Jurnal Konstitusi PKK FH Universitas Kan

TELAAH HERMENEUTIKA PADA PERBUATAN TERCELA
Tomy M Saragih
Penerbitan CV. R.A.De.Rozarie
Jl. Ikan Mungsing 8 Nomor 82, Surabaya 60177
a_los_tesalonicenses@yahoo.com
Abstrak
Secara normatif tidak ada definisi perbuatan tercela yang dilakukan presiden. Arti
perbuatan tercela hanya termaktub pada Pasal 10 Ayat (3) No. 24-2003 dan Pasal 5
huruf i UU No. 42-2008. Hal ini menimbulkan kekaburan hukum dan berakibat fatal
bila terjadi impeachment. Dengan telaah hermeneutika, perbuatan tercela tidak
hanya sebatas penggunaan pendapat para ahli hukum melainkan meneliti secara
mendalam terkait pembentukan kata “perbuatan tercela”. lingkaran spiral
hermeneutik mengandung arti bahwa kata tersebut bukanlah suatu kesatuan yang
dapat menimbulkan definisi. Perbuatan tercela harus dipahami kata per kata agar
terwujudnya definisi sebenarnya. Sarannya ialah presiden harus melakukan uji
materiil terhadap Pasal 5 huruf i UU No. 42-2008 kepada Mahakamah Konstitusi,
mensetop rencana revisi UU No. 42-2008 dengan alasan teknis seperti ambang batas,
bentuk pencontrengan, ataupun muatan politis lainnya, legal drafter wajib menguasai
dan mendalami teori hermeneutika guna menemukan kesesuaian kata perbuatan
tercela dalam suatu perundang-undangan.
Kata kunci: hermeneutika, tercela, presiden.

Abstract
With normative definition of misconduct made president. Meaning only misconduct
contained in Article 10 Paragraph (3) No. 24-2003 and Article 5 letter i No. 42-2008.
This raises legal ambiguities and fatal case of impeachment. With the study of
hermeneutics, moral turpitude is not only limited to the use of legal experts opinion
but examined in depth on the establishment of the word "moral turpitude".
hermeneutical spiral circle means that the word is not an entity that can lead to the
definition. Misconduct must be understood word for word so that the actual
realization of the definition. His suggestion is that the president should conduct a
judicial review of Article 5 letter i No. 42-2008 to the Constitutional Court, defined
the revision of Law No. 42-2008 to technical reasons such as threshold,
pencontrengan forms, or other political content, legal drafter shall retain and deepen
the theory of hermeneutics to find the suitability of the word in a disgraceful act of
legislation.
Keywords: hermeneutics, despicable, president.

A. Pendahuluan
Secara normatif, tidak terdapat satupun definisi (keterangan singkat dan jelas) tentang
perbuatan tercela yang dilakukan oleh presiden. Arti perbuatan tercela hanya termaktub
dalam dua peraturan perundang-undangan yaitu

1. Pasal 10 Ayat (3) huruf d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi
1

”perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden
dan/atau Wakil Presiden”
2. Pasal 5 huruf i Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden
“yang dimaksud dengan tidak pernah melakukan perbuatan tercela adalah tidak
pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma
kesusilaan dan norma adat antara lain seperti judi, mabuk, pecandu narkoba, dan
zina ”
Hal ini menimbulkan kekaburan hukum dan berakibat fatal bagi presiden apabila
terjadi impeachment. Sedangkan arti perbuatan tercela yang ditujukan selain kepada presiden
dalam peraturan perundang-undangan lainnya tidak memiliki definisi. Perbuatan tercela
hanya berdasarkan pendapat para ahli hukum saja tanpa mempertimbangkan aspek apa yang
terkandung dalam suatu teks. Pada karya ini, penulis hanya membatasi telaah perbuatan
tercela yang dilakukan oleh presiden karena ia pemegang pimpinan tertinggi antara lain
presiden menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945-UUD NRI 1945), Presiden mengangkat duta dan konsul (Pasal 13

UUD NRI 1945), presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara (Pasal 10 UUD NRI 1945) dan presiden memberi grasi,
rehabilitasi, amnesti serta abolisi (Pasal 14 UUD NRI 1945).

B. Pembahasan
1. Esensi Impeachment Presiden
Sebelum memasuki kajian impeachment, maka akan dibahas terlebih dahulu siapakah
presiden di dalam Negara Republik Indonesia. Wajib dipahami bahwa kedaulatan rakyat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dengan paradigma (cara pandang)
Pancasila dan UUD NRI 1945 yaitu memiliki makna yang terkandung dalam lima sila.
Artinya Pancasila memiliki dua dimensi kehidupan yaitu kehidupan kerohanian hubungan
manusia dengan Tuhan dan kehidupan manusia dalam masyarakat negara. Di dalam
paradigma ketatanegaraan berbangsa dan bernegara di Indonesia, penerapan kedaulatan
rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sudah sesuai dengan UUD 1945.1 Namun
menurut penulis hal tersebut tidak demikian karena di Indonesia – presiden masih bertindak
sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.

