ini adalah mengkritisi
pendekatan penanganan komoditas pertanian
melalui STA di berbagai sentra produksi pertanian di Jawa Barat dan Indonesia pada umumnya. Kajian dilakukan dengan penelaahan

dokumen dan diperkaya dengan beberapa
informasi yang diperoleh dari beberapa hasil
kajian dan permasalahannya yang diuraikan
secara deskkriptif.
BATASAN KONSEP DAN KARAKTERISTIK
SUB TERMINAL AGRIBISNIS
Konsep Dasar Sub Terminal Agribisnis
(STA)
Sub Terminal Agribisnis (STA), menurut konsep yang dibakukan oleh Badan Agribisnis Departemen Pertanian (2000), merupakan perwujudan atas fenomena yang selama
ini berkembang dalam pemasaran komoditas
pertanian dan sekaligus sebagai bagian dari
rangkaian kegiatan agribisnis. Pemasaran komoditas pertanian selama ini, pada umumnya
mempunyai mata rantai yang panjang, mulai
dari petani produsen, pedagang pengumpul,
pedagang besar hingga ke konsumen, sehingga mengakibatkan kecilnya keuntungan yang
diperoleh petani. Konsumen membayar lebih
mahal dari harga yang selayaknya ditawarkan
sehingga biaya pemasaran (marketing cost)
dari produsen ke konsumen menjadi tinggi.
Fenomena lain menunjukkan bahwa

jaminan pasar merupakan prasyarat utama

yang menentukan tingkat keunggulan suatu
komoditas, termasuk di dalamnya indikasi tentang daya tampung dan potensi pengembangan pasar, tingkat efisiensi distribusi, kesesuaian agroekosistem, ketersediaan dan
peluang pengembangan teknologi pertanian.
Di sisi lain, pola pemasaran tidak mampu menunjang upaya pengembangan berbagai jenis
komoditas. Lemahnya posisi rebut tawar petani serta semakin banyaknya produksi pesaing
dari impor komoditas yang sama di pasar
dalam negeri, menuntut upaya peningkatan
efisiensi pemasaran dengan mengembangkan
infrastruktur pemasaran.
STA sebagai suatu infrastruktur pasar,
tidak saja merupakan tempat transaksi jual
beli, namun juga merupakan wadah yang
dapat mengakomodasi berbagai kepentingan
pelaku agribisnis, seperti sarana dan prasarana pengemasan, sortasi, grading, penyimpanan, ruang pamer (operation room), transportasi, dan pelatihan. Selain itu, STA sekaligus
merupa-kan tempat berkomunikasi dan saling
tukar informasi bagi para pelaku agribisnis.
Definisi Sub Terminal Agribisnis (STA)
Menurut Badan Agribisnis Departemen

Pertanian (2000), STA merupakan infrastruktur
pemasaran untuk transaksi jual beli hasil-hasil
pertanian, baik untuk transaksi fisik (lelang,
langganan, pasar spot) maupun non fisik
(kontrak, pesanan, future market). STA diharapkan berfungsi pula untuk pembinaan
peningkatan mutu produksi sesuai dengan
permintaan pasar, pusat informasi, promosi
dan tempat latihan atau magang dalam upaya
pengembangan peningkatan sumberdaya
manusia.
STA menurut Tanjung (2001), merupakan infrastruktur pemasaran sebagai tempat
transaksi jual beli hasil-hasil pertanian baik
transaksi fisik maupun non fisisk yang terletak
di sentra produksi. Dengan demikian, penekanannya adalah bahwa STA merupakan
sarana pemasaran yang dilakukan pada sentra
produsen. Sementara itu, Sukmadinata (2001)
memberikan batasan bahwa STA merupakan
suatu infrastruktur pasar, tempat transaksi jual
beli baik dengan cara langsung, pesanan,
langganan atau kontrak. STA juga merupakan

wadah yang dapat mengakomodasikan berbagai kepentingan pelaku agribisnis, seperti

PENGEMBANGAN SUB TERMINAL AGRIBISNIS (STA) DAN PASAR LELANG KOMODITAS PERTANIAN DAN PERMASALAHANNYA

Iwan Setiajie Anugrah

103

layanan informasi manajemen produksi sesuai
dengan permintaan pasar, manajemen pengadaan sarana produksi, manajemen pasca
panen (pengemasan, sortasi, grading, penyimpanan) serta kegiatan-kegiatan lainnya, seperti
ruang pamer, promosi, transportasi dan pelatihan. Tujuan dari STA adalah untuk memperlancar pemasaran dan mengembangkan
agribisnis.
Karakteristik STA dan batasannya,
juga dikemukakan oleh Tambunan (2001),
bahwa STA adalah untuk membantu transparansi pasar dengan cara kompilasi informasi
tentang harga, serta jumlah penawaran dan
permintaan yang sangat bermanfaat baik bagi
produsen maupun bagi fihak manajemen
pasar sehingga dapat menentukan tujuan dan

