Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

  Pemilihan umum merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, seperti yang diamanatkan dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat 2. Menurut Prof Dr. H. Zainuddin Ali, MA Pemilihan umum adalah salah satu mekanisme demokratis untuk melakukan pergantian pemimpin. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa Selepas rezim Orde Baru, Pemilu dengan segera diyakini oleh banyak kalangan di indonesia bahwa pemilihan umum merupakan sebagai salah satu instrumen untuk mendorong proses demokratisasi di Indonesia. Karena demokrasi yang semakin matang akan mengurangi ketidakadilan dan membuat pengorganisasian kehidupan bersama semakin menjamin kebebasan warga Negara

  1 dan mendorong terciptanya tatanan yang lebih adil, termasuk pemberantasan KKN.

  Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu dilaksanakan oleh negara Indonesia dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat 1 sekaligus penerapan prinsip-prinsip atau nilai-nilai demokrasi, meningkatkan

Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA, 2007, Sosiologi Hukum

   (Diakses Tanggal 15 September 2013) kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis.

  Pemilu adalah bagian penting dalam demokrasi. Pemilu jika diartikan secara sederhana adalah cara individu warga negara melakukan aktivitas politik ataupun kontrak politik dengan orang lain atau partai politik yang diberikan mandat atau wewenang untuk melaksanakan sebagian kekuasaan rakyat/pemilih. Pemilu bukanlah pemberian mandat kekuasaan secara total. Klaim partai politik yang menyatakan bahwa partainya telah memiliki pemilih dengan jumlah total tertentu dalam pemilu adalah tidak tepat. Untuk menjalankan mandat tersebut partai politik atau eksekutif partai politik harus melakukan komunikasi politik dalam menentukan kebijakan-kebijakan untuk kepentingan rakyat dengan persetujuan warga. Di berbagai negara, pemilihan umum merupakan salah satu wadah yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menentukan siapa yang akan mewakili mereka dalam lembaga legislatif, dan siapa yang akan memimpin mereka dalam lembaga eksekutif. Pemilihan umum juga merupakan wadah untuk menjaring orang- orang yang benar-benar bisa dan mampu untuk masuk kedalam lingkaran elit politik, baik itu di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.

  Salah satu parameter pemilu yang demokratis adalah dengan adanya komponen pemilih yang semakin plural seiring dengan semakin kompleknya pemilu.

  Ini artinya pemilih adalah pendukung utama yang sangat penting dalam proses pemilu yang demokratis, sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat. Setiap pemilih dalam pemilihan umum tidak akan terlepas dari latar belakang politis maupun sosiologis pada saat itu, sehingga hal ini sangat berpengaruh dalam menentukan pilihan mereka, inilah yang disebut voting behavior atau prilaku pemilih.

  Dinamika prilaku pemilih sangat kompleks dalam setiap pemilihan umum. Apalagi Indonesia telah menyelenggarakan Pemilu lebih dari lima kali. hal ini dipengaruhi oleh pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta tungkat ekonomi pemilih dalam pemilihan umum. Tingkat pendidikan maupun ekonomi Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa pemilu setelah masa reformasi sangat berpengaruh, inilah yang menimbulkan maraknya praktek menyimpang seperti Money Politic. Yang kemudian sangat mencederai sistem demokrasi yang dibangun oleh bangsa Indonesia agar tercipta good governance. Sehingga, tujuan dari diadakanya pemilihan umum untuk mewujudkan demokratisasi, mewujudkan hak-hak rakyat dan mewujudkan partisipasi rakyat dalam politik untuk melakukan

  2 pendidikan dan pembangunan politik tidak akan pernah tercapai dengan baik.

  Pemilihan Gubernur Sumatera Utara yang dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 2013 adalah manifestasi dari kekuasaan rakyat. Pada pemilihan ini rakyatlah yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan siapa yang akan menjadi Gubernur Sumatera Utara. Dan berdasarkan hasil perolehan suara yang diumumkan KPU pada tanggal 15 Maret 2013 maka diketahui bahwa Gatot Pujo Nugroho-Erry Nuradi meraih suara terbanyak dengan meraih 1.604.337 suara atau 33%, Effendi Simbolon-Jumiran Abdi dengan 1.183.187 suara atau 24,34%, Gus Irawan- Soekirman yang meraih 1.027.433 suara atau 21,13%, Amri Tambunan-RE Nainggolan yang mendapatkan 594.414 suara atau 12,23%, dan Chairuman Harahap- Fadly Nurzal meraih 452.096 suara atau 9,30%.

  Menurut pasal 1 ayat (22) UU No 10 tahun 2008, pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau 2 sudah/pernah kawin, kemudian pasal 19 ayat (1 dan 2) UU No. 10 tahun 2008

  Imam Hidajat. Teori-Teori Politik. Setara Press. Malang. 2009. Hal. 170 menerangkan bahwa pemilih yang mempunyai hak memilih adalah warga negara Indonesia yang didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih dan pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pemah kawin. Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilih pemula adalah warga negara yang didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih, dan baru mengikuti pemilu (memberikan suara) pertama kali sejak pemilu yang diselenggarakan di Indonesia dengan rentang usia 17-21 tahun.

  Layaknya sebagai pemilih pemula, mereka tidak memiliki pengalaman voting pada pemilu sebelumnya, namun ketiadaan pengalaman bukan berarti mencerminkan keterbatasan menyalurkan aspirasi politik.

  Berdasarkan data Badan Pusat Statistik jumlah penduduk di Sumatera Utara

  3

  adalah mencapai 15.977.383 jiwa. Dan untuk jumlah pemilih potensial sebanyak 11.300.526 jiwa. Sementara untuk jumlah penduduk Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo bulan Juni 2013 adalah 19.472 jiwa. Dari jumlah tersebut yang mempunyai hak untuk memilih adalah sejumlah 15.526 pemilih dengan rinciannya 7.549 pemilih laki-laki dan 7.977 pemilih perempuan, dengan 20% diantaranya adalah pemilih yang termasuk dalam kategori pemilih pemula.

