Perilaku Pemilih Masyarakat Batak Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Rantau Selatan Kabupaten Labuhan Batu)

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah
Prinsip dasar demokrasi adalah setiap orang dapat ikut serta dalam proses
pembuatan keputusan politik. Dalam suatu sistem politik yang demokratis para
pemimpin dipilih langsung oleh rakyat, para politisi atau pejabat publik sebagai
wakil rakyat akan berbuat maksimal sesuai dengan aspirasi masyarakat. Hal inilah
yang menjadi dasar diberlakukannya pemilihan umum secara langsung di Indonesia.
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah, pemilihan
kepala daerah (bupati, walikota, gubernur) dipilih langsung oleh rakyat. Sebelumnya
pemilihan gubernur dan wakil gubernur dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Melalui pemilihan secara langsung, gubernur harus dapat
mempertanggungjawabkan secara langsung kepada rakyat. Pemilihan umum
gubernur dan wakil gubernur secara langsung lebih accountable dibandingkan
dengan sistem pemilihan umum sebelumnya. Pada system pemilihan umum gubernur
dan wakil gubernur sekarang ini rakyat tidak harus menitipkan suaranya melalui
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetapi rakyat rakyat dapat menentukan pilihannya
berdasarkan kriteria yang jelas dan transparan.
Pilkada langsung berarti mengembalikan “hak-hak dasar’ masyarakat di
daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen politik

lokal secara demokratis. Dalam konteks itu, negara memberikan kesempatan kepada

1
Universitas Sumatera Utara

masyarakat di daerah untuk menentukan sendiri pemimpin mereka, serta menentukan
sendiri segala bentuk kebijaksanaan yang menyangkut harkat hidup rakyat daerah.1
Dari uraian diatas penulis menyadari betapa pentingnya peran Pemilihan
Kepala Daerah sebagai sarana aspirasi politik dan partisipasi politik masyarakat.
Berbicara tentang Pemilihan Kepala Daerah tentu tidak lepas dari perilaku pemilih
itu sendiri, hal inilah yang menjadi alasan penulis memilih perilaku pemilih sebagai
tema dalam penelitian ini.
Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara merupakan salah satu
perwujudan pelaksanaan UU No. 32 tahun 2004. Hal ini sejalan dengan prinsip
utama demokrasi dimana setiap orang memiliki hak untuk menyuarakan aspirasi
politiknya yaitu memilih secara langsung kepala daerahnya. Sebagai provinsi dengan
jumlah penduduk terbanyak di Pulau Sumatera, pelaksanaan dan hasil dari Pemilihan
Umum Kepala Daerah Sumatera Utara selalu menyedot perhatian masyarakat
Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang hampir mencapai 13.000.000 jiwa,
Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara merupakan sebuah momen politik

penting yang terjadi di Indonesia, khususnya Pulau Sumatera. Demografi penduduk
Sumatera Utara yang heterogen juga menjadi salah satu alasan kenapa Pemilihan
Umum Kepala Daerah Sumatera Utara menarik untuk diteliti.
Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara diikuti oleh 5 (lima)
pasangan calon Gubernur dan Wakil gubernur. Adapun kelima pasangan tersebut
adalah pasangan calon dengan nomor urut 1, H. Gus Irawan Pasaribu, SE Ak, MM –
Ir. H. Soekirman. Pasangan calon dengan nomor urut 2 yaitu Drs. Effendi M.S.
Simbolon-Drs. Djumiran Abdi. Pasangan calon dengan nomor urut 3, Dr. H.
1

Joko J. Prihatmoko. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 21

2
Universitas Sumatera Utara

Chairuman Harahap, SH, MH–H. Fadly Nurzal, S.Ag. Pasangan calon dengan nomor
urut 4, Drs. H. Amry Tambunan–Dr. Rustam Effendy Nainggolan. Dan yang terakhir
pasangan calon dengan nomor urut 5 yaitu H. Gatot Pujo Nugroho, ST–Ir. H. T. Erry
Nuradi.
Dari pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara, pasangan

Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur H. Gatot Pujo Nugroho, ST–Ir. H. T.
Erry Nuradi yang juga merupakan incumbent berhasil memenangkan suara terbanyak
dengan perolehan suara sebesar 1.604.337 atau 33% dari total suara sah. Kemudian
pada urutan kedua diduduki pasangan calon Drs. Effendi M.S. Simbolon-Drs.
Djumiran Abdi dengan perolehan suara 1.183.187 atau 24,34% dari total suara sah.
Pada urutan ketiga adalah pasangan calon H. Gus Irawan Pasaribu, SE Ak, MM–Ir.
H. Soekirman dengan perolehan suara sebanyak 1.027.433 atau 21,13% dari total
suara sah. Selanjutnya, pasangan Drs. H. Amry Tambunan–Dr. Rustam Effendy
Nainggolan memperoleh suara sebanyak 594.414 atau 12,23% dari total suara sah.
Dan yang terakhir pasangan calon Dr. H. Chairuman Harahap, SH, MH–H. Fadly
Nurzal, S.Ag dengan perolehan suara sebanyak 452.096 atau 9,30% dari total suara
sah.
Kabupaten Labuhan Batu adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi
Sumatera Utara. Ibu kota kabupaten ini terletak di Rantau Parapat. Kabupaten ini
terdiri dari 9 (Sembilan) kecamatan, Rantau Selatan adalah satunya. Rantau Selatan
merupakan kecamatan dengan mayoritas penduduk suku Batak. Dari keseluruhan
jumlah penduduk, sebesar 59,66 % atau 34.572 jiwa merupakan penduduk bersuku

3
Universitas Sumatera Utara


Batak. Pada tabel 1.1 berikut ini adalah persentase penduduk berdasarkan suku di
Kecamatan Rantau Selatan.
Tabel 1.1 Persentase Penduduk Berdasarkan Suku Di Kecamatan Rantau Selatan
No.

