Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rasio Kecukupan Beras Di Sumatera Utara
Lampiran 1. Data Sekunder Penelitian (Rasio Kecukupan Beras (Y),Harga Beras (X1), Luas Panen Padi ( X2), Produksi Jagung (X3), Jumlah Penduduk ( X4), Pendapatan Regional Per Kapita Provinsi Sumatera Utara(X5))
Y (%) X1(Rp/Kg) X2 (Ha) X3(Ton) X4 (Juta Jiwa) X5 (Juta)
12.18 2362.01 847610.00 666.76 11.51 5.21
11.09 2666.71 801948.00 634.59 11.72 6.07
10.68 3079.90 768240.00 640.59 11.86 6.73
11.45 3120.00 825188.00 687.36 12.01 7.75
11.72 3209.00 826091.00 712.56 12.14 8.70
11.81 3792.00 822073.00 735.46 12.33 10.12
10.53 4684.00 822073.00 682.04 12.64 11.30
11.52 5000.00 705032.00 804.85 12.83 14.17
10.69 6046.00 750232.00 1098.97 12.83 16.81
11.85 6203.00 748540.00 982.40 13.39 18.38
12.43 6516.00 768407.00 1361.71 12.98 21.11
13.36 8116.00 754674.00 1327.77 13.10 23.99
12.84 8434.00 764317.00 1500.55 13.22 26.57
12.50 8461.80 737488.00 1413.52 13.57 26.20
12.61 8975.80 730707.00 1485.39 13.72 28.00
12.73 9489.80 723926.00 1557.26 13.87 29.80
12.85 10003.80 717145.00 1629.13 14.04 31.60
12.97 10517.80 710364.00 1701.00 14.18 33.39
13.08 11031.80 703582.00 1772.87 14.33 35.19
13.20 11545.80 696801.00 1844.74 14.48 36.99
13.32 12059.80 690020.00 1916.61 14.63 38.79
13.44 12573.80 683239.00 1988.48 14.78 40.59
13.57 13087.90 676458.00 2060.35 14.94 42.39
(2)
Correlations Rasio Kecukupan Beras Harga Beras Luas Panen Padi Produksi Jagung Jumlah Penduduk PDRB Per Kapita Pearson Correlati on RasioKecukupan Beras
1.000 -.120 -.021 .199 .002 .337
HargaBeras -.120 1.000 -.145 .153 .074 .510 Luas Panen Padi -.021 -.145 1.000 .100 -.869 -.483 Produksi Jagung .199 .153 .100 1.000 .031 .073 Jumlah Penduduk .002 .074 -.869 .031 1.000 .642 PDRB Per Kapita .337 .510 -.483 .073 .642 1.000 Sig.
(1-tailed)
Rasio Kecukupan Beras
. .293 .461 .182 .497 .058
Descriptive Statistics
Mean Std. Deviation N Rasio Kecukupan Beras 12.2791 .94877 23
Harga Beras 7433.7704 3501.81163 23
Luas Panen Padi 2719.7670 1292.37822 23 Produksi Jagung 1269.7821 497.49934 23
Jumlah Penduduk 13.2658 1.03780 23
(3)
Harga Beras .293 . .255 .244 .368 .006
Luas Panen Padi .461 .255 . .324 .000 .010
Produksi Jagung .182 .244 .324 . .444 .370
Jumlah Penduduk .497 .368 .000 .444 . .000
PDRB Per Kapita .058 .006 .010 .370 .000 .
N Rasio Kecukupan Beras
23 23 23 23 23 23
Harga Beras 23 23 23 23 23 23
Luas Panen Padi 23 23 23 23 23 23
Produksi Jagung 23 23 23 23 23 23
Jumlah Penduduk 23 23 23 23 23 23
PDRB Per Kapita 23 23 23 23 23 23
Variables Entered/Removed
Model Variables Entered Variables Removed Method 1 PDRBPerKapita,
JumlahPenduduk Luas Panen Padi, ProduksiJagung, HargaBerasa
. Enter
a. All requested variables entered.
(4)
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regressi
on
18.328 5 3.666 42.23 8
.000a
Residual 1.475 17 .087
Total 19.804 22
a. Predictors: (Constant), PDRBPerKapita, JumlahPenduduk, HargaJagung, ProduksiJagung, HargaBeras
b. Dependent Variable: RasioKecukupanBeras Mod
el R R Squar e Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Change Statistics Durbin-Watson R Square Change F
Change df1 df2
Sig. F Chang
e
1 .962a .926 .904 .29459 .926 42.238 5 17 .000 2.058 a. Predictors: (Constant), PDRBPerKapita, JumlahPenduduk, Luas Panen Padi ,
ProduksiJagung, HargaBeras
(5)
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig.
Collinearity Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) 58.336 8.812 6.620 .000
Harga Beras -.002 .000 -6.912
-4.510
.000 .515 1.94 3 Luas Panen Padi .001 .001 1.635 2.396 .028 .184 5.45
0 Produksi Jagung -.009 .002 -4.905
-4.125
.001 .874 1.14 5 Jumlah Penduduk -3.757 .706 -4.110
-5.326
.000 125 8.01 8 PDRB Per Kapita 1.165 .211 15.036 5.530 .000 .814 3.18
8 a. Dependent Variable: RasioKecukupanBeras
(6)
(7)
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test RasioKecuku pan Beras Harga Beras Luas Panen Padi Produks i Jagung Jumlah Pendudu k PDRBP erKapit a
N 23 23 23 23 23 23
Normal Parametersa,,b
Mean 12.2791 7433.77 04 2719.767 0 1269.78 21 13.2658 22.6021 Std. Deviation .94877 3501.81 163 1292.378 22 497.499 34 1.03780 12.2502 0 Most Extreme Differences
Absolute .128 .112 .158 .173 .079 .126 Positive .087 .112 .158 .173 .079 .126 Negative -.128 -.099 -.083 -.112 -.077 -.094 Kolmogorov-Smirnov Z .616 .536 .758 .829 .377 .605 Asymp. Sig. (2-tailed) .843 .936 .614 .498 .999 .857
(8)
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
(9)
DAFTAR PUSTAKA
Anonimousa. 2013. Undang-Undang RI no 18 tahun 2012 Tentang Pangan. http://codexindonesia.bsn.go.id/.
Anonimousb. 2013. UU No. 18/2012: Pemerintah Wajib Kelola Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan. http:// http://setkab.go.id/.
Anonimusc. 2013. Teori Konsumsi Keynes. Htp://Nur Anwar009.blogspot.com//. Afrianto. Denny. 2010. Analisis Pengaruh Stok Beras, Luas Panen, Rata-Rata Produksi, Harga Beras, dan Konsumsi Beras Terhadap Ketahanan Pangan di Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Dipenogoro.
BPS. 2014. Sumatera Utara Dalam Angka 2000-2013.
Bangun, Wilson. 2007. Teori Ekonomi Mikro. Bandung: Refika Aditama.
Dinas Pertanian. 2014. Harga dan Produksi Jagung Tahun 2000-2012 di Sumatera Utara. Medan
Harahap, Hasyrul Aziz. 2014. Analisis Permintaan Beras di Sumatera Utara.
Tesis : Program Pasca Sarjana UNIMED (www. Qe-journal.unimed.ac.id ).
Khudiri. Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Diversifikasi Pangan. Majalah Pangan. No. 56/XVIII/ Oktober – Desember 2009. Hal. 3 Khumaidi, Muhammad.1997. Beras Sebagai Pangan Pokok Utama Bangsa
Indonesia, Keunikan Dan Tantangannya. Bogor : Fakultas Pertanian IPB.
Ibrahim, H.M.Y., 2009. Study Kelayakan Bisnis. Edisi Revisi. Rineka Cipta: Jakarta
Lubis, Ade Fatma et al. 2007. Aplikasi SPSS Untuk Penyusunan Skripsi Dan Tesis. Medan : USU Press.
Lubis, Satia Negara. 2014. Penelitian di Bidang Pangan. Medan: Pelatihan Metode Penelitian 2014 Agribisnis, Pertanian, USU.
Muttaqin,Aisz dan Drajat Martianto. 2009. Konsumsi, Kebutuhan, dan Kecukupan Beras Nasional Tahun 2002-2007. Jurnal Gizi dan Pangan, nopember 2009 (3): 116-122
(10)
Nababan, Nila Imelda. 2006. Analisis Ketahanan Pangan Propinsi Sumatera Utara. Skripsi. Depertemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara
Najiwati, Sri dan Danarti, 1999. Pemanfaatan Lahan Tidur untuk Tanaman Pangan. Jakarta : Penebar Swadaya.
Noor, Muhammad. 1996. Padi Lahan Marjinal. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sagala. Siviana Yanidah. 2012. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketersediaan Beras di Kabupaten Deli Serdang. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana USU.
Saifullah, Agus. Kebijakan Perberasan dan Stabilitasi Harga Beras di Indonesia: Strategi Pengendalian Harga pada Masa Krisis. Majalah Pangan. no 54/xviii/april-juni/2009. Hal. 1-7.
Soeharno. 2007. Teori Ekonomi Mikro. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET. Sulistyo, Joko. 2010. 6 Hari Jago SPSS17. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. Supriana, Tavi dan Pane, Tasya Chairuna. 2013. Penuntun Praktikum
Ekonometrika. Medan: Departemen agribisnis, Fakultas pertanian, USU.
Sutrisno dan Edris, Ismi M. Reaktualisasi Diversifikasi Pangan Berbasis Sumber
Daya Lokal. Majalah Pangan. No. 56/XVIII/ Oktober – Desember
2009. Hal. 46.
Suryana, Achmad. 2003. Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Ketahanan Pangan. Yogyakarta: BPFE.
Suryana, A, et al. 2001. Dinamika Kebijakan Perberasan Nasional. Jakarta. LPEM FE UI
(11)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1Metode Penentuan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Utara. Penentuan daerah ini dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan Sumatera Utara Merupakan Pusat Pemerintahan dan memberi Kebijakan tentang pangan Ke Seluruh Kabupaten/kota di Sumatera Utara dan pertmbangan produktivitas beras Sumatera Utara 5 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel 3. 1:
Tabel 3.1 Luas Panen, Produksi Padi, dan Rata-Rata Produksi Padi Sumatera Utara
Tahun Luas Panen (Ha)
Produksi Padi (Ton)
Rata–Rata Produksi (Ton/Ha)
2008 748.540 3.340.794 4,46
2009 768.407 3.527.899 4,56
2010 754.674 3.582.302 4,74
2011 757.547 3.607.403 4,76
2012 765.101 3.715.513 4,85
Sumber: Badan Ketahanan Pangan Nasional, 2014
3.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder runtun waktu (time series) dan data primer. Data-data ini diperoleh dari Badan Ketahanan Pangan Nasional (BKPN) Provinsi Sumatera Utara, Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, BPS Provinsi Sumatera Utara, dan BULOG Provinsi Sumatera Utara Dalam penelitian ini jenis data yang dipakai adalah data tahunan, yaitu dari tahun 2000 – 2012.
