Analisis Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance Dan Kualitas Audit Terhadap Manajemen Laba

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Landasan Teori

2.1.1.

Manajemen Laba (Earnings Management)
Manajemen laba (earnings management) merupakan masalah agensi yang

sering terjadi di lingkungan bisnis. Perilaku manajemen laba yang dilakukan oleh
manajemen berawal dari konflik keagenan yaitu konflik kepentingan antara
pemilik sebagai principal dan manajer sebagai agen. Principal berkepentingan
memperoleh profitabilitas yang selalu meningkat sehingga dapat tercapai tingkat
pengembalian saham yang maksimal. Agen berkepentingan memperoleh
kompensasi kontrak yang maksimal agar tercapai kemakmurannya. Dengan
demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan, dimana
masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat
kemakmuran yang dikehendaki. Hal ini akan mendorong agen untuk melakukan

manajemen laba. Terjadinya manajemen laba merupakan salah satu dampak dari
pengawasan atau monitoring yang lemah sehingga memberi kesempatan kepada
agen atau manajer untuk berperilaku menyimpang dengan melakukan manajemen
laba.
Manajemen laba juga merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi
kredibilitas laporan keuangan, dan menambah bias dalam laporan keuangan serta
mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil
rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa (Setiawati dan Na’im 2000).
Sedangkan menurut Sulistyanto (2008) manajemen laba merupakan upaya

Universitas Sumatera Utara

manajer perusahaan untuk mempengaruhi informasi dalam laporan keuangan
dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan
kondisi perusahaan.
Manajemen

laba

(earnings


management)

dilakukan

dengan

mempermainkan komponen-komponen akrual dalam laporan keuangan, sebab
akrual merupakan komponen yang mudah untuk dipermainkan sesuai dengan
keinginan orang yang melakukan pencatatan transaksi dan menyusun laporan
keuangan. Alasannya, komponen akrual merupakan komponen yang tidak
memerlukan bukti kas secara fisik sehingga upaya mempermainkan besar kecilnya
komponen akrual tidak harus disertai dengan kas yang diterima atau dikeluarkan
perusahaan (Sulistyanto, 2008).
Menurut Healy dan Wahlen (1999) manajemen laba terjadi ketika manajer
menggunakan pertimbangan (judgment) dalam pelaporan keuangan dan
penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan, dengan tujuan untuk
memanipulasi besaran (magnitude) laba kepada beberapa stakeholders tentang
kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian (kontrak)
yang tergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan. Healy dan Wahlen

(1999) menyatakan bahwa definisi manajemen laba mengandung beberapa aspek.
Pertama intervensi manajemen laba terhadap pelaporan keuangan dapat dilakukan
dengan penggunaan judgment, misalnya judgment yang dibutuhkan dalam
mengestimasi sejumlah peristiwa ekonomi di masa depan untuk ditunjukan dalam
laporan keuangan, seperti perkiraan umur ekonomis dan nilai residu aktiva tetap,
tanggung jawab untuk pensiun, pajak yang ditangguhkan, kerugian piutang dan
penurunan nilai aset. Di samping itu manajer memiliki pilihan untuk metode

Universitas Sumatera Utara

akuntansi, seperti metode penyusutan dan metode biaya. Kedua, tujuan
manajemen laba untuk menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi
perusahaan. Hal ini muncul ketika manajemen memiliki akses terhadap informasi
yang tidak dapat diakses oleh pihak luar.
Menurut Halim et al. (2005) manajemen laba merupakan pemilihan
kebijakan akuntansi oleh manajemen dari standar akuntansi yang ada dan secara
alamiah dapat memaksimumkan utilitas mereka dan atau nilai pasar perusahaan.
Pemahaman atas manajemen laba dapat dibagi menjadi dua cara pandang.
Pertama, manajemen laba dipandang sebagai perilaku opportunistic manajer untuk
memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak

hutang, dan political cost. Kedua, manajemen laba dipandang dari perspektif
efficient contracting, dimana manajemen laba memberikan kepada manajer suatu
fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi
kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat
dalam kontrak.
Ada dua perspektif penting yang dapat digunakan untuk menjelaskan
mengapa manajemen laba dilakukan oleh manajer, yaitu perspektif informasi dan
oportunis. Perspektif informasi merupakan pandangan yang menyarankan bahwa
manajemen laba merupakan kebijakan manajerial untuk mengungkapkan harapan
pribadi manajer tentang arus kas perusahaan dimasa depan. Upaya mempengaruhi
informasi itu dilakukan dengan memanfaatkan kebebasan memilih, menggunakan,
dan mengubah metode dan prosedur akuntansi. Perspektif oportunis merupakan
pandangan yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan perilaku manajer

Universitas Sumatera Utara

untuk mengelabui investor dan memaksimalkan kesejahteraannya karena memiliki
informasi lebih banyak dibandingkan pihak lain (Sulistyanto, 2008).
Manajemen laba dilakukan oleh manajer dengan merekayasa laba
perusahaannya menjadi lebih tinggi, rendah ataupun selalu sama selama beberapa

periode. Secara umum ada beberapa motivasi yang mendorong manajer untuk
berperilaku oportunis. Menurut Sanjaya (2008) motivasi tersebut adalah:
1.

Motivasi bonus
Bonus plan hypothesis menegaskan bahwa ceteris paribus, manajer
perusahaan cenderung untuk memilih prosedur-prosedur akuntansi yang
menggeser earnings yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode
sekarang. Manajer melakukan manajemen laba untuk kepentingan
bonusnya.

2.

Motivasi kontraktual lainnya
Hipotesis debt/equity yaitu ceteris paribus, suatu perusahaan yang rasio
debt/equity besar cenderung manajer perusahaan memilih prosedur-prosedur
akuntansi yang menggeser earnings yang dilaporkan dari periode masa
depan ke periode sekarang. Manajemen melakukan manajemen laba untuk
memenuhi perjanjian utangnya agar meloloskan perusahaan dari kesulitan
keuangan.