Suku Bangsa

Persentase (%)

1

Melayu

1,82

2

Batak


59,66

3

Minang

4

Jawa

34,18

5

Aceh

0,16

0,6


6
Lainnya
Sumber : BPS Kabupaten Labuhan Batu

3,58

Sebagai salah satu Kecamatan yang berada dalam wilayah administratif
Provinsi Sumatera Utara, maka Kecamatan Rantau Selatan ikut melaksanakan
Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara Tahun 2013. Dalam pelaksanaan
Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara di Kecamatan Rantau Selatan, ada
sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati, yaitu kemenangan pasangan calon
H. Gatot Pujo Nugroho, ST–Ir. H. T. Erry Nuradi. Dimana pasangan calon H. Gatot
Pujo Nugroho, ST–Ir. H. T. Erry Nuradi yang tidak berafiliasi secara langsung
dengan suku Batak justru berhasil memenangkan perolehan suara terbanyak di
Kecamatan Rantau Selatan yang notabene mayoritas penduduknya bersuku Batak.
Padahal jika dilihat dari seluruh pasangan calon yang ada, terdapat beberapa
pasangan calon yang berasal dari suku Batak. Hal inilah yang menurut penulis
menarik untuk diteliti lebih lanjut.

4

Universitas Sumatera Utara

Dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara Tahun
2013 di Kecamatan Rantau Selatan, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang
ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum adalah 45.100 jiwa. Dari keseluruhan DPT
tersebut, hanya 22.588 orang yang menggunakan hak pilihnya, sedangkan 22.512
orang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah
Sumatera Utara Tahun 2013 di Kecamatan Rantau Selatan. Adapun pasangan calon
gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak adalah pasangan
calon dengan nomor urut 5 yaitu H. Gatot Pujo Nugroho, ST–Ir. H. T. Erry Nuradi
yang memperoleh 8.037 suara. Selanjutnya pasangan calon dengan nomor urut 1
yaitu H. Gus Irawan Pasaribu, SE Ak, MM–Ir. H. Soekirman berada di urutan kedua
dengan perolehan suara sebanyak 6.734 suara. Selanjutnya di urutan ketiga
terbanyak adalah pasangan calon dengan nomor urut 3 yaitu pasangan calon Dr. H.
Chairuman Harahap, SH, MH–H. Fadly Nurzal, S.Ag. dengan perolehan suara
sebanyak 4.195 suara. Kemudian diikuti oleh pasangan dengan nomor urut 2 yaitu
pasangan calon Drs. Effendi M.S. Simbolon- Drs. Djumiran Abdi dengan perolehan
2.112 suara dan yang terakhir adalah pasangan dengan nomor urut 4 yaitu pasangan
calon Drs. H. Amry Tambunan–Dr. Rustam Effendy Nainggolan dengan perolehan
1.178 suara.

Adapun fenomena yang terjadi di Kecamatan Rantau Selatan adalah bentuk
dari pola pemberian suara dalam pemilihan umum. Selanjutnya, pola pemberian
suara dalam pemilihan umum dapat dianalisis dengan pendekatan perilaku pemilih.
Perilaku pemilih menurut Surbakti adalah: “Aktivitas pemberian suara oleh individu
yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau
tidak memilih (to vote or not to vote) didalam suatu pemilihan umum (Pilkada)
5
Universitas Sumatera Utara

secara langsung-pen. Bila voters memutuskan untuk memilih (to vote) maka voters
akan memilih atau mendukung kandidat tertentu”.2
Dari uraian yang telah dipaparkan diatas, maka penulis tertarik untuk
meneliti bagaimana perilaku pemilih masyarakat suku Batak di Kecamatan Rantau
Selatan. Adapun judul dari penelitian ini adalah “Perilaku Pemilih Masyarakat
Batak Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013 (Studi Kasus: Perilaku
Pemilih Masyarakat Batak Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013 di
Kecamatan Rantau Selatan, Kabupaten Labuhan Batu).”

I.2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa

masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan
perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang
menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau
dicari pemecahannya. Atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan
pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan
diteliti didasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasan masalah.
Dari latar belakang penelitian tersebut, maka yang jadi rumusan masalah
adalah: “Bagaimana perilaku pemilih masyarakat Batak di Kecamatan Rantau
Selatan Kabupaten Labuhan Batu dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013?”

2

Ramlan Surbakti, 1997. Partai, Pemilih dan Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 170

6
Universitas Sumatera Utara

I.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu adalah untuk mengetahui faktor-faktor
apa saja yang paling mempengaruhi perilaku pemilih masyarakat Batak di

Kecamatan Rantau Selatan Kabupaten Labuhan Batu Pada Pemilihan Gubernur
Sumatera Utara 2013.

I.4 Manfaat Penelitian
a. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk mengasah kemampuan penulis
dalam meneliti fenomena politik yang terjadi, sehingga menambah
pengetahuan penulis mengenai masalah yang diteliti.
b. Secara teoritis hasil penelitian ini sekiranya dapat bermanfaat menambah
khazanah kepustakaan politik di Indonesia khususnya Sumatera Utara.
c. Sebagai rujukan bagi mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP USU.

