Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Tindakan Medik

BAB II
TINDAKAN MEDIK YANG DIKATEGORIKAN SEBAGAI TINDAK
PIDANA BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Tindakan Medik
1.

Ruang Lingkup Tindakan Medik
Tindakan medik adalah suatu tindakan seharusnya hanya boleh dilakukan oleh

para tenaga medis, karena tindakan itu ditujukan terutama bagi pasien yang
mengalami gangguan kesehatan. Suatu tindakan medik adalah keputusan etik karena
dilakukan oleh manusia terhadap manusia lain, yang umumnya memerlukan
pertolongan dan keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan atas beberapa
alternatif yang ada. Keputusan etik harus memenuhi tiga syarat, yaitu bahwa
keputusan tersebut harus benar sesuai ketentuan yang berlaku, baik tujuan dan
akibatnya, dan keputusan tersebut harus tepat sesuai dengan konteks serta situasi dan
kondisi saat itu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan65.
Tindakan medik yang merupakan suatu keputusan etik, seorang dokter
harus66:
1. Mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, profesi, pasien;

2. Mempertimbangkan etika, prinsip-prinsip moral, dan keputusan-keputusan khusus
pada kasus klinis yang dihadapi.

65

http://handarsubhandi.blogspot.com/2014/09/pengertian-tindakan-medik.html, diakses tanggal 14 April

66

Ibid.

2015.

29

Universitas Sumatera Utara

Suatu tindakan medik tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
1. Mempunyai indikasi medik, untuk mencapai suatu tujuan yang konkrit,
2. Dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku dalam ilmu kedokteran,

3. Sudah mendapat persetujuan dari pasien.
Persetujuan tindakan medik (Informed Consent) dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu67:
1. Implied Consent, yaitu persetujuan yang dianggap telah diberikan
walaupun tanpa pernyataan resmi, yaitu pada keadaan biasa dan pada
keadaan darurat atau emergency. Pada keadaan gawat darurat yang
mengancam jiwa pasien, tindakan menyelamatkan kehidupan (life living)
tidak memerlukan persetujuan tindakan medik.
2. Expressed Consent, yaitu persetujuan tindakan medik yang diberikan
secara eksplisit baik secara lisan (oral) maupun tertulis (written).
Tindakan medik yang memerlukan persetujuan secara tertulis adalah68:
1. Tindakan-tindakan yang bersifat invasif dan operatif atau memerlukan
pembiusan, baik untuk menegakkan diagnosis maupun tindakan yang
bersifat terapetik.
2. Tindakan pengobatan khusus, misalnya terapi sitostatika atau radioterapi
untuk kanker.
3. Tindakan khusus yang berkaitan dengan penelitian bidang kedokteran atau
uji klinik (berkaitan dengan bioetika), tidak dibahas dalam kegiatan
keterampilan medik ini.
Setiap tindakan medis harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara etik maupun

secara hukum, Kode Etik Kedokteran Indonesia ( KODEKI ) memberikan pedoman

67
http://www.dentaluniverseindonesia.com/home/62-persetujuan-tindakan-medik.html, diakses pada
tanggal 14 April 2015.
68
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

kepada dokter di dalam memutuskan untuk melakukan tindakan medisnya tidak boleh
bertentangan dengan :
a. Kode Etik Kedokteran Indonesia ( KODEKI )
b. Asas-asas Etika kedokteran Indonesia yaitu69:
1. Tidak merugikan ( Non-Maleficence )
2. Membawa kebaikan ( Benevicence )
3. Menjaga kerahasiaan (Confidencsialitas )
4. Otonomi pasien ( Informed Consent )
5. Berkata benar ( Veracity )
6. Berlaku adil ( Justice ).

7. Menghormati ( privacy)
Agar seorang dokter tidak dipandang melakukan praktik yang buruk menurut Danny
Wiradharma, maka setiap tindakan medis yang dilakukan harus memenuhi tiga
syarat70:
1. Memiliki indikasi medis ke arah suatu tujuan perawatan yang kongkrit.
2. Dilakukan menurut ketentuan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran
3. Telah mendapat persetujuan tindakan pasien .
Kesehatan merupakan kebutuhan hidup yang sangat penting dalam menunjang
aktifitas manusia sehari-hari. Manusia melakukan berbagai upaya demi mewujudkan
hidup yang sehat. Pasal 47 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menyebutkan bahwa upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan
pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara

Ngesti Lestari, ”Masalah Malpraktek Etik Dalam Praktek Dokter ”, Kumpulan Makalah Seminar
tentang Etika dan Hukum Kedokteran diselenggarakan oleh RSUD Dr. Saiful Anwar , Malang, 2001.
70
Ibid. hal. 87-88.
69