  Pemilih pemula dalam kategori politik adalah kelompok yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya. Dalam menggunakan hak pilih politiknya itu, mengikuti tipologi model Almond dan Verba maka orientasi politik pemula ini dikategorikan menjadi, (1) orientasi kognitif, yaitu pengetahuan tentang dan kepercayaan pada kandidat, (2) orientasi politik afektif, yaitu perasaan terhadap pemilu, pengaruh teman terhadap penentuan pilihan, dan (3) orientasi politik 3 evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat pemilih pemula terhadap parpol/kandidat

   Diakses Tanggal 10 Agustus 2013

  4

  pilihannya. Orientasi politik pemilih pemula ini selalu dinamis dan akan berubah- ubah mengikuti kondisi yang ada dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

  Orientasi politik sebenarnya merupakan suatu cara pandang dari suatu golongan masyarakat dalam suatu struktur masyarakat. Timbulnya orientasi itu dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat yang kemudian membentuk sikap dan menjadi pola mereka untuk memandang suatu obyek politik. Orientasi politik itulah yang kemudian membentuk tatanan dimana interaksi-interaksi yang muncul tersebut akhirnya mempengaruhi perilaku politik yang dilakukan seseorang. Orientasi politik tersebut dapat dipengaruhi oleh orientasi individu dalam memandang obyek-obyek politik.

  Memahami kesadaran politik masyarakat pemilih pemula dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 maka penulis tertarik untuk meneliti perilaku pemilih pemula. Alasan lain yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap pemilih pemula karena sebagai pemilih pemula tentu banyak hal

  • –hal yang mempengaruhi para pemilih pemula dalam memilih pasangan gubernur seperti : (1) pengaruh isu dalam kampanye, (2) pengaruh identifikasi kepartaian, dan (3) pengaruh orientasi terhadap kandidat. Dan hal
  • –hal yang mempengaruhinya inilah yang akan penulis bahas dalam penelitian ini.

  Objek orientasi politik meliputi keterlibatan seseorang terhadap : (1) sistem yaitu sebagai suatu keseluruhan dan termasuk berbagai perasaan tertentu seperti patriotisme dan alienansi, kognisi dan evaluasi suatu bangsa, dan (2) pribadi sebagai aktor politik, isi dan kualitas, norma-norma kewajiban politik seseorang. Orientasi politik yang dimiliki seseorang akan mendorong terjadinya partisipasi politik. 4 Termasuk juga yang terjadi dengan orientasi politik pemilih pemula di Kecamatan

  Almond. A Gabrriel dan Verba. Budaya Politik Tingkah laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara . Jakarta: Bumi Aksara. 1990. Hal. 16 Tigabinanga Kabupaten Karo dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013.

  Dalam penelitian ini ada alasan yang kuat yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian yaitu karena penulis melihat bahwa tingkat pemilihan khususnya pada pemilih pemula sangat signifikan. Maka dari itu penulis menjadi tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang perilaku pemilih pemula itu sendiri.

  Selain itu penulis memilih Kecamatan Tigabinanga sebagai lokasi penelitian karena jumlah pemilih pemula yang ada di Kecamatan Tigabinanga cukup banyak yaitu berjumlah 9505 orang dan mereka cukup antusias dalam mengikuti pemilihan gubernur Sumatera Utara karena peristiwa ini adalah pengalaman pertama bagi mereka dapat menggunakan hak politik mereka. Dan mengapa penulis memilih Pemilihan Gubernur Sumatera Utara karena Pemilihan Sumatera Utara baru saja berlangsung dan bagaimana perilaku dari pemilih pemula yang cukup antusias dalam mengikuti pemulihan ini ini menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk diteliti.

  Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, penulis dalam hal ini terdorong untuk mengkaji lebih dalam dan memfokuskan pada perilaku pemilih pemula pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo. Untuk itu penulis melakukan penelitian dengan judul

  

“Perilaku Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun

2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)”

1.2. Rumusan Masalah

  Rumusan masalah itu merupakan suatu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya melalui pengumpulan data bentuk-bentuk rumusan masalah penelitian

  5

  ini berdasarkan penelitian menurut tingkat eksplanasi. Dari uraian latar belakang diatas maka permasalahan yang akan penulis teliti secara rinci adalah : Bagaimana perilaku pemilih pemula pada pemilihan gubernur Sumatera Utara tahun 2013 di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo.

  1.3. Batasan Masalah

  Dalam penulisan skripsi ini, penulis memberikan batasan masalah agar dalam penjelasannya nanti akan lebih mudah, terarah dan sesuai dengan yang diharapkan serta terorganisir dengan baik. Pembuatan skripsi ini dibatasi pada masalah berikut : Apakah ada pengaruh kampanye, identifikasi kepartaian dan orientasi terhadap kandidat dalam menentukan pilihan bagi pemilih pemula di Kecamatan Tigabinanga pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013

  1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

  1.4.1 Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan penelitian ini adalah : Untuk mengetahui pengaruh kampanye kandidat, identifikasi kepartaian dan orientasi terhadap perilaku memilih pemilih pemula di Kecamatan Tigabinanga pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013.

  1.4.2 Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut :

  1. Manfaat Teoritis a.

  Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan dan 5 dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat selama kuliah pada permasalahan

  Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: CV. Alfabeta, 2008, Hal. 56 dan kondisi di masyarakat, sehingga mendapatkan suatu pengalaman antara teori dengan kenyataan di lapangan.

  b.

