Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rasio Kecukupan Beras Di Sumatera Utara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA
PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Undang – Undang Ketahanan Pangan
Undang-Undang

Nomor

18

Tahun

2012

merupakan

pengganti

dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 yang dipandang sudah tidak sesuai

lagi dengan dinamika perkembangan. UU yang terdiri atas 17 bab dan 154 pasal
ini mengatur masalah perencanaan pangan; ketersediaan pangan; keterjangkauan
pangan; konsumsi pangan dan gizi; label dan iklan pangan; pengawasan; sistem
informasi pangan; penelitian dan pengembangan pangan; kelembagaan pangan;
serta peran masyarakat; dan penyidikan.
Ditegaskan dalam Pasal 6 UU ini, perencanaan pangan dilakukan untuk
merancang penyelenggaraan pangan ke arah kedaulatan pangan, kemandirian
pangan, dan ketahanan pangan. Perencaan ini harus terintegrasi dalam rencana
pembangunan nasional dan pembangunan daerah, dilaksanakan oleh Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran masyarakat; disusun di
tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; serta ditetapkan dalam rencana
pembangunan kangka panjang, jangka menengah, dan rencana kerja tahunan.
Adapun mengenai ketersediaan pangan, pasal 12 UU ini menegaskan,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan pangan
dan pengembangan produksi pangan lokal di daerah. Penyediaan pangan ini

Universitas Sumatera Utara

diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi pangan bagi masyarakat,
rumah tangga , dan perseorangan secara berkelanjutan.

“Sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri dan
cadangan pangan nasional,” tegas Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2012 ini.
Dalam hal sumber penyediaan pangan dalam negeri dan cadangan pangan
nasional belum mencukupi. Menurut UU ini, pangan dapat dipenuhi dengan
impor pangan sesuai dengan kebutuhan. Mengenai cadangan pangan itu terdiri
atas:
a. Cadangan pangan Pemerintah Desa
b. Cadangan pangan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan
c. Cadangan pangan Pemerintah Provinsi. Cadangan pangan ini dilakukan untuk
menanggulangi kekurangan pangan, gejolak harga pangan, bencana alam,
dan/atau menghadapi keadaan darurat.
“Cadangan pangan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan
Pemerintah Desa bersumber dari produksi dalam negeri,” bunyi Pasal 29 Ayat (2)
UU ini.
Menyangkut impor pangan, UU No. 18/2012 ini tegas mengatakan, hanya
dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan
nasional tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.Impor
pangan yang dilakukan itu, sesuai Pasal 37 Ayat (2) UU ini, wajib memenuhi
persyaratan keamanan, mutu, gizi, dan tidak bertentangan dengan agama,

keyakinan, dan budaya masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

UU ini juga menegaskan, bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab dalam mewujudkan keterjangkauan pangan bagi masyarakat,
rumah tangga, dan perseorangan. Untuk kepentingan ini, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah melaksanakan kebijakan di bidang distribusi, pemasaran,
perdagangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, dan bantuan pangan.
Untuk stabilisasi pasokan dan harga pangan itu bisa dilakukan melalui: a.
Penetapan harga pada tingkat produsen sebagai pedoman pembelian Pemerintah
b. Penetapan harga pada tingkat konsumen bagi penjualan pemerintah
c. Pengelolaan dan pemeliharaan cadangan pangan Pemerintah
d. Pengaturan dan pengelolaan pasokan pangan
e. Penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif yang berpihak pada kepentingan
nasional
f. Pengaturan kelancaran distribusi antar wilayah
g. Pengaturan ekspor dan impor pangan.
Dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan
ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang

pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden,” bunyi
Pasal 126 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 ini. Lembaga tersebut dapat
mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan penugasan kepada Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) di bidang pangan untuk melaksanakan produksi,
pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi pangan pokok dan pangan lainnya
yang ditetapkan Pemerintah (Anonimousa, 2013)

Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Pengertian Ketahanan Pangan
Definisi pangan menurut UU No. 18 Tahun 2012 adalah segala sesuatu
yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah
yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan
atau minuman sedangkan Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan
bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya

masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan
(Anonimousb, 2013).
Pengertian ketahanan pangan berdasasarkan UU no. 7 tahun 1996 adalah
kondisi yang terpenuhi pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman,
merata, dan terjangkau. Sedangkan menurut Suryana (2003:103) ketahanan
pangan adalah kondisi terpenuhnya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman,
merata, dan terjangkau. Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan
pangan dapat diartikan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Terpenuhnya pangan yang cukup diartikan ketersediaan pangan yang berasal
dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat,
protein, lemak, vitamin, dan mineral yang bermanfaat bagi pertumbuhan
kesehatan manusia.