(12)
Namun karena sampel terlalu kecil untuk dianalisis sehingga data yang tersedia diproyeksikan sampai tahun 2020 dengan bantuan data yang ada dengan menggunakan metode trend.
Trend adalah salah satu peralatan statistic yang dapat digunakan untuk memperkirakan keadaan di masa yang akan datang berdasarkan data masa lalu. Trend juga merupakan gerakan dan data deret berkala selama beberapa tahun dan cenderung menuju suatu arah, dimana arah tersebut bisa naik, turun, maupun mendatar (Ibrahim, 2009).
Dalam memproyeksikan data digunakan dengan bantuan MINITAB 16 dimana merupakan software untuk memproyeksikan rasio kecukupan beras, harga beras, luas panen padi, jumlah penduduk, produksi jagung dan pendapatan regional per kapita 8 tahun kedepan. Jadi sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 23 sampel yaitu dari tahun 2000-2012 dan data proyeksi 2013 sampai 2020.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dan dokumentasi. Studi pustaka dilakukan dengan mempelajari literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang diteliti dan buku yang berkaitan dengan topik penelitian. Teknik dokumentasi dilakukan dengan menelusuri dan mendokumentasikan data-data dan informasi yang berkaitan dengan objek studi.
(13)
3.4Metode Analisis Data
Untuk masalah dalam penelitian ini dilakukan analisis regresi linear berganda dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Alat bantu dalam mengolah data sekunder adalah SPSS versi 17.00.
Untuk mengetahui pengaruh harga beras, Luas panen padi, jumlah penduduk, produksi jagung, dan pendapatan regional per kapita Sumatera Utara dalam penelitian ini digunakan model sebagai berikut:
Y= a0 + a1X1 + a2X2 + a3X3 + a4X4 + a5X5 + μ dimana : Y = rasio kecukupan beras (persen)
X1 = Harga beras (Rp/ton) X2 = Luas panen padi (Ha)
X3 = Jumlah penduduk (Juta Jiwa) X4 = Produksi jagung (ton)
X5 = Pendapatan regional per kapita Sumatera Utara (Juta) a0 = Konstanta intersep
a1-a5= Koefisien variabel regresi μ = Kesalahan pengganggu
3.4.1 Uji Asumsi Klasik
Sebelum kita melakukan analisis data maka idealisnya jika model tersebut sebelumnya harus memenuhi uji aumsi klasik data dan terbebas dari asumsi-asumsi klasik statistik, baik itu normalitas, multikolineritas, autokorelasi maupun heteroskesdastisitas. Jika terjadi penyimpangan akan asumsi klasik digunakan
(14)
pengujian statistik non parametrik sebaliknya asumsi klasik terpenuhi apabila digunakan statistik parametrik untuk mendapatkan model regresi yang baik.
3.4.1.1Uji Normalitas
Uji normalitas dimaksudkan untuk memprlihatkan bahwa sampel diambil dari populasi yang berdistribusi normal. Untuk mengetahui data-data yang digunakan dalam penelitian ini berdistribusi normal atau tidak dapat di uji dengan
3.4.1.1.a Uji Kolmogorov-Smirnov
Kita dapat melihat uji normalitas dengan ketentuan sebagai berikut: 1. P value (sig.) > 0,05 maka populasi berdistribusi normal.
2. P value (sig.) < 0,05 maka populasi tidak berdistribusi normal. (Sulistyo, 2010).
3.4.1.1.b Uji dengan Metode Grafik
Analisis grafik dilakukan dengan cara melihat normal probability plot yang membandingkan distribusi komulatif dari distribusi normal. Dengan kriteria uji sebagai berikut:
Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogram menunjukkan pola distribusi normal: data residual model berdistribusi dengan normal.
Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan tidak mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogram tidak menunjukkan pola distribusi normal: data residual model tidak berdistribusi dengan normal (Supriana dan Tasya, 2013).
(15)
3.4.1.2 Uji Multikolineritas
Uji ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya variabel independen yang memiliki kemiripan dengan variabel independen lain dalam suatu model. Kemiripan antar variabel independent dalam satu model akan menyebabkan terjadinya korelasi yang sangat kuat antara suatu variabel independen dengan variabel independen yang lainnya (Lubis, et al., 2007:32).
Multikolineritas dapat dideteksi dengan metode diantaranya dengan melihat: 1. jika nilai koefisien determinasi (R2) tinggi ; dalam uji secara serempak
(F-test), variabel-variabel bebas serempak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat; akan tetapi dalam uji parsial (t-test), variabel-variabel bebas secara parsial banyak yang tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat, maka hal ini mengindikasikan terjadi multikolineritas.
2. Melihat nilai standar error. Jika standar error yang besar mengindikasikan terjadinya multikolineritas
3. Jika nilai toleransi lebih besar dari 0,1 atau VIF (Variance Inflation Faktor) kurang dari 10.
4. terdapat koefisien korelasi sederhana yang mencapai atau melebihi 0,8. (Supriana dan Tasya, 2013).
3.4.1.3 Uji Autokorelasi
Menguji autokorelasi dalam suatu model bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antara variabel pengganggu (et) pada periode tertentu dengan variabel pengganggu periode sebelumnya (et-1). Autokorelasi sering terjadi pada sampel dengan data time series dengan n-sampel adalah periode waktu.
(16)
Sedangkan untuk sampel crosssection dengan n-sampel item seperti nama kota, nama orang, nama daerah, dan sebagainya jarang terjadinya, karena variabel pengganggu item sampel yang satu berbeda dengan yang lainnya (Lubis,et al., 2007:33 ).
Untuk mengetahui ada tidaknya gejala autokorelasi dalam model regresi yang digunakan maka cara yang digunakan dengan malakukan pengujian serial korelasi dengan metode Durbin-Watson.
0 dL dU 4-dU 4-dL
Gambar 3.1. Aturan Membandingkan Uji DW dengan Tabel Durbin-Watson
Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi:
1. Bila nilai DW terletak antara batas atas atau upper bound (du) dan (4-du), maka koefisien autokorelasi atau sama dengan nol, berarti tidak ada autokorelasi 2. Bila nilai DW lebih rendah dari batas bawah atau lower bound (dl), maka koefisien autokorelasi lebih besar dari pada nol, maka ada auotokorelasi
3. Bila nilai DW lebih besar dari pada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih kecil dari pada nol, maka ada autokorelasi
4. Bila nilai DW terletak antara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.
(17)
3.4.1.4 Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas terjadi dalam regresi apabila varian error (ei) tidak konstan tidaknya varian error dapat dilakukan dengan menggambar grafik antara y dengan residu. Apabila garis yang membatasi sebaran titik-titik relatif paralel maka varian error dikatakan konstan. Untuk melihat terjadi tidaknya hererokedastisitas dengan grafik scatterplot yaitu
1. Jika grafik membentuk pola tertentu maka terjadi hererokedastisitas
2. Jika grafik tidak membentuk pola tertentu dan tersebar maka tidak terjadi hererokedastisitas (Sulistyo, 2010).
3.4.2 Uji Statistika
Setelah mengestimasi data dengan uji asumsi klasik maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji statistik, uji ini dilakukan untuk mengetahui bermakna atau tidaknya variabel atau model yang digunakan secara parsial atau keseluruhan. Uji statistik yang dilakukan antara lain :
3.4.2.1Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji- T)
Uji ini dilakukan untuk mengetahui signifikansi variabel independen secara individu terhadap variabel dependennya. Adapun hipotesis pada uji t ini adalah sebagai berikut :
Jika nilai t hitung lebih besar dibandingkan dengan niai t tabel maka H0 ditolak artinya terdapat pengaruh secara individu variabel independen terhadap variabel dependennya, begitu juga sebaliknya. Disamping melihat t hitung, dapat
(18)
juga dilihat nilai probabilitas. Pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas adalah sebagai berikut :
3.4.2.2Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien Determinasi (R2) yang bertujuan untuk melihat apakah variabel independent cukup memberikan arti dalam menjelaskan variabel dependen. Dengan kata lain variasi yang terjadi pada variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen sebesar (R2) .
3.4.2.3Uji signifikan variabel secara Serempak (Uji statistik F)
Uji statistik F pada dasarnya digunakan untuk menunjukkan apakah secara serempak semua variabel bebas yang dimasukkan kedalam model berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Uji statistik F dimasukkan untuk mengetahui tingkat signifikansi statistik koefisisen regresi secara serempak. Hipotesis nol (H0) yang hendak diuji adalah apakah semua parameter dalam model sama dengan nol, atau:
H0 : b1 =b2 =...=bk = 0
Artinya, seluruh variabel bebas secara serempak tidak berpengaruh signifikan atau nyata terhadap variabel bebas terikat. Hipotesis alternatif (H1) yang hendak diuji adalah tidak semua parameter secara serempak saa dengan nol, atau
(19)
Artinya, seluruh variabel bebas secara serempak berpengaruh signifikan atau nyata terhadap variabel terikat (Supriana dan Pane, 2013).
3.5 Definisi dan Batasan Operasional
Untuk menjelaskan dan menghindari kesalahpahaman mengenai pengertian tentang istilah–istilah dalam penelitian maka dibuat definisi dan batasan perasional sebagai berikut:
3.5.1 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah suatu defenisi yang diberikan kepada suatu variabel dengan cara memberikan arti, spesifikasi kegiatan, atau memberi suatu operasional yang dibutuhkan untuk mengukur variabel tersebut. Adapun defenisi operasional dari variabel yang dipergunakan adalah sebagai berikut :
1. Jumlah kebutuhan beras adalah jumlah beras yang dikonsumsi oleh rumah tangga dan non rumah tangga di Provinsi Sumatera Utara dalam jangka waktu satu tahun. Satuan dalam variabel ini adalah ton.
2. Jumlah ketersediaan beras adalah sejumlah beras yang tersedia untuk dikonsumsi setiap rumah tanggan dan non rumah tangga dimana ketersedian merupakan jumlah dari produksi beras, stok beras dan jumlah impor beras. Satuan dari variabel ini adalah ton.