  Bagi civitas akademika, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Ilmu Politik.

  2. Manfaat Praktis a.

  Bagi peneliti Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang bagaimana perilaku politik para pemilih pemula pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013.

  b.

  Bagi pemilih pemula (generasi muda) Para generasi muda mengetahui pentingnya partisipasi mereka dalam pemilu yang demokratis.

  c.

  Bagi aktivis partai politik dan tokoh politik Agar mereka lebih meningkatkan peran serta pemilih pemula pada kegiatan partai politik pada masa yang akan datang.

  d.

  Bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Bermanfaat untuk menambah kepustakaan dan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam penelitian yang sejenis.

  e.

  Bagi masyarakat Dapat bermanfaat dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi masyarakat umum yang tertarik terhadap ilmu Politik dan menambah pengetahuan tentang pentingnya perilaku politik pemilih pemula.

1.5. Kerangka Teori

1.5.1. Perilaku Memilih

  Perilaku memilih berkaitan dengan tingkah laku individu dalam hubungannya dengan proses pemilu. Menurut Jack Plano, perilaku memilih adalah salah satu

  6

  bentuk perilaku politik yang terbuka. Sementara itu, Huntington dan Nelson menyebutkan perilaku memilih sebagai electoral activity, yakni termasuk pemberian suara (votes), bantuan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, menarik masuk atas nama calon, atau tindakan lain yang direncanakan untuk mempengaruhi

  7 proses pemilihan umum.

  Selanjutnya perilaku memilih disini dikaitkan dengan proses pemungutan atau pemberian suara (Voting) dalam suatu pemilihan umum (pemilu). Voting merupakan kegiatan pengambilan keputusan dengan satu orang satu suara dalam pemilu yang diselenggarakan. Sedangkan menurut Haryanto, Voting adalah kegiatan warga negara yang mempunyai hak untuk memilih dan didaftar sebagai seorang

  8 pemilih, memberikan suaranya untuk memilih atau menentukan wakil-wakilnya.

  Pemberian suara kepada salah satu kontestan merupakan suatu kepercayaan untuk membawa aspirasi pribadi, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

  Kepercayaan yang diberikan, juga karena adanya kesesuaian nilai yang dimiliki arah tempat memberikan suara. Nilai yang dimaksud disini adalah preferensi yang dimiliki organisasi terhadap tujuan tertentu atau cara tertentu melaksanakan sesuatu. Jadi kepercayaan pemberi suara akan ada, jika seseorang telah memahami makna nilai yang dimiliki dalam rangka mencapai tujuan. Untuk penelitian ini, konsep

  6 7 Jack Plano. Kamus Analisa Politik. Jakarta: Rajawali, 1985. hal. 161

Huntington Samuel P. Dan Joan Nelson. Partisipasi Politik Di Negara Berkembang. Jakarta. Rineka

8 Cipta. 1990.

  Haryanto. Partai Politik: Suatu Tinjauan Umum. Yogyakarta: Liberty. 1984. hal. 110 perilaku memilih yang digunakan dibatasi hanya sebagai bentuk pemberian suara (voting) dalam sebuah pemilihan umum.

  Perilaku pemilih erat kaitannya dengan bagaimana individu berprilaku dan berinteraksi dalam sebuah pemilihan umum, terutama terkait dengan ketertariakan dan pilihan politik mereka terhadap suatu partai politik yang akan dipilihnya. Dalam berperilaku secara umum dapat dibagi menjadi dua macam perilaku, yaitu perilaku yang baik atau yang normal dan perilaku yang tidak baik atau menyimpang. Dalam kaitannya dengan pemilihan umum, perilaku normal adalah perilaku politik yang mengikuti tata cara dan aturan main dalam berpolitik, sementara perilaku politik menyimpang adalah pola perilaku politik yang tidak mengikuti aturan main. Bahkan dalam hal ini mungkin mereka melakukan berbagai prilaku yang membuat pihak atau orang lain terganggu dan terintimidasi. Sebagai contoh adalah perilaku kekerasan politik yang sering terjadi di tengah kampanye pemilu, seperti bentriok antara pendukung parpol, intimidasi pendukung partai politik lain.

  Menurut Kartini Kartono, perilaku normal adalah perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat umum atau sesuai dengan pola kelompok masyarakat setempat, sehingga tercapai relasi personal da interpoersonal yang memuaskan. Sedangkan perilaku menyimpang (abnorma) adalah perilaku yang tidak sesuai atau tidak dapat diterima oleh masyarakat umum dan tidak sesuai dengan norma

  9 masyarakat.

  Menurut pendapat Ramlan Surbakti, perilaku politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat, diantara lembaga-lembaga pemerintah dan diantara

9 Kartini-Kartono, Patologi Sosial 2, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010. Hal. 3

  kelompok dan individu dalam masyarakat, dalam rangka proses pembuatan

  10 pelaksanaan dan penegakan keputusan politik.

  Tidak semua individu atau kelompok masyarakat itu mengerjakan kegiatan politik. Karena ada pihak yang memerintah dan ada pula yuang mentaati perintah, yang satu mempengaruhi dan yang lain menentang dan hasilnya berkompromomi. Yang lain menjanjikan, yang lain kecewa karena janji tidak dipenuhi, berunding dan tawar menawar, yang satu memaksakan keputusan berhadapan dengan pihak lain yang mewakili kepentingan rakyat yang berusaha membebaskan. Yang satu menutupi kenyataan yang sebenarnya (yang merugikan masyarakat), sementara pihak lain berusaha memaparkan kenyataan yang sebenarnya dan mengajukan tuntutan, memperjuangkan kepentingan, mencemaskan apa yang terjadi. Perilaku

  11

  politik menurut pendapat Ramlan Surbakti dibagi 2 (dua), yaitu : 1.