Universitas Sumatera Utara

2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran
biologis, kimia, dan benda/zat lain yang dapat mengganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah agama.
3. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dapat diartikan pangan

harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air.
4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah
diperoleh oleh seetiap rumah tangga dengan harga yang terjangkau.
Yang dimaksud pangan pokok ialah pangan yang muncul dalam menu
sehari – hari, mengambil porsi terbesar dalam hidangan dan merupakan sumber
energi terbesar. Sedangakan pangan pokok utama ialah pangan pokok

yang

dikonsumsi oleh sebagaian besar penduduk serta dalam situasi normal tidak dapat
diganti oleh komoditas lain (Khumaidi, 1997;4).

2.1.3 Sub Sistem Ketahanan Pangan
Adapun subsistem dari ketahanan pangan ada 3 sub sistem, yaitu sebagai
berikut:
1. Sub sistem ketersedian pangan
Sub sistem ketersedian pangan yaitu kebutuhan pangan yang tersedia
secara fisik di rumah tangga baik yang berasal dari produksi sendiri, membeli
dipasar maupun bantuan.
2. Sub sistem distribusi pangan

Sub sistem distribusi pangan yaitu kemampuan rumah tangga secara fisik
dan ekonomi untuk memperoleh sejumlah pangan yanng dibutuhkan.
3. Sub sistem konsumsi pangan

Universitas Sumatera Utara

Sub sistem konsumsi pangan yaitu pemanfaatan atau penyiapan pangan
rumah tangga dan kemampuan biologis individual dalam menyerap nutrisi untuk
hidup sehat dan produktif (Lubis, 2014).
Disamping melibatkan integrasi ketiga sub sistem (ketersediaan, distribusi,
dan konsumsi) serta sub sistem penunjang, ketahanan pangan dipengaruhi oleh
banyak pelaku dan kepentingan (produsen, pengolah, pemasar dan konsumen)
serta dikelola oleh berbagai institusi (sektoral, sub sektoral, skala kecil, skala
besar, pemerintah dan masyarakat) dan melibatkan integrasi timbal balik antar
wilayah. Sistem ketahanan pangan yang kompleks tersebut digambarkan dalam
kerangka sistem ketahanan pangan.
Untuk mewujudkan suatu kondisi ketahanan pangan nasional yang mantap,
ketiga sub sistem dalam ketahanan pangan diharapkan dapat berfungsi secara
sinergis, melalui kerja sama antar komponen–komponennya yang dinamis ini,
sistem tersebut dituntun untuk terus berevolusi mengikuti aspirasi masyarakat

yang terus berkembang. Dalam kondisi demikian, upaya pemantapan dan
peningkatan ketahanan pangan masih menghadapi berbagai masalah dan
tantangan yang kompleks.
Berbagai substansi yang menjadi komponen ketahanan pangan mulai dari
sub sistem penunjang yang meliputi prasarana, sarana, dan kelembagaan,
kebijakan , pelayanan, fasilitas pemerintah; sub sistem ketersediaan pangan yang
meliputi produksi, impor dan cadangan pangan; sub sistem distribusi yang
menjamin keterjangkauan masyarakat atas pangan: hingga sub sistem konsumsi
yang mendorong tercapainya keseimbangan gizi masyarakat: merupakan bidang
kerja berbagai sektor. Sektor pertanian diharapkan berperan sentral dalam

Universitas Sumatera Utara

memantapkan ketahanan pangan dalam situasi dan kondisi perdagangan domestik
dan global, bekerja sama dengan sektor-sektor mitranya, khususnya industri dan
perdagangan, prasarana fisik, serta perhubungan. Dengan memahami hal tersebut,
program peningkatan ketahanan pangan ini harus memperhatikan seluruh
komponen dalam sistem ketahanan pangan (Suryana, 2003).
Menyadari peran strategis ketahanan pangan terhadap kelangsungan hidup
bangsa Indonesia, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999–2004