Universitas Sumatera Utara


terpadu menyeluruh, dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan promotif adalah
suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih
mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kegiatan71.
Pelayanan kesehatan prefentif adalah suatu kegiatan pencegahan
terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit. Pelayanan kesehatan kuratif
adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang
ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat
penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas
penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. Pelayanan kesehatan rehabilitatif
adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan keadaan
pasien dalam kondisi semula72.
Pelayanan

kesehatan

pada

dasarnya


bertujuan

untuk

melaksanakan

pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit, termasuk di dalamnya tindakan medik
yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang
membutuhkan penyembuhan. Pemeliharaan kesehatan individu adalah lebih kepada
upaya pelayanan kesehatan individu yang dikenal dengan pelayanan kedokteran dan
tenaga kesehatannya adalah dokter, perawat dan sebagainya73. Pelayanan kesehatan
individu terdapat hubungan antara pasien dengan tenaga kesehatan (dokter) dan
sarana kesehatan (rumah sakit). Hubungan yang timbul antara pasien, dokter dan
rumah sakit diatur oleh kaidah-kaidah tentang kedokteran (bagian dari kesehatan)
baik hukum maupun non hukum (antara lain: moral termasuk etika, kesopanan,
kesusilaan dan ketertiban).

71

Nourma Yunita Padmasari, Perlindungan Hukum Pasien Dalam Perjanjian Terapeutik Pada RSIA

Sakina Idaman, (Yogyakarta: Skripsi UII, 2011).
72
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
73
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kesehatan, (Bandung: Mandar Maju, 2001), halaman 35.

Universitas Sumatera Utara

Hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan yang unik, adalah meliputi
hubungan medis, hubungan hukum, hubungan non hukum, hubungan ekonomi dan
hubungan sosial. Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi
terapeutik artinya masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter
berkewajiban memberikan tindakan medik yang sebaik-baiknya bagi pasien.
Hubungan dokter dan pasien adalah hubungan antara manusia dan manusia. Dalam
hubungan ini mungkin timbul pertentangan antara dokter dan pasien, karena masingmasing mempunyai nilai yang berbeda-beda. Dalam hubungan dengan pemberian
pelayanan kesehatan, unsur hubungan antara dokter dan pasien menjadi sangat
penting.
Hubungan antara dokter dan pasien yang baik hanya dapat dicapai apabila
masing-masing pihak benar-benar menyadari hak dan kewajibannya, serta memahami
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hubungan dokter dan pasien yang

sempurna akan terbentuk dengan kesadaran bahwa hak akan pelayanan kesehatan
merupakan hasil kontrak antara kedokteran dan masyarakat serta antara dokter dan
pasien74. Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan akan pelayanan kesehatan
yang dibutuhkan.
Pasien dikategorikan sebagai konsumen akhir dalam jasa pelayanan kesehatan
karena pasien tidak termasuk dalam bagian dari produksi. Sifat konsumeristik dari
pelayanan kesehatan tampak dari terjadinya pergeseran paradigma pelayanan

74

Pitono Soeparto,dkk, Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan, Edisi Kedua, (Surabaya: Airlangga
University Press, 2006), halaman 23.

Universitas Sumatera Utara

kesehatan dari semula bersifat sosial berubah menjadi bersifat komersial, dimana
pasien harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi untuk upaya kesehatannya75.
Pasien sebagai konsumen kesehatan memiliki perlindungan diri dari
kemungkinan upaya kesehatan yang tidak bertanggungjawab seperti penelantaran.
Pasien juga berhak atas keselamatan, keamanan, kenyamanan terhadap pelayanan jasa

kesehatan yang diterima. Dengan hak tersebut maka konsumen akan terlindungi dari
praktik profesi yang mengancam keselamatan dan kesehatan76. Hak pasien adalah
mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan yang diterima tidak semestinya.
Masyarakat sebagai konsumen dapat menyampaikan keluhannya kepada pihak rumah
sakit sebagai upaya perbaikan intern rumah sakit dalam pelayanan atau kepada
lembaga yang memberi perhatian kepada konsumen kesehatan.
Pola hubungan paternalistic antara dokter dan pasien identik dengan pola
hubungan vertical dimana kedudukan atau posisi antara pemberi jasa pelayanan
kesehatan dan penerima jasa pelayanan kesehatan tidak sederajat77. Hubungan ini
timbul karena pasien mencari pertolongan untuk penyembuhan penyakitnya, dalam
hal ini dokter atau rumah sakit.
Pelayanan merupakan suatu aktivitas atau serangkaian alat yang bersifat tidak
kasat mata (tidak dapat diraba), yang terjadi akibat interaksi antara konsumen dengan
karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang

75

Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006),
halaman 20.
76

http://www.freewebs.com/pencegahanperspektifpasien/implikasihukum.html, diakses pada tanggal 2
Maret 2015.
77
Anny Isfandyarie, Op.Cit, halaman 389.