1

Sri Soemantri M, Penerapan Kedaulatan Rakyat Dalam Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila Dan

Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, h. 435.

2

Seperti halnya presiden yang memiliki fungsi dan kedudukan berbeda baik sebelum
amandemen UUD NRI 1945 yaitu:
1. Kedudukan presiden pada masa UUD 1945
a. Kekuasaan presiden dalam bidang eksekutif
Kekuasaan presiden dalam bidang tersebut dapat dilihat pada Pasal 4 Ayat (1) dan
Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945. Kekuasaan presiden dalam menjalankan pemerintahan dibatasi
oleh UUD sehingga presiden tidak dapat berbuat menyimpang. Pada masa ini, Republik
Indonesia menganut sistem konstitusionil (dalam penjelasan UUD 1945) yaitu pemerintah
berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme.
Di dalam menjalankan pemerintahannya, presiden dibantu oleh menteri-menteri
negara (Pasal 17 Ayat (1) UUD 1945) dan tanggung jawab tetap berada di tangan presiden.
Di sisi lain, menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden (Pasal 17 Ayat (2)
UUD 1945). Berhubung presiden bertanggung jawab atas segala penyelenggaraan
pemerintahan maka presiden akan mengarahkan segala tindakan para menteri agar
menyesuaikan diri dengan kehendaknya. Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945 dapat diartikan juga
bahwa menteri tidak bertanggung jawab kepada DPR karena pengangkatannya tidak

tergantung kepada dukungan DPR seperti halnya dalam sistem parlementer.
Merujuk pada Pasal 4 Ayat (2) UUD 1945, presiden dibantu oleh seorang wakil
presiden dalam melaksanakan kewajibannya. Soepomo selaku ketua Panitia Kecil Perancang
UUD mengatakan dalam rapat besar Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal
15 Juli 1945.2
“Presiden dalam pekerjaannya sehari-hari untuk menyelenggarakan kewajibannya
dibantu oleh dua wakil presiden yang sangat tinggi kedudukannya tidak tergantung
dari pada presiden oleh karena diangkat oleh MPR”
Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkataan dibantu dalam Pasal 4 Ayat (2) UUD 1945
menandakan bahwa wakil presiden akan tampil sebagai orang pertama apabila presiden
berhalangan (hal ini diperkuat dalam Pasal 8 UUD 1945). Dapat ditarik kesimpulan bahwa
kedudukan wakil presiden sebagai pembantu presiden adalah di bawahnya dan wakil presiden
tidak dipilih oleh presiden melainkan oleh MPR
b. Kekuasaan presiden dalam bidang legislatif
Membuat UU adalah suatu tindakan memutuskan untuk membuat peraturan umum
(UU dalam arti materiil) sedangkan membuat UU dalam arti formil berarti membuat suatu
2

Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia , Jakarta: Pusat Studi HTN
Fakultas Hukum UI, 1986, h. 200.


3

keputusan yang dilakukan oleh suatu badan atau beberapa badan yang berwenang dengan
bekerja sama. UU sebagai peraturan umum mengatur apa yang harus dilakukan oleh
pemerintah dalam tugasnya untuk memenuhi kepentingan rakyat. Jadi dalam UU ditentukan
tujuan apakah yang hendak dicapai oleh negara yang harus diselenggarakan oleh pemerintah.
Apabila dihubungkan dengan GBHN sebagai kebijaksanaan umum yang diselenggarakan
oleh presiden selaku mandataris MPR, maka penuangan kebijaksanaan umum dalam bentuk
UU tersebut dilakukan bersama DPR sebagai jaminan bahwa UU tersebut tidak menyimpang
daripada GBHN. Ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden
memiliki kewenangan dalam bidang legislatif yaitu
a. Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 “Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan
persetujuan DPR”
b. Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 “Tiap-tiap UU menghendaki persetujuan DPR”
c. Pasal 21 Ayat (1) UUD 1945 “Anggota-anggota DPR berhak mengajukan RUU”
Di dalam hal memaksa, presiden berhak menetapkan Perppu (Pasal 22 Ayat (1) UUD
1945). Pembentukan Perppu haruslah mendapat persetujuan dari DPR dalam persidangan
berikutnya (Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945), hal ini bertujuan untuk memenuhi asas demokrasi
dan mencegah terjadinya kekuasaan yang sewenang-wenang dari pihak pemerintah karena