  Perilaku politik lembaga dan para pejabat pemerintah yang bertanggung jawab membuat, melaksanakan dan menegakan keputusan politik.

  2. Perilaku politik warga negara maupun individu kelompok yang berhak mempengaruhi pemerintah dalam melaksanakan fungsinya karena pa yang dilakukan pemeritnah menyangkut kehidupan warga negara tersebut. Salah satu perilaku politik yang dilakukan masyarakat adalah dalam benruk pemilihan umum. Dalam pemilihan umum masyarakat berpartisipasi untuk memilih para wakil rakyat yang akan memperjuangkan kepentingan mereka.

10 Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. 1992.

  11 Hal. 12 Ramlan Surbakti. Op. Cit, Hal. 15

1.5.2. Teori Perilaku Memilih

  Isu-isu dan kebijakan politik sangat menentukan perilakau pemilih, namun terdapat faktor-faktor lain yang juga berpengaruh. Para pemilih dapat saja memilih seorang calon baik calon kepala daerah maupun calon anggota dewan, karena dianggap sebagai refresentatif dari keagamaan. Namun dapat juga ia memilih karena ikatan kepartaian dan juga mewakili kelompoknya. Atau ada juga pemilih yang memilih calon karena ikatan emosional misalnya taat dan kepatuhan terhadap seseorang dengan ikatan loyalitas terhadap figur bersangkutan.

  Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan tersebut, diperlukan dalam rangka calon dalam menyusun strategi pemasaran dirinya atau juga programnya. Informasi mengenai berbagai variabel tersebut jelas berguna dalam menyusun strategi komunikasi, manejmen kandidat, dan penyusunan isu serta kebijakan yang akan ditawarkan kepada para pemilih. Efektivitas dan efisiensi penyampaian pesan-pesan politik tersebut sangat tergantung pada pemahaman si calon tentang perilaku pemilih di daerah yang akan diwakili atau dipimpinnya. Ini jelas bahwaakan membuat strategi misalnya siapa, apa dan bagaimana menarik massa akan ditentukan oleh perilaku pemilih. Singkatnya, perilaku pemilih dimana masyarakat yang akan di wakili atau akan dipimpin menjadi informasi penting dalam merencanakan kampanye dan alokasi sumber daya yang dimiliki seseorang mengkajinya yakni pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, pendekatan rasionalias.

1.5.2.1. Pendekatan Sosiologis

  Subkultur tertentu memiliki kognisi sosial tertentu yang pada akhirnya bermuara pada perilaku tertentu. Kognisi yang sama antar anggota subkultur terjadi karena sepanjang hidup mereka dipengarui lingkungan fisik dan sosio kultural yang relatif sama. Mereka dipengaruhi oleh kelompok-kelompok referensi yang sama.

  Karena itu, mereka memiliki kepercayaan, nilai, dan harapan yang juga relatif sama, termasuk dalam kaitannya dengan preferensi pilihan politik. Dengan pendekatan ini, para anggota subkultur yang sama cenderung mempunyai prefensi politik yang sama pula.

  Kepercayaan, nilai, dan harapan masing-masingnya sering juga disebut sebagai unsur kognitif, afektif, dan konatif, akan menunjukan arah perilaku seseorang. Kepercayaan mengacu kepada apa yang diterima sebagai benar atau tidak benar tentang sesuatu. Kepercayaan didasarkan pada pengalaman masa lalu pengetahuan dan informasi sekarang, dan persepsi yang sinambung. Nilai melibatkan kesukaan dan ketidaksukaan, cinta dan kebencian, hasrat dan ketakutan seseorang.

  Sementara itu, pengharapan mengandung citra seseorang tentang akan separti apa keadaannya setelah tindakan. Pengharapan diutarakan dalam pertimbangan : apa yang terjadi dimasa lalu, seperti apa keadaan sekarang, dan apa kiranya yang akan terjadi jika dilakukan tindakan tertentu.

  Pendekatan sosiologis menjelaskan, karakteristik dan pengelompokan sosial merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih dan pemberian suara pada hakikatnya adalah pengalaman kelompok.

  12 Model ini dikenal sebagai model perilaku memilih Mazhab Columbia.

  Cikal-bakalnya berasal dari Eropa, model ini kemudian dikembangkan oleh para sosiolog Amerka Serikat yang mempunyai latar belakang Eropa, khususnya di Univesitas Columbia. Menurut Mazhab Columbia, pendekatan sosiologis pada 12 dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial-usia,

  

Adnan Nursal. Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2004. jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, kegiatan-kegiatan dalam kelompok formal dan informal, dan lainnya memberi pengaruh cukup signifikan terhadap pembentukan perilaku pemilih.

  Kelompok-kelompok sosial itu memiliki peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan orientasi seseorang. Dalam banyak penelitian, faktor agama, aspek geografis (kedaerahan), dan faktor kelas atau status ekonomi (khususnya di negara-negara maju) memang mempunyai korelasi nyata dengan perilaku pemilih.

  13 Menurut Bone dan Ranney, ada 3 (tiga) tipe utama pengelompokan sosial, yaitu :

1. Kelompok Kategorial

  Kelompok kategorial terdiri dari orang-orang yang memiliki satu atau beberapa karakter khas, tetapi tidak mengorganisasikan aktifitas politik dan tidak menyadari identifikasi dan tujuan kelompoknya. Setiap kelompok memiliki karakteristik politik yang berbeda. Secara umum, perbedaan perilaku politik setiap kategori terjadi karena masing-masing kategori memberi reaksi yang berbeda terhadap berbagai faktor berikut : a.