yang merupakan abstraksi dari aspirasi rakyat Indonesia dan pembangunan bidang
ekonomi menjelaskan bahwa mengembangkan sistem ketahanan pangan yang
berbasis pada keragaman sumber daya bahan pangan kelembagaan dan budaya
lokal dalam menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu
yang dibutuhkan, pada tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan
peningkatan pendapatan petani/nelayan serta produksi yang diatur dalam undang –
undang.
Esensi dari pernyataan tersebut adalah mengembangkan dan memantapkan
sistem ketahanan pangan yang berbasis pada produksi dan keragaman sumber
daya wilayah. Jadi pengembangan ketahanan pangan tersebut harus dikaitkan
dengan peningkatan produksi pangan di dalam negeri.
Adapun tujuan dari pembangunan ketahanan pangan yang dilakukan
secara bersama oleh masyarakat dan pemerintah pusat adalah :
1. Meningkatkan produksi beras, sumber karbohidrat lain, sumber protein, dan
zat gizi mikro untuk meningkatkan kualitas pangan dan gizi masyarakat.
2. Meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat/petani mewujudkan
ketahanan pangan yang efesien dan berkelanjutan

Universitas Sumatera Utara


3. Mengembangkan sistem kelembagaan pangan secara partisifatif di pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota sehingga dapat berfungsi secara efektif, efisien
dan berkelanjutan
4. Meningkatkan upaya ketersediaan pangan yang cukup dalam jumlah dan
mutu, beragam, merata, serta terjangkau oleh daya beli masyarakat
5. Meningkatkan penganekaragaman pangan dan produk–produk pangan olahan
sehingga mendorong penurunan konsumsi beras per kapita
6. Meningkatkan sistem kewaspadaan pangan dan gizi di daerah sesuai dengan
potensi sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal
(Suryana, 2003).

2.1.4 Kecukupan Beras
Kecukupan beras adalah ketersediaan beras dikurangi dengan kebutuhan
yang di keluarkan untuk rumah tangga maupun non rumah tangga. Sedangan rasio
keukupan beras adalah perbandingan antara ketersedian beras dengan kebutuhan
beras. Ketersediaan beras dapat dihitung dari produksi beras ditambahkan dengan
stok dan import beras.
Kecukupan beras nasional diukur menggunakan persen rasio produksi dan
ketersediaan beras dalam negeri dengan kebutuhan beras nasional. Untuk
mengetahui kemampuan produksi beras dalam negeri penghitungan ketersediaan

beras tidak memasukkan impor beras. Rasio produksi beras dalam negeri dengan
kebutuhan beras nasional digunakan untuk mengukur kecukupan produksi beras
nasional dalam memenuhi kebutuhan beras nasional. Sedangkan rasio
ketersediaan beras dalam negeri dengan kebutuhan beras nasional digunakan

Universitas Sumatera Utara

untuk mengukur kecukupan produksi beras nasional dalam memenuhi kebutuhan
beras nasional setelah dikurangi ekspor, penggunaan Konsumsi beras nasional
dihitung dari total konsumsi beras langsung oleh rumahtangga, konsumsi beras
pemerintah berupa penyaluran beras miskin, dan permintaan antara beras.
Kebutuhan beras nasional dihitung dari total konsumsi beras nasional dengan
kebutuhan untuk cadangan beras masyarakat dan stok beras di BULOG
(Muttaqin dan Drajat, 2009).

2.2 Landasan Teori
2.2.1 Produksi
Produksi merupakan kegiatan untuk meningkatkan manfaat suatu barang.
Untuk meningkatkan manfaat tersebut, diperlukan bahan–bahan yang disebut
faktor produksi. Sesuai dengan asumsi bahwa sumber–sumber ekonomi (faktor
produksi) bersifat jarang maka faktor–faktor produksi harus dikombinasikan
secara baik atau secara efisien sehingga dicapai kombinasi faktor dengan biaya
yang paling rendah (least cost combination). Secara konversional, faktor produksi
digolongkan menjadi faktor tenaga kerja (L) dan faktor produksi modal (K)
(Soeharno, 2006:4).
Sedangkan menurut Bangun (2007) faktor produksi menjelaskan hubungan
faktor-faktor produksi dengan hasil produksi. Faktor produksi dikenal dengan
istilah input, sedangkan hasil produksi disebut dengan output. Hubungan kedua
variabel (input dan output) tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan
sebagai berikut:
Q = f (K,L,N dan T)