3.

Motivasi politik
Perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat
mengurangi laba periodiknya dibanding perusahaan yang kecil. Hal ini
dilakukan untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah
dalam hal pengurangan pajak.

Universitas Sumatera Utara

4.

Motivasi pajak
Manajer termotivasi melakukan manajemen laba karena income taxation.
Karena semakin tinggi labanya maka semakin besar pajak yang
dikenakannya. Sehingga manajer melakukan manajemen laba untuk
mengurangi pajak tersebut.

5.


Pergantian CEO
Motivasi manajemen laba juga ada di sekitar pergantian CEO. Hipotesis
rencana bonus menjelaskan bahwa CEO yang akan diganti melakukan
pendekatan strategi untuk memaksimalisasi laba agar menaikkan bonusnya.

6.

Motivasi pasar modal
Motivasi ini muncul karena informasi akuntansi digunakan secara luas oleh
investor dan para analis keuangan untuk menilai saham. Dengan begitu,
kondisi ini menciptakan kesempatan bagi manajer untuk memanipulasi
earnings dengan cara mempengaruhi performa harga saham jangka pendek.
Menurut Watts dan Zimmerman (1986) pengelompokan ini sejalan dengan

tiga hipotesis utama dalam teori akuntansi positif (positive accounting theory)
yang menjadi dasar pengembangan pengujian hipotesis untuk mendeteksi
manajemen laba, yaitu:
1.


Bonus plan hypothesis
Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan
utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Pemilik perusahaan akan memberikan
bonus yang besar kepada manajer apabila mencapai laba yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara

2.

Debt covenant hypothesis
Dalam konteks perjanjian hutang, manajer akan mengelola dan mengatur
labanya agar kewajiban hutangnya yang seharusnya diselesaikan pada tahun
tertentu dapat ditunda untuk tahun berikutnya. Hal ini untuk menjaga
reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.

3.

Political cost hypothesis
Dalam hipotesis ini dikatakan bahwa perusahaan besar cenderung
menggunakan metode akuntansi yang dapat mengurangi laba periodiknya

dibandingkan dengan perusahaan kecil. Hal tersebut sebagai akibat adanya
regulasi dari pemerintah, misalnya dengan penetapan pajak berdasarkan laba
perusahaan. Kondisi inilah yang merangsang manajer untuk mengelola dan
mengatur labanya agar pajak yang dibayarkannya tidak terlalu tinggi.
Menurut Scott (2000) pola manajemen laba dapat dilakukan dengan cara:

1.

Taking a Bath
Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru
dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan
dapat meningkatkan laba di masa datang.

2.

Income Minimization
Cara ini dilakukan pada saat perusahaan mengalami peningkatan laba yang
tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis
dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.


3.

Income Maximization
Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization
bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus

Universitas Sumatera Utara

yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan
pelanggaran perjanjian hutang.
4.

Income Smoothing
Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan
sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada
umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.

2.1.2.

Teori Agensi (Agency Theory)

Konsep teori agensi adalah hubungan atau kontrak antara prinsipel dan

agen. Prinsipel mempekerjakan agen untuk melakukan tugas untuk kepentingan
prinsipel, termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari prinsipel
kepada agen (Anthony dan Govindarajan, 2005). Pada perusahaan yang modalnya
terdiri atas saham, pemegang saham bertindak sebagai prinsipel, dan CEO (Chief
Executive Officer) sebagai agen mereka. Pemegang saham mempekerjakan CEO
untuk bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipel.
Teori agensi mengasumsikan bahwa CEO (agen) memiliki lebih banyak
informasi dari pada prinsipel. Hal ini disebabkan prinsipel tidak dapat mengamati
kegiatan yang dilakukan agen secara terus-menerus dan berkala. Karena prinsipel
tidak memiliki informasi yang cukup mengenai kinerja agen, maka prinsipel tidak
pernah dapat merasa pasti bagaimana usaha agen memberikan kontribusi pada
hasil aktual perusahaan. Situasi inilah yang disebut asimetri informasi. Konflik
inilah yang kemudian dapat memicu biaya agensi. Jensen dan Meckling (1976)
mendefinisikan biaya agensi dalam tiga jenis:

Universitas Sumatera Utara

1.

Biaya monitoring (monitoring cost), pengeluaran biaya yang dirancang
untuk mengawasi aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh agen.

2.

Biaya bonding (bonding cost), untuk menjamin bahwa agen tidak akan
bertindak yang dapat merugikan prinsipel, atau untuk meyakinkan bahwa
prinsipel akan memberikan kompensasi jika agen benar-benar melakukan
tindakan yang tepat.

3.

Kerugian residual (residual cost), merupakan nilai uang yang ekuivalen
dengan pengurangan kemakmuran yang dialami oleh prinsipel sebagai
akibat dari perbedaan kepentingan.
Teori agensi menyatakan bahwa konflik antara prinsipel dan agen dapat

dikurangi dengan mekanisme pengawasan yang dapat menyelaraskan (alignment)
berbagai kepentingan yang ada dalam perusahaan. Menurut Midiastuty dan
Machfoedz (2003) perlakuan manipulasi oleh manajer yang berawal dari konflik
kepentingan dapat diminimumkan melalui mekanisme monitoring yang bertujuan
menyelaraskan (alignment) berbagai kepentingan tersebut, yaitu dengan:
1.

Memperbesar kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen (managerial
ownership), sehingga kepentingan pemilik atau pemegang saham dapat
disejajarkan dengan kepentingan manajer.

2.

Kepemilikan saham oleh investor institusi. Moh’d et al. (1998) menyatakan
bahwa investor institusional merupakan pihak yang dapat memonitor agen
dengan kepemilikannya yang besar. Selain itu, investor institusional
dianggap sophisticated investors yang tidak mudah “dibodohi” oleh
tindakan manajer.

