Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Tindakan Medik

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy”(Inggris) atau “politiek”
(Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum
pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Pengertian
kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik kriminal. Kebijakan
adalah arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seseorang aktor
atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan9.
Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu10:
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar
dan reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah
keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan
badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma
sentral dari masyarakat.
Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not

to do)11. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya
9

Kamus Hukum (Bandung: Citra Umbara, 2008), halaman 191.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana , (Bandung: Alumni, 1981), halaman 38. Lihat juga Barda Nawawi
Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya, 2002) halaman 1.
11
Pandangan Thomas Dye ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sudarto dalam bukunya, Kapita
Selekta Hukum Pidana , (Bandung: Alumni, 1981), halaman 113-114 dan dalam Hukum dan Hukum Pidana ,
(Bandung: Alumni, 1986), halaman 161. Kedua buku tersebut mengemukakan bahwa kebijakan/ politik berkaitan
atau mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian alternatif yang dihadapi untuk dilaksanakan atau
dijalankan. Menjalankan politik kriminal atau secara khusus menjalankan politik hukum pidana juga mengadakan
10

1
Universitas Sumatera Utara

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan
upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Tujuan akhir dari politik
kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial
yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.
Kebijakan kriminal harus ditempuh dengan pendekatan yang integral yaitu
ada keseimbangan sarana penal dan non penal. Dilihat dari aspek politik kriminal
kebijakan paling strategis melalui apa yang dinamakan dengan sarana non penal12
yang bersifat mencegah (prevensi) daripada mengobati, sedangkan kebijakan penal
mempunyai keterbatasan seperti tidak struktural fungsionalis, lebih bersifat represif,
dan harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya tinggi.
Penanggulangan kejahatan melalui sarana penal perlu ditempuh melalui 3
tahap, yaitu13:
1. Tahap formulasi/ legislatif;
2. Tahap aplikasi/ yudikatif;
3. Tahap eksekusi/ pelaksanaan pidana.
Ketiga tahapan ini dapat disebut sebagai satu kesatuan sistem dalam pencegahan dan
penanggulangan kejahatan, maksud tahap-tahap ini tidak dapat dilihat bahwa yang

pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan
daya guna.
12
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara ,

(Semarang: BP Universitas Diponegoro, 2000), halaman 33.
13
Syarifuddin Pettanase, Kebijakan Kriminal, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2010), halaman 6.

Universitas Sumatera Utara

satu lebih strategis dari tahap yang lain (dikhotomi). Barda Nawawi Arief

14

sendiri

menegaskan bahwa satu diantara ketiga tahap tersebut yang paling strategis terletak
pada tahap formulasi.
Menurut A. Mulder, Strafrechtpolitiek ialah garis kebijakan untuk
menentukan:
1. Ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;
2. Perbuatan untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
3. Cara


penyidikan,

penuntutan,

peradilan

dan

pelaksanaan

pidana

harus

dilaksanakan.
Defenisi ini bertolak dari pengertian sistem hukum pidana yang menyatakan
bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri
dari:
1. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya;
2. Suatu prosedur hukum pidana; dan

3. Suatu mekanisme pelaksanaan (pidana)15.
Salah satu bidang kehidupan manusia yang dirumuskan dalam kebijakan
pemerintah dalam berbagai peraturan perundang-undangan adalah bidang kesehatan.
Masalah kesehatan bagi bangsa Indonesia memiliki peranan yang penting bagi
kemajuan suatu bangsa sehingga bisa dikatakan kesehatan merupakan suatu indikator
bagi kemajuan suatu bangsa dan sebagai modal bagi pembangunan bangsa Indonesia.
14
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2007), halaman 78-79.
15
Barda Nawawi, Op.Cit, halaman 26.

Universitas Sumatera Utara

Di dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan bagian menimbang
menyatakan bahwa kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 melalui pembangunan nasional yang
berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; bahwa
pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan yang besar

artinya bagi pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan
sebagai modal bagi pelaksana pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat
Indonesia. Besarnya peranan kesehatan bagi masyarakat dan ternyata tidak semuanya
bisa diserahkan kepada masyarakat itu sendiri, maka pemerintah mau tidak mau harus
ikut campur dalam masalah kesehatan masyarakat.
Perlindungan dan penegakkan hukum di Indonesia dalam bidang medis masih
terlihat belum efektif. Kasus tindak pidana di bidang medis banyak terjadi dari
pelayanan yang buruk sampai pada kematian pasien. Di berbagai media saat ini baik
media elektronik maupun media cetak banyak mengekspos mengenai kasus-kasus di
bidang medis, yang merupakan tanda kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka
mengenai kesehatan dan tindakan medik, sekaligus kesadaran untuk mendapatkan
perlindungan hukum yang sama di bidang kesehatan.
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan memberikan peluang
bagi pengguna jasa atau barang untuk mengajukan gugatan/ tuntutan hukum terhadap
pelaku usaha yang telah dianggap telah melanggar hak-haknya, terlambat

