HASIL KEBUDAYAAN DARI WAYANG KULIT

“HASIL KEBUDAYAAN DARI WAYANG KULIT”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Makalah Matakuliah
Metodologi Ilmu Budaya

oleh:
HENDRI MULYAWAN
(13030114120023)
Kelas A/ SEMESTER V (LIMA)

DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta

taufik


dan

hidayah-Nya

penulis

dapat

menyelesaikan makalah tentang “Hasil Kebudayaan Dari Wayang Kulit” dengan
baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga penulis berterima kasih
pada Bapak Drs. Supriyo Priyanto, M.Hum selaku dosen matakuliah Metodologi
Ilmu Budaya UNDIP yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai hasil kebudayaan dari wayang kulit
ditinjau melalui analisi 7 unsur kebudayaan, dan juga bagaimana memahami
filosofi dari wayang kulit itu sendiri. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan memohon kritik
dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang
akan datang.

Semarang, 06 Oktober 2016

Penulis

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...........................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG ................................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH .............................................................................. 2
1.3 TUJUAN PENULISAN ................................................................................ 2
BAB II .................................................................................................................... 3
IDE TERBENTUKNYA WAYANG KULIT ..................................................... 3
2.1 UNSUR KEBUDAYAAN MENURUT KUNTJARANINGRAT ............... 3

2.2 SEJARAH WAYANG KULIT ..................................................................... 4
2.3 FILOSOFI WAYANG KULIT ..................................................................... 5
2.4 Peranan Wayang Kulit sebagai salah satu kesenian luhur dan agung yang
berbudaya di Indonesia. ....................................................................................... 7
BAB III ................................................................................................................. 11
WAYANG KULIT DI KALANGAN MASYARAKAT INDONESIA
SEBAGAI WUJUD TINDAKAN KEBUDAYAAN ......................................... 11
3.1 CARA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT BERLANGSUNG ............. 11
BAB IV ................................................................................................................. 15
KESIMPULAN.................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA

i

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Wayang adalah salah satu kesenian yang telah ada di Indonesia sejak
ajaran Hindu masih tersebar di seluruh Nusantara. Wayang sendiri mengambil
tokoh-tokoh dewa maupun ksatria yang ada dalam agama Hindu dari India.

Wayang di Indonesia tersebar dalam beberapa versi sesuai dengan daerah, sebagai
contoh Wayang Ringgit, Wayang Uwong dari Jawa, Wayang Golek dari Sunda
atau Jawa Barat, Wayang Bali dari Bali, Wayang Palembang dari Sumatra
Selatan, Wayang Sasak dari Nusa Tenggara Barat, baik Wayang Cina yang
berasal dari Cina yang diadopsi dan berkembang pesat di masyarakat Tiong Hoa
di Indonesia.
Wayang adalah seni pertunjukkan asli Indonesia yang berkembang pesat
di Pulau Jawa dan Bali. UNESCO, lembaga yang membawahi kebudayaan dari
PBB, pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan
boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai
dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Sebenarnya, pertunjukan boneka tak hanya ada di Indonesia. Banyak negara
memiliki pertunjukkan boneka. Namun, pertunjukkan bayangan boneka (Wayang)
di Indonesia memiliki gaya tutur dan keunikkan tersendiri, yang merupakan
mahakarya asli dari Indonesia. Dan untuk itulah UNESCO memasukannya ke
dalam Daftar Warisan Dunia pada tahun 2003.
Ketika agama Hindu masuk ke Indonesia dan menyesuaikan kebudayaan
yang sudah ada, seni pertunjukkan ini menjadi media efektif menyebarkan agama
Hindu, dimana pertunjukkan wayang menggunakan cerita Ramayana dan
Mahabharata.