Universitas Sumatera Utara

Q adalah output, sedangkan K,L,N,dan T merupakan input. Besarnya jumah
output yang dihasilkan tergantung dari penggunaan input-input tersebut. Jumlah
output dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan penggunaan jumlah K,L,dan
N atau meningkatkan teknologi. Untuk memperoleh hasil yang efisien, produsen
dapat melakukan pilihan penggunaan input yang lebih efisien.
Dalam upaya meningkatkan produksi beras lebih lanjut telah dianjurkan
untuk meningkatkan mutu intensifikasi melalui
a. Peningkatan areal yang menggunakan benih bermutu serta peningkatan
populasi tanaman
b. Perluasan areal usaha tani yang menerapkan pemupukan berimbang dengan
takaran dan waktu yang tepat
c. Peningkatan areal yang menggunakan zat pengatur tumbuh dan pupuk
pelengkap air
d. Pemberantasan hama dan penyakit dengan melakukan pengendalian hama
terpadu (PHT)
e. Peningkatan mutu sekaligus mempercepat pengolahan tanah untuk menjamin
terlaksananya pola dan jadwal tanam yang ditetapkan.
Kajian–kajian untuk mendapatkan terobosan dalam meningkatkan
produksi terus dilakukan baik dalam bentuk rekayasa teknologi budi daya mupun
rekayasa sosial dan ekonomi. Upaya pemerintah untuk memanfaatkan lahan yang
terlantar dan pembukaan lahan–lahan baru sebagai sumber pertumbuhan produksi
padi terus berlanjut (Noor, 1996:7).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Konsumsi
Komsumsi adalah kegiatan memanfatkan barang – barang atau jasa – jasa
dalam memenuhi kebutuhan hidup. Barang – barang yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup ini tergantung kepada pendapatan yang diperoleh.
Pendapatan (Income) dapat dikelompokkan menjadi rendah, menengah, dan
tinggi. Pengelompokan ini bersifat sangat relatif karena tergantung besarnya
pendapatan nasional per kapita. Barang – barang yang dihasilkan produsen bukan
hanya digolongkan menjadi barang mewah (inferior), tetapi dapat juga dibedakan
menjadi barang - barang yang dapat memenuhi kebutuhan pokok (basic need),
dan barang–barang yang tergolong bukan memenuhi kebutuhan pokok. Termasuk
barang–barang untuk memenuhi kebutuhan pokok anatara lain pangan, sandang,
perumahan, kesehatan, dan sebagainya. Ini pun relatif, tergantung pada tingkat
perkembangan masyarakat (Soeharno, 2006).
Teori Konsumsi Keynes
Menurut John Maynard Keynes, jumlah konsumsi saat ini (current
disposable income) berhubungan langsung dengan pendapatannya. Hubungan
antara kedua variabel tersebut dapat dijelaskan melalui fungsi konsumsi. Fungsi
konsumsi menggambarkan tingkat konsumsi pada berbagai tingkat pendapatan.
C = a +bY
Keterangan : C = Konsumsi seluruh rumah tangga (agregat)
a = Konsumsi otonom, yaitu besarnya konsumsi ketika pendapatan
nol (merupakan konstanta)
b = marginal propensity to consume (MPC)
Y = pendapatan

Universitas Sumatera Utara

Pengeluaran konsumsi yang dilakukan oleh seluruh rumah tangga dalam
perekonomian tergantung kepada pendapatan yang diterima oleh mereka. Makin
besar pendapatan mereka maka makin besar pula pengeluaran konsumsi mereka.
Sifat penting lainnya dari konsumsi rumah tangga adalah hanya sebagian saja dari
pendapatan yang mereka terima yang akan digunakan untuk pengeluaran
konsumsi. Oleh Keynes perbandingan di antara pengeluaran konsumsi pada suatu
tingkat

pendapatan

tertentu

dengan

pendapatan

itu

sendiri

dinamakan

kecondongan mengkonsumsi.
Apabila

kecondongan

mengkonsumsi

adalah

tinggi,

bagian

dari

pendapatan yang digunakan untuk konsumsi adalah tinggi. Dan sebaliknya pula,
apabila kecondongan mengkonsumsi adalah rendah, maka makin sedikit
pendapatan masyarakat yang akan digunakan untuk konsumsi (Sukirno, 2010).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi
Banyak faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah
tangga. Faktor-faktor tersebut dapat di kasifikasikan menjadi tiga besar :
a. faktor-faktor ekonomi
b. faktor-faktor Demografi (kependudukan)
c. faktor-faktor Non-Ekonomi
A. Faktor-Faktor Ekonomi
1. Pendapatan Rumah Tangga (Household Income)
Pendapatan rumah tangga sangat besar pengaruhnya terhadap tingkat
konsumsi. Biasanya makin baik (tinggi) tingkat pendapatan, tingkat konsumsi
makin tinggi. Kerena ketika tingkat pendapatan meningkat, kemampuan rumah