3. Stok beras merupakan jumlah beras yang dapat disimpan oleh suatu daerah setiap tahun. Satuan dari variabel ini adalah ton.
(20)
4. Rasio kecukupan beras adalah perbandingan jumlah ketersediaan beras dengan kebutuhan beras di provinsi Sumatera Utara. Satuan dari variabel ini adalah persen.
5. Harga beras yang dimaksud dalam penelitian ini adalah harga eceran yaitu harga komoditi beras yang sudah ditambah dengan biaya pemasaran. Satuan dalam variabel ini adalah Rp/ton.
6. Luas panen padi adalah luas lahan padi yang siap untuk dipanen. Satuan luas panen padi dalam penelitian ini adalah hektar.
7. Jumlah penduduk adalah seluruh jumlah penduduk Sumatera Utara yang tercatatan dari seluruh kabupaten/kota Sumatera Utara. Satuan variabel ini adalah juta jiwa.
8. Produksi jagung adalah seluruh hasil produksi jagung tiap tahun dari seluruh kabupaten/kota di Sumatera Utara. Satuan variabel ini adalah ton.
9. Pendapatan regional per kapita Sumatera Utara adalah pendapatan rata-rata Sumatera Utara dari seluruh sektor yang ada dibagi jumlah penduduk dalam pertengahan tahun. Satuan variabel ini adalah juta/tahun.
(21)
3.5.2 Batasan Operasional
Adapun batasan operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data yang diambil adalah data tahunan dari tahun 2000 sampai 2012 dan ditambah data proyeksi 8 tahun dari tahun 2013-2020 yang meliputi data kebutuhan beras, jumlah produksi beras, stok beras, import beras, harga beras, luas panen padi, Luas panen padi, jumlah penduduk, produksi jagung dan pendapatan per kapita Sumatera Utara di provinsi Sumatera Utara
2. Penelitian ini dilakukan di Sumatera Utara 3. Waktu penelitian dimulai tahun 2014
(22)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Provinsi Sumatera Utara berada di bagian barat Indonesia, terletak pada gari 10-40 Lintang Utara dan 980-1000 Bujur Timur. Adapun batas-batas wilayah Provinsi Sumatera Utara:
Sebelah Utara: Provinsi Aceh
Sebelah Timur: Negara Malasyia di Selat Malaka
Sebelah Selatan: Provinsi Riau dan Sumatera Barat
Sebelah Barat: Samudera Hindia.
Luas daratan Provinsi Sumatera Utara adalah 71.680,68 km2, sebagian besar berada di daratan Pulau Sumatera dan sebagian kecil berada di Pulau Nias, Pulau-Pulau Batu, serta beberapa pulau kecil, baik dibagian barat maupun bagian timur pantai Pulau Sumatera. Povinsi Sumatera Utara mempunyai 25 kabupaten. 8 kota, 325 kecamatan dan 5.456 kelurahan/desa. Berdasarkan luas daerah menurut kabupaten/kota di Sumatera Utara, luas daerah terbesar adalah Kabupaten Mandailing Natal 6.620,70 km2 atau sekitar 9,23% dari total luas Sumatera Utara sedangkan yang terkecil adalah kota Sibolga dengan luas 10,77 km2 atau sekitar 0,02% dari total wilayah Sumatera Utara.
Karena terletak dekat garis khatulistiwa, Provinsi Sumatera Utara beriklim tropis. Ketinggian permukaan daratan Provinsi Sumatera Utara sangat bervariasi, sebagian daerahnya datar, hanya beberapa meter diatas permukaan laut, beriklim
(23)
cukup panas bisa mencapai 30,10C, sebagian daerah berbukit dengan kemiringan yang landai, beriklim sedang dan sebagian yang suhu minimalnya bisa mencapai 21,40C.
Sebagaimana provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Sumatera Utara mempunya musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan November sampa dengan bulan Maret dan musim penghujan biasanya terjadi bulan September, di antara kedua musim itu diselingi oleh musim pancaroba.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terus menunjukkan peningkatan dari 68,8 pada tahun 2003 menjadi 75,13 pada tahun 2012, lebih tinggi dibandingkan angka IPM nasional yang mencapai 73,29 atau berada pada perigkat ke-8 secara nasional. Tingkat kemiskinan berhasil ditekan dari 14,93 persen pada tahun 2004 menjadi 10,39 persen pada tahun 2013. Tingkat kemiskinan Sumatera Utara berada dibawah kemiskinan secara nasional yang sebesar 11,47 persen.
Tingkat pengangguran di Sumatera menurun dari 13,75 persen pada tahun 2004 menjadi 6,53 persen pada tahun 2013. Sedangakan potensi kerja naik menjadi 70,67 persen di tahun 2013 dibanding pada tahun 2012 yang sebesar 69,41 persen dari total penduduk usia kerja (15 tahun atau lebih) yang berjumlah 8,9 juta jiwa.
Tingkat pelayanan kesehatan yang semakin membaik, telah mendorong usia harapan hidup penduduk Sumatera Utara dari 68,0 pada tahun 2003 menjadi 69,81 tahun 2012, sedangkan kualitas sumber daya manusia berhasil ditingkatkan dari rata-rata lama sekolah penduduk Sumatera Utara dari 8,4 persen pada tahun 2004 menjadi 9,07 pada tahun 2012.
(24)
Jumlah penduduk dunia dari tahun ketahun mengalami peningkatan yang menyebabkan kebutuhan akan bahn pangan terutama beras semakin meningkat. Adapun pertumbuhan jumlah penduduk Provinsi Suamtera Utara berikut:
Tabel 4.1 Pertumbuhan Jumlah Penduduk di Sumatera Utara
Tahun Jumlah Penduduk (Juta Jiwa)
2000 11,51 2001 11,72 2002 11,86 2003 12,01 2004 12,14 2005 12,33 2006 12,64 2007 12,83 2008 12,83 2009 13,39 2010 12,98 2011 13,10 2012 13,22 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2014
Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara tahun ketahun semakin meningkat dimana pada tahun 2000 jumlah penduduk Sumatera Utara sebanyak 11,51 juta jiwa menjadi 13,22 juta jiwa pada tahun 2012. Dalam jangka 12 tahun jumlah penduduk mengalami kenaikan sebesar 1,70 juta jiwa dengan laju pertumbuhan sebesar 1,15%.
4.1 Perkembangan Harga Beras Sumatera Utara
Secara umum, harga beras di Indonesia sangat mudah berfluktuasi tergantung kondisi pasar. Saat panen raya tiba, biasanya harga beras menjadi
(25)
anjlok karena over produksi, produsen terpaksa melepas beras dengan harga lebih rendah karena beras adalah barang yang mudah rusak jika terlalu lama disimpan. Sementara jika terjadi gagal panen yang hebat, harga beras akan melambung karena permintaan beras melebihi kemampuan penawarannya. Harga beras yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga beras di tingkat pasar dimana harga beras petani yang sudah ditambahkan dengan biaya lain seperti transport. satuan harga beras yaitu Rp/ton.
Adapun perkembangan harga beras Sumatera Utara tahun 2000-2012 dapat kita lihat pada tabel berikut:
Tabel 4.2 Perkembangan Harga Beras Provinsi Sumatera Utara
Tahun Harga Beras (Rp/Kg)
2000 2.363,00
2001 2.667,00
2002 3.080,00
2003 3.120,00
2004 3.209,00
2005 3.792,00
2006 5.000,00
2007 6.046,00
2008 6.230,00
2009 6.516,00
2011 8.116,00
2012 8.434,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2014
Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa harga beras dari tahun 2000-2012 mengalami kenaikan dimana tahun 2000 harga beras sebesar Rp. 2.363,00 menjadi Rp. 8.434,00 pada tahun 2012. Dapat dilihat kenaikan sebesar Rp. 6.071. kenaikan yang paling besar terjadi pada tahun 2005 ke 2006 yaitu dari harga Rp.
(26)
3.792,00 menjadi Rp.5.000,00.dan dimana laju kenaikan harga beras yaitu sebesar 11,19%.
4.2 Perkembangan Luas panen padi Provinsi Sumatera Utara
Lahan merupakan salah satu faktor produksi dimana luas lahan padi yang siap untuk dipanen adalah pengertian dari luas panen padi . Perkembangan Luas panen padi di Provinsi Sumatera Utara tahun 2000-2012 dapat kita lihat pada tabel berikut:
Tabel 4.3 Perkembangan Luas Panen Padi di Sumatera Utara
Tahun Luas Panen Padi (Ha)
2000 847610.00
2001 801948.00
2002 768240.00
2003 825188.00
2004 826091.00
2005 822073.00
2006 822073.00
2007 705032.00
2008 750232.00
2009 748540.00
2010 768407.00
2011 754674.00
2012 764317.00
Sumber: Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara, 2014
Tabel 4.3 memperlihatkan luas panen padi Sumatera Utara dari tahun 2000-2012 dimana luas panen padi dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Penurunan luas panen padi tersebut diakibatkan banyaknya peralihan fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan perkebunan ataupun pemukinan. Adapun laju pertumbuhan luas lahan padi adalah -1,86%
(27)
4.3 Perkembangan Produksi Jagung Provinsi Sumatera Utara
Jagung sebagai barang subsitusi beras atau dapat mengurangi konsumsi beras di Sumatera Utara selalu mengalami peningkatan . Perkembangan produksi jagung Sumatera Utara dapat kita lihat sebagai berikut:
Tabel 4.4 Perkembangan Produksi Jagung di Sumatera Utara
Tahun Produksi Jagung (Ton)
2000 666,76 2001 634,59 2002 640,59 2003 687,36 2004 712,56 2005 735,46 2006 682,04 2007 804,85 2008 1098,97 2009 982,40 2010 1361,71 2011 1327,77 2012 1500,55 Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, 2014
Dari tabel 4.4 dapat kita lihat bahwa produksi jagung Sumatera Utara pada umumnya selalu meningkat, hanya saja pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 116,57 ton dari tahun 2008. Dimana pada tahun 2000 produksi jagung adalah 666,76 ton sedangkan pada tahun 2012 produksi jagung adalah 1.500,55 ton dalam jangka 13 tahun mengalami peningkatan sebesar 833,79 ton dengan laju pertumbuhan sebesar 6,99%.