setiap kebijaksanaan pemerintah yang menyangkut kepentingan rakyat dapat dibenarkan dan
apabila DPR tidak menyetujuinya maka Perppu tersebut harus dicabut (Pasal 22 Ayat (3)
UUD 1945).
c. Kekuasaan presiden sebagai kepala negara
Presiden sebagai kepala negara diatur dalam
a. Pasal 10 UUD 1945 “Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara”
b. Pasal 11 UUD 1945 “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”
c. Pasal 12 UUD 1945 “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat
keadaan bahaya ditetapkan dengan UU”
d. Pasal 13 Ayat (1) UUD 1945 “Presiden mengangkat duta dan konsul”
e. Pasal 13 Ayat (2) UUD 1945 “Presiden menerima duta negara lain”
f. Pasal 14 UUD 1945 “Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi”
g. Pasal 15 UUD 1945 “Presiden memberi gelaran, tanda jasa, dan lain-lain tanda
kehormatan”
2. Kedudukan presiden pada masa Konstitusi RIS
4

Dalam periode ini, Indonesia menerapkan pemerintahan parlementer pola Inggris

sebagai akibat perundingan dan persetujuan Konferensi Meja Bundar di den Haag Belanda
antara delegasi Indonesia, delegasi panitia permusyawaratan urusan federal dan delegasi dari
kerajaan Belanda. Maka yang berlaku adalah Konstitusi RIS. Sesuai Pasal 69 Ayat (1)
Konstitusi RIS, kedudukan presiden adalah kepala negara sedangkan yang dimaksud
pemerintah adalah presiden dan menteri-menteri (Pasal 68 Ayat (1) Konstitusi RIS).
3. Kedudukan presiden pada masa UUDS 1950
Pada masa ini melalui Pasal 90 konstitusi RIS, dilakukanlah perubahan-perubahan
terhadap Konstitusi RIS dengan mengubah bagian-bagian yang merupakan unsur negara
serikat menjadi negara kesatuan. Hal ini dilakukan melalui Undang-Undang Federal Nomor 7
Tahun 1950, dengan kata lain UUDS dalam bentuknya adalah perubahan Konstitusi
Sementara RIS.3
Di dalam UUDS tidak secara tegas menyatakan apa atau siapa yang dimaksud dengan
pemerintah. Namun apabila melihat ketentua-ketentuan yang diatur dalam Pasal 45 hingga
Pasal 55 yang terdapat dalam Bab II bagian I UUDS maka terdapat pengaturan tentang
presiden, wakil presiden dan menteri atau menteri-menteri. Sehingga pemerintah adalah
presiden, wakil presiden, menteri atau menteri-menteri. Hal ini diperkuat dalam Pasal 83
UUDS bahwa presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat dan menteri-menteri
bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk
seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.
Melihat Pasal 84 UUDS bahwa presiden dapat membubarkan DPR apabila

dianggapnya tidak mewakili kehendak rakyat lagi. Di tahun 1955 diselenggarakan Pemilihan
Umum (pemilu) pertama untuk membentuk DPRD, DPR dan Konstituante. Tujuan
dibentuknya konstituante adalah untuk menetapkan UUD yang menggantikan UUDS 1950.
Hasil pemungutan suara yang kurang dari 2/3 dari peserta sidang yang hadir mengakibatkan
munculnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 tentang Dekrit (Dekrit 5 Juli
1959) yang isinya pembubaran konstituante, tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya
kembali UUD 1945.
4. Kedudukan presiden pada periode 1966 hingga 1973
Di tahun 1966 terjadi pergeseran pertama yang berhubungan dengan jabatan presiden,
secara formal terjadi pada waktu Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966
kepada Menteri Panglima Angkatan Darat (Jenderal Soeharto). Secara formal, Supersemar

3

Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, Bandung: Alumni, 2010, h. 10.

5

merupakan tindakan ketatanegaraan biasa mengingat kedudukan menteri, panglima Angkatan
Darat adalah pembantu presiden dalam pengertian Pasal 17 UUD 1945.