Demikian juga saat masuknya Islam, ketika pertunjukkan yang
menampilkan “Tuhan” atau “Dewa” dalam wujud manusia dilarang, munculah
boneka wayang yang terbuat dari kulit sapi, dimana saat pertunjukkan yang
ditonton hanyalah bayangannya saja, yang sekarang kita kenal sebagai wayang
kulit.
1

1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa ide atau gagasan mengenai terbentuknya wayang kulit di
Indonesia?
2. Bagaimana pola tindakan atau aktivitas manusia sehingga tercipta
wayang kulit sebagaai warisan budaya Indonesia?
1.3 TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui gagasan tau ide mengenai terbentuknya wayang kulit di
Indonesia.
2. Mengetahui pola tindakan atau aktivitas manusia sehingga tercipta
kreasi wayang kulit yang menjadi sebuah representatif tindakan moral
dan warisan budaya Indonesia.

2


BAB II
IDE TERBENTUKNYA WAYANG KULIT
2.1 UNSUR KEBUDAYAAN MENURUT KUNTJARANINGRAT
Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1979: 186-187). Pertama wujud
kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua wujud kebudayaan
sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga adalah
wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama
berbentuk absarak, sehingga tidak dapat dilihat dengan indera penglihatan. Wujud
ini terdapat di dalam pikiran masyarakat. Ide atau gagasan banyak hidup bersama
dengan masyarakat. Gagasan itu selalu berkaitan dan tidak bisa lepas antara yang
satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antara setiap gagasan ini disebut sistem.
Koentjaraningrat mengemukaan bahwa kata „adat‟ dalam bahasa Indonesia adalah
kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang
berupa ide atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan
adat istiadat (1979: 187). Wujud kebudayaan yang kedua disebut dengan sistem
sosial (Koentjaraningrat, 1979: 187). Sistem sosial dijelaskan Koentjaraningrat
sebagai keseluruhan aktifitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia yang
berinteraksi dengan manusia lainnya. Aktifitas ini dilakukan setiap waktu dan
membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam masyarakat

tersebut. Tindakan-tindakan yang memiliki pola tersebut disebut sebagai sistem
sosial oleh Koentjaraningrat. Sistem sosial berbentuk kongkrit karena bisa dilihat
pola-pola tindakannya dengan indra penglihatan. Kemudian wujud ketiga
kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik (Koentjaraningrat, 1979: 188).
Wujud kebudayaan ini bersifat konkret karena merupakan benda-benda dari
segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas, atau perbuatan manusia dalam
masyarakat.
Koentjaraningrat juga mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan
yaitu bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian,
organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1979: 203-204).
Ketujuh unsur kebudayaan ini disebut Koentjaraningrat sebagai unsur kebudayaan
universal karena selalu ada pada setiap masyarakat. Koentjaraningrat menjelaskan

3

bahwa ketujuh unsur tersebut dapat diperinci lagi menjadi sub unsur hingga
beberapa kali menjadi lebih kecil.
Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ketujuh unsur tersebut sudah pasti
menjelma dalam tiga wujud kebudayaan. Sebagai contoh Koentjaraningrat
menjelaskan bahwa sistem religi dapat dibagi menjadi tiga wujud kebudayaan.

Dalam wujud kebudayaan yang pertama atau ide atau gagasan, sistem religi
memiliki gagasan tentang Tuhan, dewa-dewi, roh-roh halus, surga dan neraka,
rengkarnasi, dan sebagainya. Lalu sebagai wujud kebudayaan yang kedua atau
sistem sosial, sistem religi juga mempunyai pola-pola aktifitas atau tindakan
seperti upacara atau ritual baik yang diadakan musiman atau setiap hari.
Kemudian sistem religi juga mempunyai benda-benda yang dianggap suci, sakral,
atau religius sebagai bentuk wujud kebudayaan ketiga yaitu kebudayaan fisik atau
artefak.
2.2 SEJARAH WAYANG KULIT
Wayang dikenal oleh bangsa Indonesia sudah sejak 1500 th. sebelum
Masehi, karena nenek moyang kita percaya bahwa setiap benda hidup mempunyai
roh/jiwa, ada yang baik dan ada yang jahat. Agar tidak diganggu oleh roh jahat,
maka roh-roh tersebut dilukis dalam bentuk gambaran (gambar ilusi) atau
bayangan (wewayangan/wayang ), disembah dan diberi sesajen yang kemudian
dikenal kemudian dengan kepercayaan Animisme.
Kepercayaan nenek moyang kita demikian berlangsung lama, tetapi
dengan kedatangan A-gama Hindu kepercayaan baru yang datang dari India
termasuk juga adat dan budayanya, maka gambaran ( gambar ilusi ) Roh, berubah
fungsinya. Dahulunya untuk disembah kemudian berubah menjadi alat peraga
untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama. Hal demikian kelak ditiru oleh Sunan