(28)
4.4 Pertumbuhan Pendapatan Regional Per Kapita
Pendapatan regional per kapita berasal dari pendapatan Sumatera Utara
yang berasal dari seluruh sub sektor yang ada di Sumatera Utara. Adapun perkembangan pendapatan regional per kapita adalah sebagai berikut:
Tabel 4.5 Pertumbuhan Pendapatan Regional Per Kapita di Sumatera Utara
Tahun Pendapatan Regional Per Kapita
(Juta Rupiah)
2000 5.21
2001 6.07
2002 6.73
2003 7.75
2004 8.70
2005 10.12
2006 11.30
2007 14.17
2008 16.81
2009 18.38
2010 21.11
2011 23.99
2012 26.57
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2014
Tabel 4.5 memperlihatkan bahwa pendapatan regional per kapita dari tahun ke tahun mengalami penigkatan yang cukup drastis dimana pendapatan regional per kapita pada tahun 2000 sebesar Rp 5,21 Juta dan meningkat pada tahun 2012 yaitu sebesar Rp 26,57 Juta. ini menggambarkan perekonomian kita makin bagus dan semakin meningkat. Dimana laju pertumbuhan pendapatan rgional per kapital dari tahun 2000-2012 adalah 14,54.
(29)
4.5 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Rasio Kecukupan Beras
Untuk menganalissi faktor-faktor yang memepengaruhi rasio kecukupan beras di Sumatera Utara dapat dilakukan dengan menggunakan data yang telah dikumpulkan selama 13 tahun dari tyahun 2000 sampai 2012 dan karena data terlalui kecil maka dilakukan proyeksi data untuk 8 tahun dengan menggunakan program Mini Tab. Dan dari data sekunder yang telah dikumpulkan dan di proyeksikan dilakukan pengolahan data dengan metode Ordinary least Square (OLS) menggunakan alat bantu program SPSS 17.00. dari pengolahan tersebut diperoleh hasil sebagai berikut:
Y = 58,336 - 0,002X1 + 0,001X2 - 0,009X3 – 3,757X4 + 1,165 X5 Signifikan t = (0,000) (0,028) (0,001) (0,000) (0,000) R2 = 0,926%
Signifikan F = 0,000 Sumber: Lampiran 2
Persamaan regresi linear di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Koefisien regresi X1 (harga beras) bernilai sebesar -0,002, artinya setiap kenaikan harga beras sebesar Rp. 1000 maka akan menyebabkan penurunan rasio kecukupan beras sebesar 2%, dengan asumsi variabel lain konstan. Hal ini sesuai dengan hipotesis 1
2. Koefisien X2 (luas panen padi) bernilai 0,001, artinya setiap kenaikan jumlah penduduk sebesar 1 hektar maka akan menyebabkan penurunan rasio kecukupan beras sebesar 0,001% dengan asumsi variabel lain konstan. Hal ini sesuai dengan hipotesis 2.
(30)
3. Koefisien X3 (produksi jagung) bernilai -0,009, artinya setiap kenaikan produksi jagung sebesar 1 ton maka akan menyebabkan penurunan rasio kecukupan beras sebesar 0,009% dengan asumsi variabel lain konstan. Hal ini sesuai dengan hipotesis 3.
4. Koefisien X4 (jumlah penduduk) bernilai -3,757, artinya setiap kenaikan jumlah penduduk sebanyak 1 juta jiwa maka akan menyebabkan penurunan rasio kecukupan beras sebesar 3,757% dengan asumsi variabel lain konstan. Hal ini sesuai dengan hipotesis 4.
5. Koefisien X5 (pendapatan regional per kapita Sumatera Utara) bernilai 1,165 artinya setiap kenaikan pendapatan regional per kapita Sumatera Utara sebesar satu juta maka akan menyebabkan penurunan rasio kecukupan beras sebesar
1,165% dengan asumsi variabel lain konstan. Hal ini sesuai dengan hipotesis 5.
Uji Signifikan Variabel Secara Serempak (Uji F)
Pengujian terhadap pengaruh semua variabel di dalam model dapat dilakukan dengan uji F. Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variasi independen yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara keseluruhan terhadap variabel dependen. Dari hasil regresi dapat diketahui bahwa nilai signifikan F adalah 0,000 (≤ 0,05) dengan menggunakan taraf 95% (α= 5%) maka dapat disimpulkan bahwa variabel independen yaitu harga beras,luas panen padi, produksi jagung, jumlah penduduk, dan pendapatan regional per kapita di Sumatera Utara secara serempak berpengaruh nyata terhadap rasio kecukupan beras (Lampiran 2).
(31)
Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) berfungsi untuk melihat sejauh mana kemamapuan model dalam menerangkan variasi variabel dependent. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,926%. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar 92,6% rasio kecukupan beras dapat dijelaskan oleh harga beras,luas panen padi, Produksi Jagung, jumlah penduduk, dan pendapatan regional perkapita sedangkan 7,4% dipegaruhi faktor-faktor lain yang di luar model (Lampiran 2).
Uji Signifikan Parameter Individual (Uji-T)
Uji ini dilakukan untuk mengetahui signifikansi variabel independen secara individu terhadap variabel dependennya. Adapun hipotesis pada uji t ini adalah sebagai berikut :
Pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas adalah sebagai berikut :
bilitas < 0,05, maka H0 ditolak
Uji statistik t dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara individual terhadap variabel dependennya. Hasil t-statistik menunjukkan bahwa pengaruh harga beras (X1), luas panen padi (X2), produksi jagung (X3), jumlah penduduk (X4), pendapatan regional per kapita Sumatera Utara (X5), dapat disimpulkan bahwa taraf keyakinan 95 % ( α= 5%) variabel independen yaitu harga beras, luas panen padi, produksi jagung, jumlah penduduk, dan
(32)
pendapatan regional per kapita mempunyai pengaruh yang signifikan ataupun nyata terhadap variabel dependen yaitu rasio kecukupan beras (Lampiran 2).
4.5.1 Harga Beras
Dari hasil regresi diketahui bahwa koefisien regresi harga beras (X1) adalah -0,002, artinya harga beras eceran di Sumatera Utara memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap rasio kecukupan beras dimana setiap kenaikan harga beras sebesar Rp. 1000 akan menyebabkan rasio kecukupan beras turun sebesar 2 %.
Dapat kita lihat dari pengaruh harga beras dari sisi ketersediaan beras dapat kita ketahui dengan naiknya harga beras maka masyarakat akan lebih banyak menanam padi dan akan menyebabkan produksi dan ketersediaan akan beras meningkat. Dengan hal tersebut maka rasio kecukupan beras juga akan meningkat.. Tapi kita lihat keadaan di Sumatera Utara berbeda dengan dari pernyataan diatas. Hal ini terjadi karena beras merupakan makanan pokok masyarakat Sumatera Utara.
Adapun penemuan yang mendukung hasil dari peneliian ini adalah temuan Hasman Hasyim (2007) menyebutkan bahwa harga beras berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketersediaan beras di Sumatera Utara. Denny Afrianto (2010) yang mendapatkan hasil bahwa harga beras berpengaruh negatif secara statistik terhadap ketersediaan beras dan sesuai dengan temuan Hasyrul Aziz Harahap (2014) mendapatkan harga beras berpegaruh negatif dan nyata terhadap permintaan beras. Artinya disetiap setiap kenaikan harga beras Rp. 1000 akan menurunkan rasio kecukupan beras di Sumatera Utara sebesar 2%.
(33)
4.5.2 Luas Panen Padi
Dari hasil regresi diketahui bahwa koefisien regresi luas panen padi adalah 0,001, artinya luas panen padi di Sumatera Utara memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap rasio kecukupan beras.dimana setiap kenaikan luas panen padi seluas 1 hektar akan menyebabkan kenaikan rasio kecukupan beras sebesar 0,001%.
Dapat kita ketahui jika luas panen meningkat maka produksi dan ketersediaan beras juga akan meningkat dan menyebabkan rasio kecukupan beras juga meningkat. Dan hasil penelitian ini didukung oleh teori produksi yaitu besarnya jumah output yang dihasilkan tergantung dari penggunaan input-input. Jumlah output dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan penggunaan jumlah input yaitu jika kita meningkatkan input produksi seperti luas lahan, modal, tenaga kerja,dan teknologi akan menyebabkan peningkatan produksi.
Sesuai dengan penemuan Hasman Hasyim (2007) yaitu luas panen berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketersediaan beras di Sumatera Utara dan penemuan Afrianto (2010) dimana luas panen merpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio ketersediaan beras di Jawa Tengah.
4.5.3 Produksi Jagung
Dari hasil regresi diketahui bahwa koefisien regresi produksi jagung adalah -0,009, artinya produksi jagung dari seluruh kabupaten/kota di Sumatera Utara memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap rasio kecukupan beras. Dimana setiap kenaikan produksi jagung sebesar 1 ton akan menyebabkan penurunan rasio kecukupan beras sebesar 0,009 %. Hal ini di sebabkan karena
(34)
jagung merupakan bahan pangan yang bisa dikonsumsi untuk mengurangi konsumsi beras.
Sesuai dengan teori produksi yang dikemukakan Bangun (2007) faktor produksi menjelaskan hubungan faktor-faktor produksi dengan hasil produksi. Faktor produksi dikenal dengan istilah input, sedangkan hasil produksi disebut dengan output, dimana salah satu inputnya adalah luas lahan. Jika produksi jagung meningkat kemungkinan petani beralih dari lahan sawah menjadi bertani jagung yang menyebabkan produksi beras menurun maka penyediaan beras akan menurun dan menyebabkan rasio kecukupan beras menurun juga.
4.5.4 Jumlah Penduduk
Dari hasil regresi diketahui koefisien jumlah penduduk (X4) adalah -3,757 artinya jumlah seluruh penduduk di Sumatera Utara memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap rasio kecukupan beras. Artinya jika jumlah penduduk meningkat 1juta jiwa akan menyebabkan rasio kecukupan beras menurun sebesar 3,757%.
Dapat kita ketahui bahwa jika penduduk meningkat maka akan menyebabkan kebutuhan akan beras juga akan meningkat. Hal tersebut berakibat rasio kecukupan beras menurun. Inio disebabkan karena kebutuhan berbanding terbalik dengan rasio kecukupan beras. Jika kebutuhan meningkat maka akan menyebabkan rasio kecukupan beras munurun diman ketersediaan beras tetap.