Universitas Sumatera Utara

dimaksudkan untuk memecahkan persoalan konsumen78. Pemanfaatan pelayanan
kesehatan merupakan penggunaan fasilitas pelayanan yang disediakan baik dalam
bentuk rawat jalan, rawat inap, kunjungan rumah oleh petugas kesehatan ataupun
bentuk kegiatan lain dari pemanfaatan pelayanan tersebut yang didasarkan pada
ketersediaan dan kesinambungan pelayanan, penerimaan masyarakat dan kewajaran,
mudah dicapai masyarakat, terjangkau serta bermutu.
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan derajat kesehatan baik perorangan maupun kelompok atau masyarakat
secara keseluruhan. Lavey dan Loomba mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
pelayanan kesehatan adalah setiap upaya baik yang diselenggarakan sendiri atau
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara
kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan yang
ditujukan terhadap perorangan kelompok atau masyarakat79.

Terdapat 2 kelompok pelayanan kesehatan yang perlu dibedakan, yaitu80:
1. Health Receivers, yaitu penerima pelayanan kesehatan. Yang termasuk
dalam kelompok ini adalah pasien, yaitu orang yang sakit, mereka yang
ingin memelihara/ meningkatkan kesehatannya, misalnya ingin di
vaksinisasi atau wanita hamil yang memeriksa kandungannya.
2. Health Providers, yaitu pemberi layanan kesehatan. Contohnya Medical
Providers yaitu dokter, bidan, perawat analisis, ahli gizi dan lain-lain.
Pelayanan kesehatan masyarakat bertujuan untuk menigkatkan kesehatan dan
mencegah penyakit dengan sasaran utamanya adalah masyarakat81.
78

Digilib.usu.ac.id/chapterII, diakses pada tanggal 10 Maret 2015.
Hendrojono Soewono, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktek Dokter Dalam Transaksi
Terapeutik, (Surabaya: Srikandi, 2005), halaman 100.
80
Rio Christiawan, Aspek Hukum Kesehatan Dalam Upaya Medis Transpalansi Organ Tubuh,
(Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003), halaman 1.
79

Universitas Sumatera Utara

Ruang lingkup dari pelayanan kesehatan masyarakat menyangkut kepentingan
masyarakat banyak, maka peran pemerintah dalam pelayanan kesehatan masyarakat
mempunyai bagian atau porsi yang besar. Namun karena keterbatasan sumber daya
pemerintah, maka potensi masyarakat perlu digali dan diikutsertakan dalam upaya
pelayanan kesehatan masyarakat tersebut.
Ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam pelayanan kesehatan
masyarakat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, antara lain82:
a.

b.

c.

d.

2.

Penanggung jawab; pengawasan, standar pelayanan, dan sebagainya
dalam pelayanan kesehatan masyarakat baik pemerintah (Puskesmas)
maupun swasta (Balkesmas) berada di bawah koordinasi penanggung
jawab seperti Departemen Kesehatan.
Standar pelayanan; pelayanan kesehatan masyarakat, baik pemerintah
maupun swasta harus berdasarkan pada suatu standar tertentu. Di
Indonesia standar ini telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan,
dengan adanya “Buku Pedoman Puskesmas”.
Hubungan kerja; dalam hal ini harus ada pembagian kerja yang jelas
antara bagian yang satu dengan yang lain. Artinya fasilitas kesehatan
harus mempunyai struktur organisasi yang jelas yang menggambarkan
hubungan kerja secara horizontal maupun vertikal.
Pengorganisasian potensi masyarakat; keikutsertaaan masyarakat atau
pengorganisasian masyarakat ini penting, karena adanya keterbatasan
sumber-sumber daya penyelenggara pelayanan kesehatan masyarakat.

Bentuk-Bentuk Tindakan Medik
Dokter berkewajiban memberikan tindakan medik yang sebaik-baiknya

kepada pasien. Tindakan medik ini dapat berupa penegakkan diagnosis dengan benar
sesuai dengan prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan medik sesuai dengan

81
Soekidjo Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-Prinsip Dasar), (Jakarta: PT.Asdi
Mahasatya, 2003).
82
http://rifdahjuniartihasmi.blogspot.com, diakses pada tanggal 18 Maret 2015.