  Peristiwa politik, misalnya dampak kebijakan pemerintah menghapuskan subsidi makanan pokok lebih dirasakan para ibu dibandingkan kaum laki-laki karena, dalam kultur Indonesia, umumnya alokasi pengeluaran untuk bahan pokok diatur kaum ibu. Karena itu, kaum ibu lebih peka dengan isu-isu tersebut dibandingkan demngan kaum lelaki.

  b.

  Pengalaman politik, misalnya bagaimana heroisme dan pahit-getir mempertahankan kemerdekaan, lebih dirasakan oleh pemilih usia tua dibandingkan dengan pemilih pemula. Karena itu, para pemilih yang berusia 13 relatif tua lebih reaktif terhadap isu yang berkaitan dengan nasionalisme.

  Firmansyah. Marketing Politik : Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. c.

  Peran-peran sosial, misalnya, masih adanya anggapan bahwa masalah politik adalah urusan kaum laki-laki, terutama didaerah-daerah dengan tingkat pendidikan tidak terlalu tinggi, hingga pola pilihan politik ditentukan oleh para suami dan istri mengikuti pilihan suaminya.

  2. Kelompok Sekunder

  Kelompok sekunder terdiri dari orang-orang, yang memiliki ciri yang sama yang menyadari tujuan dan indentifikasi kelompoknya, dan bahkan sebagian membentuk organisasi untuk memajukan kepentingan kelompoknya. Kelompok sekunder mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan kelompok kategorial.

  Kekuatan pengaruh kelompok sekunder kepada para anggotanya tergantung pada empat faktor psikologis.

  Pertama, kuat-lemahnya identifikasi individual terhadap kelompok. Jika

  identifikasi seseorang dengan kelompoknya kuat, maka pengaruh kelompok terhadap individual tersebut akan kuat pula. Kedua, berkaitan dengan lamanya seseorang menjadi anggota kelompok : semakin lama seseorang menjadi anggota suatu kelompok, kian kuat keterlibatan psikologis yang bersangkutan dengan kelompok tersebut. Ketiga, pengutamaan politik bagi para pemimpin suatu kelompok : semakin penting makna politik, maka semakin kuat para pemimpin tersebut mendesakkan tindakan politis tertentu untuk meningkatan loyalitas kelompok. Keempat, tingkat kepentingan politik bagi anggota-anggota individual.

  3. Kelompok Primer

  Kelompok primer terdiri dari orang-orang yang sering dan secara teratur melakukan kontak dan interaksi langsung. Kelompok primer memiliki pengaruh yang paling kuat dan langsung terhadap perilaku politik seseorang, khususnya dari keluarga dan teman-teman dekat.

1.5.2.2. Pendekatan Psikologis

  Meskipun sangat berguna dalam menyujsun strategis kampanye, pendekatan sosiologis tidak memuaskan semua pakar politik. Kelemahan pendekatan sosiologis antara lain terletak pada sulitnya mengukur secara tepat indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, dan agama. Secara materi patut dipersoalkan apakah benar variabel-variabel sosiologis seperti status sosial-ekonomi keluarga, kelompok- kelompok primer atau sekunder itu memberi sumbangan pada prilaku pemilih.

  Tidakkah variabel-variabel itu baru dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih jika ada proses sosialisasi? Untuk itu, sosialisasilah yang sebenarnya menentukan bukan karakteristik sosiologis.

  Karena kelemahan itu, muncul model perilaku pemilih berdasarkan pendekatan psikologis. Sikap seseorang sangat mempengaruhi perilaku politiknya.

  Sikap itu terbentuk melalui sosisalisasi yang berlangsung lama, bahkan bisa jadi sejak seorang calon pemilih masih berusia dini. Pada usia dini, seorang calon pemilih telah menerima “pengaruh” politik dari orang tuanya, baik dari komunikasi langsung maupun dari pandangan politik yang diekpresikan orang tuanya. Sikap tersebut menjadi lebih mantap ketika menghadapi pengaruh berbagai kelompok acuan seperti pekerjaan, kelompok pengajian, dan sebagainya. Proses panjang sosialisasi itu kemudian membentuk ikatan yang kuat dengan partai politik atau organisasi kemasyarakatan lainnya.

  Identifikasi merupakan dorongan untuk menjadi identik atau sama dengan orang lain tanpa disadari. Identifikasi dilakukan orang kepada orang lain yang dianggapnya ideal dalam suatu segi. Bagi seorang anak, misalnya identifikasi dengan orang tuannya bukan sekedar untuk menjadi seperti ayah dan ibu secara lahiriah saja, melaikkan justru secara batiniah. Tujuannya tak lain untuk memperoleh sistem, norma, sikap, dan nilai yang dianggapnya ideal. Nyata bahwa saling hubungan sosial yang berlangsung pada identifikasi itu lebih mendalam daripada hubungan yang berlangsung melalui proses-proses sugesti maupun imitasi.

  Kuatnya pengaruh identifikasi terhadap perilaku pemilih berkaitan dengan fungsi sikap. Menurut Greenstein, seperti dikutip Agger, sikap memiliki 3 (tiga)

  14

  fungsi. Pertama, fungsi kepentingan, bahwa penilaian terhadap suatu objek diberikan berdasarkan motivasi, minat, dan kepentingan orang tersebut. Kedua, fungsi penyesuaian diri, bahwa seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang disegani atau kelompok panutannya. Ketiga, fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, bahwa upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujudmekanisme pertahanan dan eksternalisasi seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi, dan identifikasi.