Sesuai dengan teori konsumsi keynes bahwa jumlah penduduk merupakan faktor yang mempengaruhi konsumsi dimana jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun rata-rata per
(35)
orang atau keluarga relatif rendah (Anonimous, 2013a). Dan menurut suryana (2003) dengan penduduk yang terus meningkat beban penyediaan beras untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat akan semakin bertambah berat terutama dalam kondisi semakin terbatasnya sumber daya alam sebagai basis produksi.
4.5.2 Pendapatan Regional Per Kapita Sumatera Utara
Dari hasil regresi diketahui bahwa koefisien regresi pendapatan regional per kapita Sumatera Utara adalah 1,165 artinya pendapatan regional per kapita Sumatera Utara dari seluruh sub sektor memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap rasio kecukupan beras. Artinya setiap kenaikan pendapatan regional per kapita Sumatera Utara sebesar Rp. 1 juta akan menyebabkan rasio kecukupan beras akan meningkat sebesar 1,165%.
Hasil dari penelitian ini di dukung oleh teori konsumsi engel yang berbunyi : “semakin besar pendapatan, semakin kecil bagian pendapatan yang digunakan untuk konsumsi, dan semakin kecil pendapatan semakin besar pula bagian pendapatan yang digunakan untuk konsumsi”.
Jadi penduduk Sumatera Utara dapat kita simpulkan jika pendapatan masyarakatnya meningkat maka akan berkurang dalam mengkonsumsi beras yang menyebabkan rasio kecukupan beras di Sumatera Utara meningkat.
(36)
Uji Asumsi Klasik
Adapun hasil dari berbagai uji asumsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Normalitas
Berdasarkan grafik histogram pada lampiran 2 dapat dilihat bahwa pola distribusi data adalah normal,. Dari tabel Normal Probility Plot juga dapat kita lihat bahwa data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikiti arah garis diagonal dan dari hasil uji Kolmogrov-Smirnov dapat diketahui bahwa semua variabel memiliki nilai signifikan lebih besar (>) α (0,05) dari hasil diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa populasi data yang diambil berdistribusi normal
2. Multikolineritas
Berdasarkan nilai VIF dan nilai toleransi diketahui dimana nilai VIF <10 dan nilai tolerance > 0,1 maka model linear tersebut bebas dari multikolineritas (lampiran 2).
3. Autokolerasi
Adapun hasil SPSS dengan metode Durbin-Watson adalah
Nilai Durbin-Watson= 2,058
Nilai tabel DL= 0,895
(37)
Dari hasil diatas diketahui bahwa nilai DW berada diantara DU dan 4-DU (1,920≤ 2,057≤ 4-1,920 (2,080)) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan variabel penggannggu dengan variabel pengganggu sebelumnya atau tidak terjadi autokolineritas dalam model regresi.
4. Heteroskedastisitas
Dari hasil SPSS dapat kita lihat bahwa grafik scatterflot tidak membentuk pola dan tersebar maka hal ini data tidak terjadi heterokedastisitas (Lampiran 2).
(38)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Harga beras berpengaruh negatif dan signifikan terhadap rasio kecukupan beras
2. Luas panen padi berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio kecukupan beras
3. Produksi jagung berpengaruh negatif dan signifikan terhadap rasio kecukupan beras
4. Jumlah penduduk berpengaruh negatif dan signifikan terhadap rasio kecukupan beras
5. Pendapatan regional per kapita Sumatera Utara berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio kecukupan beras
5.2Saran
1. Kepada petani,hendak melakukan penyimpanan beras di tingkat petani atau Gapoktan untuk menjaga ketersediaan beras dan stabilitas harga ketika panen raya.
2. Kepada masyarakat, jadilah konsumen yang baik dan pintar agar kebutuhan dalam rumah tangga dan ketersediaan beras rumah tangga dapat terpenuhi.
(39)
3. Kepada pemerintah, hendaknya lebih memperhatikan lahan sawah yang semakin hari semakin berkurang dan membuat suatu lembaga yang lebih fokus terhadap sawah layaknya PTPN untuk perkebunan, dan lebih menstabilkan harga agar tidak merugikan konsumen.
4. Kepada peneliti lain hendaknya melakukan pengembangan model, dengan menambah variabel penjelas lain serta mengambil kasus ketahanaan pangan yang dihadapi Sumatera Utara terutama tentang Rasio kecukupan beras.
(40)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA
PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Undang – Undang Ketahanan Pangan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan. UU yang terdiri atas 17 bab dan 154 pasal ini mengatur masalah perencanaan pangan; ketersediaan pangan; keterjangkauan pangan; konsumsi pangan dan gizi; label dan iklan pangan; pengawasan; sistem informasi pangan; penelitian dan pengembangan pangan; kelembagaan pangan; serta peran masyarakat; dan penyidikan.
Ditegaskan dalam Pasal 6 UU ini, perencanaan pangan dilakukan untuk merancang penyelenggaraan pangan ke arah kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Perencaan ini harus terintegrasi dalam rencana pembangunan nasional dan pembangunan daerah, dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran masyarakat; disusun di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; serta ditetapkan dalam rencana pembangunan kangka panjang, jangka menengah, dan rencana kerja tahunan.
Adapun mengenai ketersediaan pangan, pasal 12 UU ini menegaskan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan pangan dan pengembangan produksi pangan lokal di daerah. Penyediaan pangan ini
(41)
diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi pangan bagi masyarakat, rumah tangga , dan perseorangan secara berkelanjutan.
“Sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional,” tegas Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 ini.
Dalam hal sumber penyediaan pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional belum mencukupi. Menurut UU ini, pangan dapat dipenuhi dengan impor pangan sesuai dengan kebutuhan. Mengenai cadangan pangan itu terdiri atas:
a. Cadangan pangan Pemerintah Desa
b. Cadangan pangan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan
c. Cadangan pangan Pemerintah Provinsi. Cadangan pangan ini dilakukan untuk menanggulangi kekurangan pangan, gejolak harga pangan, bencana alam, dan/atau menghadapi keadaan darurat.
“Cadangan pangan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa bersumber dari produksi dalam negeri,” bunyi Pasal 29 Ayat (2) UU ini.
Menyangkut impor pangan, UU No. 18/2012 ini tegas mengatakan, hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.Impor pangan yang dilakukan itu, sesuai Pasal 37 Ayat (2) UU ini, wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu, gizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.
(42)
UU ini juga menegaskan, bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam mewujudkan keterjangkauan pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan. Untuk kepentingan ini, Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan kebijakan di bidang distribusi, pemasaran, perdagangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, dan bantuan pangan. Untuk stabilisasi pasokan dan harga pangan itu bisa dilakukan melalui: a. Penetapan harga pada tingkat produsen sebagai pedoman pembelian Pemerintah b. Penetapan harga pada tingkat konsumen bagi penjualan pemerintah
c. Pengelolaan dan pemeliharaan cadangan pangan Pemerintah d. Pengaturan dan pengelolaan pasokan pangan
e. Penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif yang berpihak pada kepentingan nasional
f. Pengaturan kelancaran distribusi antar wilayah g. Pengaturan ekspor dan impor pangan.
Dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden,” bunyi Pasal 126 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 ini. Lembaga tersebut dapat mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi pangan pokok dan pangan lainnya yang ditetapkan Pemerintah (Anonimousa, 2013)
(43)
2.1.2 Pengertian Ketahanan Pangan
Definisi pangan menurut UU No. 18 Tahun 2012 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman sedangkan Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (Anonimousb, 2013).
Pengertian ketahanan pangan berdasasarkan UU no. 7 tahun 1996 adalah kondisi yang terpenuhi pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Sedangkan menurut Suryana (2003:103) ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhnya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat diartikan lebih lanjut sebagai berikut:
1.Terpenuhnya pangan yang cukup diartikan ketersediaan pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia.
(44)
2.Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda/zat lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah agama.
3. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dapat diartikan pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air.
4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh oleh seetiap rumah tangga dengan harga yang terjangkau.
Yang dimaksud pangan pokok ialah pangan yang muncul dalam menu sehari – hari, mengambil porsi terbesar dalam hidangan dan merupakan sumber energi terbesar. Sedangakan pangan pokok utama ialah pangan pokok yang dikonsumsi oleh sebagaian besar penduduk serta dalam situasi normal tidak dapat diganti oleh komoditas lain (Khumaidi, 1997;4).
2.1.3 Sub Sistem Ketahanan Pangan
Adapun subsistem dari ketahanan pangan ada 3 sub sistem, yaitu sebagai berikut:
1. Sub sistem ketersedian pangan
Sub sistem ketersedian pangan yaitu kebutuhan pangan yang tersedia secara fisik di rumah tangga baik yang berasal dari produksi sendiri, membeli dipasar maupun bantuan.
2. Sub sistem distribusi pangan
Sub sistem distribusi pangan yaitu kemampuan rumah tangga secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh sejumlah pangan yanng dibutuhkan.
(45)
Sub sistem konsumsi pangan yaitu pemanfaatan atau penyiapan pangan rumah tangga dan kemampuan biologis individual dalam menyerap nutrisi untuk hidup sehat dan produktif (Lubis, 2014).
Disamping melibatkan integrasi ketiga sub sistem (ketersediaan, distribusi, dan konsumsi) serta sub sistem penunjang, ketahanan pangan dipengaruhi oleh banyak pelaku dan kepentingan (produsen, pengolah, pemasar dan konsumen) serta dikelola oleh berbagai institusi (sektoral, sub sektoral, skala kecil, skala besar, pemerintah dan masyarakat) dan melibatkan integrasi timbal balik antar wilayah. Sistem ketahanan pangan yang kompleks tersebut digambarkan dalam kerangka sistem ketahanan pangan.
Untuk mewujudkan suatu kondisi ketahanan pangan nasional yang mantap, ketiga sub sistem dalam ketahanan pangan diharapkan dapat berfungsi secara sinergis, melalui kerja sama antar komponen–komponennya yang dinamis ini, sistem tersebut dituntun untuk terus berevolusi mengikuti aspirasi masyarakat yang terus berkembang. Dalam kondisi demikian, upaya pemantapan dan peningkatan ketahanan pangan masih menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang kompleks.