Universitas Sumatera Utara

melakukan/tidak melakukan/terlambat melakukan sesuatu yang menimbulkan

kerugian bagi pengguna jasa atau barang, baik kerugian harta benda atau cedera atau
bisa juga sampai pada kematian. Hal ini berarti bahwa pasien sebagai pengguna jasa
pelayanan kesehatan dapat menuntut/menggugat rumah sakit, dokter atau tenaga
kesehatan lainnya jika ada masalah atau kerugian yang diakibatkan kelalaian medis
tersebut.
Tidak sedikit dari masyarakat tidak memahami bahwa banyak faktor lain
diluar pengawasan dan kekuasaan tenaga medis yang dapat mempengaruhi hasil
medis, misalnya daya tahan tubuh pasien, tingkat stadium dari penyakit yang diderita
oleh pasien, juga kepatuhan pasien pada saat pengobatan oleh tenaga medis. Faktorfaktor tersebut dapat mengakibatkan upaya medis menjadi tidak mempunyai arti.
Tidak salah jika kemudian dikatakan bahwa hasil suatu upaya medis penuh dengan
ketidakpastian (uncertainly) dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik16.
Begitu juga halnya dengan diagnosis (mencari dan mendefenisikan gangguan
kesehatan), pada hakekatnya merupakan bagian dari pekerjaan tenaga medis yang
paling sulit. Tidak menutup kemungkinan terjadi kesalahan (perbedaan diagnosis
klinik) diberbagai rumah sakit sekalipun dibantu oleh alat medis yang canggih guna
mempermudah pekerjaan para medis. Hasil diagnosis yang salah tidak secara
langsung menimbulkan suatu tindak pidana, terlebih dahulu harus dilakukan

16


S. Sutrisno, Tanggungjawab Dokter di Bidang Hukum Pembuktian. Segi-Segi Hukum Pembuktian,
(Semarang: Makalah dalam Seminar Malpraktek Kedokteran, 1991), halaman 22.

Universitas Sumatera Utara

penelitian

apakah

tindakan

malpraktek

tersebut

merupakan

akibat

tidak


dilaksanakannya standar prosedur diagnosis oleh tenaga medis.
Pada kenyataan sehari-hari sering kita mendengar keluhan-keluhan dari
masyarakat mengenai kualitas pelayanan di rumah sakit. Keluhan tersebut seperti
pelayanan rawat inap yang kurang nyaman, fasilitas dan perhatian tim medis terhadap
pasien tidak sebanding dengan biaya yang di bayar oleh pasien, bahkan beberapa
rumah sakit ada yang mengharuskan pembayaran di awal sebelum penanganan
pasien. Walaupun secara fakta petugas tidak bisa disalahkan apabila menanyakan
kepada pasien atau keluarga pasien dapat melakukan pembayaran tersebut, karena ada
beberapa obat yang harganya cukup mahal tidak ada disediakan oleh rumah sakit dan
harus ditebus di rumah sakit. Sebagai contoh lain apabila pasien darurat
membutuhkan banyak darah, sementara persediaan darah di rumah sakit tersebut yang
sesuai dengan darah pasien sudah habis maka pasien harus membayar atau menebus
darah tersebut di luar pelayanan rumah sakit.
Sering sekali pihak rumah sakit selalu disalahkan apabila terjadi akibat buruk
pada pasien setelah mendapat pengobatan atau tindakan medis yang berupa keadaan
penyakit yang semakin parah, adanya cedera lebih fatal atau bahkan sampai pada
kematian pasien. Keluhan pasien terhadap rumah sakit atau tenaga medis tentu tidak
semuanya benar dan bersifat subyektif, tetapi juga keluhan tersebut tidak dapat
diabaikan agar tidak menimbulkan konflik hukum yang berkepanjangan.


Universitas Sumatera Utara

Contoh kasus kebijakan formulasi tindakan medik, yaitu:
1.

Pasien menderita sakit (luka tikam pada bagian leher, dada dan perut), telah
dilakukan operasi kecil oleh dokter. Untuk perawatan selanjutnya pasien dirawat
untuk luka pada bagian dada yang ditangani oleh dokter yang lain, melalui
pemeriksaan Radiologi dokter menganjurkan pasien menjalani bedah Thorax.
Dokter konsultan dari DPD Ampi TK.I SUMUT melihat hasil Radiologi
menyimpulkan bahwa tidak ditemukan adanya indikasi pada pasien untuk
menjalani bedah Thorax.
Tuntutan:
a.