Universitas Sumatera Utara

3.

Melalui monitoring dewan direksi. Beberapa penelitian empiris telah
menunjukkan hubungan yang signifikan antara peran dewan direksi dengan
pelaporan keuangan. Mereka menemukan bahwa ukuran dan independensi
dewan direksi mempengaruhi kemampuan mereka dalam memonitoring
proses pelaporan keuangan.
Mekanisme good corporate governance yang merupakan konsep yang

didasarkan pada teori agensi, diharapkan dapat berfungsi sebagai alat untuk
memberi keyakinan kepada investor bahwa mereka akan menerima return atas
dana yang mereka investasikan. Mekanisme good corporate governance sangat
berkaitan dengan bagaimana membuat para investor yakin bahwa manajer akan
memberikan keuntungan bagi investor, yakin bahwa manajer tidak akan
mencuri/menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang
tidak menguntungkan (Shleifer dan Vishny 1996). Artinya bahwa mekanisme
GCG merupakan salah satu alat untuk mengawasi dan mengendalikan kinerjaa
manajemen yang bertujuan untuk mencapai tujuan perusahaan.

2.1.3.

Mekanisme Good Corporate Governance
Prinsip tata kelola perusahaan yang diterapkan di Indonesia adalah Good

Corporate Governance. Mekanisme good corporate governance merupakan suatu
proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan untuk meningkatkan
keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan. Meknisme Good Corporate
Governance (GCG) dianggap sebagai salah satu mekanisme untuk meminimalisir
terjadinya manajemen laba yang dapat merugikan pihak lain. Mekanisme GCG
berkaitan

erat

dengan

kepercayaan,

baik

terhadap

perusahaan

yang

Universitas Sumatera Utara

melaksanakannya maupun terhadap iklim usaha di suatu negara. Mekanisme good
corporate governance merupakan suatu aturan main, prosedur dan hubungan yang
jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan baik yang melakukan
kontrol/ pengawasan terhadap keputusan tersebut. Mekanisme good corporate
governance diarahkan untuk menjamin dan mengawasi berjalannya sistem
governance dalam sebuah organisasi.
Pada prinsipnya mekanisme good corporate governance menyangkut
kepentingan para pemegang saham, perlakuan yang sama terhadap para pemegang
saham; peranan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam corporate
governance, transparansi dan penjelasan, serta peranan dewan komisaris dan
komite audit. Dengan sistem GCG maka perlindungan yang efektif dapat
diberikan kepada para pemegang saham dan pihak kreditur, sehingga mereka bisa
meyakinkan dirinya akan perolehan kembali investasi dengan wajar dan bernilai
tinggi. Oleh karena itu, perusahaan harus menyadari bahwa sistem GCG yang baik
sangat berarti bagi kepentingan pemegang sahamnya, penyandang dana serta
karyawannya, dan bagi perusahaan itu sendiri.
Secara definitif, mekanisme good corporate governance merupakan sistem
yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah
(value added) untuk semua stakeholder (Sulistyanto dan Wibisono 2003). Selain
itu, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dikutip
oleh Bhuiyan and Biswas (2007) mendefinisikan mekanisme good corporate
governance adalah sistem dimana perusahaan bisnis diarahkan dan dikendalikan
dalam hal pembagian hak dan tanggung jawab didalam kepengurusan dari

Universitas Sumatera Utara

perusahaan dan prosedur untuk membuat keputusan tentang urusan perusahaan
untuk mencapai tujuan perusahaan.
OECD melihat Mekanisme good corporate governance sebagai suatu
sistem dimana sebuah perusahaan atau entitas bisnis diarahkan dan diawasi.
Sejalan dengan itu, maka struktur dari good corporate governance menjelaskan
distribusi hak-hak dan tanggungjawab dari masing-masing pihak yang terlibat
dalam sebuah bisnis, yaitu antara lain dewan komisaris dan direksi, manajer,
pemegang saham, serta pihak-pihak lain yang terkait sebagai stakeholders.
Selanjutnya, struktur dari mekanisme good corporate governance juga
menjelaskan bagaimana aturan dan prosedur dalam pengambilan dan pemutusan
kebijakan sehingga dengan melakukan itu semua maka tujuan perusahaan dan
pemantauan kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan dan dilakukan dengan baik.
Keputusan

Menteri

BUMN

Nomor

Kep-117/M-MBU/2002,

mendefinisikan mekanisme Good Corporate Governance sebagai suatu proses
dan struktur yang digunakan oleh suatu organ BUMN untuk meningkatkan
keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai
pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan
stakeholders lainnya berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai
etika.
Setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas Good Corporate
Governance diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan.
Sehubungan dengan itu, Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)
mengeluarkan asas-asas dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance
Indonesia tahun 2006 yang dijabarkan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1.

Transparansi (Transparency)
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah
di akses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus
mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang
disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang
penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan
pemangku kepentingan lainnya.

2.

Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus di kelola secara benar,
terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap
memperhitungkan

kepentingan

pemegang

saham

dan

pemangku

kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk
mencapai kinerja yang berkesinambungan.
3.

Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan

harus

mematuhi

peraturan

perundang-undangan

serta

melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan
sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan
mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
4.

Independensi (Independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas good corporate governance,
perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ

Universitas Sumatera Utara

perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh
pihak lain.
5.

Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Dalam

melaksanakan

kegiatannya,

perusahaan

harus

senantiasa

memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan
lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
Menurut Utama (2006) prinsip-prinsip mekanisme GCG yang telah
diterapkan memberikan beberapa manfaat, di antaranya:
1.

Meminimalkan agency cost dengan mengontrol konflik kepentingan yang
mungkin terjadi antara prinsipel dengan agen.

2.

Meminimalkan cost of capital dengan menciptakan sinyal positif kepada
para penyedia modal.

3.

Meningkatkan citra perusahaan.

4.