waktu penjualan. Informasi ini memungkinkan
produsen mengundur panen atau menyimpan
produknya sampai harga lebih baik atau
hingga fasilitas transportasi tersedia. Selain itu
dapat membantu untuk membuat perencanaan
produksi jangka panjang. Secara teoritis, peningkatan transparansi pasar dapat bertindak
sebagai pemicu berfungsinya suatu pasar,
membaiknya persaingan dan meningkatnya
adaptasi untuk memenuhi kebutuhan penawaran dan oportuniti pasar. Penekanan dari
adanya STA dititik beratkan untuk lebih
mempertimbangkan manfaat terhadap pertumbuhan dan perkembangan wilayah pedesaan.
Manfaat dan Sasaran Sub Terminal
Agribisnis (STA)
Sub Terminal Agribisnis (STA) sebagai
infrastruktur pemasaran berdasarkan konsep
dari Badan Agribisnis Departemen Pertanian
(2000); Tanjung (2001) dan Sukmadinata
(2001), pada intinya diharapkan bermanfaat
untuk: (1) Memperlancar kegiatan dan meningkatkan efisiensi pemasaran komoditas agribisnis karena mencakup sebagai pusat
transaksi hasil-hasil agribisnis; memperbaiki

struktur pasar, cara dan jaringan pemasaran;
sebagai pusat informasi pertanian serta
sebagai sarana promosi produk pertanian. (2)
Mempermudah pembinaan mutu hasil-hasil
agribisnis yang meliputi; penyediaan tempat
sortasi dan pengemasan; penyediaan air
bersih, es, gudang, cool room dan cold
storage; melatih para petani dan pedagang
dalam penanganan dan pengemasan hasilhasil pertanian. (3) Sebagai wadah bagi pelaku

agribisnis untuk merancang bangun pengembangan agribisnis, mengsinkronkan permintaan pasar dengan manajemen lahan, pola
tanam, kebutuhan saprodi dan permodalan
serta peningkatan SDM pemasaran. (4) Peningkatan pendapatan daerah melalui jasa
pelayanan pemasaran, dan (5) Pengembangan agribisnis dan wilayah.
Sasaran utama pembangunan Sub
Terminal Agribisnis pada dasarnya adalah
untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani
dan pelaku pasar. Sasaran lainnya adalah
mendidik petani untuk memperbaiki kualitas
produk, sekaligus mengubah pola pikir ke arah

agribisnis sehingga menjadi salah satu sumber
pendapatan asli daerah serta mengembangkan akses pasar (Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 2000; Sukmadinata, 2001).
Pengelolaan STA, menurut Sukmadinata (2001) dapat dilakukan oleh koperasi
pelaku agribisnis, dalam hal ini petani, nelayan, pengolah serta pedagang; gabungan dari
koperasi pelaku agribisnis dengan pemerintah
daerah atau bahkan bisa dilakukan hanya oleh
pemerintah daerah. Pengelolaan juga dapat
dilakukan oleh pengusaha swasta, baik
nasional maupun asing atau bahkan gabungan
dari swasta asing dan nasional dengan
koperasi. Begitu pula dengan BUMN dan
BUMD serta gabungan dari pelaku pasar
agribisnis lainnya. Dengan demikian dalam
pengelolaannya, STA dapat ditentukan sesuai
dengan kepentingan serta kesepakatan dari
para pelaku agribisnis di dalamnya.
BEBERAPA CONTOH KASUS
KEBERADAAN STA
STA telah dibutuhkan atas pertimbangan spesialisasi komoditas hasil-hasil pertanian yang ditangani dalam arti luas, terutama
terhadap transaksi yang dilakukan pada komoditas pertanian tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, perkebunan dan perikanan.

Dukungan sarana dan prasarana pemasaran
yang diperlukan serta penanganan mutu
terhadap jenis-jenis produk pertanian tersebut
berdasarkan kondisi lokasi maupun waktu
penanganannya sangatlah berbeda, seperti
yang telah dicoba dilakukan oleh Badan
Agribisnis Departemen Pertanian di beberapa
tempat, seperti diantaranya STA di Kabupaten
Sukabumi untuk komoditas tanaman pangan

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 102 - 112

104

dan hortikultura, STA perikanan yang terletak
di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong
(Lamongan Jawa Timur) serta STA untuk
komoditas peternakan di Kabupaten Brebes,
Jawa Tengah.
Pembentukan STA saat ini telah berkembang pada beberapa lokasi, bahkan hampir semua kabupaten potensial dalam sektor
pertanian di Jawa Barat telah merancang
pembentukan STA, baik untuk pemasaran
komoditas pertanian tertentu maupun bagi
semua komoditas yang dihasilkan dari kabupaten yang bersangkutan. Nampaknya dorongan otonomisasi dan desentralisasi pembangunan serta pencapaian target Pendapatan
Asli Daerah (PAD) terhadap rencana kegiatan
pengembangan STA cenderung lebih mengemuka. Pembangunan sarana dan prasarana
fisik STA lebih didahulukan dibandingkan
dengan pembentukan sistem dan kinerja dari
permasalahan-permasalahan pemasaran yang
akan ditangani lebih lanjut melalui STA (Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat,
2001).
Beberapa contoh kasus yang ditemui,
menunjukkan bahwa secara umum konsep
STA yang dikemukakan oleh perencana di
setiap kabupaten lebih menekankan pada
upaya bagaimana alokasi sarana fisik tersebut
menjadi lokomotif bagi kegiatan pembangunan
daerah berikutnya. Kajian awal yang meliputi
kondisi bagaimana pembentukan sistem
pasar, pembentukan harga, kebiasaan dan
perilaku dari pelaku kegiatan agribisnis maupun informasi tentang potensi produksi komoditas utama dengan segala permasalahannya
di tingkat produksi yang melengkapi perencanaan pembangunan sebuah STA relatif
terbatas. Sehingga pembangunan STA pada
beberapa kabupaten tertentu di Jawa Barat,
belum banyak mengakomodasikan berbagai
kepentingan para pelaku agribisnis maupun
perolehan pendapatan asli daerah (Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat,
2001).
Sebagai contoh, tidak aktifnya STA
tanaman pangan dan hortikultura di Cicurug
Kabupaten Sukabumi beberapa waktu lalu,
antara lain disebabkan oleh permasalahan
mendasar mengenai penanganan pemasaran
dan pasokan komoditas jagung sebagai
komoditas utama pada kegiatan STA tersebut.
Sebagian besar petani telah terikat modal dan