Berbagai substansi yang menjadi komponen ketahanan pangan mulai dari sub sistem penunjang yang meliputi prasarana, sarana, dan kelembagaan, kebijakan , pelayanan, fasilitas pemerintah; sub sistem ketersediaan pangan yang meliputi produksi, impor dan cadangan pangan; sub sistem distribusi yang menjamin keterjangkauan masyarakat atas pangan: hingga sub sistem konsumsi yang mendorong tercapainya keseimbangan gizi masyarakat: merupakan bidang kerja berbagai sektor. Sektor pertanian diharapkan berperan sentral dalam
(46)
memantapkan ketahanan pangan dalam situasi dan kondisi perdagangan domestik dan global, bekerja sama dengan sektor-sektor mitranya, khususnya industri dan perdagangan, prasarana fisik, serta perhubungan. Dengan memahami hal tersebut, program peningkatan ketahanan pangan ini harus memperhatikan seluruh komponen dalam sistem ketahanan pangan (Suryana, 2003).
Menyadari peran strategis ketahanan pangan terhadap kelangsungan hidup bangsa Indonesia, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999–2004 yang merupakan abstraksi dari aspirasi rakyat Indonesia dan pembangunan bidang ekonomi menjelaskan bahwa mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumber daya bahan pangan kelembagaan dan budaya lokal dalam menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan, pada tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani/nelayan serta produksi yang diatur dalam undang – undang.
Esensi dari pernyataan tersebut adalah mengembangkan dan memantapkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada produksi dan keragaman sumber daya wilayah. Jadi pengembangan ketahanan pangan tersebut harus dikaitkan dengan peningkatan produksi pangan di dalam negeri.
Adapun tujuan dari pembangunan ketahanan pangan yang dilakukan secara bersama oleh masyarakat dan pemerintah pusat adalah :
1. Meningkatkan produksi beras, sumber karbohidrat lain, sumber protein, dan zat gizi mikro untuk meningkatkan kualitas pangan dan gizi masyarakat. 2. Meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat/petani mewujudkan
(47)
3. Mengembangkan sistem kelembagaan pangan secara partisifatif di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sehingga dapat berfungsi secara efektif, efisien dan berkelanjutan
4. Meningkatkan upaya ketersediaan pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, beragam, merata, serta terjangkau oleh daya beli masyarakat
5. Meningkatkan penganekaragaman pangan dan produk–produk pangan olahan sehingga mendorong penurunan konsumsi beras per kapita
6. Meningkatkan sistem kewaspadaan pangan dan gizi di daerah sesuai dengan potensi sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal
(Suryana, 2003).
2.1.4 Kecukupan Beras
Kecukupan beras adalah ketersediaan beras dikurangi dengan kebutuhan yang di keluarkan untuk rumah tangga maupun non rumah tangga. Sedangan rasio keukupan beras adalah perbandingan antara ketersedian beras dengan kebutuhan beras. Ketersediaan beras dapat dihitung dari produksi beras ditambahkan dengan stok dan import beras.
Kecukupan beras nasional diukur menggunakan persen rasio produksi dan ketersediaan beras dalam negeri dengan kebutuhan beras nasional. Untuk mengetahui kemampuan produksi beras dalam negeri penghitungan ketersediaan beras tidak memasukkan impor beras. Rasio produksi beras dalam negeri dengan kebutuhan beras nasional digunakan untuk mengukur kecukupan produksi beras nasional dalam memenuhi kebutuhan beras nasional. Sedangkan rasio ketersediaan beras dalam negeri dengan kebutuhan beras nasional digunakan
(48)
untuk mengukur kecukupan produksi beras nasional dalam memenuhi kebutuhan beras nasional setelah dikurangi ekspor, penggunaan Konsumsi beras nasional dihitung dari total konsumsi beras langsung oleh rumahtangga, konsumsi beras pemerintah berupa penyaluran beras miskin, dan permintaan antara beras. Kebutuhan beras nasional dihitung dari total konsumsi beras nasional dengan kebutuhan untuk cadangan beras masyarakat dan stok beras di BULOG
(Muttaqin dan Drajat, 2009).
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Produksi
Produksi merupakan kegiatan untuk meningkatkan manfaat suatu barang. Untuk meningkatkan manfaat tersebut, diperlukan bahan–bahan yang disebut faktor produksi. Sesuai dengan asumsi bahwa sumber–sumber ekonomi (faktor produksi) bersifat jarang maka faktor–faktor produksi harus dikombinasikan secara baik atau secara efisien sehingga dicapai kombinasi faktor dengan biaya yang paling rendah (least cost combination). Secara konversional, faktor produksi digolongkan menjadi faktor tenaga kerja (L) dan faktor produksi modal (K) (Soeharno, 2006:4).
Sedangkan menurut Bangun (2007) faktor produksi menjelaskan hubungan faktor-faktor produksi dengan hasil produksi. Faktor produksi dikenal dengan istilah input, sedangkan hasil produksi disebut dengan output. Hubungan kedua variabel (input dan output) tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
(49)
Q adalah output, sedangkan K,L,N,dan T merupakan input. Besarnya jumah output yang dihasilkan tergantung dari penggunaan input-input tersebut. Jumlah output dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan penggunaan jumlah K,L,dan N atau meningkatkan teknologi. Untuk memperoleh hasil yang efisien, produsen dapat melakukan pilihan penggunaan input yang lebih efisien.
Dalam upaya meningkatkan produksi beras lebih lanjut telah dianjurkan untuk meningkatkan mutu intensifikasi melalui
a. Peningkatan areal yang menggunakan benih bermutu serta peningkatan populasi tanaman
b. Perluasan areal usaha tani yang menerapkan pemupukan berimbang dengan takaran dan waktu yang tepat
c. Peningkatan areal yang menggunakan zat pengatur tumbuh dan pupuk pelengkap air
d. Pemberantasan hama dan penyakit dengan melakukan pengendalian hama terpadu (PHT)
e. Peningkatan mutu sekaligus mempercepat pengolahan tanah untuk menjamin terlaksananya pola dan jadwal tanam yang ditetapkan.
Kajian–kajian untuk mendapatkan terobosan dalam meningkatkan produksi terus dilakukan baik dalam bentuk rekayasa teknologi budi daya mupun rekayasa sosial dan ekonomi. Upaya pemerintah untuk memanfaatkan lahan yang terlantar dan pembukaan lahan–lahan baru sebagai sumber pertumbuhan produksi padi terus berlanjut (Noor, 1996:7).
(50)
2.2.2 Konsumsi
Komsumsi adalah kegiatan memanfatkan barang – barang atau jasa – jasa dalam memenuhi kebutuhan hidup. Barang – barang yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup ini tergantung kepada pendapatan yang diperoleh. Pendapatan (Income) dapat dikelompokkan menjadi rendah, menengah, dan tinggi. Pengelompokan ini bersifat sangat relatif karena tergantung besarnya pendapatan nasional per kapita. Barang – barang yang dihasilkan produsen bukan hanya digolongkan menjadi barang mewah (inferior), tetapi dapat juga dibedakan menjadi barang - barang yang dapat memenuhi kebutuhan pokok (basic need), dan barang–barang yang tergolong bukan memenuhi kebutuhan pokok. Termasuk barang–barang untuk memenuhi kebutuhan pokok anatara lain pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan sebagainya. Ini pun relatif, tergantung pada tingkat perkembangan masyarakat (Soeharno, 2006).
Teori Konsumsi Keynes
Menurut John Maynard Keynes, jumlah konsumsi saat ini (current disposable income) berhubungan langsung dengan pendapatannya. Hubungan antara kedua variabel tersebut dapat dijelaskan melalui fungsi konsumsi. Fungsi konsumsi menggambarkan tingkat konsumsi pada berbagai tingkat pendapatan.
C = a +bY
Keterangan : C = Konsumsi seluruh rumah tangga (agregat)
a = Konsumsi otonom, yaitu besarnya konsumsi ketika pendapatan nol (merupakan konstanta)
b = marginal propensity to consume (MPC) Y = pendapatan
(51)
Pengeluaran konsumsi yang dilakukan oleh seluruh rumah tangga dalam perekonomian tergantung kepada pendapatan yang diterima oleh mereka. Makin besar pendapatan mereka maka makin besar pula pengeluaran konsumsi mereka. Sifat penting lainnya dari konsumsi rumah tangga adalah hanya sebagian saja dari pendapatan yang mereka terima yang akan digunakan untuk pengeluaran konsumsi. Oleh Keynes perbandingan di antara pengeluaran konsumsi pada suatu tingkat pendapatan tertentu dengan pendapatan itu sendiri dinamakan kecondongan mengkonsumsi.
Apabila kecondongan mengkonsumsi adalah tinggi, bagian dari pendapatan yang digunakan untuk konsumsi adalah tinggi. Dan sebaliknya pula, apabila kecondongan mengkonsumsi adalah rendah, maka makin sedikit pendapatan masyarakat yang akan digunakan untuk konsumsi (Sukirno, 2010).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi
Banyak faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga. Faktor-faktor tersebut dapat di kasifikasikan menjadi tiga besar :
a. faktor-faktor ekonomi
b. faktor-faktor Demografi (kependudukan) c. faktor-faktor Non-Ekonomi
A. Faktor-Faktor Ekonomi
1. Pendapatan Rumah Tangga (Household Income)
Pendapatan rumah tangga sangat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Biasanya makin baik (tinggi) tingkat pendapatan, tingkat konsumsi makin tinggi. Kerena ketika tingkat pendapatan meningkat, kemampuan rumah
(52)
tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi makin besar. Atau mungkin juga pola hidup makon konsumtif, setidak-tidaknya semakin menuntut kualitas yang baik. Contoh yang amat sederhana adalah jika pendapatan sang ayah masih sangat rendah, biasanya beras yang dipilih untuk konsumsi juga beras kelas rendah/menengah.
2. Kekayaan Rumah Tangga ( Household Wealth)
Tercakup dalam pengertian kekayaan rumah tangga adalah kekayaan riil (misalnya: rumah,tanah dan mobil) dan financial (deposito berjangka, saham, surat-surat berharga). Kekayaan tersebut dapat meningkatkan konsumsi, karena menambah pendapatan disposibel. Misalnya bunga deposito yang diterima tiap bulan dan deviden yang diterimaa setiap tahun menambah pendapatan rumah tangga.
3. Jumlah Barang-Barang Konsumsi Tahan Lama Dalam Masyarakat
Pengeluaran konsumsi masyarakat juga dipengaruhi oleh jumlah barang-barang konsumsi tahan lama (consumers durables). Pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi bisa bersifat positif (menambah) dan negatif (mengurangi). Barang-barang tahan lama biasnya harganya mahal, yang untuk memperolehnya dibutuhkan waktu untuk menabung. Apabila membelinya secara tunai, maka sebelum membeli harus banyak menabung.