Meningkatkan nilai perusahaan yang dapat dilihat dari cost of capital yang
rendah.

5.

Peningkatan kinerja keuangan dan persepsi stakeholder terhadap masa
depan perusahaan yang lebih baik.
Mekanisme GCG dibagi menjadi dua kelompok yaitu: (1) internal

mechanism (mekanisme internal) yang terdiri dari komposisi dewan direksi,
komposisi dewan komisaris, kepemilikan manajerial, dan kompensasi eksekutif,
(2) external mechanism (mekanisme eksternal) seperti pengendalian oleh pasar
dan debt financing, kepemilikan institusi (Barnhart dan Rosenstein 1998).

Universitas Sumatera Utara

a.

Mekanisme Internal
Internal

corporate

governance

mempunyai

efek

langsung

guna

mendorong manajer untuk meningkatkan kinerja (Faisal, 2005). Internal
corporate governance dibedakan menurut fokus pengendaliannya yakni internal
corporate

governance-manajer

(ICG-manajer)

dan

internal

Corporate

governance-pemilik (ICG-pemilik), ICG-manajer menekankan pada pengendalian
dalam diri manajer yang distimuli secara internal (melalui perhatian pemilik
terhadap kepentingan manajer) agar manajer meningkatkan kínerja terutama
dalam hal pendapatan bank (revenue). Sedangkan ICG-pemilik menekankan pada
pengendalian manajer (melalui pihak lain) agar manajer meningkatkan efisiensi.
Dengan demikian, kombinasi dari dua bentuk ICG ini cenderung superior dalam
menjelaskan kemampuan good corporate governance dalam mempengaruhi
kinerja perusahaan.
Dalam penelitian ini, pemantauan terhadap terselenggaranya sistem
pengendalian intern dalam rangka mewujudkan mekanisme good corporate
governance dipengaruhi oleh tiga faktor:
1.

Komposisi Dewan Direksi
Dalam rangka pemantauan terhadap pengendalian internal, direksi
mempunyai tanggung jawab menetapkan kebijakan, strategi serta prosedur
pengendalian intern; melaksanakan kebijakan dan strategi yang telah
disetujui oleh dewan komisaris; memelihara suatu struktur organisasi;
memastikan bahwa pendelegasian wewenang berjalan secara efektif yang di
dukung oleh penerapan akuntabilitas yang konsisten dan memantau
kecukupan dan efektivitas dari sistem pengendalian intern.

Universitas Sumatera Utara

Untuk memantau serta memastikan sistem pengendalian internal berjalan
efektif, direksi melakukan langkah-langkah, antara lain :
1) menugaskan para manajer/pejabat dan staf yang bertanggungjawab
dalam kegiatan atau fungsi tertentu untuk menyusun kebijakan dan
prosedur pengendalian intern terhadap kegiatan operasional serta
kecukupan organisasi;
2) melakukan pengendalian yang efektif untuk memastikan bahwa para
manajer/pejabat dan pegawai telah mengembangkan dan melaksanakan
kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan;
3) mendokumentasikan dan mensosialisasikan struktur organisasi yang
secara jelas menggambarkan jalur kewenangan dan tanggung jawab
pelaporan serta menyelenggarakan suatu sistem komunikasi yang
efektif kepada seluruh jenjang organisasi;
4) mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memastikan bahwa
kegiatan

fungsi

pengendalian

manajer/pejabat dan

pegawai

intern

telah

dilaksanakan

oleh

yang memiliki pengalaman dan

kemampuan yang memadai;
5) melaksanakan secara efektif langkah perbaikan atau rekomendasi dari
auditor intern dan atau auditor ekstern, antara lain dengan cara
menugaskan pegawai yang bertanggungjawab untuk melaksanakannya.
Peningkatan komposisi dan diversitas dari dewan direksi berpengaruh
terhadap kinerja perusahaan karena akan memberikan manfaat bagi
terciptanya network dengan pihak luar perusahaan dan menjamin
ketersediaan sumber daya.

Universitas Sumatera Utara

2.

Komposisi Dewan Komisaris
Pembentukan dewan komisaris merupakan salah satu mekanisme yang
digunakan untuk memonitor kinerja manajer. Surat Keputusan Direksi PT.
Bursa Efek Jakarta BEJ Nomor: Kep-315/BEJ/06-2000 mengharuskan
perusahaan yang terdaftar di bursa efek untuk memiliki dewan komisaris
yang memonitor perusahaan agar tercipta good corporate governance di
Indonesia secara hukum dewan komisaris bertugas melakukan pengawasan
dan memberikan nasehat kepada direksi. Dalam melakukan pemantauan
terhadap direksi, dewan komisaris memastikan bahwa direksi telah
menindak lanjuti temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja audit
intern (SKAI), auditor eksternal, hasil pengawasan Bank Indonesia dan/atau
hasil pengawasan otoritas lain. Dewan Komisaris dalam melaksanakan
tugasnya harus mampu mengawasi dipenuhinya kepentingan semua
stakeholders berdasarkan azas kesetaraan, serta mengarahkan, memantau,
dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan strategis perusahaan.
Komposisi dewan komisaris menentukan tingkat keefektifan pemantauan
kinerja perusahaan. Menurut Chtourou et al. (2001) dalam penelitiannya
bahwa dengan jumlah dewan yang semakin besar maka mekanisme
monitoring manajemen perusahaan akan semakin baik. Dalam komposisi
ukuran dewan komisaris didalamnya terdapat komisaris independen
merupakan anggota dewan komisaris yang tidak memiliki hubungan
keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga
dengan anggota dewan komisaris lainnya, direksi dan/atau pemegang saham

Universitas Sumatera Utara

pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya
untuk bertindak independen.
3.

Kepemilikan manajerial
Yaitu kepemilikan saham yang dimiliki manajer, direksi, komisaris yang
secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (Jensen dan
Meckling 1976). Struktur kepemilikan dalam penelitian ini berupa jumlah
pemegang saham pada perusahaan tersebut dengan perhitungan:
1.