Namun pada saat dikeluarkannya Supersemar (bersifat administratif) serta merta
berubah pada saat dikeluarkannya TAP MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah
Presiden/Panglima Tinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS maka
Supersemar tidak lagi menjadi lingkungan kewenangan presiden. Bahkan sebagai mandataris
MPRS harus tunduk pada Supersemar tersebut. Dengan adanya TAP MPRS tersebut tidak
lagi mempertanggungjawabkan tindakannya kepada presiden melainkan kepada MPRS
karena telah berubah kedudukannya menjadi Pengemban Ketatpan No. IX/MPRS/1966.4
Adanya dua orang pemegang mandat MPRS secara bersama-sama memiliki wewenang
kepresidenan

baru

dapat

diatasi

pada

waktu


dikeluarkannya

Pengumuman

Presiden/Mandataris MPRS tanggal 20 Februari 1967 tentang Penyerahan Kekuasaan
Pemerintahan Negara kepada Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 yang
kemudian dipergunakan sebagai slah satu pertimbangan untuk menarik kembali mandat
MPRS dari Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan negara yang diatur dalam UUD
dan mengangkat Jenderal Soeharto Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai
Pejabat Presiden. Di dalam penjelasan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 disebutkan bahwa
“…Jenderal Soeharto Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, selaku Pejabat
Presiden Republik Indonesia”.
5. Kedudukan presiden pada masa UUD 1945 setelah amandemen
Pada masa UUD 1945 setelah amandemen keempat, kedudukan presiden adalah
sebagai kepala eksekutif dikarenakan adanya beberapa lembaga negara yang dihapuskan,
dibentuk beberapa lembaga negara baru, untuk memenuhi kebutuhan hidup berbangsa dan
bernegara. Hal ini terlihat dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat dan diperkuat dalam Pasal 2 Ayat (1) bahwa keanggotaan MPR dimaksudkan
untuk mengoptimalkan pelaksanaan kedaulatan rakyat bahwa seluruh anggota MPR dipilih
oleh rakyat melalui pemilu dan untuk meningkatkan legitimasi MPR. Perubahan Pasal 3
mengenai wewenang MPR berimplikasi pada terjadinya perubahan fundamental dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem supremasi MPR menjadi sistem mengimbangi
dan mengawasi. MPR tidak lagi menetapkan GBHN dan tidak memilih serta mengangkat
presiden dan wakil presiden.

4

H Bagir Manan dan H Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia , Bandung:
Alumni, 1997, h. 10.

6

Dari kedudukan presiden yang berbeda pada masing-masing berlakunya konstitusi
maka proses impeachment sebetulnya merupakan sesuatu yang sulit terlaksana. Impeachment
tidak hanya sekadar proses formal namun didalamnya terdapat unsur politik. Impeachment
sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada
prosesnya dan tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya presiden atau pejabat tinggi
negara lain dari jabatannya.5
Terdapat pengkajian mengenai impeachment yaitu terkait objek impeachment, terkait
alasan impeachment dan mengenai mekanisme impeachment. Masing-masing negara yang
mengadopsi ketentuan mengenai impeachment mengatur secara berbeda-beda mengenai halhal tersebut, sesuai dengan pengaturannya dalam konstitusi.
Objek dari tuduhan impeachment tidak hanya terbatas pada pemimpin negara, seperti
presiden atau perdana menteri, namun juga pada pejabat tinggi negara. Objek dari
impeachment di berbagai negara berbeda-beda dan terkadang memasukkan pejabat tinggi

negara seperti hakim atau ketua serta para anggota lembaga negara menjadi objek
impeachment.

Seiring dengan perubahan UUD NRI 1945, Indonesia juga mengadopsi mekanisme
impeachment yang objeknya hanya menyangkut pada presiden dan/atau wakil presiden.

Alasan-alasan impeachment pada masing-masing negara juga berbeda-beda. Selain
itu, perdebatan mengenai penafsiran dari alasan impeachment juga mewarnai proses
impeachment atau menjadi wacana eksplorasi pengembangan teori dari sisi akademikus.

Mengenai mekanisme impeachment di negara-negara yang mengadopsi ketentuan ini juga
berbeda-beda. Namun secara umum, mekanisme impeachment pasti melalui sebuah proses
peradilan tata negara yang melibatkan lembaga yudikatif, baik lembaga itu adalah Mahkamah
Agung (MA) atau MK. Bagi negara-negara yang memiliki dua lembaga pemegang kekuasaan
yudikatif yaitu MA dan MK, maka besar kecenderungan bahwa MK-lah yang terlibat dalam
proses mekanisme impeachment tersebut. Keterlibatan MK dalam proses impeachment itu
sendiri berbeda dimasing-masing negara, tergantung pada sistem pemerintahan yang dimiliki
oleh negara tersebut serta tergantung pula pada kewenangan yang diberikan oleh Konstitusi
kepada MK dalam keterlibatannya pada proses impeachment. Di satu negara MK berada pada
bagian terakhir dari mekanisme impeachment setelah proses itu melalui beberapa tahapan
proses di lembaga negara lain.

5

Jimly Asshiddiqie, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi , Jakarta: MKRI, 2005,
h. 1.