I.5 Kerangka Teori
Bagian ini merupakan unsur yang paling penting di dalam penelitian, karena
pada bagian ini penelitian mencoba menjelaskan fenomena yang sedang diamati
dengan menggunakan teori-teori yang relevan dengan penelitiannya. Teori menurut
Masri Singaribun dan Sofian Efendi dalam Buku Metode Penelitian Sosial
mengatakan, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan
preposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara
merumuskan hubungan antar konsep.3


3

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1998. Metode Penelitian Sosial, Jakarta : LP3ES, hal 37

7
Universitas Sumatera Utara

I.5.1 Partisipasi Politik
Tingkat partisispasi politik adalah faktor yang menentukan apakah pemilu
ataupun Pilkada yang berlangsung berhasil atau tidak, semakin tinggi tingkat
partisipasi pemilih, maka tingkat keberhasilan pemilu ataupun Pilkada semakin
tinggi.
Dalam analisa Modern, partisipasi politik merupakan suatu masalah yang
penting dan banyak dipelajari terutama dalam hubungannya dengan negara-negara
berkembang. Pada awalnya studi mengenai pertisipasi politik hanya memfokuskan
diri pada partai politik sebagai pelaku utama, akan tetapi dengan berkembangnya
demokrasi, banyak muncul kelompok masyarakat yang juga ingin berpartisipasi
dalam bidang politik khususnya dalam hal pengambilan keputusan-keputusan
mengenai kebijakan umum.4
Secara umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan
seseorang atau kelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik.
Herbert McClosky berpendapat bahwa partisipasi politik adalah kegiatankegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian
dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam
proses pembentukan kebijakan umum.5
Berikut ini dikemukakan sejumlah “rambu-rambu” partisipasi politik:6
1. Partisipasi politik berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara
biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan

4

Miriam Budiardjo, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, hal 367
Ibid. hal 367
6
Ramlan Surbakti, Op.Cit., hal 141
5

8
Universitas Sumatera Utara

orientasi. Karena sikap dan orientasi tidak selalu termanifestasikan dalam
perilakunya.
2. Kegiatan tersebut diarahkan untuk mempengaruhi perilaku selaku pembuat
dan pelaksana keputusan politik. Seperti mengajukan alternative kebijakan
umum, dan kegiatan mendukung atau menentang keputusan politik yang
dibuat pemerintah.
3. Kegiatan yang berhasil (efektif) maupun yang gagal mempengaruhi
pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik.
4. Kegiatan mempengaruhi kebijakan pemerintah secara langsung yaitu
mempengaruhi pemerintah dengan menggunakan perantara yang dapat
meyakinkan pemerintah.
5. Mempengaruhi pemerintah melalui prosedur yang wajar dan tanpa kekerasan
seperti ikut memilih dalam pemilu, mengajukan petisi, bertatap muka, dan
menulis surat atau dengan prosedur yang tidak wajar seperti kekerasan,
demonstrasi, mogok, kudeta, revolusi, dll.
Di negara-negara demokrasi umumnya dianggap bahwa lebih banyak
partisipasi masyarakat, lebih baik. Dalam alam pikiran ini, tingginya tingkat
partisipasi menunjukkan bahwa warga mengikuti dan memahami masalah politik dan
ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu, tingginya tingkat partisipasi juga
menunjukan bahwa rezim yang sedang berkuasa memiliki keabsahan yang tinggi.
Dan sebaliknya, rendahnya partisipasi politik di suatu Negara dianggap kurang baik
karena menunjukkan rendahnya perhatian warga terhadap masalah politik, selain itu
rendahnya partisipasi politik juga menunjukkan lemahnya legitimasi dari enzim yang
sedang berkuasa.
9
Universitas Sumatera Utara

Partisispasi sebagai suatu bentuk kegiatan dibedakan atas dua bagian, yaitu:7
1. Partisipasi aktif, yaitu kegiatan yang berorientasi pada output dan input
politik. Yang termasuk dalam partisipasi aktif adalah, mengajukan usul
mengenai suatu kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan
perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih
pemimpin pemerintah.
2. Partisipasi pasif, yaitu kegiatan hanya berorentasi pada output politik. Pada
masyarakat yang termasuk kedalam jenis partisipasi ini hanya menuruti
segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tanpa
mengajukan kritik dan usulan perbaikan.
Kemudian terdapat masyarakat yang tidak termasuk kedalam kedua kategori
ini, yaitu masyarakat yang menganggap telah terjadinya penyimpangan
sistem politik dari apa yang telah mereka cita-citakan. Kelompok tersebut
disebut apatis (golput).
Kategori partisipasi politik menurut Milbrath adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan Gladiator meliputi:
a. Memegang jabatan publik atau partai
b. Menjadi calon penjabat
c. Menghimpun dana politik
d. Menjadi anggota aktif suatu partai
e. Menyisihkan waktu untuk kampanye politik.
2. Kegiatan transisi meliputi:
a. Mengikuti rapat atau pawai politik
7