4. Tingkat Bunga
Tingkat bunga yang tinggi dapat mengurangi konsumsi, baik dilihat dari sisi keluarga yang memiliki kelebihan uang maupun yang kekurangan uang. Dengan tingkat bunga yang tinggi, maka biaya ekonomi dari konsumsi akan
(53)
semakin mahal. Bagi mereka yang ingin mengkonsumsi dengan berutang dahulu, misalnya dengan meminjam dari bank atau menggunakan fasilitas kartu kredit, biaya bunga semakin mahal, sehingga lebih baik mengurangi konsumsi. Tingkat bunga yang tinggi menyebabkan menyimpan uang di bank terasa lebih menguntungkan ketimbang dihabiskan untuk dikonsumsi. Jika tingkat bunga lebih rendah yang terjadi adalah sebaliknya.
5. Perkiraan Tentang Masa Depan (Household expectation about the future)
Jika rumah tangga memperkirakan masa depannya makin baik, mereka akan merasa lebih leluasa untuk melakukan konsumsi. Karenanya pengeluaran konsumsi cenderung meningkat.
B. Faktor-Faktor Demografi 1. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun rata-rata per orang atau keluaraga relatif rendah. Misalnya, walaupun tingkat konsumsi rata-rata penduduk Indonesia lebih rendah daripada penduduk Singapura, tetapi secara absoult tingkat pengeluaran konsumsi Indonesia lebih besar daripada penduduk Singapura. Sebab jumlah penduduk Indonesia lima puluh kali lipat penduduk Singapura (Anonimousa, 2013).
Dengan bertambahnya jumlah penduduk akan menyebabkan kebutuhan akan bertambah. Kebutuhan yang tinggi akan meyebabkan rasio kecukupan beras menurun, hal ini di sebabkan rasio kecukupan beras merupan perbandingan ketersediaan dengan kebutuhan. Dari persamaan tersebut dapat kita ambil
(54)
kesimpulan bahwa rasio kecukupan beras berbanding terbalik dengan kebutuhan beras.
2. Komposisis Penduduk
Komposisi penduduk satu negara dapat dilihat dari beberapa klasifikasi diantaranya : usia (produktif dan tidak produktif), pendidikan (rendah, menengah, tinggi) dan wilayah tinggal ( pekotaan atau pedesaan)
C. Faktor-Faktor Non-Ekonomi
Faktor-faktor ekonomi yang paling berpengaruh terhadap besarnya konsumsi adalah faktor sosial-budaya masyarakat. Misalnya, berubahnya pola kebiasaan makan, perubahan etika dam tata nilai karena ingin meniru kelopmok masyarakat lain yang dianggap lebih hebat. Tidak mengherankan bila ada rumah tangga yang mengeluarkan uang ratusan juta, bahakan miliarab rupiah, hanya untuk membeli rumah idaman (Anonimousa, 2013).
Tingkat komsumsi pangan penduduk berkaitan dengan prilaku komsumsi masyarakat. Berbagai masalah yang dihadapi dalam komsumsi pangan adalah: 1. Penduduk yang cukup besar.
Dengan penduduk yang terus bertambah beban penyediaan beras untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat akan semakin bertambah berat, terutama dalam kondisi semakin terbatasnya sumber daya alam sebagai basis produksi.
2. Kebijakan pengembangan pangan yang berfokus pada beras telah mengabaikan potensi sumber–sumber pangan karbonhidrat lainnya dan lambatnya pengambangan usaha penyediaan bahan pangan sember protein
(55)
3. Teknologi pengolahan pangan lokal di masyarakat kurang berkembang dibandingkan teknologi produksi dan kurang bisa mengimbangi semakin membanjirkan produk pangan olahan yang berasal dari pangan impor.
4. Masyarakat pada daerah–daerah tertentu masih mengalami kerawanan pangan secara berulang (kronis) pada musim peceklit, demikian pula sering terjadi kerawanan pangan yang mendadak (transein) pada daerah – daerah yang terkena bencana (Suryana, 2003:94)
Teori Konsumsi Engel
Hukum engel, berbunyi : “semakin besar pendapatan, semakin kecil bagian pendapatan yang digunakan untuk konsumsi, dan semakin kecil pendapatan semakin besar pula bagian pendapatan yang digunakan untuk konsumsi
Gambar 2. Kurva Engel
Kurva Engel menggambarkan hubungan antara pengeluaran total dengan jumlah suatu barang tertentu seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 dimana kedua barang adalah barang normal karena jumlah yang dibeli naik kalau
X3 X2 X1
I1 I2 I3 I1 I2 I3
Y3 Y2 Y1
(56)
pendapatan naik. Barang dalam gambar (a) adalah suatu kebutuhan pokok dalam arti bahwa bagian dari pengeluaran yang disediakan oleh X menurun kalau pendapatan naik. Sebaliknya, barang Y pada gambar (b) merupakan barang mewah (Nicholson, 1991).
2.3 Penelitian Sebelumnya
Penelitian Hasyim (2007) yang berjudul “ Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan Beras di Sumatera Utara”. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder runtun waktu (time series) mulai tahun 1987 hingga 2006. Dalam penelitian ini analisis yang dilakukan dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Alat bantu dalam mengolah sekunder ini adalah program eviews versi 4.1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil estimasi dapat diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,993 yang berarti bahwa variasi yang terjadi pada luas panen, harga beras, harga jagung, dan ketersediaan beras tahun sebelumnya dapat menjelaskan ketersediaan beras sebesar 99,3% secara serempak menunjukkan bahwa dari keseluruhan variabel bebas yaitu luas panen, harga beras, harga jagung, dan ketersediaan beras tahun sebelumnya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap ketersediaan beras. Sedangkan secara parsial variabel luas panen berpengaruh positif dan signifikan , harga beras memberikan pengaruh negatif dan signifikan terhadap ketersediaan beras sedangkan kedua variabel yaitu harga jagung berpengaruh negatif dan tidak signifikan dan ketersediaan beras tahun sebelumnya menunjukkan pengaruh positif dan tidak nyata terhadap ketersediaan beras.
(57)
Nababan (2006) tentang “Analisis Situasi Ketahanan Pangan ” dengan studi kasus Provinsi Suamtera Utara. Metode yang digunakan adalah metode sampling secara purposive yaitu menentukan daerah dan sampel dipilih berdasarkan pada pertimbangan dan tujuan tertentu. Metode analisis yang digunakan yaitu metode deskriptif. Adapun hasil dari penelitian antara ini adalah jumlah kebutuhan beras sebagai bahan pangan utama di Provinsi Sumatera Utara selama tahun 2000 – 2004 mengalami peningkatan. Kebutuhan rata–rata sebesar 1.654.834 ton dengan tingkat pertumbuhan 1,35 persen per tahun. Jumlah produksi beras di Provinsi Sumatera Utara selama tahun 2000-2004 tersedia untuk memenuhi pangan masyarakat. Produksi beras rata–rata sebesar 2.121.120 ton dimana jumlah ini jauh lebih besar daripada kebutuhan rata–rata pangan sebesar 1.654.834 ton. Faktor–faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan dari sisi penawaran antara lain berkurangnya luas panen, masih rendah tingkat penerapan teknologi, nilai tukar petani yang rendah. Faktor–faktor yang dapat mempengaruhi ketahanan pangan dari sisi permintaan antara lain tingkat pendapatan riil masyarakat, fluktuasi harga.
Penelitian Harahap yang berjudul “ Analisis Permintaan Beras Di Sumatera Utara”. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel mulai tahun 2005 hingga 2010. Pengolahan data sekunder dan penerapan ketiga metode di atasakan menggunakan program (software) statisitik Eviews versi 5.0. Dengan melakukan uji asumsi klasik dan signifikan, yang terdiri dari : uji serempak (F-test), koefisien determinasi (R2), uji parsial (t-test), uji multikolinearitas, uji autokorelasi, dan uji normalitas.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil estimasi dapat diperoleh nilai koefisien determinasi
(58)
(R2) sebesar 0,934 yang berarti bahwa variasi yang terjadi pada harga beras, harga jagung, jumlah penduduk, dan PDRB dapat menjelaskan permintaan beras sebesar 93,4%, secara serempak menunjukkan bahwa dari keseluruhan variabel bebas yaitu harga beras, harga jagung, jumlah penduduk, dan PDRB memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap permintaan beras. Sedangkan secara parsial variabel harga beras berpengaruh negatif, jumlah penduduk berpengaruh positif dan PDRB berpengaruh positif dan dari ketiga variabel tersebut memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap permintaan beras sedangkan variabel lain yaitu harga jagung berpengaruh positif dan menunjukkan pengaruh tidak nyata terhadap permintaan beras.
Penelitian Muttaqin dan Drajat yang berjudul “ Konsumsi, Kebutuhan, dan Kecukupan Beras Nasional Tahun 2002-2007”, dengan data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi data konsumsi beras rumah tangga tahun 2002 – 2007, data konsumsi beras pemerintah, yaitu data penyaluran/ realisasi beras miskin tahun 2002 - 2007, dan data ketersediaan beras dimana kecukupan beras nasional diukur menggunakan persen rasio produksi dan ketersediaan beras dalam negeri dengan kebutuhan beras nasional. Hasil dari penelitian konsumsi beras nasional berdasarkan estimasi adalah 28,317,272 ton atau 134.4 Kg/kap (tahun 2002), 28,135,078 ton atau 128.4 Kg/kap (tahun 2005), dan 27,050,183 ton atau 120.2 Kg/kap (tahun 2007). Sedangkan kebutuhan beras nasional berdasarkan estimasi adalah 31,900,529 ton atau 151.5 Kg/kap (tahun 2002), 31,760,865 ton atau 144.9 Kg/kap (tahun 2005), dan 30,618,665 ton atau 136.0 Kg/kap (tahun 2007). Ketersediaan beras dari produksi dalam negeri (tanpa impor) pada tahun
(59)
2002 dan 2005 masih mengalami defisit. Ketersediaan beras dalam negeri baru mengalami surplus pada tahun 2007, yaitu sebesar 5.9 persen.