Kalijaga ( R.M. Said ) salah satu Wali Songo untuk menyebarkan dan
mengembang kan ajaran Islam di Indonesia, meskipun disana-sini disisipkan
ajaran-ajaran filsafat dan agama Islam, seperti “Jimat Kalimusodo” yang
dimaksud adalah dua kalimat syahadat. Demikian pula variasi-variasi ceritanya
selain cerita Mahabarata dan Ramayana, masih banyak cerita-cerita yang diadopsi

4

dari cerita-cerita Panji, cerita Menak yang berkembang pada masa Kesultanan
Ngayogjakarta Hadiningrat.
Perkembangan bentuk wayang juga menga lami perkembangan ragamnya,
yakni mulai dari rumput, kulit kayu, kulit binatang ( wayang kulit ), wayang
lukisan kain ( wayang beber ) dlsb.
Wayang bukan hanya sekedar tontonan tetapi juga tuntunan dalam
kehidupan untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat dalam
tingkat kesempurnaan abadi, sehingga tokoh-tokoh di pewayangan di identikkan
dengan sifat-sifat manusia dan alam didalam kehidupan sehari-harinya. Dalam
cerita pewayangan banyak ditemukan falsafah-falsafah hidup dan sering dijadikan
kajian ilmiah oleh peneliti-peneliti dan Mahasiswa-mahasiswa baik didalam
maupun diluar negeri, belajar dan mendalami wayang di Indonesia.

Dunia mengakui wayang sebagai master piece (master perdamaian) karya
budaya bangsa Indonesia yang mendapat predikat ” THE ORAL AND
INTANGIBLE WORLD HERITAGE OF HU-MANITY ” oleh PBB melalui

UNESCO. Jika dikaji secara cermat dan mendalam, semua cerita pewayangan
mengandung makna filosufis yang sangat berarti bagi kehidupan ma nusia yaitu
menunjukkan arah yang benar mengenai kebenaran yang hakiki.
2.3 FILOSOFI WAYANG KULIT
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan
Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada zaman Hindu Jawa.
Pertunjukan kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan
orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dinamisme. Tentang
asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah
yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian banyak para ahli mulai
mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata
sangat menarik sebagai sumber atau objek penelitian.
Di kalangan masyarakat, wayang adalah bukan hal yang asing. Wayang
merupakan salah satu warisan budaya bangsa yang telah mampu bertahan, dari
waktu ke waktu, dengan mengalami perubahan dan perkembangan sampai
berbentuk seperti sekarang ini. Daya tahan wayang yang luar biasa terhadap

5

berbagai perubahan pemerintahan, politik, sosial budaya maupun kepercayaan
membuktikan bahwa wayang mempunyai fungsi dan peranan penting dalam
kehidupan sosial masyarakat.
Filsafat