saprodi kepada para pedagang atau pemilik
modal. Dengan demikian pemasaran hasil
jagung langsung ditujukan kepada para
pedagang atau pemilik modal tersebut. Selain
itu, letak keberadaan STA menimbulkan
tambahan biaya angkut yang harus ditanggung
oleh para petani dari lokasi produksi ke lokasi
STA. Dengan kondisi tersebut, sebagian petani lebih banyak menjual hasil panennya
langsung ke Pasar Induk Ramayana Bogor
maupun ke Pasar Induk Kramatjati, dengan
harga yang lebih kompetitif dibandingkan
dengan harga di STA. Pola tersebut juga
dipilih ntuk menghindari adanya kegiatan
pemeriksaan kembali komoditas yang sudah di
packing, karena pemeriksaan tersebut menurunkan sebagian kualitas komoditas serta
menambah biaya (Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Jawa Barat, 2001).
Permasalahan lain dikemukakan pada
Harian Umum Pikiran Rakyat (9 Agustus
2003), dimana STA di Cigombong-Pacet
Kabupaten Cianjur kekurangan pasokan
sayuran sebesar 28 ton setiap harinya, untuk
memenuhi kebutuhan pedagang dan pembeli
yang melakukan transaksi di STA tersebut. Hal
ini disebabkan jumlah permintaan sayuran
tidak seimbang dengan produksi yang dihasilkan dari daerah ini, sehingga harus mendatangkan dari beberapa sentra produksi lainnya
yang lebih berkualitas agar kebutuhan pasar
dan kepercayaan pelanggan dapat terpenuhi.
Rancangan pembangunan konsep
STA di Kabupaten Ciamis juga terbentur dengan permasalahan bagaimana menetapkan
lokasi STA yang dapat mengakomodasikan
sebagian besar produksi komoditas pertanian
yang cukup menyebar di wilayah Kabupaten
Ciamis. Begitu pula dengan rancangan pembangunan STA terpadu yang direncanakan di
Kabupaten Sumedang, sebagian kecil hanya
untuk mengakomodasikan beberapa komoditas pertanian tanaman semusim dengan
jumlah yang fluktuatif, dipadukan dengan
terminal penumpang. Sementara untuk komoditas buah-buahan yang akan ditangani pada
lokasi STA, seperti mangga dan semangka
dinilai tidak kompetitif, mengingat produksi dan
pasar buah tersebut akan lebih didominasi
oleh pasar buah mangga dari Majalengka dan
Indramayu yang merupakan sentra produksi
mangga terbesar di Jawa Barat (Setiajie,
2004a).

PENGEMBANGAN SUB TERMINAL AGRIBISNIS (STA) DAN PASAR LELANG KOMODITAS PERTANIAN DAN PERMASALAHANNYA

Iwan Setiajie Anugrah

105

Contoh Kasus Kelembagaan Pasar Lelang
di Majalengka Jawa Barat
Sistem pelelangan untuk beberapa
komoditas unggulan di Kabupaten Majalengka
Jawa Barat belum sepenuhnya berjalan.
Pemasaran komoditas tertentu melalui pelelangan sudah pernah dicoba di Pasar Maja,
sebagai pasar utama bagi komoditas sayuran
yang dihasilkan dari beberapa wilayah di
Kabupaten Majalengka. Hal ini merupakan
gambaran mikro dari konsep STA yang akan
dikemukakan dalam kajian ini.
Kegiatan pelelangan sudah dirintis
melalui kegiatan yang dilakukan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
BAPEKTI serta Kanwil DEPERINDAG Provinsi
Jawa Barat pada tahun 1999 di Desa Sukasari
Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka.
Kegiatan rintisan sistem pelelangan telah
dilengkapi dengan sarana dan prasarana fisik
yang meliputi bangunan permanen serta alatalat pendukung bagi terciptanya pasar lelang,
termasuk sistem komunikasi yang memantau
informasi harga pasar pada beberapa pasar
induk (Setiajie, 2004a).
Proses pelelangan pada dasarnya
baru pada tahap pelaksanaan mempertemukan petani dengan pedagang di pasar lelang.
Petani secara individu atau petani yang diwakili oleh para ketua kelompok tani membawa sampel komoditas yang akan ditawarkan
yang telah memenuhi kriteria termasuk grading
kelas dan kualitas kepada panitia pasar lelang.
Penetapan harga sesuai dengan informasi
harga terakhir yang dipantau oleh panitia
pasar lelang sebelumnya dari harga yang
berlaku di Pasar Induk ataupun pasar lokal.
Selanjutnya panitia atau pengurus pasar lelang
menawarkan kepada calon pembeli, di antaranya para pedagang lokal maupun pedagang
besar dari Jakarta, Cibitung, Kramatjati ataupun pasar-pasar induk lainnya di Bandung.
Biaya angkutan biasanya merupakan
tanggungjawab dari para pembeli/pedagang.
Pada saat dilakukan pelelangan, biasanya
para pedagang dan pembeli sudah membawa
kendaraannya untuk mengangkut barang
tersebut. Sementara itu, pembayaran atas
komoditas dilakukan melalui panitia pasar
lelang, yaitu melalui bendahara pasar lelang
dan selanjutnya diserahkan kepada petani.