Universitas Sumatera Utara

standar tindakan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang diperlukan
untuk kesembuhan pasiennya.
Bentuk pelayanan kesehatan/medis adalah sebagai berikut83:
a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama (Primer)
Pelayanan yang lebih mengutamakan pelayanan yang bersifat dasar dan
dilakukan bersama masyarakat dan dimotori oleh:
1. Dokter umum (tenaga medis)
2. Perawat mantri (tenaga paramedis)
Pelayanan kesehatan primer (primary health care) atau pelayanan
kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan yang paling di depan,
yang pertama kali diperlukan oleh masyarakat pada saat mereka
mengalami gangguan kesehatan atau kecelakaan. Pelayanan ini ditujukan
kepada masyarakat yang sebagian besar bermukim di pedesaan serta
masyarakat yang berpenghasilan rendah diperkotaan. Pelayanan
kesehatan ini sifatnya berobat jalan, diperlukan untuk masyarakat yang
sakit ringan dan masyarakat yang sehat untuk meningkatkan kesehatan
mereka atau promosi kesehatan.
Contohnya: Puskesmas dan Klinik.
b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua (Sekunder)
Pelayanan kesehatan ini lebih bersifat spesialis dan bahkan kadang kala
pelayanan subspesialis, tetapi masih terbatas. Pelayanan kesehatan
sekunder dan tersier adalah rumah sakit, tempat masyarakat memerlukan
perawatan lebih lanjut (rujukan). Di Indonesia terdapat berbagai tingkat
rumah sakit mulai dari rumah sakit kelas A sampai rumah sakit kelas D.
Pelayanan kesehatan dilakukan oleh:
1. Dokter spesialis
2. Dokter subspesialis terbatas.
Pelayanan kesehatan ini sifatnya pelayanan jalan atau pelayanan rawat
(inpatient services), diperlukan untuk kelompok masyarakat yang
memerlukan perawatan inap, yang sudah tidak dapat ditangani oleh
pelayanan kesehatan primer.
Contohnya: rumah sakit kelas C.
c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (Tersier)
Pelayanan kesehatan tersier merupakan pelayanan yang lebih
mengutamakan pelayanan subspesialis serta subspesialis luas. Pelayanan
kesehatan dilakukan oleh:
1. Dokter subspesialis
2. Dokter subspesialis luas.

83

http://wiwiwijayanti.blogspot.com, diakses pada tanggal 18 Maret 2015.

Universitas Sumatera Utara

Pelayanan kesehatan ini sifatnya pelayanan jalan atau pelayanan rawat
inap (rehabilitasi), diperlukan kelompok masyarakat atau pasien yang
sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan sekunder.
Contohnya: rumah sakit kelas A.
Tindakan medik dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance
dan nonfeasance84. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum
atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medik
tanpa indikasi yang memadai, pilihan tindakan medik tersebut sudah improper.
Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medik yang tepat tetapi dilaksanakan
dengan tidak tepat (improper performance), misalnya melakukan tindakan medik
dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance berarti tidak melakukan tindakan medik
yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk tersebut digolongkan dalam
kelalaian yang sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses),
namun pada kelalaian dalam bentuk khususnya adanya kerugian, sedangkan error
tidak selalu mengakibatkan kerugian.
Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari tindakan medik, sekaligus
merupakan bentuk tindakan medik yang paling sering terjadi85. Pada dasarnya
kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi)
yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang
seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu
keadaan dan situasi sama.

84
85

http://www.hukor.depkes.go.id/?art=20.html, diakses tanggal 15 April 2015.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

3.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelayanan Kesehatan dan Syarat
Pokok dalam Pelayanan Kesehatan

Faktor perilaku yang mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan
adalah86:
a. Pemikiran dan perasaan (Thoughts and feeling)
berupa pengetahuan, presepsi, sikap, kepercayaan dan penilaian-penilaian
seseorang terhadap obyek, dalam hal ini obyek kesehatan.
b. Orang penting sebagai referensi (Personal referensi)
seseorang lebih banyak dipengaruhi oleh seseorang yang dianggap penting
atau berpengarh besar terhadap dorongan penggunaan pelayanan kesehatan.
c. Sumber-sumber daya (Resources)
mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga dan sebagainya. Sumber-sumber
daya juga berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok
masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Pengaruh tersebut
dapat bersifat positif dan negatif.
d. Kebudayaan (Culture)
berupa norma-norma yang ada di masyarakat dalam kaitannya dengan
konsep sehat sakit.
Pelayanan kesehatan harus memiliki berbagai persyaratan pokok, yaitu:
persyaratan pokok yang memberi pengaruh kepada masyarakat dalam menentukan
pilihannya terhadap penggunaan jasa pelayanan kesehatan, yakni87:
a. Ketersediaan dan kesinambungan pelayanan
Pelayanan yang baik adalah pelayanan kesehatan yang tersedia di
masyarakat (acceptable) serta berkesinambungan (sustainable). Artinya
semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat ditemukan
serta keberadaannya dalam masyarakat adalah ada tiap saat dibutuhkan.
b. Kewajaran dan penerimaan masyarakat
Pelayanan kesehatan baik adalah bersifat wajar (appropriate) dan dapat
diterima (acceptable) oleh masyarakat. Artinya pelayanan kesehatan
tersebut dapat mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi, tidak
bertentangan dengan adat-istiadat, kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan
masyarakat, serta bersifat tidak wajar, bukanlah suatu keadaan pelayanan
kesehatan yang baik.
86
87

Digilib.usu.ac.id/chapterII, diakses pada tanggal 18 Maret 2015.
http://rifdahjuniartihasmi.blogspot.com, diakses pada tanggal 18 Maret 2015.