pewayangan

membuat

masyarakat

sebagai

penontonnya

merenungkan hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, manunggaling kawula gusti,
kedudukan manusia dalam alam semesta, serta sangkan paraning dumadi yang
dilambangkan dengan tancep kayon oleh ki dalang pada akhir pagelaran
(Wibisono dalam Mulyana: 2008). Keseluruhan pagelaran wayang, sejak dari
pembukaan (talu) sampai berakhirnya pagelaran dengan tancep kayon,
mempunyai kandungan filosofis yang tinggi.
Tiap adegan dengan iringan gending sendiri-sendiri dan makin lama makin
meningkat laras dan iramanya sehingga mencapai klimaks yang ditandai dengan
tancep kayon, setelah semua masalah di dalam lakon terjawab dan berhasil
diselesaikan. Kesemuanya itu menggambarkan kompleksitas kehidupan manusia
di dunia ini dengan segala aspek dan dinamikanya, yang tidak lepas dari peran dan
kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan maupun sebagai makhluk
sosial.
Dalam hal ini telah jelas, sebagai manusia yang berbudaya, bangsa
Indonesia menganggap wayang sebagai bagian dari kehidupan yang bernilai
tinggi dan luhur. Bagi kelangsungan eksistensi wayang ini, paling tidak, ada tiga
hal yang perlu dicermati dalam kehidupan publik. Pertama, sikap dan pandangan
hidup pragmatis telah dianut oleh sebagian besar masyarakat. Kedua, implikasi
dari realitas ini tidak hanya diterapkan dalam perilaku ekonomi dan politik, tetapi
juga dalam memilih bentuk kesenian dan kebudayaan. Ketiga, akibat selanjutnya
adalah budaya massa dan budaya populer menjadi kiblat mayoritas publik.
Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang
di Pulau Jawa dan Bali (id.wikipedia.org). Sedikit melihat kembali sejaranh
singkat tentang wayang di Indonesia, oleh para pendahulu negeri ini sangat
mengandung arti yang sangat dalam sekali. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah
sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Para Wali di Tanah Jawa sudah
mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa

6

Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga
Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain.
Yaitu “Mana yang Isi” (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit)
harus dicari (Wayang Golek)”.
2.4 Peranan Wayang Kulit sebagai salah satu kesenian luhur dan agung yang
berbudaya di Indonesia.
Wayang diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya bangsa Indonesia
pada tahun 2003. Wayang sebagai “Karya Agung Budaya Dunia” yang diakui
oleh UNESCO bukan hanya wayang Jawa tapi wayang Indonesia, termasuk
wayang Bali, wayang golek Sunda, wayang Lombok, dll. Tapi wayang yang lebih
dikenal di Indonesia adalah wayang kulit Jawa. Suatu gejala yang patut untuk
diamati dalam masyarakat Jawa – yang punya pengaruh yang kuat dalam
masyarakat Indonesia pada umumnya – adalah masih lestarinya budaya wayang
kulit biarpun berbagai unsur budaya telah mempengaruhi bangsa Jawa maupun
bangsa Indonesia, termasuk unsur-unsur budaya Budha, Hindu, Islam maupun
Barat. Bukti yang nyata dari masih besarnya pengaruh budaya wayang kulit pada
saat ini dengan masih banyaknya peminat pada siaran wayang kulit dilayar TV
maupun pertunjukan langsung pada acara-acara tertentu.
Hal ini patut dicermati mengingat bahwa budaya wayang kulit merupakan
budaya tua yang masih bertahan sampai dengan saat ini yang meminjam
istilahnya Alvin Toffler berarti tetap bertahan pada masa gelombang pertama,
gelombang kedua, sampai dengan gelombang ketiga yang merupakan abad
informasi dengan komunikasi termasuk internet sebagai tulang punggung
pendukung utamanya. Bertahannya budaya wayang kulit menjadi menarik
mengingat bahwa:
1. Wayang kulit berbasis cerita Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari
budaya Hindhu dari India.
2. Masyarakat Jawa mayoritas beragama Islam
3. Cerita dalam wayang kulit berbasiskan cerita tentang kerajaan yang raja dan
ksatria sebagai fokus utamanya yang berarti semangat dalam ceritanya adalah tata
budaya feodal.
7