Keuntungan bagi pasar lelang seharusnya dapat diperoleh melalui ketentuan yang
sudah ditetapkan. Dalam ketentuan tersebut,
panitia lelang mendapat jasa keuntungan
sebesar Rp. 5 sampai Rp. 25 per kilogram dari
petani, tergantung pada harga yang terjual.
Namun demikian, ketentuan tersebut belum
bisa diterapkan, mengingat kondisi dan situasi
yang belum memungkinkan untuk dilakukan.
Di samping itu secara tidak langsung aktivitas
tersebut masih merupakan ajang promosi
untuk menarik minat petani ikut dalam proses
pelelangan. Oleh karena itu jika hal tersebut
diterapkan maka ada kemungkinan para petani
tidak tertarik membawa barang/komoditas
yang dihasilkan untuk dipasarkan ke pasar
lelang, mengingat selama ini sistem pemasaran untuk beberapa jenis komoditas sayuran
maupun buah-buahan yang dilakukan oleh
sebagian besar petani sudah cukup lancar
serta masing-masing sudah mempunyai jalur
dan ikatan dagang langsung dengan para
pedagang baik pedagang pengumpul desa,
bandar kecamatan atau bahkan secara langsung berhubungan dengan para pedagang
besar di beberapa pasar induk (Setiajie,
2004b).
Para pedagang besar, sampai saat ini
bisa langsung datang ke petani atau ke
pedagang desa untuk memperoleh komoditas
yang diperlukan tanpa harus melalui pasar
lelang yang ada, dengan patokan harga yang
berlaku atau disepakati. Hal ini pula yang
sekaligus menjadi kendala bagi kegiatan
pelelangan.
Berdasarkan informasi dari panitia
pasar lelang, kendala utama yang dihadapi
oleh pasar lelang saat ini adalah bagaimana
menarik minat petani untuk mau memasarkan
barang yang dihasilkannya melalui pasar
lelang. Sebagian besar petani sudah terikat
modal dengan pedagang atau bandar yang
memberikan modal awal untuk kegiatan
usahatani, sehingga pada saat panen, harus
dijual kepada pedagang tersebut.
Posisi pasar lelang menjadi lemah jika
dihadapkan pada permasalahan diatas, karena
pasar lelang harus dapat memenuhi kebutuhan modal yang diperlukan petani. Namun
demikian jika hal tersebut dilakukan, maka sudah menyalahi konsep pelelangan itu sendiri.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 102 - 112

106

Kendala lain adalah bahwa secara
geografis posisinya berdekatan dengan Pasar
Maja yang selama ini dikenal sebagai terminal
dan sekaligus sebagai pasar lelang dan pasar
induk tradisional. Pasar Maja kadangkala juga
merupakan tempat pelelangan atau pemasaran beberapa komoditas dari berbagai
sentra produksi yang ada di luar kecamatan
atau di luar kabupaten, mengingat Pasar Maja
dapat memberikan tingkat harga jual yang
relatif tinggi dibandingkan pasar lokal lainnya.
Jumlah pedagang besar atau bandar yang
datang ke pasar Maja juga lebih banyak.
Adanya kepercayaan dari para bandar besar
terhadap kualitas komoditas yang dihasilkan
dari daerah sekitar Maja selama ini, menyebabkan trade mark komoditas Maja telah
mendapat tempat yang baik di beberapa pasar
induk. Tidak jarang pada saat pasokan dari
daerah ini berkurang, para pedagang lokal
maupun regional mendatangkan komoditas
sayuran sejenis dari daerah sentra produksi
lainnya, untuk selanjutnya di jual ke pedagang
besar di pasar induk.
Sementara itu pasar lelang untuk komoditas buah-buahan, berdasarkan informasi
dari Dinas Pertanian dan Bappeda Kabupaten
Majalengka (2000), selama ini belum pernah
dilakukan secara formal dalam tatanan pasar
lelang yang resmi. Para pedagang pengumpul,
pedagang besar maupun bandar buah-buahan
mengemukakan bahwa pola dan sistem
pelelangan melalui pasar lelang, terutama
untuk komoditas buah-buahan khususnya
mangga, sangat kecil kemungkinannya akan
berjalan dengan segala ketentuan yang sudah
ditetapkan, mengingat selama ini tataniaga
relatif lancar. Di sisi lain mangga sebagian
besar masih merupakan tanaman pekarangan
dengan jumlah pohon yang terbatas dan
bersifat musiman. Hal lain yang terpenting
untuk bahan pertimbangan dalam pembentukan pasar lelang di tingkat produsen adalah
adanya keterkaitan antara pemilik tanaman
mangga dengan beberapa tengkulak atau
pengepul dalam sistem penanganan hasil
serta pemasarannya.
Pemenuhan kebutuhan ekonomi petani pohon mangga oleh tengkulak ataupun
bandar, secara tidak langsung mengikat petani
untuk menjual mangganya kepada pemberi
modal. Tidak ada kebebasan bagi petani untuk
menjualnya ke tempat lain, termasuk kepada