Pemilik saham 25 % ke atas dicatat sebagai pemegang saham
pengendali.

2.

Pemilik saham di atas 5% dicatat sebagai satu pemegang saham.

3.

Pemilik saham di bawah 5% dikelompokan sebagai satu pemegang
saham publik.

4.

Pemilik saham di bawah 5%, namun tercatat sebagai satu pemegang
saham dicatat sebagai pemegang saham manajerial.

4.

Kompensasi Eksekutif
Sistem pemberian kompensasi Bonus, memberikan pengaruh terhadap
kinerja manajemen. Menggunakan mekanisme bonus dalam teori keagenan,
menjelaskan bahwa kepemilikan manajemen dibawah 5% terdapat
keinginan dari manajer untuk melakukan manajemen laba agar mendapatkan
bonus yang besar. Kepemilikan manajemen 25%, karena manajemen
mempunyai kepemilikan yang cukup besar dengan hak pengendalian
perusahaan, maka asimetris informasi menjadi berkurang. Kompensasi yang
diberikan dapat berupa gaji, tunjangan dan bonus. Dengan adanya

Universitas Sumatera Utara

kompensasi yang tetap manajemen akan lebih bekerja dengan baik dan tidak
melakukan kecurangan.
b. Mekanisme Eksternal
Mekanisme dari good corporate governance dimana dipengaruhi oleh
faktor eksternal perusahaan. Pada penelitian ini mekanisme eksternal yang
digunakan adalah adanya pengendalian oleh pasar dan debt financing.
1.

Pengendalian oleh pasar
Menurut teori pasar untuk pengendalian perusahaan (market for corporate
control), pada saat diketahui bahwa manajemen berperilaku menguntungkan
diri sendiri kinerja perusahaan akan menurun yang direfleksikan oleh nilai
saham perusahaan. Pada kondisi tersebut, kelompok manajer lain akan
menggantikan manajer yang sedang memegang jabatan. Dengan demikian
bekerjanya market for corporate control bisa menghambat tindakan
menguntungkan diri manajer sendiri (Jensen dan Meckling 1976).

2.

Debt Financing
Debt financing merupakan pendanaan yang berasal dari hutang. Dengan
adanya pendanaan yang berasal dari hutang, kreditur dapat mengatur
perusahaan untuk dapat menginformasikan keuangannya dengan baik dan
melaporkan laba yang diperoleh perusahaan untuk dapat membayar hutang
beserta bunganya. Kreditur memberikan pinjaman kepada perusahaan
dengan asumsi bahwa perusahaan tersebut mempunyai risiko yang rendah,
sehingga perusahaan dapat membayar pokok beserta bunganya dengan tepat
waktu. Dalam mekanisme good corporate governance, perusahaan dituntut
dapat meyakinkan kreditur bahwa perusahaan dapat membayar hutangnya

Universitas Sumatera Utara

dengan tepat waktu sehingga dengan adanya pengawasan dari kreditur
perusahaan akan melaporkan perolehan laba untuk meyakinkan kreditur
bahwa perusahaan dapat membayar hutang beserta bunganya secara tepat
waktu.

2.1.3.1.

Kepemilikan Manajerial
Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan

oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan
besaran yang berbeda pula, seperti antara manajer yang juga sekaligus sebagai
pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Dua hal
tersebut akan mempengaruhi manajemen laba, sebab kepemilikan seorang
manajer akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap
metode akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang dikelolanya.
Secara umum dapat dinyatakan bahwa persentase tertentu kepemilikan
saham oleh pihak manajemen (kepemilikan manajerial) cenderung mempengaruhi
tindakan manajemen laba (Boediono, 2005). Jensen dan Meckling (1976)
menyatakan bahwa praktek manajemen laba dapat diminimumkan dengan
menyelaraskan perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen dengan
cara memperbesar kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen (managerial
ownership). Dalam kepemilikan saham yang rendah, maka insentif terhadap
kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer akan meningkat (Shleifer
dan Vishny 1996). Midiastuty dan Machfoedz (2003) menyatakan adanya
kepemilikan manajerial dapat mengurangi dorongan manajer untuk melakukan

Universitas Sumatera Utara

tindakan manipulasi sehingga laba yang dilaporkan merefleksikan keadaan
ekonomi yang sebenarnya dari perusahaan tersebut.

2.1.3.2.

Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang dimiliki

oleh institusi atau lembaga. Masalah keagenan utama dalam perusahaan dengan
kepemilikan seperti ini adalah konflik antara pemegang perusahaan dengan
pemegang saham minoritas. Apabila tidak terdapat hukum yang memadai,
pemegang saham pengendali dapat melakukan aktivitas yang menguntungkan
dirinya sendiri dan merugikan pemegang saham lain (Tarjo, 2008).
Penelitian La Porta et al. (1998) menunjukkan bahwa kepemilikan semua
perusahaan publik di hampir semua negara adalah terkonsentrasi, kecuali di
Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang. La Porta et al. (1998) menunjukkan bahwa
struktur kepemilikan yang terkonsentrasi terjadi di negara-negara dengan tingkat
good corporate governance yang rendah.
Investor institusional sering disebut sebagai investor yang canggih
(sophisticated) seharusnya lebih dapat menggunakan informasi periode sekarang
dalam memprediksi laba masa depan dibandingkan dengan investor non
institusional. Balsam et al. (2002) menyatakan bahwa kepemilikan institusional
yang tinggi dapat meminimalisir earnings management tergantung pada tingkat
kecanggihan investor tersebut.
Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi
proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat
akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono, 2005). Pernyataan ini

Universitas Sumatera Utara

sesuai dengan Ujiyantho dan Pramuka (2007) yang menyatakan bahwa
kepemilikan saham oleh institusional karena mereka dianggap sebagai
sophisticated investor dengan jumlah kepemilikan yang cukup signifikan dapat
memonitor manajemen yang berdampak mengurangi motivasi manajer untuk
melakukan earnings management.