Rumah sakit telah memberikan pelayanan kesehatan secara tidak optimal
yaitu tidak memberikan hak pasien untuk mendapatkan pelayanan kedua
(second opinion vide: Penjelasan Pasal 53 Undang-Undang No. 23 Tahun
1992 dengan perubahan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009).


b.

Selain informasi medis dari seorang tenaga kesehatan yang menyatakan
therapi medis atas pasien harus dilakukan bedah Thorax.

c.

Bahwa tindakan dokter yang menyatakan therapi medis dan penentuan
diagnostik yang tidak proposional.

d.

Bahwa atas pelayanan rumah sakit dan keputusan penanganan medis dari
tenaga kesehatan tidak sesuai dengan Standar Pelayanan Kesehatan dan
standar profesi terindikasi sebagai perbuatan malpraktek.

2.

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terutama Bab VI Upaya
Kesehatan. Misalnya pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dengan

Universitas Sumatera Utara

kompetensi Kebidanan. Komplikasi dan kematian ibu maternal serta bayi baru
lahir sebagian besar terjadi pada masa disekitar persalinan. Hal ini antara lain
disebabkan pertolongan tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
kompetensi kebidanan (profesional). Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan sebesar 70,62% - 77,21%.
Pemerintah juga seharusnya memberikan pelayanan yang terbaik kepada
setiap warganya, diperlukan dukungan dan komitmen, antara lain adanya kejelasan
pelayanan yang diberikan, konsistensi aparatur birokrasi dalam memberikan
pelayanan, merelevansikan dengan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan
dengan pelayanan publik serta komitmen kuat dalam memberikan pelayanan terbaik.
Pelayanan merupakan tindakan atau perbuatan yang berupaya memberikan kebutuhan
bagi orang lain dan manfaatnya dapat dirasakan oleh orang lain yang dilayani itu17.
Konsep ini disebut sebagai konsep pelayanan prima yang sesungguhnya mirip dengan
prinsip-prinsip good governance18. Salah satu contoh peran pemerintah dalam
memberikan pelayanan terhadap kepentingan masyarakat adalah dibidang kesehatan
yang dapat diwujudkan dengan mendirikan rumah sakit dan meningkatkan sumber
daya manusia bidang medis. Rumah sakit merupakan institusi atau lembaga yaitu
rumah tempat merawat orang-orang yang sakit, tempat memberikan pelayanan
kesehatan dan meliputi berbagai masalah dengan kesehatan. Sifat dari rumah sakit

17
18

Sutopo dan Adi Suryanto, Pelayanan Prima , (Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 2003), halaman 8.
Ibid., halaman 21-22.

Universitas Sumatera Utara

yaitu bersifat publik artinya siapapun bisa menggunakan fasilitas pelayanan rumah
sakit tanpa membeda-bedakan latar belakangnya.
Pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan termasuk
perundang-undangan yang berkaitan dengan kesehatan untuk menanggulangi
masalah-masalah tersebut. Perundang-undangan kesehatan merupakan sebagian dari
hukum kesehatan dan hukum Administrasi Negara. Hal ini dapat dilihat dari aturan
yang melingkupi masalah kesehatan yang lebih banyak mengatur tugas pemerintah
dan dalam berhubungan dengan warganya. Berbagai peraturan perundang-undangan
dikeluarkan pemerintah harus dapat dijalankan dan ditegakkan apabila ada
pelanggaran. Negara dalam hal ini pemerintah bertanggungjawab untuk menjaga
aturan-aturan dalam perundang-undangan itu dijalankan. Dalam menegakkan aturanaturan tersebut digunakan sanksi hukum. Keberadaan sanksi hukum diperlukan
karena dengan ancaman hukuman diharapkan dapat dicapai paksaan rohani dan
pengaruh mendidik terhadap yang berkepentingan. Salah satu ancaman hukuman
tersebut adalah sanksi pidana.
Sekarang ini dalam berbagai peraturan perundang-undangan mencantumkan
sanksi pidana di dalam bab ketentuan pidana. Dengan adanya sanksi pidana maka
penegakkan hukumnya dilakukan oleh negara/pemerintah yang dalam hal ini
dilaksanakan pihak kepolisian dan kejaksaan. Dengan demikian dapat disimpulkan
pemerintah ikut campur dalam kehidupan masyarakat dengan berbagai alat yang ada
padanya. Salah satu alat tersebut adalah hukum pidana.