Universitas Sumatera Utara

c. Mudah dicapai oleh masyarakat
Pengertian dicapai yang dimaksud disini terutama dari letak sudut lokasi
mudah dijangkau oleh masyarakat, sehingga distribusi sarana kesehatan
menjadi sangat penting. Jangkauan fasilitas pembantu untuk menentukan
permintaan yang efektif.
d. Terjangkau
Pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan yang terjangkau
(affordable) oleh masyarakat, dimana diupayakan biaya pelayanan tersebut
sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang
mahal hanya mungkin dinikmati oleh sebagian masyarakat saja.
e. Mutu
Mutu (kualitas) yaitu menunjukkan tingkat kesempurnaan pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan dan menunjukkan kesembuhan penyakit
serta keamanan tindakan yang dapat memuaskan para pemakai jasa
pelayanan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
4.

Upaya-Upaya dalam Pengembangan Pelayanan Kesehatan
Upaya pelayanan kesehatan, rumah sakit juga harus memperhatikan etika

profesi tenaga yang bekerja di rumah sakit yang bersangkutan88. Dalam dunia medis
yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat penting menunjang kesehatan
dari masyarakat. Maju mundurnya rumah sakit akan sangat ditentukan oleh
keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam hal ini dokter,
perawat dan orang-orang yang berada ditempat tersebut. Dari pihak rumah sakit
diharapkan memahami konsumen secara keseluruhan agar dapat maju dan
berkembang.
Orang yang sedang sakit (pasien) yang tidak dapat menyembuhkan penyakit
yang dideritanya, tidak ada pilihan lain selain meminta pertolongan dari orang yang
dapat menyembuhkan penyakitnya, yakni meminta pertolongan dari petugas

88

Titik Triwulan Tutik dan Shita Febriana, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, (Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2010), halaman 1.

Universitas Sumatera Utara

kesehatan yang datang menyembuhkan penyakitnya89. Tenaga kesehatan akan
melakukan apa yang dikenal dengan upaya kesehatan dan objek dari upaya kesehatan
adalah pemeliharaan kesehatan, baik pemeliharaan kesehatan masyarakat maupun
pemeliharaan kesehatan individu. Di dalam kesehatan masyarakat terdapat pula
antara lain kesehatan sekolah, kesehatan lingkungan dan pemberantasan penyakit
menular90.
Pengembangan pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan melalui perluasan
jangkauan wilayah sesuai dengan tingkat kemajuan wilayah dalam hal transportasi,
peningkatan rujukan, peningkatan mutu pelayanan dan keterampilan staf, peningkatan
manajemen organisasi dan peningkatan peran serta masyarakat. Adapun upaya untuk
pengembangan pelayanan kesehatan, antara lain:
a.

meluaskan jangkauan pelayanan kesehatan dan penempatan tenaga medis sampai
ke desa-desa.

b.

Meningkatkan

mutu

pelayanan

kesehatan,

baik

dengan

meningkatkan

keterampilan dan motivasi kerja dengan cara mencukupi berbagai jenis
kebutuhan peralatan dan obat-obatan.
c.

Pengadaan peralatan dan obat-obatan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat
yang didasarkan pada analisis epidemiologi penyakit yang berkembang di
wilayah kerja.

89
90

Wila Chandrawila Supriadi, Loc.Cit.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

d.

Sistem rujukan di tingkat pelayanan kesehatan lebih diperkuat dengan
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

e.

Peran serta masyarakat dalam pengembangan pembangunan kesehatan agar
masyarakat mampu mencapai mutu hidup yang sehat dan sejahtera.

B. Peraturan-Peraturan tentang Tindakan Medik
Peraturan-peraturan hukum di bidang tindakan medik meliputi Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
1.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga ketentuan yaitu tindak pidana,

pertanggungjawaban pidana, pidana dan pemidanaan. KUHP sebagai induk aturan
umum memasukkan rumusan asas legalitas di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu
“tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
Pasal 346, 347, 348, 349, 359, 360 dan 386 KUHP yang berkaitan di bidang
medis aturan pemidanaannya yaitu pidana penjara, kurungan dan denda, sedangkan
pertanggungjawaban pidananya kesengajaan. Perumusan tindak pidana ini merupakan
bentuk perlindungan HAM dan/kepentingan hukum seseorang agar tidak terjadi
korban tindak pidana di bidang medis.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 346:
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
Pasal 347:
1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun
Pasal 348:
1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349:
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah
satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang
ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut
hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 359:
Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 360:
1. Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
2. Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
luka-luka sedemikian rupa sehingga timhul penyakit atau halangan
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat
ribu lima ratus rupiah.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 386:
1. Barang siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan,
minuman atau obat-obatan yang diketahuinya bahwa itu dipalsu, dan
menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
2. Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu dipalsu jika nilainya atau
faedahnya menjadi kurang karena sudah dicampur dengan sesuatu bahan
lain.
Berdasarkan ketentuan KUHP bahwa tindakan yang dikategorikan sebagai
perbuatan pidana apabila tindakan tersebut berkaitan dengan kelalaian yaitu
dilakukan dengan sengaja atau kelalaian, maka setiap tindakan tindakan medik yang
diatur dalam pasal- pasal KUHP ini yang berkaitan dengan sengaja atau kelalaian
dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana.
2.

Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Ruang lingkup hukum pidana mencakup ketentuan yaitu rumusan tindak

pidana, pertanggungjawaban pidana, pidana dan pemidanaan. Dalam Ketentuan
Pidana diatur dalam Bab X Pasal 75 sampai dengan Pasal 80 undang-undang ini
pemidanaan yang dikenakan adalah pidana penjara, pidana kurungan dan denda,
sedangkan pertangungjawaban pidananya adalah kesengajaan.
Pasal 75:
1. Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
2. Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan

Universitas Sumatera Utara

pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3. Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 76:
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 77:
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau
bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin
praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 78:
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan
seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi
atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 79:
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau
dokter gigi yang :
a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (1);
b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (1); atau
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 80:
1. Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi
hukuman tambahan berupa pencabutan izin.
Berdasarkan ketentuan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
terdapat dua kategori tindakan yang dapat disebut sebagai tindak pidana yaitu
perbuatan yang berkaitan dengan persyaratan pelaksanaan praktik kedokteran yang
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi dan perbuatan yang berkaitan dengan
pelaksanaan praktik kedokteran yang dilakukan selain dokter atau dokter gigi.
3.

Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga ketentuan yaitu tindak pidana,

pertangungjawaban pidana, pidana dan pemidanaan. Ketentuan Pidana dalam
undang-undang ini diatur dalam Bab XX Pasal 190 sampai dengan Pasal 201 yang
pemidanaannya dikenakan adalah pidana penjara, denda dan pidana tambahan,
sedangkan pertanggungjawaban pidananya adalah kesengajaan.
Pasal 190:
1. Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang
melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien
yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling

Universitas Sumatera Utara

lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 191:
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan
tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka
berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 192:
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan
tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 193:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi
untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Pasal 194:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 195:
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih
apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 196:
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 197:

Universitas Sumatera Utara

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 198:
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan
praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 200:
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu
ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Pasal 201:
1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1),
Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal
200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa
pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192,
Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.
2. Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana adalah perbuatan yang dilakukan
dengan kesalahan berupa perbuatan dengan kesengajaan atau kelalaian, atas izin
praktik dan izin produksi peralatan kesehatan.
4.

Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga ketentuan yaitu tindak pidana,

pertangungjawaban pidana, pidana dan pemidanaan. Ketentuan Pidana dalam

Universitas Sumatera Utara

undang-undang ini diatur dalam Bab XIII Pasal 62 sampai dengan Pasal 63 yang
pemidanaannya dikenakan adalah pidana penjara, denda dan pidana tambahan,
sedangkan pertangungjawaban pidananya adalah kesengajaan.
Pasal 62:
Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit tidak
memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00- (lima milyar rupiah).
Pasal 63:
1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan
oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya,
pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda
dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62.
2. Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Berdasarkan ketentuan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit bahwa
perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana adalah terhadap hal izin
penyelenggaraan rumah sakit.
C. Tindakan Medik Dikategorikan sebagai Tindak Pidana
Tindakan medik pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan upaya
pencegahan dan pengobatan suatu penyakit, termasuk di dalamnya tindakan medik
yang didasarkan hubungan individual antara dokter dengan pasien yang
membutuhkan kesembuhan atas penyakit yang dideritanya. Dokter merupakan pihak
yang mempunyai keahlian di bidang medis atau kedokteran yang dianggap memiliki

Universitas Sumatera Utara

kemampuan dan keahlian untuk melakukan tindakan medis91. Sedangkan pasien
merupakan orang sakit yang awam akan penyakit yang dideritanya dan
mempercayakan dirinya untuk diobati dan disembuhkan oleh dokter92. Dokter dan
tenaga medis lainnya berkewajiban memberikan tindakan medik yang sebaik-baiknya
bagi pasien.
1.

Tindak Pidana
Istilah untuk menyatakan suatu perbuatan yang dilarang oleh aturan pidana

yaitu tindak pidana, delik (delict) atau strafbaarfeit. Dari keempat istilah tersebut,
istilah “tindak pidana” merupakan istilah yang banyak digunakan dalam perundangundangan di Indonesia.
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan
undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan
atau mengabaikan itu diancam dengan pidana93. Dalam tindak pidana terdapat unsur
perbuatan seseorang karena pada dasarnya yang dpat melakukan tindak pidana adalah
orang (natuurlijke person). Selain subjek hukum sebagai unsur tindak pidana masih
terdapat satu unsur lagi yaitu perbuatan. Perbuatan yang dapat dikenal hukuman
pidana tentu saja perbuatan yang melawan hukum yaitu perbuatan yang memenuhi
rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Perbuatan tersebut
dapat berupa berbuat atau tidak berbuat. Sifat perbuatan itu selain melawan hukum

91

Soerjono Soekanto, Aspek Hukum dan Etika Kedokteran, (jakarta: Grafiti Pers, 1983).
Soerjono Soekanto, Segi-Segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien, (Bandung: Cv.Mandar Maju, 1990).
93
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, (Bogor:
Politeia,1979), halaman 9.
92