Ibid. hal 143

10
Universitas Sumatera Utara

b. Memberi dukungan partai atau calon
c. Jumpa pejabat publik atau pemimpin politik.
3. Kegiatan menoton meliputi:
a. Memakai symbol/identitas partai/organisasi politik
b. Mengajak orang untuk memilih
c. Menyelenggarakan diskusi politik
d. Member suara.
4. Kegiatan apatis/masa bodoh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik seseorang adalah:
1. Kesadaran politik, yaitu kesadaran akan hak kewajibannya sebagai
warga negara.
2. Kepercayaan politik, yaitu sikap dan kepercayaan orang tersebut
terhadap pemimpin.
Berdasarkan dua faktor tersebut, terdapat empat tipe partisipasi politik yaitu:8
1. Partisipasi politik aktif jika memiliki kesadaran dan kepercayaan politik yang
tinggi.
2. Partisipasi politik apatis jika memiliki kesadaran dan kepercayaan politik
yang rendah.
3. Partisipasi politik pasif jika memiliki kesadaran politik tinggi, sedangkan
kepercayaan politiknya rendah.

8

Ibid. hal 144

11
Universitas Sumatera Utara

I.5.2 Perilaku Pemilih
Pemilihan diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para
konsestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian
memberikan suaranya kepada konsentan yang bersangkutan.9 Dinyatakan sebagai
pemilih dalam Pilkada yaitu mereka yang telah terdaftar sebagai peserta pemilih oleh
petugas pendata peserta pemilih.
Pemilih dalam hal ini dapat berupa konsituen maupun masyarakat pada
umumnya. Konsituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu
ideologi tertentu yang kemudian termanifestasikan dalam insitusi politik seperti
partai politik dan seorang pemimpin.10
Perilaku pemilih dapat ditujukan dalam memberikan suara dan menentukan
siapa yang akan dipilih menjadi Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam
Pilkada secara langsung. Pemberian suara atau votting secara umum dapat diartikan
sebagai; “Sebagai sebuah proses dimana seorang anggota dalam suatu kelompok
seorang pejabat maupun keputusan yang diambil”.11
Pemberian suara dalam Pilkada secara langsung diwujudkan dengan
memberikan suara pada pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
yang didukungnya atau ditujukan dengan perilaku masyarakat dalam memilih
pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Perilaku pemilih menurut Surbakti adalah: “Aktivitas pemberian suara oleh
individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih
atau tidak memilih (to vote or not to vote) didalam suatu pemilihan umum (Pilkada)
9

Firmanzah, 2007. Marketing politik, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, hal 102

10
11

Ibid. hal 105
Gosnel F Horald. hal 32

12
Universitas Sumatera Utara

secara langsung-pen. Bila voters memutuskan untuk memilih (to vote) maka voters
akan memilih atau mendukung kandidat tertentu”.12
Keputusan untuk memberikan dukungan dan suara tidak akan terjadi apabila
tidak terdapat loyalitas pemilih yang cukup tinggi kepada calon pemimpin
jagoannya. Begitu juga sebaliknya, pemilih tidak akan memberikan suaranya kalau
mereka menganggap bahwa sebuah partai atau calon pemimpin tidak loyal serta
tidak konsisten dengan janji dan harapan yang telah mereka berikan.
Perilaku pemilih juga sarat dan idelogy antara pemilih dengan partai politik
atau kontestan pemilu. Masing-masing kontestan membawa ideologi yang saling
berinteraksi.

Selama

periode

kampanye

pemilu,

muncul

kristalisasi

dan

pengelompokan antara ideologi yang dibawa kontestan. Masyarakat akan
mengelompokkan dirinya kepada kontestan yang memiliki ideologi sama dibawa
dengan yang mereka anut sekaligus juga menjauhkan diri dari ideologi yang
berseberangan dengan mereka.
Perilaku pemilih dapat dianalisis dengan tiga pendekatan yaitu:13
1) Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologi sebenarnya berasal dari Eropa, kemudian di Amerika
dan pendidikan Eropa. David Denver, ketika menggunakan pendekatan ini untuk
menjelaskan perilaku memilih masyarakat Inggris, menyebut model ini sebagai
social determinism approach.

Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan
pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan

12
13

Ramlan Surbakti, 1997. Partai, Pemilih dan Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 170
Muhammad Asfar, 2006. Pemilih, Perilaku Memilih, Jakarta : Pustaka Eureka, hal 137-144

13
Universitas Sumatera Utara

dalam menentukan perilaku pemilih seseorang. Karakteristik sosial (seperti
pekerjaan, pendidikan dan sebagainya) dan karakteristik atau latar belakang sosiologi
(seperti agama, wilayah, jenis kelamin, umur, dan sebagainya) merupakan faktor
penting dalam menentukan pilihan politik. Pendek kata, pengelompokkan sosial
seperti umur (tua-muda); jenis kelamin; (laki-perempuan); agama dan semacamnya
dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk
pengelompokkan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompokkelompok kecil lainnya, merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami
perilaku politik seseorang, karena kelompok-kelompok inilah yang mempunyai
peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientsasi seseorang.

2) Pendekatan Psikologis
Pendekatan sosiologis berkembang di Amerika Serikat berasal dari Eropa
Barat, pendekatan Psikologis merupakan fenomena Amerika Serikat melalui Survey
Research Centre di Unversitas Michigan. Oleh karena itu, pendekatan ini juga

disebut sebagai Mazhab Michigan. Oleh karena itu, pendekatan ini adalah Angust
Campbell.
Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi
terutama konsep sosialisasi dan sikap untuk menjelaskan perilaku pemilih. Variabelvariabel itu tidak dapat dihubungkan dengan perilaku memilih kalau ada proses
sosialisasi. Oleh karena itu, menurut pendekatan ini sosialisasilah sebenarnya yang
menentukan perilaku memilih (politik) seseorang.
Penganut pendekatan ini menjelaskan sikap seseorang sebagai refleksi dari
kepribadian seseorang merupakan variabel yang cukup menentukan dalam
14
Universitas Sumatera Utara

mempengaruhi perilaku politik seseorang. Oleh karena itu, pendekatan psikologis
menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama yaitu ikatan emosional
pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu – isu dan orientasi terhadap kandidat.