  Lebih lanjut, Agger menguraikan sikap tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses yang panjang. Proses ini dimulai dari masa kanak-kanak saat dimana seseorang pertama kali mendapat pengaruh politik dari orang tua dan kerabat dekat. Lalu, seseorang mendapat pengaruh politik dari berbagai kelompok dari dunia di luar keluarga seperti kelompok sebaya, teman sekolah, dan sebagainya. Kemudian sikap politik terbentuk oleh kelompok acuan seperti pekerjaan, masjid, partai politik, dan sebagainya. Proses sosialisasi inilah yang membentuk ikatan psikologis seseorang 14 dengan partai politik tertentu yang kemudian dikenal sebagai identifikasi partai.

  

Agger, B, Teori Sosial Kritis, Kritik Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

2005.

  Identifikasi partai merupakan faktor yang penting untuk memahami perilaku pemilih. Akan tetapi, dengan teori identifiksi partai, seolah-olah semua pemilih relatif mempunyai pilihan yang tetap. Dari Pemilu ke Pemilu, seseorang selalu memilih partai atau kandidat yang sama. Orang tersebut seolah-olah bergeming atau tidak terpengaruh oleh perubahan dunia sekitar. Dengan sendirinya pula, seolah-olah seseorang tidak terpengaruh komunikasi politik menjelang dan saat kampanye politik.

  Berdasarkan konsep tindakan komunikasi, para pemilih yang dipengaruhi oleh faktor identifikasi partai ini digolongkan sebagai pemberi suara yang reaktif.

  Konsep ini juga mengaitkan pendekatan sosiologis dengan pendekatan psikologis.

  15 Identifikasi partai berkaitan dengan pengelompokan sosial.

  Asumsinya adalah bahwa manusia beraksi terhadap rangsangan secara pasif dan terkondisi. Perilaku pemberi suara dibentuk oleh faktor-faktor jangka panjang, terutama faktor sosial. Pengelompokan sosial dan demografi berkolerasi dengan proses identifikasi partai. Ini tak lain karena karakter kelompok sosial dan demografi dimana pemilih itu berada, memberi pengaruh sangat penting dalam proses pembentukan ikatan emosional pemilih dengan simbol-simbol partai, terutama pada awal sosialisasi.

  Simbol-simbol kelompok dan ikatan-ikatan kesejarahan, dengan proses tertentu, dapat melekat pada simbol-simbol partai sehingga terciptalah identifikasi partai. Sebagian anggota kelompok etnis dan agama tertentu, misalnya, memiliki hubungan emosional yang kuat dan panjang dengan partai tertentu. Contoh lainnya, suatu kelompok masyarakat dengan proses tertentu, dapat memiliki ikatan emosional 15 dengan tokoh tertentu, dapat memiliki ikatan emosional dengan tokoh tertentu yang

  Firmansyah. Marketing Politik : Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008. menjadi ikon partai tertentu. Ikatan itu seringkali tak tergoyahkan, jika tidak ada proses sosialisasi simbol-simbol yang panjang dari partai lainnya. Hanya saja, perilaku reaktif hanyalah sebatang pohon dari sebuah hutan konsep perilaku pemilih. Diberbagai belahan dunia, proporsi pemilih yang mendasarkan tindakannya pada identifikasi partai cenderung berkurang.

1.5.2.3. Pendekatan Rasional

  Pada kenyataannya, sebagian pemilih mengubah pilihan politiknya dari suatu pemilu ke pemilu lainnya. Peristiwa-peristiwa politik tertentu bisa saja mengubah preferensi pilihan politik seseorang. Komunikasi politik, dengan substansi dan strategi yang tepat mungkin saja mempengaruhi pilihan seseorang. Pengubahan ini, meskipun harus melalui usaha yang keras, bukan hal yang mustahil. Dengan kata lain, perilaku pemilih bukan hanya ditentukan oleh faktor karakteristik sosial dan identifikasi partai.

  Perilaku pemilih di Inggris tampaknya merupakan salah satu bukti adanya peluang untuk mempengaruhi pemilih diluar “jalur” karakteristik sosial dan identifikasi. Kavanagh mengemukakan, dewasa ini perilaku pemilih Inggris lebih sulit diprediksi karena tiga alasan. Pertama, menurunnya jumlah orang yang mengidentifikasi diri mereka secara kuat dengan partai-partai. Kedua, loyalis kelas melemah, dan kelas pekerja berkurang jumlahnya. Ketiga, terjadi perubahan sosial, yang antara lain ditandai dengan perubahan pekerjaan dan pemukiman.

  Dengan tiga faktor tersebut, dukungan para pemilih ke pada partai-partai bersifat ‘mudah menguap’ (volatil). Survei jajak pendapat membuktikan, rating dukungan kepada suatu partai pada awal pekan kampanye bisa berubah secara signifikan pada akhir pekan. Ini mengindikasikan kampanye memberikan andil dalam perilaku pemilih. Pilihan isu yang merupakan “mainan” utama juru kampanye tak bisa diabaikan.

  Hanya saja, pilihan isu politik tidak serta merta menjadi daya pikat kuat dan satu-satunya faktor yang mustahak. Satu dan lain hal ialah karena adanyanya skeptisisme tentang kemampuan para kandidat untuk menghela dan mewujudkan isu dalam agenda pemerint ahan bila kelak terpilih. Walhasil, “pesona” kandidat juga menjadi faktor penting dalam menentukan perilaku pemilih.

  Pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan mendapat informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena faktor kebetulan atau kebiasaan, bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan untuk kepentingan umum, menurut fikiran dan pertimbangan yang logis. Ciri-ciri pemberi suara yang rasional itu meliputi lima hal :

  1) Dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif

  2) Dapat membandingkan apakah sebuah alternatif lebih disukai, sama saja, atau lebih rendah dibandingkan dengan alternatif lain

  3) Menyusun alternatif dengan cara transitif : jika A lebih disukai daripada B, dan B lebih baik daripada C, maka A lebih disukai daripada C.