pasar lelang. Dengan adanya pembelian
sistem ijon, posisi tawar menawar petani
sangat dilemahkan. Begitu pula di tingkat
pedagang pengumpul, sebagian besar pedagang atau bandar sudah sejak lama terjalin
saluran tataniaga dan hubungan dagang
dengan pedagang pengumpul ataupun bandar
di pasar induk serta tempat pemasaran akhir
lainnya. Permasalahan tersebut akan menyulitkan keberadaan pasar lelang untuk menjalankan fungsinya sebagai mediator antara
petani dengan para konsumen, pedagang
pengumpul serta bandar.
KONDISI EMPIRIS PEMASARAN
KOMODITAS PERTANIAN
Pada dasarnya kegiatan pemasaran
komoditas hasil pertanian Indonesia selama ini
sangat dipengaruhi oleh adanya keterkaitan
antara para petani dengan berbagai jenis
pedagang, baik yang secara langsung maupun
tidak langsung terlibat dalam proses pemasaran hasil pertanian tersebut. Hasil kajian
Syahyuti (1998 dan 2004) dikemukakan bahwa
di dalam jaringan perdagangan pertanian di
Indonesia terdapat tiga jenis pelaku yang
dibedakan berdasarkan keterlibatan modal
(uang) dan risiko yang ditanggungnya. Ketiga
pelaku yang dimaksud adalah pedagang
biasa, pedagang kaki tangan dan pedagang
komisioner secara langsung. Melalui komposisi dan struktur organisasi di dalamnya, pasar
hasil-hasil pertanian di Indonesia telah membentuk kelembagaannya tersendiri.
Dari kondisi empiris sistem pemasaran
yang ada di wilayah contoh kasus, maka
secara umum sistem pemasaran, komoditas
tanaman pangan dan hortikultura dapat
dikemukakan pada Gambar 1.
Sebagian besar petani, terutama petani dengan skala usaha kecil dan menengah,
lebih banyak memasarkan produksinya melalui
pedagang pengumpul desa, selain itu ada juga
ke pedagang kecamatan (bandar) atau bahkan
ke pedagang dari pasar induk dan pedagang
besar lainnya yang datang langsung ke petani.
Alur pemasaran lainnya adalah petani
menjual ke pedagang pengumpul kemudian
dari pedagang pengumpul dipasarkan ke pedagang besar bahkan kepada pedagang dari

PENGEMBANGAN SUB TERMINAL AGRIBISNIS (STA) DAN PASAR LELANG KOMODITAS PERTANIAN DAN PERMASALAHANNYA

Iwan Setiajie Anugrah

107

A

B

Pedagang
pengumpul
desa/
kecamatan

Petani

Kelompok
tani

Pasar
Kecamatan

A

Keterangan:

Pedagang
besar/
bandar

Pedagang
pasar induk

sudah biasa dilakukan
kadang-kadang dilakukan

Gambar 1. Aliran Pemasaran Komoditas Pertanian di Lokasi Produksi

pasar induk. Bagi para petani dengan usahatani skala besar, pemasaran produksi juga
kadang-kadang dilakukan langsung ke pedagang Pasar Induk.
Dengan dua pola tataniaga seperti ini,
maka pasar lelang dan kelompok tani tidak
berfungsi penuh, hanya sewaktu-waktu dilibatkan dengan kegiatan yang terbatas. Hal ini
disebabkan karena selama ini semua faktor
produksi pada sebagian besar petani dipenuhi
oleh para pedagang. Petani mempunyai kewajiban yang terikat untuk menjual hasilnya
kepada mereka (Setiajie, 2004b).
Dalam kondisi seperti ini, maka kedudukan pasar lelang menjadi kurang berfungsi.
Berikut ini dicoba disampaikan suatu rumusan
tentang catatan alur tataniaga yang berusaha
memfungsikan keberadaan pasar lelang
sekaligus diharapkan dapat menjadi embrio
bagi terbentuknya STA di sentra produksi
(Gambar 2).

MODEL SISTEM PASAR LELANG SEBAGAI
EMBRIO KONSEP STA
Berdasarkan ilustrasi pada Gambar 2,
petani pada beberapa komoditas tertentu
(yang sama) atau berdasarkan komoditas
yang dominan di sentra produksi, memasarkan
hasil produksinya dengan dikoordinir oleh
ketua kelompok tani. Dengan cara ini ketua
kelompok mempunyai data dan sampel produk
yang akan ditawarkan kepada pembeli melalui
pasar lelang/STA dan sekaligus mengetahui
harga pasar yang terbentuk, setelah menyerahkan sampelnya ke petugas lelang. Tugas
kelompok tani disini adalah mengkoordinir
jumlah produksi serta menyeleksi menjadi
beberapa kriteria sesuai dengan kualitas
produksi yang dihasilkan. Dengan demikian
akan memberikan dampak positif bagi petani
dengan menghasilkan produk yang baik dan
meningkatkan kualitas produksi, sekaligus
dapat memfungsikan kelompok tani.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 102 - 112

108

- Melakukan penanaman komoditas unggulan
- Melakukan kegiatan usahatani
Pasar
Lokal

Petani

Lembaga
keuangan
di tingkat
produsen
Pedagang
Pengumpul
dan Bandar
Kelompok
tani

Pasar
Lelang/
STA

- Mengkoordinir
jumlah dan jenis
- Membawa sampel
ke pasar lelang
- Melakukan grading
- dll.