Universitas Sumatera Utara

tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi makin besar. Atau
mungkin juga pola hidup makon konsumtif, setidak-tidaknya semakin menuntut
kualitas yang baik. Contoh yang amat sederhana adalah jika pendapatan sang ayah
masih sangat rendah, biasanya beras yang dipilih untuk konsumsi juga beras kelas
rendah/menengah.
2. Kekayaan Rumah Tangga ( Household Wealth)
Tercakup dalam pengertian kekayaan rumah tangga adalah kekayaan riil
(misalnya: rumah,tanah dan mobil) dan financial (deposito berjangka, saham,
surat-surat berharga). Kekayaan tersebut dapat meningkatkan konsumsi, karena
menambah pendapatan disposibel. Misalnya bunga deposito yang diterima tiap
bulan dan deviden yang diterimaa setiap tahun menambah pendapatan rumah
tangga.

3. Jumlah Barang-Barang Konsumsi Tahan Lama Dalam Masyarakat
Pengeluaran konsumsi masyarakat juga dipengaruhi oleh jumlah barangbarang konsumsi tahan lama (consumers durables). Pengaruhnya terhadap tingkat
konsumsi bisa bersifat positif (menambah) dan negatif (mengurangi). Barangbarang tahan lama biasnya harganya mahal, yang untuk memperolehnya
dibutuhkan waktu untuk menabung. Apabila membelinya secara tunai, maka
sebelum membeli harus banyak menabung.
4. Tingkat Bunga
Tingkat bunga yang tinggi dapat mengurangi konsumsi, baik dilihat dari
sisi keluarga yang memiliki kelebihan uang maupun yang kekurangan uang.
Dengan tingkat bunga yang tinggi, maka biaya ekonomi dari konsumsi akan

Universitas Sumatera Utara

semakin mahal. Bagi mereka yang ingin mengkonsumsi dengan berutang dahulu,
misalnya dengan meminjam dari bank atau menggunakan fasilitas kartu kredit,
biaya bunga semakin mahal, sehingga lebih baik mengurangi konsumsi. Tingkat
bunga yang tinggi menyebabkan menyimpan uang di bank terasa lebih
menguntungkan ketimbang dihabiskan untuk dikonsumsi. Jika tingkat bunga lebih
rendah yang terjadi adalah sebaliknya.
5. Perkiraan Tentang Masa Depan (Household expectation about the future)
Jika rumah tangga memperkirakan masa depannya makin baik, mereka
akan merasa lebih leluasa untuk melakukan konsumsi. Karenanya pengeluaran
konsumsi cenderung meningkat.

B. Faktor-Faktor Demografi
1. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi
secara menyeluruh, walaupun rata-rata per orang atau keluaraga relatif rendah.
Misalnya, walaupun tingkat konsumsi rata-rata penduduk Indonesia lebih rendah
daripada penduduk Singapura, tetapi secara absoult tingkat pengeluaran konsumsi
Indonesia lebih besar daripada penduduk Singapura. Sebab jumlah penduduk
Indonesia lima puluh kali lipat penduduk Singapura (Anonimousa, 2013).
Dengan bertambahnya jumlah penduduk akan menyebabkan kebutuhan
akan bertambah. Kebutuhan yang tinggi akan meyebabkan rasio kecukupan beras
menurun, hal ini di sebabkan rasio kecukupan beras merupan perbandingan
ketersediaan dengan kebutuhan. Dari persamaan tersebut dapat kita ambil

Universitas Sumatera Utara

kesimpulan bahwa rasio kecukupan beras berbanding terbalik dengan kebutuhan
beras.
2. Komposisis Penduduk
Komposisi penduduk satu negara dapat dilihat dari beberapa klasifikasi
diantaranya : usia (produktif dan tidak produktif), pendidikan (rendah, menengah,
tinggi) dan wilayah tinggal ( pekotaan atau pedesaan)