Universitas Sumatera Utara

Hukum pidana menduduki peranan penting sebagai salah satu sarana
kebijakan pemerintah. Hal ini karena hukum pidana mempunyai kedudukan yang
istimewa, dalam arti hukum pidana tidak hanya terdapat dalam undang-undang
hukum pidana saja namun juga terdapat di dalam berbagai peraturan perundangundangan lain di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) seperti UU
Kesehatan, UU Praktik Kedokteran, dan sebagainya. Dalam hal semacam ini
kedudukan hukum pidana bersifat menunjang penegakkan norma yang berada di
bidang hukum lain. Bahkan dalam hal-hal tertentu peranannya diharapkan lebih
fungsional daripada bersifat subsidair mengingat situasi perekonomian yang kurang
menguntungkan19. Kegunaan sanksi pidana dinilai dari sudut apakah dengan
mengenakan sanksi tersebut dapat diciptakan kondisi yang lebih baik. Dalam
perkembangannya terjadi perubahan terhadap fungsi hukum pidana mengingat
adanya pembangunan di segala bidang kehidupan dalam rangka mensejahterakan
masyarakat. Hukum pidana digunakan sebagai sarana oleh pemerintah untuk
meningkatkan rasa tanggungawab negara/ pemerintah dalam rangka mengelola
kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks.
Berdasarkan uraian tersebut, maka tesis ini akan mengkaji permasalahan
dengan mengambil judul “Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanganan
Tindak Pidana Di Bidang Tindakan Medik”.

19

Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang . Naskah Pidato Pengukuhan,
(Semarang: Universitas Diponegoro, 1990), halaman 148.

Universitas Sumatera Utara

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan
permasalahan penting untuk dikaji di dalam penelitian ini, yaitu:
1.

Bagaimana tindakan medik dikategorikan sebagai tindak pidana berdasarkan
peraturan perundang-undangan?

2.

Bagaimana kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanganan tindak pidana
di bidang tindakan medik?

3.

Bagaimana perlindungan hukum pidana terhadap korban tindak pidana di bidang
tindakan medik?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1.

Untuk mengetahui tindakan medik yang dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2.

Untuk mengetahui kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanganan tindak
pidana di bidang tindakan medik yang dirumuskan dalam perundang-undangan
yang terdiri dari masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan
tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan masalah penentuan sanksi apa
yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar aturan.

3.

Untuk mengetahui perlindungan hukum pidana terhadap korban tindak pidana di
bidang tindakan medik.

Universitas Sumatera Utara

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat yang berguna bagi semua
pihak. Adapun manfaat penelitian ini secara teoritis dan praktis adalah:
1.

Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah

bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum pidana, khususnya
pengetahuan teoritis tentang tindak pidana di bidang tindakan medik, dan pengkajian
terhadap beberapa peraturan hukum pidana yang berlaku saat ini berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap tindak pidana di bidang tindakan medik.
2.

Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini yang berfokus kepada kebijakan

perlindungan hukum ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dan
sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan solusi konkrit bagi para
legislator dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap tindak pidana di
bidang medis di Indonesia. Dengan pendekatan kebijakan hukum pidana yang tetap
memperhatikan pendekatan aspek lainnya dalam kesatuan pendekatan sistemik/
integral, diharapkan dapat menghasilkan suatu kebijakan perlindungan hukum yang
benar-benar dapat memberikan perlindungan terhadap tindak pidana di bidang medis
ini, khususnya terhadap pembaharuan hukum pidana di Indonesia di masa yang akan
datang.

Universitas Sumatera Utara

E. Keaslian Penelitian
Guna menghindari karya ilmiah yang mengandung unsur plagiat terhadap
karya ilmiah milik orang lain, sebelumnya dilakukan penelusuran di perpustakaan
besar dan di perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.
Hasil penelusuran ditemukan beberapa judul dan permasalahan tesis berikut ini:
1.

Tesis atas nama Jan Bosarmen Sinaga, dengan judul “Analisis Putusan Sanksi
Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan (Studi Kasus di Pengadilan
Negeri Tulungagung)”. Fokus masalah adalah pertanggungjawaban tindak pidana
malpraktek berdasarkan KUHP dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
belum cukup untuk mengatur mengenai tindak pidana malpraktek sehingga
pengaturan mengenai tindak pidana malpraktek harus dibentuk baik dari segi
kualifikasi perbuatan malpraktek, akibat dari perbuatan malpraktek dan
pertanggungjawaban pelaku tindak pidana malpraktek.

2.

Tesis atas nama Supriono Tarigan, dengan judul “Tindakan Aborsi Dengan
Alasan Indikasi Medis Karena Terjadinya Kehamilan Akibat Perkosaan”. Fokus
masalahnya adalah ketentuan pidana aborsi menurut KUHP dan UU No. 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan, bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah
kepada korban perkosaan, serta kehamilan akibat perkosaan bisa dikatakan
sebagai alasan indikasi medis.