3) Pendekatan Rasional
Penggunaan pendekatan rasional dalam menjelaskan perilaku pemilih oleh
ilmuwan politik sebenarnya diadaptasikan dari ilmu ekonomi. Mereka melihat
adanya analogi antara pasar (ekonomi) dan perilaku memilih (politik). Apabila
secara ekonomi masyarakat dapat bertindak secara rasional, yaitu menekan ongkos
sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, maka dalam
perilaku politik pun maka masyrakat akan dapat bertindak secara rasional, yakni
memberikan suara ke OPP yang dianggap mendatangkan keuntungan yang sebesar –
besarnya dan menekan kerugian.

I.5.2.1 Orientasi Pemilih
1. Orientasi Policy –Problem Solving
Ketika memilih seorang kontestan dari kacamata “Policy-Problem-Solving” yang
terpenting bagi mereka adalah sejauh mana kontestan mampu menawarkan program
kerja atau solusi bagi suatu permasalahan yang ada. Pemilih akan cenderung secara
objektif memilih partai politik atau kontestan yang memiliki kepekaan terhadap
masalah nasional (daerah) dan kejelasan-kejelasan program kerja partai-partai politik
atau kontestan pemilu yang arah kebijakannya tidak jelas cenderung tidak dipilih.14

14

Agung Wibawanto, 2005. Menangkan Hati dan Pikiran Rakyat, Yogyakarta : Pembaharuan.

15
Universitas Sumatera Utara

2. Orientasi Ideologi
Pemilih yang cenderung mementingkan ideologi suatu partai atau kontestan, akan
mementingkan ikatan “ideologi” suatu partai atau kontestan, akan menekankan
aspek-aspek subjektivitas seperti kedekatan nilai, budaya, norma, emosi dan
psikografis. Semakin dekat kesamaan partai atau kontestan pemilu, pemilih jenis ini
akan cenderung memberikan suaranya ke partai atau kontestan tersebut.

I.5.2.2 Jenis-Jenis Pemilih
1) Pemilih rasional
Jenis pemilih ini memiliki orientasi yang tinggi terhadap Policy-ProblemSolving dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilihan dalam hal ini lebih

mengutamakan kemampuan partai politik atau calon peserta pemilu dengan program
kerjanya, mereka melihat program kerja tersebut melalui kinerja partai atau
kontestan dimasa lampau, dan tawaran program yang ditawarkan sang calon atau
partai politik dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang sedang terjadi.
Pemilih jenis ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan ikatan
Ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Hal yang terpenting bagi
pemilih jenis ini adalah apa yang bisa (dan yang telah) dilakukan oleh sebuah partai
atau seorang kontestan pemilu.

2) Pemilih kritis
Proses untuk menjadi jenis pemilih bisa terjadi melalui 2 (dua) hal yaitu:

16
Universitas Sumatera Utara

a) Jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan
kepada partai atau kontestan pemilu mana mereka akan berpihak dan selanjutnya
mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau telah dilakukan.
b) Bisa juga terjadi sebaliknya dimana pemilih tertarik dulu dengan program kerja
yang ditawarkan sebuah partai/kontestan baru kemudian mencoba memahami
nilai-nilai dan paham yang melatar belakangi pembuatan sebuah kebijakan.
Pemilihan jenis ini adalah pemilih yang kritis, artinya mereka akan selalu
menganalisis kaitan antara sistem partai ideologi dengan kebijakan yang dibuat.

3) Pemilih tradisional
Pemilih jenis ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak
terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang
penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan
kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai ukuran untuk
memilih sebuah partai politik atau kontestan pemilu. Kebijakan seperti yang
berhubungan dengan masalah ekonomi, kesejahteraan, pendidikan, dianggap sebagai
prioritas kedua. Pemilih jenis ini sangat mudah dimobilisasi selama masa kampanye,
pemilihan jenis ini memiliki loyalitas yang sangat tinggi. Mereka menganggap apa
saja yang dikatakan oleh seorang kontestan pemilu atau partai politik yang
merupakan suatu kebenaran yang tidak bisa ditawarkan lagi.

4) Pemilih skeptis
Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi dengan
sebuah partai politik atau kontestan pemilu, pemilih ini juga tidak menjadikan
17
Universitas Sumatera Utara

sebuah kebijakan menjadi suatu hal penting. Kalaupun mereka berpartisipasi dalam
pemilu, biasanya mereka melakukannya secara acak atau random. Mereka
berkeyakinan bahwa siapapun yang menjadi pemenang dalam pemilu, hasilnya sama
saja, tidak ada perubahan yang berarti yang terbagi bagi kondisi daerah/negara.
Setelah melihat beberapa jenis pemilih, para kontestan pemilu nanti harus
bisa memahami segala jenis pemilih dan berusaha merebut suara pemilih tersebut,
yaitu tentunya melalui kampanye. Karena dengan memahami jenis pemilih yang ada,
kemungkinan untuk memenangkan pemilu menjadi semakin kuat. Mereka harus
mampu meraih suara dari setiap jenis pemilih yang ada. Untuk itu mereka pada
umumnya membutuhkan dukungan dari tokoh-tokoh ataupun hal-hal yang membuat
setiap jenis pemilih diatas maupun mendukung mereka dalam pemilu (Pilkada) nanti.
Dengan lahirnya UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah dan Peraturan
Pemerintah No. 6/2005 tentang Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sebagaimana disebutkan
dimuka, akhirnya pilkada langsung yang menggunakan asas-asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil, pilkada langsung layaknya disebut sebagai sistem
rekrutmen pejabat publik yang hampir memenuhi parameter demokratis.