  4) Memilih alternatif yang tingkat preferensinya lebih tinggi

  5) Selalu mengambil keputusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif- alternatif yang sama.

  Apakah para pemilih benar-benar rasional? Secara hipotesis dapat dikatakan, pemilih rasional yang memenuhi syarat sangat kecil jumlahnya. Rasionalitas yang terjadi ketika seseorang membeli produk konsuntif amat jarang terjadi ketika ia mempertimbangkan pilihan politiknya. Hal ini disebabkan karena tidak ada insentif yang memadai untuk mencari informasi maksimal sebagai input untuk mengambil keputusan.

  Seseorang memiliki motivasi memadai untuk mencari atau mengolah informasi tentang merek pesawat televisi yang akan dibelinya. Sebaliknya, tidak banyak pemilih yang memiliki perhatian penuh terhadap tawaran partai-parati atau kandidat politik. Masyarakat awam diberbagai pelosok negeri, dimanapun didunia ini, jarang mendiskusikan isu politik dan kandidat legislative secara mendalam.

  Konsep Kristiadi mengenai pemberi suara responsip, agaknya dapat menjelaskan perbedaan antara pendekatan rasional dengan pendekatan sosiologis dan

  16

  psikologis. Bahwa perilaku pemberi suara yang responsip tidak permanen, tetapi berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan peristiwa politik.

  Dengan demikian, para pemilih sanagat dikondisikan oleh berbagai rangsangan luar. Apa yang mereka pilih pada hari pemilihan ditentukan oleh rangsangan yang diberikan oleh pemimpin politik, partai dan kandidat. Karakter pemberi suara responsip adalah sebagai berikut :

  1) Walaupun dipengaruhi karakteristik sosial dan demografis tapi pengaruhnya tidak deterministik,

  2) Pemberi suara responsip memiliki kesetian kepada partai, tetapi afiliasi ini tidak menentukan perilaku pilihan,

  3) Pemberi suara yang responsip lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor jangka pendek yang penting dalam suatu pemilihan umum tertentu ketimbang kesetiaan jangka panjang kepada kelompok atau kepada partai yang lebih penting daripada semua pemilihan umum.

16 J Kristiadi, 1996, Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih, dalam PRISMA No.3.

  Sekali lagi, penjelasan ini berguna untuk mejelaskan perbedaan pendekatan rasional dengan pendekatan sosiologis dan psikologis. Tetapi penjelasan ini-dan juga pendekatan rasional secara umum-perlu diberi catatan tambahan dengan merujuk kepada Popkin. Bahwa para pemilih memang menyerap informasi tetapi mereka tidak mencari dan mengolah informasi dengan aktif.

  Mereka mendapat informasi sebagai produk sampingan dari berbagai aktifitas sehari-hari. Mereka tidak memperoleh informasi yang cukup. Mereka juga tidak memiliki waktu untuk memeriksa akurasi informasi yang diresapnya. Fenomena inilah yang dipostulatkan Popkin sebagai hukum low-information rationality (rasionalitas berdasarkan informasi terbatas) atau gut-rationality (logika perut).

  Walaupun ketiga pendekatan tersebut telah menjadi pakem yang menjadi acuan dalam meneliti dan memahami perilaku pemilih dinegara-negara seperti Amerika, Eropa dan Asia. Tetapi pendekatan ini, tampaknya tidak dapat secara persis dapat diterapkan untuk memahami perilaku pemilih di Indonesia, karena beberapa alasan, antara lain : Pertama, mazhab sosiologi terlalu menekankan peranan kelas (Marxian dan Weberian), sebagai faktor yang menentukan prefrensi politik. Mazhab ini juga percaya bahwa kelas merupakan basis atau landasan pengelompokan politik, sebab partai-partai politik tumbuh dan berkembang berdasarkan kelompok-kelompok masyarakat yang berlainan karena kepentingan ekonomi tertentu. Hal itu jelas tidak dikenal di Indonesia. Kalaupun terdapat “kelas- kelas” dalam masyarakat, mereka lebih merupakan pemilahan dari kelompok yang berkuasa (birokrat) dengan yang dikuasai (rakyat), serta pengelompokan berdasarkan primordial. Kedua, mazhab psikologis menitik beratkan identifikasi kepartaian, khususnya sikap seseorang terhadap isu-isu politik, calon presiden atau anggota parlemen. Ini kurang relevan karena kehidupan politik di Indonesia belum memungkinkan berkembangnya isu-isu politik yang dapat menjadi pilihan alternatif, mengingat masih dimungkinkannya dominasi isu politik oleh kekuatan sosial politik tertentu. Ketiga, mazhab ekonomis atau rasionalitas perilaku pemilih dalam Pemilu, kurang realistis mengingat sebagian besar masyarakat belum mengenal dengan baik calon-calon anggota parlemen dan isu-isu politik yang berkembang sehingga tidak mungkin melakukan penelitian mengenai keuntungan dan kerugian yang diperoleh karena pemilu lebih dipusatkan kepengenalan tanda gambar.

  Mazhab Sosiologis digunakan untuk meneliti pemilahan masyarakat yang secara besar dibagi dua kelompok yaitu penguasa (pimpinan) dan yang dikuasai (anggota masyarakat). Selain itu pengelompokan masyarakat dari aspek tingkat pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal (desa dan kota), dan lain-lain dapat membantu menjelaskan perilaku pemilih di Indonesia.

  Sementara itu, dengan penggunaan mazhab psikologis diharapkan dapat memberikan prespektif internalisasi dan sosialisasi nilai budaya, adat istiadat dan kebiasaan yang membentuk budaya politik masyarakat yang pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku pemilih. Penggabungan kedua pendekatan ini selanjutnya disebut pendekatan sosio cultural.