Penelitian Afrianto (2010) yang berjudul “Analisis Pengaruh Stok Beras, Luas Penen, Rata-Rata Produksi, Harga Beras dan Jumlah Konsumsi Beras terhadap Ketahanan Pangan di Jawa Tengah ”, menggunakan rasio ketersediaan beras sebagai variabel dependen, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah stok beras, luas panen, rata-rata produksi, harga beras eceran, dan jumlah konsumsi beras. Metode analisis yang digunakan adalah analisis data panel dengan membandingkan prilaku ketersediaan beras di tiap kabupaten/kota di Jawa Tengah. Dari hasil analisis regresi diketahui bahwa stok beras berpengaruh positif namun tidak signifikan tehadap rasio ketersediaan beras, luas panen dan rata-rata produksi berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio ketersediaan beras, sedangkan harga beras berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap rasio ketersediaan beras, dan jumlah konsumsi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap rasio ketersediaan beras. Berdasarkan hasil analisis didapatkan temuan bahwa 22 kabupaten/kota yang memiliki pertumbuhan ketahanan pangan yang lebih baik dari kabupaten Sukoharjo yang menjadi benchmark dalam penelitian ini, sementara sisanya 12 kabupaten/kota di Jawa Tengah memiliki pertumbuhan ketahanan pangan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kabupaten Sukoharjo.
Sagala (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “ Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Ketersediaan Beras di Kabupaten Deli Serdang” yang bertujuan untuk menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi luar areal panen padi, komsumsi beras, serta harga eceran beras di Kabupaten deli Serdang.
(60)
Penelitian ini menggunakan data runtun waktu (time series) tahun 2004 – 2010. Data yang dikumpulkan adalah data per semester. Analisis data yang dilakukan dengan analisis deksriptif dan analisis kuantitatif. Berdasarkan hasil penelitian bahwa variabel luas areal irigasi dan harga pupuk urea berpengaruh positif sedangkan harga gabah di tingkat petani dan curah hujan daerah setempat berpengaruh negatif. Secara parsial, hanya variabel luas areal irigasi yang berpengaruh signifkan terhadap luas areal panen di Kabupaten Deli Serdang. Pada persamaan komsumsi beras, variabel pandapatan perkapita dan harga beras berpengaruh signifikan terhadap komsumsi beras di kabupaten deli Serdang. Pada persamaan harga eceran beras, variabel jumlah komsumsi beras dan lag harga eceran beras berpengaruh positif sedangkan lag jumlah produksi beras berpengaruh negatif. Hanya variabel komsumsi beras yang berpengaruh nyata, sedangkan yang lainnya tidak berpengaruh nyata.
2.4 Kerangka Pemikiran
Beras sebagai bahan makanan pokok masyarakat Indonesia khususnya di Sumatera Utara, memegang peranan penting dalam menyokong terwujudnya kecukupan beras nasional. Oleh karena itu, rasio kecukupan beras yang digambarkan sebagai perbandingan jumlah ketersediaan beras dengan jumlah kebutuhan beras, harus dapat dijamin oleh pemerintah sehingga ketahanan pangan dapat diwujudkan.
Dalam analisis ini melihat bagaimana pengaruh harga beras, jumlah penduduk, harga jagung, produsi jagung, damn pendapatan per kapita Sumatera Uatara terhadap rasio kecukupan beras.
(61)
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada gambar 2.1 yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh harga beras, luas panen padi, produksi jagung, jumlah penduduk, dan pendapatan regionsl per kapita Sumatera Utara terhadap rasio kecukupan beras di Sumatera Utara.
Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan:
= menyatakan pengaruh = menyatakan hubungan
Ketersediaan Beras Kebutuhan Beras
Rasio Kecukupan Beras
Faktor-faktor yang mempengaruhi rasio kecukupan beras:
1. Harga beras 2. Jumlah penduduk 3. Harga jagung 4. Produksi jagung
5. Pendapatan regional per kapita Sumatera Utara
(62)
2.5 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka pemikiran, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Harga beras berpengaruh negatif terhadap rasio kecukupan beras 2. Luas panen padi berpengaruh positif terhadap rasio kecukupan beras 3. Jumlah penduduk berpengaruh negatif terhadap rasio kecukupan beras 4. Produksi jagung berpengaruh negatif terhadap rasio kecukupan beras
5. Pendapatan regional per kapita Sumatera Utara berpengaruh positif terhadap rasio kecukupan beras.
(63)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Dalam rangka pembangunan nasional, tugas utama sektor pertanian adalah sebagai penyedia pangan yang cukup bagi penduduknya dan pendukung perkembangan sektor–sektor lainnya. Pada masa mendatang tugas tersebut terasa semakin berat karena laju permintaan terhadap hasil–hasil pertanian terus meningkat sejalan dengan laju pertambahan penduduk dan perbaikan pendapatan per kapita. Permintaan terhadap hasil–hasil pertanian akan meningkat baik dalam jumlah, keragaman, maupun kualitasnya.
Sebagai negara agraris, Indonesia memang tumbuh dan berkembang dari tumbuh kembang sektor pertanian. Pertanian tidak pernah bisa dilepaskan dari masalah pangan, karena tugas utama dari pertanian adalah untuk menyediakan pangan bagi penduduk suatu negara. Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, gravitasi politik pangan Indonesia selalu berat menuju politik beras.
Di bidang pangan UU no.7 tahun 1996 yang merupakan undang–undang pangan pertama sejak Indonesia merdeka dalam konsiderannya juga menempatkan pangan sebagai komoditas dagang, di samping pemenuhan kebutuhan dasar dan merupakan hak asasi manusia (Khudiri, 2009).
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasioanal (Susenas) tahun 2005 menunjukkkan bahwa sepertiga kecamatan di Indonesia yaitu berjumlah 5.570 kecamatan mengalami masalah gizi serius. Sedangkan dari hasil pemetaan status nutrisi terkini yang dilakukan BPS bekerjasama dengan badan pangan dunia (World Food Program / WFP) dan AUSAID di 30 provinsi Indonesia , diketahui
(1)
4. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Agribisnis yang telah banyak memberikan pengetahuan selama masa pendidikan di Fakultas Pertanian.
5. Ayahanda tersayang Ahmad Nali Nasution (ALM) dan ibunda tercinta Sunarti Hasibuan, saudara kandung tercinta RAYSILA NST (Rahman Taher NST, Yasser Arafat NST, Ira Yusnita NST, Aswar Anas NST) serta keluarga besar Hasibuan yang telah memberikan doa dan begitu banyak perhatian, cinta dan kasih sayang serta dukungan baik moril maupun materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di waktu yang tepat.
6. Teman-teman seperjuangan Program Studi Agrbisnis 2010 khususnya ADELMRTTZ DAR, adek- adek kos tersayang Uci, Ai, Aisyah, Lita Dan Dini , DEFLY, serta abang dan kakak dan adek- adek di Agribisnis yang telah banyak memberikan motivasi baik secara langsung maupun tidak langsung.
8. Bapak dan Ibu Staf Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara, Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, BPS Provinsi Sumatera Utara, yang telah banyak membantu dalam memporelah data-data dan pemahaman dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik isi maupun redaksinya oleh karena itu dengan senang hati penulis menerima kritik, saran, dan masukan semua pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin ya rabbal’alamin.
Medan, Agustus 2014 Penulis
(2)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...i
RIWAYAT HIDUP ...ii
KATA PENGANTAR ...iv
DAFTAR ISI ...vi
DAFTAR TABEL ...viii
DAFTAR GAMBAR ...ix
DAFTAR LAMPIRAN ...x
BAB I. PENDAHULUAN ……….1
1.1 Latar Belakang ………...1
1.2 Identifikasi Masalah ………...6
1.3 Tujuan Penulisan ………6
1.4 Manfaat Penulisan ………...7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN ………8
2.1 Tinjauan Pustaka ………8
2.1.1 Undang-Undang Ketahanan Pangan ………..8
2.1.2 Pengertian Ketahanan Pangan………...11
2.1.3 Sub Sistem Ketahanan Pangan ………12
2.1.4 Kecukupan beras………...15
2.2. Landasan Teori ………16
2.2.1 Produksi ………16
2.2.2 Komsumsi ………18
2.3 Penelitian Terdahulu ……….24
2.4 Kerangka Pemikiran ……….28
2.5 Hipotesis penelitian ………...30
BAB III. METODE PENELITIAN ………...31
3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitan ………..31
3.2 Jenis dan Sumber Data ……….31
3.3 Metode Pengumpulan Data ………..31
3.4 Metode Analisis ………...33
3.4.1 Uji Asumsi Klasik ………..33
3.4.1.1 Uji Normalitas ………..34
3.4.1.2 Uji Multikolineritas ………...35
3.4.1.3 Uji Autokorelasi ………35
3.4.1.4 Uji Heteroskedastisitas ………..35
3.4.2 Uji Statistik ………..37
3.4.2.1 Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji T) ………...37 ……….
(3)
3.5.1 Defenisi ………...39
3.5.2 Batasan Operasional ………41
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………42
4.1 Perkembangan Harga Beras Sumatera Utara ………...44
4.2 Perkembangan Harga Jagung Provinsi Sumatera Utara …………..46
4.3 Perkembangan Produksi Jagung Provinsi Sumatera Utara ………..47
4.4 Pertumbuhan Pendapatan Regional Per Kapita ………48
4.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Rasio Kecukupan Beras ……...49
4.5.1 Harga Beras ……….52
4.5.2 Luas Panen Padi ………...53
4.5.3 Produksi Jagung ………..53
4.5.4 Jumlah Penduduk ………54
4.5.5 Pendapatan Regional Per Kapita ………..55
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………58
5.1 Kesimpulan ………...58
5.2 Saran ……….59 DAFTAR PUSTAKA
(4)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Sumatera Utara Tahun 2008-2012 4 Tabel 1.2 Jumlah Ketersediaan Beras dan Jumlah Kebutuhan
Beras Sumatera Utara Tahun 2008-2012
5
Tabel 3.1 Luas Panen, Produksi Padi, dan Rata-Rata Produksi Padi Sumatera Utara
31
Tabel 4.1 Pertumbuhan Jumlah Penduduk di Sumatera Utara 44 Tabel 4.2 Perkembangan Luas Panen Padi Sumatera Utara 45 Tabel 4.3 Perkembangan Harga Jagung di Sumatera Utara 46 Tabel 4.4 Perkembangan Produksi Jagung di Sumatera Utara 47 Tabel 4.5 Pertumbuhan Pendapatan Regional Per Kapita
Sumatera Utara
(5)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Ganbar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran 29
Gambar 3.1 Aturan Membandingkan Uji Dw dengan Tabel Durbin-Watson
(6)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
Lampiran 1 Data Sekunder Penelitian 59
Lampiran 2 Output Penelitian yang Diolah SPSS Versi 17.00 65 Lampiran 3 Tabel Durbin-Watson Statistik dengan Taraf 5% 66