Universitas Sumatera Utara

juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan atau menghambat akan
terlaksananya tata dalam pergaulan dalam masyarakat yang dianggap baik dan adil.
Menurut Roeslan Saleh perbuatan pidana adalah perbuatan yang anti sosial94.
Perbuatan seseorang dikatakan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut telah
tercantum dalam undang-undang. Dengan kata lain mengetahui sifat perbuatan
tersebut dilarang atau tidak, harus dilihat dari rumusan undang-undang.
Asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan
dikenal dengan asas legalitas. Dua fungsi asas legalitas yaitu fungsi instrument yang
berarti tidak ada perbuatan pidana yang tidak dituntut dan fungsi melindungi yang
berarti tidak ada pemidanaan kecuali atas dasar undang-undang95.
Moeljatno mengatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dalam pidatonya
Moeljatno mengatakan bahwa tindak pidana atau perbuatan pidana sebagai perbuatan
yang dilarang dalam undang-undang dan diancam dengan pidana barangsiapa
melanggar larangan itu96. Terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan:

94
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Dua Pengertian Dasar dalam
Hukum Pidana), (Jakarta:Aksara Baru, 1985), halaman 13.
95
Nyoman Serikat Putra Jaya, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai Penyeimbang
Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma dalam Ilmu Hukum Pidana),
(Semarang:Universitas Diponegoro, 2004), halaman 22.
96
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Dalam Hukum Pidana, Pidato diucapkan pada
upacara peringatan Dies Natalis ke VI Universitas Gajah Mada, di Sitihinggil Yogyakarta pada tanggal 19
Desember 1955, halaman 17.

Universitas Sumatera Utara

a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam
pidana,
b. Larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada
orang yang menimbulkan kejadian itu,
c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara
kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat. Kejadian
tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat
diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.
Unsur-unsur dari tindak pidana adalah:
a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan)
b. Diancam dengan pidana
c. Melawan hukum
d. Dilakukan dengan kesalahan
e. oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak
pidana, yakni97:
a. unsur obyektif; perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu,
dan mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti
dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.
b. unsur subyektif; orang yang mampu bertanggungjawab, adanya kesalahan
(dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.
97

http://minsatu.blogspot.com/2011/02/tindak-pidana-delik.html, diakses pada tanggal 15 April 2015.

Universitas Sumatera Utara

Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan
keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
Jenis-jenis dari tindak pidana, yaitu98:
a.

b.

c.

d.

e.

98

Kejahatan dan pelanggaran
Perbedaan kedua jenis delik ini bersifat kualitatif dan kuantitatif. Secara
kualitatif ada dua jenis delik yaitu rechtdelicten ialah perbuatan yang
bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam
pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar
dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan dan
wetsdelicten ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak
pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada
undang-undang mengancamnya dengan pidana. Secara kuantitatif
perbedaannya dilihat dari segi kriminologi ialah pelanggaran itu lebih
ringa dari pada kejahatan.
Delik formil dan delik materiil
Delik formil adalah delik yang perumusannya dititik beratkan kepada
perbuatan yang dilarang, delik tersebut telah diselesaikan dengan
dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan rumusan delik.
Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititik beratkan kepada
akibat yang dikehendaki (dilarang), delik ini baru selesai apabila akibat
yang tidak dikehendaki itu telah terjadi kalau belum maka paling banyak
hanya ada percobaan.
Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per
ommisionen commissa
Delik commisionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap
larangan yaitu berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan,
penipuan. Delik ommisionis adalah delik yang berupa pelanggaran
terhadap perintah yaitu tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan/ yang
diharuskan. Delik commisionis per ommisionen commissa adalah delik
yang berupa pelanggaran larangan akan tetapi dapat dilakukan dengan
cara tidak berbuat.
Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)
Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan dan delik culpa
adalah delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur.
Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samenge-stelde
delicten)
Delik tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu
kali dan delik berangkai adalah delik yang baru merupakan delik apabila
dilakukan beberapa kali perbuatan.

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

f.

g.

h.
i.

Delik yang berlangsung terus dan delik selesai (voordurende en aflopende
delicten)
Delik yang berlangsung terus adalah delik yang mempunyai ciri bahwa
keadaan terlarang itu berlangsung terus.
Delik aduan dan delik laporan (klachtdelicten en niet klacht delicten)
Delik aduan adalah delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila
ada pengaduan dari pihak yang terkena. Delik laporan adalah delik yang
penuntutannya dapat dilakukan tanpa ada pengaduan dari pihak yang
terkena, cukup dengan adanya laporan yaitu pemberitahuan tentang
adanya suatu tindak pidana kepada polisi.
Delik sederhana dan delik yang ada pemberatan/peringananya
(eenvoudige dan gequalificeerde/geprevisilierde delicten)
Delik ekonomi dan bukan delik ekonomi

2. Tindakan Medik Dikategorikan sebagai Tindak Pidana
Tindak pidana dalam tindakan medik dapat terjadi karena beberapa faktor,
yaitu99:
a.

b.

c.

d.