3.

Tesis

atas

nama

Natalita

Solagracia

Situmorang,

dengan

judul

“Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan
Kesehatan

Menurut

Undang-Undang

Perlindungan

Konsumen”.

Fokus

Universitas Sumatera Utara

masalahnya adalah tanggung jawab rumah sakit terhadap pasien dalam pelayanan
jasa kesehatan di rumah sakit dan alternatif penyelesaian sengketa antara pasien
(konsumen) dengan pihak rumah sakit.
Judul pada penelitian ini adalah “Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam
Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Tindakan Medik”, dan permasalahan yang
akan menjadi fokus kajian di dalam penelitian ini adalah:
1.

Bagaimana tindakan medik dikategorikan sebagai tindak pidana berdasarkan
peraturan perundang-undangan?

2.

Bagaimana kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanganan tindak pidana
di bidang tindakan medik?

3.

Bagaimana perlindungan hukum pidana terhadap korban tindak pidana di bidang
tindakan medik?
Dari perbandingan judul dan fokus kajian di dalam penelitian ini dengan

penelitian sebelumnya jelas menunjukkan perbedaan yang signifikan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa penelitian ini adlah asli, sebab terhadap judul dan rumusan masalah
di dalam penelitian ini tidak memiliki kemiripan dengan judul dan permasalahan
penelitian sebelumnya, sehingga penelitian ini dapat dikatakan tidak mengandung
unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsional
1.

Kerangka Teori
Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan,

yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki

Universitas Sumatera Utara

menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas. Dalam banyak literatur, beberapa
ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun
sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataan), juga simbolis20. Kerangka teori
disusun sebagai landasan berpikir yang menunjukkan dari sudut mana masalah yang
telah dipilih akan disoroti21.
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat
jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan-landasan
filosofisnya yang tertinggi22. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butirbutir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi
bahan pendapat yang menjadi perbandingan, pegangan teoritis23. Untuk itu perlu
disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari
mana masalah tersebut diamati24.
Dalam penelitian ini terdapat beberapa teori yang relevan digunakan yaitu
teori perlindungan hukum dan teori keadilan. Namun yang menjadi grand theory
adalah teori perlindungan hukum.
a.

Teori perlindungan hukum
Awal mulanya dari teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum

alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid

20

HR. Otje Salman S dan Anton F Susanto, Teori Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2005), halaman 21.
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), halaman 93.
22
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), halaman 254.
23
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), halaman 80.
24
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2003),
halaman 39.
21

Universitas Sumatera Utara

Plato) dan Zeno. Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu
bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan
moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan
moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan
manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral25.
Menurut Von Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah
cerminan dari undang-undang abadi (lex naturalis). Jauh sebelum lahirnya aliran
sejarah hukum, ternyata aliran hukum alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu
pengetahuan, tetapi juga diterima sebagai prinsip-prinsip dasar dalam perundangundangan. Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan, merupakan
hal yang esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum
positif. Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya hakikat kebenaran dan
keadilan merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori. Berbagai anggapan
dan pendapat para filosof hukum bermunculan dari masa ke masa. Pada abad ke-17,
substansi hukum alam telah menempatkan suatu asas yang bersifat universal yang
bisa disebut HAM26.
Pemikiran yang eksplisit tentang hukum sebagai pelindung hak-hak asasi dan
kebebasan warganya, dikemukakan oleh Immanuel Kant. Bagi Kant, manusia
merupakan mahluk berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas menegakkan
hak-hak dan kebebasan warganya. Kemakmuran dan kebahagiaan rakyat merupakan

25
26

B. Arief Sidharta, Hukum dan Logika , (Bandung: Alumni, 2000), halaman 35.
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), halaman 116.

Universitas Sumatera Utara

tujuan negara dan hukum, oleh karena itu, hak-hak dasar itu, tidak boleh dihalangi
oleh negara27.
Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan
perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak
yang diberikan oleh hukum28. Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat
bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak
sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif antisipatif29. Pendapat
Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah
dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.
Teori perlindungan hukum merupakan teori yang berkaitan dengan pemberian
pelayanan kepada masyarakat. Roscou Pound mengemukakan hukum merupakan alat
rekayasa sosial (law is a tool of social enginering ). Kepentingan manusia adalah
suatu tuntutan yang dilindungi dan dipenuhi manusia dalam bidang hukum. Hukum
sebagai perlindungan kepentingan manusia, berbeda dengan norma-norma yang lain,
karena hukum itu berisi perintah dan/ atau larangan, serta membagi hak dan
kewajiban.