C. Faktor-Faktor Non-Ekonomi
Faktor-faktor ekonomi yang paling berpengaruh terhadap besarnya
konsumsi adalah faktor sosial-budaya masyarakat. Misalnya, berubahnya pola
kebiasaan makan, perubahan etika dam tata nilai karena ingin meniru kelopmok
masyarakat lain yang dianggap lebih hebat. Tidak mengherankan bila ada rumah
tangga yang mengeluarkan uang ratusan juta, bahakan miliarab rupiah, hanya
untuk membeli rumah idaman (Anonimousa, 2013).
Tingkat komsumsi pangan penduduk berkaitan dengan prilaku komsumsi
masyarakat. Berbagai masalah yang dihadapi dalam komsumsi pangan adalah:
1. Penduduk yang cukup besar.
Dengan

penduduk yang terus bertambah beban penyediaan beras untuk

memenuhi permintaan yang terus meningkat akan semakin bertambah berat,
terutama dalam kondisi semakin terbatasnya sumber daya alam sebagai basis
produksi.
2. Kebijakan

pengembangan

pangan

yang

berfokus

pada

beras

telah

mengabaikan potensi sumber–sumber pangan karbonhidrat lainnya dan
lambatnya pengambangan usaha penyediaan bahan pangan sember protein

Universitas Sumatera Utara

3. Teknologi pengolahan pangan lokal di masyarakat kurang berkembang
dibandingkan teknologi produksi dan kurang bisa mengimbangi semakin
membanjirkan produk pangan olahan yang berasal dari pangan impor.
4. Masyarakat pada daerah–daerah tertentu masih mengalami kerawanan pangan
secara berulang (kronis) pada musim peceklit, demikian pula sering terjadi
kerawanan pangan yang mendadak (transein) pada daerah – daerah yang
terkena bencana (Suryana, 2003:94)

Teori Konsumsi Engel
Hukum engel, berbunyi : “semakin besar pendapatan, semakin kecil bagian
pendapatan yang digunakan untuk konsumsi, dan semakin kecil pendapatan
semakin besar pula bagian pendapatan yang digunakan untuk konsumsi

Y3
X3
X2
X1

Y2
Y1

I1

I2

I3

I1

I2

I3

Gambar 2. Kurva Engel
Kurva Engel menggambarkan hubungan antara pengeluaran total dengan
jumlah suatu barang tertentu seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 dimana
kedua barang adalah barang normal karena jumlah yang dibeli naik kalau

Universitas Sumatera Utara

pendapatan naik. Barang dalam gambar (a) adalah suatu kebutuhan pokok dalam
arti bahwa bagian dari pengeluaran yang disediakan oleh X menurun kalau
pendapatan naik. Sebaliknya, barang Y pada gambar (b) merupakan barang
mewah (Nicholson, 1991).

2.3 Penelitian Sebelumnya
Penelitian Hasyim (2007) yang berjudul “ Analisis Faktor – Faktor yang
Mempengaruhi Ketersediaan Beras di Sumatera Utara”. Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data sekunder runtun waktu (time series) mulai tahun
1987 hingga 2006. Dalam penelitian ini analisis yang dilakukan dengan metode
Ordinary Least Square (OLS). Alat bantu dalam mengolah sekunder ini adalah
program eviews versi 4.1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil estimasi
dapat diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,993 yang berarti bahwa
variasi yang terjadi pada luas panen, harga beras, harga jagung, dan ketersediaan
beras tahun sebelumnya dapat menjelaskan ketersediaan beras sebesar 99,3%
secara serempak menunjukkan bahwa dari keseluruhan variabel bebas yaitu luas
panen, harga beras, harga jagung, dan ketersediaan beras tahun sebelumnya
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap ketersediaan beras. Sedangkan
secara parsial variabel luas panen berpengaruh positif dan signifikan , harga beras
memberikan pengaruh negatif dan signifikan
sedangkan kedua variabel

terhadap ketersediaan beras

yaitu harga jagung berpengaruh negatif dan tidak

signifikan dan ketersediaan beras tahun sebelumnya menunjukkan pengaruh
positif dan tidak nyata terhadap ketersediaan beras.