2.1.3.3.

Proporsi Dewan Komisaris Independen
Dewan komisaris merupakan organ perusahaan yang memiliki tanggung

jawab dan kewenangan penuh atas pengurusan perusahaan. Fungsi dewan
komisaris termasuk di dalamnya komisaris independen antara lain melakukan
pengawasan terhadap direksi dalam pencapaian tujuan perusahaan dan
memberhentikan direksi untuk sementara bila diperlukan (Warsono et al. 2009).
Dalam Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 proporsi dewan
komisaris independen sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah anggota dewan komisaris. Proporsi dewan komisaris dapat memberikan
kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan
yang berkualitas atau kemungkinan terhindar dari kecurangan laporan keuangan.
Dapat dikatakan bahwa proporsi dewan komisaris yang terdiri dari anggota yang
berasal dari luar perusahaan mempunyai kecenderungan mempengaruhi
manajemen laba. Pemikiran ini didukung hasil penelitian Klein (2006), Chtourou
et al. (2001), dan (Midiastuty dan Machfoedz 2003).
Praktek manajemen laba dapat diminimalkan salah satunya dengan
mekanisme pengawasan yang baik. Dewan komisaris secara luas dipercaya
memainkan peranan penting khususnya dalam memonitor manajemen tingkat atas

Universitas Sumatera Utara

(Gunarsih dan Hartadi 2002). Dewan komisaris bertugas untuk menjamin
terlaksananya strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola
perusahaan serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas (FCGI, 2003). Secara
khusus, komisaris independen yang merupakan bagian dari dewan komisaris
sangat berperan dalam meminimumkan manajemen laba yang dilakukan oleh
pihak manajemen. Komisaris independen diharapkan mampu mendorong dan
menciptakan iklim yang lebih objektif, serta dapat menempatkan kesetaraan
(fairness) sebagai prinsip utama dalam memperhatikan kepentingan pemegang
saham minoritas dan stakeholders lainnya. Komisaris independen memikul
tanggung jawab untuk mendorong secara proaktif agar dewan komisaris dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pengawas dan penasehat direksi dapat
memastikan perusahaan memiliki strategi bisnis yang efektif, memastikan
perusahaan memiliki eksekutif dan manajer yang profesional, memastikan
perusahaan memiliki informasi, sistem pengendalian, dan sistem audit yang
bekerja dengan baik, memastikan perusahaan mematuhi hukum dan perundangan
yang berlaku maupun nilai-nilai yang ditetapkan perusahaan dalam menjalankan
operasinya, memastikan resiko dan potensi krisis sehingga selalu diidentifikasi
dan dikelola dengan baik serta memastikan prinsip-prinsip dan praktek good
corporate governance dipatuhi dan diterapkan dengan baik (FCGI, 2001). Oleh
karena itu, keberadaan komisaris independen dalam perusahaan diharapkan dapat
menjamin laporan keuangan yang menggambarkan informasi sesungguhnya
mengenai operasi perusahaan sehingga dapat mencegah praktik manajemen laba.
Dengan adanya dewan komisaris independen yang mengawasi kinerja
manajemen didalam menjalankan aktifitas operasi berarti manajer akan lebih

Universitas Sumatera Utara

bekerja secara professional untuk mencapai tujuan perusahaan dan tidak
mementingkan kepentingan pribadi. Sehingga dengan adanya dewan komisaris
independen dimungkinkan tidak akan terjadi manajemen laba pada perusahaan
tersebut.

2.1.3.4.

Komite Audit Independen
Sesuai dengan Kep. 29/PM/2004, komite audit adalah komite yang

dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan
perusahaan. Keberadaan komite audit sangat penting bagi pengelolaan
perusahaan. Komite audit merupakan komponen baru dalam sistem pengendalian
perusahaan. Selain itu komite audit dianggap sebagai penghubung antara
pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam
menangani masalah pengendalian. Berdasarkan Surat Edaran BEJ, SE008/BEJ/12-2001, keanggotaan komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya tiga
orang termasuk ketua komite audit. Anggota komite ini yang berasal dari
komisaris hanya sebanyak satu orang, anggota komite yang berasal dari komisaris
tersebut merupakan komisaris independen perusahaan tercatat sekaligus menjadi
ketua komite audit. Anggota lain yang bukan merupakan komisaris independen
harus berasal dari pihak eksternal yang independen.
Seperti diatur dalam Kep-29/PM/2004 yang merupakan peraturan yang
mewajibkan perusahaan membentuk komite audit, tugas komite audit antara lain:
1. Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan
perusahaan, seperti laporan keuangan, proyeksi dan informasi keuangan
lainnya,

Universitas Sumatera Utara

2. Melakukan penelaahan atas ketaatan perusahaan terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal dan peraturan perundangan
lainnya yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan,
3. Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor internal,
4. Melaporkan kepada komisaris berbagai risiko yang dihadapi perusahaan dan
pelaksanaan manajemen risiko oleh direksi,
5. Melakukan penelaahan dan melaporkan kepada dewan komisaris atas
pengaduan yang berkaitan dengan emiten,
6. Menjaga kerahasiaan dokumen, data, dan rahasia perusahaan.
Dengan adanya dewan komisaris yang melakukan pengawasan terhadap
pengelolaan perusahaan, maka manajer akan lebih serius untuk mencapai tujuan
perusahaan. Usaha manajemen untuk mementingkan kepentingan pribadi tidak
akan terlaksana apabila terdapat dewan komisaris independen. Sehingga sulit bagi
manajer untuk melakukan manajemen laba.

2.1.4.