Minimnya pelayanan tenaga medis menyebabkan peluang terjadinya
kesalahan tindakan medis (malpraktik) saat memberikan tindakan kepada
pasien, seperti kesalahan pemberian obat, kesalahan prosedur/tindakan
semestinya harus dilakukan;
Kesalahan diagnosis dapat berakibat fatal bagi pasien, seperti terjadinya
kelumpuhan, kerusakan organ dalam dan bahkan dapat mengakibatkan
kematian pasien;
Dokter yang kurang dalam kemampuan. Tidak sedikit dari mereka
mempunyai gelar dokter tetapi kurang menguasai Ilmu Kedokteran,
sedangkan menjadi seorang dokter harus mempunyai kecerdasan yang
benar agar menjadi dokter sesungguhnya dan segala tindakan medisnya
bisa dipertanggungjawabkan.
Faktor ketidaksengajaan, terjadi karena kelalaian dari para tenaga medis
atau ketidaktelitian petugas medis saat menangani pasien.

Tindak pidana dalam tindakan medik atau dapat dikatakan malpraktik
merupakan kesalahan pengambilan tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis
profesional maupun tenaga medis amatir baik secara disengaja atau tidak disengaja
99

Anny Isfandyarie, Malpraktek dan Resiko Medik, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005).

Universitas Sumatera Utara

atau dokter (tenaga medis) tersebut melakukan praktik yang buruk100. Terdapat empat
hal penting yang berkaitan dengan kejadian malpraktik tersebut, yakni:
a.

Adanya kegagalan tenaga medis untuk melakukan tata laksana sesuai standar
terhadap pasien. Standar yang dimaksud mengacu pada standar prosedur
operasional yang ditetapkan;

b.

Kurangnya keterampilan para tenaga medis101;

c.

Adanya faktor pengabaian;

d.

Adanya cidera yang merupakan akibat salah satu dari ketiga faktor tersebut.
Tidak semua kegagalan medis adalah akibat kelalaian atau kesalahan medis.

Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang
terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cidera
pada pasien tidak termasuk dalam pengertian kelalaian atau kesalahan medis.
Kegagalan medis dapat disebabkan oleh empat hal, yaitu:
a.

Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan
tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis;

b.

Hasil dari suatu resiko yang tak dapat dihindari, yaitu resiko yang tak dapat
diketahui sebelumnya (unforeseeable), atau resiko yang meskipun telah diketahui
sebelumnya (foreseeable) tetapi tidak dapat/tidak mungkin dihindari karena
tindakan yang dilakukan adalah satu-satunya cara terapi. Resiko tersebut harus
terlebih dahulu diinformasikan terlebih dahulu;
100

Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta:Egc, 1999).
Safitri Hariyani, Sengketa Medik, Alternatif Penyelesaian Antara Dokter Dengan Pasien, (Jakarta:
Diadit Media,2005), halaman 48.
101

Universitas Sumatera Utara

c.

Hasil dari suatu kelalaian medis;

d.

Hasil dari suatu kesengajaan.
Dari keempat faktor tersebut yang dapat dikategorikan sebagai suatu tindak

pidana tindakan medik adalah kegagalan medis akibat kelalaian (culpa) dan
pelaksanaan tindakan medis tanpa persetujuan. Kegagalan medis yang merupakan
suatu perjalanan alami penyakit dan resiko yang tidak dapat diketahui sebelumnya
(unforeseeable) atau diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi tidak dapat dihindari
bukanlah suatu tindak pidana tindakan medik, sedangkan kegagalan medis yang
disebabkan oleh kesengajaan merupakan suatu professional misconduct dan tindak
pidana tindakan medik.
Kesalahan dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu102:
a. Malfeasance, yakni melakukan tindakan yang melanggar hukum atau
tidak tepat/layak, misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang
memadai.
b. Misfeasance, yakni melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat, misalnya melakukan tindakan medis
dengan menyalahi prosedur.
c. Nonfeasance, yakni tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya.
Kelalaian atau culpa dapat juga dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu103:
a.

Culpa lata: sangat tidak berhati-hati, kesalahan serius, sembrono (gross fault or
neglect);

b.

Culpa levis: kesalahan biasa (ordinary fault or neglect);

c.

Culpa levissima: kesalahan ringan (slight fault or neglect).

102
103

Masruchin Rubai, Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, (Malang: IKIP,1997).
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Pada culpa lata tidak berlaku lagi hukum perdata, melainkan pidana. Pada
culpa levis dan culpa levissima yang tidak dapat dikenakan hukum pidana maka
ditampung dalam hukum perdata. Penyebab lain kegagalan medis, yaitu kesengajaan,
masuk dalam kategori professional misconduct. Professional misconduct merupakan
kesengajaan yang dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik,
ketentuan disiplin profesi, hukum administrasi serta hukum pidana dan perdata seperti
melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, penahanan pasien, pelanggaran
wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi illegal, euthanasia, keterangan palsu,
mengguna