7

Terdapat juga sistem yang menerapkan dimana MK berperan sebagai jembatan yang
memberikan landasan hukum atas peristiwa politik impeachment ini. Kata akhir proses
impeachment berada dalam proses politik di parlemen. Contoh dari negara yang mengadopsi

aturan demikian adalah Lithuania yang juga baru saja memberhentikan Presiden Rolandas
Paskas dalam proses impeachment. Negara Indonesia juga mengadopsi aturan seperti ini.
Proses impeachment di Indonesia melalui proses tiga lembaga negara secara langsung.
Proses yang pertama berada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR melalui hak
pengawasannya melakukan proses investigasi atas dugaan-dugaan bahwa presiden dan/atau
wakil presiden melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang
tergolong dalam alasan-alasan impeachment. Setelah proses di DPR selesai, dimana Rapat
Paripurna DPR bersepakat untuk menyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah
melakukan tindakan yang tergolong alasan untuk di-impeach maka putusan Rapat Paripurna
DPR itu harus dibawa ke MK. Sebelum akhirnya proses impeachment ditangani oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memperoleh akhir kedudukan presiden dan/atau
wakil presiden.6

2. Telaah Hermeneutika
Terkait teori hermeneutika, Jazim Hamidi menjelaskan bahwa objek kajian
hermeneutika itu sungguh luas, tergantung dari sudut mana melihatnya. Objek kajian
heremeneutika dapat berupa teks, lontar atau ayat Tuhan yang tertuang dalam kitab suci.
pendapat ini bisa dibenarkan manakala kita memahami pengertian hermeneutika itu
sebagaimana direpresentasikan dalam teologi kristiani melalui dewa Hermes, dalam
terminologi agama Yahudi melalui dewa Toth, dalam mitologi Mesir kuno melalui Nabi
Musa dan dalam tradisi kalangan umat Islam melalui Nabi Idris.
Hermeneutika hukum sangat berbeda dengan interpretasi hukum dan konstruksi
hukum. Di dalam hermeneutika hukum lebih mengarah pada pemahaman teks secara
mendalam sedangkan interpretasi hukum hanya penafsiran teks yang berguna apabila terjadi
benturan norma. Konstruksi hukum lebih mengarah keapda analogi hukum dan digunakan
pada saat terjadi kekosongan hukum.7 Objek kajian hermeneutika yang kedua dapat berupa
teks, naskah kuno, dokumen resmi negara, atau konstitusi sebuah negara. pendapat ini juga
benar, sebab dokumen sejarah atau tatanan norma dalam kehidupan bernegara itu tidak semua
dipahami oleh rakyatnya. Dalam hal ini diperlukan lembaga resmi untuk menafsirkannya.
6
7

Selengkapnya dapat dilihat pada Pasal 7 huruf b UUD NRI 1945.
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Malang: UB Press, 2011, h. 51.

8

Yang mana lembaga tersebut dapat berupa lembaga negara, badan hukum, atau individu yang
diberi wewenang dan tugas untuk itu (peran interpretatif).
Objek yang ketiga dapat berupa peristiwa atau pemikiran sebab peristiwa maupun
hasil pemikiran itu dalam pemikiran hukum dapat dijadikan alat bukti ataupun sumber
hukum. Contohnya yaitu doktrin (hasil pemikiran ahli) merupakan sumber materiil dalam
pengertian hukum tata negara.8
Senada juga pakar B. Arief Sidharta, menjelaskan bahwa hermeneutika itu
dikembangkan sebagai metode atau seni untuk menafsirkan naskah kuno supaya dapat
dipahami makna yang terkandung di dalamnya.9
Sebagai landasan kefilsafatan ilmu hukum, filsafat hermeneutik adalah filsafat tentang
hal mengerti atau memahami sesuatu yakni refleksi kefilsafatan yang menganalisis syaratsyarat kemungkinan bagi semua pengalaman dan pergaulan manusiawi dengan kenyataan dan
peristiwa mengerti atau interpretasi. Jadi memahami sesuatu adalah menginterpretasi sesuatu
dan sebaliknya menginterpretasi sesuatu tercapai pemahaman tentang sesuatu itu. Hal
memahami atau menginterpretasi itu adalah aspek hakiki dalam keberadaan manusia, yang
membedakannya dari hewan, tanaman dan benda-benda lainnya. Artinya keberadaan manusia
dan kegiatan menjalankan kehidupannya berlangsung berlandaskan atau dipengaruhi proses
dan produk pemahaman atau interpretasinya.
Menurut penulis dengan hermeneutika yang diajukan Hans George Gadamer tepatnya
lingkaran spiral hermeneutik yaitu sebuah cara pemahaman yang menggabungkan sintesis
(penggabungan bagian-bagiannya menjadi satu keutuhan) dan analisis (proses timbal balik
pembagian satu keutuhan).10
Di dalam bahasa manusia, kata “perbuatan” terkait lisan dan tulisan. Secara lisan,
“perbuatan” merupakan sesuatu yang dilakukan guna mencapai suatu tujuan tertentu. Apabila
dikaitkan dengan presiden sebagai manusia maka akan dapat dianalisa bahwa esensi
perbuatan melekat pada sang pribadi. Secara lugas dapat dimengerti bahwa baik atau
tidaknya perbuatan dilihat subjek yang melakukannya.
Mengacu pada pemahaman dalam Alkitab tertulis bahwa perbuatan pada manusia
dapat ditelusuri di Kitab Kejadian 3:1-24. Hawa sebagai manusia perempuan pertama