Kualitas Audit
Auditing adalah bentuk monitoring yang digunakan oleh perusahaan untuk

menurunkan biaya keagenan (agency cost) perusahaan dengan pemegang hutang
(bond holder) dan pemegang saham (Jensen dan Meckling 1976). Nilai auditing
timbul karena auditing menurunkan pelaporan yang salah atas informasi akuntansi
(Ardiati, 2005). Hasil auditing ini dicerminkan dalam laporan keuangan yang
disajikan oleh perusahaan.
Hasil audit tidak bisa diamati secara langsung sehingga pengukuran
variabel

kualitas

audit

maupun

kualitas

auditor

menjadi

sulit

untuk

Universitas Sumatera Utara

dioperasionalkan. Untuk mengatasi permasalahan ini, para peneliti terdahulu
kemudian mencari indikator pengganti dari kualitas auditor. Dimensi kualitas
auditor yang paling sering digunakan dalam penelitian adalah ukuran kantor
akuntan publik atau KAP karena nama baik perusahaan (KAP) dianggap
merupakan gambaran yang paling penting (Sanjaya, 2008).
Auditor yang memiliki reputasi yang baik akan cenderung untuk
mempertahankan kualitas auditnya agar reputasinya terjaga dan tidak kehilangan
klien. De Angelo (1981) menyimpulkan bahwa KAP yang lebih besar dapat
menghasilkan kualitas audit yang lebih baik dibandingkan kantor akuntan kecil.
Munculnya kasus manipulasi akuntansi memicu terbitnya peraturan
Bapepam nomor Kep-20/PM/2002 per tanggal 12 November 2002 serta SK
Menteri Keuangan no. 423/KMK-06/2002. Pada lampiran Keputusan Ketua
Bapepam nomor Kep-20/PM/2002 terdapat Peraturan nomor VIII.A.2 yang
berisikan tentang independensi akuntan yang memberikan jasa audit di pasar
modal. Peraturan tersebut di antaranya membatasi hubungan auditee dan auditor
selama jangka waktu tertentu, yaitu emiten harus mengganti kantor akuntan tiap 5
tahun dan tiap 3 tahun untuk auditor. Selain itu, pemberian jasa non-audit tertentu
seperti menjadi konsultan pajak dan konsultan manajemen.
Knapp (1991) menunjukkan bahwa lamanya hubungan antara auditee dan
auditor dapat mengganggu independensi serta keakuratan auditor untuk
menjalankan tugas pengauditan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa auditor
yang memiliki masa kerja lebih dari 20 tahun serta kurang dari 5 tahun tidak dapat
menemukan kesalahan pelaporan yang material.

Universitas Sumatera Utara

Auditor

bertanggung

jawab

untuk

menyediakan

informasi

yang

mempunyai kualitas tinggi yang akan berguna untuk pengambilan keputusan para
pemakai laporan keuangan. Audit yang baik lebih cenderung akan mengeluarkan
opini audit going concern apabila klien terdapat masalah mengenai going concren.
Di Indonesia terdapat Kantor Akuntan the Big Four dan non-the Big Four.
Auditor Empat besar adalah kelompok empat firma jasa profesional dan akuntansi
internasional terbesar, yang menangani mayoritas pekerjaan audit untuk
perusahaan publik maupun perusahaan tertutup.
Sebelum tahun 2003, terdapat lima KAP besar di dunia yang disebut The
Big Five Auditors yaitu Arthur Andersen, Ernst & Young, Deloitte Touche
Tohmatsu, KPMG, dan PricewaterhouseCoopers. Lima KAP lokal yang
berafiliasi dengan The Big Five Auditors yaitu:
(1) KAP Prasetio Utomo & Co berafiliasi dengan Arthur Andersen,
(2) KAP Hanadi, Sarwoko, dan Sandjaja berafiliasi dengan Ernst & Young,
(3) KAP Hans Tuanakotta & Mustofa berafiliasi dengan Deloitte Touche
Tohmatsu,
(4) KAP Siddharta, Siddharta, dan Harsono berafiliasi dengan KPMG,
(5) KAP

Drs.

Hadi

Susanto

dan

Rekan

berafiliasi

dengan

PricewaterhouseCoopers.
Namun sejak tahun 2003 hingga sekarang, The Big Five Auditors tersebut
menjadi The Big Four Auditors. Keempat KAP tersebut adalah Ernst & Young,
Deloitte Touche Tohmatsu, KPMG, dan PricewaterhouseCoopers. Pada tahun
2003-2004 empat KAP lokal yang berafiliasi dengan The Big Four Auditors
tersebut, adalah:

Universitas Sumatera Utara

(1) KAP Prasetio, Sarwoko, Sandjaja berafiliasi dengan Ernst & Young,
(2) KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa berafiliasi dengan Deloitte Touche
Tohmatsu,
(3) KAP Siddharta, Siddharta, dan Harsono berafiliasi dengan KPMG,
(4) KAP

Drs.

Hadi

Susanto

dan

Rekan

berafiliasi

dengan

PricewaterhouseCoopers.
Pada tahun 2005, empat KAP lokal yang berafiliasi dengan The Big Four
Auditors adalah sebagai berikut:
(1) KAP Purwantono, Sarwoko, Sandjaja berafiliasi dengan Ernst & Young,
(2) KAP Osman Ramli Satrio dan Rekan berafiliasi dengan Deloitte Touche
Tohmatsu,
(3) KAP Siddharta, Siddharta, dan Harsono berafiliasi dengan KPMG,
(4) KAP

Drs.