  Mazhab rasionalitas dapat memberikan kontribusi tentang berkembangnya praktek politik uang yang sering dilakukan oleh si calon dalam mempengaruhi massa. Untuk itu dapat diketahui apakah politik uang ini merupakan juga budaya si pemilih dalam menjelang pemilu, atau itu merupakan imbas dari globalisasi yang kesemuanya diukur dari uang, atau juga dapatdiketahui apakah politik uang hanyamerupakan fenomena dari masyarakat dari negara yang sedang berkembang saja dengan penduduknya yang rata-rata miskin.

1.5.3. Pemilih dan Pemilih Pemula

  Pengertian pemilih dalam penelitian ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, dimana dijelaskan bahwa pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah memiliki hak pilih/hak bersuara dengan memilih wakil rakyat yang dipercayai untuk duduk di lembaga pemerintahan.

  17 Syarat menjadi pemilih menurut UU No.12 Tahun 2003 Pasal 14 ayat 1-3 adalah : 1.

  WNI yang pada hari pemungutan suara telah berusia 17 tahun atau sudah/pernah menikah.

  2. Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya.

  3. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

  4. Terdaftar sebagai pemilih.

  5. Perubahan status dari anggota TNI atau Polri menjadi sipil/purnatugas sehingga punya hak pilih

  6. Apabila telah terdaftar dalam Daftar Pemilih namun tidak lagi memenuhi syarat, maka ia tidak dapat menggunakan hak pilihnya.

  7. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

  8. Berdomisili di daerah tersebut sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum disahkannya daftar pemilih sementara yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kategori tentang pemilih pemula menggunakan pengertian dari Kemitraan

  Partnership for Governance Reforms yang menyebutkan bahwa pemilih pemula

17 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

  adalah pemilih yang mengikuti pemilu untuk pertama kali yang berusia muda sekitar 17-22 tahun maupun yang belum berumur 17 tahun tapi sudah pernah menikah.

1.5.4. Isu Dalam Kampanye Politik

  Kampanye politik adalah sebuah upaya yang terorganisir bertujuan untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih dan kampanye politik selalu merujuk pada kampanye pada

  Sedangkan kampanye dipilih sebagai salah satu variabel yang menjadi faktor utama pemilih menentukan pilihannya pada pemilihan umum karena pada dasarnya kampanye merupakan salah satu langkah kritis dalam pemilu. Dalam langkah ini, kampanye dapat mempengaruhi perilaku memilih seseorang, dimana kampanye berperan dalam menyampaikan isu-isu maupun program yang akan diangkat oleh partai ataupun tokoh tertentu.

  Kampanye pemilu menurut Santoso Sastropoetra pada dasarnya adalah “penyebaran pesan dan mempunyai keinginan untuk membentuk dan mengubah sikap, pendapat dan tingkah laku dari sesama manusia yang menjadi objeknya”.

  Disamping itu kampanye pemilu adalah bentuk komunik asi politik yang “halal”

  

18

diselenggarakan oleh setiap partai politik.

  Sebagai suatu bentuk komunikasi, menurut A. W. Widjaja dalam kampanye terdapat sejumlah unsur dan komponen yang memungkinkan bagi terjadinya komunikasi. Unsur dan komponen tersebut adalah sumber source ), komunikator/penyampai pesan (communicator), pesan (message), saluran (chanel), komunikan/penerima pesan (communican) dan hasil (effect). Sumber dapat dianggap

18 Sastropoetro, Santoso. R.A. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi, dan Disiplin Dalam Pembangunan Nasional. Bandung : Alumni. 1986.

  sebagai lembaga tetap atau partai politik peserta pemilu, sedangkan hasil akan

  19 terlihat pada perilaku pemberian suara.

  Pesan dari kampanye adalah penonjolan ide bahwa sang kandidat atau calon ingin berbagi dengan pemilih. Pesan sering terdiri dari beberapa poin berbicara tentang isu-isu kebijakan. Poin ini akan dirangkum dari ide utama dari kampanye dan sering diulang untuk menciptakan kesan abadi kepada pemilih. Dalam banyak pemilihan, para kandidat partai politik akan selalu mencoba untuk membuat para kandidat atau calon lain menjadi "tanpa pesan" berkaitan dengan kebijakannya atau berusaha untuk pengalihan pada pembicaraan yang tidak berkaitan dengan poin kebijakan atau program.

Dokumen yang terkait

Perilaku Pemilih Masyarakat Perkebunan Pt.Pp London Sumatera Desa Batu Lokong Kecamatan Galan Kabupaten Deli Serdang Pada Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

3 64 82

Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)

2 70 105

Perilaku Pemilih Pemula Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Sumatera Utara Tahun 2013

1 64 93

Hubungan Tingkat Ekonomi Terhadap Partisipasi Politik Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013 Di Lingkungan V Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan

0 31 144

Perilaku Pemilih Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara Tahun 2013 Di Kecamatan Medan Helvetia

0 54 79

Perilaku Pemilih Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Studi : Perilaku Pemilih Masyarakat di Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2008)

0 39 77

Peran Media Massa Dalam Membentuk Rasionalitas Pemilih Dan Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilahan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Medan Johor)

0 28 149

Faktor-faktor Partisipasi Politik Pemilih Pemula di Kecamatan Andir pada Pemilihan Gubernur & Wakil Gubernur (PILGUB) Jabar 2013

4 34 76

Politik Transaksional Antara Calon Bupati Dengan Masyarakat Pemilih Di Kecamatan Kotabumi Selatan Pada Pemilihan Bupati Lampung Utara Tahun 2013

2 23 99

BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah - Partisipasi Politik Pemilih Pemula Dalam Pemilihan Kepala Desa Di Manunggal Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016 - Repository UIN Sumatera Utara

0 0 9