- informasi harga
- menarik pedagang
- memfasilitasi/
menangani
transaksi
- kontak dagang

Pasar
Induk

Pengecer

Gambar 2.

Alternatif Kegiatan Pemasaran yang Mencoba Memfungsikan Kelembagaan Pasar Lelang dan Sub
Terminal Agribisnis (STA) di Sentra Produksi

Sebagai pelaku bisnis maka petani
harus mampu melakukan manajemen dengan
baik agar bisnisnya dapat berkembang. Dengan kata lain petani harus mampu melakukan
kegiatan produksi dan pemasaran produk yang
dapat memberikan keuntungan yang maksimal. Petani dituntut untuk dapat mengatur
penggunaan faktor produksi secara efisien
untuk menekan biaya produksi dan mengatur
jenis produk yang dihasilkan serta volume
penjualannya untuk mendapatkan harga jual
produk yang menguntungkan. Di samping itu
juga petani harus mampu mengelola modalnya
dengan baik dan mengadopsi teknologi produksi dan pemasaran untuk menjamin kegiatan usaha secara berkesinambungan (Irawan,
2003).
Dalam rangka peningkatan kualitas
manajemen petani maka pengelolaan usaha
produksi sebaiknya dilakukan secara kolektif
dalam bentuk kelompok-kelompok petani,

mengingat pembentukan keputusan yang
bersifat kolektif adalah lebih penting dari pada
pelaksanaan kegiatan secara kolektif. Pengembangan usaha agribisnis secara kolektif
tersebut juga sangat berguna untuk menekan
biaya penga-daan sarana produksi dan biaya
pemasaran akibat peningkatan skala usaha di
samping meningkatkan posisi tawar petani
dalam pembentukan harga (Irawan, 2003).
Fungsi pasar lelang/STA dalam hal ini
adalah untuk mempertemukan antar pedagang
(pembeli) kepada komoditas yang ditawarkan
oleh kelompok tani. Tampak bahwa peran
terpenting pasar lelang/STA sangat terkait
dengan informasi harga pasar yang terjadi
dengan patokan di tingkat pasar induk. Untuk
itu jumlah luas tanam (pola tanam) dan perkiraan produksi di daerah produksi harus didata dan diketahui sebelumnya, sehingga para
pedagang mendapatkan informasi yang jelas.

PENGEMBANGAN SUB TERMINAL AGRIBISNIS (STA) DAN PASAR LELANG KOMODITAS PERTANIAN DAN PERMASALAHANNYA

Iwan Setiajie Anugrah

109

Fungsi lain dari pasar lelang/STA,
adalah melakukan fungsi pelelangan atau
mengatur sepenuhnya proses transaksi antara
petani yang diwakili kelompok tani dengan
beberapa pedagang, melalui ketentuan yang
sudah disepakati sebelumnya. Selain memberikan informasi harga dan menjembatani proses transaksi tersebut, pasar lelang/ STA juga
harus menjadi lembaga penghubung antara
petani dengan lembaga keuangan, dalam
merekomendasikan jumlah modal yang dibutuhkan sesuai dengan jumlah produksi yang
dapat dijual atau dipasarkan.
Dengan demikian, pasar lelang/STA
akan bisa menjembatani permodalan petani
serta memberikan alternatif bagi petani untuk
secara bertahap keluar dari ketergantungannya kepada para pemodal sebelumnya. Diharapkan para petani menjadi lebih bebas
memasarkan produknya melalui pasar lelang/
STA.
Pasar lelang/STA yang ada juga harus
bisa menjadi sumber pendistribusian kebutuhan produksi (barang) yang diminta oleh
para pedagang. Dengan demikian secara tidak
langsung peran pasar lelang/STA adalah
merupakan “stabilisator” terhadap kesinambungan dan kontinuitas produksi serta ketersediaan produk di pasaran dan di tingkat konsumen yang pada akhirnya pembentukan
harga relatif stabil.
Fungsi lembaga keuangan selain
untuk memberikan pinjaman modal kepada
petani (sebagai tujuan utamanya) juga menjadi
pengikat secara tidak langsung terhadap pola
pemasaran produk yang dihasilkan petani
dengan pasar lelang/STA. Namun demikian
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
berkaitan dengan kelembagaan dan fungsinya,
di antaranya adalah adanya kemudahankemudahan administrasi serta prosedur yang
disederhanakan atau dengan kredit berbunga
rendah. Lembaga keuangan senantiasa harus
selalu berhubungan dengan para ketua/
kelompok tani dan pasar lelang/STA, agar
dapat memantau kegiatan yang dilakukan oleh
petani dan kegiatan pemasarannya. Kedudukan pedagang pengumpul dalam gambar di
atas, adalah merupakan perpanjangan tangan
para pedagang di tingkat atas. Para pedagang
lokal dan pedagang pengecer selama ini juga
disuplai para pedagang pengumpul desa atau
bandar sehingga akses pedagang lainnya,