4. Masyarakat Jawa terpelajar umumnya berbasis pendidikan Barat yang tidak
mau terpengaruh budaya Barat.
Dalam hal ini penulis sangat kagum kepada Prof. Danys Lombard yang
dalam bukunya “Nusa Jawa – Silang Budaya” yang menyadari betul pengaruh
wayang purwo atau kulit juga tulisan klasik Jawa lainnya seperti Babad Tanah
Jawi, Serat Centini, dalam kehidupan masyarakat Jawa sampai dengan saat ini.
Jelas bahwa wayang tidak lepas dari keseharian kehidupan manusia Jawa
di masa lalu (yang juga masih hidup di pedesaan masa kini) dalam ritus kehidupan
sehari-hari. Dipercaya bahwa budaya wayang kulit sudah ada bahkan sebelum
pengaruh agama Hindu datang dengan bukti adanya unsur punakawan (Semar,
Gareng, Petruk, dan Bagong) yang tidak ada dalam cerita asli baik Ramayana
ataupun Mahabharata. Walaupun basis cerita wayang adalah Ramayana dan
Mahabharata tetapi dalam kenyataannya ceritayang dibawakan sudah bercampur
atau diubah dengan cerita yang diperhalus dan disesuaikan dengan budaya Jawa
sebagai contohnya adalah :
1. Dewi Drupadi dalam cerita Mahabharata yang asli bersuami lima yaitu semua
Pendawa Lima (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa) dalam pewayangan
diceritakan adalah hanya istri Puntodewo/Yudistira karena budaya Jawa tidak
mengenal poliandri.
2. Gatotkaca adalah anak Bima yang raksasa di Mahabharata dan hanya muncul
pada saat perang Bharatayuda, dijadikan idola pahlawan yang gagah perkasa
dalam pewayangan dengan berbagai cerita kesaktiannya dengan ajian-ajian seperti
Brajamusti yang sampai saat ini masih bisa dipelajari dikalangan masyarakat
Jawa.
3. Dalam Mahabarata ttidak diceritakan bahwa masing-masing Pandawa Lima
diberi daerah kekuasaan, di dalam pewayangan diceritakan bahwa Arjuna
mempunyai daerah teritori namanya Madukara, Bhima dari Jodhipati, Gatotkaca
dari Pringgodhani dan sebagainya.
Dari indikasi di atas jelas bahwa cerita Ramayana dan terutama
Mahabarata telah diberikan kandungan lokal sedemikan rupa sehingga mengalami
internalisasi dan sangat dekat dengan masyarakat Jawa, termasuk memasukkan
8

unsure punakawan didalamnya. Bahkan di beberapa tempat di Jawa diberi nama
tempat yang mengesankan seolah-olah kejadian cerita Mahabharata itu memang
betul-betul terjadi ditanah Jawa. Sebagai contoh: Didaerah yang sekarang
dijadikan waduk Sempor, Gombong, Jawa -Tengah, nama asli desa tersebut
adalah Cicingguling. Penduduk setempat percaya tempat tersebut adalah tempat
Bhima berperang melawan Duryudana dengan menghantamkan gadanya di bagian
pahanya sehingga Duryudana terpaksa menyisingkan kainnya (celananya) –
bahasa Jawanya menyisingkan adalah cicing – juga berguling- guling karena
kesakitan, oleh karena itu desa tersebut diberi nama Cicingguling. Begitu juga di
daerah pegunungan Dieng di Jawa Tengah maupun di puncak gunung Lawu di
perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, nama-nama tempatnya diberi
kesan seolah-olah tempat tersebut adalah tempat keberadaan para dewa dalam
cerita Mahabharata. Ketika agama Islam datang ke Indonesia, bahkan oleh salah
satu wali sanga (sembilan wali) – Sunan Kalijaga – wayang dijadikan alat untuk
penyebaran agama Islam yang memasukkan unsur Islam dalam kandungan cerita
Mahabharata. Sebagai contoh: Yudhisthira sebagai raja di Amartapura
mempunyai jimat (pusaka) yang bernama “Jamus Kalimasada” yang merupakan
pegangan atau lambang keunggulan sebagai raja diterjemahkan sebagai “Kalimat
Sahadat” yang melambangkan keunggulan Islam sebagai pegangan hidup dengan
pengakuan “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah”.
Konon diceritakan Yudhisthira belum bisa meninggal sebelum ada yang
bisa menjabarkan jimat “Kalimasada” yang kemudian dalam pertapaannya
bertemu dengan Sunan Kalijaga di hutan Glagahwangi. Sunan Kalijaga melihat
jamus “Kalimasada” yang ternyata selembar kulit dengan tulisan “Kalimat
Sahadat”. Setelah dibacakan dan ditirukan oleh Yudhisthira yang berarti mengIslamkannya, Yudhistira bisa menemui ajalnya sebagai seorang Muslim. (Note:
apabila dipikirkan secara rasional tentu saja tidak masuk akal karena Puntadewa
bagaimanapun adalah produk dari budaya Hindu berasal dari cerita fiksi epic
Mahabharata. Tentu saja ini adalah kepandaian dari wali sanga untuk mengIslamkan masyarakat yang pada saat itu masih mayoritas beragama Hindhu.
Dalam hal seberapa besar Islam betul-betul secara effektif mempunyai pengaruh
yang besar dalam wayang kulit masyarakat Islam masih banyak meragukan. Oleh