8

Jazim Hamidi, Disertasi: Makna Dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia , Bandung: Universitas Padjadjaran, 2005, h. 36.
9
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1999, h. 95-103.
10
Stephen Palmquist, Pohon Filsafat Teks Kuliah Pengantar Filsafat , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, h.
228.

9

melakukan perbuatan untuk memakan buah pohon kehidupan dan dilanjutkan oleh Adam
yang turut memakannya juga. Pada akhirnya mereka memperoleh hukuman dari Tuhan Allah.
Terkait isi Alkitab bahwa perbuatan juga tergantung kondisi sekitar. Hawa memakan
buah pengetahuan karena kecerdikan ular.
Memaknai “perbuatan” secara tulisan cenderung terbatas pada penulisan. Hal yang
dimaksud dalam tulisan harus dipahami bagaimana pembentukan kata “perbuatan” pada suatu
peraturan perundang-undangan. Harus diketahui apakah yang terjadi dalam pembentukan
kata tersebut.
Penulis menganalisa bahwa pertama kalinya perbuatan tercela muncul pada
amandemen ketiga UUD NRI 1945 Pasal 7 huruf A UUD NRI 1945 yang hanya tertulis
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan perwakilan Rakyat, baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden”.
Perbuatan tercela ditujukan kepada presiden sebagai wujud aspirasi masyarakat yang
menghendaki presiden yang tidak berdasarkan kekuasaan melainkan presiden yang sesuai
dengan pilihannya. Perbuatan tercela juga didukung dengan Pasal 1 UUD NRI 1945 yang
menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar.
Terkait kedudukan presiden sebagai kepala eksekutif maka definisi perbuatan tercela
seharusnya mempersempit cakupannya. Hal ini bertujuan agar presiden mampu menjadi
subjek yang proporsional dalam bertindak. Dimasukkannya norma agama dan norma adat
sebagai kriteria perbuatan tercela akan menjadikan presiden sebagai subjek yang tidak
terlindungi hak asasinya. Selain itu, perbuatan tercela tidak dapat diartikan sebagai perbuatan
yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat antara lain seperti
judi, mabuk, pecandu narkoba dan zina. Perbuatan yang bertentangan dengan norma adat
seperti judi, mabuk tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela karena dalam
beberapa daerah memiliki adat terkait meminum minuman keras.
Penelitian terkait perbuatan tercela pernah diteliti oleh Hufron dalam disertasinya di
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tahun 2012 yang berjudul Pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”. Di dalam disertasinya, Hufron menyatakan bahwa alasan perbuatan tercela pada
presiden wajib dihapus sebagai salah satu syarat pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden karena masih abstraknya pengertian perbuatan tercela dan bertentangan dengan
10