termasuk pedagang pengumpul tidak secara
langsung datang ke petani, tetapi setiap saat
dapat akses ke pusat pelelangan. Hubungan
dengan kegiatan petani dan produksinya juga
harus diketahui oleh pedagang pengumpul
sebagai bahan untuk penentuan harga pembelian maupun harga jual ke tingkat pedagang
yang lebih tinggi. Dengan demikian fungsinya
tetap seperti semula, sebagaimana selama ini
dijalankan. Pada saat-saat tertentu pedagang
pengecer, pasar lokal dan pasar induk juga
bisa akses ke pasar lelang/STA untuk mendapatkan komoditas yang dibutuhkannya. Bila
memungkinkan juga ikut lelang sekalipun pada
kondisi yang terbatas dibandingkan dengan
pedagang pengumpul ataupun para pedagang
pasar induk yang mempunyai pasokan yang
cukup besar serta jumlah permodalan yang
cukup kuat.
Struktur organisasi dan manajemen
pasar lelang/STA harus secara terpadu. Hal ini
berarti kepegawaian/kepengurusan pasar lelang harus terdiri dari berbagai macam latar
belakang dan status, terutama orang-orang
yang banyak terlibat dalam struktur pemasaran
serta komoditas yang pernah ditangani di
daerah yang bersangkutan sesuai dengan
keahliannya. Sumberdaya manusia tersebut,
perlu diposisikan dalam bagian-bagian pekerjaan yang memang dikuasainya, ditambah
dengan unsur penunjang lain yang memang
potensial dan mempunyai waktu penuh untuk
mengorganisasikan kelembagaan tersebut secara profesional.
Untuk menghidupi kebutuhan operasional pasar lelang/STA harus ditentukan
bagian (berapa persen) yang diterima pasar
lelang/STA. Melalui kesepakatan dalam transaksi, pendaftaran pelelangan serta besarnya
sewa ongkos angkut yang sudah disetujui,
atau diperkirakan oleh pasar lelang, dalam
bentuk dan keanggotaan pasar lelang/STA itu
sendiri, atau semacam registrasi intern para
pemilik barang dengan pasar lelang/STA melalui jasa dan pelayanan yang telah diberikan.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Sub Terminal Agribisnis (STA) merupakan salah satu struktur kelembagaan yang
cukup penting di masa yang akan datang,
dalam upaya mendorong pemasaran komo-

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 102 - 112

110

ditas pertanian yang dihasilkan di berbagai
wilayah yang semakin beragam, sekaligus
menjadi kelembagaan pertanian yang dapat
memberikan jaminan kepastian harga produk
pertanian yang dipasarkan oleh petani sebagai
produsen, sehingga harga yang diterima dapat
menguntungkan para petani.
Konsep STA melalui sistem pasar
lelang sebagai konsep baru dalam pelaksanaannya masih dihadapkan pada beberapa
kendala, khususnya perubahan sistem serta
perilaku dari para pelaku kegiatan usaha
pertanian di berbagai daerah sentra produksi.
Kendala-kendala tersebut berakar dari hal-hal
berikut:
(a) Petani produsen khususnya komoditas
sayuran maupun terhadap para pelaku
kegiatan tataniaga lainnya yang ada dalam
sistem pemasaran, masih dilakukan
dengan cara pemasaran langsung kepada
pedagang, baik pedagang pengumpul di
tingkat desa, kecamatan bahkan langsung
ke pedagang besar dari pasar induk yang
datang ke lokasi produksi. Sistem pemasaran langsung tersebut, menjadikan
kegiatan pasar lelang tidak bisa berjalan
dalam tatanan yang sesungguhnya.
(b) Adanya ketergantungan petani di dalam
sistem permodalan usahatani yang dilakukan selama ini, juga merupakan faktor
utama yang menyebabkan tidak bisa
berjalannya sistem pemasaran melalui
kegiatan pasar lelang. Proses mendapatkan modal usahatani tergantung banyak
dengan pinjaman yang diberikan oleh
pemilik modal besar yang sebagian besar
juga merupakan para pedagang. Sehingga
untuk pengembalian modal usahatani yang
dipergunakan, maka penjualan hasil produksi cenderung lebih banyak dilakukan
kepada para pedagang yang memberikan
modal tersebut.
(c) Adanya hubungan keterkaitan yang sudah
lama terjalin dalam sistem permodalan,
ditambah dengan adanya kepercayaan
yang terjalin lama serta adanya jaminan
harga dan penjualan dari para pemilik
modal yang menampung seluruh produksi
yang dihasilkan, selain memberikan kepercayaan pemasaran pada komoditas yang
dihasilkan juga secara tidak langsung
merupakan peluang bagi kegiatan usahatani pada pertanaman berikutnya.

(d) Keterbatasan skala usahatani juga merupakan kelemahan di dalam posisi tawar
menawar serta pemasaran produk yang
dihasilkan selama ini. Keterbatasan dalam
memperoleh
informasi
harga
yang
transparan di tingkat pasar yang lebih
tinggi, menyebabkan tingkat harga yang
diterima petani produsen lebih rendah dari
harga yang berlaku di pasaran.
(e) Keberadaan dan fungsi pasar lelang yang
dirintis nampaknya belum banyak diketahui oleh sebagian petani, termasuk di
dalamnya fungsi, visi dan misi yang menjadi tujuan adanya pasar lelang tersebut.
Selain itu penentuan lokasi keberadaan
pasar lelang yang kurang strategis, menyebabkan kegiatan pasar lelang yang ada
belum dapat dimanfaatkan dengan baik
oleh petani dan pedagang dalam melakukan kegiatan transaksi penjualan maupun
pembelian komoditas yang dihasilkan
khususnya dari sentra produksi setempat.
(f) Agar keberadaan subterminal agribisnis
dapat dimanfaatkan secara optimal, maka
berbagai hambatan yang ada perlu
dihilangkan. Penyediaan modal usahatani
bagi petani produsen perlu ditingkatkan
ragam dan jangkauannya, sehingga petani
tidak lagi menggantungkan diri kepada
pedagang dan sekaligus terikat untuk
memasarkan kepada pedagang tersebut.
Artinya, kelembagaan permodalan harus
menjadi sarana pelengkap pada sebuah
STA. Khusus untuk pasar lelang, pemilihan lokasi dan sosialisasi keberadaan
serta sistem operasionalnya kepada petani
dan pedagang perlu menjadi perhatian
untuk mengoptimalkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bustanul. 2001. Spektrum Kebijakan Pertanian Indonesia, Telaahan, Struktur,
Kasus dan Alternatif Strategi. Erlangga.
Jakarta.
Badan Agribisnis, Departemen Pertanian. 2000.
Petunjuk Teknis Pengembangan Sub
Terminal Agribisnis. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2000. Majalengka Dalam
Angka Tahun 2000. BPS Kabupaten
Majalengka.