27

Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Ibid, halaman 54.
29
Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rusdakarya, 1993),
halaman 118.
28

Universitas Sumatera Utara

Roscou Pound membagi kepentingan manusia yang dilindungi hukum
menjadi 3 (tiga) macam, meliputi30:
a. Public interest (kepentingan umum);
b. Social interest (kepentingan masyarakat);
c. Privat interest (kepentingan individu)31.
Kepentingan umum (public interest), merupakan kepentingan yang utama,
meliputi32:
a. Kepentingan dari negara sebagai badan hukum dalam mempertahankan
kepribadian dan substansinya;
b. Kepentingan-kepentingan dari negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
Ada 6 (enam) kepentingan masyarakat (social interest) yang dilindungi oleh
hukum, meliputi33:
a. Kepentingan masyarakat bagi keselamatan umum, seperti:
a) Keamanan;
b) Kesehatan;
c) Kesejahteraan;
d) Jaminan bagi transaksi-transaksi dan pendapatan.
b. Kepentingan bagi lembaga-lembaga sosial, yang meliputi perlindungan
dalam bidang:
a) Perkawinan;
b) Politik, seperti kebebasan berbicara;
c) Ekonomi.
c. Kepentingan masyarakat terhadap kerusakan moral, seperti:
a) Korupsi;
b) Perjudian;
c) Pengumpatan terhadap Tuhan;
d) Tidak sahnya transaksi-transaksi yang bertentangan dengan hal moral
yang baik;
30

Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada PenelitianTesis dan Disertasi,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2013), halaman 266.
31
Lili Rasjidi, Loc. Cit.
32
Ibid.
33
Ibid, halaman 267.

Universitas Sumatera Utara

e) Peraturan yang membatasi tindakan-tindakan anggota trust.
d. Kepentingan masyarakat dalam pemeliharaan sumber sosial, seperti
menolak perlindungan hukum bagi penyalahgunaan hak (abuse of right);
e. Kepentingan masyarakat dalam kemajuan umum, seperti perlindungan
pada:
a) Hak milik, hak perdagangan bebas dan monopoli;
b) Kemerdekaan industri;
c) Penemuan baru.
f. Kepentingan masyarakat dalam kehidupan manusia secara individual,
seperti perlindungan terhadap:
a) Kehidupan yang layak;
b) Kemerdekaan berbicara;
c) Memilih jabatan.
Ada 3 (tiga) macam kepentingan individu (privat interest) yang perlu
mendapat perlindungan hukum. Ketiga macam perlindungan itu meliputi34:
a. Kepentingan kepribadian (interest of personality), meliputi perlindungan
terhadap:
a) Integritas (keutuhan) fisik;
b) Kemerdekaan kehendak;
c) Reputasi (nama baik);
d) Terjaminnya rahasia-rahasia pribadi;
e) Kemerdekaan untuk menjalankan agama yang dianutnya;
f) Kemerdekaan mengemukakan pendapat.
b. Kepentingan dalam hubungan rumah tangga (interest in domestic),
meliputi:
a) Perlindungan bagi perkawinan;
b) Tuntutan bagi pemeliharaan keluarga;
c) Hubungan hukum antara orang tua dan anak.
c. Kepentingan substansi (interest of substance), meliputi perlindungan
terhadap:
a) Harta;
b) Kemerdekaan dalam menyusun testamen;
c) Kemerdekaan industri dan kontrak; dan
d) Pengharapan legal akan keuntungan-keuntungan yang diperoleh.
Manfaat adanya klasifikasi kepentingan hukum menjadi 3 (tiga) macam di
atas, adalah karena35:
34

Ibid, halaman 268.

Universitas Sumatera Utara

a. Hukum sebagai instrumen kepentingan sosial;
b. Membantu premis-premis yang tidak terang menjadi jelas;
c. Membuat legislator (pembuat undang-undang) menjadi sadar akan prinsip-prinsip
dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan yang khusus.
Sudikno Mertokusumo mengemukakan tidak hanya tentang tujuan hukum,
tetapi juga tentang fungsi hukum dan perlindungan hukum. Dia berpendapat bahwa
dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai
sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan
tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan
tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan
terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan
kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur
cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum36.
b. Teori keadilan
Menurut Subekti, hukum mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya
ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Hukum menurut
Subekti, melayani tujuan negara tersebut dengan menyelenggarakan “keadilan” dan
“ketertiban”, syarat-syarat yang pokok untuk mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan. Ditegaskan selanjutnya, bahwa keadilan itu kiranya dapat digambarkan

35
36

Ibid.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar , (Yogyakarta: Liberti, 1999), halaman 71.