prinsip negara hukum demokratis yang bertumpu pada asas legalitas dan kepastian hukum.
Hal ini juga didukung dengan demokrasi yang belaku di Indonesia yang mana kebebasan
berbicara, kebebasan beribadat, bebas dari kekurangan dan dan bebas dari rasa takut.11
Alasan norma agama tidak patut dimasukkan karena agama menyangkut hubungan
subjek dengan pencipta. Subjek dalam hal ini dapat berupa individu agnostik ataupun
individu yang mengaku adanya Tuhan. Perbuatan tercela dalam UUD NRI 1945 dan dalam
peraturan perundangan-undangan lainnya bukanlah melihat dari ajran agama dan adat-istiadat
karena hal tersebut tidak memliki nilai yang sama dengan norma kesusilaan.
Hal yang sama dengan norma adat, mengacu kepada pendapat Koentjaraningrat
bahwa adat merupakan wujud ideel dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan.12
Faktor penyebab lainnya akan menjadikan presiden lebih sering memperoleh stigma buruk
dalam masyarakat. Dengan adanya pencampuradukan makna perbuatan tercela dan perbuatan
tidak terpuji mengakibatkan interpretasi ganda. Di dalam harian Jawa Pos “Legislator PDIP
Aniaya Warga” halaman 25 pada Tanggal 20 Oktober 2011 dikatakan bahwa “Gedung DPRD
Kabupaten Malang kembali digoncang atas perbuatan tak terpuji yang dilakukan oleh salah
satu anggotanya”. Secara leksikal makna terpuji dan tercela hanya berbeda pada subjek
penggunaannya saja.
Contoh kasus perbuatan tercela di luar negeri yang terkenal adalah skandal pelecehan
seksual yang dilakukan Bill Clinton terhadap karyawan magang di Gedung Putih pada tahun
1998. Awalnya Clinton menghadapi tuduhan telah melakukan perbuatan tidak bermoral
terhadap Monica Lewinsky. Clinton membantah melakukan „hubungan tidak wajar‟ ini
dengan karyawannya. Namun selama proses investigasi yang dilakukan oleh House Judiciary
Committee dan dibantu dengan independent counsel Kenneth Starr, tuduhan beralih kepada

dugaan perbuatan menghalangi atau menghambat proses penyidikan dengan berbohong di
bawah sumpah. Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1998, Clinton pun akhirnya meralat
pernyataannya sendiri dengan mengakui perbuatannya melalui stasion televisi nasional. Oleh
House Judiciary Committee, perbuatan Clinton yang berbohong di bawah sumpah tersebut

kemudian dikategorikan sebagai perbuatan tercela (misdemeanors) sebagaimana yang telah
disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (4) konstitusi AS. Dalam proses ini, Clinton berhasil selamat
dari proses impeachment lewat voting di parlemen.13 Jadi secara lugas dapat disimpulkan

11

Tomy M Saragih, Pemahaman Teori Dalam Ilmu Hukum, Depok: 959 Publishing House, 2011, h. 41.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan , Jakarta: PT Gramedia, 1974, h. 27.
13
Steven D. Strauss and Spencer Strauss, The Complete Idiot’s Guide to Impeachment of the President, New
York: Alpha Books, 1998, h. 127.

12

11

bahwa perbuatan tercela dengan lingkaran spiral hermeneutik mengandung arti bahwa kata
tersebut bukanlah suatu kesatuan yang dapat menimbulkan definisi. Perbuatan tercela harus
dipahami kata per kata agar terwujudnya definisi sebenarnya.

3. Undang-Undang Yang Memuat Arti Perbuatan Tercela
Arti perbuatan tercela dalam berbagai undang-undang
a. Pasal 11 A Ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung, "melakukan perbuatan tercela" adalah apabila hakim
agung yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun
di luar pengadilan merendahkan martabat hakim agung.
b. Pasal 13 Ayat (1) huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia, “perbuatan tercela” adalah sikap, perbuatan, dan
tindakan jaksa yang bersangkutan baik pada saat bertugas maupun tidak bertugas
merendahkan martabat jaksa atau kejaksaan.
c. Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak, melakukan perbuatan tercela adalah apabila Hakim yang bersangkutan karena
sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di luar Pengadilan Pajak
merendahkan martabat Hakim.
d. Pasal 52 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, melakukan perbuatan tercela adalah melakukan
perbuatan yang merendahkan martabat Dewan Pengawas dan Direksi.
e. Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, Pasal 19 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Pasal 18 huruf b Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
melakukan perbuatan tercela ialah apabila Hakim yang bersangkutan karena sikap,
perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di luar Pengadilan merendahkan
martabat Hakim.
f. Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,
Pasal 58 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002
12

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 69 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 85 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 29 Ayat (2) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal
19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia, Pasal 38 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 21 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal
5 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal,
Pasal 4-36-77-187 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 23 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hanya memuat kata cukup jelas.
Dari berbagai undang-undang tersebut, penulis beranggapan bahwa dengan tidak
adanya definisi perbuatan tercela sejak amandemen ketiga UUD NRI 1945 hingga
terbentuknya UU No. 24-2011 maka tidak terdapat semangat untuk menciptakan kepastian
hukum bagi presiden.