Hadi

Susanto

dan

Rekan

berafiliasi

dengan

PricewaterhouseCoopers.
Pada tahun 2006-2008, empat KAP lokal yang berafiliasi dengan The Big
four Auditors adalah sebagai berikut:
(1) KAP Purwantono, Sarwoko, Sandjaja berafiliasi dengan Ernst & Young,
(2) KAP Osman Bing Satrio dan Rekan berafiliasi dengan Deloitte Touche
Tohmatsu,
(3) KAP Siddharta, Siddharta, dan Widjaja berafiliasi dengan KPMG,
(4) KAP Haryanto Sahari berafiliasi dengan PricewaterhouseCoopers.
Pada tahun 2009, empat KAP lokal yang berafiliasi dengan The Big Four
Auditors yaitu:
(1) KAP Purwantono, Sarwoko, Sandjaja berafiliasi dengan Ernst & Young,

Universitas Sumatera Utara

(2) KAP Osman Bing Satrio dan Rekan berafiliasi dengan Deloitte Touche
Tohmatsu,
(3) KAP Siddharta dan Widjaja berafiliasi dengan KPMG,
(4) KAP

Tanudireja

Wibisana

&

Rekan

berafiliasi

dengan

PricewaterhouseCoopers.
Pada penelitian ini kualitas audit yang dimaksud adanya bahwa perusahaan
diaudit oleh KAP yang mempunyai kredibilitas tinggi seperti KAP yang
berafiliasi dengan the big four. Dengan kantor akuntan publik yang berafiliasi
dengan the big four mereka akan lebih serius mengaudit laporan keuangan
perusahaan dan lebih berhati-hati mengeluarkan pendapat bagi perusahaan yang
melakukan manajemen laba, sehingga dimungkinkan bagi perusahaan yang
diaudit oleh KAP yang berafiliasi dengan the big four tidak akan melakukan
manajemen laba.

2.2.

Review Peneliti Terdahulu
Banyak penelitian yang meneliti tentang manajemen laba. Salah satunya

penelitian yang dilakukan oleh Fidyati (2004) yang meneliti tentang Pengaruh
Mekanisme Corporate Governance Terhadap Earning Management pada
Perusahaan Seasoned Equity Offering (SEO). Penelitian ini menggunakan
variabel independen yaitu kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional,
kepemilikan publik dan reputasi auditor. Variabel dependen manajemen laba.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kepemilikan manajerial, kepemilikan
institusional, kepemilikan publik dan reputasi auditor signifikan berpengaruh
terhadap manajemen laba.

Universitas Sumatera Utara

Penelitian berikutnya yang meneliti tentang manajemen laba yaitu
penelitian yang berjudul Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate
Governance dan Dampak Manajemen Laba Menggunakan Analisis Jalur yang
diteliti oleh Boediono (2005). Penelitian ini menggunakan variabel Kepemilikan
Institusional, Kepemilikan Manajerial, dan Komposisi Dewan Komisaris. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme good corporate governance dalam
hal ini kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dan komposisi dewan
komisaris berpengaruh secara bersama-sama terhadap kualitas laba, teruji dengan
tingkat pengaruhnya lemah.
Nasution dan Setiawan (2007) juga meneliti tentang manajemen laba
yang berjudul Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba di
Industri Perbankan Indonesia. Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah
komposisi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris, komite audit, ukuran
perusahaan. Hasil penelitian ini adalah bahwa komposisi dewan komisaris, ukuran
dewan komisaris, komite audit dan ukuran perusahaan berpengaruh secara
bersama-sama terhadap manajemen laba.
Penelitian lainnya yaitu penelitian yang dilakukan Luhgiatno (2008)
dengan judul analisis pengaruh kualitas audit terhadap manajemen laba studi pada
perusahaan yang melakukan IPO di Indonesia. Pada penelitian ini menggunakan
variabel kualitas audit dan manajemen laba. Hasil menunjukkan bahwa kualitas
audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan pada tabel berikut ini:
Tabel 2.1. Review Peneliti Terdahulu
No

Nama
Peneliti &
Tahun

Judul
Penelitian

Variabel
Penelitian

Hasil dari
Penelitian

1.

Fidyati

Pengaruh
Mekanisme
Corporate
Governance
Terhadap
Earning
Management
pada
Perusahaan
Seasoned
Equity Offering
(SEO)

Variabel
Independen:
Kepemilikan
Manajerial,
Kepemilikan
Institusional,
Kepemilikan
Publik
dan
Reputasi Auditor.

Kepemilikan
manajerial,
kepemilikan
institusional,
kepemilikan publik
dan reputasi auditor
signifikan
berpengaruh
terhadap
manajemen laba.

Kualitas Laba:
Studi Pengaruh
Mekanisme
Corporate
Governance dan
Dampak
Manajemen
Laba
Menggunakan
Analisis Jalur

Variabel
Independen:
Kepemilikan
Institusional,
Kepemilikan
Manajerial,
dan
Komposisi Dewan
Komisaris.

Pengaruh
Corporate
Governance
Terhadap

Variabel
Independen:
Komposisi Dewan
Komisaris,

(2004)

2.

3.

Boediono
(2005)

Nasution dan
Setiawan
(2007)

Variabel
Dependen:
Manajemen Laba.

Variabel
Dependen:
Manajemen Laba.

Mekanisme good
corporate
governance dalam
hal ini kepemilikan
institusional,
kepemilikan
manajerial,
dan
komposisi dewan
komisaris
berpengaruh secara
bersama-sama
terhadap
manajemen
laba,
teruji
dengan
tingkat
pengaruhnya
lemah.
Komposisi dewan
komisaris, ukuran
dewan komisaris,
komite audit dan

Universitas Sumatera Utara

Manajemen
Laba di Industri
Perbankan
Indonesia

Ukuran
Dewan
Komisaris,
Komite
Audit,
Ukuran
Perusahaan,

ukuran perusahaan
berpengaruh secara
bersama-sama
terhadap
manajemen laba.

Variabel
Dependen:
Manajemen Laba.
4.

Luhgiatno
(2008)

Analisis
Pengaruh
Kualitas Audit
Terhadap
Manajemen
Laba studi pada
perusahaan
yang melakukan
IPO
di
Indonesia

Variabel
Independen:
Kualitas Audit,
Variabel
dependen:
Manajemen Laba

Kualitas audit tidak
berpengaruh
signifikan terhadap
manajemen
laba
pada
perusahaan
yang
melakukan
IPO

Universitas Sumatera Utara