PENGEMBANGAN SUB TERMINAL AGRIBISNIS (STA) DAN PASAR LELANG KOMODITAS PERTANIAN DAN PERMASALAHANNYA

Iwan Setiajie Anugrah

111

Bapeda Kabupaten Majalengka. 2000. Rencana
Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada) Tahun 2002. Pemerintah Daerah
Kabupaten Majalengka.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten
Majalengka. 2000. Rencana Strategis
(Renstra) Tahun 2001-2005 Kabupaten
Majalengka.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa
Barat. 2000. Identifikasi Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan di
Jawa Barat. Laporan Akhir. Kerjasama
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi
Jawa Barat dengan Lembaga Penelitian
UNPAD. Bandung.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa
Barat. 2001. Kajian Pengembangan
Pemasaran Model Pelelangan Komoditas
Agribisnis pada Sentra Produksi. Kerjasama Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Provinsi Jawa Barat dengan PT Arjasari
Primarya Bandung.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 1999. Laporan
Tahunan 1999. Majalengka.
Irawan, B. 2003. Membangun Agribisnis Hortikultura
Terintegrasi dengan Basis Kawasan Pasar.
FAE Vol. 21 No. 1, Juli 2003. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor.
Musanif, J. 2004. Pasar Dalam Negeri, Internasional, BPP dan Terminal Agribisnis.
Sinar Tani, Edisi 26 Mei – 1 Juni 2004
No.3049 Tahun XXXIV.
Sapuan. 1996. Peranan Agrobisnis Dalam Teori
Keseimbangan. Jurnal Prakarsa No.3 Th.
Ke II, Edisi Mei 1996. PDP-UNPAD.
Bandung.
Saragih, B. 1995. Pengembangan Agribisnis Dalam
Pembangunan Ekonomi Nasional Menghadapi Abad-21. Orasi Ilmiah Guru Besar
Tetap Ilmu Ekonomi Sumberdaya, Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor, 21
Desember 1995. Bogor.

Setiajie, I. 2004b. Model Pasar Lelang Sebagai Embrio Konsep Kelembagaan. Sub Terminal
Agribisnis (STA): Suatu Pemikiran. Sinar
Tani, Edisi 14-20 Januari 2004. No.3030
Tahun XXXIV dan Edisi 7-13 Juli 2004
No.3055 Tahun XXXIV.
Sukmadinata, T. 2001. Sistem Pengelolaan Terminal Agribisnis dan Sub Terminal Agribisnis Secara Terpadu untuk Memberikan
Nilai Tambah Pelaku dan Produk Agribisnis. Makalah pada Apresiasi Manajemen
Kelayanan Terminal Agribisnis, Sub
Terminal Agribisnis, Pergudangan dan
Distribusi, tanggal 14-16 Agustus 2001.
Cisarua.
Sumodiningrat, Gunawan. 2000. Pembangunan
Ekonomi Melalui Pengembangan Pertanian. PT. Bina Reni Pariwara. Jakarta.
Syahyuti. 1998. Beberapa Karakteristik dan Perilaku
Pedagang Pemasaran Komoditas Hasilhasil Pertanian di Indonesia. Forum
Penelitian Agro Ekonomi (FAE), Volume 16
No. 1 Juli 1998. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor.
Syahyuti. 2004. Pemerintah Pasar dan Komunitas:
Faktor Utama dalam Pengembangan
Agribisnis di Pedesaan. Forum Penelitian
Agro Ekonomi (FAE) Vol. 22 No.1, Juli
2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Tambunan, A.. 2001. Kriteria Rancangan Terminal
Agribisnis/Sub Terminal Agribisis. Makalah
pada Apresiasi Manajemen Kelayakan
Terminal Agribisnis, Sub Terminal Agribisnis, Pergudangan dan Distribusi, tanggal
14-16 Agustus 2001. Cisarua.
Tanjung, D. 2001. Metoda Analisis Studi Kelayakan
Pembangunan TA/STA. Makalah pada
Apresiasi Manajemen Kelayakan Terminal
Agribisnis, Sub Terminal Agribisnis, Pergudangan dan Distribusi, tanggal 14-16
Agustus 2001. Cisarua.

Setiajie, I. 2004a. Menjadikan Sub Terminal Agribisnis (STA) sebagai Kelembagaan Pemasaran di Sentra Produksi. Sinar Tani Edisi
4-10 Februari 2004. No.3033 Tahun
XXXIV.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 102 - 112

112