C. Kesimpulan
1. Simpulan
Di dalam memaknai perbuatan tercela tidak hanya sebatas penggunaan pendapat para ahli
hukum melainkan meneliti secara mendalam terkait pembentukan kata “perbuatan tercela”.
lingkaran spiral hermeneutik mengandung arti bahwa kata tersebut bukanlah suatu kesatuan
yang dapat menimbulkan definisi. Perbuatan tercela harus dipahami kata per kata agar
terwujudnya definisi sebenarnya. Hal lainnya yaitu norma agama dan norma adat tidak dapat
dimasukkan sebagai salah satu unsur definisi dalam perbuatan tercela yang dilakukan oleh
presiden dan/atau wakil presiden karena agama menyangkut hubungan subjek dengan
Pencipta.
2. Saran
a. Presiden harus melakukan uji materiil terhadap Pasal 5 huruf i UU No. 42-2008 kepada
Mahakamah Konstitusi.
13

b. Mensetop rencana revisi UU No. 42-2008 dengan alasan teknis seperti ambang batas,
bentuk pencontrengan, ataupun muatan politis lainnya.
c. Apabila poin huruf a tidak terlaksana maka pemerintah untuk segera melakukan
amandemen kelima UUD NRI 1945 khususnya dalam Pasal 7 huruf A guna memperjelas
makna dari perbuatan tercela.
d. Bagi legal drafter wajib menguasai dan mendalami teori hermeneutika guna menemukan
kesesuaian kata perbuatan tercela dalam suatu perundang-undangan.
e. Sanksi yang dikenakan apabila presiden melanggar norma agama atau norma adat adalah
dengan cara melakukan minta maaf di depan masyarakat secara terbuka dan wajib
melakukan pengunduran diri dan apabila presiden tidak melakukan pengunduran diri,
maka dapat dilakukan impeachment. Alasan melakukan minta maaf karena sikap demikian
menunjukkan suatu perbuatan yang menunjukkan sikap dari pemimpin tanpa tekanan dari
siapapun.

14

Daftar Pustaka

Bernard Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar
Maju.
H Bagir Manan dan H Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia , Bandung: Alumni.

Harun Alrasid, 1999, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Hufron, 2012, Disertasi: Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , Malang:

Universitas Brawijaya.
Jazim Hamidi, 2005, Disertasi: Makna Dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17
Agustus 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia , Bandung:

Universitas Padjadjaran.
___________ dan Mustafa Lutfi, 2010, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, Bandung:
Alumni.
___________, 2011, Hermeneutika Hukum, Malang: UB Press.
Jimly Asshiddiqie, 2005, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
Jakarta: MKRI.
Koentjaraningrat, 1974, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: PT Gramedia.
Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1986, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia ,
Jakarta: Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI.
Sri Soemantri M, 1996, Penerapan Kedaulatan Rakyat Dalam Kehidupan Bernegara
Berdasarkan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Citra

Aditya Bakti.
Steven D. Strauss and Spencer Strauss, 1998, The Complete Idiot’s Guide to Impeachment of
the President, New York: Alpha Books.

Stephen Palmquist, 2002, Pohon Filsafat Teks Kuliah Pengantar Filsafat , Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tomy M Saragih, 2011, Pemahaman Teori Dalam Ilmu Hukum, Depok: 959 Publishing
House.

15

Tomy M Saragih, lulusan dari Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (S1), Universitas
Brawijaya (S2) dan saat ini menempuh S3 di Universitas Brawijaya. Ia telah menghasilkan
beberapa karya ilmiah dalam bentuk jurnal dan buku. Bekerja dalam bidang penerbitan buku
dan pengelolahan [DIALEKTIK] Jurnal Ilmiah Indonesia pada CV. R.A.De.Rozarie. penulis
dapat dihubungi di www.derozarie.co.id dan 0819671079. Terima kasih

16

Dokumen yang terkait

ANALISIS ELEMEN-ELEMEN BRAND EQUITY PADA PRODUK KARTU SELULER PRABAYAR SIMPATI, IM3, DAN JEMPOL (Studi Kasus Mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Jember)

2 69 20

Hubungan Kualitas Tidur dan Kebiasaan Mengkonsumsi Kopi pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang

11 91 19

PENGARUH PENILAIAN dan PENGETAHUAN GAYA BUSANA PRESENTER TELEVISI TERHADAP PERILAKU IMITASI BERBUSANA (Studi Tayangan Ceriwis Pada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Jurusan Komunikasi Angkatan 2004)

0 51 2

PENGARUH TERPAAN LIRIK LAGU IWAN FALS TERHADAP PENILAIAN MAHASISWA TENTANG KEPEDULIAN PEMERINTAH TERHADAP MASYARAKAT MISKIN(Study Pada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Pada Lagu Siang Seberang Istana)

2 56 3

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

Perilaku Konsumsi Serat pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Tahun 2012

21 162 166

Ketersediaan koleksi informasi primer pada perpustakaan Universitas Satyagama : analisis sitiran dalam skripsi dan tesis

2 58 95

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1

KARAKTERISTIK SENGKETA PEMILUKADA Studi Putusan Mahkamah Konstitusi 2008-2013

0 35 59