Universitas Sumatera Utara

Nababan (2006) tentang “Analisis Situasi Ketahanan Pangan ” dengan
studi kasus Provinsi Suamtera Utara. Metode yang digunakan adalah metode
sampling secara purposive yaitu menentukan daerah dan sampel dipilih
berdasarkan pada pertimbangan dan tujuan tertentu. Metode analisis yang
digunakan yaitu metode deskriptif. Adapun hasil dari penelitian antara ini adalah
jumlah kebutuhan beras sebagai bahan pangan utama di Provinsi Sumatera Utara
selama tahun 2000 – 2004 mengalami peningkatan. Kebutuhan rata–rata sebesar
1.654.834 ton dengan tingkat pertumbuhan 1,35 persen per tahun. Jumlah
produksi beras di Provinsi Sumatera Utara selama tahun 2000-2004 tersedia untuk
memenuhi pangan masyarakat. Produksi beras rata–rata sebesar 2.121.120 ton
dimana jumlah ini jauh lebih besar daripada kebutuhan rata–rata pangan sebesar
1.654.834 ton. Faktor–faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan dari sisi
penawaran antara lain berkurangnya luas panen, masih rendah tingkat penerapan
teknologi,

nilai

mempengaruhi

tukar

petani

yang

rendah.

Faktor–faktor

yang

dapat

ketahanan pangan dari sisi permintaan antara lain tingkat

pendapatan riil masyarakat, fluktuasi harga.
Penelitian Harahap yang berjudul “ Analisis Permintaan Beras Di
Sumatera Utara”. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel
mulai tahun 2005 hingga 2010. Pengolahan data sekunder dan penerapan ketiga
metode di atasakan menggunakan program (software) statisitik Eviews versi 5.0.
Dengan melakukan uji asumsi klasik dan signifikan, yang terdiri dari : uji
serempak (F-test), koefisien determinasi (R2), uji parsial (t-test), uji
multikolinearitas, uji autokorelasi, dan uji normalitas.. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hasil estimasi dapat diperoleh nilai koefisien determinasi

Universitas Sumatera Utara

(R2) sebesar 0,934 yang berarti bahwa variasi yang terjadi pada harga beras, harga
jagung, jumlah penduduk, dan PDRB dapat menjelaskan permintaan beras sebesar
93,4%, secara serempak menunjukkan bahwa dari keseluruhan variabel bebas
yaitu harga beras, harga jagung, jumlah penduduk, dan PDRB memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap permintaan beras. Sedangkan secara parsial
variabel harga beras berpengaruh negatif, jumlah penduduk berpengaruh positif
dan PDRB berpengaruh positif dan dari ketiga variabel tersebut memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap permintaan beras sedangkan variabel lain
yaitu harga jagung berpengaruh positif dan menunjukkan pengaruh tidak nyata
terhadap permintaan beras.
Penelitian Muttaqin dan Drajat yang berjudul “ Konsumsi, Kebutuhan, dan
Kecukupan Beras Nasional Tahun 2002-2007”, dengan data yang digunakan
adalah data sekunder yang meliputi data konsumsi beras rumah tangga tahun 2002
– 2007, data konsumsi beras pemerintah, yaitu data penyaluran/ realisasi beras
miskin tahun 2002 - 2007, dan data ketersediaan beras dimana kecukupan beras
nasional diukur menggunakan persen rasio produksi dan ketersediaan beras dalam
negeri dengan kebutuhan beras nasional. Hasil dari penelitian konsumsi beras
nasional berdasarkan estimasi adalah 28,317,272 ton atau 134.4 Kg/kap (tahun
2002), 28,135,078 ton atau 128.4 Kg/kap (tahun 2005), dan 27,050,183 ton atau
120.2 Kg/kap (tahun 2007). Sedangkan kebutuhan beras nasional berdasarkan
estimasi adalah 31,900,529 ton atau 151.5 Kg/kap (tahun 2002), 31,760,865 ton
atau 144.9 Kg/kap (tahun 2005), dan 30,618,665 ton atau 136.0 Kg/kap (tahun
2007). Ketersediaan beras dari produksi dalam negeri (tanpa impor) pada tahun