I.5.3. Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung
Sejak Juni 2005, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, maupun Walikota/Wakil Walikota
dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung diatur
dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 56 jo Pasal 119 dan
18
Universitas Sumatera Utara

Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2005 tentang Cara Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Secara
eksplisit ketentuan tentang pilkadasung tercermin dalam cara pemilihan dan asasasas yang digunakan dalam penyelenggaraan pilkada. Dalam Pasal 56 ayat (1)
disebutkan:
“Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon
yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil”.
Dipilihnya sistem pilkada langsung mendatangkan optimisme dan pesimisme
tersendiri. Pilkada langsung dinilai sebagai perwujudan pengembalian “hak-hak
dasar” masyarakat didaerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam
rangka rekrutmen pimpinan daerah sehingga mendimanisir kehidupan demokrasi di
Tingkat Lokal. Keberhasilan pilkada langsung untuk melahirkan kepemimpinan
daerah yang demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan rakyat sangat tergantung pada
kritisisme dan rasioanalitas rakyar sendiri.15
Dengan lahirnya UU No.32/2004 dan PP No.6/2005, sebagaimana disebutkan
dimuka, akhirnya pilkada langsung merupakan keputusan hukum yang harus
dilaksanakan. Dengan pemilihan langsung, yang menggunakan asas-asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, pilkada langsung layak disebut sebagai sistem
rekrutmen pejabat publik yang hamper memenuhi parameter demokratis.

15

Joko J. Prihatmoko, 2005. Pemilihan kepala Daerah Langsung . Yogyakarta : Penerbit Pustaka
Pelajar, hal 1-2

19
Universitas Sumatera Utara

I.5.3.1 Parameter Demokrasi Pilkada
Mekanisme pemilihan Kepala Daerah disebut Demokrasi apabila memenuhi
beberapa parameter. Mengutip pendapat Robert Dahl, Samuel Huntington dan
Bingham Powel (1978). Parameter untuk mengenai terwujudnya suatu demokrasi
apabila:
1. Menggunakan mekanisme pemilihan umum yang teratur;
2. Memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan;
3. Mekanisme rekrutmen dilakukan secara terbuka; dan
4. Akuntabilitas publik.
Dibawah ini dijelaskan masing – masing parameter tersebut :16
1. Pemilihan Umum
Rekrutmen jabatan politik atau publik dan harus dilakukan dengan pemlihan
umum (pemilu) yang diselenggarakan secara teratur dengan tenggang waktu
yang jelas, kompetitif, jujur, dan adil. Pemilu merupakan gerbang pertama
yang harus dilewati karena dengan pemilu lembaga demokrasi dapat
dibentuk. Kemudian setelah pemilihan biasanya orang akan melihat dan
menilai seberapa besar pejabat publik terpilih memenuhi janji-janjinya.
Penilaian terhadap kinerja pejabat politik itu akan digunakan sebagai bekal
untuk memberikan ganjaran atau human (reward and punishment) dalam
pemilihan mendatang. Penjabat yang tidak dapat memenuhi janji-janjinya
dan tidak menjaga moralitasnya akan dihukum dengan cara tidak dipilih,
sebaliknya pejabat yang berkenan di hati masyarakat akan di pilih kembali.

16

Ibid, hal 35-36

20
Universitas Sumatera Utara

2. Rotasi kekuasaan
Rotasi kekuasaan juga merupakan parameter demokrasi tidaknya suatu
rekrutmen pejabat politik. Rotasi kekuasaan mengadalkan bahwa kekuasaan
atau jabatan politik tidak bisa dipegang terus-menerus oleh seseorang, seperti
dalam sistem monarkhi. Artinya, kalau seseorang berkuasa terus-menerus
atau satu partai politik mengendalikan roda pemerintahan secara dominan
dari waktu kewaktu sistem itu kurang layak disebut demokratis. Dengan kata
lain, demokrasi memberikan peluang rotasi kekuasaan atau rotasi pejabat
politik secara teratur dan damai dari seorang Kepala Daerah satu ke Kepala
Daerah lain, dari satu partai politik ke partai politik yang lain.
3. Rekrutmen Terbuka
Demokrasi membuka peluang untuk mengadakan kompetisi karena semua
orang atau kelompok mempunyai hak dalam peluang yang sama. Oleh karena
itu dalam mengisi jabatan politik, seperti Kepala Daerah sudah seharusnya
peluang untuk semua orang yang memenuhi syarat, dengan kompetisi yang
wajar sesuai dengan aturan yang telah disepakati. Dinegara-negara totaliter
dan otoriter, rekrutmen politik hanyalah merupakan domain dari seseorang
atau sekelompok orang kecil.
4. Akuntabilitas Publik
Para pemegang jabatan publik harus dapat mempertanggung jawabkan
kepada publik apa yang dilakukan baik sebagai pribadi maupun sebagai
pejabat publik. Seorang Kepala Daerah atau pejabat politik lainnya harus
dapat menjelaskan kepada publik mengapa memilih kebijakan A, bukan
kebijkan B, mengapa menaikkan pajak dari pada melakukan efesiensi dalam
21
Universitas Sumatera Utara