9

karena itu ada sebahagian masyarakat Islam bahkan mengharamkan “wayang
purwo/kulit” yang jelas nafas Hindunya atau Jawanya lebih menonjol
dibandingkan dengan nafas Islamnya, lepas dari kenyataan bahwa wayang kulit
masih tetap digemari masyarakat Jawa yang Islam maupun yang bukan Islam.

10

BAB III
WAYANG KULIT DI KALANGAN MASYARAKAT INDONESIA
SEBAGAI WUJUD TINDAKAN KEBUDAYAAN
Mengenal kebudayaan Jawa tidak akan terlepas dari mengenal seni
tradisional wayang kulit yang masih digemari hingga sekarang. Sesuai dengan
namanya, wayang kulit terbuat dari kulit binatang (kerbau, lembu atau kambing).
Dalam sejarah, wayang kulit terutama berkembang di Jawa dan di sebelah timur
semenanjung Malaysia seperti di Kelantan dan Terengganu. Wayang kulit lebih
populer di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering
dimainkan di Jawa Barat.
Wayang kulit adalah seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari
setengah milenium. Kemunculannya memiliki cerita tersendiri, terkait dengan
masuknya Islam Jawa. Salah satu anggota Wali Songo menciptakannya dengan
mengadopsi Wayang Beber yang berkembang pada masa kejayaan Hindu-Budha.
Adopsi itu dilakukan karena wayang terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga
menjadi media yang tepat untuk dakwah menyebarkan Islam, sementara agama
Islam melarang bentuk seni rupa. Alhasil, diciptakan wayang kulit dimana orang
hanya bisa melihat bayangan.
3.1 CARA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT BERLANGSUNG
Tempat pertunjukan wayang ditata dengan menggunakan konsep pentas
yang bersifat abstrak. Arena pentas terdiri dari layar berupa kain putih dan sebagai
sarana tehnis di bawahnya ditaruh batang pisang untuk menancapkan wayang.
Ada seorang dalang yang memainkannya dan sekaligus menjadi narator dialog
tokoh-tokoh wayang, yang bisa dibilang sebagai penghibur terhebat di dunia.
Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang memainkan seluruh
karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan berbahan kulit kerbau
dengan dihias motif hasil kerajinan tatah sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah
karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi.
Untuk menghidupkan suasana, dalang dibantu oleh musisi yang memainkan
gamelan dan para sinden yang menyanyikan lagu-lagu Jawa. Tokoh-tokoh dalam
wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orang-orangan yang sedang tak