Universitas Sumatera Utara

2002 dan 2005 masih mengalami defisit. Ketersediaan beras dalam negeri baru
mengalami surplus pada tahun 2007, yaitu sebesar 5.9 persen.
Penelitian Afrianto (2010) yang berjudul “Analisis Pengaruh Stok Beras,
Luas Penen, Rata-Rata Produksi, Harga Beras dan Jumlah Konsumsi Beras
terhadap Ketahanan Pangan di Jawa Tengah ”, menggunakan rasio ketersediaan
beras sebagai variabel dependen, sedangkan variabel independen yang digunakan
adalah stok beras, luas panen, rata-rata produksi, harga beras eceran, dan jumlah
konsumsi beras. Metode analisis yang digunakan adalah analisis data panel
dengan membandingkan prilaku ketersediaan beras di tiap kabupaten/kota di Jawa
Tengah. Dari hasil analisis regresi diketahui bahwa stok beras berpengaruh positif
namun tidak signifikan tehadap rasio ketersediaan beras, luas panen dan rata-rata
produksi berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio ketersediaan beras,
sedangkan harga beras berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap rasio
ketersediaan beras, dan jumlah konsumsi berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap rasio ketersediaan beras. Berdasarkan hasil analisis didapatkan temuan
bahwa 22 kabupaten/kota yang memiliki pertumbuhan ketahanan pangan yang
lebih baik dari kabupaten Sukoharjo yang menjadi benchmark dalam penelitian
ini, sementara sisanya 12 kabupaten/kota di Jawa Tengah memiliki pertumbuhan
ketahanan pangan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kabupaten
Sukoharjo.
Sagala (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “ Analisis Faktor – Faktor
Yang Mempengaruhi Ketersediaan Beras di Kabupaten Deli Serdang”

yang

bertujuan untuk menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi luar areal panen
padi, komsumsi beras, serta harga eceran beras di Kabupaten deli Serdang.

Universitas Sumatera Utara

Penelitian ini menggunakan data runtun waktu (time series) tahun 2004 – 2010.
Data yang dikumpulkan adalah data per semester. Analisis data yang dilakukan
dengan analisis deksriptif dan analisis kuantitatif. Berdasarkan hasil penelitian
bahwa variabel luas areal irigasi dan harga pupuk urea berpengaruh positif
sedangkan harga gabah di tingkat petani dan curah hujan daerah setempat
berpengaruh negatif. Secara parsial, hanya variabel luas areal irigasi yang
berpengaruh signifkan terhadap luas areal panen di Kabupaten Deli Serdang. Pada
persamaan komsumsi beras, variabel pandapatan perkapita dan harga beras
berpengaruh signifikan terhadap komsumsi beras di kabupaten deli Serdang. Pada
persamaan harga eceran beras, variabel jumlah komsumsi beras dan lag harga
eceran beras berpengaruh positif sedangkan lag jumlah produksi beras
berpengaruh negatif. Hanya variabel komsumsi beras yang berpengaruh nyata,
sedangkan yang lainnya tidak berpengaruh nyata.

2.4 Kerangka Pemikiran
Beras sebagai bahan makanan pokok masyarakat Indonesia khususnya di
Sumatera Utara, memegang peranan penting dalam menyokong terwujudnya
kecukupan beras nasional. Oleh karena itu, rasio kecukupan beras yang
digambarkan sebagai perbandingan jumlah ketersediaan beras dengan jumlah
kebutuhan beras, harus dapat dijamin oleh pemerintah sehingga ketahanan pangan
dapat diwujudkan.
Dalam analisis ini melihat bagaimana pengaruh harga beras, jumlah
penduduk, harga jagung, produsi jagung, damn pendapatan per kapita Sumatera
Uatara terhadap rasio kecukupan beras.

Universitas Sumatera Utara

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada gambar 2.1 yang
bertujuan untuk menjelaskan pengaruh harga beras, luas panen padi, produksi
jagung, jumlah penduduk, dan pendapatan regionsl per kapita Sumatera Utara
terhadap rasio kecukupan beras di Sumatera Utara.

Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
Rasio Kecukupan Beras

Ketersediaan Beras

Kebutuhan Beras

Faktor-faktor yang mempengaruhi rasio
kecukupan beras:
1. Harga beras
2. Jumlah penduduk
3. Harga jagung
4. Produksi jagung
5. Pendapatan regional per kapita Sumatera
Utara
Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan:
= menyatakan pengaruh
= menyatakan hubungan

Universitas Sumatera Utara

2.5 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka pemikiran, maka hipotesis
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Harga beras berpengaruh negatif terhadap rasio kecukupan beras
2. Luas panen padi berpengaruh positif terhadap rasio kecukupan beras
3. Jumlah penduduk berpengaruh negatif terhadap rasio kecukupan beras
4. Produksi jagung berpengaruh negatif terhadap rasio kecukupan beras
5. Pendapatan regional per kapita Sumatera Utara berpengaruh positif terhadap
rasio kecukupan beras.

Universitas Sumatera Utara