pemerintahan dan melakukan pemberantasan KKN. Apa yang mereka
lakukan terbuka untuk dipertanyakan kepada publik. Demikian pula yang
dilakukan kepada keluarga kepada keluarga terdekatnya, sanak saudaranya
bahkan teman dekatnya seringkali dikaitkan dengan kedudukan atau posisi
pejabat tersebut. Hal itu karena pejabat publik merupakan amanah dari
masyarakat, maka ia harus dapat menjaga, memelihara dan bertanggung
jawab dengan amanah tersebut.
Selain itu pilkada langsung dapat disebut sebagai praktik politik demokrasi
apabila memenuhi bebrapa prisipinsial, yakni menggunakan asas-asas yang berlaku
dalam rekruitmen politik yang terbuka, seperti pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD)
dan pemilihan Presiden Wakil Presiden, yakni azas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil (Luber dan Jurdil).
1. Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara
langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
2. Umum
Pada dasarnya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan sesuai
dengan ketentuan perundangan berhak mengikuti Pilkada. Pemilihan yang
bersifat umum mengandung makna yang menjamin kesempatan yang berlaku
menyeluruh bagi semua warga Negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial.
3. Bebas
Setiap warga Negara yang berhak memilih bebas menetukan pilihan tanpa
tekanan dan paksaan dari siapa pun. Dalam melaksanakan haknya, setiap
22
Universitas Sumatera Utara

warga Negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai
kehendak hati nurani dan kepentingannya.
4. Rahasia
Dalam memberika suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak adakan
diketahui oleh pihak mana pun dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan
suaranya pada surat dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada
siapapun suaranya diberikan.
5. Jujur
Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada, aparat
pemerintah, calon/peserta Pilkada, Pengawas Pilkada, Pemantau Pilkada,
pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6. Adil
Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta pilkada
mendapatkan perlakuan yang sama, serta bebas dari kecenderungan pihak
manapun.17
Gagasan pilkada langsung itu dasarnya merupakan proses lanjut dari
keinginan kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi di daerah yang telah dimulai.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Robert A. Dahl, disamping untuk
menghindari Tirani, demokrasi juga dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan
yang lain, diantaranya adalah terwujudnya hak-hak esensial individu, terdapat
kesempatan untuk menentukan posisi dari individu, dan adanya kesejahteraan.

17

Ibid. hal 110-111

23
Universitas Sumatera Utara

Pilkada secara langsung itu memberi kesempatan yang lebih luas kepada
masyarakat untuk terlibat di dalam berbagai proses politik.

I.6 Metedologi Penelitian
I.6.1 Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif merupakan salah satu jenis penelitian yang
spesifikasinya adalah sistematis, terencana, dan terstruktur dengan jelas sejak awal
hingga pembuatan desain penelitiannya. Definisi lain menyebutkan penelitian
kuantitatif adalah penelitian yang banyak menuntut penggunaan angka, mulai dari
pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya.
Demikian pula pada tahap kesimpulan penelitian akan lebih baik bila disertai dengan
gambar, table, grafik, atau tampilan lainnya.
Menurut Sugiyono, metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai
metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk
meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Teknik pengambilan sampel pada
umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen
penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji
hipotesis yang telah ditetapkan.18

I.6.2 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Labuhan Batu. Tepatnya di Kecamatan
Rantau Selatan. Alasan pemilihan lokasi penelitian merupakan daerah tempat
18

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : CV Alfabeta. Hal. 7

24
Universitas Sumatera Utara

peneliti bertempat tinggal, sehingga akan lebih mudah bagi penelitian mendapatkan
data baik masyarakat maupun dari instansi yang terkait dengan penelitian nantinya.
Selain itu pemilihan lokasi penelitian dikhususkan di kecamatan Rantau Selatan
karena daerah tersebut merupakan Kecamatan dengan jumlah masyarakat Batak
terbesar di Kabupaten Labuhan Batu, sehingga akan lebih mudah bagi peneliti untuk
mengetahui bagaimana perilaku pemilih masyarakat Batak pada pemilihan Gubernur
Sumatera Utara 2013.

I.6.3 Populasi dan Sampel
1.6.3.1 Populasi
Populasi berdasarkan dari kata bahasa Inggris yaitu “Population” yang
berarti jumlah penduduk. Populasi penelitian merupakan keseluruhan dari objek
penelitian yang dapat berupa manusia, hewan, tumbuhan, udara, gejala, nilai,
peristiwa, sikap hidup dsb, sehingga objek-objek ini dapat menjadi sumber data
penelitian. Maka yang menjadi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
masyarakat Batak yang menggunakan hak piliknya di Kecamatan Rantau Selatan.
Dari 45.100 jiwa yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) hanya 22.588 yang
menggunakan hak pilihnya. Maka populasi dalam penelitian ini adalah 22.588 jiwa.