Universitas Sumatera Utara

sebagai suatu keadaan keseimbangan yang membawa ketentraman di dalam hati
orang, dan jika dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan37.
L.J Van Apeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot distudie van het
naderlandsche recht” menegaskan bahwa tujuan hukum ialah pengaturan kehidupan

masyarakat secara adil dan damai dengan mengadakan keseimbangan antara hak dan
kewajibannya38.
Kepentingan perseorangan selalu bertentangan dengan kepentingan golongangolongan manusia. Pertentangan kepentingan ini dapat menjadi pertikaian bahkan
dapat menjelma menjadi peperangan, seandainya hukum tidak bertindak sebagai
perantara untuk mempertahankan perdamaian.
Adapun

hukum

mempertahankan

perdamaian

dengan

menimbang

kepentingan yang bertentangan itu secara teliti dan mengadakan keseimbangan di
antaranya, karena hukum hanya dapat mencapai tujuan, jika ia menuju peraturan yang
adil, artinya peraturan pada mana terdapat keseimbangan antara kepentingankepentingan yang dilindungi, pada setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang
menjadi bagiannya. Keadilan tidak dipandang sama arti dengan persamarataan.
Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama39.
Menurut Aristoteles dalam tulisannya “Rhetorica ”, keadilan dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu40:

37

C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia , (Jakarta: Balai Pustaka. 1989),
halaman 41.
38
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), halaman 32.
39
C.S.T Kansil, Ibid, halaman 42.
40
K. Bertens, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia , (Yogyakarta: Kanisius, 2000), halaman 49.

Universitas Sumatera Utara

1. Keadilan legal atau konvensional
Keadilan legal yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku41.
2. Keadilan komutatif
Keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan yang
lain atau antara warga negara yang satu dengan warga negara lainnya.
Keadilan komutatif menyangkut hubungan horizontal antara warga yang
satu dengan warga lainnya.
3. Keadilan distributif
Aristoteles membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif
(berlaku dalam hukum publik) dan keadilan korektif (berlaku dalam hukum
perdata dan pidana). Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting
adalah bahwa imbalan yang sama rata diberikan atas pencapaian keadilan
yang sama rata42.
2.

Kerangka Konsepsi
Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus

yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti
dan/ atau diuraikan dalam karya ilmiah43. Pentingnya defenisi operasional adalah
untuk menghindarkan pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan
arahan dalam penelitian, maka dengan ini perlu untuk memberikan beberapa konsep
yang berhubungan dengan judul dalam penelitian ini, yaitu:
1.

Kebijakan adalah arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh
seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu
perubahan44.

2.

Pelayanan medik adalah upaya kesehatan perorangan meliputi pelayanan
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diberikan kepada pasien oleh
41

Haris Setyawan, Keadilan menurut Aristoteles, http://haris-setyawan.blogspot.com/2012/04/keadilanmenurut-aristoteles.html?m=1 diakses pada tanggal 28 Oktober 2014.
42
K. Bertens, Ibid, halaman 50.
43
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), halaman 79.
44
Kamus hukum, Op.Cit, halaman 191.

Universitas Sumatera Utara

tenaga medis sesuai dengan standartd tindakan medik dengan memanfaatkan
sumber daya dan fasilitas secara optimal45.
3.

Tindakan medik adalah tindakan professional oleh tenaga medis terhadap pasien
dengan tujuan memelihara, meningkatkan, memulihkan kesehatan, atau
menghilangkan atau mengurangi penderitaan46.

4.

Rumah sakit adalah suatu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan yang
menyediakan rawat inap dan rawat jalan yang memberikan pelayanan kesehatan
jangka pendek dan jangka panjang yang terdiri dari observasi, diagnostik,
terapeutik dan rehabilitatif untuk orang-orang yang menderitakan sakit, cidera
dan melahirkan47.

5.

Kebijakan formulasi adalah bagian dari kebijakan publik yang merupakan tahap
paling krusial karena implementasinya dan evaluasi kebijakan hanya dapat
dilaksanakan apabila tahap formulasi telah selesai48.

6.

Kebijakan formulasi adalah bagian dari kebijakan publik yang merupakan tahap
paling krusial karena implementasinya dan evaluasi kebijakan hanya dapat
dilaksanakan apabila tahap formulasi telah selesai49.

45
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1045/MENKES/PER/XI/2006 Tentang
Pedoman Organisasi Rumah Sakit Di Lingkungan Departemen Kesehatan.
46
http://handarsubhandi.blogspot.com/2014/09/pengertian-tindakan-medik.html, diakses tanggal 14 April
2015.
47
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1045/MENKES/PER/XI/2006 Tentang
Pedoman Organisasi Rumah Sakit Di Lingkungan Departemen Kesehatan.
48
Kamus hukum, Op.Cit, halaman 191.
49
Kamus hukum, Op.Cit, halaman 191.