11

dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat
dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada
di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena setiap pertunjukan
wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang membantu
pemantulan orang-orangan yang sedang dimainkan.
Sebuah pagelaran wayang semalam suntuk gaya Yogyakarta dibagi dalam
3 babak yang memiliki 7 jejeran (adegan) dan 7 adegan perang. Babak pertama,
disebut pathet lasem, memiliki 3 jejeran dan 2 adegan perang yang diiringi
gending-gending pathet lasem. Pathet Sanga yang menjadi babak kedua memiliki
2 jejeran dan 2 adegan perang, sementara Pathet Manura yang menjadi babak
ketiga mempunyai 2 jejeran dan 3 adegan perang. Salah satu bagian yang paling
dinanti banyak orang pada setiap pagelaran wayang adalah gara-gara yang
menyajikan guyonan-guyonan khas Jawa. Untuk mementaskan pertunjukan
wayang kulit secara lengkap dibutuhkan kurang lebih sebanyak 18 orang
pendukung. Satu orang sebagai dalang, 2 orang sebagai waranggana, dan 15 orang
sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara. Rata-rata pertunjukan dalam satu
malam adalah 7 sampai 8 jam, mulai dari jam 21.00 sampai jam 05.00 pagi. Bila
dilakukan pada siang hari pertunjukan biasanya dimulai dari jam 09.00 sampai
dengan jam 16.00. Narasi sang dalang akan diiringi oleh musik gamelan yang
dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para
pesinden. Wayang kulit dimainkan olah Ki Dalang di balik kelir, yaitu layar yang
terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau
lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari
layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami
cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh
wayang yang bayangannya tampil di layar. Wayang biasanya mengambil cerita
dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem
(standard) tersebut. Ki dalang juga dapat memainkan lakon carangan (gubahan).
Beberapa cerita juga diambil dari cerita Panji.
-Kisah Atau Lakon Yang Berbeda

12

Setiap pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda.
Ragam lakon terbagi menjadi 4 kategori yaitu lakon pakem, lakon carangan, lakon
gubahan dan lakon karangan. Lakon pakem memiliki cerita yang seluruhnya
bersumber pada perpustakaan wayang sedangkan pada lakon carangan hanya garis
besarnya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang. Lakon gubahan tidak
bersumber pada cerita pewayangan tetapi memakai tempat-tempat yang sesuai
pada perpustakaan wayang, sedangkan lakon karangan sepenuhnya bersifat lepas.
Cerita wayang bersumber pada beberapa kitab tua misalnya Ramayana,
Mahabharata, Pustaka Raja Purwa dan Purwakanda. Kini, juga terdapat bukubuku yang memuat lakon gubahan dan karangan yang selama ratusan tahun telah
disukai masyarakat Abimanyu kerem, Doraweca, Suryatmaja Maling dan
sebagainya. Diantara semua kitab tua yang dipakai, Kitab Purwakanda adalah
yang paling sering digunakan oleh dalang-dalang dari Kraton Yogyakarta.
Pagelaran wayang kulit dimulai ketika sang dalang telah mengeluarkan gunungan.
Wayang kulit dipakai untuk memperagakan lakon-lakon dari Babad Purwa
yaitu Mahabarata dan Ramayana, dan itu sebabnya juga sering disebut Wayang
Purwa. Dalam pertunjukan wayang kulit, jumlah adegan dalam satu lakon tidak
dapat ditentukan. Jumlah adegan ini akan berbeda-beda berdasarkan lakon yang
dipertunjukkan atau tergantung dalangnya.

Sebagai pra-tontonan adalah

tetabuhan yang tidak ada hubungannya dengan ceritera pokok, jadi hanya bersifat
sebagai penghangat suasana saja atau pengantar untuk masuk ke pertunjukan yang
sebenarnya.
-Pakem Pedalangan Sebagai Pedoman
Sebagai pedoman dalam menyajikan pertunjukan wayang kulit biasanya
seorang dalang akan menggunakan pakem pedalangan berupa buku pedalangan.
Namun ada juga dalang yang menggunakan catatan dari dalang-dalang tua yang
pengetahuannya diperoleh lewat keturunan. Meskipun demikian, seorang dalang
diberi kesempatan pula untuk berimprovisasi, karena pakem pedalangan tersebut
sebenarnya hanya berisi inti ceritera pokok saja. Untuk lebih menghidupkan
suasana dan membuat pertunjukan menjadi lebih menarik, improvisasi serta
kreativitas dalang ini memegang peranan yang amat penting.