1.6.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah karakreristik yang dimiliki oleh populasi.
Untuk menetukan jumlah sampel dalam penelitian ini, penulis menggunakan rumus
Taro Yamane , yaitu:

25
Universitas Sumatera Utara

Keterangan :
= Ukuran sampel
= Ukuran populasi
= Presisi sebesar 10% dengan tingkat kepercayaan 90%

= 99,56 (100 responden)
Maka didapatkan jumlah sampel sebanyak 99,56 yang kemudian dibulatkan
menjadi 100 responden guna memudahkan penelitian ini. Sedangkan untuk
menentukan responden yang akan dijadikan sampel penelitian adalah 100 orang dari
109 TPS yang terdapat di 9 desa di Kecamatan Rantau Selatan. Penulis
menggunakan teknik sampling acak proporsional dan sampelnya dinamakan sampel
acak proporsional.19 Dengan rumus :
n1 x n
n=
N
Dimana :
n1 = jumlah populasi tiap TPS
n

= jumlah sampel pada populasi awal

N

= jumlah populasi keseluruhan

Berdasarkan perhitungan dengan rumus diatas maka dapat ditentukan berapa jumlah
sampel untuk tiap desa/kelurahan di Kecamatan Rantau Selatan. Diketahui bahwa
besar persentase suku batak di Kecamatan Rantau Selatan adalah 59,66% seperti
19

Sudjana. Metoda5 Statistika , Tarsito, Bandung, 2002, halaman 173.

26
Universitas Sumatera Utara

tertera pada tabel 1.1. Maka perhitungan untuk menentukan jumlah sampel di tiap
desa/kelurahan adalah :
1. Lobu Sona
534 x 59,66% = 318,59
318,59 x 100
= 1,03 (Sampel 1 orang)
13476
2. Sidorejo
1812 x 59,66% = 1081,04
1081,04 x 100
= 8,02 (Sampel 8 orang)
13476

3. Sigambal
1864 x 59,66% = 1112,06
1112,06 x 100
= 8, 25 (Sampel 8 orang)
13476

4. Danobale
2021 x 59,66% = 1205,73
1205,73 x 100
= 8,95 (Sampel 9 orang)
13476
5. Perdamean
3267 x 59,66% = 1949,09
1949,09 x 100
= 14,46 (Sampel 15 orang)
13476

27
Universitas Sumatera Utara

6. Ujung Bandar
2369 x 59,66% = 1413,35
1413,35 x 100
= 10,49 (Sampel 11 orang)
13476

7. Bakaran Batu
4629 x 59,66% = 2761,66
2761,66 x 100
= 20,49 (Sampel 21 orang)
13476

8. Urung Kompas
2810 x 59,66% = 1676,45
1676,45 x 100
= 12,44 (Sampel 12 orang)
13476

9. Sioldengan
3282 x 59,66% = 1958,04
1958,04 x 100
= 14,53 (Sampel 15 orang)
13476

Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka dapat dibuat jumlah sampel
untuk penelitian ini secara rinci, seperti pada tabel 1.2 berikut ini.

28
Universitas Sumatera Utara

Tabel 1.2 Jumlah Sampel Di Desa/Kelurahan Di Kecamatan Rantau Selatan
No

Nama Kelurahan/Desa

Jumlah Sampel

1

Lobu Sona

1

2

Sidorejo

8

3

Sigambal

8

4

Danobale

9

5

Perdamean

15

6

Ujung Bandar

11

7

Bakaran Batu

21

8

Urung Kompas

12

9

Sioldengan

15

Total Sampel

100

1.6.3.3 Teknik Penarikan Sampel
Untuk menentukan objek penelitian yang tepat, maka penulis menggunakan
teknik penarikan sampel berikut ini :
a. Proporsional Stratified Sampling

Teknik ini digunakan karena populasi yang dijadikan sampel terbagi atas
beberapa TPS. Dengan menggunakan teknik ini setiap strata diambil sampel
yang sebanding dengan besarnya strata.20 Dalam penelitian ini sampel terdiri
dari 9 strata. Jadi memungkinkan populasi kecil terpilih menjadi sampel.
b. Purposive Sampling

Penarikan sampel dengan teknik ini adalah penarikan sampel yang sesuai
dengan tujuan penelitian, dimana sampel yang digunakan harus sesuai
20

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
1995, Hal. 159

29
Universitas Sumatera Utara

dengan kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan
penelitian. Kriteria sampel adalah pemilih batak di Kecamatan Rantau
Selatan yang memberikan suara pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara
tahun 2013.

I.6.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, dipergunakan dua sumber pengumpulan data yaitu:
pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder.
1. Data Primer
Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber atau objek yang diteliti.
Dalam hal ini data primer dalam penelitian ini berasal kuesioner yang
dibagikan dan hasil wawancara kepada responden berkaitan dengan
masalah yang akan diteliti.
2. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan
penelitian (Library Research) dan pencatatan dokumen antara lain dengan
mengumpulkan data dari buku, literatur, jurnal, majalah, Koran, internet
dan sumber lain yang dianggap relevan dengan masalah yang ditelit

I.7 Sistematika Penulisan
BAB I

PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang, latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi
penelitian yang digunakan dan sistematika penulisan.
30
Universitas Sumatera Utara

BAB II

DESKRIPSI KECAMATAN RANTAU SELATAN
Bab ini berisi data gambaran umum Kecamatan Rantau Selatan.

BAB III

PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA
Bab ini berisikan data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan
mengenai dan analisis data-data yang diperoleh.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari penelitian yang
dilakukan.

31
Universitas Sumatera Utara