Universitas Sumatera Utara

7.

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran
terhadap kepentingan umum, dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana
yang merupakan suatu penderitaan50.

8.

Medis adalah tenaga ahli dalam bidang kesehatan dengan fungsi utamanya
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien dengan mutu sebaik-baiknya
dengan menggunakan tata cara dan teknik berdasarkan ilmu pengetahuan dan
etik yang berlaku serta dapat dipertanggungjawabkan51.

9.

Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis52.

10. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung
maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi53.
11. Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti yang sangat luas dan terikat oleh
suatu kebudayaan yang mereka nilai sama54.
12. Peraturan adalah keputusan yang memberikan penyelesaian sesuatu hal secara
umum, abstrak55.

50

Sudarsono, Op.Cit, halaman 170.
Ibid, halaman 270.
52
Pasal 1 angka 1 UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
53
Pasal 1 angka 10 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
54
Sudarsono, Op.Cit, halaman 268.
55
Kamus Hukum, Op.cit, halaman 354.
51

Universitas Sumatera Utara

13. Perundang-undangan adalah proses yang membuat suatu ketentuan menjadi
ketentuan hukum yang berlaku umum yang dilakukan oleh penguasa masyarakat
yang berwenang untuk itu dan dilakukan melalui prosedur yang ditentukan56.
14. Pemerintahan adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam
menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara sendiri57.
15. Tindak pidana adalah setiap perbuatan yang diancam hukuman sebagai kejahatan
atau pelanggaran baik yang disebut dalam KUHP maupun peraturan perundangundangan lainnya58.
G. Metode Penelitian
1.

Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif yaitu penelitian yang mengacu pada teori-teori dan doktrin-doktrin yang
dikemukakan berbagai para ahli. Asas-asas atau prinsip-prinsip, baik yang masih
bersifat abstrak maupun yang sudah dinormatifkan dalam perundang-undangan. Juga
terhadap norma-norma hukum, kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebutnya sebagai
penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis baik

56

Ibid, halaman 385.
Ibid, halaman 316.
58
Ibid, halaman 493.
57

Universitas Sumatera Utara

hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is
decided by the judge through judicial process59.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu selain menggambarkan
(mendeskripsikan) fakta-fakta di lapangan juga menganalisisnya melalui pendekatan
perundang-undangan (statute aproach)60. Sifat penelitian deskriptif analitis dipakai
untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang berlangsung atau
menggambarkan data objektif kemudian dianalisis berdasarkan teori-teori, doktrindoktrin, asas-asas atau prinsip-prinsip kebijakan hukum pidana.
2.

Sumber Bahan Penelitian Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder61. Data sekunder pada penelitian dapat dibedakan menjadi bahan-bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier62. Dalam penelitian
ini, bersumber dari data sekunder sebagai berikut63:
a.

Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang
mengikat dengan permasalahan dan tujuan penelitian antara lain: UndangUndang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang No.

59

Ronald Dworkin dalam Bismar Nasution, Metode Penelitan Hukum Normatif dan Perbandingan
Hukum, Makalah, Disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum
pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, halaman 1.
60
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), halaman
96.
61
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2001), halaman 23-24.
62
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1990), halaman 12.
63
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit., halaman 13.

Universitas Sumatera Utara

36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-Undang No. 44 Tahun 2004
Tentang Rumah Sakit.
b.

Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan
pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer yang terdiri
dari: buku-buku, jurnal, majalah dan artikel.

c.

Bahan hukum tertier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus hukum, kamus hukum
kesehatan, berbagai masalah hukum yang berkaitan dengan dokumen elektronik
dan hukum administrasi negara.

3.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library

research) dan studi dokumen. Studi kepustakaan dilakukan di perpustakaan dengan
mengumpulkan berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, artikel-artikel atau
tulisan, makalah dan jurnal ilmiah, dan segala bahan tertulis yang berkaitan dengan
kebijakan hukum pidana dan bahan-bahan hukum tertulis tentang penanganan tindak
pidana di bidang medis.
4.

Analisis Data
Data yang berhasil dikumpulakan akan diuraikan secara sistematis. Data yang

diperoleh tersebut kemudian dianalisa secara normatif dan kualitatif dengan
penguraian secara deskriptif analitis dan prespektif dalam arti menggambarkan data
apa adanya dan memberikan pemikiran-pemikiran untuk masa yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara

Hasil penelitian ini akan dikemukakan secara deduktif (penalaran logika dari umum
ke khusus)64 dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan
antara berbagai jenis data sehingga permasalahan dapat dijawab.

64

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Peneltian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), halaman 109.

Universitas Sumatera Utara