13

-Warna Rias Wajah Memiliki Arti Simbolis
Warna rias wajah pada wayang kulit mempunyai arti simbolis, akan tetapi
tidak ada ketentuan umum di sini. Warna rias merah untuk wajah misalnya,
sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tokoh Setyaki yang
memiliki warna rias muka merah bukanlah tokoh angkara murka.
Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan oleh warna rias muka saja, tetapi
juga ditentukan oleh unsur lain, seperti misalnya bentuk (patron) wayang itu
sendiri. Tokoh Arjuna, baik yang mempunyai warna muka hitam maupun kuning,
adalah tetap Arjuna dengan sifat-sifatnya yang telah kita kenal. Perbedaan warna
muka seperti ini hanya untuk membedakan ruang dan waktu pemunculannya.
Arjuna dengan warna muka kuning dipentaskan untuk adegan di dalam kraton,
sedangkan Arjuna dengan warna muka hitam menunjukkan bahwa dia sedang
dalam perjalanan. Demikian pula halnya dengan tokoh Gatotkaca, Kresna,
Werkudara dan lain-lain. Perbedaan warna muka wayang ini tidak akan diketahui
oleh penonton yang melihat pertunjukan dari belakang layar.
-Alat Penerangan Terus Berkembang
Alat penerangan yang dipakai dalam pertunjukan wayang kulit dari dahulu
sampai sekarang telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan
teknologi. Dalam bentuk aslinya alat penerangan yang dipakai pada pertunjukan
wayang kulit adalah blencong, kemudian berkembang menjadi lampu minyak
tanah (keceran), petromak, sekarang banyak yang menggunakan lampu listrik.
Sampai sekarang pertunjukan wayang kulit selain merupakan sarana hiburan juga
merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara adat seperti: bersih desa,
ngruwat dan lain-lain.

14

BAB IV
KESIMPULAN
Seni wayang kulit sendiri mempunyai nilai yang sangat penting bagi
bangsa. Karena didalam setiap ceritanya terkandung nilai moral yang luhur.
Cerita-cerita dalam wayang kulit, mengisahkan kehidupan manusia dari lahir
sampai mati. Menceritakan tentang ajaran-ajaran budi pekerti yang luhur. Ajaran
yang tidak bisa kita dapatkan ketika menonton pertunjukan lain yang hanya
sekedar “hiburan”.
Seni wayang kulit itu, sebenarnya berisi pesan moral yang sangat luar
biasa. Karena tiap ceritanya pasti mempunyai pesan yang positif kepada
penontonya. Selain itu, falsafah wayang, dalam implementasinya dalam
kehidupan berperan penting dalam membangun kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sebab, dalam seni wayang terdapat kearifan lokal yang bermanfaat
untuk membangun karakter dan jatidiri bangsa Indonesia melalui watak tokoh
dalam wayang.
Wayang kulit sebagai karya agung, bukan hanya isapan jempol semata,
karena dunia pun sudah mengakui bahwa seni wayang kulit merupakan karya
yang agung dan luhur. Terbukti dengan disematkannya penghargaan sebagai
masterpiece (karya agung) dari UNESCO kepada seni wayang kulit.

15

DAFTAR PUSTAKA
Kuntjaraningrat. 2000. Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia
Kuntjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi II, Pokok-pokok Etnografi. Jakarta:
Rineka Cipta
http://dian-marfuah.blog.ugm.ac.id/2011/11/08/tugas-makalah-dasar-dasar-ilmubudaya-wayang-kulit-sebagai/ (diunduh pada 06 Oktober 2016 pukul 20.08)
http://nisasline.blogspot.co.id/2013/03/teknik-penulisan-berita.html

(diunduh

pada 06 Oktober 2016 pukul 22.07)
http://pepadi.kebumenkab.go.id/index.php?option= com_content&view= article&i
d= 8%3Asejarah-singkat-wayang&catid= 3%3Aartikel&Itemid= 9&limitstart= 1

(diunduh pada 06 Oktober 2016 pukul 23.47)

16